Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Memandangi sisi gelap dunia. Semakin terasa akan sebuah kerancuan


dalam hidup. Tidak ada alasan lain yang menyebabkan hal tersebut terjadi, kecuali
karena memudarnya iman umat islam sekarang ini. Kehidupan mereka terus saja
berlanjut tanpa mereka arahkan dengan ajaran islam yang terkandung dalam
wahyu Allah. Yang ada dalam pikiran mereka semua hanyalah akan hasil yang
sejatinya hanya sebatas sementara akan mereka rasakan dan dapatkan.

Contoh konkretnya kita ambil masalah Pernikahan. Suatu hal yang sering
menjadi bagian dari kehidupan para insan selama di dunia ini. Akan tetapi sangat
disayangkan, pernikahan yang terjadi sekarang kebanyakan adalah pernikahan
dalam perbedaan agama. Kenyataannya sampai saat ini, pernikahan salah aturan
ini semakin lama menjadi gejala yang semakin umum di dalam kehidupan
masyarakat di negeri ini. Dengan semakin banyak dan semakin diterimanya
pernikahan beda agama di negara yang konon katanya merupakan negara dengan
jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia dan adanya fakta bahwa terjadi
pro kontra di dalam kalangan umat Islam sendiri dalam menyikapi masalah
pernikahan beda agama ini. Karena hal tersebutlah, maka patutlah hal ini ditulis.
Agar tak berlangsung akan kesalahan yang telah terlampau dibiarkan terjadi ini.

Sebagai umat yang mengaku beragama Islam, beriman kepada Allah dan
juga beriman kepada kitab suci Al Qur’an. Maka sudah selayaknya Al Qur’an
yang dijadikan sebagai referensi utama. Sebelum bertindak yang hanya berkaca
pada suatu kebiasaan belaka. Demi keselamatan umat islam selanjutnya.

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka makalah ini secara husus membahas


permasalahan sebagai berikut:

1. Apa itu nikah, tujuan dan fungsinya?

2. Apa yang dimaksud dengan dalam perbedaan agama?

3. Bagaimana alqur’an dan al-hadist menyikapi pernikahan beda agama ini?

4. Dampak negative dari pernikahan dalam perbedaan agama

1.3 Tujuan Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, tersimpan berbagai tujuan yang sangat


penting untuk umat islam, khususnya masyakat Indonesia. Terutama kita sebagai
generasi islam yang memiliki amanah untuk terus memperjuangkan nilai-nilai
yang terkandung didalam al-Qur’an dan al-Hadist dalam pelaksanaan prilaku
sehari-hari juga tentang hokum-hukum yang terkait dengan ajaran dalam al-kitab
dab as-sunnah. Maka, karena hal tersebuit. Perlulah kiranya kita sebagai pemuda
islami kembali mencoba lebih memahami apa yang yang terkandung dalam islam.
Terutama tentang pernikahan yang memang tidak kan menjadi luput akan menjadi
bagian dari hidup kita.

Mengklarifikasi pengertian diatas maka, tujuan penulisan ini adalah:

1. Mengetahui pengertian nikah, tujuan serta manfaatnya bagi setiap insan dalam
kehidupannya.

2. Mengetahui apa yang harus kita lakukan ketika dihadapkan pada permasalahan
atau pada suatu hal yang berhubungan dengan masalah pernikahan

3. tidak membiarkan serta tidak mempraktekkan apa yang telah menjadi larangan
didalam kitab al-Qur’an

2
1.4 Manfaat Penulisan

Sudah terlampau banyak hal yang menjadi larangan terjadi di dunia ini,
khususnya di Indonesia. Termasuk tentang nikah. Atau dalam pernikahan. Sudah
banyak umat yang tidak memperhatikan al-qur’an dan al-hadist sebagai tuntunan
bagi setiap gerak dan tingkah dalam hidupnya. Sehingga tak ayal, terjadilah
keamburadulan dalam kehidupannya.

