Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

BIOTEKNOLOGI TEKSTIL
“One-Step Process for Desizing and Bleaching of Cotton Fabrics Using the Combination of
Amylase and Glucose Oxidase Enzymes”

Disusun oleh kelompok 12

Nama : Zulfa Tuzahra (16020031)


Moch Iklil Hamdani (16020082)
Nabila Dini Akmalia (16020086)
Gabriella Butar-butar (16020100)
Dosen : M. Widodo, A.T., M.Tech., P.hD.
Asisten Dosen : Maya K., S.SiT., M.T.

PROGRAM STUDI KIMIA TEKSTIL


POLITEKNIK STTT BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah berjudul “One-Step
Process for Desizing and Bleaching of Cotton Fabrics Using the Combination of Amylase and
Glucose Oxidase Enzymes” ini dengan baik. Makalah ini menjelaskan mengenai penggunaan
enzim pada proses penghilangan kanji dan pengelantangan kain, untuk tugas mata kuliah
Bioteknologi Tekstil. Tujuan dari makalah ini adalah menginformasikan hal-hal terkait proses
penghilangan kanji dan pengelantangan kain menggunakan enzim amilase dan glukosa oksidasi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak M. Widodo selaku Dosen Bioteknologi
Tekstil yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan kepercayaan yang begitu besar
termasuk kepada Ibu Maya K. selaku Asisten Dosen. Harapan penulis adalah semoga makalah
ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi penulis, dan para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan seperti ada
pepatah “tak ada gading yang tak retak”, demikian halnya dengan makalah ini. Mohon maaf
apabila makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam tutur kata maupun kelengkapan
informasi karena keterbatasan penulis dalam pengalaman. Oleh kerena itu, penulis berharap
kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga
dapat memperbaiki makalah ini agar kedepannya dapat lebih baik untuk kesempurnaan makalah
ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih, semoga hasil Makalah ini dengan judul
“One-Step Process for Desizing and Bleaching of Cotton Fabrics Using the Combination of
Amylase and Glucose Oxidase Enzymes” dapat bermanfaat.

Bandung, 3 Mei 2019

Penulis
ABSTRAK

Bakteri α amilase, banyak digunakan dalam proses desizing kain kapas grey, mengubah
kanji pati dalam benang lusi menjadi glukosa, gula pereduksi. Suatu upaya telah dilakukan,
proses desizing menggunakan enzim amilase, yang menghasilkan glukosa diubah menjadi
hidrogen peroksida menggunakan enzim glukosa oksidase. Hidrogen peroksida yang dihasilkan
dapat digunakan untuk proses bleaching pada kain kapas, dalam satu langkah. Konversi glukosa,
menjadi hidrogen peroksida, dipengaruhi oleh aerasi perendaman reaksi dan konsentrasi glukosa
oksidasi. Peningkatan signifikan dalam derajat putih dan daya serap kain, serta morfologi
permukaan kain juga diamati dalam hasil satu langkah proses desizing-bleaching menggunakan
enzim amilase-glukosa oksidasi pada kain kapas.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sebelum ditenun benang lusi dikanji untuk menambah kekuatan dan daya gesek yang
tinggi. Benang lusi yang tidak dikanji kekuatannya rendah, mudah putus sehingga
mengurangi mutu kain dan efisiensi produksi.
Kanji bersifat menghalangi penyerapan (hidrofob) larutan baik dalam proses
pemasakan, pengelantangan, pencelupan, pencapan, dan penyempurnaan khusus sehingga
jika kanji tidak dihilangkan mengakibatkan hasil proses tersebut kurang sempurna. Pada
proses pencelupan dan pencapan zat warna tidak bisa masuk kedalam serat sehingga warna
akan luntur dan tidak rata.
Penganjian benang lusi biasanya menggunakan kanji alam maupun kanji sintetik
tergantung dari jenis seratnya. Proses Desizing atau penghilangan kanji merupakan proses
awal yang dilakukan setelah proses pertenunan. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan
kanji pada kain agar tidak mengganggu proses selanjutnya. Proses Bleaching atau
pengelantangan dilakukan agar kain menjadi lebih putih. Proses desizing-bleaching pada
kain kapas biasannya dilakukan menggunakan zat kimia, akan tetapi penggunaan zat kimia
berlebih dapat menimbulkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan. Oleh karena itu
penggunaan zat kimia tersebut bisa dilakukan dengan cara lain yaitu menggunakan enzim.
Proses penggunaan enzim tersebut dilakukan satu langkah proses desizing-bleaching
menggunakan enzim amilase-glukosa oksidasi pada kain kapas. Proses menggunakan enzim
ini, diharapkan hasilnya sama atau lebih baik dibandingkan dengan proses menggunakan zat
kimia.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah kami sampaikan di atas, maka kami merumuskan
permasalahan yang akan kami bahas lebih mendalam dalam makalah ini. Rumusan masalah
tersebut ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana langkah-langkah proses satu langkah desizing-bleaching menggunakan
enzim amilase-glukosa oksidasi pada kain kapas?
2. Bagaimanakah hasil pengujian pada proses satu langkah desizing-bleaching
menggunakan enzim amilase-glukosa oksidasi pada kain kapas?

1.3. Tujuan
Tujuan kami adalah untuk menjelaskan proses desizing dan bleaching bisa dilakukan
dalam satu langkah dengan menggunakan enzim amilase-glukosa oksidasi. Hal ini bertujuan
agar proses desizing dan bleaching yang biasannya menggunakan zat kimia, dapat
digantikan oleh penggunaan enzim yang lebih ramah lingkungan dan lebih efisien karena
dilakukan satu langkah.
BAB II
DASAR TEORI

