DOSEN PENGAMPU :
Chandra Bagus R, S.Kp., M.Kep., Sp. KMB
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
AGUS SUPRIYONO
CATUR KRISTIANTO
JAKA PRASETYA
WIDYA PRATIWI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN AKADEMIK 2016 / 2017
KONSEP KEMATIAN ATAU MENJELANG AJAL (DYING)
2. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif berfokus pada perawatan gejala klien, yang penyakitnya tidak
lagi berespons terhadap penanganan yang berfokus pada pengobatan. Perawatan ini dapat
berbeda dari perawatan hospice, dalam hal klien tidak yakin tengah menjelang ajal.
Perawatan hospice dan paliatif dapat mencakup perawatan menjelang kematian yaitu
perawatan yang diberikan dalam beberapa minggu terakhir sebelum kematian.
Perawatan paliatif terkait dengan seluruh bidang perawatan mulai dari medis,
perawatan, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual, sehingga secara praktis, prinsip dasar
perawatan paliatif dapat dipersamakan dengan prinsip pada praktek medis yang baik.
Prinsip dasar perawatan paliatif (Rasjidi, 2010):
1. Sikap Peduli Terhadap Klien
Termasuk sensitivitas dan empati. Perlu dipertimbangkan segala aspek dari penderitaan
klien, bukan hanya masalah kesehatan.
Pendekatan yang dilakukan tidak boleh bersifat menghakimi. Faktor karakteristik,
kepandaian, suku, agama, atau faktor individual lainnya tidak boleh mempengaruhi
perawatan.
2. Menganggap Klien Sebagai Seorang Individu
Setiap kliien adalah unik. Meskipun memiliki penyakit ataupun gejala-gejala yang
sama, namun tidak ada satu klien pun yang sama persis dengan klien lainnya. Keunikan
inilah yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan perawatan paliatif untuk tiap
individu.
3. Pertimbangan Kebudayaan
Faktor etnis, ras, agama, dan faktor budaya lainnya bisa jadi mempengaruhi
penderitaan klien. Perbedaan-perbedaan ini harus diperhatikan dalam perencanaan
perawatan.
4. Persetujuan
Persetujuan dari klien adalah mutlak diperlukan sebelum perawatan dimulai atau
diakhiri. Mayoritas klien ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan, namun dokter
cenderung untuk meremehkan hal ini. Klien yang telah diberi informasi memadai dan
setuju dengan perawatan yang akan diberikan akan lebih patuh mengikuti segala usaha
perawatan.
5. Memilih Tempat Dilakukannya Perawatan
Untuk menentukan tempat perawatan, baik klien dan keluarganya harus ikut serta
dalam diskusi ini. Klien dengan penyakit terminal sebisa mungkin diberi perawatan di
rumah.
6. Komunikasi
Komunikasi yang baik antara dokter dan klien maupun dengan keluarga adalah hal
yang sangat penting dan mendasar dalam pelaksanaan perawatan paliatif.
7. Aspek Klinis: Perawatan yang Sesuai
Semua perawatan paliatif harus sesuai dengan stadium dan prognosis dari penyakit
yang diderita klien. Hal ini penting karena pemberian perawatan yang tidak sesuai, baik
itu lebih maupun kurang, hanya akan menambah penderitaan klien. Pemberian
perawatan yang berlebihan berisiko untuk memberikan harapan palsu kepada klien.
Demikian jugs perawatan yang dibawah standar akan mengakibatkan kondisi klien
memburuk.
Hal ini berhubungan dengan masalah etika yang akan dibahas kemudian. Perawatan
yang diberikan hanya karena dokter merasa harus melakukan sesuatu meskipun itu sia-
sia adalah tidak etis.
8. Perawatan Komprehensif dan Terkoordinasi Dari Berbagai Bidang Profesi
Perawatan paliatif memberikan perawatan yang bersifat holistik dan integratif,
sehingga dibutuhkan sebuah tim yang mencakup keseluruhan aspek hidup klien serta
koordinasi yang baik dari masing-masing anggota tim tersebut untuk memberikan hasil
yang maksimal kepada klien dan keluarga.
