Anda di halaman 1dari 9

BUTA SENJA

dr. Sri Irmandha K, Sp.M, M.Kes.


Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK UMI

PENDAHULUAN
Nyctalopia atau biasa dikenal sebagai buta senja merupakan suatu kondisi sehingga sulit
atau tidak dapat untuk melihat dalam cahaya redup. Buta senja bisa terjadi sejak lahir atau
disebabkan oleh malnutrisi, merupakan gejala yang dapat ditemukan pada beberapa penyakit.
Penyakit-ptnyakit tersebut termasuk defisiensi vitamin A, retinitis pigmentosa, kongenital miopia
berat, rabun senja kongenital dan penyakit Oguchi.
Retinitis pigmentosa merupakan penyebab paling sering terjadinya penglihatan buta
senja, sebuah gangguan dimana sel-sel rod di retina secara bertahap kehilangan kemampuan
untuk berespon terhadap cahaya. Pasien yang menderita secara genetik mengalami rabun senja
yang progresif dan akhirnya penglihatan siang hari mereka mungkin juga akan
terganggu. Sedangkan pada buta senja kongenital yang X linked, sejak lahir sel-sel rodnya tidak
bekerja sama sekali, atau bekerja sangat sedikit, tapi gejalanya tidak bertambah berat. Penyebab
lain dari rabun senja adalah kekurangan retinol , atau vitamin A.
Pemahaman tentang mekanisme adaptasi gelap merupakan hal penting dalam
menjelaskan terjadinya fisiologi penglihatan pada malam hari atau cahaya redup dan
patofisiologi buta senja.
Kata Kunci: Nyctalopia, retinitis pigmentosa, sel rod, defisiensi vitamin A.
TIU : Diharapkan mahasiswa mengetahui dan memahami patofisiologi buta senja.
TIK :
1. Diharapkan mahasiswa mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi sel rod.
2. Diharapkan mahasiswa mengetahui dan memahami mekanisme adaptasi gelap.
3. Diharapkan mahasiswa mengetahui dan memahami gambaran klinis buta senja.
4. Diharapkan mahasiswa mengetahui dan memahami perbedaan buta senja yang dapat diterapi
dan yang tidak dapat diterapi.
5. Diharapkan mahasiswa mengetahui dan memahami terapi dari defisiensi vitamin A.
6. Diharapkan mahasiswa dapat menentukan prognosis dari buta senja.
7. Diharapkan mahasiswa dapat memberikan edukasi pada masyarakat mengenai buta senja.

BAGIAN FK UMI (HARAP DIISI DENGAN NAMA BAGIAN) 1


PEMBAHASAN

Sel Rod

Sel rod berbentuk ramping dengan panjang sekitar 100-120 µm. Sel fotoreseptor rod terdiri dari
segmen luar yang mengandung banyak disk yang bentuknya menyerupai tumpukan uang koin. Segmen
luar disusun oleh 600 sampai 1000 tumpukan disk. Setiap disk sebenarnya merupakan kantong datar yang
dibentuk oleh membran lipid. Lobulus terletak pada tepi disk dan menyatu satu dengan yang lainnya oleh
filamen, yang menghubungkan satu disk dengan disk yang lainnya dan ke membran plasma yang
menutupinya. 1/3 proksimal segmen luar ditutupi oleh penonjolan dari segmen dalam yang disebut kaliks,
sementara bagian distalnya ditutupi mikrovili dari sel RPE. Hanya bagian sentral dari segmen luar yang
tidak ditutupi oleh sitoplasma.(2,5,11,12)

Segmen luar sel rod terutama berfungsi untuk menangkap photon dan terdiri dari seluruh molekul
yang dibutuhkan untuk mengkonversi cahaya menjadi sebuah impuls elektrik. Molekul pigmen yang
bertanggung jawab untuk menangkap cahaya yaitu rhodopsin, yang terletak pada membran disk.
Rhodopsin juga ditemukan pada membran plasma yang menutupi disk, tetapi dalam jumlah yang lebih
kurang dibandingkan dengan yang terdapat pada membran disk. Rhodopsin terdiri dari opsin dan
kromofom, 11-cis-retinal, yang merupakan derivat vitamin A.(2)

Segmen dalam sel rod dibagi menjadi 2 elemen tambahan, yaitu elipsoid di sebelah luar yang
mengandung mitokondria yang berperan dalam sintesis adenosine triphosphate (ATP), dan mioid di
sebelah dalam yang mengandung banyak glikogen. Myoid akan berlanjut dengan badan sel dimana
nukleus berada. Bagian dalam sel terdiri dari badan sinaptik, atau spherule, yang mengandung banyak
vesikel presinaptik dan bersinaps dengan dendrit sel bipolar.(3,4,9)