2.1. Serat Kapas


Sejak abad ke-15 sebelum masehi hingga abad ke-15 sesudah masehi, India
merupakan pusat dari industri kapas. Pada saat yang bersamaan industri kapas mesirjuga
sedang berkambang. Beberapa jenis kapas stapel panjang yang terbaiak tumbuh dilembah
sungai Nil. Di Negara Amerika serikat orang-orang India pima telah menanamkapas
sewaktu bangsa spanyol dating ke-negri tersebut.pada tahun 1796 Inggris menjadi pusat
industri kapas setelah Arkwirght dan Hargreaves menemukan alat pintal khusus (spinning
frame).
Jenis Kapas
Berdasarkan panjang dan kehalusan serat, kapas yang diperdagangkan digolongkan
dalam tiga kelompok yaitu:
1. Kapas serat panjang
Termasuk dalam kelompok ini adalah serat kapas yang panjang, halus, kuat, berkilau,
dengan panjang stapel 1-1,5 inci, misalny kapas mesir dan kapas sea island. Kapas
kelompok ini biasanya dipakai untuk benang dan kain yang sangat halus.
2. Kapas serat medium
Termasuk dalam kelompok ini adalah kapas medium yang lebih kasar dan lebih pendek
dengan panjang stapel 1,5-1 3/8 inci, misalnya kapas up land.
3. Kapas serat pendek
Terrmasuk dalam type ini adlah kapas-kapas yang pendek, kasar dan tidak berkilau
dengan panjang stapel 1 3/8 – 1 inci, misalanya kapas India, cina dan sebagian kecil
kapas timur tengah, eropa tenggara dan afrika selatan.
Produksi Kapas
Kapas merupakan satu serat yang paling banyak digunakan sebagau serat tekstil. Hal-
hal yang mendorong banyak dipakainya serat kapas adalah:
 Penemuan mesin yang dapat menghasilkan produksi serat secara masal.
 Proses merserisasi yang menghasilkan serat kapas seperti sutera.
 Proses pengkeretan secara kompresi sehingga dimensi kain/pakaian dapat stabil.
 Proses penggunaan cuci dan pakai atau proses penyetrikaan awet yang akan memperbaiki
sifat kelenyingannya.
Kapas diperoleh dari tanaman semak dengan tinggi sekitar 30-120 cm. kapas dapat
dipungut dengan tangan atau mesin. Setelah dipungut serat kapas dibersihkan (ginning),
untuk memisahkan serta dari bijinya. Serat-serat kapas yang telah dipisahkan disewbut lint,
dimanpatkan menjadi bal kapas dengan berat 400 pound. Biji-biji kapas setelah proses
pembersihan masih ditutupi oleh serat kapas yang pendek dengan panjang kira-kira 3 mm,
yang disebut linters. Linter dapat dipisahkan lagi dan dipakai sebagai bahan dasar untuk
pembuatan serat rayon atau serat selulosa asetat, sedangkan biji kapasnya dapat diremuk
untuk diambil minyaknya dan ampasnya untuk makanan ternak.
Stuktur Fisika
Kapas mentah berwarna putih kecoklatan, tiap serat merupakan sebuah sel yang
sewaktu tumbuh dari bijinya berupa pipa silinder yang berongga pada porosnya. Panjang
seratnya kira-kira 1000 kali tebalnya. Potongan melintangnya beraneka menurut kedewasaan
seratnya. Serat yang tidak dewasa berkecenderungan berbentuk u dengan dinding serat yang
sangat tipis, sedangkan serat dewasa lebih berbentuk bulat dengan rongga poros yang
sempit.Serat kapas terdiri dari kutikula, dinding primer, dinding sekunder dan lubang
lumen.Kwalitas kapas bergantung pada panjang stapel, jumlah konvolusi dan kecerahan.
Kapas berstapel tingi kira-kira memiliki 300 konvolusi setiap incinya, sedangkan serat
pendek hanya memiliki kurang dari 200 puntiran. Diameter serat kapas bervariasi dari 16-20
mikron.

Penampang membujur kapas Penampang melintang kapas

Gambar 1. Penampang Membujur dan Melintang Serat Kapas


Struktur Kimia
Analisa serat kapas menunjukan bahwa serat kapas terutama tersusun dari selulosa.
Selulosa merupakan polimer linier yang tersusun dari kondensasi molekul-molekul glukosa.

Gambar 2. Struktur Molekul Serat Kapas


Derajat polimerisasi selulosa pada kapas 2.000-10.000 dengan berat molekul
1.580.000. Hasil analisa pada serat kapas menunjukanbahwa serat kapas terdiri dari:
 Selulosa : 94,0%
 Protein : 1,3%
 Pektat : 1,2%
 Lilin : 0,6%
 Abu : 1,2%
 Pigmen dan zat lain : 1,7%

Sifat Fisika
Warna kapas tidak betul-batul putih, niasanya sedikit krem. Warna kapas akan lebih
tua setelah penyimpanan selama 2-5 tahun.
Kekuatan serat kapas terutama dipengaruhi oleh kadar sellulosa dalam serat, panjang
rantai dan orientasinya. Kekuatan serat kapas salamkeadan basah lebih tinggi dibandingkan
dalam keadan kering.
Mulur serat kapas termasuk tinggi diantara serat selulosa alam, yaitu kira-kira dua kali
mulur rami. Mulur serat kapas berkisar antara 4-17% dengan rata-rata 7% yang tergantung
dari jenisnya. MR kapas pada kondisi standar 7-8,5%. Sedangkan berat jenis serat kapas
yaitu 1.5-1,56.
Sifat Kimia
Beberapa zat pengoksidasi dan penghidrolisa akan merusak kapas sehingga
kekuatanya menjadi turun. Kerusakan karena oksidasi dengan terbentuknya oksi selulosa,
biasanya terjadi pada pengelantanganyang erlebihan, penyinaran dalam keadaan lembab atau
pemanasan yang lama pada suhu diatas 140℃.
Asam akan merusak kapas dan membentuk hidroselulosa. Alkali yang pekat akan
menyababkan penggelembungan yang besar pada serat seperti pada proses merserisasi, yang
menyebabkan serat menjadi lebih mengkilap dan kekuatannya menjadi lebih tinngi.
Pelarut yang biasa digunakan adalah kuproamonium hidroksida dan kuproatelina
diamina. Kapas mudah diserang oleh jamur dan bakteri, terutama pada keadan lembab dan
suhu hangat.Kapas memiliki beberapa sifat istimewa misalmya mudah dicuci, enak dipakai
dan murah, sehingga kapas lebih unggul disbanding serat lainnya.

