Manhaj artinya adalah lintasan dan jalan yang jelas, dan yang dimaksud disini adalah suatu
jalan dan metode yang jelas untuk mengenal sesuatu.
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan
atau jasa kebaikan.
Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang
mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur
dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan
salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30).
MANHAJ SALAF adalah suatu metode yang digunakan untuk mencapai cara yang terbaik
dalam mengikuti ajaran dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya.
Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali pada Salaf
(kejadian di masa lampau (zaman jahiliyah). Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan. (QS. an-Nisa: 22).
Contoh kata Salaf dalam hadits ucapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada
Fathimah:
،رواه مسلم
“Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah...Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu.”
(HR. Muslim 245/2).
“Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa
petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan.”
َاسَقَ ْرنِيَث ُ َّمَا َّل ِذينَ َيَلُونَ ُه ْمَث ُ َّمَالَّ ِذينَ َيَلُونَ ُه ْم
ِ ََّخي ُْرَالن
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang
mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi
tabi’ut tabi’in).
Setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas jalan mereka di sepanjang masa disebut sebagai
salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.
1
III. Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf” di kitab-kitab ulama :
“Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih
berani.”
Imam Bukhari, :
“Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku menemui
sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat
minyak rambut. Mereka memandangnya tidaklah mengapa.”
Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah.
Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan: Aku mendengar Abdullah
bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak,
“Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.”
“Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap.
Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka
menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup
bagimu apa yang membuat mereka cukup.”
(1) Memurnikan dan mengiklaskan Ibadah untuk Allah ta’ala dan memerangi kesyirikan.
(2) menjaga jamaah dibawah pemimpin muslim.
(3) Menghidupkan Sunnah, dan memerangi bid’ah.
2
A. MEMURNIKAN DAN MENGIKLASKAN IBADAH UNTUK ALLAH TA’ALA TAUHID DAN
MEMERANGI KESYIRIKAN.
1. Ikhlas dalilnya :
Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah.
Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak
bahaya”.
Ibnu Mas’ud pernah berkata pada orang yang amalannya mengada-ada, tanpa pakai tuntunan padahal niatan orang
tersebut benar-benar baik,
dan mutabaah, mencontoh kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mencakup 6 aspek :
a) Sebab ibadah.
b) Jenis ibadah.
c) Urutan ibadah.
d) Waktu ibadah.
e) Tempat ibadah.
f) Jumlah ibadah.
Imam al-Baghawi rahimahullah menukil ucapan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata,
“Setiap istilah ibadah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maka maknanya adalah tauhid.”
(lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 20)
b) Kewajiban pertama dan terakhir.
فليكن أول ما. “إنك تأتي قوما ً من أهل الكتاب: وعن ابن عباس رضى هللا عنهما أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لما بعث معاذاً إلى اليمن قال
تدعوهم إليه شهادة أن َل إله اَل هللا | وفى رواية إلى أن يوحدوا هللا
Dan dari ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya Rasuulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam
mengutus Mu’aadz ke Yaman, dan beliau bersabda padanya: “Sungguh kamu akan mendatangi
orang-orang ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), maka hendaklah PERTAMA KALI yang HARUS KAMU
SAMPAIKAN kepada mereka adalah SYAHADAT LAA ILAAHA ILLALLAH – dalam riwayat yang lain
disebutkan “SUPAYA MEREKA MENTAUHIDKAN ALLAH”-…
3
َآخ ُر َكلَ ِم ِه َلَ ِإلَهَ ِإَلا هللاُ دَ َخ َل اْل َجناة ُ قَا َل َر:َعن معاذ بن جبل قَال
ِ َ َم ْن َكان:س ْو ُل هللاِ صلى هللا عليه و سلم
Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa
sallam, “Barangsiapa yang akhir ucapannya “laa ilaaha illallah” maka dia akan masuk surga”. [HR
Abu Dawud: 3116 dan Ahmad: V/ 233 dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh
al-Albaniy: Shahih]
c) Arti Syirik :
Dalam hadits shahihain, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia bertanya pada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi
wa sallam-,
»َِِلِلِنِِدًّاِ َو ْه َِوِ َخلَقَك ِْ َ لِ«ِِأ
َِ نِتَجْ َع
َِِ ِ ِل َِ َللاِقَِا
َِِ ِع ْن َِد َ بِأَ ْع
ِِ ِظ ُِم ِِ أَىِِالذَ ْن
“Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” “Engkau membuat sekutu bagi Allah padahal Dia telah
menciptakanmu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 4477 dan Muslim no.
86).
d) Macam Syirik
Syirik ada dua jenis: Syirik Besar dan Syirik Kecil.
Syirik besar adalah memberikan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah.
seperti berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan
penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau
syaithan,
Konsekwensinya :
Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam
Neraka, jika ia meninggal dunia dalam keadaan syirik dan belum bertaubat daripadanya.
Syirik kecil adalah perbuatan yang dinamakan syirik oleh syariat tetapi dosa syirik tersebut
tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan
merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar.
bentuk ucapan
bentuk perbuatan.
Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan selain Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َف ِبغَي ِْر هللاِ فَقَ ْد َكفَ َر أَ ْو أَ ْش َرك
َ َ َم ْن َحل.
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.” [12]
Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah Radhiyallahu anhuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi
yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian
melakukan perbuatan syirik. Engkau mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu,’ dan
mengucapkan: ‘Demi Ka’bah.’” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para
Sahabat apabila hendak bersumpah agar mengucapkan:
َ َماشَا َء هللاُ ث ُ َّم ِشئْت: َوأ َ ْن َيقُ ْولُ ْوا،ب ْال َك ْع َب ِة
ِ و َر.
َ
4
“Demi Allah, Pemilik Ka’bah,” dan mengucapkan: “Atas kehendak Allah kemudian atas
kehendakmu.’” [13]
Contoh lain : berdoa kepada Allah di sisi kuburan orang shalih
Adapun contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai gelang, benang, dan sejenisnya sebagai
pengusir atau penangkal marabahaya. Seperti menggantungkan jimat (tamimah [15]) karena takut
dari ‘ain (mata jahat) atau lainnya.
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepada-Nya, jika
ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak bertaubat kepada Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ِ َّ َِّللا ََل يَ ْغ ِف ُر أ َ ْن يُ ْش َركَ بِ ِه َويَ ْغ ِف ُر َما دُونَ َٰذَلِكَ ِل َم ْن يَشَا ُء ۚ َو َم ْن يُ ْش ِر ْك ب
اَّلل فَقَ ِد ا ْفت ََر َٰى إِثْ ًما َع ِظي ًما َ َّ إِ َّن
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah
(berbuat syirik), maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48] Lihat juga [An-
Nisaa’: 116].
2. Diharamkannya Surga bagi orang musyrik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ار
ٍ صَ ظا ِل ِمينَ ِم ْن أَ ْن ُ َّعلَ ْي ِه ْال َجنَّةَ َو َمأ ْ َواهُ الن
َّ ار ۖ َو َما ِلل ِ َّ ِِإنَّهُ َم ْن يُ ْش ِر ْك ب
َّ اَّلل فَقَ ْد َح َّر َم
َ َُّللا
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya adalah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zha-lim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]
3. Syirik menghapuskan pahala seluruh amal kebaikan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
َ َِولَ ْو أ َ ْش َر ُكوا لَ َحب
َط َع ْن ُه ْم َما كَانُوا يَ ْع َملُون
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah
mereka kerjakan.” [Al-An’aam: 88]
Diriwayatkan dari Makhul, ia berkata : “Al-Qur’an lebih membutuhkan As-Sunnah daripada As-Sunnah
membutuhkan Al-Qur’an”, diriwayatkan oleh Said bin Mansur.
