Anda di halaman 1dari 14

the latter is likely because of nonselective inhibition by N-nitro-L-arginine methyl ester of

neuronal, inducible, and endothelial nitiric oxide synthetase. the N-nitro-L-arginine methyl
ester inhibition of nitric oxide synthetase also unmasks endothelin-1 vasoconstriction.
endothelin-1, a 21-amino-acid peptide, is a powerful endothelium prodecud vasoconstrictor.
Its production is elevated during shock, low flow states, and ischemia. The degree of
vasodilation in septic shock is thought to be caused by a balance between vasodilating nitric
oxide and vasoconstricting endothelin.

yang terakhir mungkin karena inhibisi non selektif oleh N-nitro-L-arginin metil ester dari neuronal,
diinduksi, dan endotel nitrat oksida sintase. N-nitro-L-arginin metil ester menghambat sintase
nitrat oksida yang juga membuka kedok endotelin-1 vasokonstriksi. endothelin-1, peptida 21-asam
amino, adalah endothelium kuat menghasilkan vasokonstriktor. produksinya meningkat selama
shock, negara aliran rendah, dan iskemia. Tingkat vasodilatasi syok septik diduga disebabkan oleh
keseimbangan antara vasodilatasi oksida nitrat dan vasokonstriksi endotelin.

INTERAKSI SISTEM ENDOKRIN DAN IMUN

Terdapat banyak interaksi erat antara sistem imun dan endokrin. Sudah lama
diketahui bahwa dosis farmakologi glukokortikoid menekan imunitas seluler. Hal ini
sebagian disebabkan oleh penurunan respon yang diinduksi oleh steroid terhadap IL-12,
sitokin yang mendukung kerja sistem imun selular. Glukokortikoid menyebabkan pelepasan
neutrophil dari sumsum tulang, mengurangi neutrophil dan makrofag dalam sirkulasi, dan
mengikat sel T di sumsum tulang. Glukokortikoid juga menyebabkan lisisnya sel T muda;
menghambat produksi IFN-y, IL-1 dan IL-2; memblok pospalipase A2 (yang bertanggung
jawab untuk poduksi prostaglandin dan leukotrien); dan menghambat aksi dari protease
tertentu yang terdapat pada proses inflamasi. Terdapat reseptor glukokortikoid pada
leukosit; leukosit perifer juga telah diamati untuk mensekresi ACTH ketika terinfeksi oleh
virus atau terpapar endotoksin.

Aksis neuroendokrin telah lama diduga menjadi fokus utama dalam memicu
pelepasan hormone endokrin dan menstimulasi sistem saraf simpatik. Bagaimanapun, aksis
neuroendokrin juga memodulasi fungsi imunologi, padahal immunomediator seperti
sitokin, juga memodulasi fungsi neuroendokrin. Menariknya, banyak mediator yang semula
dianggap disekresi hanya oleh hipotalamus dan glandula pituitary, juga disekresi oleh sistem
tubuh lainnya, terutama sel-sel imun. Sebagai contoh, prolaktin juga disekresi oleh sel T
yang teraktivasi dan timosit, dan prolactin berikatan pada reseptor superfamili sitokin.
Reseptor prolaktin ditemukan hingga 80% pada sel limfoid timus dan semua makrofag sel
B perifer dan 70% ditemukan pada sel T. Prolaktin bekerja melalu mekanisme autokrin dan
parakrin untuk meregulasi imunitas selular. Peran prolaktin pada respon selular belum jelas,
walaupun setelah eksplorasi abdomen yang lama, tetapi tidak lebih rendah dari operasi
(kolesistektomi dan herniorapi), level serum meningkat hingga lima hari paska operasi.

Substansi neuroendokrin lainnya juga memiliki aktivitas imun, α-MSH diduga


memiliki efek anti-inflamasi (bekerja sebagai antagonis TNF-α), antipiretik, dan aksi
antimikroba. Sistem melanokortin sentral, bersama dengan leptin dan insulin, juga menjadi
komponen dari adipospat (atau lipospat), mekanisme yang meregulasi massa adiposa.
Leptin, yang diproduksi oleh adiposit, muncul untuk menstimulasi propiomelanokortin, dan
α-MSH mengikat reseptor melanokortin MC4-R yang mengurangi nafsu makan dan
mengaktivasi metabolisme lipid. Fungsi utama α-MSH selama respon stress masih terus
dikaji. Somatostatin disekresi tidak hanya oleh hypothalamus dan pancreas, tetapi juga oleh
sel imun seperti timosit. Terdapat reseptor somatostatin pada sel imun dan ketika reseptor-
reseptor tersebut distimulasi oleh somatostatin berkonsentrasi rendah, maka akan timbul
efek inhibitor, padalah pada konsentrasi tinggi tidak ada efek yang ditemukan.