2.2. Proses Desizing


Proses penghilangan kanji (Desizing) bertujuan untuk menghilangkan kanji yang
terdapat pada bahan yang berasal dari pertenunan. Proses ini merupakan proses awal dalam
industri penyempurnaan tekstil. Benang lusi kain tenun biasanya dikanji untuk menambah
kekuatannya agar permukaan benang licin dan tahan gesekan serta tarikan. Pemilihan jenis
kanji yang dipakai ditentukan oleh jenis serat. Sedangkan cara penghilangan kanji sendiri
bergantung pada jenis kanji dan sifat-sifat serat. Metode yang digunakan adalah cara
Exhaust (perendaman) dan cara kontinyu. Bahan yang telah dihilangkan kanjinya
diharapkan memiliki sifat daya serap terhadap air dan zat warna yang baik. Prinsipnya
adalah mengubah kanji yang tidak larut dalam air menjadi glukosa yang larut dalam air
dengan menambahkan zat penghilang kanji.
Ada tiga jenis kanji yang dapat digunakan dalam pemberian kanji sewaktu proses
penganjian dalam pertenunan:
1. Kanji alam (Strach)
Didapatkan dari alam, seperti kanji yang terbuat dari jagung, tepung dan lain-lain atau
dengan istlah lain adalah natural strach (jagung), modified strach (tepung tapioka).
2. Kanji Hewan (Gelatin)
Proses penghilangan untuk kanji hewan dilakukan dengan cara perendaman enzim, asam,
basa atau alkali dan oksidator.
3. Kanji Sintetik
Kanji sintetik adalah kanji yang di buat oleh manusia (kanji buatan) seperti kanji acrylic,
PVA dan lain-lain.
Menurut sifatnya masing-masing, ketiga kanji tersebut mempunyai sifat yang berbeda.
Adapun sifat dari kanji alam yaitu: mudah didapat, harganya murah tetapi sangat sulit
dihilangkan pada proses desizing (penghilangan kanji). Sedangkan kanji buatan mudah
dihilangkan tetapi harganya sangat mahal. Oleh karena itu para ahli tekstil mencari alternatif
lain supaya ada kanji yang murah dan tidak sulit saat dihilangkan. Maka pada saat itu
ditemukan alternatif yang memang memudahkan pada saat proses desizing dan harganya
tidah mahal, yaitu dengan mencampurkan dua bahan kanji tersebut sehingga disebut dengan
kanji campuran (kanji semi sintetik).
Penghilangan kanji dengan pemakaian enzim dan oksidator akan mendegradasi kanji
yang tidak larut menjadi larut. Faktor yang berpengaruh dalam proses ini adalah ketepatan
pemilihan dan konsentrasi zat penghilang kanji, kondisi proses seperti pH, suhu, dan waktu,
serta metode yang digunakan.
Proses penghilangan kanji dapat dilakukan dengan cara :
a.    Penghilangan kanji dengan enzim
b.    Penghilangan kanji dengan oksidator ( hidrogen peroksida / H2O2 ), amonium
persulfat/ (NH4)2S2O8 , kalium persulfat / K2S2O8
c.    Penghilangan kanji dengan asam (HCl, H2SO4)
d.    Penghilangan kanji dengan alkali (NaOH)
e.    Penghilangan kanji dengan perendaman air
Beberapa metode penghilangan kanji yaitu :
1.    Metode Perendaman / Exhaust
Pada metode ini kain direndam dalam larutan penghilang kanji pada suhu dan waktu
tertentu, metode ini merupakan proses diskontinyu, cocok untuk produksi dengan
kapasitas kecil. Mesin yang biasa dipakai adalah mesin jigger, winch, jet dyeing, dll.
2.    Metode Pad Batching / rendam-peras-bacam
Pada metode ini kain setelah direndam pada larutan dalam mesin padder kemudian
diperas dan digulung pada rol, kemudian dibungkus plastik dan dibacam/diperam
sambil diputar selama waktu tertentu, metode ini merupakan proses semi-kontinyu.
3.    Metode Pad Steaming / rendam-peras-kukus
Pada metode ini kain setelah direndam pada larutan dalam mesin padder kemudian
diperas dan dikukus pada suhu 105℃ selama kurang lebih 10 menit, kemudian dicuci
bersih.

2.3. Proses Bleaching


Pengelantangan dikerjakan terhadap bahan tekstil bertujuan menghilangkan warna
alami yang disebabkan oleh adanya pigmen-pigmen alam atau zat-zat lain, sehingga
diperoleh bahan yang putih. Pigmen-pigmen alam pada bahan tekstil umumnya terdapat
pada bahan dari serat-serat alam baik serat tumbuh-tumbuhan maupun serat binatang yang
tertentu selama masa pertumbuhan.
Sedangkan bahan tekstil dari serat sintetik tidak perlu dikelantang, karena pada proses
pembuatan seratnya sudah mengalami pemurnian dan pengelantangan, tetapi untuk bahan
tekstil yang terbuat dari campuran serat sintetik dan seratalam diperlukan proses
pengelantangan terutama prosesnya ditujukan  terhadap serat alamnya. Untuk
menghilangkan pigmen-pigmen alam tersebut hanya dapat dilakukan dalam proses
pengelantangan dengan menggunakan zat pengelantang yang bersifat oksidator atau yang
bersifat reduktor.
Pengelantangan dapat dilakukan sampai memperoleh bahan yang putih
sekali, misalnya untuk bahan-bahan yang akan dijual sebagai benang putih atau
kain putih, tetapi dapat pula dilakukan hanya sampai setengah putih khususnya untuk bahan-
bahan yang akan dicelup atau berdasarkan penggunaan akhirnya.
2.4. Enzim α Amilase
Amilase dihasilkan oleh ebrbagai organisme hidup mulai dari bakteri, jamur,
tumbuhan bahkan manusia itu sendiri. Bakteri dan jamur mengeluarkan amilase dari dalam
selnya (ekstraselular) yang berguna untuk memecah pati yang tidak larut menjadi produk
akhir yang larut (glukosa dan maltosa) yang akan diserap ke dalam sel.
Amilase dikalsifikasikan berdasar cara memecah molekul pati:
1. Alfa-amilase – mereduksi viskositas patidengan memecah ikatannya secara acak, oleh
sebab itu dihasilkan rantaian glukosa dengan berbagai ukuran.
2. Beta-amilase – memecah ikatan glukosa-glukosa dengan memisahkan 2 unit glukosa,
sehingga dihasilkan maltosa.
3. Amiloglukosidase (AMG) memecah ikatan dari sisi non reduksi dati rantai lurusnya dan
menghasilkan glukosa.
Kebanyakan amilase dari mikrobia mengandung ketiga jenis enzim ini.
Mikroorganisme yang baik digunakan untuk produksi dapat berupa organisme lokal atau
bukan dan dapat diisolasi sendiri. Mikroorganisme yang digunakan untuk produksi amilase
adalah: Bacillus subtilis, B. licheniformis, B. amyloliquifaciens dan Aspergillus niger.