9. Kualitas Perawatan yang Sebaik Mungkin
Perawatan medis secara konsisten, terkoordinasi, dan berkelanjutan. Perawatan medis
yang konsisten akan mengurangi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi yang
tidak terduga, dimana hal ini akan sangat mengganggu baik klien maupun keluarga.
10. Perawatan yang Berkelanjutan
Pemberian perawatan simtomatis dan suportif dari awal hingga akhir merupakan dasar
tujuan dari perawatan paliatif. Masalah yang sering terjadi adalah klien dipindahkan
dari satu tempat ke tempat lain sehingga sulit untuk mempertahankan kontinuitas
perawatan.
11. Mencegah Terjadinya Kegawatan
Perawatan paliatif yang baik mencakup perencanaan teliti untuk mencegah terjadinya
kegawatan fisik dan emosional yang mungkin terjadi dalam perjalanan penyakit. Klien
dan keluarga harus diberitahukan sebelumnya mengenai masalah-masalah yang sering
terjadi, dan membentuk rencana untuk meminimalisasi stres fisik dan emosional.
12. Bantuan Kepada Sang Perawat
Keluarga klien dengan penyakit lanjut seringkali rentan terhadap stres fisik dan
emosional, terutama apabila pasien dirawat di rumah, sehingga perlu diberikan
perhatian khusus kepada mereka mengingat keberhasilan dari perawatan paliatif juga
tergantung dari sang pemberi perawatan itu sendiri.
13. Pemeriksaan ulang
Perlu terus dilakukan pemeriksaan mengenai kondisi pasien, mengingat pasien dengan
penyakit lanjut kondisinya akan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif (Kep. Menkes No:
812/Menkes/SK/VII/2007)
1. Persetujuan Tindakan Medis/Informed Consent Untuk Klien Paliatif
Klien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif.
Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada dasarnya
dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun
pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan informed
consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko
dilakukan informed consent. Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan
diutamakan klien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga
terdekatnya. Waktu yang cukup agar diberikan kepada klien untuk berkomunikasi
dengan keluarga terdekatnya. Dalam hal klien telah tidak kompeten, maka keluarga
terdekatnya melakukannya atas nama pasien.
2. Tim Perawatan Paliatif
Sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pernyataan klien pada saat ia
sedang kompeten tentang apa yang harus atau bolehvatau tidak boleh dilakukan
terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun (advanced directive). Pesan
dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang bolehatau tidak boleh dilakukan, atau
dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat
keputusan pada saat ia tidak kompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan
dijadikan panduan utama bagi tim perawatan paliatif. Pada keadaan darurat, untuk
kepentingan terbaik klien, tim perawatan paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran
yang diperlukan, dan informasi dapat diberikan pada kesempatan pertama.
3. Resusitasi/Tidak Resusitasi Pada Klien Paliatif
Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat oleh klien
yang kompeten atau oleh tim perawatan paliatif. Informasi tentang hal ini sebaiknya
telah diinformasikan pada saat klien memasuki atau memulai perawatan paliatif. Klien
yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang informasi
adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan
tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam bentuk
informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya. Keluarga terdekatnya pada
dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan
dalam advanced directive tertulis. Namun demikian, dalamkeadaan tertentu dan atas
pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaan tertulis oleh seluruh anggota
keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan pengadilan untuk pengesahannya.
Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi
sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila klien berada dalam tahap
terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki
kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
4. Perawatan Klien Paliatif Di ICU
Pada dasarnya perawatan paliatif klien di ICU mengikuti ketentuan-ketentuan umum
yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas. Dalam menghadapi tahap terminal, tim
perawatan paliatif harus mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak dan
penghentian peralatan life-supporting.
