TEKNOLOGI PENYEMPURNAAN
Pengaruh Jarak Antar Motif Pada Proses Kreeping Menggunakan Kain Kapas
Grup : 2K3
2. Desti M, S.ST.
BANDUNG
2018
I. Maksud dan Tujuan
a. Maksud
➢ Memberikan efek mengkeret (kreping) pada kain kapas dengan menggunakan
NaOH.
➢ Untuk mengidentifikasi bagaimana sifat mengkeret kain kapas dengan
menggunakan NaOH.
b. Tujuan
➢ Untuk mengetahui hasil mengkeret pada motif kain.
➢ Mengetahui dan membandingkan efek kreping variasi jarak 0,5 cm, 1 cm, dan
1,5 cm pada motif kain.
II. Dasar Teori
Gambar diatas merupakan skema dari strukur molekul serat selulosa. Struktur
molekul diatas tersusun dari molekul selulosa yang merupakan pengulangan dari
anhidroglukosa. Pada serat kapas diatas memiliki gugus hidroksil (OH) yang
memberikan sifat kelarutan didalam air. Meskipun demikian, selulosa yang banyak
mengandung gugus hidroksil dapat bersifat tidak larut didalam air. Hal tersebut
dimungkinkan karena berat molekul selulosa yang sangat besar, juga karena
terjadinya ikatan hidrogen antar molekul selulosa yang mempersukar kelarutan
selulosa didalam air.
Gugus hidroksil tersebut selain dapat menarik gugus hidroksil dari molekul
lainnya, juga dapat menarik gugus hidroksil air. Hal tersebut membuat serat yang
mengandung banyak gugus hidroksil akan mudah menyerap air sehingga serat
tersebut memiliki moisture regain yang tinggi. Dengan kemudahan molekul air
terserap kedalam serat, menyebabkan serat mudah dicelup. Pereaksi-pereaksi oksidasi,
asam dan alkali kuat dengan disertai oksigen dari udara pada umumnya akan
menyerang bagian atom oksigennya dan memutuskannya, sehingga panjang
molekulnya lebih pendek, yang berarti menurunkan kekuatan seratnya.
2.2. Krepping
Kreping adalah membuat kain menjadi tidak rata (berkeriput). Benang dengan
puntiran tinggi memiliki kecenderungan besar untuk terbuka dan puntirannya bila
dibebaskan dari penahanya, akan tetapi bila kedua ujung benang tersebut dipegang,
sehingga pembukaan puntiran tidak dapat berlangsung sempurna, lalu saling
didekatkan maka akan terbentuk gelungan-gelungan (loops) kecil di sepanjang benang
akibat dari gaya torsional benang yang semula bertahan dan kemudian terbebaskan
saat kedua ujung benang didekatkan. Kecenderungan pembukaan puntiran pada
benang atau energi torsionalnya sangat ditentukan oleh derajat puntirannya, sehingga
semakin tinggi puntiran suatu benang maka semakin besar pula kecenderungannya
untuk terbuka dari puntiran. Pada benang yang terbuat dari serat hidrofil
kecenderungan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh sifat penggelembungannya pada
pembasahan, semakin besar penggelembungan seratnya semakin besar pula
kecenderungan benang untuk terbuka dari puntirannya.
Penggelembungan serat yang terjadi pada pembasahan mengakibatkan
mengkeret kain kearah lebarnya, akan tetapi karena pembukaan puntiran benang
tertahan oleh pinggiran kain, maka energi puntiran benang beralih dan terpakai untuk
membentuk gelungan-gelungan seperti yang telah dijelaskan diatas. Mengingat bahwa
benang pada kain tersusun dalam suatu anyaman tertentu maka pembentukan
gelungan tidak dapat berlangsung sempurna sehingga menimbulkan suatu efek
gelombang atau riak pada permukaan kain yang dikenal dengan istilah krep (crepe).
Dengan demikian prinsip penyempurnaan krep adalah mengkeret benang dengan
puntiran tinggi dan kecenderungan untuk terbuka dari puntirannya, serta didasarkan
pada sifat penggelembungan serat. Berdasarkan prinsip ini maka serat dengan
penggelembungan besar di dalam air sangat baik begi pembuatan benang ataupun
krep. Selulosa yang diregenerasi banyal dipilih untuk proses ini karena
penggelembungannya yang besar didalam air (dalam keadaan basah serat rayon
memiliki volume dua kali daripada volumenya dalam keadaan kering absolut).
