Anda di halaman 1dari 13

Hafni Iva Nuryana

111611133114

Biopsikologi Perilaku—A1

Biopsychology Prosocial Behavior:

Altruisme adalah Ilusi. “Hipotesa” atau “Tidak”?

Seperti yang kita tahu, ada dua hal yang mendasari hakikat kita sebagai
manusia. Pertama, sebagai makhluk individu yang artinya tidak berbagi atau
sebagai satu kesatuan dan yang kedua, manusia sebagai makhluk sosial, yang
artinya manusia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh orang lain (Ibid, 2006).
Konsep tentang makhluk sosial juga pernah dikemukakan oleh tokoh neo-
psikoanalisa Alfred Alder dalam salah satu pembahasannya, ia mengungkapkan
bahwa perilaku manusia ditentukan sebagian besar oleh kekuatan—kekuatan
sosial, bukan instink biologis Dia pun mengajukan sebuah konsep minat sosial,
yang didefinisikan sebagai sebagai sebuah potensi untuk bekerja sama dengan
orang dalam mencapai tujuan pribadi maupun sosial (Schultz & Schultz, 2014).

Perilaku sosial disini dapat diwudkan dengan perilaku prososial dan


didalam prososial terdapat perilaku altruisme yang memiliki dampak bagi
masyarakat (Taufik, 2012). Menurut C Boston, prososial adalah berbagai perilaku
yang merujuk kepada menguntungkan orang lain atau bisa didefinisikan sebagai
perilaku voluntarisme yang dibuat untuk menguntungkan orang lain (Eisenerg &
Fabes, 1998).

Altruisme menurut filsuf asal Prancis, August Comte berasal dari kata
“autrui” yang berarti orang lain. Comte beranggapan bahwa manusia memiliki
sikap atau kewajiban untuk menolong orang lain. Menurut Sean dkk, (2004)
Altruisme sendiri adalah tindakan suka rela yang dilakukan seseorang untuk
menolong atau membantu orang lain tanpa mengharap imbalan atau balasan
apapun. Pengertian secara umum altruisme adalah perilaku yang ditujukan untuk
menguntungkan orang lain dengan tenaga dan biaya pribadi (Bejamin Ker, dkk,.
2004). Definisi tersebut mengungkap bahwa altruisme adalah tindakan yang
merupakan minat individu untuk membantu orang lain meskipun orang tersebut
saling tidak kenal satu sama (Camerer, 2003; Henrich dkk., 2005).

Altruisme, dalam perkembangannya menuai banyak pertanyaan. Tak


jarang buku – buku, studi literatur, jurnal – jurnal ilmiah, website, dan diskusi –
diskusi di kancah internasional didedikasikan untuk membahas altruisme. Pada
zaman Libertarian, altruisme dipandang rendah dan ingin dihapuskan. Jauh
sebelum itu, paham Marxisme pun juga merendahkan altruisme yang dipandang
tidak ilmiah, sehingga tidak dimasukkan kedalam basis program sosial (Robertus
Robert, 2013). Meskipun altruisme memiliki pengertian yang positif, namun
dalam perkembangan sejarahnya masih terdapat pro dan kontra. Perbedaan
Individu dalam altruisme ingin mengungkap adakah faktor yang membentuk
altruisme baik dari perdebatan nurture or nature. Kemudian terdapat pertanyaan
lain bagaimana seseorang benar–benar rela mengorbankan waktu, uang, tenaga
hanya karena orang lain? Apakah ada altruisme yang benar—benar murni tanpa
tindakan balasan kemudian hari? Terlebih di masyarakat perkotaan yang
cenderung termasuk ke dalam masyarakat individual. Sederetan pertanyaan ini tak
jarang menjadikan altruisme sebagai perilaku prososial yang kompleks dan ingin
dipelajari lebih lanjut apakah altruisme benar – benar ada atau hanya ilusi.

Psikologi evolusioner dari Darwinian terlebih dulu mengungkapkan


adanya seleksi alam atau natural selection untuk bertahan hidup. Charles Darwin
(1895) menjelaskan bahwa setiap gen ada yang meneruskan kelangsungan hidup
manusia dan menaikkan kemungkinan untuk menghasilkan keturunan, serta
memiliki kemungkinan untuk diteruskan ke generasi selanjutnya. Dasar teori
darwinian ini tercermin dan dipopulerkan oleh WD. Hamilton dalam teori yang
disebut “Kin Selection”.