Diriwayatkan dari Yahya bin Abu Katsir, ia berkata : ‘As-Sunnah memutuskan (menetapkan) Al-Qur’an dan
tidaklah Al-Qur’an memutuskan (menetapkan) As-Sunnah”, diriwayatkan oleh Ad-Darimi dan Said bin Manshur.
Al-Baihaqi berkata : “Maksud dari ungkapan di atas, bahwa kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah
sebagai yang menerangkan sesuatu yang datang dari Allah, sebagaimana firman Allah.
ِ ََوأ َ ْنزَ ْلنَا إِلَيْك
ِ َّالذ ْك َر ِلتُبَيِنَ لِلن
اس َما نُ ِز َل إِلَ ْي ِه ْم
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka”. [An-Nahl/16 : 44]
Bukan berarti bahwa sesuatu dari As-Sunnah bertentangan dengan Al-Qur’an, karena sunnah yang shahihah tidak
mungkin bertentangan dengan Al Qur’an dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin dan tidak
berani menentang Al Qur’an.
5
Allah ta’ala berfirman,
“Dan dia tidaklah berbicara dari dorongan hawa nafsunya, akan tetapi ucapannya tiada lain
adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.” (QS. An Najm: 3-4)
Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan kedustaan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar
Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.
Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan
urat nadi itu. Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa. [Al Haaqah 44-47]
Dengan demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur-an dengan As-Sunnah selama-lamanya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Apa-apa yang telah disunnahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga. Sebagaimana Allah mengabarkan
kepada kita dalam firman-Nya :
ُ ير ْاأل ُ ُم
ور ُ َص ِ َّ ض ۗ أ َ ََل إِلَى
ِ َّللا ت ِ ت َو َما فِي ْاأل َ ْر
ِ اوا َّ َّللا الَّذِي لَهُ َما فِي ال
َ س َم ِ َّ ِص َراط ِ َوإِنَّكَ لَت َ ْهدِي إِلَ َٰى
ِ َ ص َراطٍ ُّم ْستَق ٍِيم
“…Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang
kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah
kembali semua urusan.” [Asy-Syura: 52-53]
Fungsi Hadits Rasulullah SAW sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu bermacam–macam. Imam
Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-
tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri’.
Agar masalah ini lebih jelas, maka dibawah ini akan di uraikan satu per satu :
1. Bayan Taqrir
Bayan al-taqrir : Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang
telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Suatu contoh hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Abu
Hurairah, yang berbunyi sebagai berikut:
َ ضِأ َ صُلَةُِ َم ْنِأَحْ َد
َِ ثِ َحتَىِيَت ََو َ ُِسلَ َمِّلَت ُ ْقبَل َ صلَىِهللاُِ َعلَ ْي ِه
َ ِو َ ِِس ُُلهلل َ قَال
ُ َِر
Artinya: “Rasulullah s.a.w telah bersabda: Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas
sebelum ia berwudhu”. (HR. Bukhari).
Hadis ini mentaqrir QS Al-Maidah (5):6 mengenai keharusan berwudhu ketika seseorang akan
mendirikan shalat. Yang artinya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki……” (QS. Al-Maidah (5): 6).
2. Bayan Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rinciaan
dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan
persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan
(takhsish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Sebagai contoh,
merinci ayat yang global :
6
َ ُ اِرأَ ْيت ُ ُمونِيِأ
ص ِلي َ صلواِ َك َم
َ
Artinya: “Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku”
. (QS. Al-Baqarah (2): 43).
Memberi kekhususan ayat yang umum
ِ م ْال
ِ خ ْن ِز
)3:ير (المائدة ُ ح ُ َت َعلَ ْي ُك
َ م ْال
ْ َم ْيت َُة وَال َّد ُم وَل ْ ح ِرِّم
ُ
Rasulullah SAW bersabda tentang halalnya dua bangkai dan dan dua darah :
ِ ان فَ ْال َكبِ ُد َو
الط َحال ِ َان فَ ْال ُحوتُ َو ْال َج َرا ُد َوأ َ َّما ال َّد َم
ِ ان فَأ َ َّما ْال َم ْيتَت ْ َّأ ُ ِحل
ِ ت لَنَا َم ْيتَت
ِ َان َو َد َم
Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang.
Dua darah itu adalah hati dan limpa. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)
3. Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud dengan Bayan Al-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang
tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.
Hadits-hadits Rasulullah yang termasuk kedalam kelompok ini diantaranya hadits tentang
penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya),
ُ َّللاُ َع ْنه
ي ا ِ َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ َر
َ ض
dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang wanita tidak boleh dimadu dengan bibinya baik dari jalur ibu atau ayah.” (H.R.Bukhari)
4. Bayan al-Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepekati oleh para ulama, meskipun
untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut defenisi (pengertian)
nya saja.
7
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah (2): 180).
MACAM-MACAM SUNNAH :
I. Sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk ucapan)
II. Sunnah fi’liyah (sunnah yang berupa perbuatan)
III. Sunnah taqririyah(persetujuan)
IV. Sunnah tarkiyah (meninggalkan sesuatu ).
1) SUNNAH QAULIYAH
Adalah sunnah yang berupa ucapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, contohnya :
م ْن ُحس ِْن ِإ ْسالَ ِم ْال َم ْر ِء ت َْر ُكهُ َما َلَ َي ْعنِ ْي ِه.
ِ
“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” [Bukhari
Muslim]
Dan jika dalam ucapan Nabi tersebut ada kata perintah (shighoh amr) maka menghasilkan hukum wajib bagi kita
untuk melakukannya, misalnya :
2) SUNNAH FI’LIYAH
a) Perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan dalam rangka ketaatan dan
pendekatan diri kepada Allah ta’ala, terbagi lagi menjadi 2 macam :
Perbuatan ketaatan yang ada dalil menunjukkan kekhususan hanya boleh dikerjakan oleh
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ; menikah lebih dari 4 istri, puasa wishol,
nikah hibah....
Hukumnya : haram bagi umatnya untuk mencontohnya dan melaksanakannya.
Perbuatan ketaatan yang tidak ada dalil menunjukkan kekhususan, misalnya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam menyukai mendahulukan bagian tubuh kanan saat bersuci,
memakai sandal dan bersisir.
Hukumnya : sunnah bagi umatnya untuk mencontoh dan melaksanakannya.
b) Perbuatan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan bukan dalam rangka ketaatan
dan pendekatan diri kepada Allah ta’ala, terbagi lagi menjadi 2 macam :
Perbuatan karena tuntutan badan, misalnya tidur, makan, minum, duduk.
Hukumnya : mubah.
Kecuali jika dalam perbuatan tersebut ada tata-cara (adab) khusus maka disyariatkan
kita melaksanakannya dengan tata cara tersebut, misalnya : makan minum dengan
tangan kanan, makan minum dengan duduk, tidur dengan miring sebelah kanan,
duduk dengan bersila setelah shalat.
Perbuatan karena menyesuaikan adat kebiasaan, misalnya memakai cincin dari perak
bagi laki-laki, duduk bersandar setelah shalat fajar, panjang rambut kepala.