Maka dari hal itu, penulisan ini, guna untuk mengajak semua umat islam
untuk kembali menyadarkan dirinya, kembali menatap serta mengilhami isi dalam
al-qur’an dan al-hadist. Agar apa yang akan mereka sikapi tidak salah kaprah
dalam kacamata agama mereka sendiri. Termasuk, dalam memilih calon
pendamping hidup. Suami atau isteri-isteri mereka. Dimana dalam ajaran islam,
yang pantas menjadi pendamping mereka adalah yang seagama dengan diri
mereka.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Nikah

Arti Nikah Menurut bahasa: berkumpul atau menindas. Adapun menurut


istilah Ahli Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah aqad, yang dengannya
menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut
arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah.
Adapun menurut Ulama Fiqih, Nikah ialah aqad yang di atur oleh Islam untuk
memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan)
dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan


adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan


masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang
berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga
oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan
memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin
adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.

2.2 Hukum dan Pelaksanaan Nikah

Hukum nikah menurut asalnya (taklifiyah) adalah mubah. Yakni tidak


mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa
bagi orang yang meninggalkan.

4
Nikah menurut majasi (wadl’iyah) ada empat kemungkinan:

1. Kemungkinan bisa menjadi Sunnah bila Nikah menjadikan sebab ketengan


dalam beribadah. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak
mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.

2. Kemungkinan bisa menjadi wajib bila Nikah menghindarkan dari perbuatan


zina dan dapat meningkatkan amal ibadah wajib. Mendapat pahala bagi orang
yang mengerjakan dan mendapat ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.

3. Kemungkinan bisa menjadi haram bila nikah yakin akan menimbulkan


kerusakan. Mendapat ancaman siksa bagi orang yang mengerjakan dan dan
mendapat pahala bagi orang yang meninggalkan.

4. Kemungkinan bisa menjadi makruh karena berlainan kufu. Mendapat pahala


bagi orang yang meninggalkan dan tidak mendapat ancaman bagi orang yang
mengerjakan.

Menurut hukum Islam, praktik Nikah ada tiga perkara:

1. Nikah yang sah ialah: pelaksanaan akad nikah secara benar menurut tata cara
yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, dan mengetahui ilmunya. Nikah seperti
ini mendapat pahala dari Allah SWT.

2. Nikah yang sah tetapi haram ialah: Pelaksanaan akad nikah secara benar sesuai
tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan tetapi tidak mengetahui
ilmunya. Praktik nikah seperti ini jelas berdosa.

3. Nikah yang tidak sah dan haram ialah: Pelaksanaan akad nikah yang tidak
sesuai tata cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, karena tidak mengetahui
ilmunya dan praktiknya juga salah. Selain tidak benar praktik nikah seperti ini
mengakibatkan berdosa.

5
2.3 Dasar Pernikahan Menurut Agama Islam

A. Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)

"Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka


yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan."

B. Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu


pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir."

2.4 Tujuan Pernikahan Dalam Agama Islam

a. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.

Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan). Bukan
dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang seperti:
berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang
telah menyimpang jauh dan diharamkan oleh Islam.

b. Untuk membentengi ahlak yang luhur.

Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya


ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji yang
telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam
memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk
memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan serta melindungi masyarakat dari
kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para
pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka
nikahlah, karena nikah itu lebih Menundukan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa

6
(shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat
Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).

c. Untuk menegakkan rumah tangga yang islami.

Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq


(perceraian). Jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas
Allah, sebagaimana firman Allah: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka itulah orang-orang yang zhalim”. (Al-Baqarah : 229).

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan


dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-
batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan ayat di atas:
“Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dinikahkan dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk nikah kembali, jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Al-Baqarah: 230).

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri
melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya
rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap
muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, ajaran
Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal
yaitu: (a) sesuai kafa’ah; dan (b) shalih dan shalihah.

7
d. Memilih yang shalih dan shalihah

Lelaki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah dan
wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur’an: “Wanita yang
shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, olkeh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34). Menurut
Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah
ialah : “Ta’at kepada Allah, ta’at kepada Rasul, memakai jilbab (pakaian) yang
menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti
wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32).

Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, ta’at kepada


orangtua dalam kebaikan, ta’at kepada suami dan baik kepada dan lain
sebagainya”. Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan
terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat
melahirkan generasi penerus umat.

e. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah

Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan
berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga
adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadah
dan amal-amal shalih yang lain. Sampai-sampai bersetubuh (berhubungan suami-
istri) pun termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!.”
Mendengar sabda Rasulullah itu para shahabat keheranan dan bertanya: “Wahai
Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya
akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab:
“Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain
istrinya, bukankah mereka berdosa .? “Jawab para shahabat : “Ya, benar”. Beliau
bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat

8
yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim,
Ahmad dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).

f. Untuk mencari keturunan yang shalih dan shalihah.

Tujuan pernikahan diantaranya ialah untuk melestarikan dan


mengembangkan bani Adam. Allah berfirman: “Allah telah menjadikan dari diri-
diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu,
anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah
?”. (An-Nahl : 72).

Yang tak kalah pentingnya, dalam pernikahan bukan hanya sekedar


memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang
berkualitas yaitu mencetak anak yang shalih dan Shalihah serta bertaqwa kepada
Allah SWT. Keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan
tarbiyah Islam (pendidikan Islam) yang benar. Disebutkan demikian karena
banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan metodanya tidak Islami.

Sehingga banyak terlihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq


Islami sebagai akibat pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri
bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan
yang benar.

Islam memandang bahwa pembentukan keluarga merupakan salah satu


jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai
aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar
dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

2.5 Hikmah Sebuah Pernikahan

Allah tidak akan pernah memerintahkan kepada hambaNya akan suatu hal
yang tak memberi manfaat. Termasuklah suatu hal yang tak ada hikmahnya. Maka
karena itu, jika kita selalu berpedoman terhadap al-Qur’an dan al-Hadist akan kita

9
dapatkan hikmah dibalik kepatuhan kita terhadap ajaran Allah SWT. Termasuk
disini disebutkan akan hikmah dalam suatu pernikahan:

* Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman

* Memelihara kesucian diri

* Melaksanakan tuntutan syariat

* Menjaga keturunan

2.6 Nikah Berbeda Agama Ditinjau Dari Hukum Agama Islam

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya


bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam
menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan –
perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan
interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan
komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah
satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah
Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya biasa disebut sebagai
“pernikahan beda agama’’.

Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang


muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit
untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda
agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang
yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan
hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama
hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.

Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di


masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran
nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang
muslimin dan muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping

10
hidup non-muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang
mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam
yang ada.

Tak jarang hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di
kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua
pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun
argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap
dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.

Masalah pernikahan berbeda keyakinan ini sebenarnya terbagi dalam 2


kasus keadaan, antara lain:

Kasus 1: Pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan wanita muslim.

Kasus 2: Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim.

Pada kasus 1 kedua pihak ulama sepakat untuk mengharamkan pernikahan


yang terjadi pada keadaan seperti itu, seorang wanita muslim haram hukumnya
dan pernikahannya tidak sah bila menikah dengan laki-laki non-muslim Al-Quran
menjelaskan. “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Surat Al-
Baqarah Ayat 221).

Sedang pada kasus ke-2. Seorang laki-laki muslim dilarang menikah


dengan wanita non-muslim kecuali wanita ahli kitab, seperti yang disebutkan.
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi

11
mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi”.(Al-Maaidah Ayat
5).

Pada surat Al-Baqarah ayat 221 terang di jelaskan bahwa :Baik laki-laki
ataupun perempuan memiliki larangan untuk menikahi atau dinikahkan oleh
seorang musyrik dan dalam surat Al-Maidah di jelaskan kembali bagi seorang
laki-laki, boleh menikahi AHLI KITAB. Namun terdapat beberapa pendapat
bahwa ahli kitab di sini bukanlah penganut injil,ataupun taurat yang ada pada saat
ini. Ahli kitab yang dimaksudkan disini ialah mereka yang bersyahadat Mengakui
adanya ALLAH akan tetapi tidak mengakui adanya Muhammad.

