Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah Sakit / Rumah Sakit Khusus merupakan tempat-tempat
umum dimana didalamnya berinteraksi antara pengelola, klien / orang
sakit dan masyarakat / pengunjung dalam rangka pemberian pelayanan
kesehatan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai sebuah sarana layanan
kesehatan, rumah sakit juga menghasilkan limbah sebagai dampak dari
kegiatan operasionalisasinya.
Limbah rumah sakit harus dikelola mulai dari pengumpulan sampai
pemusnahan, sesuai dengan tatalaksana pengelolaan limbah rumah sakit
yang diatur oleh Kementerian Kesehatan. Pengelolaan limbah yang
sembarangan dapat menyebabkan masalah kesehatan dan pencemaran
lingkungan. Limbah padat terutama limbah padat medis, metode
pemusnahan yang masih banyak digunakan adalah dibakar dengan
insinerator karena metode ini bisa mengurangi volume limbah sampai 85%
( Rodan, 2002).
Insenerasi limbah medis bukanlah tanpa dampak. Gas yang
dihasilkan pembakaran insinerator dengan suhu rendah bisa berbahaya
bagi lingkungan dan kesehatan. Penelitian di Taiwan pada tahun 2005
menyimpulkan bahwa kandungan arsen pada urin dan darah pekerja rumah
sakit yang menjalankan insinerator lebih tinggi dibanding pekerja di
kantin, pegawai administrasi maupun sopir (Chao, 2005). Sedangkan
menurut penelitian Kyoung Ho Lee di Korea pada tahun 2003
menyimpulkan bahwa pekerja insinerator rumah sakit terbukti terpapar
polyciclic aromatic hydrocarbones (PAH) yang terdeteksi pada urin
pekerja insinerator melalui pengukuran urinary 1-hydroxypyrene
glucuronide (1 OHPG). Keterpaparan ini menyebabkan perubahan genotip
GSTM-1 yang memicu tingginya metabolisme polyciclic aromatic
hydrocarbones (Lee, 2006). Namun dari semua gas beracun yang

1
dihasilkan pembakaran limbah rumah sakit dengan insinerator, yang
paling berbahaya adalah timbulnya gas dioksin/furan. Gas ini terbentuk
dari pembakaran sampah rumah sakit yang mengandung chlorine,
plastik/polivynil chlorida (PVC) maupun pemutih.
Guna menjaga sterilitas, peralatan rumah sakit banyak yang
disposable (sekali pakai) sehingga timbulan limbah padat medis yang
mengandung plastik juga tinggi (Perdani, 2011).
Pencemaran akibat senyawa tersebut memberikan dampak untuk
jangka panjang maupun jangka pendek terhadap kesehatan mahluk hidup
ataupun lingkungan. Sifat persisten, akumulasi dan beracun dari
dioksin/furan menyebabkan pencemaran dioksin/furan berdampak besar
terhadap lingkungan, kesehatan (sosial) dan ekonomi. Terhadap kesehatan,
untuk jangka panjang dioksin/furan akan menyebabkan kanker, gangguan
pada sistem reproduksi dan cacat lahir; sedangkan jangka pendek akan
menyebabkan kerusakan hati, kehilangan berat badan ataupun penurunan
sistem kekebalan tubuh (Matsusshita, 2003; NIEHS, 2001).
Pemerintah Indonesia hingga kini belum memberi perhatian khusus
terhadap bahaya pencemaran dioksin/furan. Hal ini terlihat dari tidak
adanya perangkat kebijakan ataupun peraturan tentang tingkat pencemaran
tersebut. Berdasarkan survei pendahuluan dari 65 rumah sakit di DIY,
ada 18 rumah sakit yang mempunyai insinerator untuk membakar limbah
medis padat yang dihasilkan oleh rumah sakit tersebut, maupun limbah
rumah sakit lain atau fasilitas layanan kesehatan yang terikat kerjasama
dalam pemusnahan limbah medis padatnya.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan kriteria
insinerator yang memenuhi syarat diantaranya yaitu suhu pembakaran
limbah padat harus mencapai 1.000 oC. Namun agar dioksin/furan terurai
menjadi karbon dioksida (CO2), air (H2O) dan asam klorida (HCl) maka
suhu pembakaran harus lebih besar dari 1.200 oC.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber-sumber limbah gas Rumah Sakit?
2. Bagaimana cara mengolah limbah gas Rumah Sakit?
3. Apa saja dampak yang terjadi jika limbah gas Rumah Sakit tidak
diolah dengan baik dan benar?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui apa saja sumber-sumber limbah gas yang
dihasilkan oleh Rumah Sakit
2. Mahasiswa mengetahui cara pengolahan limbah gas Rumah Sakit.
3. Mahasiswa mengetahui apa saja dampak yang terjadi jika limbah gas
Rumah Sakit tidak diolah dengan baik dan benar.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Limbah Rumah Sakit


Sampah dan limbah rumah sakit adalah sampah dan limbah yang
dihasilkan oleh aktifitas rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya.
Apabila dibanding dengan kegiatan instansi lain, maka dapat dikatakan
bahwa jenis sampah dan limbah rumah sakit dapat dikategorikan komplek,
karena secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi menjadi 2
kelompok besar yaitu : limbah non klinis yakni limbah berasal dari
kantor/administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol),
sampah dari ruang pasien, sisa makanan buangan, sampah dapur (sisa
pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain) (Satmoko
Wisaksono, 2000:35). Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah
tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk
mengangkut dan membuangnya.
Limbah klinis adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis,
perawatan, gigi, veterinari, farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan,
penelitian atau pendidikan yang menggunakan bahan-bahan beracun,
infeksius berbahaya atau bisa membahayakan kecuali jika dilakukan
pengamanan tertentu. Bentuk limbah klinis bermacam-macam dan
berdasarkan potensi yang terkandung didalamnya, limbah klinis dapat
dikelompokan sebagai berikut:
1. Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut
tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau
menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena,
pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini
memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui
sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin
terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan
beracun.

4
2. Limbah infeksius, yakni limbah yang berkaitan dengan pasien yang
memerlukan isolasi penyakit menular, diantaranya limbah
laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari
poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular.
3. Limbah jaringan tubuh, yakni limbah yang meliputi organ, anggota
badan, darah, cairan tubuh, biasanya dihasilkan pada saat
pembedahan/otopsi.
4. Limbah sitotoksit, yakni bahan yang terkontaminasi atau mungkin
terkontaminasi dengan obat sitotoksit selama peracikan, pengangkutan
atau tindakan terapi sitotoksit.
5. Limbah farmasi, yakni limbah yang berasal dari obat-obat kadaluarsa,
obat-obat yang terbuang karena tidak memenuhi spesifikasi atau
kemasan yang terkontaminasi, obat-obat yang dibuang oleh pasien
atau masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi
yang bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi
obatobatan.
6. Limbah kimia, yakni limbah yang dihasilakan dari penggunaan bahan
kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses
sterilisasi, dan riset.
7. Limbah radioaktif, yakni bahan yang terkontaminasi dengan radio
isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida.
Limbah ini dapat berasal dari tindakan kedokteran nuklir.

B. Pengertian Limbah Gas Rumah Sakit


Limbah (menurut PP NO 12, 1995) adalah bahan sisa suatu
kegiatan dan atau proses produksi. Sedangkan limbah rumah sakit menurut
Permenkes RI nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan
dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas.
Limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam
mikroorganisme bergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan

5
yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat
mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan
parameter BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sementara limbah padat rumah
sakit terdiri atas sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan
lain-lain. Limbah-limbah tersebut kemungkinan besar mengandung
mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang
menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah
sakit yang disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang
memadai, kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi dan
peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masih
buruk. Limbah benda tajam adalah semua benda yang mempunyai
permukaan tajam yang dapat melukai / merobek permukaan tubuh.
Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal
dari kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti insinerator, dapur,
perlengkapan generator, anastesi, dan pembuatan obat citotoksik. Limbah
sitotoksis adalah limbah dari bahan yang terkontaminasi dari persiapan
dan pemberian obat sitotoksis untuk kemoterapi kanker yang mempunyai
kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel hidup.
Incinerator merupakan teknologi pengolahan limbah medis yang
dapat memusnahkan komponen berbahaya. Teknologi pembakaran atau
insinerasi menggunakan tungku sebagai media pembakarnya. Tungku
ruang bakar merupakan salah satu unit operasi pembakaran limbah padat
yang cukup baik yang dapat mereduksi volume maupun mereduksi berat
limbah cukup besar. Permasalahan yang sering terjadi pada penerapan
pembakaran menggunakan incinerator ialah emisi udara berupa particulate
matter (PM), SO2, CO, CO2, HCl, dioksin, furan dan logam berat.
Terbentuknya bahan tersebut dipengaruhi jenis komponen sampah, proses
pembakaran yang tidak sempurna (Chang, 2007 dalam Subagiyo dkk,
2013) dan sistem pembakaran yang digunakan. Alat incinerator harus
dilengkapi dengan sistem pengendalian dan kontrol untuk memenuhi
batas-batas emisi partikel dan gas-buang sehingga dipastikan asap yang

6
keluar dari tempat pembakaran sampah merupakan asap/gas yang sudah
netral. (Enri Damanhuri, 2008).

