Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Pematangan paru intrauterine meliputi empat periode, yaitu periode


pseudoglandula, periode kanalikuler, periode sakus terminalis, dan periode
alveolaris. Periode pseudoglandula dari 5-16 minggu dimana cabang-cabang
berlanjut membentuk bronkiolus terminalis. Periode kanalikuler 15-26 minggu
dimana setiap bronkiolus terminalis terbagi menjadi dua atau lebih bronkiolus
respiratorius yang kemudian terbagi menjadi 3-6 duktus alveolaris. Periode sakus
terminalis 26 minggu sampai lahir dimana terbentuk sakus terminalis (alveoli
primitif), dan kapiler membentuk hubungan erat. Periode alveolaris 8 bulan
sampai masa kanak-kanak dimana alveoli matang dengan hubungan epitel endotel
(kapiler) yang sudah berkembang dengan baik.

Sebelum lahir, paru-paru berisi cairan yang mengandung kadar klorida tinggi,
sedikit protein, sedikit lendir dari kelenjar bronkus, dan surfaktan dari sel epitel
alveoli tipe II. Jumlah surfaktan dalam cairan tersebut semakin lama semakin
bertambah banyak, terutama selama dua minggu terakhir sebelum lahir, tanpa
adanya lapisan surfaktan ini alveoli akan tetap menguncup.

Adanya perkembangan analisis untuk memprediksi maturitas paru banyak


dikembangkan saat ini. Penggunaan analisis terhadap cairan amnion untuk
memprediksi maturitas paru- paru janin telah diterima secara luas. Hasil analisis
ini telah dimanfaatkan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan
terminasi kehamilan secara elektif, misalnya pada kasus seksio sesarea yang
berulang dan merupakan faktor yang penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus
gestosis, diabetes melitus, perdarahan antepartum, inkompabilitas rhesus dan
komplikasi-komplikasi lain kehamilan.
Di Amerika Serikat, berdasarkan hasil pemeriksaan maturitas paru secara luas,
SGN telah diprediksi terjadinya pada 40.000 bayi-bayi yang baru lahir stiap tahun.
Sindroma gawat napas mortalitasnya yang cukup tinggi yaitu sebesar 30% dan

1
dalam jangka panjang dihubungkan dengan risiko yang bermakna untuk
timbulnya gejala sisa, baik neurologis maupun pulmonologis

Apabila karena sesuatu keadaan, kehamilan harus diakhiri atau menunda suatu
persalinan, menjadi suatu persoalan untuk menentukan dengan tepat maturitas
paru-paru janin. Maturitas paru-paru janin ini sangat erat hubungannya dengan
terjadinya sindroma gawat napas (SGN).
Pemeriksaan maturitas paru sangat bermanfaat, untuk memprediksi terjadinya
SGN pada bayi-bayi baru lahir.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pematangan Paru Intrauterine

Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap. Selama tahap
awal embrionik paru berkembang diluar dinding ventral dari primitive foregut
endoderm. Sel epithel dari foregut endoderm bergerak di sekitar mesoderm yang
merupakan struktur teratas dari saluran napas.

Tabel 1. Tahap pertumbuhan dan pematangan paru

Waktu (minggu)
Embryonic 3–5
Pseudoglandular 5-16
Canalicular 16-26
Saccular 26-36
Alveolar 36 weeks-2 years
Postnatal growth 2 - 18 years

(Dikutip dari : Kotecha.S. Lung growth: implications for the newborn infant. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2000)

Selama tahap canalicular yang terjadi antara 16 dan 26 minggu di uterus, terjadi
perkembangan lanjut dari saluran napas bagian bawah dan terjadi pembentukan
acini primer. Struktur acinar terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar,
dan alveoli rudimenter. Perkembangan intracinar capillaries yang berada
disekeliling mesenchyme, bergabung dengan perkembangan acinus. Lamellar
bodies mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumocyte type II
dapat ditemui dalam acinar tubulus pada stadium ini. Perbedaan antara
pneumocyte tipe I terjadi bersama dengan barier alveolar-capillary.