5. Masalah Medikolegal Lainnya Pada Perawatan Klien Paliatif
Tim perawatan paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pimpinan
rumah sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah klien. Pada dasarnya
tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan
pertimbangan yang memperhatikan keselamatan klien tindakan-tindakan tertentu dapat
didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang terlatih. Komunikasi antara
pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.
d. Mendukung Keluarga
Aspek terpenting dalam menyediakan dukungan untuk anggota keluarga dari
klien yang menjelang ajal melibatkan penggunaan komunikasi terapeutik untuk
memfasilitasi ekspresi perasaan mereka. Saat tidak ada apapun yang dapat membalikan
proses menjelang ajal yang tidak dapat dihindari, perawat dapat memberi perawatan
yang empati dan penuh perhatian. Perawat juga berperan sebagai seorang guru, dengan
menjelaskan apa yang sedang terjadi dan apa yang dapat diharapkan oleh keluarga.
Karena efek stres saat melalui proses berduka, anggota keluarga mungkin tidak
menyerap apa yang dikatakan dan perlu mendapatkan informasi secara berulang.
Perawat perlu memiliki perilaku yang tenang dan sabar.
Anggota keluarga harus didorong untuk berpartisipasi dalam perawatan fisik
orang yang menjelang ajal sebanyak yang mereka inginkan dan yang mereka mampu
lakukan. Perawat dapat menyarankan mereka membantu saat memandikan, berbicara
atau membacakan cerita bagi klien, dan memegang tangan klien. Namun perawat tidak
boleh memiliki harapan spesifik untuk partisipasi anggota keluarga. Mereka yang
merasa tidak mampu berada bersama dengan orang menjelang ajal juga memerlukan
dukungan dari perawat dan dari anggota keluarga lain. Mereka harus ditunjukkan
tempat menunggu yang tepat jika mereka berharap untuk tetap dekat dengan klien.
Setelah klien meninggal, keluarga harus didorong untuk melihat jenazah,
karena itu telah terbukti memfasilitasi proses berduka. Mereka dapat mengambil
sejumput rambut sebagai kenang-kenangan. Anak-anak harus dilibatkan dalam
peristiwa seputar kematian jika mereka ingin melakukannya.
- Perlambatan Sirkulasi
Sensasi berkurang.
Bercak dan sianosis pada ekstremitas.
Kulit dingin, pertama di kaki dan kemudian di tangan, telinga, dan hidung (namun
klien dapat merasa hangat jika terdapat peningkatan suhu tubuh).
Perlambatan dan perlemahan denyut nadi.
Penurunan tekanan darah.
- Perubahan Respirasi
Pernapasan cepat, dangkal, tidak teratur, atau lambat tidak normal; napas berisik,
disebut sebagai lonceng kematian, karena berkumpulnya lender di kerongkongan;
pernapasan melalui mulut; membran mukosa oral kering.
- Kerusakan Sensori
Pandangan kabur.
Kerusakan sensasi atau indera perasa dan pencium.
Tanda-Tanda Klinis Saat Meninggal
Pupil mata melebar.
Tidak mampu untuk bergerak.
Kehilangan reflek.
Nadi cepat dan kecil.
Pernapasan chyene-stoke dan ngorok.
Tekanan darah sangat rendah.
Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
Prosedur Memandikan:
Angkat jenazah ke tempat mandi.
Lepaskan pakaian yang melekat pada badan.
Siramlah badan bagian kanan, basuhlah anggota badan ketika berwudhu.
Siramlah badan yang kiri.
Siramlah seluruh badan.
Gosok-gosok dengan sabun, siram 3-5 kali.
Miringkan mayat gosok-gosok dengan sabun dan siram 3-5 kali.
.Jangan memaksakan mengeluarkan kotoran dari perut mayat.
Siram dengan kapur barus yang dicairkan.
Keringkan dengan handuk.
Tutup denan kain (ingat pada waktu memandikan aurat jangan terlihat).
d. Bungkus jenazah dengan kain kafan atau kain pembungkus lain sesuai dengan
agama dan kepercayaan yang dianut.