Kin Selection atau seleksi anak adalah sebuah pemeliharaan gen—gen


dalam altruisme. Ia mengemukakan adanya sukses evolusioner pada gen tidak
hanya bergantung pada kemampuan individu namun juga terhadap peningkatan
frekuensi gen yang diturunkan kepada generasi selanjutnya. Dalam memperjelas
perbedaan tersebut, fokusnya adalah kepada gen daripada individu sendiri.

Menelaah gen—gen yang mengarahkan atau membuat seseorang kepada


sikap altruistik, seseorang harus melihat bukan hanya kepada nasib reproduktif
orang yang melakukan sikap altruistik, namun juga kepada kesuksesan
perkembangbiakan individu kerabatnya yang mewariskan atau menurunkan
rangkaian gen—gen yang serupa. Jika sikap altruisme seperti rela mengorbankan
hak—haknya demi kesejahteraan kerabatnya, hal itu dapat meningkatkan
kelestarian individu yang berkerabat dengannya atau bisa dibilang meneruskan
sikap altruistik kepada generasi berikutnya. Inti dari penjelasannya adalah
terfokus pada evolusi kolektif individu yang berkerabat dalam satu kelompok. Kin
selection menyangkut kesuksesan suatu gen, derajat kekerabatan dalam sebuah
gen bersifat krusial, sebab individu yang berkerabat cenderung memiliki gen yang
sama. (George, H Fried, 2006)

Sederhananya, seseorang cenderung akan melakukan sikap altruisme


kepada individu yang mempunyai ikatan genetis agar bisa bertahan hidup, contoh
dari teori ini adalah seorang ibu rela melakukan apapun demi menyelamatkan
anaknya. Hal itu menyangkut kesuksesan altruisme. Sang alturis bisa saja lenyap,
namun kerabat-kerabatnya berhasil membawa gen yang serupa. Hamilton pun
menjelaskannya dengan teori keterhubungan atau relatedness theory yang
menggunakan perhitungan antara individu berbagi gen yang sama dengan
individu yang lainnya. Semakin besar koefisien nilai keterhubungan secara genetis
dengan individu lain, maka sifat altruisme akan cenderung semakin besar. Contoh
: keterhubungan antara saudara mempunyai nilai 0,5 sedangkan dengan orang lain
yang bukan kerabat memiliki koefisien – dalam literatur tidak disebutkan dengan
pasti berapa – mendekati 0 (B Brembs, 2001).

Pengaruh atau penganut dari teori kin selection ini menuai berbagai kritik
dalam perkembangannya, studi literatur pun semakin luas dan ingin
mengungkapkan apa benar faktor yang membuat seseorang cenderung menolong
orang lain berdasarkan insting dan genetika. Biologisme memandang manusia
melakukan kegiatan altruisme semata-mata karena keturunan, namun penelitian
dan beragam kenyataan bahwa tindakan sosial didorong bukan hanya masalah
biologis. Salah satu kritik datang dari tokoh sociobiology E.O Wilson, ketika ia
meneliti tentang eusosial (anggota kelompok sosial yang memelihara anak—
anaknya dan dengan generasi yang berbeda turut membantu menjaga) pada
kelompok serangga, Wilson dan Holldobler, (2005) mengungkapkan keterkaitan
genetika tidak lebih penting dari faktor ekologi atau lingkungan. Faktor ini
mempunyai level tertinggi dari eusosial daripada keterikatan genetika, dan hal ini
menambah sederetan argumen baru yang menyatakan bahwa altruisme datang dari
nature.

Tesis penelitian milik Ariel Noam,(2008) menjelaskan bahwa orang –


orang di sekitar kita mempunyai peranan yang keras terhadap pengaruh perilaku
prososial atau altruisme, contoh teman sebaya, sahabat (Barry & Wentzel, 2006),
guru, dan sekolah (Fraser et Al, 2004). Didikan dari guru di sekolah untuk
mengajarkan murid agar berperilaku prososial, mengontrol diri, dan menanamkan
nilai dapat mendorong perilaku prososial. Bahkan ada beberapa bukti yang
menyatakan bahwa program televisi pun juga ikut berpengaruh karena telah
memberikan program yang dapat meningkatkan perilaku altruisme kepada anak—
anak (Calvert & Kotler, 2003; Cole et Al., 2003).