3
Sumber: Human Embriology Universities of Fribourg, Lausanne and Bern (Switzerland) http://www.embryology.ch/indexen.html

Fase saccular dimulai dengan ditandai adanya pelebaran jalan napas perifer yang
merupakan dilatasi tubulus acinar dan penebalan dinding yang menghasilkan
peningkatan pertukaran gas pada area permukaan. Lamellar bodies pada sel type
II meningkat dan maturasi lebih lanjut terjadi dalam sel tipe I. Kapiler-kapiler
sangat berhubungan dengan sel tipe I , sehingga akan terjadi penurunan jarak
antara permukaan darah dan udara

Selama tahap alveolar dibentuk septa alveolar sekunder yang terjadi dari gestasi
36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir. Septa sekunder terdiri dari penonjolan
jaringan penghubung dan double capillary loop. Terjadi perubahan bentuk dan
maturasi alveoli yang ditandai dengan penebalan dinding alveoli dan dengan cara
apoptosis mengubah bentuk dari double capillary loop menjadi single capillary
loop . Selama fase ini terjadi proliferasi pada semua tipe sel . Sel-sel mesenchym
berproliferasi dan menyimpan matrix ekstraseluler yang diperlukan. Sel-sel
epithel khususnya pneumocytes tipe I dan II, jumlahnya meningkat pada dinding
alveoli dan sel-sel endothel tumbuh dengan cepat dalam septa sekunder dengan
cara pembentukan berulang secara berkelanjutan dari double capillary loop

4
menjadi single capillary loop. Perkiraan jumlah alveolus pada saat lahir dengan
menggunakan rentang antara 20 juta – 50 juta sudah mencukupi. Pada dewasa
jumlahnya akan bertambah sampai sekitar 300 juta.

2.2. Surfaktan
Suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat permukaan aktif. Surfaktan pada
paru manusia merupakan senyawa lipoprotein dengan komposisi yang kompleks
dengan variasi berbeda sedikit diantara spesies mamalia. Senyawa ini terdiri dari
fosfolipid (hampir 90% bagian), berupa Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC)
yang juga disebut lesitin, dan protein surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD
(10% bagian). DPPC murni tidak dapat bekerja dengan baik sebagai surfaktan
pada suhu normal badan 37°C, diperlukan fosfolipid lain (mis. fosfatidilgliserol)
dan juga memerlukan protein surfaktan untuk mencapai air liquid-interface dan
untuk penyebarannya keseluruh permukaan.

Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi 22-24
minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26 minggu, yang
mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu.

Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol
yang terdapat pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih
dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh stres,
atau oleh pengobatan betamethasone atau deksamethason yang diberikan pada ibu
yang diduga akan melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan atau kehamilan
preterm 24-34 minggu.

Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid


dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur
kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin dari cairan
amnion. Sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan tubuh lainnya
kecuali paru-paru. Jumlah lesitin meningkat dengan bertambahnya gestasi,
sedangkan sfingomielin jumlahnya menetap.

5
Rasio L/Sbiasanya 1:1 pada gestasi 31-32 minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi
35 minggu. Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah matang
sempurna, rasio 1,5-1,9 sejumlah 50% akan menjadi RDS, dan rasio kurang dari
1,5 sejumlah 73% akan menjadi RDS. Bila radius alveolus mengecil, surfaktan
yang memiliki sifat permukaan alveolus, dengan demikian mencegah kolapsnya
alveolus pada waktu ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah penyebab terjadinya
atelektasis secara progresif dan menyebabkan meningkatnya distres pernafasan
pada 24-48 jam pasca lahir.

2.3. Pemeriksaan Kematangan Paru

Surfaktan merupakan suatu senyawa yang kompleks yang terdiri dari protein dan
fosfolipid. Telah diterima secara luas bahwa kadar fosfolipid dalam cairan amnion
akan meningkat sesuai dengan usia kehamilan dan mempunyai korelasi dengan resiko
terjadinya sindroma gawat napas. Tidak ada pemeriksaan cairan amnion yang betul-
betul reliable, mudah dilakukan, dan secara universal dapat dilakukan untuk
memprediksi maturitas paru-paru janin. Sebagai konsekuensinya. Dikembangkan
banyak macam pemeriksaan meturitas paru janin yang telah dilakukan oleh peneliti.