Hukumnya : sunnah kita melaksanakannya disesuaikan dengan adat.
3) SUNNAH TAQRIRIYAH
Adalah sunnah yang berupa persetujuan Nabi shalallahu alaihi wa salam atas ucapan dan perbuatan
shahabat, misalnya bolehnya imam shalat sunnah makmumnya shalat wajib, halalnya binatang
“dob”(iguana), shalat sunnah setelah wudhu.
Terbagi menjadi 2 macam :
Perbuatan yang langsung disaksikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
8
Perbuatan yang tidak langsung disaksikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi
terjadi pada masa kenabiannya, misalnya bolehnya “azl”.
4) SUNNAH TARKIYAH
Adalah suatu perbuatan yang sengaja ditinggalkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Perkara-perkara yang ditinggalkan Nabi ﷺtidak lepas dari salah satu keadaan berikut,
Pertama; Nabi ﷺmeninggalkan suatu amalan/perbuatan karena pada jaman Nabi tidak pernah
terjadi sehingga tidak adanya alasan yang mengharuskannya untuk melakukannya.
Contohnya adalah perkara memerangi orang-orang muslim yang menolak membayar zakat mal
mereka.
Pada jaman Nabi tidak pernah terjadi penolakan pembayaran zakat mal, sehingga pada Nabi
pun tidak pernah memerangi orang yang tidak membayar zakat.
Terjadi pada jaman Abu Bakar as sidiq, kemudian Abu bakar melakukan peperangan kepada
mereka
Karena ada alasan yang mengharuskannya, maka perbuatan Abu bakar tidak meyelisihi sunnah
Nabi.
Inilah yang telah diamalkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika memerangi
orang-orang yang menolak membayar zakat, berbeda dengan apa yang dipahami
Umar radhiyallahu 'anhu.
Ijtihad Abu Bakr tersebut adalah amalan yang sejalan dengan konsekuensi sunnah Nabi ﷺ.
Kedua; Nabi ﷺmeninggalkan suatu perbuatan/amalan yang memiliki alasan untuk dikerjakan,
namun terdapat sebab yang menghalangi untuk dilakukannya perbuatan tersebut.
Contohnya adalah qiyam Ramadhan secara berjamaah yang beliau ﷺtinggalkan dengan sebab
kekhawatiran beliau bahwa shalat itu akan diwajibkan.
Jika sebab tersebut telah hilang dengan kematian beliau ﷺ, maka perbuatan/amalan yang telah
beliau tinggalkan adalah sebuah perkara yang masyru' (disyari'atkan) untuk dihidupkan kembali
dan tidak menyelisihi sunnahnya.
Seperti halnya perbuatan Umar radhiyallahu 'anhu yang menghidupkan kembali qiyam
Ramadhan secara berjamaah; perbuatan ini adalah perbuatan yang selaras dengan konsekuensi
sunnah Nabi ﷺ, karena terdapat dalil-dalil yang shahih tentang disyari'atkannya amalan
tersebut.
Dalam kasus seperti ini, perbuatan beliau ﷺyang meninggalkan amalan tersebut disebut
sebagai "sunnah", dan itulah yang diistilahkan sebagai "as-sunnah at-tarkiyyah".
Jika Nabi ﷺmeninggalkan sebuah amalan, walaupun terdapat alasan untuk mengerjakannya
dan tidak ada penghalang bagi dilakukannya amalan itu, maka kita harus mengetahui
bahwa beliau meninggalkannya semata-mata karena itulah sunnah yang beliau ajarkan kepada
umatnya untuk ditinggalkan.
Contohnya adalah melafazkan niat dalam ibadah, tidak adanya adzan dalam shalat 'Id, tidak
adanya shalawatan setelah adzan.
Kaedahnya : Perbuatan Nabi ﷺyang meninggalkan suatu amalan tertentu dengan adanya alasan
yang bisa menguatkan perlunya dilakukannya amalan tersebut dan ketiadaan penghalang bagi
pelaksanaannya, maka itulah sunnah dan menambahkan atau mengerjakannya adalah bid'ah.*
9
V. MEMBERANTAS BID’AH
a. PENGERTIAN BID’AH
[Definisi Secara Bahasa]
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam
Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam
Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
ُ ِسلُ ْو ِك َعلَ ْي َها ال ُمبَالَغَةُ فِي التاعَبُ ِد هلل
ُس ْب َحانَه َ ش ْر ِعياةَ يُ ْق
ُّ صدُ بِال َ ُ الدي ِْن ُم ْخت ََر َع ٍة ت
ضاهِي ال ا َ ارة ٌ َع ْن
ِ ط ِر ْيقَ ٍة فِي َ َِعب
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang
menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Beliau rahimahullah mengatakan,
ت ِ ف ْاْل ُ ام ِة ِم ْن ِاَل ْعتِقَادَا
ِ ت َو ْال ِع َبادَا ِ َسل َ سناةَ أ َ ْو إجْ َما
َ ع َ ت ْال ِكت
ُّ َاب َوال ْ َ َما خَالَف: َُو ْال ِبدْ َعة
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau
ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)
Bid’ah Idhafiyyah: ialah bid’ah yang mengandung dua unsur. Salah satunya memiliki kaitan dengan
dalil syar’i, sehingga dari sisi ini ia tidak termasuk bid’ah. Sedang unsur kedua tidak ada kaitannya,
namun persis seperti bid’ah haqiqiyyah. Jadi beda antara kedua bid’ah tadi dari segi maknanya
ialah: bahwa (bid’ah idhafiyyah) asal-usulnya merupakan sesuatu yang dianjurkan menurut dalil
syar’i; akan tetapi dari segi cara pelaksanaan, keadaan, dan detail-detailnya tidak bersandarkan
pada dalil. Padahal hal-hal semacam ini amat membutuhkan dalil, karena sebagian besar berkaitan
dengan praktik ibadah dan bukan sekedar adat kebiasaan (Mukhtasar Al I’tisham, hal 71).
Contoh kongkrit dari bid’ah idhafiyyah terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Tapi yang
paling akrab dengan masyarakat Indonesia seperti yasinan, tahlilan, shalawatan, membaca wirid
bersama selepas shalat dengan dikomandoi oleh Imam, membaca shalawat sebelum adzan dan
iqamah, mengkhususkan malam nisfu Sya’ban untuk melakukan ibadah tertentu, maulidan dan lain
sebagainya. Bahkan sebagian besar bid’ah yang kita jumpai saat ini rata-rata termasuk bid’ah
idhafiyyah. Meski demikian, bahaya yang ditimbulkannya tidak lebih kecil dari bid’ah haqiqiyyah;
bahkan lebih besar, mengapa? Karena sepintas ia merupakan taqarrub kepada Allah, hingga banyak
10
orang tertipu dengan ‘penampilan luarnya’, padahal sesungguhnya itu merupakan bid’ah yang
dibenci syari’at.
Pembagian bid’ah lainnya yang dibenarkan ialah yang didasarkan pada bahaya yang
ditimbulkannya. Ditinjau dari kadar bahayanya, bid’ah juga terbagi menjadi dua:
1. Bid’ah Mukaffirah.
2. Bid’ah Ghairu Mukaffirah.
Bid’ah mukaffirah ialah setiap bid’ah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir, keluar dari
Islam. Bid’ah ini biasanya berkaitan dengan keyakinan; seperti bid’ahnya orang-orang Jahmiyyah),
bid’ahnya Syi’ah Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariah[3]), bid’ahnya mereka yang mengingkari takdir
Allah (Qadariyyah)[4]), dan lain-lain.
