Anda di halaman 1dari 17

ESSAY KEPERAWATAN GAWAT DARURAT TENTANG

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN TRAUMA INHALASI

DI INSTALASI GAWAT DARURAT

Dosen Pembimbing :

Ns. Masdar Jhon., S. Pd.,M. Kep., M.Kes

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 8

INDAR KUSUMAWATI NPM : 15.11.4066.E.A.00

IRMA NPM : 15.11.4066.E.A.00

ISTIQOMAH NPM : 15.11.4066.E.A.0027

AKADEMI KEPERAWATAN YARSI SAMARINDA

2018
Latar Belakang

Trauma inhalasi terjadi saat menghirup gas toksit yang suhunya

sangat tinggi atau asap kebakaran . Karbon monoksida ( CO) merupakan

produk sampingan kebakaran yang paling sering ditemukan : Hidrogen

Klorida dan Hidrogen sianida merupakan produk sampingan lainnya yang

sering terdapat pada kebakaran. Menurut jurnal Tomie Hermawan Soekarno,

David Perdanakusuma tentang Intoksikasi Karbon Monoksida Gas CO

adalah penyebab utama dari kematian akibat keracunan di Amerika Serikat

dan lebih dari separoh penyebab keracunan fatal lainnya diseluruh dunia.

Terhitung dari 40.000 kunjungan pasien pertahun di unit gawat darurat di

Amerika Serikat yang berhubungan dengan kasus intoksikasi gas CO

dengan angka kematian sekitar 500-600 pertahun yang terjadi pada 1990an.

Sekitar 25.000 kasus keracunan gas CO pertahun dilaporkan terjadi

di inggris. Dengan angka kematian sekitar 50 orang pertahun dan 200 orang

menderita cacat berat akibat keracunan gas CO. Di singapura kasus

intoksikasi gas CO termaksuk jarang. Di rumah sakit Tan Tock Seng

Singapura pernah dilaporkan 12 kasus indikasi gas CO dalam 4 tahun. Di

Indonesia belum didapatkan data berapa kasus keracunan gas CO yang

terjadi pertahun yang diporkan.

Trauma inhalasi merupakan suatu masalah yang sulit ditangani dan

masih tetap merupakan penyebab kematian utama pada luka bakar. Di

Amerika Serikat dari 8000 korban luka bakar per tahun, 60-80% kematian

disebabkan oleh karena trauma inhalasi. Trauma inhalasi menyebabkan


kenaikan insidensi gagal nafas dan acute respiratory distress

syndrome (ARDS) sehingga menjadi penyebab utama kematian dini pada

penderita luka bakar dengan kisaran 45-78%. Kurang lebih 2,5 juta orang

mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap tahunnya. Dari kelompok

ini 200 ribu pasien memerlukan penanganan rawat jalan dan 100 ribu pasien

di rawat di rumah sakit . Sekitar 12 ribu orang meninggal setiap tahunnya

akibat luka bakar dan cidera inhalasi yang berhubungan dengan luka bakar

lebih separuh dari kasus luka bakar di rumah sakit seharusnya dapat

dicegah. Anak kecil dan orang tua merupakan populasi yang beresiko tinggi

untuk mengalami luka bakar Dirumah sakit anak di inggris, selama satu

tahun terdapat sekitar 50.000 pasien luka bakar dimana 6400 diantaranya

masuk ke perwatan khusus luka bakar. Antara tahun 1997-2002 terdapat

17.237 anak di bawah usia 5 tahun mendapat perawatan gawat darurat di

100 RS di Amerika serikat.

RS Mangun Kusumo Jakarta pada th 1998 dilaporkan 107 kasus luka

bakar yang dirawat , dengan angka kematian 37,38 % sedngkan di RS Dr.

Sutomo pada th 2000 dirawat 106 kasus luka bakar , kematian 26,41 %.