Dalam Undang-undang perkawinan yang terdapat dalam kompilasi hukum


Islam yang menjadi salah satu prinsip dari suatu perkawinan ialah keabsahan,
yang artinya bahwa perkawinan tersebut dianggap sah secara hukum (negara)
apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Pengertian kata “masing-masing” dalam hal ini menurut
Sudirman tertuju kepada agama-agama yang dipeluk di Indonesia, bukannya
mengacu pada masing-masing pengantin. Dari perspektif hukum Indonesia ini
sudah barang tentu bahwa pernikahan beda agama itu dilarang dalam kerangka
hukum Islam Indonesia.

Namun akhir-akhir ini, timbul banyak pendapat baru yang secara legal
membolehkan pernikahan beda agama dengan argumen larangan kawin beda
agama dalam berbagai kitab tafsir dan fiqh dihasilkan oleh ideologi politik yang
memandang manusia dalam batas-batas agama dimana terlihat jelas bahwa
pelarangan ini untuk menjaga stabilitas, keutuhan dan terpeliharanya dar al-Islam

12
(teritori Islam). Dan salah satu yang membuat terobosan lain dalam hal
pembolehan pernikahan beda agama ialah yang dilakukan oleh Pusat Studi Islam
Paramadina, lembaga yang didirikan Nurcholis Madjid 30 Oktober 1986 silam ini
dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar pada 17 Oktober 2003
lalu berani mengeluarkan penafsiran baru atas pernikahan beda agama.

Oleh karena melihat fakta yang seperti ini, kita dapat berpendapat bahwa
sudah lama perkawinan antar agama menjadi perdebatan. Dan meskipun
pengakuan legal formal pembolehan hal ini belum tersurat, prakteknya warga
yang melakukan perkawinan beda agama terus bertambah, lantas bagaimana
sebenarnya pandangan hukum dari perspektif fiqh (baca: hukum Islam). Dalam
makalah ini akan dijelaskan global permasalahan dengan tidak bermaksud untuk
menjustifikasi mana yang benar maupun mana yang salah.

A. Perkawinan Beda Agama (Perspektif Fiqh)

Dalam hukum Islam, baik dari kandungan al-Qur’an maupun hadits


banyak menyebutkan masalah ini, dan secara tekstual terdapat tiga ayat mengenai
perkawinan muslim dengan non-muslim. Pertama, seperti dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah : 221 yang melarang dengan jelas menikahi wanita-wanita musyrik
dan laki-laki musyrik sebelum mereka itu beriman. Allah berfirman :

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu”. (QS. al-Baqarah: 221)

Asbab al-nuzul dari surat ini ialah ketika salah seorang sahabat yang
bernama Ibnu Mursyid al-Ghanawi akan mengawini seorang wanita musyrik
dengan memohon izin terlebih dahulu kepada Rasulullah sampai dua kali, setelah
kedua kali Rasulullah berdoa dan turunlah ayat ini.

13
Dari ayat ini, secara zahir jelas-jelas melarang wanita maupun laki-laki
muslim untuk menikah dengan calon pasangannya yang musyrik. Musyrik yang
dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan seseorang yang melakukan perbuatan syirik
(menyekutukan Allah) salah satu dosa paling besar, mereka semua itu haram
untuk dinikahi oleh semua umat Islam (laki-laki maupun perempuan). Kedua,
dalam surat al-Mumtahanah: 10 yang berisi larangan perkawinan wanita muslim
dengan laki-laki kafir. Teks ayat tersebut :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu


perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka”.

Walaupun teks ayat tersebut menyebutkan wanita beriman sebelumnya


telah berkumpul dengan suaminya yang kafir dan tetapi kemudian berpaling
darinya, lalu hijrah ke dalam kaum muslim. Tetapi secara tersirat jelas juga bahwa
wanita-wanita yang beriman (kuat imannya) itu haram untuk dinikahi oleh laki-
laki kafir musyrik, yang menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya “orang kafir” yang
dimaksud dalam ayat ini ialah kafir Makkah. Dan kalimat sepenggal dari
potongan ayat di atas menguatkan lagi wanita beriman yang keimanannya telah
kuat haram dinikahi oleh laki-laki kafir.