Lebih lanjut penelitian ini mempelajari enam anak dan tujuh orang dewasa
dan satu diantaranya memberikan bukti altruisme datang dari faktor bawaan atau
keturunan. Penelitian molekuler genetika menerangkan bahwa proses psikologi
biologi genetika bertanggung jawab dalam pembentukan trait altruisme. Pengaruh
lingkungan dan perbandingan lintas budaya pun juga penting. Faktor genetik dan
pengaruh lingkungan seharusnya tidak dilihat sebagai penjelasan yang saling
bersaing, namun keduanya memiliki sifat yang saling berkomplementer dalam
menjelaskan perbedaan individu perilaku altruisme. Hal ini dapat menjawab
pertanyaan nature or nurture dari altruisme.
Faktor nature or nurture pun terjawab sudah dan sejauh ini cukup aman
apabila kita berasumsi bahwa altruisme bersifat hipotesis dalam ilusi dengan
adanya Kin Selection yang menerangkan bahwa seseorang bersikap altruisme
karena mempunyai hubungan kedekatan atau relatedness genetika yang tinggi
meskipun pada dasarnya ingin meneruskan kelanjutan genetika. Hal ini tidak
berarti pertanyaan tentang ilusi dalam altruisme hipotesa atau nyata berakhir.

Konsep altruisme yang menyatakan bahwa apakah altruisme yang tulus


atau pure altruism itu benar – benar ada atau tidak pun masih menjadi
pembahasan. Salah satu contoh kasus tentang altruisme datang dari Wesley
Autrey pada 2 Januari 2007, ia meloncat ke ruang bawah tanah kereta api dan
berusaha menyelamatkan seseorang yang tidak ia kenal sebelumnya terjebak
dibawah tanah. Hasilnya pun menuai berbagai penafsiran, apakah ia murni
melakukan ini hanya karena empati — kemampuan perasaan seseorang untuk
bisa masuk kedalam perasaan terdalam orang lain (Beatrice J Khalish, 1973) —
atau adanya reciprocal norm. Salah satu jenis altruisme yaitu altruisme
reciprocal norm atau timbal—balik yang diperkenalkan oleh Robert Trives tahun
1971, selain itu ia pun mengemukakan sebuah cost-benefit (Scott & Seglow,
2007) yang mengungkapkan bahwa kita melakukan altruisme dengan
memberikan keuntungan bagi orang lain akan berbuah secara timbal – balik, baik
secara langsung maupun tidak langsung(melalui pihak ke – 3). Kritik terhadap
pandangan ini datang karena dianggap lemah yang tidak mampu menjawab
pertanyaan apa yang mendasari seseorang bekerja sama apabila tindakan baik
yang dilakukan kita belum tentu mendapatkan balasan?

Terdapat dua konsep tentang egoisme seseorang dalam tindakan


menolong, yang pertama adalah egoisme secara psikologis dan yang kedua
egoisme etis(Rachels,2004). Egoisme psikologis menerangkan bahwa semua
tindakan manusia termotivasi oleh tindakan berkutat diri atau self-service, dimana
tindakan ini seseorang bisa saja melakukan hal dengan berkorban demi orang lain,
namun tindakan tersebut adalah ilusi, pada kenyataannya orang hanya akan peduli
terhadap diri sendiri sehingga tidak ada sikap atau perbuatan benar—benar
altruisme. Dari sinilah altruisme dinilai hanya sebuah ilusi. Sedangkan egoisme
etis sendiri menerangkan tindakan yang mementingkan kepentingan diri sendiri,
dan yang membedakan disini adalah egoisme psikologis tidak mementingkan
orang lain sedangkan egoisme etis tidak selalu mengabaikan kepentingan orang
lain. Altruisme sendiri telah ada sejak berkembangnya filsafat dan etika dan
termasuk kedalam kajian psikologi sosial terutama psikologi evolusi dan
humanistik (Schultz & Schultz, 2014), namun sangat menarik juga apabila kita
telaah dalam sudut pandang biopsikologi perilaku.

Perdebatan tentang apakah seseorang benar – benar tulus melakukan


altruisme terfokus pada arahan atau dorongan emosional yang orang rasakan
ketika menarik dari perilaku prososial. Dalam The Dawn, pada abad ke—19
seorang filsuf bernama Friedrich menyatakan bahwa perbuatan perasaan yang
didasari rasa sayang salah jika dianggap mementingkan diri sendiri, namun
terdapat hal yang mendasari perbuatan yaitu motivasi diri. Perasaan mereka
apakah kembali ke diri mereka atau kepada seseorang yang telah mereka tolong.
Salah satu tanggapan bahwa emosi tersebut benar – benar memotivasi seseorang
demi kesejahteraan orang lain (e.g Batson, 1987; Batson, Duncan, A, B, & Birtch,
1987), di pendapat yang lain pun menyatakan bahwa perilaku menolong yang
dimotivasi oleh emosi menjadi egois karena pelaku emosional pun termotivasi
dengan adanya pujian dari orang lain setelah menolong, di berbagai kepercayaan
dapat mendapat balasan (pahala kunci menuju surga) dan adanya intrapyshic
reward, seperti perasaan puas terhadap diri atau kebanggaan sendiri karena telah
membantu orang lain atau dapat membantu meringankan perasaan distress pribadi
(Cialdini et al., 1987).

Sebuah penelitian yang menjelaskan sederetan pertanyaan tentang apakah


seseorang menggunakan emosi dalam perilaku prososial datang dari jurnal milik
Alixandra Barasch, Emma E. Levine, dkk tahun 2014, dalam studinya ia
menemukan emosi berfungsi sebagai sebuah bagian dari moral, walaupun masih
dihubungkan dengan intrapsychic reward. Hasilnya menerangkan empat dari
enam studinya membenarkan bahwa emosi memotivasi perilaku altruisme dan dua
sisanya menghasilkan emosi positif sebagai hasil dari perilaku altruisme.

Studi pertama menggunakan metode survey online yang melibatkan


partisipan sebanyak 256 (53.5% wanita), partisipan diuji dengan diberikan sebuah
artikel tentang donasi kepada kondisi anak – anak di Afrika dan mengisi tabel
tentang seberapa minat partisipan tersebut akan berdonasi dan diberikan
pertanyaan tentang pendapat dan emosi yang dirasakan dengan jangkauan 1.
Tidak emosinal 2. Sedikit emosional 3. Emosional rata-rata 4. Sangat emosional
5. Terlalu emosional. Hasilnya menunjukkan ketika sang penderma memiliki
emosi yang semakin tinggi, semakin mereka merasa mempunyai karakter moral
yang tinggi, walaupun juga memiliki perasaan untuk mendapatkan intrapsyhic
reward. Hal ini membuktikan bahwa intrapyshic reward masih menjadi alasan
mengapa manusia memiliki dorongan untuk berdonasi atau mendasari altruisme
terhadap orang lain. Hal tersebut pun sama pada studi kedua, ketiga, dan keempat.

Dalam pandangan saya penelitian milik Alixandra Barasch, Emma E.


Levine,dkk tidak dapat membuktikan secara jelas konsep altruisme adalah ilusi.
Karena faktanya sendiri menjelaskan bahwa altruisme adalah perilaku atau
tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan sebuah
imbalan. Jika seseorang melakukan perilaku menolong, namun ia mengharapkan
sebuah balasan, jelas tidak dapat dikategorikan sebagai altruisme. Terkecuali
untuk intrapsyhsic reward, karena intrapsychic reward seperti kita melakukan
altruisme untuk mengurangi dampak distress pun merupakan dampak dari
kegiatan positif yang dihasilkan ketika kita melakukan altruisme atau perilaku
menolong terhadap orang lain.