Fungsi lain sitokin dan faktor pertumbuhan sebagai mediator imun adalah beberapa
sitokin dan faktor pertumbuhan aktif melalui mekanisme autokrin dan parakrin di area
hypothalamus dan pituitary. Sitokin, termasuk IL-1, IL-2, IL-6, IFN-γ, dan TNF, memiliki
efek pada aksis HPA. Penjelasan teleologi dalam hal ini adalah bahwa sitokin menyalurkan
stimulus (misalnya: keberadaan bakteri, virus, dan antigen) yang tidak dikenali oleh sistem
saraf pusat dan perifer. IL-1 menstimulasi noradrenalin intraserebral dan dopamin, ACTH
dan pelepasan CRF. Brown dan rekan-rekannya mendemostrasikan bahwa IL-1 dan IL-2
meningkatkan ekspresi mRNA proopiomelanokortin. Terdapat kontroversi dimana IL-1
secara langsung menstimulasi sekresi ACTH oleh sel pituitary atau mengarahkan pelepasan
CRF dari sel hypothalamus. (Ada kemungkinan hal ini bergantung pada tipe IL-1, alfa atau
beta). Juga telah dilakukan pengamatan bahwa IL-1 dan IFN-γ menstimulasi substansi
seperti ACTH (dan endorfin) dari sel darah putih perifer. Sebagai tambahan, IL-1
diekspresikan pada kelenjar adrenal manusia dan mungkin menstimulasi sekresi kortisol
melalui mekanisme autokrin atau parakrin. IL-6 dapat juga menyebabkan sekresi ACTH
dari sel pituitary melalui mekanisme leukotrien. IL-10 diproduksi tidak hanya di limfosit,
tetapi juga di sel pituitary dan hypothalamus, dan meregulasi produksi CRF dan ACTH.
Aksi-aksi sitokin proinfalamsi pada aksis hypothalamic-pituitary merepresentasikan sistem
timbal balik (feedback) anti-inflamasi dan imunosupresi negatif karena outcome utamanya
adalah meningkatkan sekresi glukokortikoid. Dengan kata lain, pre-terapi dengan
glukokortikoid dapat mensupresi aktivasi IL-1α terhadap CRF.

Pemberian IL-6 sebagai bagian dari terapi kanker menyebabkan sekresi AVP dan
juga pelepasan CRH, hal ini menunjukan lagi bagaimana pengaruh sitokin terhadap aksis
HPA. IL-6 juga meningkatkan triptofan otak dan metabolisme serotonin. IL-11, anggota
dari family sitokin IL-6, dan faktor inhibitor leukemia, mediator sesuatu yang serupa dengan
sitokin lainnya, juga ikut serta dalam aktivitas HPA.

PERUBAHAN BIOKIMIA SETELAH CEDERA DAN SEPSIS

Metabolisme Karbohidrat

Sumber bahan bakar utama untuk kesehatan manusia adalah glukosa. Glukosa
masuk ke sirkulasi berasal dari sumber endogen (glikogenolisis dan glukoneogenesis)
ataupun sumber eksogen (melalui saluran pencernaan atau intravena). Glukosa dapat (1)
dimetabolisme menjadi karbodioksida, air, dan energi, (2) dikonversi dan disimpan sebagai
glikogen, atau (3) dikonversi menjadi lemak. Insulin memfasilitasi pengambilan glukosa
oleh sel, mendukung sintesis glikogen, dan mencegah glukoneogenesis. Katekolamin dan
glukagon menstimulasi glikogenolisis, glukoneogenesis ginjal, dan glukoneogenesis hati;
kortisol juga menstimulasi kemudian. Walaupun hati merupakan tempat utama
glukoneogensis, beberapa memperkirakan bahwa sebanyak 25% glukoneogenesis terjadi di
ginjal.