Ketiga, terdapat dalam surat al-Maidah : 5, yang kandungan ayatnya berisi


ketentuan tentang diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab, ayat tersebut
berbunyi:

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara

14
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu”

Dari ayat ini memang jelas bahwa laki-laki muslim boleh menikahi
perempuan ahli kitab. Dan setelah turunnya ayat ini, banyak sebagian sahabat
yang menikahi wanita-wanita ahli kitab, seperti Usman bin Affan kawin dengan
Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah
dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin dengan perempuan
Yahudi di Madyan, bahkan Rasulullah saw pun pernah menikahi perempuan ahli
kitab yaitu Nabi Maria Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan Sophia yang
Yahudi.

Namun masalah pernikahan ahli kitab ini terdapat masalah pokok, ialah
yang pertama siapakah yang dimaksud ahli kitab kalau dikaitkan dengan konteks
sekarang? Sebelumnya terlebih dahulu kita lihat definisi ulama mengenai ahli
kitab ini. Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh, seperti dikutip Zainun
(dosen UIN Syarif Hidayatullah), berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai
salah seorang nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan oleh Allah,
maka ia termasuk ahlul kitab. Rasyid Ridha bahkan menegaskan bahwa Majusi,
Sabian, Hindu (Brahmanisme), Budha, Konghucu, Shinto dan agama-agama lain
dapat dikategorikan sebagai ahli kitab. Namun kiranya pendapat dari Haji
Abdullah ini kami rasa lebih mewakili, beliau berpendapat, apa yang dimaksud
dengan ahli kitab ini ialah seorang yang dapat membuktikan bahwa agamanya
mempunyai kitab yang diturunkan pada seorang Rasul dari keluarga Ibrahim dan
agama itu ialah Islam, Yahudi, Nasrani serta suhuf-suhuf kepada Nabi/Rasul
tertentu. Maka yang dimaksud ahli kitab ialah mereka yang menganut keyakinan:
1) Iman dan percaya kepada Allah SWT, 2) Iman dan percaya kepada salah satu
kitab sebelum al-Qur’an diturunkan (sebelum Muhammad saw), 3) Iman dan
percaya kepada rasul-rasul Allah SWT.

Jadi kita dapat sedikit menarik kesimpulan bahwa ahli kitab itu orang-
orang yang menerima dan mempercayai kitab yang diturunkan Allah kepada

15
Rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw (al-Qur’an) itu ada. Sehingga ini sesuai
dengan konsep pernikahan yang dilakukan sahabat yang pernah nikah dengan
wanita ahli kitab, karena memang di zaman itu ahli kitab itu masih benar-benar
ahli kitab yang hidup sebelum (dekat) al-Qur’an diturunkan. Sedangkan orang-
orang (Yahudi, Nasrani) sekarang tidaklah dapat disebut sebagai ahli kitab.
Mahmud Yunus mengatakan bahwa sekarang ini tidak ada lagi ahli kitab
(kalaupun ada, itupun dalam jumlah yang sangat sedikit sekali). Terlebih sekarang
kitab mereka perjanjian lama dan perjanjian baru sudah banyak terkontaminasi
atau dalam bahasa lainnya sudah banyak campur tangan manusia.

Terakhir dapat kita katakan perkawinan beda agama dalam kajian hukum
Islam dilarang dengan ketentuan yaitu pelarangan secara tegas untuk wanita dan
laki-laki muslim yang haram untuk menikahi orang kafir. Kedua, mengungkapkan
pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan laki-laki non-muslim, ketiga
ialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita yang benar-benar ahli
kitab.