Beberapa uji yang digunakan untuk memperkirakan surfaktan paru-paru, dan untuk
meramalkan terjadinya sindroma gawat napas, telah ditinjau oleh O’Brien dan Cefalo.
Mereka membagi berbagi metode pemeriksaan maturitas paru-paru tersebut ke dalam
dua kelompok besar :

A. Secara kimiawi :

1. Rasio Lesitin-sfngomielin (L/S Ratio)

2. Komponen-komponen minor surfaktan

3. Fosfatidigliserol

4. Phosphotidate phosphohydrolase

5. P/S Ratio

B. Secara biofisik :

6
1. Foam stability test

2. Test of optical density

3. Microviscosity

a. Rasio Lesitin-sfngomielin (L/S Ratio)

Pemeriksaan untuk menentukan rasio lesitin-sfngomielin ini merupakan


pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk memprediksikan
maturitas paru-paru janin, dan dianggap sebagai “gold standart method” .
Pemeriksaan ini mempunyai beberapa hal yang kurang menguntungkan,
yaitu memerlukan banyak waktu dalam proses pemeriksaannya, disamping
itu pengukuran rasio lesitin-sfngomielin ini memerlukan laboratorium
yang monitornya dengan baik karena variasi kecil dalam teknik dapat
sangat mempengaruhi keakuratan hasilnya. Borer dan dkk, yang pertama
kali memperkenalkan pengukuran rasio lesitin-dfngomielin ini.
Selanjutnya banyak penelitian dilakukan untuk mengevaluasi berbagai
teknik pemeriksaan ini.

Metode Gluck dkk dimulai dengan melakukan sentrifugasi terhadap cairan


amnion yang akan diperiksa dengan 5.400 rpm selama 5 sampai 10 menit,
kemudian dilakukan ekstraksi fosfolipid dengan chloroform, presipitasi
dalam aseton dingin, resuspensi dalam chloform separation dengan thin-
layer chromatography (TLC), dan pengukuran rasio lesitin-sfngomeilin
dengan menggunakan densitometry atau dilakukan pewarnaan dengan
bromothymol blue dilanjutkan dengan planimetry. Apabila analisis tersebut
tidak cepat dilakukan, spesimen hendaknya dimasukan dalam lemari
pendingin. Metode ini juga dipakai oleh Donald dkk dan Aubrey dkk
dalam penelitian-penelitiannya.

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengukur rasio lesitin


sfngomielin dengan menggunakan berbagai modifikasi dalam prosedur
pemeriksaannya. Modifikasi yang paling sering adalah menghilangkan

7
langkah pemeriksaan presitasi dalam aseton dingin. Gluck dkk
menyatakan bahwa prespitasi dengan aseton akan memisahkan fosfolipid
permukaan-aktif dari yang bukan permukaan aktif, tetapi peneliti-peneliti
lain tidak menemukan pemisahan fosfolipid dalam dua fraksi tersebut.
Sebelum kehamilan 34 minggu, lesitin dan sfingomielin terdapat didalam
cairan amnion dengan konsentrasi yang sama. Pada sekitar usia kehamilan
34 minggu, konsentrasi relative lesitin terhadap sfingomielin mulai naik.

Gluck dkk, pada tahun 1971, melaporkan bahwa untuk kehamilan yang
tidak diketahui umurnya tetapi tanpa komplikasi apapun, risiko terjadinya
sindroma gawat napas pada bayi baru lahir sangat kecil kalau konsentrasi
lesitin di dalam cairan amnion sedikitnya dua kali konsentrasi
sfingomielin, sementara itu ada resiko yang semakin tinggi untuk
terjadinya sindroma gawat napas kalau rasio lesitin-sfingomielin di bawah
2.

Hal ini segera dikonfirmasikan oleh peneliti lain. Pada tahun 1975, Harvey
dkk menggabungkan 25 laporan yang rasio lesitin-sfingomielin diukur
dengan teknik yang sama pada cairan amnion yang dikumpulkan dalam 72
jam setelah kelahiran. Bila rasio lesitin-sfingomielin lebih besar dari 2,
resiko terjadi sindroma gawat napas ditemukan kecil sekali, kecuali bila
ibu menderita diabetes. Kalau rasio lesitin-sfingomielin antara 1,5 sampai
2, maka sindroma gawat napas ditemukan pada 40% kasus, dan kalau
dibawah 1,5 ditemukan pada 73% kasus. Meskipun 73 bayi mengalami
sindroma gawat napas kalau rasio lesitin-sfingomielin dibawah 1,5 tetapi
yang terbukti fatal hanya pada 14%.

b. Komponen-komponen minor surfaktan

Pada tahun 1973, Nelson dan Lawson melaporkan hasil evaluasi terhadap
konsentrasi total phospholipid phosphorus dalam cairan amnion dengan
ekstrak lipid total yang dipresipitasi menggunakan aseton dingin. Hasil

8
presipitasi ini dihancurkan dengan sulfuric acid yang menyebabkan
lepasnya inorganic phosphorus, kemudian diukur dengan
spectrophotometry.