2.1.1 Penyempurnaan Krepping Pada kain kapas
Pada dasarnya terdapat 2 cara untuk membuat kain krep kapas, yaitu sebagai
berikut:
1. Membuat kain dengan benang-benang krep atau yang mempunyai antihan tinggi.
Pada cara ini efek krep yang terjadi tergantung dari relaksasi dari antihan
benang.
2. Penggunaan zat kimia yang dapat menyebabkan penggelembungan serat kapas.
Hasil proses kreping melalui penggelembungan setempat tidak menampakkan
efek riak seperti yang diperoleh dari penggunaan benang puntiran tinggi, meskipun
demikian ada kesamaan hal dalam efek mulur seperti yang biasa ditemui pada struktur
krep. Pembentukan krep dengan cara ini lebih merupakan hasil proses kimia dengan
menggunakan zat penggembung (swelling agent) seperti soda kostik, asam sulfat,
seng klorida.
Penggembungan setempat melalui teknik pencapan (pencapan langsung maupun
rintang) merupakan prinsip dari pembuatan krep dengan mengguanakan zat kimia.
Pada perendaman dalam air serat pada bagian yang mengandung soda kostik akan
menggelembung dan mengkeret, serta menyebabkan bagian kain lainnya kusut,
sehingga menimbulkan efek berkerut-kerut pada permukaan
2.2.2 Cara membuat krep dari kapas pada garis besarnya ada dua yaitu:
Selulosa yang menggelembung ini tidak mengalami degradasi tetapi daya serap
dan kereaktifannya menjadi lebih besar daripada semula. Reaksinya adalah sebagai
berikut :
Dengan adanya proses penggembungan serat maka bentuk kristalin dari selulosa
dan molekul-molekulnya relatif berpindah tempat satu sama lain. Akibatnya banyak
banyak gugus OH yang lebih mudah untuk dapat diakses, maka absorpsi serat
terhadap air atau zat warna bertambah.
• Kain kapas
• NaOH padat (keripik)
• Tapioka
• Zat warna reaktif
• Na2CO3
• NaCl
• Kertas HVS
• Air
• CH3COOH
• Siapkan kain contoh dan zat-zat yang diperlukan untuk membuat pasta cap
• Buat pola dikertas HVS dengan variasi jarak pola 0,5 cm, 1 cm, dan 1,5 cm
• Buat pasta cap dengan resep yang sesuai
• Cap kain dengan pasta cap yang telah mengandung soda kostik dan biarkan
selama 15 menit.
• Keringkan dahulu dengan mesin stenter
• Bilas kain dengan air dingin dan jangan digosok agar motif tidak hilang.
• Cuci dengan penetral asam asetat dengan resep yang sesuai
• Lalu cuci lagi dengan air dingin
• Selanjutnya kain dicelup dengan resep yang sesuai selama 30 menit
• Keringkan dengan mesin stenter.
3.2. Resep
Resep Kreeping
Bahan
NaOH 300 gram
Tapioka 2,5 %
Waktu 15 menit
Suhu Kamar (27°C)
Air 50 ml
Resep Pencelupan
Bahan
Zat Warna 0,5 % OWF
Na2CO3 10 g/l
NaCl 20 g/l
Waktu 30 menit
Suhu 80°C
3.7.1. Pencapan
Bahan
Suhu (°C) NaOH
Tapioka
30°C
b. Tapioka : 6%
6
x (3 x 25) = 4,5 𝑔
100
c. Kebutuhan Air : 60 ml
4.3.2. Pencelupan
a. Zat Warna : 0,5% OWF
0.5
x 27.47 = 0.013735 𝑔
1000
b. NaCl : 20 g/l
20
x 27.47 = 0.5494 𝑔
1000
c. Na2CO3 : 10 g/l
10
1000
x 27.47 = 0.2747 𝑔
Ketuaan
8 6 5
(Range 1-10)
Kerut
3 5 6
(Range 1-10)
V. Diskusi
Pada praktikum kali ini hal pertama yang dilakukan adalah menghitung
banyaknya zat yang diperlukan untuk berat kain, sesuai dengan resep yang telah
dibuat. Untuk praktikum kali ini menggunakan 2 resep, resep untuk pembuatan pasta
cap dan resep untuk pencelupan. Pasta cap dibuat dari NaOH padat yang diencerkan
dan ditambahkan pengental, dalam praktikum ini digunakan tapioka. Sedangkan
pencelupannya digunakan zat warna reaktif berwarna biru yang dilarutkan dengan air
yang ditambahkan NaCl sebagai elekrolit dan Na 2CO3 untuk membantu proses fiksasi
zat warna. Lalu dibuat juga motif pada kertas hvs dengan jarak antar motif berbeda,
digunakan untuk proses pencapan.