Fitur utama respon cedera atau sepsis adalah hiperglikemia. Hiperglikemia ini
diduga untuk memastikan pasokan glukosa siap pakai lebih dominan dibandingkan glukosa
yang dikonsumsi oleh sel-sel, seperti luka dan sel-sel inflamatori dan imun. Mulanya
hiperglikemia disebabkan oleh mobilisasi glikogen hati; bagaimanapun juga, hiperglikemia
bertahan diantara kebutuhan atas suplai glikogen, oleh karena peningkatan batas produksi
glukosa hati ditambah penurunan klirens glukosa. Peningkatan produksi glukosa ini
disebabkan oleh glukoneogensis hati yang menggunakan asam amino, laktat, piruvat, dan
gliserol sebagai substratnya. Laktat dan piruvat yang berasal dari glikogenolisis dan
glikolisis, meningkat di jaringan tepi terutama otot. Asam amino meningkat dari pemecahan
otot sedangkan gliserol meningkat dari metabolisme trigliserida (lemak). Ditemukan
peningkatan produksi glukosa hati. Pada orang normal, rata-rata 200 gram glukosa
diproduksi setiap harinya. Pasien dengan luka bakar non-infeksi dapat menghasilkan 320
gram glukosa perhari dan bagi pasien luka bakar terinfeksi dapat menghasilkan 400 gram
glukosa perharinya. Besarnya peningkatan produksi glukosa setelah histerektomi abdominal
berhubungan dengan lamanya pembukaan peritoneum. Disamping itu, ketika produksi
glukosa hati meningkat, terjadi penurunan klirens glukosa yang disebabkan oleh resistensi
aksi insulin ditambah dengan level insulin yang tidak adekuat untuk menjaga
normoglikemia. Beberapa peneliti menduga bahwa level sekresi insulin oleh konsentrasi
epinefrin yang tinggi bersamaan dengan peningkatan insulin yang beredar, menyebabkan
peningkatan klirens insulin. Epinefrin menghambat sekresi insulin dengan menurunkan
eksositosis insulin; hal ini dapat diatasi dengan blokade alfa-adrenergik. Aktivitas beta-
adrenergik, di sisi lain, bertanggung jawab atas peningkatan produksi glukosa hati.
Mekanisme lain yang juga berkontribusi terhadap hiperglikemia. Terdapat penurunan
pembuangan glukosa nonoksidatif sebagai hasil dari penurunan aktivitas sintase glikogen
otot. Hal ini juga akibat dari resistensi insulin. Tidak seperti respon pasien sehat terhadap
hiperglikemia, hiperglikemia yang diinduksi oleh stress tidak meningkatkan pembuangan
glukosa dan tidak menurunkan produksi glukosa hati yang meningkat.

Resistensi insulin pada jaringan perifer menghambat ambilan glukosa seluler dan
diduga menyebabkan defek postreseptor di jaringan ekstrahepatik. Defek ini muncul bukan
disebabkan oleh gangguan sinyal phosphatidylinositol-3-kinase, tetapi untuk merusak
aktivitas sistem transpor glukosa intraselular (misalnya glukosa-transporter 4). Resistensi
insulin bertahan hingga sekurang-kurangnya lima hari setelah pembukaan dan laparoskopi
kolesistektomi. Respon inkremental untuk meningkatkan konsentrasi insulin dijaga, tetapi
kemampuan untuk menurunkan konsentrasi gula darah per-konsentrasi insulin sangat
berkurang. Meskipun terjadi resistensi pada insulin, ambilan glukosa perifer secara
keseluruhan sering kali mendekati normal karena peningkatan ambilan glukosa yang tidak
termediasi insulin. Juga, jumlah normal ambilan glukosa perifer didorong oleh glukosa
dalam jumlah yang besar (akibat hiperglikemia) yang dapat ditemukan pada jalur resistensi
insulin parsial. Bagaimanapun, dibandingkan dengan konsentrasi glukosa darah, ambilan
menjadi rendah. Oksidasi glukosa intraselular tidak berubah. Dibandingkan (pada
konsentrasi glukosa darah pada umumnya) dan bahkan jumlah keseluruhan glukosa yang
dioksidasi menurun karena penurunan relatif ambilan glukosa ke sel-sel.

Glukosa dapat dioksidasi untuk menghasilkan ATP, air, dan CO2; diubah menjadi
glikogen untuk disimpan di hati dan otot; atau dikonversi menjadi lemak. Proses selanjutnya
disebut lipogenesis dan terdapat pada jaringan hati dan adiposa, walaupun kemudian
menjadi tempat utama untuk lipogenesis. Dalam keadaan normal, asupan karbohidrat
menghambat oksidasi lemak, meningkatkan oksidasi glukosa, dan meningkatkan simpanan
lemak. Lipogenesis, secara kuantitatif, tidak penting untuk manusia karena laju lipogenesis
tidak meningkatkan laju oksidasi lemak. Namun, ketika asupan karbohidrat melebihi total
energi yang dikeluarkan, lipogenesis menjadi jalur yang lebih penting dan hasil bagi
respiratori lebih dari 1.0, mengindikasikan hasil bersih lipogenesis. Hal ini dapat terlihat
pada pasien yang menerima infus glukosa lebih dari 4 mg/kgBB permenitnya. Pasien kritis
diberi glukosa intravena dengan kecepatan 4 mg/kgBB permenitnya sebagai bagian dari
glukosa TPN yang ditujukan untuk meningkatkan lipogenesis hati de novo, disamping
mencapai hasil bagi respirasi yang hanya 0.90. Lipogenesis ini ada disamping fakta bahwa
selama operasi atau stress septik, kapabilitas lipogenesis berkurang. Reduksi ini
kemungkinan disebabkan oleh TNF dan mungkin IL-1β, yang menghambat lipogenesis
pada adiposit manusia. TNF juga dapat menginduksi apoptosis preadiposit dan adiposit.

METABOLISME LEMAK

Lemak dapat digunakan sebagi sumber energi cepat atau disimpan. Rantai panjang
trigliserida yang didapat secara eksogen dimetabolisme menjadi asam lemak bebas dan
gliserol. Asam lemak bebas dapat dimetabolisme sebagai bahan bakar atau dapat
diesterifikasi kembali menjadi trigliserida. Pada saat makan (insulin tinggi) esterifikasi
kembali mendominasi dan lipolisis dihambat, pada saat lapar, dengan rasio glukagon dan
insulin tinggi, lemak dimetabolisme menjadi asam lemak bebas (lipolisis) dan dioksidasi
sebagai bahan bakar, ini berhubungan dengan produksi badan keton oleh mitokondria hati.
Badan keton dibawa ke organ-organ lain untuk digunakan sebagai bahan bakar. Oksigenasi
lemak eksogen memblok lipolisis lemak endogen. Hal ini menunjukan metabolisme lemak
dengan peningkatan asam lemak bebas, mengganggu ambilan glukosa dan oksidasi di otot.

Setelah cidera terdapat peningkatan lipolisis, terutama karena peningkatan aktivitas


β2-adrenergik yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi ketokolamin yang beredar di
sirkulasi (Gambar 19-3). Peningkatan konsentrasi kortisol, glukagon, TNF-α, IL-1, β-
endorphin, interferon-α, dan interferon-γ juga memiliki peran dalam stimulasi lipolisis.
Stimulasi β2-adrenergik meningkatkan konsentrasi cAMP, dimana pada gilirannya, (melalui
posporilasi yang diinduksi protein kinase A) menstimulasi aktivitas lipase yang sensitif
terhadap hormon. Aktivitas ini dihambat oleh insulin, yang meningkatkan lipogenesis.
Peran dari penemuan baru reseptor β3-adrenergik pada lipolisis manusia masih belum jelas.
Respon lipolitik terhadap stimulasi β2 lebih besar pada individu yang kurus dibandingkan
gemuk. Terdapat variasi regional pada laju lipolitik, dengan sel lemak viseral memiliki laju
tercepat karena peningkatan aktivitas reseptor β2 dan β3 dan penurunan aktivitas reseptor α2-
adrenergik. Stimulasi reseptor α2-adrenergik menghambat lipolisis dengan menghambat
produksi cAMP. Lemak subkutan menurunkan aktivitas lipolisis karena peningkatan
aktivitas insulin dan reseptor α2-adrenergik.
Pasien trauma menunjukan peningkatan lipolisis dan menggunakan lemak sebagai
sumber bahan bakar utama. Level plasma gliserol dan asam lemak bebas meningkat,
pergantian asam lemak dan gliserol diakselerasi, dan oksidasi lemak ditingkatkan.
Lipoprotein lipase merupakan enzim kapiler endothelium yang terikat membrane
(membrane-bound) yang menghidrolisis trigliserida (terikat pada lipoprotein berdensitas
sangat rendah dan kilomikron) menjadi gliserol dan asam lemak. Heparin melepaskan enzim
ini kealiran darah, menyebabkan peningkatan cepat hidrolisis lemak intravaskular. Setelah
trauma, aktivitas lipoprotein lipase di otot meningkat, tetapi lipoprotein lipase jaringan
adiposa berkurang. Pada sepsis, aktivitas lipoprotein lipase di otot berkurang. Dengan
demikian, terdapat perbedaan antara trauma dan sepsis. Penelitian dengan palmitat berlabel
(14C) dan emulsi trigliserida berlabel (Intralipid) telah menunjukan peningkatan oksidasi
dan klirens. Hal ini juga menarik, mengingat bahwa pada pasien dengan cidera berat dan
luka bakar, rasio laju asam lemak bebas terhadap laju gliserol meningkat, mengindikasikan
laju esterifikasi kembali (re-esterification) lebih besar pada jaringan adiposa. Adanya futile
cycle pada jaringan adiposa mungkin menjadi salah satu penyebab dari hipermetabolisme
pada pasien-pasien ini. Terapi dengan propanolol menurunkan tingkat kemunculan dari
gliserol dan asam lemak bebas pada pasien luka bakar; proses ini, dengan demikian
dimediasi secara adrenergik. Peningkatan lipolisis juga meningkatkan jumlah gliserol yang
tersedia untuk glukoneogenesis.

Selama periode stress setelah operasi dan trauma dan selama infeksi, level plasma
keton tetap rendah, bahkan selama deprivasi kalori. Hal ini mengejutkan dan memberikan
peningkatan availabilitas asam lemak bebas di dalam darah akibat dari lipolisis. Penelitian
pada pasien setelah menjalani operasi elektif telah menunjukan peningkatan keton dua
hingga tiga kali lipat dalam tiga jam setelah operasi.; setelahnya menurun hingga normal.
Ekstraksi β-hidroksibutirat dan asetoasetat di lengan bawah menurun secara cepat setelah
operasi. Penyebab turunnya produksi dan penggunaan keton ini terutama adalah karena
peningkatan konsentrasi insulin plasma seperti halnya peningkatan konsentrasi alanin dan
peningkatan ambilan dan oksidasi beta asam lemak bebas.

METABOLISME PROTEIN

Cidera (operasi, traumatik, terbakar) dan sepsis mempercepat pemecahan protein,


yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hilangnya nitrogen urin, peningkatan
pelepasan asam amino perifer, dan hambatan ambilan asam amino di otot. Asam amino
berasal dari jaringan yang cidera dan otot skeletal yang sehat, dibawa ke hati untuk
dikonversi menjadi glukosa (glukoneogenesis) dan untuk sintesis protein. Keseimbangan
negatif nitrogen (katabolisme) diamati pada beberapa pasien yang menunjukan nilai bersih
dari pemecahan dan sintesis protein: Pemecahan meningkat, sintesis dapat meningkat atau
berkurang. Pada anak-anak dengan luka bakar, volume pemecahan protein sama dengan
peningkatan fase akut dan kovalesen, namun sintesis meningkat pada fase lanjut,
menyebabkan keseimbangan positif nitrogen. Diduga, aktivitas katabolik sebagian
dimediasi oleh kortisol, TNF-α, IL-1, IL-6, dan IFN-γ. Hal tersebut merupakan
keseimbangan antara hormon-hormon katabolik dan anabolik, seperti insulin dan insulin-
like growth factor, yang menentukan derajat dari katabolisme. Pemikiran terakhir adalah
proteolisis otot skeletal dimulai dengan pelepasan miofilamen dari protein miofibrillar oleh
enzim calpain, diikuti oleh lisisnya miofilamen oleh aktivasi lisosomal Ca2+, jalur
proteolitik ATP-ubiquitin-dependent. Asam amino yang dilepaskan oleh proteolisis,
menyediakan substrat-substrat seiring dengan peningkatan glukoneogensis hati.
Bagimanapun juga, penurunan laju glukoneogenesis hati dengan somatostatin tidak
mengurangi laju pemecahan protein perifer, menunjukan bahwa percepatan laju produksi
glukosa hati tidak berhubungan dengan peningkatan level pemecahan protein perifer. Hati
juga berkontribusi terhadap katabolisme melalui peningkatan klirens asam amino alfa
(urea). Setelah operasi, laju konversi ini menjadi dua kai lipat.

Setelah cidera, sintesis protein tertentu di hati (fase reaktan akut) meningkat, padahal
yang lainnya berkurang. Protein-protein ini termasuk kedalam imunitas humoral (misalnya
immunoglobulin), inflamasi, dan koagulasi (misalnya fibrinogen). Fase reaktan akut lainnya
termasuk komplemen, protein C-reaktif, heptoglobin, α1 asam glikoprotein, α2 antitripsin,
α1 antikimotripsin, seruloplasmin, ferritin, dan serum ameloid A. Derajat respon fase akut
proporsional dengan level cidera suatu jaringan. Stimulator dari fase reaktan akut ini adalah
IL-1, IL-6, TNF, IFN-γ, bersamaan dengan beberapa peran terhadap glukokortikoid.

Protein yang sintesisnya menurun termasuk binding-protein (misalnya albumin,


transtiretin (prealbumin)), retinol, transferrin dan CBGs. Sitokin seperti IL-6, tetapi bukan
hormon kounteregulator, memediasi penurunan produksi protein ini. Pada pasien kritis,
hipoalbuminemia dapat disebabkan tidak hanya karena penurunan laju sintesis albumin,
tetapi juga usia albumin yang berkurang. Konsentrasi albumin plasma juga berukurang oleh
pelepasan transkapiler yang difasilitasi oleh peningkatan permeabilitas kapiler dan
perluasan ekstraselular setelah resusitasi cairan. Oleh karena itu, perubahan akut konsentrasi
plasma albumin setelah operasi atau trauma disebabkan oleh aliran cairan. Prealbumin
memiliki usia hidup yang lebih pendek dan merupakan indikator status nutrisi postoperatif
yang lebih baik. Alasan penurunan binding-protein telah dijelaskan melalui hipotesis
hormon bebas; penurunan binding-protein menyebabkan lebih banyak hormon retinoid,
kortisol dan tiroid bebas.
METABOLISME ENERGI