Sedangkan bid’ah ghairu mukaffirah, ialah bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi
kafir, akan tetapi terhitung berdosa. Dan tentunya dosa satu bid’ah tidak sama dengan dosa bid’ah
lainnya, akan tetapi tergantung dari bentuk bid’ah itu sendiri dan keadaan pelakunya. Namun
bagaimanapun juga bid’ahnya tetap tertolak, meski orang tersebut melakukannya dengan ikhlas
dan berangkat dari kejahilan.
11
VI. TAAT KEPADA PEMERINTAH
A. JALAN MEMPEROLEH KEKUASAAN.
Melalui 3 cara :
1. Syura dipilih oleh ahlul hali wal ‘aqdi : dalil dan contohnya adalah
kepemimpinan Abu Bakar dan Utsman di pilih melalui syura.
Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah. Di dalamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َّ ِسنَّ ِة ْال ُخلَفَاء
الرا ِش ِديْنَ اْل َم ْهد ِِييْنَ مِ ْن ُ فَعَلَ ْي ُك ْم ِب،اخ ِتالَ فًا َك ِثي ًْرا
ُ سنَّتِي َو ْ سيَ َرىَ َش مِ ْن ُك ْم فْ فَإِنَّهُ َم ْن يَ ِع،ٌع ْبد َ علَ ْي ُك ْم َ َو ِإ ْن ت َأ َ َّم َر، ع ِة َّ ع َّز َو َج َّل َوالس َّْمع َو
َ الطا ِ َ هللا ِ أ ُ ْو
ِ ص ْي ُك ْم ِبت َ ْق َوى
ٌضالَلَة ة
َ ٍَ ِ ع دْ ب َّ
ل ُ ك َّ
ن إَ ف رومُ األ ت ا َ ثد م و
ِ ِ ْ ُ ِ َ َْ َ ِ َ ِ َ ِ ْ َ ُ ح م ُ
ك َّا يإو ،ِذ اج و َّ نال ب ا ه ي
ْ َ ل ع ُّوا ض ع
َ ،ِي د ع
َْ ب
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat
(kepada pimpinan) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang
berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib
bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat
petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-
kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat”. [HR
Abu Dawud dan Tirmidzi]
12
D. Rakyat tetap wajib memberikan hak penguasa dengan sebaik-baiknya,
walaupun penguasa tidak memberikan hak rakyat dengan baik.
Karena ketaatan kepada pemimpin dalam rangka melaksanakan perintah Allah, bukan karena
keadaan pemimpin tersebut, jadi tetap wajib kita melaksanakan ketaatan kepada mereka sama saja
pemimpinnya baik atau pemimpinnya dholim.
(( فما تأمرنا؟، ويمنعونا حقنا، ارأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم،" يا نبي هللا
اسمعوا وأطيعوا؛ فإنما: فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم، ثم سأله،عرض عنه َ َفأ
وعليكم ما حملتم،حملوا ُ )عليهم ما
ُ
رواه مسلم
Wahai Nabi Allah, bagaimana menurut pendapatmu, jika berkuasa atas kami para
pemimpin yang menuntut hak mereka atas rakyat, tetapi tidak memberikan hak rakyat, apa
yang Engkau perintahkan kepada kami ? Rasulullah berpaling darinya, kemudian orang
tersebut bertanya lagi, maka berkatalah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam : “ tetap
dengar dan taatilah mereka....sesungguhnya mereka akan menanggung dari perbuatan
mereka, dan kalian akan menanggung perbuatan kalian. [ HR Muslim ]
Ada 5 macam :
1) Perbuatan seorang pemimpin yang sesuai dengan nilai-nilai ketaatan kepada Allah ta’ala.
Seperti jika ada seorang pemimpin yang melaksanakan shalat berjamaah, puasa, zakat, haji, berkurban,
melarang kemaksiatan, membubarkan perjudian, menutup lokalisasi, maka wajib bagi rakyat untuk
menunjukkan loyalitas kepadanya, kecintaan dan pujian kepadanya dan membantunya dalam ketaatan,
sesuai dengan firman Allah ta’ala :at taubah 71.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
2) Perbuatan seorang pemimpin dalam hal-hal yang mubah dalam batas syariah.
Seperti seorang pemimpin yang membangun rumah yang mewah, kendaraan yang bagus, harta yang
melimpah, makanan dan minuman yang lezat.
Dengan catatan :
13
Rakyat tidak boleh mencela seorang pemimpin dalam kondisi seperti itu, karena syariat Islam tidak
mencelanya dan memberikan kelonggaran dalam permasalahan mubah dalam batas syariah.
Dalilnya :
, َو ََل َمخِ يلَ ٍة ) أ َ ْخ َر َجهُ أَبُو َد ُاو َد, ٍس َرف َ صد َّْق فِي
َ غي ِْر ْ َ َو ْالب, ْ َوا ْش َرب,َّللا صلى هللا عليه وسلم ( ُك ْل
َ َ َوت,س َ ,ِع ْن أَبِيه
ُ قَا َل َر: ع ْن َج ِد ِه قَا َل
ِ َّ َ سو ُل َ ,ب ُ ع ْم ِرو ب ِْن
ٍ شعَ ْي َ ع ْن َ َو
ي ِ علَّقَهُ ا َ ْلبُخ
ُّ َار َ َو,َُوأَحْ َمد
Dari ‘Amr Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, radhiyallāhu ‘anhum (semoga Allāh meridhai mereka)
berkata, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Makanlah dan minumlah dan berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa berlebihan (isrāf) dan tanpa
kesombongan.”
(HR Abū Dāwūd dan Ahmad dan Al-Imām Al-Bukhāri meriwayatkan secara ta’liq)
Dan juga yang perlu kita cermati, keadaan seorang penguasa terkadang berbeda dengan keadaan seorang
rakyat, penguasa membutuhkan kewibawaan, keamanan, menampakkan kemuliaan Islam, pemuliaan tamu-
tamu negara dan sebab lainnya yang membutuhkan kemewahan dan sesuatu yang lebih daripada rakyat
biasa, seperti kisah Muawiyah saat menyambut Umar di Damaskus ibukota Syam, dengan sambutan yang
sangat mewah dan diiringi pawai yang sangat besar, maka Umar pun berkomentar : “ Kisra Arab”. Setelah
dekat dengan Muawiyah maka Umar pun bertanya : “ kamu yang membuat pawai yang besar ini”. Muawiyah
: “benar wahai Amirul Mukminin”.
Umar : “telah sampai berita kepadaku, masih adanya orang-orang yang membutuhkan bantuan, yang berdiri
di depan pintumu”.
Muawiyah : “benar, masih ada orang-orang yang membutuhkan bantuan berdiri di depan pintuku.”
Muawiyah : “Kita berada di tempat, dimana intel-intel musuh sangat banyak, maka harus kita
tampakkan kewibawaan penguasa Islam yang bisa menggetarkan hati-hati mereka”. Jika Engkau
perintahkan aku untuk melanjutkan hal ini, maka siap akan aku lanjutkan, tetapi jika Engkau melarangku
pasti akan aku tinggalkan”.
Umar : “ jika benar apa yang kamu katakan, maka itu suatu pemikiran yang cerdik, dan jika batil yang kamu
katakan maka itu suatu tipuan yang halus”.