Studi North- england menemukan angka rata-rata yang datang keru cmah

sakit dengan trauma inhalsi akibat luka bakar adalah 0,29 per 1000 populasi

tiap tahun. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan yairu 2:1 lain

menebutkan bahwa kurang lebih sepertiga (20-35%) pasien luka bakar yang

datang di pusat luka bakar adalah dengan trauma inhalasi. Perawat dapat

memainkan peranan yang aktif dalam pencegahan kebakaran dan luka bakar

dengan mengajarkan konsep pencegahan dan mempromosikan undang-


undang tentang pengamanan kebakaran. Asuhan keperawatan komprehensif

yang diberikan manakala terjadi luka bakar adalah penting untuk

pencegahan kematian dan kecacatan. Adalah penting saling berhubungan

pada semua sistem tubuh setelah cidera luka bakar juga penghargaan

terhadap dampak emosional diri cidera dari luka bakar dan keluarganya.

Hanya dengan dasar pengetahuan komprehensif perawat dapat memberikan

intervensi terapeutik yang diperlukan pada semua tahapan penyembuhan.

Manfaat

Menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan trauma inhalasi

di unit gawat darurat agar dapat mengetahui secara dini dan dapat

memberikan intervensi yang tepat serta mengantisipasi terjadinya

komplikasi dari trauma inhalasi yang dapat merusak dan menyebabkan

keparahan bahkan menyebabkan kematiaan. Diharuskan pengkajian awal

lebih yang berfokus fokus pada airway, breathing dan circulation untuk

menemukan tanda serta gejala yang terjadi agar hasilnya dapat ditangani

oleh spesialis dan tenaga medis lainnya.

Analisis Literatur

Ada tiga mekanisme yang menyebabkan cedera pada trauma

inhalasi, yaitu kerusakan jaringan karena suhu yang sangat tinggi, iritasi

paru-paru dan asfiksia. Hipoksia jaringan terjadi karena sebab sekunder

dari beberapa mekanisme. Proses pembakaran menyerap banyak oksigen,

dimana di dalam ruangan sempit seseorang akan menghirup udara dengan


konsentrasi oksigen yang rendah sekitar 10-13%. Penurunan fraksi oksigen

yang diinspirasi (FIO2) akan menyebabkan hipoksia.

Keracunan karbonmonoksida dapat menyebabkan turunnya

kapasitas transportasi oksigen dalam darah oleh hemoglobin dan

penggunaan oksigen di tingkat seluler. Karbonmonoksida mempengaruhi

berbagai organ di dalam tubuh, organ yang paling terganggu adalah yang

mengkonsumsi oksigen dalam jumlah besar, seperti otak dan jantung.

Misdiagnosis sering terjadi karena beragamnya keluhan dan gejala pada

pasien. Gejala-gejala yang muncul sering mirip dengan gejala penyakit

lain. Pada anamnesa secara spesifik didapatkan riwayat paparan gas CO.

Gejala-gejala yang muncul sering tidak sesuai dengan kadar HbCO dalam

darah. Penderita trauma inhalasi atau penderita luka bakar harus dicurigai

kemungkinan terpapar dan keracunan gas CO. Pada pemeriksaan tanda

vital didapatkan takikardi, hipertensi atau hipotensi, hipertermia, takipnea.

Pada kulit biasanya didapatkan warna kulit yang merah seperti buah

cherry, bisa juga didapatkan lesi dikulit berupa eritema dan bula.

Beberapa literatur menyatakan bahwa hipoksia ensefalopati yang

terjadi akibat dari keracunan CO adalah karena injuri reperfusi dimana

peroksidasi lipid dan pembentukan radikal bebas yang menyebabkan

mortalitas dan morbiditas.


CO mengikat myoglobin jantung lebih kuat daripada mengikat hemoglobin

yang menyebabkan depresi miokard dan hipotensi yang menyebabkan

hipoksia jaringan.Keadaan klinis sering tidak sesuai dengan kadar HbCO

yang menyebabkan kegagalan respirasi di tingkat seluler.