Penelitian ini mendapatkan bahwa bila konsentrasi total phospholipid


phosphorus lebih dari 0,140 mg/dl tidak satupun ditemukan terjadi
sindroma gawat napas di antara 150 neonatus. Sementara bila konsentrasi
total phospholipid phosphorus kurang dari 0,140 mg/dl ditemukan
sindroma gawat napas pada 12 antara 37 neonatus.

Pada tahun 1972 dan 1973, Nelson dan Lawson melaporkan pemakaian
konsentrasi lesitin dalam cairan amnion sebagai indeks untuk menilai
maturitas paru-paru janin. Sampel cairan amnion disentrifugasi pada 1.500
rpm selama 10 menit supernatant yang diasilkan diperiksa dengan thin-
layer chromatography (TCL). Bintik lesitin dan sfingomielin kemudian
dianalisis dengan menggunakan Lechitin phosphorus.

Pada penelitian awal dilaporkan bahwa didapatkan hasil dengan


prediktabilitas yang akurat dimana konsentrasi lesitin 0,100 mg tidak
satupun terjadi sindroma gawat napas dari 74 neonatus. Pada penelitian
yang kedua dilaporkan bahwa pemeriksaan ini lebih prediktif untuk
sindroma gawat napas daripada berat badan. Korelasi ini memberikan
bukti bahwa pemeriksaan ini mempunyai korelasi yang lebih baik dengan
tingkat maturitas paru-paru janin daripada dengan usia kehamilan.

Pada tahun 1974 dan 1976, Lindback dkk melaporkan penelitian mengenai
pemeriksaan lesitin cairan amnion. Setelah dilakukan ekstraksi lipid
dengan chloroform, lipid dipisahkan dengan thin-layer chromatography
(TCL). Hasil pengukuran dinyatakan dalam micromole per desi liter. Pada
pasien normal, diambil kadar lesitin sebesar 4,8 mikromole per desi liter
sebagai nilai ambang prediktif. Pada pasien dengan hipertensi atau
diabetes dan pertumbuhan janin terhambat, dari 48 neonatus dengan

9
konsentrasi lesitin diatas nilai ambang sindroma gawat napas pada 6
neonatus.

c. Fosfatidilgliserol

Walaupun lesitin merupakan komponen utama fosfolipid surfaktan paru-


paru, fosfolipid lain mungkin juga menambah aktif total surfaktan.
Komponen minor fosfolipid yang terutama adalah fosfotidilgliserol dan
fosfatidilinositol. Pada tahun 1976, Hallman dkk menemukan adanya
korelasi antara persentase fosfatidilgliserol dan fosfatidilinositol dengan
usia kehamilan dan rasio lesitin-sfingomielin pada 66 spesimen yang
didapatkan dari kehamilan normal. Pada tahun 1977, peneliti lain dari
kelompok ini juga mendapatkan bahwa dalam spesimen yang didapatkan
dari aspirasi tracheal neonatus-neonatus yang mengalami sindroma gawat
napas tidak ditemukan adanya fosfatidilgliserol. Setelah usia kehamilan 30
minggu, fosfatidilgliserol ini selalu teridentifikaasi pada neonatus yang
tidak mengalami sindroma gawat napas.

Pada tahun 1977, Cunningham dkk melaporkan tidak teridentifikasinya


fosfatidilgliserol dan sampel cairan amnion yang didapatkan dari
kehamilan resiko tinggi dengan usia kehamilan 34-37 minggu. Pada tahun
1978, Golde melaporkan hasil pemeriksaan terhadap fosfatidilgliserol pada
sampel cairan amnion dari 215 pasien melahirkan bayi dalam 72 jam dari
saat pemeriksaan. Pada sampel cairan amnion yang mengandung
fosfatidilgliserol tidak teridentifikasi, sindroma gawat napas terjadi pada 4
neonatus.

Whittle dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa kerja surfaktan yang
tidak cukup untuk mencegah sindroma gawat napas, sekaligus rasio
lesitin- sfingomielin adalah 2, dianggap disebabkan sebagaian oleh
kurangnya fosfatidilgliserol dan peninggian permukaan aktif.
Ditemukannya fosfatidilgliserol didalam cairan amnion memberikan

10
jaminan yang cukup besar, tetapi tidak harus merupakan garansi absolut,
bahwa sindroma gawat napas tidak akan timbul. Fosfatidilgliserol belum
ditemukan di dalam darah, mekonium, atau secret vagina, karena itu
kontaminan-kontaminan ini tidak akan mengacaukan interpretasi. Tidak
adanya fosfatidilgliserol tidaklah harus merupakan indikator kuat bahwa
sindroma gawat napas kemungkinan akan timbul setelah lahir, tidak
adanya fosfolipid ini hanya menunjukan bahwa bayi tersebut mungkin
akan mengalami sindroma gawat napas.