3. Tahap Mengkafani
Alat dan Bahan:
Kain kafan pria 15 m, wanita 12 m
Kapas
Parfum
Kapur barus
Tikar
Pinggir kain kafan 2 cm di sobek sepanjang kain (12 m untuk wanita dan 15
m untuk pria) a, sisa kain kita sebut b
Ukur panjang jenazah dengan kain a lebihkan 2 jengkal, dengan ukuran tadi
potong-potong kain b menjadi 6 potong
Potongan kain a dipotong-potong menjadi 10 bagian (8 bagian selebar bahu
sampai ujung lengan terbentang, 2 potong selebar ujung lengan ke ujung lengan
yang dibentangkan
Ambil sepasang potongan kain b, jelujur dengan salah satu ujung bertumpuk
seperti trapezium
Selanjutnya tali di bawah tikar dan tali di bawah kafan tikar
Kain kafan 3 lapis (diatasnya ditaburi kapur barus dan parfum)
Kemudian lipat yang rapih
Prosedur Mengkafani
Kain kafan yang sudah disiapkan di gelar.
Angkat jenazah, letakkan diatas kain kafan.
Sisir rambutnya.
Untai 3 untaian untuk perempuan.
Siapkan rok gamis kerudung untuk perempuan.
Aurat ditutup dengan kapas.
Angkat kain penutup.
Oleskan bubuk kapur barus dan parfum.
Lipat kain kafan lapis atas, seterusnya sampai yang ketiga.
Ikat dengan simpul ikatan yang kiri.
Gulung dengan tikar dan lipat.
Masukkan dalam keranda, jenazah siap di sholatkan. Setelah selesai di kafani
jenazah diantarkan kepada keluarganya.
b) Agama Islam
Penyakit dalam agama Islam adalah suatu gangguan keseimbangan
sebagaimana yang dimaksud oleh Allah.Sebab-sebab dari gangguan ini dapat dicari
baik dalam kekuatan yang meguasai alam semesta maupun yang berasal dari kuasa-
kuasa manusia. Kematian bagi orang-orang islam berarti suatu pemindahan dari
kehidupan karena suatu situasi menuggu sampai akhir zaman. Dan pada saat itu akan
tiba masa pengadilan bagi semua orang. Orang islam pada saat pengadilan itu boleh
percaya akan kebaikan-kebaikan Allah. Orang islam percaya bahwa di dalam
kuburan akan datang dua malaikat yang akan menanyakan masalah kepercayaannya.
c) Tradisi Yahudi
Menurut tradisi Yahudi orang-orang mati akan bangkit pada akhir jaman.
Disamping itu tradisi Yahudi mengenal banyak peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan fase akhir kehidupan manusia.
d) Agama Hindu
Bagi orang-orang yang beragama Hindu dikatakan bahwa penyakit adalah
akibat dari dewa-dewa yang marah atau kuasa-kuasa yang lain. Penyakit harus
dihindari dan dilawan dengan cara membawa persembahan-persembahan bahan
melalui pembacaan mantera. Setelah kematian maka manusia akan kembali muncul di
bumi baik dalam bentuk manusia atau binatang (reinkarnasi), sampai rohnya menjadi
sempurna.
b) Hindu
Jika pasien hindu meninggal:
Jenazah mungkin harus dibaringkan di lantai.
Pendeta akan mengikatkan benang sekitar leher atau pergelangan tangan (jangan
dilepaskan).
Keluarga akan memandikan jenazah sebelum dikramasi.
c) Yahudi
Jika pasien yahudi meninggal:
Jenazah dimandikan oleh anggota penguburan.
Dan seseorang harus berada di dekat jenazah untuk yahudi ortodoks dan konservatif.
d) Kristen
Jika pasien kristen meninggal:
Ritual sangat beragam diantara kelompok mungkin memberikan komuno terakhir.
Memilih penguburan daripada kremasi.
Health Deviation self care requisite : timbul karena kesehatan yang tidak sehat dan
merupakan kebutuhan-kebutuhan yang menjadi nyata karena sakit atau
ketidakmampuan yang menginginkan perubahan dalam perilaku self care.
Orems mendiskripsikan dua kategori dibawah ini sebagai keperluan self care (self
care requisites), dan ini timbul dari pengaruh peristiwa-peristiwa pada keperluan
universal self care antara lain : Sewaktu ada keinginan untuk mengasuh dirinya
sendiri dan seseorang itu mampu untuk menemukan keinginannya, maka self care
itu dimungkinkan. Tetapi bila keinginan itu lebih besar dari kapasitas individual
atau kemampuan untuk menemukannya, terjadilah ketidak seimbangan dan ini
dikatakan sebagai self care deficit.
D. Asuhan Keperawatan Pada Klien Menjelang Ajal Dan Setelah Kematian
1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Berisi tentang penyakit yang diderita klien pada saat sekarang.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Berisi tentang keadaan klien apakah klien pernah masuk rumah sakit dengan penyakit yang
sama.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah anggota keluarga pernah menderita penyakit yang sama dengan klien.
2. Head To Toe
Perubahan fisik saat kematian mendekat:
a. Pasien kurang rensponsif.
b. Fungsi tubuh melambat.
c. Pasien berkemih dan defekasi secara tidak sengaja.
d. Rahang cendrung jatuh.
e. Pernafasan tidak teratur dan dangkal.
f. Sirkulasi melambat dan ektremitas dingin, nadi cepat dan melemah.
g. Kulit pucat.
h. Mata memelalak dan tidak ada respon terhadap cahaya.
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya
untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat terakhir
dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan damai. Doka
(1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup kedalam empat fase,
yaitu:
Fase Prediagnostik: terjadi ketika diketahui ada gejala atau faktor resiko penyakit.
Fase Akut: berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian keputusasaan,
termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.
Fase Kronis, klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya. pasti terjadi.
Klien dalam kondisi terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik, psikologis,
maupun social-spiritual.
Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain:
Problem Oksigenisasi: Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne stokes,
sirkulasi perifer menurun, perubahan mental: Agitasi-gelisah, tekanan darah menurun,
hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.
Problem Eliminasi: Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic, kurang
diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi, inkontinensia fekal bisa
terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit (mis Ca Colon), retensi urin,
inkopntinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi penyakit misalnya:
Trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau kondisi
penyakit mis gagal ginjal.
Problem Nutrisi dan Cairan: Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic menurun,
distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kering dan
membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan cairan menurun.
Problem Suhu: Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
Problem Sensori: Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati
kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran berkurang, sensasi menurun.
Problem Nyeri: Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra vena,
klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan
kenyamanan.
Problem Kulit dan Mobilitas: Seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah pada kulit
sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
Problem Psikologis: Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak respon
emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem psikologis lain yang
muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu
lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan komunikasi
atau barrier komunikasi.
Perubahan Sosial-Spiritual: Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi
terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai
kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai
jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang yang
dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan,
ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup.
3. Diagnosis Keperawatan
1. Ansietas kematian berhubungan dengan mengalami proses menjelang ajal. (Nanda,
Domain 9, 00147, hal. 355)
2. Duka cita berhubungan dengan antisipasi kehilangan hal yang bermakna (mis.,
kepemilikan, pekerjaan, status). (Nanda, Domain 9, 00136, hal. 360)
3. Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen pengobatan yang rumit (Nanda,
Domain 9, 00125, hal. 365)
4. Keputusasaan berhubungan dengan penurunan kondisi fisiologis (Nanda, Domain 6,
00124, hal. 284)
4. Intervensi Keperawatan
Diagnosis I
Ansietas kematian berhubungan dengan mengalami proses menjelang ajal. (Nanda,
Domain 9, 00147, hal. 355)
Tujuan dan Kriteria Hasil
Tujuan Umum: Kematian Yang Nyaman (NOC, hal. 598)
Tujuan Khusus: Tingkat Kecemasan (NOC, hal. 598)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam, diharapkan ansietas klien berkurang,
dengan kriteria hasil (NOC, hal. 126)
Afek tenang menjadi skala 4 (sedikit terganggu).
