111611133114
Biopsikologi Perilaku—A1
Seperti yang kita tahu, ada dua hal yang mendasari hakikat kita sebagai
manusia. Pertama, sebagai makhluk individu yang artinya tidak berbagi atau
sebagai satu kesatuan dan yang kedua, manusia sebagai makhluk sosial, yang
artinya manusia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh orang lain (Ibid, 2006).
Konsep tentang makhluk sosial juga pernah dikemukakan oleh tokoh neo-
psikoanalisa Alfred Alder dalam salah satu pembahasannya, ia mengungkapkan
bahwa perilaku manusia ditentukan sebagian besar oleh kekuatan—kekuatan
sosial, bukan instink biologis Dia pun mengajukan sebuah konsep minat sosial,
yang didefinisikan sebagai sebagai sebuah potensi untuk bekerja sama dengan
orang dalam mencapai tujuan pribadi maupun sosial (Schultz & Schultz, 2014).
Altruisme menurut filsuf asal Prancis, August Comte berasal dari kata
“autrui” yang berarti orang lain. Comte beranggapan bahwa manusia memiliki
sikap atau kewajiban untuk menolong orang lain. Menurut Sean dkk, (2004)
Altruisme sendiri adalah tindakan suka rela yang dilakukan seseorang untuk
menolong atau membantu orang lain tanpa mengharap imbalan atau balasan
apapun. Pengertian secara umum altruisme adalah perilaku yang ditujukan untuk
menguntungkan orang lain dengan tenaga dan biaya pribadi (Bejamin Ker, dkk,.
2004). Definisi tersebut mengungkap bahwa altruisme adalah tindakan yang
merupakan minat individu untuk membantu orang lain meskipun orang tersebut
saling tidak kenal satu sama (Camerer, 2003; Henrich dkk., 2005).
Pengaruh atau penganut dari teori kin selection ini menuai berbagai kritik
dalam perkembangannya, studi literatur pun semakin luas dan ingin
mengungkapkan apa benar faktor yang membuat seseorang cenderung menolong
orang lain berdasarkan insting dan genetika. Biologisme memandang manusia
melakukan kegiatan altruisme semata-mata karena keturunan, namun penelitian
dan beragam kenyataan bahwa tindakan sosial didorong bukan hanya masalah
biologis. Salah satu kritik datang dari tokoh sociobiology E.O Wilson, ketika ia
meneliti tentang eusosial (anggota kelompok sosial yang memelihara anak—
anaknya dan dengan generasi yang berbeda turut membantu menjaga) pada
kelompok serangga, Wilson dan Holldobler, (2005) mengungkapkan keterkaitan
genetika tidak lebih penting dari faktor ekologi atau lingkungan. Faktor ini
mempunyai level tertinggi dari eusosial daripada keterikatan genetika, dan hal ini
menambah sederetan argumen baru yang menyatakan bahwa altruisme datang dari
nature.
Lebih lanjut penelitian ini mempelajari enam anak dan tujuh orang dewasa
dan satu diantaranya memberikan bukti altruisme datang dari faktor bawaan atau
keturunan. Penelitian molekuler genetika menerangkan bahwa proses psikologi
biologi genetika bertanggung jawab dalam pembentukan trait altruisme. Pengaruh
lingkungan dan perbandingan lintas budaya pun juga penting. Faktor genetik dan
pengaruh lingkungan seharusnya tidak dilihat sebagai penjelasan yang saling
bersaing, namun keduanya memiliki sifat yang saling berkomplementer dalam
menjelaskan perbedaan individu perilaku altruisme. Hal ini dapat menjawab
pertanyaan nature or nurture dari altruisme.
Faktor nature or nurture pun terjawab sudah dan sejauh ini cukup aman
apabila kita berasumsi bahwa altruisme bersifat hipotesis dalam ilusi dengan
adanya Kin Selection yang menerangkan bahwa seseorang bersikap altruisme
karena mempunyai hubungan kedekatan atau relatedness genetika yang tinggi
meskipun pada dasarnya ingin meneruskan kelanjutan genetika. Hal ini tidak
berarti pertanyaan tentang ilusi dalam altruisme hipotesa atau nyata berakhir.
Studi lebih lanjut dari L Christov Moore, kita dapat mengatur seseorang
untuk berperilaku lebih prososial dengan menggunakan prosedur noninvasif.