B. Perkawinan Beda Agama (Perspektif UU Perkawinan dan KHI)

Dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) diakui adanya perbedaan hukum


perkawinan dari agama-agama yang berbeda. Akibatnya di Indonesia ada
pluralitas hukum perkawinan yang berbeda satu dengan lainnya dan telah
mendudukkan hukum berbagai agama di bidang perkawinan. Dalam hal ini UU
Perkawinan menggunakan istilah “Perkawinan Campuran” yang telah sesuai
dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 (kebebasan beragama) yang mengakui adanya
pluralitas agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka perkawinan campuran
dalam negara ini disebabkan oleh bertemunya dua atau lebih sistem hukum
perkawinan yang berlainan sesuai dengan perbedaan agama atau perbedaan
kewarganegaraan.

UU No. 1 tahun 1974 mengatur perkawinan campuran secara tersendiri


dan menganggap perkawinan itu sah apabila dilaksanakan menurut hukum

16
masing-masing agamanya, yang sesuai dengan pasal 60 ayat (1) sesuai dengan
tata cara hukum agama suaminya.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 yang


diberlakukan berdasarkan instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 disebutkan
bahwa “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seseorang pria dan wanita
karena wanita tersebut tidak beragama Islam”. Larangan perkawinan antara
agama sebagaimana hal ini didasarkan kepada mashlahah dengan tujuan untuk
memelihara agama, jiwa, harta, kehormatan, serta keturunan. Para ulama
Indonesia sepakat untuk melarang perkawinan beda agama karena
kemudharatannya lebih besar daripada manfaat yang ditimbulkannya.

Perkawinan beda agama telah menyebabkan anak-anak yang dilahirkan


dari perkawinan itu banyak yang menganut hukum agama ibunya daripada agama
bapaknya. Selain dari itu, dari perkawinan antar agama dapat meresahkan karena
hubungan silaturrahim antar keluarga menjadi putus. Oleh karena
kemudharatannya lebih besar yang ditimbulkan dari perkawinan antar-agama
cukup besar daripada manfaatnya, maka sudah selayaknya ketentuan tersebut
dalam pasal 40 KHI Indonesia tetap dipertahankan.

Dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria atau wanita Islam


dengan wanita atau laki-laki tidak beragama Islam ijma ulama Indonesia tentang
masalah ini harus tetap dipertahankan dan harus ditingkatkan dalam peraturan
perundang-undangan dimasa yang akan datang.

ANALISIS

Konsep nikah beda agama di dalam negara Indonesia tidak diperbolehkan


(karena perspektif bahwa beda agama yang dimaksudkan adalah nikah antara
orang Islam dengan orang Nasrani).

Dilihat dari mafsadat-maslahat-nya, seorang laki-laki muslim yang


menikah dengan perempuan yang bukan dari kalangan muslim akan mengalami

17
kesulitan dalam melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab, yaitu mendidik
anak-anaknya secara Islam, karena kesempatan bergaul anak-anak lebih banyak
dengan ibunya. Kesulitan itu akan diperparah lagi apabila istrinya (ibu anak-anak)
masih fanatik terhadap agamanya.

Sedangkan dilihat dari segi sosial, perkawinan beda agama seringkali


dijadikan media oleh orang-orang bukan muslim untuk melakukan pemurtadan.

60. Al Mumtahanah

Perlakuan terhadap wanita-wanita mukmin yang masuk Daerah Islam

10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu


perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali

18
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta
mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah
mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

5. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402]
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu
telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.

2.7 Dampak Negatif Pernikahan Antar-umat Berbeda Agama

Menikah merupakan sebuah kebutuhan pokok setiap mahluk yang


bernyawa (hidup). Bukan hanya manusia, jin, iblis, dan syetan juga perlu

19
melestarikan keturunan dengan cara menikah. Hewan dan tumbuh-tumbuhan yang
dikenal mahluk tak ber-akal, ternyata juga perlu menikah.

Esensi dari sebuah penikahan itu, sebenarnya bukan hanya sekedar


melampiaskan kebutuhan biologis belaka, tetapi melestarikan keturunan. Dalam
ajaran islam, Nabi Saw sebagai panutan memberikan penjelasan panjang lebar
seputar tujuan serta manfaat pernikahan. Bahkan, Nabi Saw juga memberikan
teladan bagaimana cara memilih kriteria pasangan sejati, agar supaya bahtera
rumah tangga benar-benar sesuai dengan manfaat dan tujuan menikah.Terkait
dengan tujuan pernikahan, hendaknya memilih kriteria calon pasangan yang
sesuai dengan ajaran agama dan keyakinan.