2.5. Aspergillus Niger


Aspergillus niger merupakan fungi yang termasuk genus Aspergillus, famili
Trichocomaceae, ordo Eurotiales, dan filum Ascomycota (Gautam et al. 2011). A. niger
tergolong ascomycetes berfilamen yang pertumbuhannya cepat dan toleran terhadap pH. A.
niger hidup di daerah tropis dan subtropis secara aerob, serta mudah diisolasi dari tanah
(Khan et al. 2007), udara dan air (Versar 1991), pangan (Perrone et al. 2007), rempah-
rempah (Avasthi et al 2010), buah-buahan (Magnoli et al. 2003), dan lain-lain. Fungi ini
dapat hidup pada suhu 6 - 47oC dan pH 1.4 - 9.8, sedangkan suhu optimumnya ialah 35 - 37
ºC. Aktivitas air (Aw) minimal untuk pertumbuhannya adalah 0.88. Pada larutan garam dan
gula dengan konsentrasi tinggi, A. niger mampu untuk tetap hidup karena dinding selnya
mempunyai tekanan osmotik sampai 250 atm (Gautam et al. 2011).
Aspergillus niger disebut juga black mold atau kapang hitam (Gambar 1) karena
memproduksi spora karbon hitam atau coklat yang sangat gelap yang membuatnya berbeda
dengan spesies Aspergillus lainnya. Spora A. niger berbentuk globular, konidianya kasar,
dapat berwarna hitam, coklat kehitaman, atau ungu kecoklatan. Hifa A. niger berseptat dan
sporanya berukuran besar. Hifa vegetatif berada di bawah permukaan dan digunakan untuk
menyerap unsur hara sedangkan yang muncul di atas permukaan umumnya merupakan hifa
fertil yang digunakan sebagai alat reproduksi (Anwar 2006).
Aspergillus niger memiliki peranan penting terkait dengan kerusakan pasca panen
pada berbagai macam substrat (Perrone et al. 2007). A. niger menyebabkan kerusakan pada
bahan pangan karbohidrat, rempah-rempah, tekstil, serta kerusakan pada kayu dan bahan
kertas (Gandjar et al. 2006). Fungi ini merupakan alergen asma serta penyebab terjadinya
mikosis kuku dan rongga telinga (Gandjar et al. 2006). Menurut Vondervoort (2004), A.
niger banyak digunakan dalam bidang industri untuk produksi asam-asam organik dan
protein.

2.6. Glukosa Oksidase


Glukosa oksidase (GOD) merupakan enzim yang mengkatalisis oksidasi ß-D-glukosa
menjadi glukonolakton dan hidrogen peroksida, dengan molekul oksigen sebagai akseptor
elektron. Enzim GOD biasa digunakan dalam bidang kesehatan dan bidang pangan. Enzim
Glukosa Oksidase juga berperan dalam menghilangkan bakteri patogen pada suatu produk.
Glukosa Oksidase saat ini sedang dikembangkan dalam sistem enzymatic fuel
cell.Enzymatic full cell ini digunakan dalam bidang yang berhubungan dengan listrik. Enzim
ini biasa diproduksi oleh mikroorganisme seperti Penicillium notatum, Penicillium
chrysosporium, Aspergillus niger, dan Botrytis cinerea. Menurut penelitian Kurniatin et
al. (2012) Aspergillus niger merupakan penghasil glukosa oksidase yang bersifat lebih stabil
dibandingkan dengan Penicillium sp. Glukosa Oksidase dapat pula ditemukan dalam
tanaman daun sirih merah, dimana daun sirih merah ini juga bermanfaat sebagai obat
kanker, darah tinggi (hipertensi), antiseptik, obat mata (Agustanti, 2008). Selain itu lidah
buaya juga sudah diteliti sebagai penghasil enzim glukosa oksidase, yang mampu berkhasiat
sebagai obat antidiabetik (Azizah, 2005 dalam Agustanti, 2008).  
Glukosa oksidase (β-D-glukosa:oksigen-1-oksidoreduktase, EC 1.1.3.4) merupakan
enzim yang mengatalisis oksidasi dari β-D-glukosa menjadi D-glukono-δ-lakton dan
hidrogen peroksida menggunakan molekul oksigen sebagai penerima elektron. D-glukono-δ-
lakton lalu terhidrolisis secara non-enzimatis menjadi asam glukonat dan FADH2-enzim
yang tereduksi dioksidasi kembali oleh molekul oksigen (Sabir et al. 2007). Reaksi GOD
ditunjukkan pada Gambar 3. Glukosa oksidase termasuk golongan enzim oksireduktase dan
disebut juga sebagai glukosa aerodehidrogenase (Khurshid 2008).

Gambar 3. Reaksi GOD (Simpson et al. 2007)


Glukosa oksidase yang berasal dari A. niger memiliki bobot molekul 152 kDa dan
mengandung dua rantai subunit polipeptida identik yang terikat oleh ikatan disulfida
(Simpson 2005). Setiap subunit memiliki molekul FAD sebagai gugus prostetiknya. Glukosa
oksidase dari A. niger mengandung lebih banyak heksosamin dan manosa dibandingkan
glukosa, sementara glukosa oksidase yang dihasilkan Pencillium sp. mengandung lebih
banyak glukosa. Glukosa oksidase banyak mengandung asam amino serin, glisin, asam
glutamat, asam aspartat, dan alanin (Sherbeny et al. 2005). Sisi aktif glukosa oksidase
mengandung tiga asam amino yang berperan dalam proses katalisis, yaitu His516 dan
Glu412, yang berikatan hidrogen dengan His559 (Lescovac et al. 2005).
Glukosa oksidase yang dihasilkan oleh A. niger lebih stabil dan sudah banyak tersedia
secara komersial. Namun, glukosa oksidase yang berasal dari Penicillium sp. menunjukkan
afinitas dan spesifitas substrat yang lebih tinggi. Enzim glukosa oksidase spesifik terhadap
substrat β-D-glukosa, sementara bentuk anomer α-D-glukosa tidak sesuai sebagai substrat
enzim ini. Tabel 1 menunjukkan selektivitas subtrat dari GOD. Inhibitor enzim ini meliputi
p-kloromerkuribenzoat, As, Ag+, Hg2+, Cu2+, Br-, Cl-, F-, NaNO3, D-arabinosa, fruktosa,
ribosa, peroksida, hidroksilamin, hidrazin, fenilhidrazin, natrium bisulfat, natrium kolat, dan
hidroksilamin (Simpson 2005).
Dalam aplikasi farmasi, glukosa oksidase biasa digunakan sebagai biosensor untuk
penentuan glukosa. Dalam industri makanan, enzim ini digunakan untuk menghilangkan
glukosa atau oksigen dalam pengolahan beragam produk dengan tujuan mengubah warna,
rasa, dan tekstur. Saat ini glukosa oksidase banyak dikembangkan dalam sistem biofuel cell
(Bhatti & Saleem 2009).