Masih dalam permainan yang sama sebanyak 58 partisipan diberikan alat yang
disebut theta-burst Transcranial Magnetic Stimulation dengan cara menghambat
area tertentu di otak selama 40 detik. Sisanya hanya melakukan grup kontrol.
Peneliti mengurangi kinerja prefrontal cortex(dorsolateral prefrontal cortex atau
dorsomedial prefrontal corte) dengan digabungkan untuk memblokir sebuah
impuls yang masuk. Hasilnya, partisipan dengan aktivitas dumbed-down pada
kedua are prefrontal cortex tersebut ditemukan 50% lebih bersifat murah hati atau
altruisme daripada peserta yang dilakukan dumbed-down pada area lain di otak.
Hal ini terjadi karena impuls dari perilaku tersebut dikontrol dan dikendalikan
sehingga apabila kinerja kedua area tersebut dikurangi, partisipan bisa lebih
menjadi dermawan dengan mendonasikan beberapa dari uang mereka dalam
permainan tersebut. Penelitian ini dapat berguna untuk mengatur seseorang dalam
berperilaku altruistik. Namun penelitian ini susah diaplikasikan karena kurang
bersifat natural apabila hanya mengandalkan pengaturan dengan metode non-
invasif.
Dibalik dari sirkuit otak yang mengatur altruisme, terdapat manfaat dari
altruisme dalam mengurangi aktivitas stress dengan bagian otak yang mengatur
adalah dorsal anterior cingulate cortex, anterior insula kanan, dan amygdala
bagian kanan (Tristen Inagaki, 2014). Dengan altruisme otak kita akan
mengeluarkan endorfin dan dopamine yang berguna untuk meningkatkan perasaan
bahagia.
Selain itu, altruisme dapat memberikan manfaat. Baik kepada orang yang
menolong ataupun orang yang ditolong. Beberapa manfaat itu antara lain, 1. Otak
melepaskan endorfin. Endorfin adalah hormon yang terdapat di dalam tubuh yang
dapat menghilangkan stres dan meningkatkan perasaan bahagia. Otak akan
memberikan respon yang positif yang akan memproduksi sebuah perasaan yang
disebut “helper high”. Ketika kita melakukan perilaku altruistik, otak akan
memproduksi sebuah hormon dopamine ( hormon yang juga meningkatkan
perasaan bahagia apabila kita melakukan perilaku yang benar ) dan mengaktifkan
hormon oxytocin yang dapat mengurasi stress. 2. Dapat membuat kita lebih
bersyukur terhadap apa yang kita miliki saat ini. 3. Meningkatkan kesehatan kita.
Berdasarkan berbagai literatur membantu orang lain tidak hanya meningkatkan
kesehatan mental kita, namun juga kesejahteraan kita dan orang lain yang kita
bantu. Studi lain pun juga menjelaskan seorang volunteer cenderung hidup lebih
lama dan memiliki kesehatan mental yang lebih baik daripada seseorang yang
bukan volunteer (Sherrie Bourg Cr, 2014).
DAFTAR PUSTAKA
Burton, N. (2012, March 27). Does True Altruism Exist. Diakses December 21,
2016, dari Psychology Today: https://www.psychologytoday.com/blog/hide-
and-seek/201203/does-true-altruism-exist
Lichtenberg, J., (n, d). Is Pure Altruism Possible. Diakses 31 December 2016, dari
http://seschmid.org/E/Is%20pure%20altruism%20possible.pdf
Morishima, Y., Schunk, D., Bruhin, A ., C Ruff, C ., & Fehr, E. (2012). Linking
Brain Structure and Activation in Temporoparietal Junction to Explain the
Neurobiology of Human Altruism. Neuron Report Elseivier Inc, 75, 73—79
(Goam, 2014)
G. Post, Stephen. (2005). Altruism, Happiness, and Health: It’s Good to Be Good.
Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Vol. 12, No. 2, 66–77
Carter, SB. (2014). Helpers high the benefits and risks altruism. Diakses 29
Desember 2016 dari Psychology Today:
https://www.psychologytoday.com/blog/high-octane-women/201409/helpers-
high-the-benefits-and-risks-altruism
G H Fried, G., & Hademons, G. J. (2006). Schaum's outline Biologi Edisi Kedua.
Indonesia: PT Gelora Aksara Pratama.