Uji aglutinasi imunologi cepat (dalam 15 menit) (Amniostat-FLM) untuk


mendeteksi fosfatidilgliserol dalam sampel cairan amnion, mempunyai
keakuratan yang tinggi, dan dengan demikian dapat dipakai untuk
menemukan ketidakmungkinan neonatus akan mengalami sindroma gawat
napas. Hal ini telah dibuktikan secara memuaskan oleh Garite dkk pada
tahun 1983.

d. Phosphatidate Phosphohydrolase (PAPase)

Herbert dkk melaporkan aktivitas spesifik dari enzim phosphatidate


phosphohydrolase (PAPase) dalam cairan amnion. Enzim ini telah
diketahui terdapat dalam badan-badan lamellar pada pneumosit tipe II
peningkatan aktivitas enzim phosphatidate phosphohydrolase berkaitan
dengan sintesis surfaktan pada kehamilan. Enzim ini diduga merupakan
faktor kritis dalam produksi lesitin dan fosfatidilgliserol.
Penelitian ini meliputi 223 kehamilan, sampel cairan amnion didapatkan
melalui amniosintesis transabdominal dan bebas dari kontaminasi darah
dan mekonium. Aktivitas enzim phosphatidate phosphohydrolase
didapatkan seiring dengan usia kehamilan dan mempunyai korelasi dengan
sindroma gawat napas. Dari 53 neonatus yang lahir beberapa waktu setelah
pemeriksaan dengan level kurang dari 50, sepuluh diantaranya didapat
terjadi sindroma gawat napas, sementara dari 170 neonatus dengan level
50 atau lebih, terjadi sindroma gawat napas pada 1 kasus.

11
e. P/S Ratio

O’Ne’il dkk melaporkan hasil pemeriksaan palmitic acid / stearic acid


ratio (P/S Ratio) pada sampel cairan amnion dari 64 pasien. Pada 31
diantara pasien-pasien ini, kehamilan dengan komplikasi diabetes mellitus.
Setelah dilakukan ekstraksi lipid dan thin-layer chromatography (TLC),
bintik lesitin diekstraksi, hidrolisasi, dan metilasi. Ester yang dihasilkan
diekstraksi, redissolved, dan diperiksa dengan gas-liquid chromatography.
Nilainya dibandingkan dengan metal ester asam lemak murni standar.

f. Foam Stability Test (Tes Busa)

Metode pemeriksaan ini menawarkan hasil lebih yang cepat didapatkan,


mudah dilakukan, reagensia yang mudah didapatkan Foam Stability Test
atau uji stabilitas busa, metode pemeriksaan ini diperkenalkan pertama kali
oleh Clements pada tahun 1972, disebut juga shake test atau uji kocok,
sekarang dipakai secara luas.

Kelemahan utama yang tampak pada pemeriksaan ini adalah tingginya


hasil negatif palsu dan keakuratan-nya masih perlu dipertanyakan pada
kehamilan-kehamilan resiko tinggi. Pemeriksaan ini tergantung pada
kemampuan surfaktan dalam cairan amnion, kalau dicampur dengan etanol
dalam jumlah cukup, untuk menimbulkan busa yang stabil. Teknik ini
memerlukan tidak lebih dari 30 menit untuk mengerjakannya.

Ke dalam tabung kaca 13x100 yang bersih secara kimiawi dengan tutup
sekrup plastic berlapis Teflon, dimasukan cairan amnion 0,5 ml, saline
0,9% sebanyak 0,5ml, dan etanol 95% sebanyak 1 ml dimasukan kedalam
tabung lain. Masing-masing tabung dengan dikocok kuat selama 15 detik
dan ditempatkan tegak di rak selama 15 menit. Bertahannya cincin utuh
gelembung pada interface udara-cairan setelah 15 menit dianggap sebagai
uji positif.