Sudah menjadi sebuah kewajiban bagi setiap orang yang ber-imam supaya
memilih pasangan yang se-iman. Wajar, jika al-Qur’an dan hadis, banyak
memberikan penjelasan seputar wanita atau lekaki yang akan menjadi pasangan
hidup. Allah Swt menegaskan bahwa ke-imanan (tauhid), merupakan syarat
mutlaq untuk menjadi pasangan hidup seseorang. Sebab, pernikahan itu
sebenarnya tidak hanya berlangsung di alam fana’, tetapi hingga sampai pada
kehidupan abadi (surga).

QS Yasin (36:56) yang artinya:” Mereka dan isteri-isteri mereka berada


dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan”. Namun, jika pasangan
itu tidak se-iman, maka pasangan itu cukup semasa hidup didunia.

Terkait dengan memilih pasangan, Nabi Saw mewanti-wanti kepada


pengikutnya agar jangan sampai salah pilih. Karena dampakanya kurang baik di
dalam membangun generasi unggulan, dan akan berbuntut dikemudian hari. Nabi
Saw Bersabda:

”Diriwayatkan dari Aisyah r.a., Nabi s.a.w menuturkan: ”Pilihlah tempat


yang paling benar wanita yang akan mengandung anakmu “.

Oleh karena itu, orang tua hendaknya selektif di dalam menentukan pilihan
menantunya. Belum tentu lelaki atau pemilik (benih) yang akan tertanam di dalam

20
rahim putrinya adalah benih yang bagus, sehingga membawa kebaikan bagi
banyak orang, khususnya keluarganya. Atau sebaliknya, wanita pemilik (ladang)
itu banyak hama, kuman dan virus, sehingga benihnya tidak bisa tumbuh dengan
baik dan sempurna.

Secara gamlang, Nabi Allah Swt melarang menikahi wanita (pasangan)


berbeda agama dan keyakinan. Sebagian ulama’, sepakat bahwa menikah beda
agama itu hukumnya haram, walaupun ada juga yang berpendapat bahwa menikah
dengan beda agama itu sekedar boleh. Dengan catatan, wanita yang akan dinikahi
itu termasuk bukan wanita yang menyekutukan tuhan (syirik). Akan tetapi, lebih
amannya ialah menikah dengan sesama agama dan keyakinan.

QS al-Baqarah (2:221), Allah Swt menjelaskan:” Dan janganlah kamu


menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.

Asbabun al-Nuzul ayat ini turun pada seorang sahabat yang beranama Abi
Marsad al-Ganawi. Ia datang kepada Nabi agar supaya di zinikan menikah dengan
seorang wanita yang sangat cantik dan menarik, akan tetapi wanita itu seorang
yang menyekutukan Allah SWT. Lantas ia bertanya” Wahai Rosulullah,
sesungguhnya wanita sangat cantik dan memikat hatiku” Kemudian, turunlah ayat
ini sebagai bukti larangan menikahi wanita musrik.

Ayat ini mengisaratkan betapa pentingnya pernikahan atas dasar


keyakinan dan agama. Bukan berarti, kecantikan atau ketampanan tidak penting,
akan tetapi, jika kecantikan itu jutru membawa petaka dan pidana. Maka, apa
artinya sebuah pernikahan. Oleh karena itu, Nabi Saw menjelaskan secara

21
terperinci, menikah itu hendaknya juga memperhatikan (penampilan (cantik/
ganteng), materi (cukup), nasab (keturunan) dan moral (agama). Masing-masing
yang disebutkan di atas akan saling menyempurnakan dan melengkapi menuju
rumah tangga yang bahagia dan sejahtera lahir dan batin.