Umar : aku tidak memerintahkan dan tidak melarangnya. [ Tarikh Dimask Ibn Asakir :59/112 ]
3) Perbuatan seorang pemimpin dalam hal meninggalkan sesuatu yang sunnah (dianjurkan) dan melakukan
hal-hal yang makruh.
Seperti seorang pemimpin yang tidak mengerjakan shalat malam, tidak bisa membaca Al Qur’an, tidak
melakukan puasa sunnah. Perbuatan makruh misalnya mengakhirkan buka dan menyegerakan sahur, baik hal
tersebut berkaitan dengan dirinya sendiri atau hal-hal yang berkaitan dengan orang lain, misalnya :
pemimpin yang jadi imam shalat, mengakhirkan dari waktu awal yang utama.
Sikap seorang muslim adalah menasehati dengan baik, lembut dan sopan tanpa ada unsur celaan dan
perendahan kepada seorang pemimpin dan tetap menjaga kekuasaan dan persatuan, tidak menimbulkan
perpecahan.
Berkata Imam Al Baihaqi : Ibnu mas’ud menyalahkan Utsman karena menyempurnakan shalat di Mina
dan tidak menqosornya.
14
Berkata Alqomah : ibnu mas’ud shalat mengimami kami dan menyempurnakannya tidak mengqosor,
maka aku berkata kepadanya, kenapa Engkau melakukan sesuatu yang engkau telah menyalahkannya? Maka
berkatalah Ibnu Mas’ud : “ perselisihan itu tercela” [ Ma’rifatus sunnah dan atsar 4/260 ]
4) Perbuatan seorang pemimpin yang terkandung dosa, kedzaliman dan kemaksiatan tetapi belum sampai
ke tingkat kekafiran.
Misalnya perlindungan kepada perjudian, minuman keras, prostitusi, korupsi dan lainya. Sikap seorang
mukmin adalah :
(1) Kekafiran yang terbukti dengan jelas, nyata, terang-terangan, tersebar luas.
Berdasarkan :
15
ُ ع ِة فِي َم ْنش َِطنَا َو َم ْك َر ِهنَا َو س ْمع َو ا َ علَ ْينَا أ َ ْن بَايَعَنَا
َ َي صلى هللا عليه وسلم فَبَايَ ْعنَاهُ فَقَا َل فِي َما أ َ َخذ
ع ْس ِرنَا َ الطا ِ علَى ال ا ُّ ِعانَا الناب
َ َد
ٌ ع اْل َ ْم َر أ َ ْهلَهُ إَِلا أ َ ْن ت ََر ْوا ُك ْف ًرا بَ َوا ًحا ِع ْندَ ُك ْم ِمنَ هللاِ فِي ِه ب ُْره
َان ِ َوأ َ ْن َلَ نُن، علَ ْينَا
َ َاز َ ٍَويُس ِْرنَا َوأَث َ َرة
“Kami membaiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk mendengar dan menaati baik kami dalam keadaan
semangat maupun terpaksa, kami dalam keadaan sulit maupun lapang, bahkan atas para pemimpin yang
mementingkan diri mereka atas diri kami, serta kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang
memegangnya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang
nyata dan kalian memiliki buktinya dari Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian.Kalian mendoakan
mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan
mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Para sahabat bertanya,
‘Wahai Rasulullah, bolehkah kita menyatakan perang kepada mereka ketika itu?’ beliau menjawab:
(2) Dengan sengaja, bukan karena ketidaktahuan dan bukan karena keterpaksaan.
Berdasarkan :
ۚ اخ ذْ ن َا إ ِ ْن ن َ ِس ي ن َا أ َ ْو أ َ ْخ طَ أ ْن َا
ِ َر ب ا ن َا ََل ت ُ َؤ
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tidak sengaja.
ً س
وَل َ ََو َما ُكنَّا ُمعَ ِذ ِبينَ َحت َّ َٰى نَ ْبع
ُ ث َر
Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. [al-Isrâ’/17: 15]
Berdasarkan :
(1) Aturan dari penguasa yang mewajibkan sesuatu yang diwajibkan oleh syariat dan
mengharamkan sesuatu yang diharamkan syariat.
16
Seperti aturan wajibnya shalat jum’at berjama’ah di masjid kantor, atau wajibnya membayar zakat bagi
PNS. Larangan untuk pungli, korupsi, mabuk dan memakai narkotika.
Hukumnya : wajib bagi rakyat untuk mentaatinya karena 2 alasan, taat kepada aturan syariat dan taat
kepada aturan pemerintah.
Dalil :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul, dan ulil amri diantara
kalian.” (QS. an-Nisaa’: 59)
(2) Aturan dari pemerintah yang mewajibkan sesuatu yang disunnahkan syariat dan
mengharamkan sesuatu yang dimakruhkan oleh syariat, karena ada alasan tertentu.
Seperti aturan wajibnya bagi para pegawai untuk bersedekah tiap awal bulan setelah gajian untuk kegiatan
sosial, wajib bagi rakyat untuk shalat dhuha, maka hukumnya wajib bagi rakyat untuk mematuhi dan
mentaatinya.
Berdasarkan :
Berkata Imam Zainuddin Al Munawi : “ dalam hadits diatas menunjukkan jika Imam memerintahkan sesuatu
yang sunnah dan mubah maka hukumnya menjadi wajib”. [ faidhul qodir 4/262 ]
(3) Aturan dari pemerintah yang mewajibkan sesuatu yang dimubahkan syariat atau melarang
sesuatu yang dimubahkan syariat.
Seperti aturan wajibnya ijin edar dan sertifikat halal bagi perdagangan makanan dan obat-obatan. Aturan-
aturan dalam berlalu lintas seperti larangan mengendarai sepeda motor bagi yang belum punya SIM, aturan
dalam bepergian ke luar negri seperti larangan bepergian ke luar negri bagi yang tidak punya paspor atau
visa resmi.
(4) Aturan dari pemerintah untuk meninggalkan amalan sunnah atau mewajibkan melakukan
sesuatu yang makruh, karena ada alasan tertentu.
Seperti aturan pembatasan kuota haji dan umroh, karena khawatir kepadatan yang berlebihan. Aturan bagi
para pegawai negri tidak boleh shalat dhuha saat jam kerja, karena padatnya pelayanan kepada
masyarakat. Kewajiban untuk jaga malam/ronda bagi warga secara bergiliran untuk menjaga keamanan.
Larangan menikah pada usia dini.
Maka hukumnya : wajib bagi warga atau rakyat untuk mentaati aturan aturan tersebut, berdasarkan :
Hadits seorang wanita tidak boleh puasa kecuali atas ijin suaminya.
17
Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِّلَِبِإ ِ ْذنِ ِه
ِ ِومِ َِوزَ ْو ُج َهاِشَاهِدِِإ
َِ ص ِْ َ ّلَِيَ ِحلِِ ِل ْل َم ْرأ َِةِِأ
ُ َ نِ ت ِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin
suaminya.”
Kenapa alasannya ? karena puasa hukumnya sunnah dan taat kepada pemimpin keluarga/suami hukumnya wajib,
sama seperti itu pula hukumnya sama, jika pemimpin negara melarang warganya melakukan amalan sunnah, wajib
untuk taat kepada aturan negara tersebut.
Kisah Ammar bin Yasir berkaitan dengan hadits bolehnya tayammum bagi orang yang junub, Ammar
pernah mendengar hadits tersebut dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi Amiirul
Mukminin Umar lupa hadits tersebut.