Untuk pembuatan pasta cap setelah dihutung untuk kebutuhan 3 kain diperlukan
NaOH padat seberat 22,5 gram dan 4,5 gram tapioka. Hal pertama yang dilakukan
setelah menimbang zat yang diperlukan adalah melarutkan tapioka dengan air.
Lalu proses pencapan dilakukan dengan menekan pasta agar masuk kedalam
serat kain menggunakan rakel. Pasta yang sudah dibuat ditaruh secukupnya pada
screen lalu ditekan dan disebar dengan rakel. Proses interaksi antara pasta yang
terbuat dari NaOH dengan area kain yang tidak tertutup motif akan
menggelembungkan penampang serat di area tersebut. Akibat dari penggelembungan
penampang akan menghasilkan kontraksi pada lebar kain. Kontraksi terjadi karena
serat yang menggelembung membutuhkan ruang yang semakin besar namun karena
telah dibuat motif penampang yang menggelembung tidak dapat bergerak/meluas
karena luas area yang ada tetap, sehingga timbul gaya antar serat yang menyebabkan
kontraksi.
Lalu kain diangkat dan cuci panas cuci dingin. Selanjutnya proses penetralan
dengan menggunakan larutan asam asetat agar kain tidak licin. Lalu dilakukan proses
pencucian lagi untuk menghilangkan sisa-sisa NaOH yang masih terdapat pada kain.
Saat kain kering dilihat dari kerutan motifnya kain dengan motif yang berjarak
0.5 cm paling berkerut, diikuti dengan kain dengan jarak motif 1 cm, dan jarak motif
1.5 cm yang kerutannya tidak begitu jelas. Efek kerut atau krep muncul karena adanya
penggelembungan yang menyebabkan puntiran terbuka namun karena luas areanya
dibatasi membuat gulungan-gulungan atau penumpukan serat yang menyebabkan
kerut. Jika jarak antar motif semakin kecil maka luas areapun semakin terbatas
sehingga kerut yang ditimbulkan akan semakin jelas, sedangkan jika jarak motif
semakin jauh memberi kesempatan serat untuk menjadi lurus karena kerutan dapat
terbagi ke serat lainnya maka serat tidak akan terlalu menumpuk dan efek
kerutnyapun samar.
Berbeda dari efek kerut, setelah diamati hasil ketuaan warna pada 3 kain uji
memberi hasil, warna motif yang memiliki jarak 1.5 cm paling tua, diikuti dengan
motif berjarak 1 cm, dan yang terakhir 0.5 cm. Penggunaan NaOH untuk
menggelembungkan serat membuat daya serap meningkat dengan semakin
membesarnya penampang serat. Kain dengan motif berjarak 1.5 cm menghasilkan
warna paling tua karena luas area yang tertutupi motif lebih besar dibanding luas area
yang terbuka, area yang tertutupi motif tidak dapat menyerap NaOH sehingga NaOH
tidak dapat berpenetrasi pada bagian tersebut. Maka NaOH akan terfokus berpenetrasi
pada bagian-bagian yang terbuka sehingga daya serap pada bagian terbuka, semakin
tinggi.
VI. Kesimpulan
1. Semakin besar jarak antar motif maka semakin tua warna motif yang timbul, yang
paling tua adalah kain dengan jarak motif 1.5 cm.
2. Semakin kecil jarak antar motif kerut atau efek krep yang timbul semakin jelas,
yang paling maksimal efek krepnya adalah kain dengan jarak motif 0.5 cm.
VII. Daftar Pustaka
Hitariyat N.M. Susyami, Mohamad Widodo, Hardiyanto. 2005. Teknologi
Penyempurnaan Kimia. Bandung: Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil.