Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut data kesehatan 2005, lebih dari sejuta orang meninggal setiap
tahun karena cedar kepala, di mana 80 persen kematian ada diafrika dan 15
persen di Asia, termasuk Eropa Timur.

Jumlah kasus cedar kepala yang dilaporkan di Indonesia pada pada tahun
2009 adalah 1.100.024 orang "Jumlah ini mungkin lebih kecil dari keadaan
yang sebenarnya, karena tidak semua kasus dilaporkan akibat hambatan
transportasi dan komunikasi dari desa-desa endemis yang terpencil." kala
Menkes.

Menurut Menkes, tahun 2009 terjadi penurunan kasus dibanding tahun


Sebelumnya yang mencapai sekitar 2.juta kasus/tahun. Penurunan ini terjadi
berkat adanya teknologi tepat guna dalam mengatasi,kecelakaan yang ada di
Negara ini.. Antara lain, mematuhi peraturan atau tata cara dlam berkendara
khususnya bagi pengendara sepeda motot wajib memakai helmet dua.

Cedra kepala merupakan penyakit yang sering di temukan di wilayah


Kepri, khususnya Kota Tanjungpinang. Sementara itu, hingga Maret 2010
jumlah penderita cedar kepala yang dirawat di rumah sakit 291 orang yang
mengandung cedar kepala ringan 154 (53 persen), cedar kepala sedang 134 (46
persen) dan cedar kepala berat 3 orang atau 1 persen.

13
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa Prodi DIII Keperawatan dapat melakukan dan
menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakitr cedar
kepala
2. Tujuan Khusus
a. Agar Mahasiswa dapat mengetahui defenisi cedra kepala
b. Agar Mahasiswa dapat mengetahui anatomi dan fisiologi kepala
c. Agar Mahasiswa dapat mengetahui etiologi cedra kepala
d. Agar Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi cedra kepala
e. Agar Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis cedra kepala
f. Agar Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari cedra kepala
g. Agar Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang cedra
kepala
h. Agar Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan medis cedra
kepala
i. Agar Mahasiswa dapat mengkaji pada pasien cedra kepala
j. Agar Mahasiswa dapat menegakkan diagnosa pada pasien cedra
kepala
k. Agar Mahasiswa menyusun rencana tindakan (intervensi)
keperawatan pada pasien cedra kepala
l. Agar Mahasiswa dapat melakukan tindakan (impleentasi)
keperawatan sesuai dengan rencana yang telah dibuat
mengevaluasinya
C. Sumber Data
Dalam penyusunan makalah ini tim penyusun menggunakan sumber data
dari :
1. Kepustakaan
Tim Penyusun memilih metode perpustakaan karna metode ini
merupakan metode yang berlandaskan atas referensi yang terdapat dalam
buku – buku di perpustakaan serta yang terdapat di web (internet)

D. Sistematika penulisan
Makalah ini disusun secara sistematis yang terdiri dari halaman judul,
kata pengantar, daftar isi, isi terdiri dari 3 bab yang tersusun sebagai berikut :
a. BAB I : PENDAHULUAN

13
Meliputi latar belakang masalah,tujuan umum dan
tujuan khusus, metode penulisan dan sistematika
penulisan.
b. BAB II : TINJAUAN TEORITIS

Terdiri dari definisi , anatomi fisiologi sistem sirkulasi,


patofisiologi, pathway, etiologi, manifestasi klinik,
komplikasi, pemeriksaan penunjang serta
penatalaksanaan medik
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Terdiri dari pengkajian, diagnose, intervensi,
implementasi dan evaluasi
c. BAB III : PENUTUP

Mencakup kesimpulan dan saran


d. DAFTAR PUSTAKA

BAB II
TINJAUAN TEORITIS PENYAKIT CEDRA KEPALA

A. Tinjauan Teoritis

1.Definisi

13
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (
accelerasi – decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk. Dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.

Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan


kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput
otak, dan jaringan otak itu sendiri .Menurut Brain Injury Assosiation of
America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik
dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik . Menurut
David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa
perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan
keras pada kepala.

2.Anatomi dan fisiologi

anaatomi

A. Kulit Kepala

13
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii . Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital . Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum .

B. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3


lapisan yaitu :

1. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera
otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis

13
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan


dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media)

2. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.


Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri
dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus
saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk
kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

C. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon
(otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak

13
tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan


dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

D. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan


kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

E. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang


supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

13
F. Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

Fisiologi Kepala

Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah


intrakranial, cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal
TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang
diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat
menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.
Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg,
terutama bila menetap.

Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat
terus bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran
CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara
cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus
selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie.

Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min


atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang
cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa
antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa
lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12

13
jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO
akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap
koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah
cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level
60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO.

3.Patofisiologi

Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga
(6)
kepala . Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam
terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri.

Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu

1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,


2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,

3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada


benda yang lain dibentur oleh benda yang bergerak (kepala
tergencet).

Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala
diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak,
pergeseran otak dan rotasi otak (6).

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup


dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja
pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera
kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang
terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan
daerah benturan. Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan.

13
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera
kepala primer dan cedera kepala skunder. Cedera kepala primer merupakan
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil,
sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang
optimal.

Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer


dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat,
pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat
kesembuhan/keluaran penderita.

Penyebab cedera kepala skunder antara lain; penyebab sistemik


(hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan
penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema,
pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).

Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural


(perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan
subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea),
higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea),
perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam
ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa
darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri),
edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak),
kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan
ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia

13
dan hematoma serenri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada
cedera otak.

4.pathway

13
5.Klasifikasi

13
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan
morfologi.

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;

1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu


(3,17)
lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul . Pada cedera tumpul
terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak
bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada
protuberans tulang tengkorak.
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;

1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar
tengkorak. Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari
satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif).
Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak
memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan
perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak .
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural,
perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus
dan terjadi secara bersamaan.

Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala


digunakan Glasgow Coma Scale (GCS) .Penilaian ini dilakukan terhadap
respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan
interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam
menjadi:

13
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai
cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

6.Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi


anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu
kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu
(6,27)
badan . Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus
dilakukan yaitu dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali
dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan
sebagai standar internasional.

Tabel 2.1 Coma Scale

13
Coma Scale Nilai

Respon membuka mata (E)


Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
Nilai GCS = ( E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3

Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata,


pergerakan wajah, respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial
perlu dilakukan. Pupil pada penderita cedera kepala didak berdilatasi pada
keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai
tanda awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak
ekstrimitas dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan

13
medula spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan dasar menentukan tingkat
kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita (6,28).

CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita


(29,30)
cedera kepala . CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak
dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat,
GCS<15>(3). CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur,
perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar
(29,30,31)
pada jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan otak . Selain itu
juga dapat digunakan foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan sken
(6,30)
tomografik terkomputerisasi . Pada pasien cedera kepala berat, penundaan
transportasi penderita karena menunggu CT scan sangat berbahaya karena
diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting (3).

Transportasi penderita cedera kepala

Transportasi penderita cedera kepala terutama penderita dengan cedera


kepala sedang dan berat harus cepat dilakukan untuk mendapatkan tindakan
medis yang cepat, tepat dan aman (2,32). Karena keterlambatan sampai di rumah
sakit, 10 % dari total penderita cedera kepala di Amerika Serikat meninggal (3).
Pada penderita cedera kepala berat sering menderita gangguan pernafasan,
syok hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan
intrakranial meninggi, kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler, karena itu
perlu penanganan yang cepat (6). Tindakan gawat darurat yang perlu dilakukan
untuk menyelamatkan penderita yaitu; menjaga kelancaran jalan nafas (air
way), oksigenasi yang adekuat, resusitasi cairan, melindungi vertebra
servikalis dan torakolumbal, identifikasi dan stabilisasi perdarahan
ekstrakranial, dan menilai tingkat kesadaran penderita (26).

13
Dalam penganan pasien dengan cedera kepala berat transportasi sangat
penting, karena berhubungan dengan cedera kepala sekunder. Cedera kepala
sekunder yang sering terjadi dan menyebabkan kematian adalah hipoksia dan
(3)
hipotensi . Waktu tunggu penderita dirumah sakit untuk penanganan
penderita cedera kepala untuk cedera kepala berat <5>(33). Pada penderita
cedera kepala berat dengan perdarahan subdural sebaiknya interval waktu
kejadian trauma dan tindakan yang dilakukan kurang dari 4 jam, sedangkan
(17)
pada penderita dengan interval waktu lebih dari 12 jam prognosis buruk .
Seelig et al telah melakukan penelitian tentang pentingnya penanganan dan
transportasi yang cepat pada penderita dengan cedera kepala berat tertutup
dan perdarahan subdural akut. Penderita dengan hematoma yang dievakuasi
lebih kurang 4 jam, angka kematiannya 30% dan 65% dengan keluaran baik.
Sedangkan penderita yang dioperasi diatas 4 jam, angka kematiannya 90%
dan kurang dari 10 % dengan keluaran baik (4).

Faktor-faktor yang memperburuk prognosis pada penderita cedera


kepala yaitu; terlambatnya penanganan awal/resusitasi,
pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak
adekuat, terlambatnya delakukan tindakan bedah dan adanya cedera multipel
yang lain (1).

Pengukuran keluaran penderita cedera kepala

Berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75-80%)


penderita cedera kepala adalah cedera kepala ringan, cedera kepala sedang
(19)
dan berat yang masing-masingnya antara 10% dan 20% . Sebagian besar
penderita dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala
sisa yang sangat ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera
kepala ringan lebih kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang

13
berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 10-
20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh
dalam koma. Pada penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk
dengan cedera skunder. Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada
penderita cedera kepala berat akan menyebabkan mortalitas mencapai 75% (3).

Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya


cedera, lokasi cedera, umur dan kesehatan penderita. Beberapa kejadian
kecacatan tersering yaitu masalah kesadaran (fikiran, ingatan dan akal sehat),
proses sensorik (melihat, mendengar, meraba, mengecap dan menghidu),
berkomunikasi (ekspresi dan pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan
mental (depresi, gelisah/cemas, perubahan kepribadian, agresif/menyerang,
dan keadaan sosial yang tidak normal) (27).

Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit


(32,34)
. Terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang
tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya
dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan
(1)
faktor-faktor yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala . Untuk
keluaran penderita, pengukuran standar yang biasa digunakan adalah Glasgow
Outcome Scale (GOS) yang dikemukakan oleh Jennett dan Bond (1975)
(2,26,35)
.

13
Tabel 2.2 glasgow outcome scale (35)

Skore Kategori Keterangan


Merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Penderita
menjadi sadar kembali dan meninggal setelah itu karena
komplikasi skunder dan penyebab lain.

Penderita tidak memberikan respon dan tidak bisa berbicara


untuk beberapa waktu kedepan. Penderita mungkin dapat
membuka mata dan menunjukkan siklus tidur dan bangun tetapi
Death
fungsi dari korteks serebral tidak ada.
(meninggal)

1 Membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan aktifitas


Vegetative
sehari-hari disebabkan karena kecacatan mental atau fisik,
state
2 biasanya kombinasi antara keduanya. Kecacatan mental yang
Severe berat kadang-kadang juga dapat dimasukkan dalam klasifikasi
3
disability ini pada penderita dengan kecacatan fisik sedikit atau tidak ada.

4
Moderate Dapat berjalan-jalan menggunakan transportasi umum dan

5 disability bekerja di tempat-tempat tertentu (dengan perlindungan) dan


dapat beraktifitas bebas sejauh kegiatan tersebut tidak
Good
mengkhawatirkan. Ketidakmampuan(kecacatan) penderita
recovery
mencakup perubahan derajat dari dispasia, hemiparise, atau
ataksia maupun berkurangnya intelektual dan daya ingat dan
perubahan personalitas. Lebih mampu untuk melakukan hal-hal
protektif diri.

Dapat melanjutkan kehidupan normal sekalipun terjadi keadaan


defisit neurologis

13
Evaluasi/taksiran penilaian praktis dari keluaran penderita cedera
kepala berat.

GOS dibagi menjadi 5 skala yaitu: good recovery, moderate disability,


(2,26,35)
severe disability, vegetative dan death . Dari skala di atas dapat dibagi
menjadi keluaran baik/favorable outcome (good recovery dan moderate
disability) dan keluaran buruk/unfavorable outcome (severe disability,
(26)
vegetative dan dead) . Cederatic Coma Data Bank menganalisa 760
penderita cedera kepala dan mengidentifikasi 5 faktor yang berhubungan
dengan keluaran buruk yaitu; umur penderita diatas 60 tahun, GSC <5,>(29).

Data dari Rosner, Marion and rekan kerjanya melaporkan total


penderita 241 orang dengan GCS <7,>(26).

Dari data Journal of Nuerotaruma ada beberapa penelitan terbaru yang


berhubungan dengan tingkat keparahan ataupun keluaran penderita cedera
kepala terutama penderita cedera kepala berat. Kadar magnesium serum yang
rendah berhubungan dengan keluaran buruk pada penderita setelah cedera
kepala berat. Respon stres berperan oenting dalam penurunan konsentrasi
magnesium. Serum hipomagnesemia menjadi independent marker untuk
(36)
beratnya cedera kepala . Penderita cedera kepala dengan usia 75 tahun atau
lebih secara signifikan tidak dapat bertahan hidup setelah tindakan bedah dari
pada penderita muda (14-64 tahun) (37). Von Willebrand Factor (VWF) dikenal
sebagai biomaker dari cedere pada endotelial. Peningkatan dari kadar serum
VWF terjadi karena aktivasi endotelial pada cedera kepala berat. Peningkatan
serum VWF pada cedera kepala cerat merupakan tanda dari keluaran buruk
(38)
dari penderita . High intracranial pressure (HICP) adala komplikasi yang
sering dijumpai dan berbahaya dari cedera kepala, berat dan durasi HICP

13
berhubungan dengan keluaran buruk penderita dan memerlukan terapi yang
intensif (39).

7.Komplikasi

a.Koma.

Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma.


Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya
memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative
statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan
respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih
dari satu tahun jarang sembuh (6,31).

b.Seizure.

Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-


kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy (6,31).

c.Infeksi.

Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran


(meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem
saraf yang lain (6,31).

13
d.Kerusakan saraf.

Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada


nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau
kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan
terjadinya penglihatan ganda (6,31).

e.Hilangnya kemampuan kognitif.

Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan


memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera
kepala berat mengalami masalah kesadaran (6,31).

f.Penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Pada kasus cedera kapala resiko perkembangan terjadinya penyakit


alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi
tergantung frekuensi dan keparahan cedera (6,31).

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili


tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat
(1)
membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit . Untuk penatalaksanaan
penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah
menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu
ringan, sedang dan berat (3).

Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan


survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang

13
diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D
(disability), dan E(exposure/environmental control) yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan
cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak skunder dan menjaga homeostasis otak .

Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus


diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan
besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada
penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha
untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis
(cervical spine
control) yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang
berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw
thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila
ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari
atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat,
perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat
bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah
yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika
penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat,
bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal (1).

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat


kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan
adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang

13
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif
normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke
otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk
memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka
tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi
hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50
mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka.

Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi.


Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%,
sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu,
karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak
dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down
(kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena
di kepala dan menaikkan tekanan intracranial (1).

Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat


menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila
keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik
penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi
respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil,
gerakan bola mata (doll's eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori
dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.

13
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit.
Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil
CT scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran,
kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-
obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna,
GCS<15>(3).

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk


memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang
dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,
hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan (3).

Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom


intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan
fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm (3,29).

9.Pemeriksaan Diagnostik:

1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya


hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan
otak.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial.

13
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini.
Dasar data pengkajian

 Identitas
 Keluhan utama : Cederakepala denganpenurunan kesadaran
 Riwayat kesehatan
a. Sakit kepala
b. Pusing
c. Kehilangan memori
d. Bingung
e. Kelelahan
f. Kehilangan visual
g. Kehilangan sensasi
h. Muntah proyektil
i. GCS menurun
j. Tanda rangsangan meningeal
 Pemeriksaan fisik

a. Pernafasan ( B1 : Breathing )

Hidung : Kebersihan

Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu pernafasan, ronchi di
seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama pernafasan, nafas dangkal.

13
Inspeksi : Inspirasi dan ekspirasi pernafasan, frekuensi, irama, gerakan cuping
hidung, terdengar suara nafas tambahan bentuk dada, batuk

Palpasi : Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil fremitus raba sama antara
kanan dan kiri dinding dada

Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup pada batas
paru dan hepar.

Auskultasi : Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru, suara


ronchi dan weezing.

b. Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )

Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung pada ictus cordis 1
cm lateral medial ( 5 ) Pulsasi jantung tampak..

Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi dingin, berkeringat

Perkusi : Suara pekak

Auskultasi : Irama reguler, sistole/murmur, bendungan vena jugularis, oedema

c. Persyarafan ( B3 : Brain ) Kesadaran, GCS

Kepala : Bentuk ovale, wajah tampak mioring ke sisi kanan

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icteric, pupil isokor, gerakan
bola mata mampu mengikuti perintah.

13
Mulut : Kesulitan menelan, kebersihan penumpukan ludah dan lendir, bibir
tampak kering, terdapat afasia.

Leher : Tampak pada daerah leher tidak terdapat pembesaran pada leher, tidak
tampak perbesaran vena jugularis, tidak terdapat kaku kuduk.

d. Perkemihan-eliminasi urine ( B4 : Bledder )

Inspeksi : Jumlah urine, warna urine, gangguan perkemihan tidak ada,


pemeriksaan genitalia eksternal, jamur, ulkus, lesi dan keganasan.

Palpasi : Pembesaran kelenjar inguinalis, nyeri tekan.

Perkusi : Nyeri pada perkusi pada daerah ginjal.

e. Pencernaan-eliminasi alvi ( B5 : Bowel )

Inspeksi : Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen normal tidak ada
kelainan, keluhan nyeri, gangguan pencernaan ada, kembung kadang-kadang,
terdapat diare, buang air besar perhari.

Palpasi : Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia, tidak ada nyeri
tekan.

Perkusi : Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara pekak pada daerah
hepar.

Auskultasi : Peristaltik lebih cepat.

Abdomen : Tidak terdapat asites, turgor menurun, peristaltik ususnormal.

Rektum : Rectal to see

13
f. Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )

Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat gerak pasif, droop
foot, kelemahan otot pada ekstrimitas atas dan bawah.

Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik, akral kulit.

Pola aktivitas sehari-hari

Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat; kebiasaan merokok, riwayat
peminum alkohol, kesibukan, olah raga.

Pola nutrisi dan metabolisme; makan teratur, minum perhari, kesulitan


menelan, diet khusus, BB, postur tubuh, tinggi badan.
Pola eliminasi; BAB dengan jumlah feses, warna feses dan khas, BAK dengan
jumlah urine, warna urine dengan kejernihan, pada eliminasi alvi, relative
tidak ada gangguan buang air.

Pola tidur dan istirahat; kebiasaan sehari-hari tidur dengan suasana tenang
Pola aktivitas dan latihan; aktivitas sehari-hari bekerja
Pola hubungan dan peran; hubungan dengan orang lain dan keluarga,
kooperatif dengan sesamanya.

Pola sensori dan kognitif; mampu melihat dan mendengar serta meraba,
disorientasi, reflek.

Pola persepsi dan konsep diri; melakukan kebiasaan bekerja terlalu keras,
senang ngobrol dan berkumpul.

Pola seksual dan reproduksi

13
Pola mekanisme/pola penanggulangan stres dan koping; keluhan tentang
penyakit.

Pola tata nilai dan kepercayaan; adnya perubahan status kesehatan dan
penurunan fungsi tubuh.

Personal higiene; kebiasaan mandi/hari, gosok gigi/hari, dan cuci


rambut/minggu.
Ketergantungan; ketergantungan terhadap orang lain terutama keluarga.

Aspek psikologis; cemas akan penyakit, merasa terasing,dan sedikit stres.


Aspek sosial/interaksi; hubungan antar keluarga, teman kerja, maupun
masyarakat disekitar tempat tinggal.

Aspek spiritual; ajaran agama, dijalankan setiap saat, mengukui kegiatan


agama, pemenuhan kebutuhan spiritualnya.

Pemeriksaan Diagnostik:

1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,


menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
2. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.

3. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)


jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

4. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat


peningkatan tekanan intrakranial.

13
Prioritas perawatan:

1.Memaksimalkan perfusi/fungsi otak

2. Mencegah komplikasi

3.Pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.

4.Mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga

5.Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana


pengobatan, dan rehabilitasi.

2.DIAGNOSA KEPERAWATAN:

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian


aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan
persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.

3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma,


kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi


atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan
/kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.

13
5. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien
(penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk
mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.

3.RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran


darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD
sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)

Tujuan:

Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan


fungsi motorik/sensorik.

Kriteria hasil:

Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK


Rencana Tindakan :

1. Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi


jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.

2. Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan


dengan nilai standar GCS.

3. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan,


reaksi terhadap cahaya.

4. Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.

13
5. Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.

6. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti


lingkungan yang tenang.

7. Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah,


mengejan.

8. Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat


ditoleransi.

9. Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.

10. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

11. Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid,


antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.

2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan


neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau
kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.

Tujuan:

mempertahankan pola pernapasan efektif.

Kriteria evaluasi:

bebas sianosis, GDA dalam batas normal

Rencana tindakan :

13
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat
ketidakteraturan pernapasan

2. Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan


pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai
indikasi.

3. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai


indikasi.

4. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila


pasien sadar.

5. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-


15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.

6. Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya


suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.

7. Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri

8. Lakukan rontgen thoraks ulang.

9. Berikan oksigenasi.

10. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit


rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan

13
nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas
sistem tertutup (kebocoran CSS)

Tujuan:

Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.

Kriteria evaluasi:

Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.

Rencana tindakan :

1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci


tangan yang baik.

2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang


terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya
inflamasi.

3. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil,


diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).

4. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret


paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.

5. Berikan antibiotik sesuai indikasi

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau


kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan
keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.

13
Tujuan :Klien merasa nyaman.

Kriteria hasil :

Klien akan melaporkan peningkatan kekuatan/ tahanan dan menyebutkan


makanan yang harus dihindari.

Rencana tindakan :

1. Dorong klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dengan bantalan


penghangat diatas abdomen.

R/ tindakan ini meningkatkan relaksasi otot GI dan mengurangi tenaga


selama perawatan dan saat klien lemah.

2. Singkirkan pemandangan yang tidak menyenagkan dan bau yang tidak


sedap dari lingkungan klien.

R/ pemandangan yang tidak menyenagkan atau bau yang tidak sedap


merangsang pusat muntah.

3. Dorong masukan jumlah kecil dan sering dari cairan jernih (misal :teh
encer, air jahe, agar-agar, air) 30-60 ml tiap ½ -2 jam.

R/ cairan dalam jumlah yang kecil cairan tidak akan terdesak area
gastrik dan dengan demikian tidak memperberat gejala.

4. Instruksikan klien untuk menghindari hal ini :

 Cairan yang panas dan dingin


 Makanan yang mengandung serat dan lemak (misal; susu,
buah)

13
 Kafein

R/ Cairan yang dingin merangsang kram abdomen; cairan panas


merangsang peristaltik; lemak juga merangsang peristaltik dan kafein
merangsang motilitas usus.

5. Lindungi area perianal dari iritasi

R/ sering BAB dengan penigkatan keasaman dapat mengiritasi kulit


perianal.

5. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien
(penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk
mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.

Tujuan :

 Intake nutrisi meningkat.


 Keseimbangan cairan dan elektrolit.

 Berat badan stabil.

 Torgor kulit dan membran mukosa membaik.

 Membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi diberikan per


oral.

 Keluarga mampu menyebutkan pantangan yang tidak boleh dimakan,


yaitu makan rendah garam dan rendah lemak.

Kriteria hasil :

13
Klien dapat mengatakan kondisinya sudah mulai membaik dan tidak
lemas lagi. Klien diberikan rentang skala (1-10).

1. Mengkaji keadaan nutrisi untuk mengetahui intake nutrisi klien.

2. Kaji faktor penyebab perubahan nutrisi (klien tidak nafsu makan,


klien kurang makan makanan yang bergizi, keadaan klien lemah dan
banyak mengeluarkan keringat).

3. Kolaborasi dengan tim gizi tentang pemberian mekanan yang sesuai


dengan program diet (rendah garam dan rendah lemak).

4. Membantu keluarga dalam memberikan asupan makanan peroral


dan menyarankan klien untuk menghindari makanan yang
berpantangan dengan penyakitnya.

5. Membantu memberikan vitamin dan mineral sesuai program.

6. Kolaborasi dengan Tim dokter dalam pemberian Transfusi Infus RD


5% 1500 cc/24 jam dan NaCl.

13
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

cerdra kepala termasuk kejadian trauma pada kulit kepala, tengkorak


atau otak.
Batasan trauma kepala digunakan terutama untuk mengetahui trauma
cranicerebral, termasuk gangguan kesadaran.
Kematian akibat trauma kepala terjadi pada tiga waktu setelah injury yaitu :
1. Segera setelah injury.
2. Dalam waktu 2 jam setelah injury
3. rata-rata 3 minggu setelah injury.
Pada umumnya kematian terjadi setelah segera setelah injury dimana
terjadi trauma langsung pada kepala, atau perdarahan yang hebat dan syok.
Kematian yang terjadi dalam beberapa jam setelah trauma disebabkan oleh
kondisi klien yang memburuk secara progresif akibat perdarahan internal.
Pencatatan segera tentang status neurologis dan intervensi surgical merupakan
tindakan kritis guna pencegahan kematian pada phase ini. Kematian yang terjadi 3
minggu atau lebih setelah injury disebabkan oleh berbagai kegagalan sistem
tubuh.

B. Saran

13
Adapun saran yang dapat penulis berikan untuk pasien adalah manjaga
keamanan dan keselamatan terutama pada bagian kepala karena benturan kpada
kepala dapat berakibat fatal,salah satunya kematian.

13

Anda mungkin juga menyukai