Pernyataan bahwa altruisme memang benar adanya tanpa terodorong oleh


rasa egosime datang dari berbagai penelitian para ahli neuroscience. Para ahli
neuroscience berusaha mengungkap apa yang sedang terjadi di otak ketika kita
terdorong melakukan altruisme, manfaat dan struktur sirkuit apa yang dapat
membantu memahami bagaimana kita bersikap.
Salah satu penelitian berasal dari jurnal milik Yosuke Morishima, dkk
pada tahun (2016) yang dilakukan di Laboratorium Universitas Zurich. Penelitian
ini menjelaskan adanya hubungan antara struktur dan aktivasi otak di bagian
Temporoparietal Junction dalam altruisme. Altruisme pada manusia
menempatkan kita kepada persepective taking (Oswald, 1996) yaitu perasaan
ketika seseorang membayangkan dirinya dari sudut pandang orang lain atau
keadaan seolah – olah kita merasakan keadaan orang lain. Salah satu area di otak
yang bertugas dan dapat dipercaya memainkan peran dan memahami perasaan
orang lain atau persepective taking yaitu temporoparietal junction (TPJ) (Decety
dan Lamm, 2007). Temporoparietal Junction(TPJ) terletak di pertemuan antara
lobus temporal dan lobus parietal. Subjek penelitian ini menggunakan 30
partisipan orang dewasa dengan 17 wanita berusia 19 – 37 tahun dan 13 laki—laki
berusia 23—36 tahun. Dengan voxel—based morphometry studi ini menunjukkan
banyaknya koneksi syaraf serta volume grey-matter (GM) pada bagian kanan
Temporoparietal Junction dapat membuat kita memberikan keputusan atau
decision making untuk melakukan altruisme. Struktur TPJ bisa memprediksi titik
awal seseorang untuk memprediksikan tindakan altruisme ketika bagian otak yang
lain memprediksikan kerugian yang dihasilkan. Semakin banyak grey-matter yang
ada dalam otak kita, semakin sering kita melakukan sikap altruisme dan
berimplikasi kepada sikap persepective-taking. Penelitian ini pun juga
mengungkapkan berdasarkan pengukuran fMRI area posterior superior temporal
cortex (PSTC) sedang aktif selama kita merasakan persepective-taking.

Hasil penelitian ini menjelaskan dan mendukung bagaimana otak kita


bekerja ketika melakukan perilaku prososial atau altruisme dan menemukan
bahwa altruisme telah terprogram di otak. Namun, kelemahan dari penelitian ini
masih tergolong baru dan tidak menjelaskan lebih lanjut tentang prosedur yang
digunakan. Pada sisi yang lain belum mengungkapkan area di TPJ yang juga
dapat mengarahkan kita untuk terlibat dalam pembuat keputusan unsocial seperti
perilaku untuk mencari penghargaan orang lain, keputusan intertemporal atau
antar massa, pengambilan risiko,dll (Kable & Glimcher, 2007).Pengambilan
keputusan pada kenyataannya tergantung pada konteks individu masing-masing.
Sementara itu, penelitian ini juga cukup aman untuk berasumsi bahwa perilaku
prososial atau altruisme memang benar adanya tanpa terlepas dari sisi egoisitas
manusia.

Baru—baru ini, terdapat penelitian lebih lanjut tentang bagaimana otak


kita telah terprogram dengan altruisme datang dari ahli neuroscience Leonardo
Christov Moore UCLA, 2016. Studi pertama pada bulan Februari 2016, ia telah
memetakan otak manusia sebanyak 20 orang dengan prosedur yang digunakan
kepada subjek dengan menirukan ekspresi yang menampilkan berbagai emosi
senang, marah, dan gembira ketika melihat sebuat video.Sementara peneliti
melakukan pengukuran dan scanning dengan fMRI untuk melihat aktivitas yang
terjadi di otak. Hasilnya pada satu kelompok yang mereka analisa, amygdala,
somatosensory cortex, dan anterior insula mengalami tekanan dan emosi ketika
menirukan ekspresi yang diberikan. Sementara dua area berasal dari prefrontal
cortex (dorsolateral cortex dan dorsomedial cortex) sendiri merupakan area yang
bertanggung jawab dalam memainkan fungsi dan kontrol perilaku.

Kedua, subjek penelitian diberikan sebuah permainan yang disusun untuk


memberikan keputusan atau decision making dengan aturan permainan
memberikan uang semacam donasi kepada stranger sebanyak 10 dolar dari 24
babak atau tetap menyimpannya sendiri. Hasilnya pun pada scanning fMRI,
terdapat aktivitas yang menyolok dan terkuat pada area prefrontal cortex bagi
partisipan yang mendonasikan uang paling sedikit di permainan tersebut. Dilain
sisi, sepertiga dari peserta yang memiliki respon terbesar di area tersebut juga
berasosiasi dengan emosi dan terpengaruh dari motivasi orang lain di sekitarnya,
mereka tersebut tergolong orang yang paling dermawan. Rata—rata mereka
menyumbang sekitar 75% dari uang yang mereka miliki. Peneliti menyebutkan
kecenderungan ini sebagai “resonansi prososial” sebagai mirror dorongan yang
menyatakan bahwa impuls sebagai pendorong utama perilaku altruisme. Faktor
lain yang dapat mendorong impuls mengaktifkan prefrontal cortex adalah
perilaku kita sendiri. Hasil dari penelitian ini memberikan penafsiran bahwa otak
kita telah mengatur altruisme. Semakin sering kita merasakan apa yang orang lain
rasakan, semakin sering pun kita cenderung untuk memerlakukan orang lain
seperti kita memerlakukan diri sendiri.

Studi lebih lanjut dari L Christov Moore, kita dapat mengatur seseorang
untuk berperilaku lebih prososial dengan menggunakan prosedur noninvasif.
Masih dalam permainan yang sama sebanyak 58 partisipan diberikan alat yang
disebut theta-burst Transcranial Magnetic Stimulation dengan cara menghambat
area tertentu di otak selama 40 detik. Sisanya hanya melakukan grup kontrol.
Peneliti mengurangi kinerja prefrontal cortex(dorsolateral prefrontal cortex atau
dorsomedial prefrontal corte) dengan digabungkan untuk memblokir sebuah
impuls yang masuk. Hasilnya, partisipan dengan aktivitas dumbed-down pada
kedua are prefrontal cortex tersebut ditemukan 50% lebih bersifat murah hati atau
altruisme daripada peserta yang dilakukan dumbed-down pada area lain di otak.
Hal ini terjadi karena impuls dari perilaku tersebut dikontrol dan dikendalikan
sehingga apabila kinerja kedua area tersebut dikurangi, partisipan bisa lebih
menjadi dermawan dengan mendonasikan beberapa dari uang mereka dalam
permainan tersebut. Penelitian ini dapat berguna untuk mengatur seseorang dalam
berperilaku altruistik. Namun penelitian ini susah diaplikasikan karena kurang
bersifat natural apabila hanya mengandalkan pengaturan dengan metode non-
invasif.

Dibalik dari sirkuit otak yang mengatur altruisme, terdapat manfaat dari
altruisme dalam mengurangi aktivitas stress dengan bagian otak yang mengatur
adalah dorsal anterior cingulate cortex, anterior insula kanan, dan amygdala
bagian kanan (Tristen Inagaki, 2014). Dengan altruisme otak kita akan
mengeluarkan endorfin dan dopamine yang berguna untuk meningkatkan perasaan
bahagia.

Kesimpulannya melalui pemaparan berbagai penelitian dan berbagai


penjelasan diatas, dari sederetan isu dan pernyataan tentang altruisme ilusi atau
tidak dapat dibuktikan. Altruisme adalah nyata dan altruisme memang ada
keberadaaanya. Ketika seseorang menilai altruisme terdapat timbal – balik,“gift”
tersebut hanya sebagai kuasi-altruistik yang pada dasarnya adalah bagian dari
transfer sosial umum dan tidak dapat digolongkan sebagai altruisme karena
motivasi utamanya bukan berdasarkan orang lain, melainkan kepada self-interest
(Wispeleare, 2005). Seseorang melakukan altruisme didasarkan atas empati dan
motivasi diri yang tinggi. Seseorang yang memiliki emosi tinggi dapat merasakan
atau membayangkan keadaan orang lain (persepective taking). Hal ini juga dapat
dibuktikan oleh ahli neuroscience yang telah memecahkan permasalahan prososial
dari sudut pandang biopsikologi perilaku dengan mempelajari apa yang sedang
terjadi di otak ketika kita melakukan altruisme dan hasilnya pun menunjukkan
bahwa altruisme sendiri telah terprogram di otak kita. Terdapat sirkut yang
mengatur altruisme seperti area prefrontal cortex yang bertanggung jawab akan
emosi dan keputusan sosial sendiri dan hubungan grey-matter serta betambahnya
syaraf dalam Temporoparietal Junction(TPJ) pun akan teraktivasi ketika kita
melakukan perilaku altruisme.