Sering kali, pasien yang stress memiliki laju metabolisme istirahat yang meningkat.
Setelah operasi terencana, terjadi peningkatan rata-rata sebesar 10-15% diatas nilai
postoperatif. Puncaknya terdapat pada hari ketiga postoperatif dan periode
hipermetabolisme telah dilaporkan hingga setidaknya hari ke-21 pada pasien trauma kritis
dan pasien luka bakar. Pasien dengan sepsis mengalami peningkatan sebesar 20-40%,
padahal pasien dengan luka bakar memiliki peningkatan yang paling besar (hingga 120,
pada dasarnya peningkatan sesuai dengan luas luka bakar). Setelah perdarahan subaraknoid,
energi saat istirahat yang dikeluarkan 18% lebih tinggi dari perkiraan untuk sekurang-
kurangnya lima hari pertama. Pasien dengan trauma mekanis ventilasi memiliki peningkatan
pengeluaran energi yang lebih rendah (17%) dibandingkan pasien dengan nafas spontan,
kemungkinan karena pengaruh sedasi dan tidak adanya atau minimalnya kerja pernafasan.
Peningkatan pengeluaran energi muncul dimediasi oleh perubahan lingkungan metabolik.
Infus ketokolamin pada subjek normal meningkatkan laju metabolik, dan peningkatan ini
lebih tinggi ketika kortisol, glucagon dan ketokolamin diinfus bersamaan. Beberapa telah
menggambarkan pengeluaran energi meningkat dengan peningkatan oksidasi protein dan
sintesis. Namun, hal ini tidak selalu menjadi soal. Lowry dan kawan-kawan mencatat bahwa
setelah operasi terencana, hanya terdapat perubahan sederhana pada pengeluaran energi,
disamping peningkatan dari perputaran protein. Hal ini menunjukan bahwa terdapat
hubungan kecil antara kedua hal ini. Proses metabolik lainnya mungkin berkontribusi
terhadap peningkatan pengeluaran energi adalah peningkatan substansi karbohidrat dan
siklus fat futile, suatu proses yang menyebabkan peningkatan utama pada pengeluaran
energi. Alasan teotologi untuk peningkatan dalam siklus futile adalah terdapat fleksibilitas
pada pasien untuk beradaptasi secara cepat untuk perubahan kebutuhan subtract energi.
Demam juga memiliki peran dalam hipermetabolisme.

Berbagai faktor lingkungan juga memiliki efek terhadap pengeluaran energi.


Peningkatan temperatur ambien (dan kelembapan) mampu mengurangi pengeluaran energi
pada pasien luka bakar dengan menurunkan hilangnya energi akibat evaporasi dan, sebagai
gantinya, menurunkan kebutuhan untuk menciptakan peningkatan energi untuk menjaga
temperatur tubuh.

DUKUNGAN NUTRISI
Pemahaman mengenai perubahan yang terjadi pada lingkungan metabolik terhadap
respon stress penting dalam perencanaan dukungan nutrisi pada pasien cidera atau sepsis.
Karena pasien cidera dan sepsis tidak respon terhadap nutrisi eksogen seperti halnya pasien
post operasi atau subjek yang kelaparan, efektivitas dukungan nutrisi sering kali terbatas
oleh hal yang mendasari lingkungan metabolik yang bertentangan yang menurunkan
penggunaan nutrisi yang diberikan. Hal ini memperumit desain regimen nutrisi dan telah
mengarah kepada strategi multipel yang ditujukan untuk mengatasi faktor-faktor
penghambat.

Pemberian glukosa dan karbohidrat eksogen untuk pasien cidera dan sepsis tidak
atau hanya meminimalisir penurunan laju glukoneogenesis. Hal ini bertentangan dengan
pemberian makan pada pasien yang kelaparan yang asupan karbohidratnya mengurangi
glukoneogenesis dan lipolisis. Disamping penurunan penggunaan glukosa, tetap menjadi
suatu hal yang penting untuk pemberian karbohidrat karena beberapa jaringan ditubuh tidak
mampu untuk menggunakan substrat lain dengan segera. Lebih jauh lagi, ambilan glukosa
dan karbohidrat menstimulas sekresi insulin tambahan, yang akan meningkatkan sintesis
protein dan memiliki efek antilipolitik. Namun, adanya hiperglikemia membatasi jumlah
glukosa dan karbohidrat yang dapat diberikan, derajat hiperglikemia yang diinduksi oleh
total nutrisi parenteral sesuai dengan laju infus glukosa dan derajat cidera. Pasien usia tua
lebih beresiko mengalami hiperglikemia. Glukosa berlebih di metabolisme menjadi
karbondioksida dan dikonversi menjadi glikogen, tetapi belum siap untuk dikonversi
menjadi lemak, karena blockade hasil bersih lipogenesis. Pemberian glukosa dalam jumlah
besar pada beberapa pasien menghasilkan peningkatan pengeluaran energy lebih lanjut
karena stimulasi sistem saraf simpatik. Peningkatan laju metabolik ini (konsumsi oksigen),
bersamaan dengan peningkatan produksi karbondioksia, membutuhkan peningkatan menit
ventilasi. Disarankan ambilan glukosa pada pasien-pasien ini dibatasi kurang dari 4
mg/kgBB per menit.