C. Baku Mutu Limbah Gas

7
Undang-Undang Republik Indonesia No 32 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air,
baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya
baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

8
BAB III

PEMBAHASAN

A. Sumber-sumber Limbah Gas Rumah Sakit

Rumah sakit bersih adalah tempat pelayanan kesehatan yang


dirancang, dioperasikan dan dipelihara dengan sangat memperhatikan
aspek kebersihan bangunan dan halaman baik fisik, sampah, limbah cair,
air bersih, dan serangga/binatang pengganggu. Namun menciptakan
kebersihan di rumah sakit merupakan upaya yang cukup sulit dan bersifat
kompleks berhubungan dengan berbagai aspek antara lain
budaya/kebiasaan, prilaku masyarakat, kondisi lingkungan, sosial dan
teknologi.

Jika di bandingkan dengan institusi lain mungkin jenis sampah dan


limbah rumah sakit adalah yang terkomplit, tempat yang paling banyak di
kunjungi oleh masyarakat ketika sakit ini mengeluarkan berbagai jenis
sampah dan limbah. Masyarakat di dalam lingkungan rumah sakit yang
terdiri dari pasien, pengunjung dan karyawan memberikan kontribusi kuat
terhadap pengotoran lingkungan rumah sakit. Aktivitas pelayanan dan
perkantoran, pedagang asongan, prilaku membuang sampah dan meludah
sembarangan, prilaku merokok dan sejumlah barang atau bingkisan yang
dibawa oleh pengunjung/tamu menambah jumlah sampah dan mengotori
lingkungan rumah sakit. Limbah rumah sakit terdiri dari banyak
komponen dan wujud, salah satunya yaitu limbah yang berbentuk gas.

Limbah gas rumah sakit adalah semua limbah yang berbentuk gas
yang berasal dari kegiatan pembakaran di rumah sakit. Sumber limbah gas
rumah sakit dapat terbentuk dari beberapa aktivitas berikut yaiu :
1. Pembakaran di incinerator;
2. Kegiatan dapur;

9
3. Perlengkapan generator;
4. Aktivitas mesin-mesin yang beroperasi di rumah sakit, dan;
5. Anastesi dan pembuatan obat citotoksik.

Standar limbah gas (emisi) dari pengolahan pemusnah limbah medis padat
dengan insinerator mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor Kep-13/MenLH/12/1995 tentangBaku Mutu Emisi Sumber Tidak
Bergerak.
Sumber Limbah Gas Rumah Sakit dapat terjadi dari beberapa
aktivitas di rumah sakit seperti aktivitas pembakaran limbah menggunakan
insenerator, limbah gas yang dihasilkan dari kegiatan di dapur, limbah gas
dari mesin-mesin yang beroperasi di rumah sakit, dan limbah gas dari
kegiatan-kegiatan lain di rumah sakit. Limbah gas yang dihasilkan dari
proses pembakaran di insenerator terdiri dari beberapa bahan kimia yang
berbahaya karena bahan-bahan yang dibakar di dalam insenerator pun
mengandung banyak bahan kimia yang berbahaya dan sangat bervariasi
seperti debu, NOx, SOx, CO, CO2, dan lain sebagainya. Bagitu juga
dengan limbah gas lainnya yang dihasilkan dari mesin-mesin dan kegiatan
dapur juga mengandung bahan-bahan yang berbahaya seperti debu yang
beterbangan, CO ataupun CO2.
Dalam rangka untuk mengurangi kadar limbah gas rumah sakit
dapat dilakukan beberapa cara sebagai berikut :
a. Monitoring limbah gas berupa NO2, So2, logam berat, dan dioksin
dilakukan minimal 1 (satu) kali setahun
b. Suhu pembakaran minimum 1.000°C untuk pemusnahan bakteri
patogen, virus, dioksin, dan mengurangi jelaga.
c. Dilengkapi alat untuk mengurangi emisi gas dan debu.
d. Melakukan penghijauan dengan menanam pohon yang banyak
memproduksi gas oksigen dan dapat menyerap debu.
Proses pengelolaan sampah dengan insenerator yang menghasilkan
abu bukan merupakan proses akhir. Abu dan gas yang dihasilkan masih

10
memerlukan penanganan lebih lanjut untuk dibersihkan dari zat-zat
pencemar yang terbawa. Limbah sebelum dimusnahkan dapat diolah
dahulu, baik untuk memperkecil volume, untuk didaur ulang, atau
dimanfaatkan kembali. Pengolahan dapat sangat sederhana seperti
pemilihan, sampai pada pembakaran atau insenerasi. Insenerasi adalah
suatu proses dimana limbah padat medis dibakar dengan oksigen dari
udara dan diubah menjadi gas hasil pembakaran serta residu yang berupa
abu. Insenerasi sangat mengurangi volume dan berat limbah medis padat
hingga tinggal kurang dari 5% dan dapat menghilangkan mikroba dari sisa
limbah (Soemarwoto, 2004:157).

B. Pengolahan Limbah Gas Di Rumah Sakit


Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang
digunakan di rumah sakit, seperti oksigen dan juga nitrus oksida yang ada
di ruang operasi. Limbah gas yang lain berasal dari kegiatan pembakaran
di rumah sakit seperti insenerator, dapur, perlengkapan generator, dan
anestesi. Limbah gas yang dihasilakn dari kegiatan rumah sakit dekelola
dengan cara dilakukan pengenceran di udara melalui cerobog/ saluran
khusus. Pihak rumah sakit juga melakukan penghijauan dengan menanam
banyak pohon yang memproduksi gas oksigen dan dapat menyerap debu
agar risiko pencemaran dapat ditekan seminimal mungkin.
Monitoring limbah gas berupa NO2, SO2, logam berat, dan dioksin
dilakukan minimal satu kali setahun. Suhu pembakaran minimum 1.000oC
untuk pemusnahan bakteri patogen, virus, dioksin, dan mengurangi jelaga.
Dilengkapi alat untuk mengurangi emisi gas dan debu. Melakukan
penghijauan dengan menanam pohon yang banyak memproduksi gas
oksigen dan dapat menyerap debu.
1. Mekanisme Pengolahan Limbah Gas
Upaya pengelolaan limbah gas lebih sederhana dibanding dengan
limbah cair, pengelolaan limbah gas tidak dapat terlepas dari upaya
penyehatan ruangan dan bangunan khususnya dalam memelihara

11
kualitas udara ruangan (indoor) yang antara lain disyaratkan agar
(Agustiani dkk, 2000):
a. Tidak berbau (terutama oleh gas H2S dan Amoniak).
b. Kadar debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam pengukuran
rata-rata selama 24 jam.
c. Angka kuman:
 Ruang operasi : kurang dari 350 kalori/m3 udara dan bebas
kuman patogen (khususnya α-Streptococus haemoliticus)
dan spora gas gangrer.
 Ruang perawatan dan isolasi : kurang dan 700 kalori/m3
udara dan bebas kuman patogen, kadar gas dan bahan
berbahaya dalam udara tidak melebihi konsentrasi
maksimum yang telah ditentukan.
d. Biasanya alat pengendali limbah gas telah terpasang pada
unitnya (seperti gas scrubber pada incineratro dan generator,
wet scrubber pada boiler, dll)
e. Terkadang tidak dilakukan pada beberapa rumah sakit
dikarenakan jumlah limbah yang sedikit sehingga kurang
diperhatikan
f. Pengelolaan biasanya seperti penghawaan ruangan

Penghawaan ruangan:

 Lubang ventilasi diupayakan sistem silang dan aliran udara


lancar.
 Ruang operasi menggunakan AC
 Untuk pemantauan diperlukan pengambilan sampel dua kali
setahun dan pemeriksaan parameter, kuman, debu dan gas
 Penghawaan mekanis memakai exhaust fan pada ketinggian
min 2 meter diatas lantai dan 0,2 m dibawah langit-langit
 Ruangan dibersihkan minimal 1 kali per bulan dengan
memakai aerosol resorcinol, atau disaring dengan elctron uv

12
2. Alat-alat Pengendali Limbah Gas
a. Wet Scrubber
Wet scrubber adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan variasi alat yang menggunakan liquid untuk
membuang polutan. Pada wet scrubber, arus gas kotor dibawa
menuju kontak dengan liquid pencuci dengan cara
menyemprotkan, mengalirkannya atau dengan metode kontak
lainya. Tentu saja desain dari alat kontrol polusi udara (termasuk
wet scrubber) tergantung pada kondisi proses industri dan sifat
alami palotan udara yang bersangkutan
Karakteristik exhaust gas dan sifat debu, jika terdapat
partikel, adalah hal yang sangat penting. Scrubber dapat di desain
untuk mengumpulkan polutan partikel dan /atau gas. Wet scrubber
membuang partikel dengan cara menangkapnya dalam tetesan atau
butiran liquid. Sedangkan untuk polutan gas proses wet srubber
adalah dengan melarutkan atau menyerap polutan ke dalam liquid.
Adapun butiran liquid yang masih terdapat dalam arus gas pasca
pencucian selanjutnya harus dipisahkan dari gas dengan alat lain
yang disebut mist eliminator atau entrainment separator.

13
Wet scrubber yang membuang polutan gas absorber.
Kontak gas liquid yang baik sangat penting untuk menghasilkan
efisiensi pembuangan yang tinggi pada absorber. Sejumlah desain
wet scrubber digunakan untuk membuang gas polutan gas, dengan
packed tower dan plate tower menjadi yang umum digunakan.
Apabila arus gas produser mengandung kedua polutan gas
dan partikel, wet scrubber secara umum adalah satu-satunya alat

14
kendali polusi udara yang dapat membuang kedua jenis polutan.
Wet scrubber dapat memperoleh efisiensi pembuangan yang tinggi
untuk polutan partikel atau gas, bahkan pada contoh tertentu, dapat
memperoleh efisiensi pembuangan yang tinggi untuk kedua
polutan pada sistem yang sama. Bagaimanapun juga, di
kebanyakan kasus, kondisi operasi terbaik untuk pembuangan
partikel adalah yang terburuk bagi pembuangan gas. Secara
umum, menghasilkan efisiensi pembuangan partikel adalah yang
terburuk bagi pembuangan gas. Secara umum, menghasilkan
efisiensi pembuangan partikel dan gas tinggi bersamaan
membutuhkan sifat salah satu polutan mudah untuk dibuang (gas
yang sangat larut dalam liquid atau partikel yang cukup besar dan
mudah tertangkap).
Sistem wet scrubber secara umum terdiri dari komponen-
komponen berikut ini:
1) Ductwork dan sistem fan
2) Saturation chamber (pilihan)
3) Scrubbing vessel
4) Mist eliminator
5) Pumping (dan sistem recycle yang mungkin)
6) Treatment scrubbing liquid yang terpakai dan/atau
sistem penggunan kembali
7) Exhaust stack

15
Gambar diatas menggambar kan proses kerja wet scrubber
secara umum. Flue gas panas mengalir menuju saturator dimana
gas didinginkan dan dilembabkan sebelum masuk area scrubbing.
Selanjutnya, gas masuk menuju venturi scrubber dimana kurang
lebih setengah volume gas dibuang. Gas mengalir menuju
scrubber kedua, packed bed absorber, dimana gas dan partikel
yang tersisa dikumpulkan. Mist eliminator mengangkat droplet
scrubbing liquid (air) yang mungkin terbawa dalam flue gas atau
produser gas. Pompa sirkulasi memompa sebagian dari scrubbing
liquid kembali ke venturi scrubber dan disirkulasi kembali,
sedangkan sisanya dialirkan menuju sistem treatment. Setelah itu,
scrubbing liquid yang telah ditreatment disirkulasikan kembali

16
menuju saturator dan packed bed absorber. Fan dan ductwork
menggerakkan arus produser gas mengalir melalui sistem dan
keluar menuju cerobong.

C. Dampak Limbah Tidak Di Olah Dengan Baik Dan Benar

Limbah RS tidak hanya berdampak pada masyarakat tetapi juga


pada pegawai rumah sakit. Tingkat keparahan akibat terpapar limbah RS
ter-gantung durasi dan dosis toksistas limbah. Limbah yang tidak
terkelola dengan baik menyebabkan bahaya karena mengandung racun
dan bahan kimia berbahaya yang masuk ketubuh melalui berbagai cara.

Bahan berbahaya ini masuk ketubuh manu-sia dengan berbagai


cara yaitu melalui tertelan (bahan yang dapat tertelan), menghirup (bahan
kimia dan pathogen) dan penyerapan melalui kulit yang terbuka (luka)
maupun tertutup. Karena struktur dari paru-paru, tubuh manusia memiliki
kapasitas bahwa partikel lewat udata membawa bahan kimia berbahaya
dan pathogen dan hal in tergantung dari besar partikelnya. Absorpsi
melalui kulit dapat meningkat akibat goresan, luka, per-mukaan kulit
yang abrasi pada kaki, tangan. Leher atau area muka. Water-soluble toxic
chemical dapat diabsorpsi melalui tubuh karena metabolism tubuh
beroperasi terhadap water-based chemistry.

Satu kejadian di sekitar tahun 2013 yang waktu itu pernah


dikeluhkan oleh masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan rumah
sakit Panti Wilasa Citarum ini adalah turunnya asap hasil pembakaran
dari cerobong insenerator ke permukiman warga. Asap ini cukup
mengganggu kenyamanan masyarakat di sekitarnya. Pihak rumah sakit
memeriksa dan mendapati bahwa ternyata terdapat pengeroposan pada
cerobong insenerator tersebut sehingga terjadi pembakaran tidak
smepurna yang mengakibatkan asap tidak dapat naik ke atas tetapi turun
dan menganggu kenyamanan warga. Atas berbagai macam pertimbangan,

17
akhirnya rumah sakit ini tidak menggunakan insenerator tersebut
kembali, tetapi mereka membangun kerjasama dengan PT. Arah
Environmental Indonesia untuk mengangkut dan mengolah limbah hasil
aktivitas rumah sakit. Kerjasama ini sudah berjlan sejak tahun 2013
hingga saat ini.

Pencemaran udara di rumah sakit dapat menimbulkan gangguan


kesehatan pada manusia melalui berbagai cara, antara lain dengan
merangsang timbulnya atau sebagai faktor pencetus sejumlah penyakit.
Kelompok yang terkena terutama bayi, orang tua dan golongan
berpenghasilan rendah yang biasanya tinggal di kota-kota besar dengan
kondisi perumahan dan lingkungan yang buruk. Hubungan antara
pencemaran udara dan kesehatan :

1. Jumlah dan jenis zat pencemar yang bermacam -macam.


2. Kesulitan dalam mendeteksi zat pencemar yang dapat
menimbulkan bahaya pada konsentrasi yang sangat rendah.
3. Interaksi sinergestik di antara zat-zat pencemar.
4. Kesulitan dalam mengisolasi faktor tunggal yang menjadi
penyebab, karena manusia terpapar terhadap sejumlah banyak zat-
zat pencemar yang berbahaya untuk jangka waktu yang sudah
cukup lama.
5. Catatan penyakit dan kematian yang tidak lengkap dan kurang
dapat dipercaya.
6. Penyebab jamak dan masa inkubasi yang lama dari
penyakitpenyakit (misalnya: emphysema, bronchitis kronik,
kanker, penyakit jantung).
7. Masalah dalam ekstrapolasi hasil percobaan laboratorium binatang
ke manusia.

Terdapat korelasi yang kuat antara pencemaran udara dengan


penyakit bronchitis kronik (menahun). Walaupun merokok hampir selalu

18
menjadi urutan tertinggi sebagai penyebab dari penyakit pernafasan
menahun akan tetapi sulfur oksida, asam sulfur, partikulat, dan nitrogen
dioksida telah menunjukkan sebagai penyebab dan pencetusnya asthma
brochiale, bronchitis menahun dan emphysema paru. Hasil-hasil
penelitian di Amerika Serikat sekitar tahun 70-an menunjukkan bahwa
bronchitis kronik menyerang 1 di antara 5 orang laki-laki Amerika umur
antara 40-60 tahun dan keadaan ini berhubungan dengan merokok dan
tinggal di daerah perkotaan yang udaranya tercemar.

Hubungan yang sebenarnya antara pencemaran udara dan


kesehatan ataupun timbulnya penyakit yang disebabkannya sebetulnya
masih belum dapat diterangkan dengan jelas betul dan merupakan
problema yang sangat komplek. Banyak faktor-faktor lain yang ikut
menentukan hubungan sebab akibat ini. Namun dari data statistik dan
epidemiologik hubungan ini dapat dilihat dengan nyata. Pada umumnya
data morbiditas dapat dianggap lebih penting dan berguna daripada data
mengenai mortalitas. Apalagi penemuan-penemuan kelainan fisiologik
pada kehidupan manusia yang terjadi lebih dini sebelum tanda-tanda
penyakit dapat dilihat atau pun dirasa, sebagai akibat dari pencemaran
udara, jelas lebih penting lagi artinya. Tindakan pencegahan mestinya
telah perlu dilaksanakan pada tingkat yang sedini mungkin.
WHO Inter Regional Symposium on Criteria for Air Quality and
Method of Measurement telah menetapkan beberapa tingkat konsentrasi
pencemaran udara dalam hubungan dengan akibatnya terhadap
kesehatan/ lingkungan sebagai berikut:
1. Tingkat I :
Konsentrasi dan waktu expose di mana tidak ditemui akibat apa-
apa, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Tingkat II :
Konsentrasi di mana mungkin dapat ditemui iritasi pada
panca indera, akibat berbahaya pada tumbuh-tumbuhan,

19
pembatasan penglihatan atau akibat-akibat lain yang merugikan
pada lingkungan (adverse level).
3. Tingkat III :
Konsentrasi di mana mungkin timbul hambatan pada
fungsi-fungsi faali yang fital serta perubahan yang mungkin dapat
menimbulkan penyakit menahun atau pemendekan umur (serious
level).
4. Tingkat IV :
Konsentrasi di mana mungkin terjadi penyakit akut atau
kematian pada golongan populasi yang peka (emergency level).
Beberapa cara menghitung/memeriksa pengaruh pencemaran udara
terhadap kesehatan adalah antara lain dengan mencatat: jumlah absensi
pekerjaan/dinas, jumlah sertifikat/surat keterangan dokter, jumlah
perawatan dalam rumah sakit, jumlah morbiditas pada anak-anak, jumlah
morbiditas pada orang-orang usia lanjut, jumlah morbiditas anggota-
anggota tentara penyelidikan pada penderita dengan penyakit tertentu
misalnya penyakit jantung, paru dan sebagainya.
Penyelidikan-penyelidikan ini harus dilakukan secara prospektif
dan komparatif antara daerah-daerah dengan pencemaran udara hebat dan
ringan, dengan juga memperhitungkan faktor-faktor lain yang mungkin
berpengaruh (misalnya udara, kebiasaan makan, merokok, data
meteorologik, dan sebagainya).
Penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara. Penyakit-
penyakit yang dapat disebabkan oleh pencemaran udara adalah:
1) Bronchitis kronika.
Pengaruh pada wanita maupun pria kurang lebih sama. Hal
ini membuktikan bahwa prevalensinya tak dipengaruhi oleh
macam pekerjaan sehari-hari. Dengan membersihkan udara
dapat terjadi penurunan 40% dari angka mortalitas.
2) Emphysema pulmonum.
3) Bronchopneumonia.

20
4) Asthma bronchiale.
5) Cor pulmonale kronikum.
Di daerah industri di Republik Ceko umpamanya, dapat
ditemukan prevalensi tinggi penyakit ini. Demikian juga di
India bagian utara di mana penduduk tinggal di rumah-rumah
tanah liat tanpa jendela dan menggunakan kayu api untuk
pemanas rumah.
6) Kanker paru. Stocks & Campbell menemukan mortalitas pada
nonsmokers di daerah perkotaan 10 kali lebih besar daripada
daerah pedesaan.
7) Penyakit jantung, juga ditemukan 2 kali lebih besar
morbiditasnya di daerah dengan pencemaran udara tinggi.
Karbon-monoksida ternyata dapat menyebabkan bahaya
pada jantung, apalagi bila telah ada tanda-tanda penyakit
jantung ischemik sebelumnya. Afinitas CO terhadap
hemoglobin adalah 210 kali lebih besar daripada O2 sehingga
bila kadar COI-Ib sama atau lebih besar dari 50%, makin dapat
terjadi nekrosis otot jantung. Kadar lebih rendah dari itu pun
telah dapat mengganggu faal jantung. Scharf dkk (1974)
melaporkan suatu kasus dengan infark myocard transmural
setelah terkena CO.
8) Kanker lambung, ditemukan 2 kali Iebih banyak pada daerah
dengan pencemaran tinggi.
9) Penyakit-penyakit lain, umpamanya iritasi mata, kulit dan
sebagainya banyak juga dihubungkan dengan pencemaran
udara. Juga gangguan pertumbuhan anak dan kelainan
hematologik pernah diumumkan.
Orang-orang dengan keterangan sah menderita penyakit ini, yang
dianggap disebabkan oleh salah satu macam bahaya pencemaran, akan
mendapat kompensasi akibat kerugian dan biaya perawatan dari
penyakitnya oleh polluters.

21
Pengolahan Limbah Gas. Ada beberapa metode yang telah
dikembangkan untuk penyederhanaan buangan gas. Dasar pengembangan
yang dilakukan adalah absorbsi, pembakaran, penyerap ion, kolam
netralisasi dan pembersihan partikel.
Pilihan peralatan dilakukan atas dasar faktor berikut:
 Jenis bahan pencemar (polutan)
 Komposisi
 Konsentrasi
 Kecepatan air polutan
 Daya racun polutan
 Berat jenis
 Reaktivitas
 Kondisi lingkungan