Realitas dilapangan, ternyata pasangan yang telah menikah dengan meng-


atasnamakan CINTA, ternyata justru paling banyak BERCERAI. Apalagi,
pernikahan itu dengan tidak seiman, justu menyisakan duka lara. Walaupun ada
orang yang menikah beda agama dan keyakinan tidak masalah, tetapi realitasnya
banyak yang menikah berahir dengan perpisahan, serta masalah, bahkan sampai
memperebutkan hak asuh anak-anak agar mengikuti agama salah satu dari
orangtuanya. Secara tegas, islam merlarang pemeluknya menikah dengan orang
yang menyekutukan Allah SWT, seperti menyembah berhala (batu, kayu, patung),
kecuali mereka beragama samawi (langit), seperti Nasrani, Yahudi,.

Sangatlah jelas larangan tentang pernikahan antar orang yang berlainan


agama. Maka, jika kita gunakan akal sehat kita, sangatlah tidak rasional jika kita
masih akan berbelok dari arahan Allah juga nabi Muhammad dalam al-kitab dan
as-sunnahnya. Karena pada hakikatnya, petunjuk itu, tiada lain hanyalah bertujuan
untuk keselamatan umat di dunia sampai di akhirat nanti.

22
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setelah kembali mempelajari lebih detail tentang aturan islam dalam


permasalahan nikah serta hukumnya, maka sangatlah jelas pula akan suatu batasan
hubungan antara umat islam dengan umat non muslim.

Dengan itu pula, sudah jelas. Bahwa Allah melarang hubungan nikah
antara umat muslim dan non muslim guna keselamatan umat itu sendiri. Baik
keselamatan dunia dan akhirat. Serta untuk keselamatan keturunannya dan
keselamatan akan agama islam. Karena dengan benar-benar menjaga hubungan
sesama muslimlah yang akan menjadikan kita selamat.

Kita harus ingatpula akan tujuan dari nikah diatas. Dengan dampak yang
begitu memprihatinkan, jika sampai diantara kita terlampau melakukan
pernikahan dengan seseorang yang berbeda agama dengan diri kita.

Marilah kita pahami dan lihat kembali hikmah pernikahan dengan sesame
muslim yang Allah janjikan:

* Memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman

* Memelihara kesucian diri

* Melaksanakan tuntutan syariat

* Menjaga keturunan

Dengan itulah, kitapun harus patut bersyukur karena Allah telah menjaga
kita sebagai umatnya dengan segala aturannya. Marilah, kita lihat.. kembalikan
diri kita untuk hanya berpatokan pada al-Qur’an dan al-Hadist atas setiap lakon
kehidupan kita. Agar kita selamat.

23
3.2 Saran

Setelah kita mengetahui akan hukum islam dalam menyikapi masalah


pernikahan seorang umat yang berbeda agama. Maka, selayaknya kita harus
benar-benar menjaga diri kita dan bahkan tidak boleh kita melakukan hal yang
memang kita tahu bahwa hal itu sebuah larangan dari Allah SWT.

Karena sejatinya, untuk menjaga diri kita kita harus menjaga aturan agama
kita. Seiring dengan itulah, keselamatan dunia akhirat akan kita dapatkan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan,Abdul aziz (et.al). 1996 Ensiklopedi Hukum Islam. Ictiar Baru Hoeve:
Jakarta.

Al-Qur'an al-Karim

Wacana, Edisi 8, Tahun II/2001.

Hakim,M.Luqman. 1993. Deklarasi Islam tentang HAM.Risalah Gusti:Surabaya.

Ham dalam Konstitusi Indonesia, Jawahir Thontowi.Phd

2009. pernikahan beda agama tinjauan hokum islam hokum


negara.http://tafany.wordpress.com . Diakses pada tanggal 17 Januari 2014

http://andreprikitiew.wordpress.com/2012/10/08/munakahat-menurut-islam-
download-ppt-dan-word/

- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2012/11/pernikahan-beda-agama-


dalam-islam/#sthash.jiuz1JyU.dpuf

http://www.fatihsyuhud.net/2012/11/pernikahan-beda-agama-dalam-islam/

http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/status-hukum-anak-hasil-perkawinan.html

25

Anda mungkin juga menyukai