2.7. Pemurnian Enzim


Struktur, sifat kimia maupun sifat fisika enzim yang diisolasi dari suatu organisme
dapat ditentukan apabila enzim tersebut berada dalam keadaan murni. Pemurnian enzim
biasanya terdiri atas beberapa tahapan, yaitu pengendapan protein dengan amonium sulfat,
dialisis, dan kromatografi (Sherbeny et al. 2005). Tahap pengendapan protein dengan
amonium sulfat dilakukan dengan menambahkan garam dalam konsentrasi tinggi.
Konsentrasi garam yang rendah meningkatkan kelarutan protein karena ion-ion berinteraksi
dengan gugus bermuatan pada permukaan protein dan mengganggu dengan kekuatan
elektrostatik yang kuat yang disebut proses “salting in” (Metzler 2003). Pada konsentrasi
garam yang tinggi, garam menarik air dari protein sehingga menimbulkan agregasi dan
pengendapan dari molekul protein yang disebut proses “salting out” (Koolman & Roehm
2005).
Amonium sulfat sering digunakan dalam pengendapan protein karena memiliki tingkat
kelarutan tinggi (sekitar 3.6 M), kekuatan ionik tinggi yang setara dengan nilai kuadrat
jumlah ionnya, tidak bersifat toksik, murah, dan stabil terhadap enzim (Yuningtyas 2008).
Beberapa enzim dapat mengalami kerusakan apabila ditambahkan amonium sulfat. Untuk
jenis enzim tersebut, pengendapan enzim biasanya dilakukan dengan penambahan pelarut
organik, seperti metanol, etanol, propan-2-ol, dan aseton. Perlakuan ini dapat menurunkan
konstanta dielektrik larutan tersebut sehingga kelarutan protein juga menurun. Pelarut
organik jarang digunakan dalam skala besar karena mahal, mudah terbakar, dan lebih mudah
mendenaturasi enzim tersebut apabila suhunya diatas 0℃ (Chaplin 2004).
Tahap pemurnian enzim lebih lanjut yaitu melalui dialisis. Tahap ini penting untuk
dilakukan setelah pengendapan amonium sulfat (Nelson & Cox 2008). Dialisis merupakan
cara pemisahan molekul-molekul kecil dari molekul besar dengan membiarkan molekul
kecil tersebut berdifusi melalui membran selektif permeabel. Dialisis biasanya digunakan
untuk memisahkan garam dan molekul kecil dari larutan makromolekul (Koolman & Roehm
2005). Ekstrak enzim hasil pemurnian parsial dimasukkan ke dalam membran dialisis yang
terbuat dari membran semipermeabel dan dicelupkan dalam bufer dengan volume yang lebih
besar. Molekul-molekul kecil akan melewati membran hingga konsentrasi sampel di dalam
dan di luar membran sama. Seiring dengan pergerakan molekul kecil melalui membran,
pelarut juga ikut berpindah melalui membran dalam arah yang berlawanan. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya pengenceran sampel (Nelson & Cox 2008).

2.8. Aktivitas Enzim


Aktivitas enzim didefinisikan sebagai kecepatan pengurangan substrat atau kecepatan
pembentukkan produk pada kondisi optimum (Nelson & Cox 2008). Suhu, pH, konsentrasi
substrat, serta keberadaan aktivator dan inhibitor merupakan hal-hal yang dapat
mempengaruhi aktivitas enzim. Aktivitas enzim umumnya dinyatakan sebagai unit (U). Unit
didefinisikan sebagai jumlah enzim yang diperlukan untuk menggunakan satu mikromol
substrat per menit pada suhu dan temperatur tertentu. Aktivitas spesifik didefinisikan
sebagai aktivitas enzim per satuan berat (U/mg) pada suhu dan pH tertentu. Aktivitas
spesifik dapat juga digunakan untuk menentukan kemurnian enzim. Semakin tinggi aktivitas
spesifik enzim yang digunakan maka semakin tinggi tingkat kemurniannya (Mikkelsen &
Corton 2004).
Aktivitas enzim dipengaruhi oleh konsentrasi substrat. Konsentrasi substrat yang
rendah menyebabkan sisi aktif enzim hanya bereaksi dengan sedikit substrat. Jika
konsentrasi substrat diperbesar, maka susbtrat yang dapat berinteraksi dengan sisi aktif
enzim akan semakin banyak. Hal ini mengakibatkan aktivitas enzim semakin meningkat dan
reaksi berjalan lebih cepat. Pada batas konsentrasi substrat tertentu, sisi aktif enzim telah
jenuh oleh substrat, sehingga penambahan substrat tidak meningkatkan aktivitas enzim
(Nelson & Cox 2008).
Enzim diketahui sensitif terhadap perubahan suhu. Suhu memiliki pengaruh yang
cukup besar bukan hanya pada aktivitas enzim melainkan juga pada stabilitas enzim.
Peningkatan suhu meningkatkan laju reaksi kimia yang dikatalisis dan di sisi lain
meningkatkan juga laju inaktivasi enzim (Illanes 2008). Suhu mempengaruhi energi kinetik
molekul. Kenaikan energi kinetik molekul yang terjadi seiring peningkatan suhu dapat
meningkatkan frekuensi tumbukan. Kombinasi frekuensi tumbukan yang lebih sering dan
lebih berenergi akan meningkatkan laju reaksi (Murray et al. 2009). Hubungan antara
kecepatan reaksi enzim dan suhu adalah eksponensial (Simpson 2005). Oleh karena itu, pada
suhu rendah reaksi berlangsung lambat, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi reaksi
berlangsung lebih cepat. Suhu memiliki pengaruh yang cukup besar bukan hanya pada
aktivitas enzim melainkan juga pada stabilitas enzim. Peningkatan suhu meningkatkan laju
reaksi kimia yang dikatalisis dan di sisi lain meningkatkan juga laju inaktivasi enzim (Illanes
2008). Enzim menunjukkan aktivitas maksimumnya pada suhu yang optimum (Simpson
2005).
Enzim memiliki pH optimum yaitu pH saat aktivitasnya maksimum. Pada pH lebih
tinggi atau lebih rendah aktivitasnya berkurang. Enzim merupakan suatu polimer poliionik
sehingga pH sangat mempengaruhi sifatnya. Perubahan pada pH dapat mengubah
penyebaran muatan pada sisi aktif semua bagian permukaan dari molekul protein (Illanes
2008). Rantai samping asam amino pada sisi aktif dapat berperan sebagai asam dan basa
lemah dengan fungsi kritis yang bergantung pada keadaan ionisasi tertentu. Rantai samping
tersebut mungkin berperan penting dalam interaksi yang menjaga struktur dari protein
(Nelson & Cox 2008).
2.9. Kinetika Enzim
Pengukuran laju reaksi yang dikatalisis oleh enzim sebagian besar menggunakan laju
awal (vo), yaitu kondisi singkat saat jumlah produk masih sedikit, sehingga reaksi
berkebalikan dapat diabaikan. Laju awal ditentukan selama beberapa menit pertama dari
reaksi dengan melihat jumlah pengurangan substrat maupun penambahan konsentrasi
produk. Setelah keadaan ini, laju reaksi relatif lebih lambat, hingga kemudian akan
berlangsung konstan. Pengukuran laju awal reaksi merupakan hal penting untuk memahami
mekanisme kerja enzim serta memperkirakan aktivitas enzim tersebut. Hal ini disebabkan
saat substrat yang digunakan memiliki konsentrasi molar yang besar, laju awal setara dengan
konsentrasi enzim (Wilson & Walker 2000).
Peningkatan konsentrasi substrat akan meningkatkan laju reaksi hingga tercapai nilai
laju maksimal (vmaks). Kecepatan ini dicapai pada konsentrasi substrat yang sangat tinggi
saat semua enzim terikat pada substrat (Rogers & Gibon 2009). Jika peningkatan konsentrasi
substrat tidak lagi meningkatkan laju reaksi maka reaksi tersebut telah mengalami kejenuhan
(Murray et al. 2009). Nilai Km merupakan parameter yang menunjukkan kekuatan
pengikatan enzim terhadap substrat. Nilai Km yang tinggi menandakan bahwa laju disosiasi
balik (k-1) lebih besar dibandingkan dengan laju pembentukan kompleks enzim substrat (k1)
dan hal ini dapat diartikan bahwa enzim terikat pada substrat dengan lemah (afinitas enzim
terhadap substrat rendah). Kebalikan dari hal tersebut, nilai Km yang rendah menunjukkan
afinitas enzim yang tinggi terhadap substrat. Hubungan Km dengan dengan afinitas enzim
dapat dijelaskan dengan persamaan berikut:

Berdasarkan persamaan tersebut terlihat bahwa Km berbanding lurus dengan k-1. Oleh
karena itu, ketika afinitas enzim rendah terhadap substrat maka kompleks ES akan sulit
terbentuk dan reaksi cenderung mengarah ke arah penguraian ES menjadi E dan S. Hal ini
menimbulkan laju disosiasi balik atau k-1 menjadi tinggi yang berdampak pada nilai Km
yang tinggi pula. Berdasarkan persamaan, nilai Km yang tinggi dapat juga dikarenakan
tingginya nilai kcat (Rogers & Gibon 2009). Afinitas enzim yang tinggi mengakibatkan
kompleks ES lebih mudah terbentuk sehingga laju pembentukan ES atau k1 menjadi tinggi
yang berbanding terbalik dengan nilai Km yang rendah. Berdasarkan persamaan Michaelis-
Menten, saat v mencapai setengah vmaks maka nilai Km akan sebanding dengan konsentrasi
substrat pada titik tersebut. Oleh karena itu, nilai Km dapat diartikan sebagai konsentrasi
substrat saat v mencapai setengah vmaks (Rogers & Gibon 2009).

Turnover number atau bilangan putaran suatu enzim ialah nilai maksimal aktivitas
katalisis enzim tersebut, atau disebut juga sebagai kcat. Nilai kcat didefinisikan sebagai
jumlah molekul substrat yang diubah menjadi produk per satuan waktu pada satu molekul
enzim saat enzim tersebut jenuh oleh substrat (Nelson & Cox 2008). Nilai ini dapat
diperoleh dengan persamaan:
2.10. Mekanisme Proses Satu Langkah Desizing-Bleaching Pada Kain Kapas
Menggunakan Enzim Amilase-Glukosa Oksidase
Enzim amilase digunakan dalam proses desizing untuk menguraikan kanji pati yang
terdapat pada kain kapas mentah melalui reaksi hidrolisis hingga terpecah menjadi oligomer-
oligomer yang pada akhirnya berubah menjadi bagian terkecilnya yaitu glukosa.
Kemudian glukosa dari hasil desizing direaksikan dengan enzim glukosa oksidase
yang bekerja mengkatalisasi reaksi oksidasi glukosa dengan adanya supply oksigen hingga
menghasilkan hidrogen peroksida yang memiliki potensi untuk mengelantang kain kapas
dalam larutan yang sama.
Larutan glukosa dioksidasi telebih dahulu dengan katalisasi menggunakan enzim
glukosa oksidase pada pH 5 suhu 37oC selama 90 menit untuk menghasilkan hidrogen
peroksida yang kemudian digunakan untuk mengoksidasi ikatan rangkap
+ pada pigmen
kapas.
H2O2

Gambar 4. Reaksi Glukosa dengan Glukosa Oksidase


Enzim amilase memecah kanji pati menjadi oligomer, dan akhirnya menjadi glukosa
sebagai produk akhir dalam reaksi hidrolisis. Dalam proses desizing kain kapas gray
menggunakan enzim amilase telah berhasil dilakukan dalam proses komersial.Glukosa
oksidase terjadi reaksi katalisis dengan glukosa, adanya oksigen dapat menghasilkan
hidrogen peroksida dan menunjukkan proses bleaching pada kain kapas. Glukosa dioksidasi
menjadi galakton oleh kofaktor glukosa oksidase (flavin adenine dinucleotide, FAD), yang
tereduksi menjadi hidrida (FADH2). Selanjutnya, oksigen yang ada dalam sistem reaksi
direduksi menjadi hidrogen peroksida, sementara FADH2 di reduksi kembali menjadi FAD.
Upaya ini dilakukan untuk memanfaatkan larutan rendaman yang tidak terpakai, untuk
proses bleaching menggunakan enzim glukosa oksidase dalam sistem aerasi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan


Alat
Untuk proses produksi enzim amilase

1. Erlenmeyer 500 ml 5. Sentrifuge


2. Gelas ukur 100 ml 6. Tabung reaksi
3. Inkubator shaker 7. Pipet ukur
4. Spektrofotometer UV-Visible

Untuk proses desizing dan bleaching


 Gelas piala 600 ml  Termometer
 Pipet ukur  Soxhlet
 Penangas  pH meter
 Stopwatch

Untuk proses produksi enzim glukosa oksidase


 Alat – alat gelas  Magnetik stirrer
 Mortar  Vortex
 Kertas saring  Centrifuge
 Waterbath  Autoklaf sterilizer
 Neraca analitik  Shaker bath
 Inkubator  10 kelereng

Bahan
Untuk proses produksi enzim amilase

 Kanji pati larut 1% w/v  (NH4) 2HPO4 0,2% w/v


 Pepton 0,5% w/v  KH2PO4 0,6% w/v
 MgSO4.7H2O 0,2% w/v  Bakteri Bacillus amyloliquefaciens
 Buffer asetat  Asam dinitrosalisiklik (DNSA)
 Tepung  Natrium kalium tartrat

Untuk proses desizing dan bleaching


 Kain gray 20x20 cm
 Enzim amilase
 Asam asetat
 Enzim glukosa oksidase
 Na2CO3
 Campuran pelarut analitik metil alkohol dengan benzena

Untuk proses produksi enzim glukosa oksidase


 Isolat lokal aspergillus niger  (NH4)2HPO4, MgSO4, NaNO3, KCl,
 Pasir kuarsa CaCO3, (NH4)2SO4, NaOH 2 N
 Akuades  Glukosa
 Amonium sulfat  Buffer (natrium fosfat 01 m ph 6,0;
 Sukrosa fosfat sitrat 0,1 m ph 5,6; kalium