Desain peralatan disesuaikan dengan variabel tersebut untuk


memperoleh tingkat efisiensi yang maksimum. Kesulitannya sering
terbentuk pada persediaan alat di pasaran. Pilihan desain yang diinginkan
tidak sesuai dengan kondisi limbah, sebab itu harus dibentuk desain baru.
Kemampuan untuk mendesain peralatan membutuhkan keahlian
tersendiri dan ini merupakan masalah tersendiri pula.
Di samping itu ada faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu
nilai ekonomis peralatan. Tidakkah peralatan mencakup sebagian besar
investasi yang tentu harus dibebankan pada harga pokok produksi.
Permasalahannya bahwa ternyata kemudian biaya pengendalian menjadi
beban konsumen. Atas dasar pemikiran ini maka pilihan teknologi
.pengolahan harus merupakan kebijaksanaan perlindungan konsumen
baik dari sudut pencemaran itu sendiri maupun dari segi biaya.

22
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang
digunakan di rumah sakit, seperti oksigen dan juga nitrus oksida
yang ada di ruang operasi. Limbah gas yang lain berasal dari
kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti insenerator, dapur,
perlengkapan generator, dan anestesi. Limbah gas yang dihasilakn
dari kegiatan rumah sakit dekelola dengan cara dilakukan
pengenceran di udara melalui cerobog/ saluran khusus. Pihak rumah
sakit juga melakukan penghijauan dengan menanam banyak pohon
yang memproduksi gas oksigen dan dapat menyerap debu agar risiko
pencemaran dapat ditekan seminimal mungkin.
2. Limbah gas rumah sakit jika tidak diolah dengan baik dan benar bisa
menimbulkan pencemaran. Baik pencemaran di lingkungan rumah
sakit maupun lingkungan rumah sakit (masyarakat sekitar). Yang
mana pencemaran tersebut bisa menyebabkan penyakit dan
terganggunya aktivitas masyarakat sekitar rumah sakit.

B. Saran
Semestinya lingkungan rumah sakit menjadi tempat yang
mendukung bagi pemulihan kesehatan pasien sebagai “environtment of
care” dalam rangka “Patient Safety” yang dicanangkan oleh organisasi
kesehatan dunia WHO. Oleh karena itu rumah sakit harus bersih dan bebas
dari sumber penyakit.Kebersihan yang dimaksud adalah keadaan atau
kondisi yang bebas dari bahaya dan resiko minimal bagi terjadinya infeksi
silang.
Rumah sakit juga harus menjadi contoh bagi masyarakat untuk
membudayakan kebersihan dan upaya peningkatan kebersihan rumah sakit
harus terus menerus dilaksanakan dengan menggiatkan program supervise,

23
monitoring dan evaluasi agar kebersihan dapat dipertahankan dan
ditingkatkan dari waktu ke waktu.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Erlinda N, Ir., 2004. “Korosi Umum”, Seminar Masalah Penanggulangan


Korosi dengan Bahan Pengubah Karat, LMN-LIPI.
2. Muhammad Arief Latar MSc, Ir., 2005. “Pengolahan Limbah Gas”,
peminatan keselamatan dan kesehatan kerja Univ Esa Unggul.
3. https://www.academia.edu/6953770/pengolahan_limbah_rumah_sakit
4. Apriliani, dkk. 2016. Penerapan undang-Undnag No 32 Tahun 2009
Terhadap Pengelolaan
5. Limbah Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang. Volume 5, Nomor
1
6. Khairumizan, P, FT UI. 2008, Studi eksperimental impelementasi... online
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124882-R020884-
Studi%20eksperimental-Literatur.pdf
7. https://galihendradita.wordpress.com/2017/09/08/pengelolaan-limbah-
rumah-sakit/
8. http://ritariata.blogspot.co.id/2010/01/penanganan-limbah-rumah-
sakit.html
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/Menkes/
SK/X/2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
10. file:///C:/Users/User/AppData/Local/Temp/2.pdf
11. file:///C:/Users/User/Downloads/S1-2016-339709-introduction.pdf
12. Utama, Rizka. 2014. Dampak Limbah Medis Rumah Sakit Terhadap
Lingkungan.
13. Satrianegara, M Fais. 2016. Pendekatan Analisis Manajer Kebijakan
Dalam Pengelolaan Limbah Rumah Sakit. Volume 2. Nomor 3
14. UU RI No 32 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
15. Permenkes RI nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
16. PP No 12 Tahun 1995
17. PP No 41 Tahun 1999

25
18. eprints.polsri.ac.id/956/2/BAB%20I%20Pendahuluan
19. etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64165/.../S2-2013-323253-
chapter1.pdf

26

Anda mungkin juga menyukai