Lingkungan fisik menjadi skala 5 (tidak terganggu).
Posisi yang nyaman menjadi skala 4 (sedikit terganggu).
Relaksasi otot menjadi skala 4 (sedikit terganggu).
Dukungan dari keluarga menjadi skala 5 (tidak terganggu).
Kehidupan spiritual menjadi skala 4 (sedikit terganggu).
Intervensi
Pengurangan Kecemasan (NIC, hal. 319):
1. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku klien.
3. Pahami situasi krisis yang terjadi dari perspektif klien.
4. Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan, dan prognosis.
5. Berada di sisi klien untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi ketakutan.
6. Dorong keluarga klien untuk mendampingi klien dengan cara yang tepat.
7. Berikan objek yang menunjukkan perasaan aman.
8. Dengarkan klien.
9. Puji atau kuatkan perilaku yang baik secara tepat.
10. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi, dan ketakutan.
Diagnosis II
Duka cita berhubungan dengan antisipasi kehilangan hal yang bermakna (mis.,
kepemilikan, pekerjaan, status). (Nanda, Domain 9, 00136, hal. 360)
Tujuan dan Kriteria Hasil:
Tujuan Umum: Respon Berduka Komunitas (NOC, hal. 607)
Tujuan Khusus: Menahan Diri dari Kemarahan (NOC, hal. 607)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam, diharapkan duka cita klien berkurang,
dengan kriteria hasil (NOC, hal. 316)
Mengidentifikasi kapan merasa marah menjadi skala 4 (sering dilakukan).
Mengidentifikasi kapan merasa frustasi menjadi skala 4 (sering dilakukan).
Mengidentifikasi tanda-tanda awal marah menjadi skala 5 (dilakukan secara konsisten).
Mengidentifikasi situasi yang dapat memicu marah menjadi skala 4 (sering dilakukan).
Mengidentifikasi alasan perasaan marah menjadi skala 4 (sering dilakukan).
Mengekspresikan kebutuhan dengan cara yang konstruktif menjadi skala 4 (sering
dilakukan).
Mencurahkan perasaan negatif dengan cara yang tidak mengancam menjadi skala 5
(dilakukan secara konsisten).
Intervensi
Fasilitasi Proses Berduka (NIC, hal. 108):
1. Identifikasi kehilangan.
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi reaksi awal terhadap kehilangan.
3. Dukung klien untuk mengekspresikan perasaan mengenai kehilangan.
4. Dengarkan ekspresi berduka.
5. Dukung klien untuk mendiskusikan pengalaman kehilangan sebelumnya.
6. Buat pernyataan empatik mengenai duka cita.
7. Berikan instruksi dalam proses fase berduka, dengan tepat.
8. Dukung kemajuan untuk melalui tahap berduka pribadi.
9. Bantu mengidentifikasi strategi-strategi koping pribadi.
10. Libatkan orang yang penting bagi klien untuk mendiskusikan dan membuat keputusan
dengan tepat.
Diagnosis III
Ketidakberdayaan berhubungan dengan regimen pengobatan yang rumit (Nanda, Domain
9, 00125, hal. 365)
Tujuan dan Kriteria Hasil:
Tujuan Umum: Kepercayaan Mengenai Kesehatan: Kontrol yang Diterima (NOC, hal.
625)
Tujuan Khusus: Penerimaan: Status Kesehatan (NOC, hal. 625)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam, diharapkan ketidakberdayaan klien dapat
teratasi, dengan kriteria hasil (NOC, hal. 349):
Menghilangkan konsep kesehatan personal sebelumnya menjadi skala 4 (sering
dilakukan).