12
Kalau cincin busa bertahan selama 15 menit, resiko terjadinya sindroma
gawat napas sangat rendah. Misalnya, Schlueter dkk (1975) hanya
menemukan satu kasus sindroma gawat napas dari 205 kehamilan dengan
uji positif untuk cairan amnion yang dilarutkan dengan volume salin yang
sama. Tetapi ada 2 masalah pada uji coba ini :
 Kontaminasi sedikit saja cairan amnion, reagen, atau alat kaca, atau
kesalahan pengukuran, dapat merubah hasil yang cukup jelas.

 Uji negative palsu agak sering terjadi, yaitu kegagalan cincin busa untuk
tetap utuh selama 15 menit di dalam tabung berisi cairan amnion yang
diencerkan

Pemeriksaan dengan shake test ini, penting diperhatikan kemurnian


reagensia dan kontaminasi sampel cairan amnion dengan darah atau
mekonium dapat menyebabkan hasil positif palsu.
SHAKE TEST

Positif
gelembung >
2/3
1 ml Alkohol
95% Intermedi
ate
O,5 ml NaCl gelembun
0,9% g 1/3- 2/3
0,5 ml cairan Negatif
amnion gelembung
< 2/3

Kocok 15 Diamkan tegak lurus


detik 15 menit

G. Test of Optical Density

13
Pada tahun 1977, Sbarra dkk mendapatkan bahwa derajat penyerapan
cahaya dengan panjang gelombang 650 nm telah dilaporkan berkorelasi
baik dengan rasio lesitin-sfingomielin di dalam cairan amnion. Pada tahun
1983, Tsai dkk melaporkan uji ini paling informative pada penyerapan
tinggi; tetapi diantara kedua ekstrim tersebut, nilai positif palsu dan negatif
palsu terbukti mengganggu. Selain itu, Khouzami dkk (1983) melaporkan
bahwa perbedaan sentrifugasi mengubah penyerapan cahaya cukup besar
oleh cairan amnion.

Yang paling sering dipakai adalah pengukuran optical density dari cairan
amnion pada 650 nm. Walaupun pemeriksaan ini mudah dan cepat, hasil
pemeriksaan dipengaruhi oleh variasi volume cairan amnion.

Pada tahun 1977, Sbarra dkk melaporkan adanya korelasi optical density
cairan amnion pada 650 nm (OD 650) setelah disentrifugasi pada 2.000 x
g selama 10 menit dengan rasio lesitin-sfingomielin. Pada penelitian ini,
hasil pengukuran dibandingkan dengan metode modifikasi Borer. Semua
sampel dengan OD650 > 0,15 menunjukan rasio L/S < 2, dan 41 dari 59
pasien dengan 300 sampel, 2 dari 136 sampel dengan hasil > 0,15
mempunyai rasio L/S < 2 dan 13 dari 164 sampel dengan hasil < 0,15
mempunyai rasio L/S > 2,0.
Copeland dkk juga melaporkan hasil penelitian dengan metode
pemeriksaan ini terhadap 87 sampel, dan menunjukan korelasi dengan
rasio L/S. Tidak ditemukan hasil positif palsu, tetapi didapatkan negatif
palsu sebesar 40%.

H. Microviscosity
Metode pemeriksaan ini dapat memberikan hasil yang cepat, dan
tekniknya sederhana dan mudah dilakukan, tetapi kekurangannya adalah
instrument dan reagen-nya mahal. Pemeriksaan ini sering juga disebut
pemeriksaan polarisasi fluoresen atau mikroviskometri.

14
Pada tahun 1976, Shinitzky dkk memperkenalkan pemeriksaan dengan
mengukur microviscosity cairan amnion. Metode pemeriksaan ini
didasarkan pada pengukuran jumlah depolarisasi oleh fluoresen spesifik
yang dilarutkan dalam lipid cairan amnion. Sebagai suatu pengukuran dari
viskositas, pemeriksaan ini merefleksikan aktifitas tegangan permukaan
cairan dan dinyatakan sebagi nilai P.

Pada penelitian awal meliputi 47 sampel, nilai P sampel cairan amnion


kurang lebih 0,400 sampai 0,200 dengan usia kehamilan lanjut. Pada
publik selanjutnya, nilai P ditentukan < 0,366 dipakai sebagai indikator
maturitas, hasil ini dibandingkan dengan rasio L/S. Pada 153 dari 161
pemeriksaan, hasilnya sesuai. Pada 8 kasus, nilai polarisasi yang
mengindikasikan maturitas paru berhubungan dengan rasio L/S kurang
dari 2.