Pasien kritis, stress (trauma atau sepsis) sering kali memperoleh 80% kebutuhan
energi mereka dari lemak. Emulsi lemak yang mengandung rantai panjang polyunsaturated
trigliserida diberikan secara intravena. Kebanyakan pasien dengan mudah membersihkan
dan mengoksidasi triliserida ini, tetapi porsi kecil dengan sepsis berat tidak mampu secara
adekuat membersihkan dan mengoksidasi lemak. Pasien stresss menggunakan lemak untuk
menyediakan 50% kalori non protein. Jeejeebhoy dan kawan kawan membandingkan
formulasi nutrisi yang mengandung karbohidrat (glukosa) sebagai satu-satunya sumber non
protein terhadap formula nutrisi yang mengandung rata-rata dengan jumlah glukosa dan
lemak yang sama. Mereka menemukan bahwa kedua formula ini sama-sama menghemat
nitrogen.

Ketentuan protein pada pasien dengan stress merupakan aspek penting untuk
dukungan nutrisi. Kalori non-protein yang adekuat (dari lemak dan karbohidrat) harus di
disediakan, sehingga infus asam amino dapat digunakan sebagai substrat untuk mengurangi
hilangnya nitrogen. Protein eksogen atau asam amino sering diberikan untuk pasien cidera
dalam usaha untuk mengurangi pemecahan protein endogen dengan menyediakan sumber
asam amino alternatif untuk gluconeogenesis dan sintesis protein. Sayangnya, pada titik
tertentu proteolysis secara relative tidak respon pada mekanisme timbal balik negative pada
umumnya, termasuk pemberian glukosa, protein dan asam amino eksogen. Oleh karena itu,
asam amino dan protein eksogen tidak tidak baik digunakan, dan keseimbangan nitrogen
tetap negative hingga fase kovalen. Terdapat ketertarikan yang mengusik dalam penggunaan
substansi anabolic, terutama insulin, untuk meningkatkan penggunaan nitrogen. Diantara
konsekuensi utama pemberian glukosa dan karbohidrat adalah stimulasi sekresi insulin.
Pada dosis yang rendah, insulin mengurangi pemecahan protein dengan menghambat jalur
proteolitik ATP-ubiquitin proteasome dan dapat menstimulasi sintesis protein ketika
terdapat avaibilitas asam amino interselular yang adekuat. Pada dosis yang lebih tinggi,
diduga dapat menstimulasi sintesis protein. Secara bergantian, supresi sekresi insulin,
seperti yang terdapat selama infus hormone stress (kortisol, glukagon, epinefrin) pada
subjek yang sehat, meningkatkan kehilangan nitogen diseluruh tubuh dan penghabisan asam
amino di lengan. Pemberian insulin dalam dosis rendah pada pasien luka bakar
meningkatkan sintesis protein otot skeletal dan meningkatkan formasi matrik luka.
Ketentuan nutrisi hipokalori parenteral dengan insulin dosis tinggi meningkatkan
keseimbangan nitrogen pada pasien kanker post operatif. Bagaimanapun juga, efek anabolic
atau insulin pada metabolisme protein tidak jelas dalam hal pemberian makan pasien dengan
trauma secara enteral. Oleh karena itu, rute pemberian asupan nutrisi mungkin memiliki
peran dalam efek anabolic insulin.

Substantsi anabolic lainnya yang telah atau sedang diteliti termasuk GH, IGF-1, dan
anabolic steroid. Pemberian GH pada pasien kritis yang menerima dukungan nutrisi telah
diteliti mengurangi hilangnya nitrogen dan meningkatkan tahanan posfat. Namun, hasil
penerlitian mengenai pemberian GH pada penyakit kritis menunjukan tidak adanya
perbaikan pada outcome pasien. Selain itu, satu penelitian melaporkan mortalitas berlebih
pada pasien kritis, yang mungkin disebabkan oleh efek diabetogenik dan lipolitik dari GH.
Oleh karena itu, GH merupakan substansi anabolic yang tidak layak untuk penyakit kritis
akut dan mungkin lebih berguna selama periode kovalens. IGF-1 menstimulasi sintesis
protein pada dosis rendah dan pada dosis tinggi mengurangi proteolysis. IGF-1 memiliki
keuntungan dibandingkan dengan GH karena tidak bersifat diabetogenik (meningkatkan
sensitivitas insulin) dan efektif ketika terjadi resistensi GH. Pemberian IGF-1 untuk tiga hari
menurunkan oksidasi protein dan ketika diberikan bersamaan dengan binding-protein,
IGFBP-3, melemahkan katabolisme pada pasien luka bakar. Penelitian lebih lanjut
mengenai substansi-substansi ini masih dalam proses. Usaha lainnya adalah pemberian
anabolic steroid, yang memiliki efek positive dalam ukuran dan kekuatan otot, tetapi dapat
memiliki efek yang merugikan dalam segi prikososial, kardiovaskular, dan trombotik.
Hormon-hormon ini meningkatkan ambilan asam amino dan air dan meningkatkan
penggunaan lemak pada pasien katabolic, namun gagal dalam mempromosikan peningkatan
yang signifikan dalam sintesis protein viseral. Steroid anabolik bisa jadi lebih berguna
dalam memulihkan masa otot pada pasien dengan penyakit yang tidak kritis.