Trauma inhalasi terjadi melalui kombinasi dari kerusakan epitel

jalan nafas oleh panas dan zat kimia atau akibat intoksikasi sistemik dari

hasil pembakaran itu sendiri. Hasil pembakaran tidak hanya terdiri dari

udara saja, tetapi merupakan campuran dari udara, partikel padat yang

terurai di udara ( melalui suatu efek iritasi dan sitotoksik). Aerosol dari

cairan yang bersifat iritasi dan sitotoksik serta gas toksik dimana gabungan

tersebut bekerja sistemik. Partikel padat yang ukurannya > 10 mikrometer

tertahan di hidung dan nasofaring. Partukel yang berukuran 3-10

mikrometer tertahan pada cabang trakeobronkial, sedangkan partikel

berkuran 1-2 mikrometer dapat mencapai alveoli.

Gas yang larut air bereaksi secara kimai pada saluran nafas ,

sedangkan gas yang kurang larut air pada saluran nafas bawah. Adapan gas

yang sangat kurang larut air masuk melewat barier kapiler dari alveolus dan

menghasilkan efek toksik yang bersifat sistemk. Kerusakan langsung dari

sel-sel epitel, menyebabkan kegagalan fungsi dari apparatus mukosilier

dimana akan merangsang terjadinya suatu reaksi inflamasi akut yang

melepaskan makrofagg serta aktifitas netrofil pada daerah tersebut.

Selanjutnya akan di bebaskan oksigen radikal, protease jaringan, sitokin,

dan konstriktor otot polos. Kejadian ini menyebabkan peningkatan iskemia

pada saluran nafas yang rusak, selanjutnya terjadi edema dari dinding
saluran nafas dan kegagalan mikrosirkulasi yang akan meningkatkan

resistensi didding saluran nafas dan pembuluh darah paru. Komplains paru

akan turun akibat terjadinya edema paru interstitiil sehingga terjadi edema

pada saluran nafas bagian bawah akibat sumbatan pada saluran nafas yang

dibentuk oleh sel-sel epitel nekrotik, mukus dan se- sel darah.

Penelitian terakhir menunjukkan adanya pelepasan radikal bebas

nitric oxide dari platelet dan lapisan endothelium vaskuler pada keadaan

keracunan CO pada konsentrasi 100 ppm yang dapat menyebabkan

vasodilatasi dan edema serebri. CO dieliminasi di paru-paru. Waktu paruh

dari CO pada temperatur ruangan adalah 3 - 4 jam. Seratus persen oksigen

dapat menurunkan waktu paruh menjadi 30– 90 menit, sedangkan dengan

hiperbarik oksigen pada tekanan 2,5 atm dengan oksigen 100% dapat

menurunkan waktu paruh sampai 15-23 menit.

Selama penanganan pertama, menunggu trasportasi korban

diposisikan telentang sambil memperhatikan kemungkinan terjadinya

kondisi yang mengancam fungsi vital. Bila korban tidak sadar dan tidak ada

tanda napas, segera lakukan BLS. Bagi tenaga medis penanganan korban

dari tempat kejadian, Pos Lapangan pada korban massal dan selama

transportasi ke Rumah Sakit mengikuti prinsip dasar penanganan

kegawatdaruratan karena trauma, yaitu ABCDE.

Airway: bebaskan jalan nafas pertahankan jalan nafas tetap bebas dengan

memperhatikan tulang leher bila ada kecurigaan ada trauma lain. Bila

korban tidak sadar, potensial terjadi obstruksi yang ditandai dengan


terdengarnya suara nafas tambahan yang biasanya berupa crowing

pertimbangkan intubasi dini. Breathing: perhatikan nafasnya, adakah tanda

distres nafas? Bila fasilitas dilapangan, Pos Lapangan ada, maka segera

berikan suplemen oksigen kalau perlu nafas dibantu, siapkan intubasi bila

ada kecurigaan kuat adanya smoke inhalation injury. Circulation: hati2

korban luka bakar yang luas seringkali diketemukan dalam kondisi shock

hipovolemia, sesegera mungkin pasang double infus dan diguyur cairan

kristaloid bila diperhitungkan untuk transportasi memerlukan waktu lebih

dari 30 menit. Disability: perhatian khusus apabila korban diketemukan

dalam kondisi tidak sadar, pertimbangkan intubasi dini bila fasilitas ada.