Umar berkata :”Bertaqwalah kepada Allah wahai Ammar “. –hati-hati dalam menyampaikan hadits-
Ammar berkata : “Jika Engkau inginkan aku tidak akan menyampaikan hadits tersebut [ HR Muslim 368 ].
Kisah Abu Hanifah saat dilarang oleh penguasa untuk berfatwa, pada saat putrinya bertanya tentang
perkara agama, maka jawab Abu Hanifah : “bertanyalah kepada saudaramu Hammad, karena
pemerintah melarangku untuk berfatwa”. [ Al Intiqo’ ibn Abdil barr 169 ].
Rasulullah memerintahkan kita senantiasa taat kepada pemerintah, kecuali jika memerintahkan
dalam maksiat dan meninggalkan amalan sunnah bukanlah perbuatan maksiat.
(5) Aturan dari pemerintah atau keputusan dari pemerintah dalam permasalahan “ijtihadiyah”.
Permasalahan “ijtihadiyah” adalah permasalahan yang ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, dan
masing-masing pendapat berdasarkan dalil masing-masing, contohnya permasalahan orang-orang yang
berhak menerima zakat fitri, jumhur ulama berpendapat 8 golongan dalam surat At taubah , sedangkan
ulama yang lain berpendapat, penerima zakat fitri khusus Faqir dan miskin saja, maka jika pemerintah /
Kemenag sudah memutuskan ikut pendapat jumhuur, maka wajib bagi seluruh panitia zakat untuk
mengikutinya.
Berkata Imam Al Qorrafi : “Ketahuilah jika pemerintah telah menentukan sesuatu dalam masalah
Ijtihadiyah, maka dilarang ada perselisihan setelah adanya keputusan itu”. [ Furuuq 2/103 ]
Berkata Syaikh Utsaimin : “keputusan pemerintah, menghilangkan perbedaan pendapat, dan mencegah
perselisihan “. [ Syarh Mumti 12/318 ]
(6) Aturan dari pemerintah untuk meninggalkan yang wajib atau memerintahkan yang dosa dan
maksiat.
b. Kalau mereka memaksa....maka kita serahkan apa yang mereka inginkan, jika
kaitannya dengan “harta” dan “fisik”, boleh kita korbankan.
Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ walau mereka merampas harta kalian dan
memukul punggung kalian”. Dosa yang menanggung adalah orang yang memaksa.
Contohnya : aturan membayar pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan. Aturan harus ikut asuransi
kesehatan (BPJS). Pungutan-pungutan liar (PUNGLI)
18
VII. Hukum mengikuti manhaj salaf :
Wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti manhaj salaf didalam beragama untuk mencapai
kebenaran dalam ibadah yang bisa mengahantar kepada surga dan terhindar dari api neraka.
Karena setelah meninggalnya Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- umat Islam terpecah-
pecah, ada diantara mereka yang tetap istiqomah berpegang dengan ajaran Rasulullah –shalallahu
‘alaihi wa sallam- dan ada diantara mereka yang menyimpang dari jalan Rasulullah –shalallahu
‘alaihi wa sallam-.
- Beliau bersabda:
“Aku wasiatkan kepada kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar
dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena
sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan.
Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk.
Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan
(di dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”
[ HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, di shahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ hadits
no. 2549 ]
- Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, :
‘Sungguh akan terjadi pada ummatku, apa yang telah terjadi pada ummat bani Israil sedikit demi
sedikit, sehingga jika ada di antara mereka (Bani Israil) yang menyetubuhi ibunya secara terang-
terangan, maka niscaya akan ada pada ummatku yang mengerjakan itu.
Dan sesungguhnya bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua millah, semuanya di Neraka
kecuali satu millah saja dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang
semuanya di Neraka kecuali satu millah.’ (para Shahabat) bertanya, ‘Siapa mereka wahai
Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Apa yang aku dan para Shahabatku
berada di atasnya.’”
[ Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan, karena banyak pendukungnya/ syawahid-
nya. Di shahihkan AlBani Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah no. 1348 dan kitab Shahih Tirmidzi no.
2129 ]
PENTING :
Dalam hadits-hadits diatas jelas bahwasanya umat Islam akan terpecah pecah dan tidak
semua yang mengaku sebagai seorang muslim berada di jalan kebenaran dan tidak semua
orang yang mengaku Muslim akan masuk surga.
Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- telah memberikan solusi dan petunjuk jalan yang
benar, jalan keselamatan yang akan menghantarkan kepada surga; yaitu jalan PARA
SHAHABAT yaitu JALAN PARA SALAF.
19
A. DALIL DARI AL QUR’AN YANG MEWAJIBKAN MENGIKUTI SALAF
1. [Al Baqarah:137].
2. [Ali Imran:110].
َ َ َوأ
َعدََّلَ ُه ْمَ َجنَّاتٍَتَجْ ِري َ ُع ْنه ََ ع ْن ُه ْم
َ ََو َرضُوا َ ََُر ِض َيَللا َ انٍ سَ َْوالَّ ِذينَ َاتَّبَعُوهُمَبِ ِإح
َ َارِ َواْْلَنص
َ ََاج ِرين ِ َسابِقُونَ َاْْل َ َّولُون
ِ َمنَ َا ْل ُمه َّ َوال
ْ ُ َ ْ َ َ َين َ
َارَخا ِل ِد َفِيهَآَأبَداَذ ِلكَََالف ْوزَال َع ِظي َُم ْ َ ْ َ
ُ تحْ تهَاَاْلنه َ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
Lihatlah, Allah menyediakan surga-surga bagi dua golongan. Pertama, golongan sahabat. Yaitu
orang-orang Muhajirin dan Anshar. Mereka adalah Salafush Shalih generasi sahabat. Kedua, orang-
orang yang mengikuti golongan pertama dengan baik.
1. HR Bukhori
َاسَقَ ْرنِيَث ُ َّمَا َّل ِذينَ َيَلُونَ ُه ْمَث ُ َّمَالَّ ِذينَ َيَلُونَ ُه ْم
ِ ََّخي ُْرَالن
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang
mengiringinya (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi
tabi’ut tabi’in).
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan,
sesungguhnya sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara mutlak. Itu mengharuskan (untuk)
mendahulukan mereka dalam seluruh masalah (berkaitan dengan) masalah-masalah kebaikan”.
[I’lamul Muwaqqi’in (2/398), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002M.].
20
2. [HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad, dan lainnya
dari Al ‘Irbadh bin Sariyah].
َاحدَةَقَالُوا َ َملَّة
ِ َو ِ َملَّةَ ُك ُّل ُه ْمَفِيَالنَّ ِارَإِ َّل
َِ َس ْب ِعين
َ ٍَو َ ََوت َ ْفتَ ِرقَُأ ُ َّمتِي
َ علَىَث َ َلث َ َملَّة
ِ َس ْب ِعين َ َ ْس َرائِيلََتَفَ َّرقَت
َ علَىَثِ ْنتَي ِْن
َ َو ْ َِوإِنَّ َبَنِيَإ
صحَابِي ْ ََوأ َ ََََّللاَِقَالََ َماَأ َ َنا
َ علَ ْي ِه َّ سول َ ََو َم ْنَ ِه َيَي
ُ اَر
Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan
berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka, kecuali satu agama. Mereka
bertanya:“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Siapa saja yang mengikutiku
dan (mengikuti) sahabatku.”
Imam Ibnul Qoyyim menyatakan, bahwa Imam Malik berdalil dengan ayat 100, surat At Taubah,
tentang kewajiban mengikuti sahabat.