Selain itu, altruisme dapat memberikan manfaat. Baik kepada orang yang
menolong ataupun orang yang ditolong. Beberapa manfaat itu antara lain, 1. Otak
melepaskan endorfin. Endorfin adalah hormon yang terdapat di dalam tubuh yang
dapat menghilangkan stres dan meningkatkan perasaan bahagia. Otak akan
memberikan respon yang positif yang akan memproduksi sebuah perasaan yang
disebut “helper high”. Ketika kita melakukan perilaku altruistik, otak akan
memproduksi sebuah hormon dopamine ( hormon yang juga meningkatkan
perasaan bahagia apabila kita melakukan perilaku yang benar ) dan mengaktifkan
hormon oxytocin yang dapat mengurasi stress. 2. Dapat membuat kita lebih
bersyukur terhadap apa yang kita miliki saat ini. 3. Meningkatkan kesehatan kita.
Berdasarkan berbagai literatur membantu orang lain tidak hanya meningkatkan
kesehatan mental kita, namun juga kesejahteraan kita dan orang lain yang kita
bantu. Studi lain pun juga menjelaskan seorang volunteer cenderung hidup lebih
lama dan memiliki kesehatan mental yang lebih baik daripada seseorang yang
bukan volunteer (Sherrie Bourg Cr, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Burton, N. (2012, March 27). Does True Altruism Exist. Diakses December 21,
2016, dari Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/blog/hide-
and-seek/201203/does-true-altruism-exist

Lichtenberg, J., (n, d). Is Pure Altruism Possible. Diakses 31 December 2016, dari
http://seschmid.org/E/Is%20pure%20altruism%20possible.pdf

Taylor, S. (2014,Oktober 18). Why Do Human Beings Do Good Things? The


Puzzle of Altruism. Diakses 31 Desember 2016, dari Psychology Today:
https://www.psychologytoday.com/blog/out-the-darkness/201310/why-do-
human-beings-do-good-things-the-puzzle-altruism

Barasch, Alixandra., E. Levine, Emma., Z. Berman, Jonathan., & Deborah A.


Small. (2014). Selfish or Selfless? On the Signal Value of Emotion in
Altruistic Behavior. American Psychological Association, Vol. 107, No. 3,
393-413.

Morishima, Y., Schunk, D., Bruhin, A ., C Ruff, C ., & Fehr, E. (2012). Linking
Brain Structure and Activation in Temporoparietal Junction to Explain the
Neurobiology of Human Altruism. Neuron Report Elseivier Inc, 75, 73—79

Kerr, Bejamin., Godfey-S, P., & W.Feldman, M. (2004). What is altruism?.


Trends in Ecology and Evolution Elsheiver Inc, Volume 19 No.3

Schultz, D & Schultz, S. (2014). Sejarah Psikologi Modern-A History of Modern


Psychology. Bandung: NusaMedia.

A Simpson, J & Beckles, L. (2009). Evolutionary Persepectives on Prosocial


Behavior. Departemen Psikologi University of Minnesota: Twin Cities
Campus.

Robert, Robertus. (2013). Altruisme, Solidaritas, dan Kebijakan Sosial. Pusat


Kajian Sosiologi. LabSosio FISIP-UI, Vol. 18, No. 1, Januari 2013: 1-18
Hadori, Mohamat. (2014). PERILAKU PROSOSIAL (PROSOCIAL BEHAVIOR) ;
Telaah Konseptual Tentang Altruisme ( Altruism ) Dalam Perspektif
Psikologi. Fakultas Dakwah IAI Ibrahimy Situbondo, Volume 6, No. 1, Juni
2014

(Goam, 2014)

Goam, A. K. (2014). Genetic and Enviromental Influences. Thesis, 8-9.

Moore, L C. (2016). Your Brain might be hard-wired for altruism. Diakses 27


Desember 2016 dari website http://newsroom.ucla.edu/releases/your-brain-
might-be-hard-wired-for-altruism

G. Post, Stephen. (2005). Altruism, Happiness, and Health: It’s Good to Be Good.
Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Vol. 12, No. 2, 66–77

Carter, SB. (2014). Helpers high the benefits and risks altruism. Diakses 29
Desember 2016 dari Psychology Today:
https://www.psychologytoday.com/blog/high-octane-women/201409/helpers-
high-the-benefits-and-risks-altruism

Brembs, B. (2001). Hamilton’s Theory. Diakses pada 22 Desember 2016 dari


website http://brembs.net/papers/hamilton.pdf

G H Fried, G., & Hademons, G. J. (2006). Schaum's outline Biologi Edisi Kedua.
Indonesia: PT Gelora Aksara Pratama.

Anda mungkin juga menyukai