Glutamin telah menjadi focus penelitian karena glutamin penting dalam menjaga
usus dan integritas imunologi selama masa kritis. Glutamin merupakan asam amino yang
paling melimpah dalam darah dan dengan sendirinya menjadi stimulator insulin-
independent untuk gluconeogenesis. Glutamin merupakan bahan bakar utama untuk
pembelahan sel secara cepat seperti enterosit dan immunosit. Glutamin juga termasuk
kedalam transport nitrogen interorgan. Bukti dari penelitian dengan hewan telah
mengindikasikan glutamin dapat menjadi asam amino essensial selama masa kritis dari
suatu penyakit dan pemberian nutrisi berupa suplemen glutamin baik parenteral maupun
enteral dapat mencegah translokasi bakteri. Data dari penelitian pada manusia kurang
menarik. Glutamin lebih insoluble dan oleh karena itu sulit untuk di berikan. Beberapa telah
sukses memberikan asupan glutamin melalui infus sebagai asam amino L, glutamine-
dipeptides atau alanyl glutamate. Laporan asli mengindikasikan bahwa pasa beberapa pasien
katabolik, nutrisi yang mengandung glutamin dapat meningkatkan struktur dan fungsi usus,
mengerahkan efek anabolik, dan menurunkan angka morbiditas, biaya rumah sakit, angka
infeksi, dan lama perawatan di rumah sakit. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
memastikan pemberian glutamin dapat meningkatkan outcome.

GENDER DAN RESPON STRESS

Aspek tertentu terhadap respon stress berbeda antara pria dan wanita. Dibandingkan
pria, aktivasi system simpatik pada wanita dilemahkan atau secara bergantian, hambatan
simpatoadrenal ditingkatkan. Similiar pada pria, pria memiliki peningkatan vasopressin
arginine dan ACTH lebih besar dalam respon physostigmin dibandingkan wanita,
mengindikasikan perbedaan sensitivitas aksis HPA. Wanita dengan trauma mengalami
peningkatan serum IGF-1 dan perubahan minimal pada konsentrasi transthyretin
(prealbumin), padahal pada pria dengan trauma, kedua hal tersebut mengalami penurunan.
Konsentrasi serum IGF-binding protein-3 meningkat seriring dengan tingkat keparahan
cidera pada wanita yang mengalami trauma. Hubungan terbalik ditemukan diantara pria
dengan trauma. Yang paling menarik adalah observasi terhadap prognosis yang secara
signfikan lebih baik diantara wanita dengan sepsis dibandingkan lelaki dengan sepsis. Hal
ini berhubungan dengan konsentrasi TNF proinflamasi pada pria dan tingginya anti
inflamasi IL-10 pada wanita. Perbedaan ekspresi sitokin juga ditemukan. Monosit pada pria
menghasilkan reseptor IL-1 tipe dua yang lebih soluble dibandingkan monosit pada wanita.

Dapat disimpulkan, respon cidera dan sepsis menunjukan hasil pada permasalahan
mendalam mengenai fisiologi homeostasis. Perubahan utama terdapat hampir di semua
sistem tubuh yang dimediasi oleh substansi-substansi bioatktif oleh SSP (system saraf pusat)
dan endokrin, imun, dan sistem hematopoietik. Hal yang mendasari lingkungan metabolik
rusak, kemampuan metabolism substrat endogen dan nutrisi eksogen berubah. Namun,
disamping penemuan yang berkelanjutan mengenai mediator dari respon kompleks ini
selama dua dekade terakhir, banyak aspek respon yang belum dimengerti. Penelitian lebih
lanjut dibutuhkan untuk mengungkap misteri yang tersisa sehingga jalan untuk efek yang
merugikan terhadap respon stress ditekan dan aspek keuntungan yang bisa dikembangkan
diperkuat.

Anda mungkin juga menyukai