[ I’lamul Muwaqqi’in (2/388), karya Ibnul Qoyyim]
صلاى ا
َّللاُ َعلَ ْي ِه َ ِ ب النا ِبي ْ َ ص ْرنَا إَلَى أَقَا ِو ْي ِل أ
ِ ص َحا ِ َ فَإِذَا لَ ْم يَ ُك ْن ذَلِك,ع ِإَلا ِب ِاتبَا ِع ِه َما
ٌ ط ْو َ فَ ْالعُذْ ُر َعلَى َم ْن, سناةُ َم ْو ُج ْودَي ِْن
ُ س ِم َع ُه َما َم ْق ُّ َما َكانَ ْال ِكتَابُ أ َ ِو ال
ْ َ ا
سل َم أ ْو َو ِح ٍد ِمن ُه ْمَ َو
Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka alasan terputus atas siapa saja yang telah
mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada
perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau salah satu dari mereka.
[ Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi
‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36 dan Manhaj Imam Asy Syafi’i Fi Itsbatil Aqidah (1/129),
karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil.]
VIII. KEUTAMAAN BERPEGANG DENGAN AL QUR’AN DAN SUNNAH DENGAN PEMAHAMAN SALAF.
Akan menyelamatkan manusia dari pemahaman sesat di dunia dan akan menyelamatkan manusia dari api neraka di
akherat.
“Alif lam mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan sedikit pun padanya. Petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. al-Baqarah: 1-2)
firman Allåh:
(an-najm: 1-4)
كان جبريل ينزل على النبي صلى هللا عليه وسلم بالسنة كما ينزل عليه بالقرآن
Jibril turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sunnah sebagaimana Jibril
turun kepada beliau dengan membawa al-Quran. (HR. ad-Darimi dalam Sunannya no. 588 & al-
Khatib dalam al-Kifayah no. 12).
Hati-hati ada orang yang mengaku Islam, mengaku berpegang kepada Al Qur’an tetapi tidak
mau berpegang kepada Sunnah, sudah diramalkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :
Dalam hadis dari al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ِ ُ َعلَي ُكم ِب َهذَا الق: أَ ََل يُو ِشكُ َر ُج ٌل شَب َعان َعلَى أ َ ِري َكتِ ِه يَقُو ُل، ُأ َ ََل ِإنِي أُوتِيتُ القُرآنَ َو ِمثلَهُ َم َعه
َو َما َو َجدتُم فِي ِه، ُ فَ َما َو َجدتُم فِي ِه ِمن َح َل ٍل فَأ َ ِحلُّوه، رآن
سلا َم َك َما َح ار َم ا
َُّللا صلاى ا
َ َّللاُ َعلَي ِه َو سو ُل ا
َ َِّللا ُ أ َ ََل َوإِ ان َما َح ار َم َر، ُِمن َح َر ٍام فَ َح ِر ُموه
23
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Qur’an dan sesuatu yang sama dengan al-Qur’an.
Ketahuilah, akan ada orang yang suka kekenyangan, bertelekan di ranjang mewah, dan berkata,
“Berpeganglah kalian kepada al-Qur’an. Apapun yang dikatakan halal di dalam al-Qur’an, maka
halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram dalam al-Qur’an, maka haramkanlah. –tanpa
merujuk sunnah-
ُ سناةَ َر
س ْو ِل ِه َضلُّ ْوا َما ت َ َم ا
َ ِكت: س ْكت ُ ْم ِب ِه َما
ُ َاب هللاِ َو ِ ت ََر ْكتُ فِ ْي ُك ْم أ َ ْم َري ِْن لَ ْن ت
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya,
(yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-
Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim
wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
”Kalian akan menjumpai suatu kaum, mereka mengaku mengajak kamu kepada kitab Alloh, padahal mereka
membuang al-Qur’an ke balik punggung mereka. Maka kalian wajib berpegang kepada ilmu, jauhkan dirimu dari
perkara bid’ah, jauhkan dirimu dari mendalami perkara (berlebihan) , dan kamu wajib berpegang kepada Sunnah.”
(Sunan ad-Darimi 1/66)
“Maka, dalam hal azab kubur ini pun kita harus mengambil al-Qur’an sebagai sumber utama terlebih
dahulu. Jika al-Qur’an ada, maka hadits-hadits itu berfungsi sebagai penjelasan. Akan tetapi jika di al-
Qur’an tidak ada, kita harus menyeleksi secara ketat hadits-hadits tentang azab kubur. Apalagi yang
bercerita tentang siksaan badan sebagaimana azab neraka, al-Qur’an tidak berbicara sedikitpun tentang
siksaan badan dalam alam barzakh.”.
Jawaban :
“Dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi
dan petang , dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke
dalam azab yang sangat keras“.” (QS. Al Mu’min: 45-46)
Mari kita perhatikan penjelasan para pakar tafsir mengenai potongan ayat ini:
ع ِشيًّا
َ اِو ُ ِعلَ ْي َها
َ غد ًُّو َِ َِِضون ُ َالن
ُ ارِِيُ ْع َر
“Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini tentang adanya adzab kubur. … Pendapat inilah yang dipilih oleh Mujahid,
‘Ikrimah, Maqotil, Muhammad bin Ka’ab. Mereka semua mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan adanya siksa kubur di
dunia.” (Al Jaami’ Li Ahkamil Qur’an, 15/319)
24
Asy Syaukani –rahimahullah- mengatakan,
“Yang dimaksud dengan potongan dalam ayat tersebut adalah siksaan di alam barzakh (alam kubur). ” (Fathul Qodir,
4/705)
Fakhruddin Ar Rozi Asy Syafi’i –rahimahullah- mengatakan,
“Para ulama Syafi’iyyah berdalil dengan ayat ini tentang adanya adzab kubur. Mereka mengatakan bahwa ayat ini
menunjukkan bahwa siksa neraka yang dihadapkan kepada mereka pagi dan siang (artinya sepanjang waktu) bukanlah
pada hari kiamat nanti
Dari sunnah :
“Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam), mintalah perlindungan pada Allah dari
empat hal: [1] siksa neraka jahannam, [2] siksa kubur, [3] penyimpangan ketika hidup dan mati, [4] kejelekan Al Masih Ad
Dajjal.” (HR. Muslim)
Dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu mas’ud, datang seorang wanita kepadanya kemudian berkata :
“kamukan orangnya yang berkata bahwa Allah melaknat namishat (wanita yang mencabut rambut alis) dan Mutamishat
(wanita yang minta dicabutkan) dan Wasyimat (wanita yag mentato), Ibnu Mas’ud berkata : ya, benar. Aku telah membaca
Al-Qur’an dari awal sampai akhir tetapi aku tidak menemukan apa yang kamu katakan. Maka ibnu mas’ud berkata : ‘jika
kamu betul-betul membacanya maka kamu akan menemukannya. Tidakkah engkau membaca : “apa yang disampaikan
oleh rasul ambillah dan apa yang dilarang oleh rasul maka tinggalkanlah ” [QS. Al-Hasyr :7], aku telah mendengar
Kaum Khawarij adalah sekte pertama yang menyimpang dalam sejarah Islam. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bahkan berwasiat khusus mengenai kaum khawarij, beliau bersabda
أينما، يمرقون من اإلسلم مروق السهم من الرمية، وقراءته مع قراءتهم،تمرق مارقة على حين فرقة من أمتي يحقر أحدكم صلته مع صلتهم
لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجراً لمن قتلهم
“Mereka keluar saat terjadi perpecahan di antara umatku. Salah seorang diantara kalian (sahabat Nabi) akan
menganggap remeh shalatnya dibanding shalat mereka. Kalian menganggap remeh baca’an Al Qur’an kalian
dibanding bacaan mereka. Mereka itu keluar dari agama ini sebagaimana keluarnya panah keluar dari
busurnya. Dimanapun kalian menemui mereka, bunuhlah mereka. Karena membunuh mereka itu berpahalanya
bagi yang membunuhnya” (HR. Bukhari 3611)
Kisah perdebatan :
لما خرجت الحرورية اعتزلوا في دار و كانوا ستة آَلف فقلت لعلي يا أمير المؤمنين أبرد بالصلة لعلي أكلم هؤَلء القوم قال إني أخافهم عليك قلت
كل
Ketika kaum Haruriyyah (Khawarij) memberontak, mereka berkumpul menyendiri di suatu daerah. Ketika itu
mereka ada sekitar 6000 orang. Maka aku pun berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib: “wahai Amirul Mu’minin,
tundalah shalat zhuhur hingga matahari tidak terlalu panas, mungkin aku bisa berbicara dengan mereka kaum
Khawarij”. Ali berkata: “aku mengkhawatirkan keselamatanmu”. aku berkata: “tidak perlu khawatir”
25
فلبست وترجلت و دخلت عليهم في دار نصف النهار وهم يأكلون فقالوا مرحبا بك يا ابن عباس فما جاء بك قلت لهم أتيتكم من عند أصحاب النبي
المهاجرين واْلنصار ومن عند ابن عم النبي وصهره وعليهم نزل القرآن فهم أعلم بتأويله منكم و ليس فيكم منهم أحد ْلبلغكم ما يقولون وأبلغهم ما
تقولون فانتحى لي نفر منهم
Aku lalu memakai pakaian yang bagus dan berdandan. Aku sampai di daerah mereka pada waktu tengah hari,
ketika itu kebanyakan mereka sedang makan. Mereka berkata: “marhaban bik(selamat datang) wahai Ibnu
‘Abbas, apa yang membuatmu datang ke sini?”. Aku berkata: “Aku datang mewakili para sahabat Nabi dari
kaum Muhajirin dan Anshar dan mewakili anak dari paman Nabi (Ali bin Abi Thalib). Merekalah yang
membersamai Nabi, Al Qur’an di turunkan di tengah-tengah mereka, dan mereka lah yang paling memahami
makna Al Qur’an. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. Akan aku
sampaikan perkataan mereka yang lebih benar dari perkataan kalian”....
sampai akhir kisah yang menunjukkah penyebab utama kesesatan kaum khawarij adalah karena mereka tidak
mau mengembalikan pemahaman Al Qur’an dan sunnah kepada para shahabat.
“Dari Yahya bin Ya’mar, beliau mengatakan, “Orang yang pertama kali berbicara masalah takdir di Bashrah
adalah Ma’bad Al Juhani. Aku dan Humaid bin ‘Abdirrahman kemudian pergi berhaji –atau ‘umrah- dan kami
mengatakan, “Seandainya kita bertemu salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita
akan mengadukan pendapat mereka tentang takdir tersebut”
Kami pun bertemu dengan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang sedang memasuki masjid. Lalu kami
menggandeng beliau, satu dari sisi kanan dan satu dari sisi kiri. Aku menyangka sahabatku menyerahkan
pembicaraan kepadaku sehingga akupun berkata kepada Ibnu ‘Umar, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (panggilan
Ibnu ‘Umar –pen), sungguh di daerah kami ada sekelompok orang yang berpandangan takdir itu tidak ada, dan
segala sesuatu itu baru ada ketika terjadinya (tidak tertulis di catatan takdir dan tidak pula diketahui oleh Allah
sebelumnya –pen).
Maka Ibnu ‘Umar berkomentar, “Kalau kamu bertemu dengan mereka, beritahukan mereka bahwa aku
berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku! Demi Dzat yang Ibnu ‘Umar bersumpah dengan-
Nya, seandainya mereka memiliki emas sebanyak gunung Uhud lantas menginfaqkannya, niscaya Allah tidak
akan menerima infaq mereka tersebut sampai mereka mau beriman kepada takdir” (HR. Muslim)
Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin al-Husain al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dari jalan ‘Amr
bin Muhajir, ia berkata,
“Telah sampai informasi kepada Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah bahwa Ghailan bin
Muslim mengatakan, ‘Takdir itu tidak ada’. Maka beliau mengutus seseorang untuk memanggil
Ghailan. (Setelah datang), ia dibiarkan (tidak ditemui) selama beberapa hari. Kemudian setelah itu
dibawa menghadap beliau. ‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, ‘Ghailan, apa ini yang aku dengar
tentang dirimu?!’
‘Amr bin Muhajir memberikan isyarat agar ia tidak menjawab, namun Ghailan tetap menjawabnya,
‘Ya, wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman:
ََمنَََٱلد َّۡه ِرََلَمََۡيَكُنَش ََٗۡيَاَ َّم ۡذكُورا
ِ ََحين ِ س ِن ِ ۡ َعل
َ َّٰ ىَٱۡلن َ َََلََأَت َ َّٰى َ ََُنَََمنَنُّ ۡطفَ ٍةََأ َ َۡمشَاجََنَّ ۡبت َ ِلي ِهََفَ َج َع ۡل َّٰنَه
ۡ َه١ َس ِمي َۢ َعا ِ س ِ ۡ َِإنَّاَ َخ َل ۡقن
َ َّٰ اَٱۡلن
بَ ِصيرا٢ اَو ِإ َّماَ َكفُورا َّ ِإنَّاَ َهد َۡي َّٰنَهََُٱل٣
َ س ِبي َلََ ِإ َّماَشَا ِك ٗر
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum berupa
sesuatu yang dapat disebut. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani
yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), oleh karena itu
Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang
lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insan: 1—3)[2]
‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, ‘Bacalah akhir dari surat tersebut!’
َّٰ
ع ِليماَ َح ِك ٗيما
َ َََنَََّٱّللَََكَان شا ٓ َء َّ ه
َّ ََٱّللََُ ِإ َ َشا ٓ ُءونَََ ِإ َّ ٓلََأَنَي َ َ َو َماَت٣٠ عذَاباَأ َ ِلي َۢ َما َ ََۡع َّدََلَ ُهم َ َ ََوٱل َّظ ِل ِمينَََأ َ يَر ۡح َمتِ هِۦه
َ ِشا ٓ ُءََفَ َ يُ ۡد ِخ ُلََ َمنَي٣١
“Dan kalian tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dia memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya
ke dalam rahmat-Nya. Dan bagi orang-orang yang zalim, Ia sediakan azab yang pedih.” (al-Insan:
30—31)
Kemudian beliau berkata, ‘Bagaimana pendapatmu, wahai Ghailan?’
26
Ghailan berkata, ‘Sungguh sebelumnya aku buta lalu engkau menerangiku, aku tuli lalu engkau
membuka pendengaranku, dan aku sesat lalu engkau menunjukiku.’
Maka dari uraian ini bisa kita ambil kesimpulan, wajibnya bagi semua umat Islam untuk berpegang teguh
dengan Al Qur’an dan sunnah dengan pemahaman shahabat.
27