 Pepton fosfat 0.1 m ph 7,0)


 Glukosa Oksidase
 KMnO4

3.2. Prosedur Kerja


Produksi Enzim Amilase
1. Kultur bakteri (Bacillus Amyloliquefaciens) untuk produksi enzim amilase, diperoleh
dari Institute of Microbial Technology, Chandigarh, India.
2. Kultur bakteri tadi dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml yang sudah berisi 100 ml
kaldu yang mengandung Kanji pati larut 1% w/v, Pepton 0,5% w/v, MgSO4.7H2O 0,2%
w/v, (NH4) 2HPO4 0,2% w/v, KH2PO4 0,6% w/v.
3. Kultur bakteri diinkubasi dalam Inkubator shaker pada kecepatan 120 rpm, suhu 37℃,
selama 48 jam.
4. Pertumbuhan bakteri dalam inokulum diukur nilai absorbansinnya menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis diambil dari sampel media kultur secara berkala.
5. Selanjutnya dilakukan pemurnian enzim amilase, sampel diambil dari hasil fermentasi
disentrifuge 7000 x g, pada suhu 4℃ selama 10 menit. Supernatant diambil untuk
pengukuran kadar protein.
6. Selanjutnya pengukuran aktivitas enzim amilase menggunakan metode pereduksi gula,
homogenkan larutan enzim amilase yang sudah dimurnikan,
7. Diencerkan dalam buffer asetat pH 5,5 dan 0,5 ml tepung dalam 1%.
8. Homogenkan kembali lalu diinkubasi pada 55℃, 15 menit.
9. Tambahkan 0,5-3,5 ml Asam dinitrosalisiklik (DNSA), lalu direbus selama 30 menit
10. Tambahkan 1 ml Natrium Kalium Tartrat dan didinginkan
11. Diukur menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm.

Proses Penghilangan Kanji dengan Enzim Amilase


1. Siapkan kain kapas gray ukuran 20x20 cm, siapkan juga alat-alat untuk proses desizing
menggunakan metode exhaust secara manual menggunakan gelas kimia 600 ml
2. Masukkan enzim amilase dengan konsentrasi 8 ml/l, tambahkan asam asetat 0,5 ml/l pH
5,5 pada suhu 50℃ selama 50 menit.
3. Setelah selesai, lakukan pembilasan dengan air secara menyeluruh.
4. Larutan sisa proses digunakan kembali untuk proses ekstraksi.
5. Proses ekstraksi, tambahkan sisa proses dan campuran pelarut analitik metil alkohol dan
benzena (150 ml/g vlot 2:3), ekstraksi dilakukan dengan Soxhlet sebagaimana ASTM
D2257-2004 (6x ekstraksi dalam 1 jam, total durasi 2 jam)
6. Kuantitas pengotor residu (%) dihitung sebagai rasio perbedaan berat specimen sebelum
dan sesudah ekstraksi dengan berat asli sampel.

Proses Produksi Enzim Glukosa Oksidase


1. Isolat ditumbuhkan dahulu pada media starter selama 24 jam sebelum pada media
produksi. Komposisi media starter: 0.4 g/L (NH4)2HPO4; 0.2 g/L KH2PO4;0.2 g/L
MgSO4.7H2O; 10 g/L pepton; 70 g/L sukrosa.
2. Pada media produksi, Isolat yang telah ditumbuhkan pada media starter diambil sebanyak
10% dari volume media produksi dan dimasukan kedalam media ini. Media ini dibuat
sebanyak 500 ml. Berikut komposisi media produksi : 0.4 g/L (NH4)2HPO4; 0.4g/L
KH2PO4; 0.01 g/L MgSO4.7H2O; 40 g/L CaCO3; 3.3% sukrosa; dan 8% glukosa. pH 5.5.
3. Diinkubasi pada inkubator, kecepatan agitasi 200 rpm suhu 30oC selama 48 jam.
Miselium lalu dipisahkan dari media pertumbuhan dengan cara filtrasi menggunakan
kertas saring dan digunakan pada proses isolasi enzim.
4. Selanjutnya ada isolasi enzim glukosa oksidase dari Aspergillus Niger, Miselium hasil
penyaringan digerus sampai halus dengan menggunakan pasir kuarsa dengan
perbandingan 1:1. Sel yang telah lisis ditambahkan dengan bufer natrium fosfat 0.1 M pH
6.0 kemudian disentrifuge pada kecepatan 17000 x g suhu 4 OC selama 20 menit.
Supernatan yang dihasilkan merupakan enzim kasar glukosa oksidase.
5. Selanjutnya yaitu pemurnian enzim, yang pertama yaitu pengendapan : ekstrak kasar
enzim diendapkan dengan amonium sulfat dengan kejenuhan 80%, lalu larutan
didiamkan selama semalam pada suhu 4oC kemudian disentrifuge pada kecepatan 17000
x g dengan suhu 4℃ selama 15 menit. Fraksi yang terendapkan dilarutkan dalam 1 mL
bufer fosfat sitrat 0.1 M pH 5.6.
6. Masih dalam tahap pemurnian enzim yang selanjutnya adalah dialysis: hasil pengendapan
dimasukkan ke dalam kantong dialisis, lalu didialisis selama 9 jam dengan menggunakan
larutan bufer fosfat sitrat 0.001 M pH 5.6. Kemudian larutan bufer diganti setiap 3 jam.
Bufer yang telah digunakan diuji dengan larutan BaCl2 untuk menguji keberadaan
amonium sulfat dalam buffer.
7. Pada tahap terakhir produksi enzim glukosa oksidase adalah karakterisasi aktivitas
glukosa oksidase. Glukosa dengan glukosa oksidase diinkubasi pada pH 5, suhu 37℃,
selama 90 menit. Setelah diinkubasi, masukkan ke dalam shaker bath kecepatannya 150
rpm, kemudian tambahkan 10 kelerang yang masing masing memiliki berat 1 gram.
Kemudian tambahkan juga oksigen dengan tekanan silinder dalam bak reaksi hingga 5
l/menit. Selanjutnya dilakukan titrasi permanganometri untuk menghitung banyaknya
H2O2 yang dihasilkan dari reaksi antara glukosa dan glukosa oksidase.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Uji Iodium setelah Proses Desizing


Cara pengujian tes iodium ini, mula-mula sepotong sampel kain dimasukkan ke dalam
gelas kimia berisi 50 ml air suling, lalu dipanaskan selama 30 menit dalam bak air. Ekstrak
dipindahkan ke tabung reaksi, lalu tambahkan 1-2 tetes larutan iodium (0,01 N) kedalam
tabung reaksi. Amati perubahan warna yang terjadi. Setelah diamati, hasil ekstrak kain yang
tidak diproses desizing menunjukkan perubahan warna yaitu biru tua. Hasil ekstrak kain
yang diproses desizing dengan menggunakan enzim menunjukkan tidak ada perubahan
warna.