I. Tap test

Pada tahun 1984, Socol dkk melaporkan telah melakukan penelitian untuk
menilai maturitas paru-paru janin dengan metode pemeriksaan baru yang
disebut tap test. Metode pemerksaan ini hasilnya cepat, tidak mahal, dan
hanya memerlukan 1 ml sampel cairan amnion. Cairan amnion didapatkan
melalui amniosentesis atau dari vaginal pool.

Tap test dilakukan denga cara mencampurkan kurang lebih 1 ml sampel


cairan amnion dengan 1 tetes 6N hidrocloric acid (konsentrasi hidrocloric
acid diencerkan 1:1) dan kemudian ditambahkan kurang lebih 1,5 ml
diethyl ether. Campuran ini kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi,
kemudian di-tapped tiga atau empat kali, dimana akan dihasilkan kira-kira
200-300 gelembung busa dilapisan ether. Pada cairan amnion dari janin
yang matur, gelembung busa tersebut dengan cepat timbul dipermukaan
dan pecah; pada cairan amnion dari janin yang immatur, gelembung busa
tersebut stabil atau pecah dan lambat. Pada penelitian ini tap test dibaca
pada 2,5 dan 10 menit. Jika tidak dari gelembung busa yang tinggal di
lapisan ether, hasil tes dinyatakan matur.

15
J. Amniotic Fluid Turbidity

Suatu pemeriksaan yang cepat, dengan teknik pemeriksaan yang sangat


sederhana untuk memprediksikan maturitas paru janin. Verniks kaseosa
merupakan material lemak kompleks yang terdiri dari sebaseus dan
epithelial, didapatkan pada kulit janin pada trimester III kehamilan.
Seiring dengan matangnya epidermis, verniks akan menurun daya lekatnya
pada kulit janin. Lepasnya lapisan verniks dari epidermis menyebabkan
meningkatkan partikel-partikel free floating di dalam cairan amnion dan
akibatnya meningkatkan turbiditas cairan amnion.

Turbiditas cairan amnion meningkat dengan bertambah tuanya kehamilan,


maka turbiditas cairan amnion ini dapat menjadi petunjuk tak langsung
bagi maturitas paru-paru janin. Turbiditas cairan amnion dan maturitas
paru-paru janin mempunyai hubungan yang saling berkait dengan usia
kehamilan. Stong dkk, pada tahun 1992, melakukan pemeriksaan
turbiditas cairan amnion pada 100 sampel yang didapatkan melalui
amniosentesis.

Prosedur pemeriksaan yang dilakukan : 2-5 ml cairan amnion segar


ditempatkan pada sebuah tabung reaksi 7 ml (diameter 13 ml). tabung ini
kemudian ditempatkan di depan sebuah kliping berita yang dipilih dan
digunakan utuk seluruh 100 sampel. Apabila kliping berita tersebut dapat
dibaca melalui sampel cairan amnion tersebut, maka diklasifikasikan
sebagai clear (jernih). Apabila kliping tersebut tidak dapat dibaca, maka
diklasifikasikan sebagai turbid (keruh). Seluruh sampel cairan amnion
dinilai di dalam ruangan yang sama dan dengan lampu penerang yang
sama. Kemudian dilakukan pemeriksaan rasio lesitin-sfingomielin dan
fosfotidilgliserol. Paru-paru dinyatakan matang bila rasio lesitin-
sfingomielin > 2,0 atau fosfotidilgliserol terdeteksi. Strong dkk
mendapatkan bahwa nilai prediksi positif turbiditas cairan amnion untuk

16
janin matur adalah 97%, sensifitas dan spesifitas turbiditas cairan amnion
adalah 59% dan 98%. Sensi prediksi positif dan negative untuk janin
immatur adalah 71% dan 29%. Tidak satupun dari janin yang hasil
pemeriksaan cairan amnion-nya keruh yang menderita sindroma gawat
napas atau pun memerlukan bantuan oksigen setelah lahir.

K. Ultrasonografi

Kemajuan teknologi dalam pemeriksaan ultra-sonografi telah


memungkinkan dilakukan observasi perubahan-perubahan yang terjadi
pada plasenta dalam rahim. Winsberg, Fisher dkk, Hobbins dan Winsberg,
serta Stein dkk telah memperlihatkan gambaran ultra-sonografi pada
plasenta yang matur. Secara logis, dapat diterima bahwa plasenta sebagai
“fetal” organ akan menjadi matur sejalan dengan sistem organ fetal
lainnya. Pada tahun 1979, Hobbins dkk mencoba membuat kategori fase-
fase maturisasi plasenta, untuk itu mereka mengklasifikasikan variasi
gambaran ultra-sonografi plasenta yang terjadi selama kehamilan dan
kemudian mencari korelasinya dengan rasio lesitin/sfingomielin sebagai
salah satu indeks maturitas paru-paru janin.