Enviroment: lepas pakaian korban yang terbakar, ganti dengan selimut,

waspada hipotermia, lepaskan benda logam yang dipakai misal: arloji,

cincin, kalung.

Pengkajian Primer setiap pasien yang di curigai trauma inhalasi di

unit gawat darurat harus dianggap sebagai pasien trauma, karenanya harus

dicek Airway, breathing dan circulation-nya terlebih dahulu. Airway,

Apabila terdapat kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka segera pasang

Endotracheal Tube (ET). Tanda-tanda adanya trauma inhalasi antara lain

adalah: terkurung dalam api, luka bakar pada wajah, bulu hidung yang

terbakar, dan sputum yang hitam. Breathing, Eschar yang melingkari dada

dapat menghambat pergerakan dada untuk bernapas, segera lakukan

escharotomi. Periksa juga apakah ada trauma-trauma lain yang dapat

menghambat pernapasan, misalnya pneumothorax, hematothorax, dan

fraktur costae. Circulation, Luka bakar menimbulkan kerusakan jaringan


sehingga menimbulkan edema, pada luka bakar yang luas dapat terjadi syok

hipovolumik karena kebocoran plasma yang luas. Manajemen cairan pada

pasien luka bakar, dapat diberikan dengan Formula Baxter. Formula

Baxter Total cairan: 4cc x berat badan x luas luka bakar dan diberikan 50%

dari total cairan dalam 8 jam pertama, sisanya dalam 16 jam berikutnya.

Pemeriksaan penunjang yang biasanya di lakukan adalah

pemeriksaan laboratorium seperti Pulse Oximetry, Digunakan untuk

mengukur saturasi hemoglobin yang meningkat palsu akibat ikatan CO

terhadap hemoglobin sehingga kadar karboksihemoglobin seringkali

diartikan sebagai oksihemaglon. Analisa Gas darah, Untuk mengukur kdar

karboksihemoglobin , keseimbangan asam basa dan kadara sianida. Sianida

dihasilakan dari kebakaran rumah tangga dan biasanya terjadi peningkatan

kadar laktat plasma. Elektrolit, Untuk memonitor abnormalitas elektrolit

sebagai hasl dari resusitasi cairan dalam jumlah besar. Darah lengkap,

Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi sasaat setelah

trauma. Hematokrit yang menurun secara progresif akibat pemulihan

volume intravaskular. Anemia berat biasanya terjadi akibat hipoksia atau ke

tidak seimbangan hemodinamik. Peningkatan sel darah putih untuk melihat

adanya infeksi.

Foto thorak, Biasanya normal dalam 3-5 hari , gambran yang dapat

muncul sesudahnya termasuk atetektasis, edema paru dan ARDS.

Laringoskopi dan Bronkoskopi fiberoptik, Keduanya dapat digunakan

sebagai alat diagnostik maupun terapeutik. Pada bronkoskopi biasnya

didapatkan gambaran jelaga, ulserasi, sekresi, mukopurulen. Bronkoskopi


serial berguna untuk menghilangkan debris dan sel- sel nekrotik pada kasus-

kassus paru atau jika suction dan ventilasi tekanan positif tidak cukup

memadai. Diagnosis yang cepat terhadap trauma inhalasi adalah penting

untuk penanganan cepat agar terhindar dari gagal nafas yang berakibat

kematian. Pengobatan trauma inhalsi adalah bersifat suportif. Airway, Jika

dicurigai seseorang dengan trauma inhalsi maka sebelum dikirim ke pusat

luka bakar sebaiknya dilakukan intubasi cepat untuk melindungi jalan nafas

sebelum terjadi pembengkakan wajah dan faring yang biasanya terjadi 24-

48 jam setelah kejadian , dimana jika terjadi edema maka yang diperlukan

adalah trakeostomi atau krikotiroidotomi jika intubasi oral tidak dapat

dilakukan.Breathing, Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernafasan

seperti susah nafas, stridor , batuk, retraksi suara nafas bilateral atau anda –

tanda keracunan CO maka dibutuhkan oksigen 100% atau oksigen tekan

tinggi yang akan menurunkan waktu paruh dari CO dalam

darah.Circulation, Pengukuran tekanan darah dan nadi untuk mengetahui

stabilitas hemodinamik. Untuk mencegah syok hipovolemik diperlukan

resusitasi cairan intravena.

Pada pasien dengan trauma inhalasi biasanya biasanya dalam 24 jam

pertama digunakan cairan kristaloid 40-75 % lebih bnayak dibandingkan

pasien yang hanya luka bakar saja. Neurologik, Pasien yang berespon atau

sadar membantu untuk mengetahui kemampuan mereka untuk melindungi

jalan nafas dan merupakan indikator yang baik untk mengukur kesussesan

resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik seringkali memerlukan

analgetik paten. Luka bakar, Periksa seluruh badan untuk mengetahui


adanya trauma lain dan luka bakar. Cuci Nacl kulit yang tidak terbakar

untuk menghindari sisa zat toksik. Medikasi, Kortikosteroid: Digunakan

untuk menekan inflamasi dan menurunkan edema. Antibiotik : Mengobati

infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh staphylococus Aureus dan

Pseudomonas Aeruginosa pada pasien-pasien dengan kerusakan paru. Amyl

dan sodium nitrit untuk mengobati keracunan sianida tetapi harus berhati-

hati jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO kerena obat ini dapat

menyebabkan methahemoglobinemia. Oksigen dan sodium tiosulfat juga

dapat sebagai antidotum sianida, antidotum yang lain adalah

hidroksikobalamin dan EDTA. Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan

bronkokontriksi. Pada kasus-kasus berat , bronkodilator digunakan secara

intravena.

Komplikasi dari trauma inhalasi seperti trauma paru berat, edema

dan ketidakmampuan untuk oksigenasi atau ventilasi yang adekuat dapat

menyebabkan kematian. Keracunan CO dan inhalasi dari hasil pembakaran

yang lain secara bersamaan dapat menyebabkan hipoksemia, trauma organ

dan morbiditas. Prognosis Pada traumaa inhalasi ringan biasanya self

limited dalam 48-72 jam . Berat ringannya trauma langsung pada parenkim

paru tergantung pada luas dan lamanya paparan serta jenis inhalan yang

diproduksi seraca bersamaan.

Clinical Significant

Menurut April Poerwanto basoeki dalam penelitiannya Emergency

management of major burn pre-hospital approach and patient transfer


membahas tentang penanganan pasien dengan luka bakar dan resiko

trauma inhalasi pre-hospital. Dibahas tentang peran penanganan pre-

hospital pada trauma luka bakar dan trauma inhalasi sangat menentukan

nasib korban. Penanganan korban dimulai di tempat kejaian atau pos

lapangan, selama transfortasi sampai dengan tempat rujukan di IGD dan

Burn Center, mengikuti prinsip dasar penanganan trauma, yaitu ABCDE.

Korban luka bakar jarang segera meninggal karena panas yang diderita,

melainkan karena trauma atau permasalahan saluran nafas (smoke

inhalation injury).

Trauma inhalasi sangat mudah terjadi pada siapapun yang terjebak

api terutama di ruang tertutup. Dalam hal ini edema saluran nafas akan

bertambah terus sampai 24-48 jam kemudian sehingga intubasi yang

terlambat dilakukan akan sulit atau bahkan tidak mungkin lagi. Dokter

yang merujuk pasien harus memastikan yang dirujuk adalah pasien yang

tepat, pada waktu yang tepat dan tujuan Rumah Sakit atau Burn Center

yang tepat pula. ”The right patient, to the right place at the right time”.

Komunikasi antar dokter sebelum mentransfer pasien adalah hal yang

sangat penting.

Menurut Tomie Hermawan Soekamto dan David Perdanakusuma

dalam penelitiannya tentang intoksikasi karbon monoksida, Terapi oksigen

hiperbarik (HBO) masih menjadi kontroversi dalam penatalaksanaan

keracunan gas CO. Meningkatnya eliminasi HbCO jelas terjadi, pada

beberapa penelitian terbukti dapat mengurangi dan menunda defek

neurologis, edema serebri, perubahan patologis sistem saraf pusat.


Secara teori HBO bermanfaat untuk terapi keracunan CO karena

oksigen bertekanan tinggi dapat mengurangi dengan cepat kadar HbCO

dalam darah, meningkatkan transportasi oksigen intraseluler, mengurangi

aktifitas-daya adhesi neutrofil dan dapat mengurangi peroksidase lipid.

Saat ini, indikasi absolut terapi oksigen hiperbarik untuk kasus keracunan

gas CO masih dalam k ontroversi. Alasan utama memakai terapi HBO

adalah untuk mencegah defisit neurologis yang tertunda. Suatu penelitian

yang dilakukan perkumpulan HBO di Amerika menunjukkan kriteria untuk

HBO adalah pasien koma, riwayat kehilangan kesadaran , gambaran

iskemia pada EKG, defisit neurologis fokal, test neuropsikiatri yang

abnormal, kadar HbCO diatas 40%, kehamilan dengan kadar HbCO

>25%, dan gejala yang menetap setelah pemberian oksigen normobarik.

Dalam laporan kasus yang dilampirkan, gejala dan tanda dari

keracunan gas karbonmonoksida pada pasien yang bervariasi. Gangguan

pernafasan dan jantung dapat terjadi setelah keracunan gas CO. CO

mengikat hemoglobin dengan afinitas sekitar 240 kali lebih kuat daripada

hemoglobin mengikat oksigen, hal ini menyebabkan berkurangnya

kapasitas hemoglobin untuk membawa oksigen ke jaringan dan sel- Ikatan

kompetitif ini menyebabkan kurva disosiasi oksigen-hemoglobin bergeser

ke kiri, menyebabkan gangguan pelepasan oksigen pada tingkat jaringan

dan menyebabkan hipoksia seluler.

Menurut nufrianto mursad dalam penelitiannya evaluasi kasus

trauma inhalasi pada luka bakar di Makasar tahun 2008-2010 dengan

tujuan mengumpulkan kasus-kasus trauma inhalasi pada luka bakar untuk


mengetahui insiden berdasarkan umur, jenis kelamin, penyebab, jenis

tindakan, lama perawatan out come yang dilakukan dibagian bedah plastik

RS Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya di Makassar dari Januari 2008

hingga Desember 2010. Penelitian yang dilakukannya metode retrospektif

deskriptif. Hasil yang didapatkan yaitu angka kejadian kasus trauma

inhalasi pada luka bakar selama 3 tahun ditemukan sebanyak 65 kasus,

dimana pada tahun 2010 didapatkan sebanyak 42 kasus (65%), kelompok

usia penderita trauma inhalasi pada luka bakar terbanyak 25-44 tahun

sebanyak 30 kasus (46%). Insiden trauma inhalasi pada luka bakar

berdasarkan jenis kelamin pria mempunyai presentase paling banyak yaitu

32 kasus (52%), api merupakan penyebab utama trauma inhalasi di

Makassar sebanyak seluruh jumlah sampel 65 kasus ( 100%), pemasangan

endotracheal tube merupakan penanganan trauma inhalasi yang dilakukan

sebanyak 56 kasus (86%), jumlah mortalitas yang sangat tinggi sebanyak

43 kasus (66%).

Kesimpulan

Trauma inhalasi merupakan suatu masalah yang sulit ditangani dan

masih tetap merupakan penyebab kematian utama pada luka bakar. Di

Amerika Serikat dari 8000 korban luka bakar per tahun, 60-80% kematian

disebabkan oleh karena trauma inhalasi. Trauma inhalasi menyebabkan

kenaikan insidensi gagal nafas dan acute respiratory distress

syndrome (ARDS) sehingga menjadi penyebab utama kematian dini pada

penderita luka bakar dengan kisaran 45-78%. Kurang lebih 2,5 juta orang

mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap tahunnya.


Trauma inhalasi terjadi saat menghirup gas toksit yang suhunya

sangat tinggi atau asap kebakaran . Karbon monoksida ( CO) merupakan

produk sampingan kebakaran yang paling sering ditemukan : Hidrogen

Klorida dan Hidrogen sianida merupakan produk sampingan lainnya yang

sering terdapat pada kebakaran. Pada kebakaran dalam ruangan tertutup dan

kebakaran mengenai daerah muka / wajah dapat menimbulkan kerusakan

mukosa jalan nafas akibat gas , asap atau uap panas yang terhisap. Cedera

inhalasi disebabkan oleh jenis bahan kimia terbakar ( traceobronkitis) dari

saluran pernafasan. Bila cidera ini terjadi pada pasien dengan luka bakar

kulit yang parah kematian sangat tinggi antara 48 %- 86 %. Edema yang

terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa hambatan jalan nafas.

Hipoksia dini dapat menjadi penyebab kematian lebih dari 50%

kasus traurma inhalasi dimana intoksikasi gas CO merupakan akibat serius

yang diperkirakan menjadi lebih dari 80% penyebab hipoksia sel dan

jaringan. Sehingga kegagalan mendiagnosis keracunan gas CO sejak awal

dapat merupakan suatu hal yang fatal dan rneningkatkan morbiditas-

mortalitas terhadap pasien. Api merupakan penyebab utama trauma

inhalasi di Makassar sebanyak seluruh jumlah sampel 65 kasus ( 100%),

pemasangan endotracheal tube merupakan penanganan trauma inhalasi

yang dilakukan sebanyak 56 kasus (86%), jumlah mortalitas yang sangat

tinggi sebanyak 43 kasus (66%).

Peran penanganan pra-hospital luka bakar sangat menentukan

nasib korban. Penanganan korban dimulai di tempat kejadian atau Pos

Lapangan, selama transportasi sampai dengan tempat rujukan di IGD atau


Burn Center, mengikuti prinsip dasar penanganan trauma, yaitu ABCDE.

Korban luka bakar jarang segera meninggal karena panas yang diderita,

melainkan karena trauma atau permasalahan saluran nafas (smoke

inhalation injury).

Menurut literatur, Terapi oksigen hiperbarik dapat mempercepat

disosiasi antara gas CO dengan hemoglobin dan dapat mencegah terjadinya

kelainan neurologis yang tertunda. Indikasi absolut pemberian terapi

oksigen hiperbarik masih menjadi perdebatan diantara para ahli, tetapi

hampir semua sependapat terapi oksigen hiperbarik dapat diindikasikan

pada pasien koma, menderita kelainan neurologis, mempunyai riwayat

kehilangan kesadaran, atau mempunyai kelainan jantung.

Diagnosis yang cepat terhadap trauma inhalasi adalah penting untuk

penanganan cepat agar terhindar dari gagal nafas yang berakibat kematian.

Pengobatan trauma inhalsi adalah bersifat suportif. Berfokus pada : Airway,

Breathing, Circulation.
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI,. Seri PPGD – SPGDT (Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat

Terpadu). Depkes RI, 2009.

2. General Emergency Life Support, 2013, Buku Ajar Kursus PPGD/ GELS., Edisi XI, Diklat

IRD RSUD dr Soetomo – FK Unair., Surabaya.

3. Greenwood John A.M. Emergency Management of Adult Burns. 2011 Practice Guidelines,

Royal Adelide Hosp – Burns Unit.

4. Oman Kathleen S,DKK, Panduan Belajar Keperawatan Emergensi :

Jakarta, Penerbit buku Kedokteran, EGC , 2000.

5. Jenkins Jemie Angela, MD., et al. Emergent Management of Thermal Burns. Medscape,

Februari 14, 2014.

6.

Anda mungkin juga menyukai