Mengenali realita situasi kesehatan menjadi skala 5 (dilakukan secara konsisten).
Melaporkan harga diri yang positif menjadi skala 4 (sering dilakukan).
Mempertahankan hubungan menjadi skala 5 (dilakukan secara konsisten).
Menyesuaikan perubahan dalam status kesehatan menjadi skala 4 (sering dilakukan).
Mengekspresikan kedamaian dari dalam diri menjadi skala 5 (dilakukan secara
konsisten).
Menunjukkan kegembiraan menjadi skala 5 (dilakukan secara konsisten).
Intervensi
Dukungan Pengambilan Keputusan (NIC, hal. 93)
1. Tentukan apakah terdapat perbedaan antara pandangan klien dan pandangan penyedia
perawatan kesehatan mengenai kondisi klien.
2. Informasikan pada klien mengenai pandangan-pandangan atau solusi alternatif dengan
cara yang jelas dan mendukung.
3. Bantu klien mengidentifikasi keuntungan dan kerugian dari setiap alternative pilihan.
4. Bangun komunikasi dengan klien sedini mungkin sejak klien masuk ke unit perawatan.
5. Fasilitasi percakapan klien mengenai tujuan perawatan.
6. Fasilitasi pengambilan keputusan kolaboratif.
7. Hormati hak-hak klien untuk menerima atau tidak menerima informasi.
8. Berikan informasi sesuai permintaan klien.
Diagnosis IV
Keputusasaan berhubungan dengan penurunan kondisi fisiologis (Nanda, Domain 6,
00124, hal. 284)
Tujuan dan Kriteria Hasil:
Tujuan Umum: Harapan (NOC, hal. 623)
Tujuan Khusus: Partisipasi Dalam Keputusan Perawatan Kesehatan (NOC, hal. 623)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam, diharapkan keputusasaan klien dapat
teratasi, dengan kriteria hasil (NOC, hal. 327):
Mencari informasi yang terpercaya menjadi skala 5 (secara konsisten menunjukkan).
Mendefinisikan pilihan yang tersedia menjadi skala 4 (sering menunjukkan).
Menentukan pilihan yang diharapkan terkait dengan outcome kesehatan menjadi skala
4 (sering menunjukkan).
Identifikasi prioritas outcome kesehatan menjadi skala 5 (secara konsisten
menunjukkan).
Negosiasi perawatan yang diinginkan menjadi skala 5 (secara konsisten menunjukkan).
Monitor hambatan untuk mencapai outcome menjadi skala 4 (sering menunjukkan).
Intervensi
Inspirasi Harapan (NIC, hal. 119)
1. Bantu klien dan keluarga untuk mengidentifikasi area dari harapan dalam hidup.
2. Informasikan pada klien mengenai apakah situasi yang terjadi sekarang bersifat
sementara.
3. Kembangkan daftar mekanisme koping klien.
4. Ajarkan pengenalan realitas dengan mensurvei situasi dan membuat rencana ke depan.
5. Bantu klien mengembangkan spiritualitas diri.
6. Jangan memalsukan hak yang sebenarnya.
7. Fasilitasi kaitan antara kehilangan personel klien dengan gambaran dirinya.
8. Libatkan klien secara aktif pada perawatannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Kozier,B.(2004). Fundamentals of Nursing: Concepts, process, and practice (ed.7). Prentice Hall,
New Jersey.
Kubler-Ross.E.(1998).On Death and Dying: Kematian Sebagai Bagian Kehidupan.(W.
Anugrahani, Penerj.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama. ( Karya asli diterbitkan tahun 1969)
Roper,N.(2002). Prinsip-prinsip keperawatan. Yayasan Essentia Madica, Yogyakarta
Johnson, M., et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). New Jersey: Upper Saddle
River
Mc Closkey, C.J., et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). New Jersey: Upper
Saddle River
Herdman, T. Heather. et all. 2015. Panduan Diagnosis Keperawatan NANDA 2015-20017.
Jakarta: EGC.