Klasifikasi plasenta, dibuat mulai dari Derajat 0 sampai dengan Derajat III.

Derajat 0 :
chorionic plate tampak halus, dan dengan jelas tampak sebagai garis rata.
Gambaran ini akan terlihat pada kehamilan kira-kira 12 minggu. Substansi
plasenta tampak homogen dan tidak tampak area ekhogenik. Lapisan basal
juga tampak homogen dan tekstur yang sama seperti substansi plasenta.
Fase ini tampak pada trimester I dan II.

Derajat I :
Plasenta menunjukan perubahan paling awal dari proses maturasi-nya,
yaitu chorionic plate tampak sebagai garis yang rata tetapi dengan

17
beberapa undulasi. Beberapa ekhogenik area tampak pada substansi
plasenta, sehingga tidak lagi tampak homogen. Tidak ada densitas yang
terlihat di lapisan basal. Fase ini biasanya didapatkan mulai dari kehamilan
30-32 minggu dan terus sampai kehamilan aterm.

Derajat II :
Perubahan terjadi pada tiga zona, yaitu chorionic plate lebih banyak tanda-
tanda identitas. Substansi plasenta tampak terpisah dan tidak komplit oleh
gambaran linear echogenic atau comma like echgenic densities. Pada fase
ini linear echogenic densities tidak mencapai lapisan basal. Area
ekhogenik dalam substansi plasenta tampak bertambah jumlahnya dan
ukurannya lebih besar dari Grade I.

Derajat III : merupakan gambaran plasenta yang matur. Chorionic plate


tampak terputus-putus oleh identitas, dimana memanjang kelapisan basal
dan mungkin memperlihatkan septa inter-kotiledon. Substansi plasenta
menjadi terpisah dalam beberapa kompartemen yang mungkin adalah
batas kotiledon. Bagian tengah dari kompertemen ini menunjukan area
kosong, padat, bentuk tidak teratur, area ekhogenik tampak dekat ke
chorionic plate. Area ekhogenik pada lapisan basal menjadi lebih besar,
lebih padat, dan menyatu.

Plasenta 129 pasien dilakukan gradasi plasenta. Delapan puluh enam


pasien termasuk klasifikasi Derajat I atau lebih dan seluruhnya diukur
rasio lesitin/sfingomielin. Didapatkan rasio lesitin/sfingomielin yang
matur (2,0) pada 68% plasenta Derajat I (21/31), 88% plasenta Derajat II
(28/23), dan 100% plasenta Derajat III (23/23). Hasil ini memperlihatkan
korelasi antara perubahan dalam proses maturasi yang terlihat dengan
pemeriksaan ultra-sonografi dan maturasi paru-paru janin yang didasarkan
pada rasio lesitin/sfingomielin.

18
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

19
 Pematangan paru intrauterine meliputi empat periode, yaitu periode
pseudoglandula, periode kanalikuler, periode sakus terminalis, dan periode
alveolaris.
 Pada suatu keadaan dimana kehamilan harus diakhiri atau harus menunda
persalinan, maka sangat penting untuk menentukan dengan tepat maturitas
paru-paru janin. Maturitas paru-paru janin sangat erat kaitannya dengan
terjadinya sindroma gawat napas.
 Penggunaan hasil analisis terhadap cairan amnion telah diterima secara luas.
Pada dasarnya pemeriksaan tersebut untuk memeriksa maturitas surfaktan
yang disekresikan ke dalam cairan amnion. Maturitas surfaktan dinilai
berdasarkan komposisi komponen-komponen aktif surfaktan. Dari sekian
banyak metode pemeriksaan untuk memprediksi maturitas paru-paru janin,
yang dianggap sebagai “gold standard methode” adalah pemeriksaan rasio
lesitin/sfingomielin. Tetapi pemeriksaan ini belum memenuhi kriteria sebagai
metode pemeriksaan yang ideal. Metode pemeriksaan yang ideal menurut
para peneliti adalah cepat, tekniknay mudah dilakukan, tidak mahal, dan
memberikan hasil dengan akurasi yang tinggi. Sampai saat ini masih terus
dikembangkan berbagai metode pemeriksaan yang ideal untuk memprediksi
maturitas paru-paru janin.

20

Anda mungkin juga menyukai