4.2. Uji Tetes


Uji daya serap dengan menggunakan uji tetes ini menggunakan metode uji AATCC
79-2000. Setetes air dibiarkan turun dari ketinggian tetap 1 cm ke permukaan yang rata dan
kencang. Penetesan air menggunakan buret, kain di selipkan pada simpai sulam dan jangan
sampai kain terdapat kerutan pastikan kencang dan rata. Tetesan air dihitung menggunakan
stopwatch sampai benar benar hilang atau terserap merata. Pengujian ini diambil 15 kali
percobaan. Dari hasil yang telah dilakukan sebanyak 15 kali, nilai terendahnya adalah 2
detik dan tertingginya adalah 49 detik. Nilai ini didapatkan dari kain hasil proses kombinasi
satu langkah desizing dan bleaching. Nilai tertinggi 49 detik, menunjukkan pengaruh kuat
dari residu pengotor (2,13%).

4.3. Uji Pengurangan Berat Bahan dari Proses Desizing


Pengujian pengurangan berat bahan dari hasil proses desizing menunjukkan nilai
sebesar 87%, namun ditemukan pengotor residu dari kain lalu dinilai menggunakan ekstraksi
pelarut sebesar 3,53%.
4.4. Uji Derajat Putih

Gambar 5. Pengujian Derajat Putih dengan Menggunakan oksigen dan dengan


Agitasi pada Proses Bleaching
Pada proses bleaching kain kapas dilakukan tanpa suplai oksigen tetapi dengan agitasi
mekanis tidak meningkatkan nilai derajat putih kain 26,66 (Unit CIE). Namun, dengan
ditambahnya suplai oksigen dengan agitasi mekanis juga dapat meningkatkan derajat putih
kain yang menunjukkan peningkatan tidak terlalu signifikan (kecil). Hal ini membutuhkan
konsentrasi glukosa oksidase yang lebih tinggi dan waktu inkubasi yang lebih lama untuk
meningkatkan konversi glukosa menjadi hidrogen peroksida.
Pada pengujian derajat putih ini, menggunakan kain hasil kombinasi satu langkah
desizing-bleaching menggunakan enzim amilase-glukosa oksidase. Pengurangan gula yang
dilepaskan dalam proses desizing digunakan untuk konversi menjadi hidrogen peroksida
dengan cara mereaksikan glukosa dari proses desizing dengan enzim glukosa oksidase yang
hasil reaksinya digunakan untuk proses bleaching yaitu zat hidrogen peroksida. Enzim
glukosa oksidase ditambahkan ke dalam bak sisa proses desizing, yang sudah didinginkan
dan diinkubasi untuk konversi glukosa, dengan memasukkan juga supply oksigen kedalam
bak reaksi. Hidrogen peroksida yang dilepaskan dalam proses, diaktifkan menggunakan
natrium karbonat dan dilakukan proses bleaching pada suhu 90℃ selama 60 menit.
Konsentrasi glukosa oksidase yang lebih tinggi (60 unit/ml) menghasilkan indeks derajat
putih yang secara signifikan lebih tinggi hingga 52,30 (Unit CIE) dan dengan konsentrasi
glukosa yang sama lalu digunakan glukosa oksidase yang lebih tinggi (80 unit/ml)
menunjukkan nilai 73,6 (Unit CIE).
4.5. Uji SEM (Scanning Electron Microscope)

Sebelum Sesudah
Gambar 6. Hasil Pengujian SEM Sebelum Proses dan Sesudah Proses
Pada pengujian ini diliat morfologi permukaan serat kapas, menggunakan Scanning
Electron Microscope (SEM, Jeol 6390). Pengujian ini dilakukan dengan perbesaran 1000x
untuk menilai morfologi permukaan serat kapas sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan.
Hasil yang didapatkan dari proses bleaching menggunakan glukosa oksidase tampak sangat
jelas bebas dari kanji. Dapat terlihat bahwa kain sebelum perlakuan, serat menempel dan
menumpuk satu sama lain di banyak tempat, jika dilihat pada sesudah perlakuan terlihat
jelas perbedaanya tidak ada serat yang saling menumpuk satu sama lain. Terlihat juga bahwa
pada gambar sesudah perlakuan, pada penampang membujur menunjukkan permukaan yang
tampak jelas dan juga pada puntiran terlihat natural dari masing-masing serat.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dari hasil percobaan satu langkah proses desizing-bleaching menggunakan enzim amilase-
glukosa oksidase pada kain kapas yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
 Daya serap kain meningkat secara signifikan setelah dilakukan satu langkah proses
desizing-bleaching menggunakan enzim amilase-glukosa oksidase.
 Pada proses bleaching konsentrasi enzim glukosa oksidase sangat berpengaruh terhadap
indeks derajat putih, yang paling optimal yaitu (80 unit/ml) menunjukkan nilai 73,6
(Unit CIE). Namun adanya residu dari glukosa dalam proses bleaching, memiliki
potensi untuk mengurangi nilai derajat putih. Hal ini dibutuhkan pasokan oksigen
eksternal dan konsentrasi glukosa oksidase yang tinggi dalam proses bleaching.
 Proses ini lebih sedikit menghasilkan limbah, dan dapat dieksploitasi secara komersial
menggantikan proses kimia.
DAFTAR PUSTAKA

1. D. Saravanan, dkk. 2011. One-Step Process for Desizing and Bleaching of Cotton Fabrics
Using the Combination of Amylase and Glucose Oxidase Enzymes. Bannari Amman Institute
of Technology (Anna University, Coimbatore), Sathyamangalam, India.
2. Triana R. 2013. Pemurnian Dan Karakterisasi Enzim Glukosa Oksidase Dari Isolat Lokal
Aspergillus Niger. [skripsi]. Bogor: Fakultas MIPA, IPB.
3. Ahmad A, Syaiful A, Firman Ap, Patong AR. 2007. Imobilisasi enzim glukosa oksidasi dari
Penicillium sp-3 galur lokal. Indo. J. Chem. 7: 97 - 104.
4. Anwar YAS. 2006. Produksi dan karakterisasi enzim tanin asil hidrolase dari Aspergillus
niger. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
5. Bankar SB, Bule MV, Singhal RS, Ananthanarayan L. 2009. Optimization of Aspergillus
niger fermentation for the production of glucose oxidase. Food Bioprocess Technol 2: 344 -
352.
6. Soeprijono. 1973. Serat – Serat Tekstil. Bandung: Institut Teknologi Tekstil.
7. Ichwan, Muhammad, dkk. 2008. Pedoman Praktikum Teknologi Persiapan Penyempurnaan.
Bandung : Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil.

Anda mungkin juga menyukai