BAGIAN FK UMI (HARAP DIISI DENGAN NAMA BAGIAN) 2


FOTOTRANSDUKSI ROD
Proses penerimaan dan perubahan cahaya yang masuk kedalam retina membutuhkan
energi dimana respon retina ini membedakannya dengan struktur saraf lainnya. Kombinasi dari
proses ini melibatkan organel khusus dari sel fotoresptor. Rod memiliki lebih banyak membran
dibandingkan dengan cone sehingga rod lebih sensitif.
Segmen luar dari rod terutama mengandung material plasma membran yang tersusun
secara khas. Membran ini tersusun dalam bentuk kantung-kantung pipih sepanjang aksis
horizontal dari segmen luar. Terdapat sekitar 1000 kantung pada segmen luar rod dan sekitar 1
juta molekul rhodopsin pada setiap kantung. Kantung- kantung ini melayang- layang pada
sitoplasma seperti sebuah tumpukan koin yang tidak berhubungan dengan plasma membran
luarnya. Kantung ini mengandung mesin protein untuk menangkap dan memperkuat energi
cahaya. Melimpahnya membran sel luar ini meningkatkan jumlah molekul rhodopsin yang dapat
menyerap cahaya.

BAGIAN FK UMI (HARAP DIISI DENGAN NAMA BAGIAN) 3


Cahaya diserap oleh rhodopsin yang terletak pada membran sel luar dari rod. Rhodopsin
adalah sejenis protein berupa membran yang mudah ditembus dan sejenis dengan reseptor alfa
dan beta adrenergik. Setiap molekul bertanggung jawab terhadap satu kuantum cahaya.
Rhodopsin menyerap cahaya hijau dengan panjang gelombang sekitar 510 nm. Rhodopsin
kurang baik dalam menyerap cahaya biru dan kuning dan tidak sensitif terhadap cahaya merah.
Pada saat rhodopsin menyerap suatu kuantum cahaya, ikatan ganda dari II- cis retinal
akan pecah dan molekul opsin mengalami perubahan konfigurasi yang cepat, sehingga terjadi
keadaan aktif yang disebut metarhodopsin II. Rhodopsin yang terktivasi memulai reaksi dengan
mengontrol aliran kation- kation kedalam segmen luar rod. Target dari reaksi ini adalah pada
pintu saluran cGMP (cyclic Guaonosine Monophosphate) yang terletak di membran terluar dari
segmen luar. Saluran ini mengontrol aliran ion natrium dan kalsium kedalam rod. Dalam suasana
gelap, ion natrium dan kalsium mengalir melalui saluran ini dimana terbukanya pintu saluran ini
dipertahankanoleh cGMP. Keseimbangan ion dipertahankan oleh pompa Na+, K+-ATPase pada
segmen dalam dan Na+/K+- Ca exchanger pada membran segmen luar, yang mana kedua proses
ini membutuhkan energi. Keadaan depolarisasi rod menyebabkan dilepasnya neurotransmitter
glutamate dari terminal sinaptik dan dimulailah sebuah sinyal neural dari proses melihat.

Aktivasi fototransduksi

Rhodopsin yang telah teraktivasi merangsang molekul kedua, transdusin, dengan cara
menukar guanosin difosfat (GDP) dengan guanosin trifosfat (GTP). Satu moloekul rhodopsin
dapat mengaktifkan seratus molekul transdusin, sehingga memperkuat reaksi. Transduksin yang

BAGIAN FK UMI (HARAP DIISI DENGAN NAMA BAGIAN) 4


aktif memicu protein ketiga, rod fosfodiesterase (rod PDE) yang menghidrolisis cGMP ke 5’-
noncyclic GMP. Penurunan cGMP ini menutup pintu saluran- saluran, dimana aakan
menghentikan masuknya natrium dan kalsium dan membuat keadaan hiperpolarisasi rod.
Hiperpolarisasi menghentikan pelepasan glutamate dari terminal sinaptik.
Pada keadaan gelap, rod kembali ke keadaan gelapnya seiring dengan terhentinya aliran
reaksi. Rhodopsin mengalami inaktivasi akibat fosforilasi pada C-terminalnya oleh rhodopsin
kinase, yang dibantu oleh ikatan arrestin. Transdusin dinonaktifkan akibat hidrolisis dari GTP ke
GDP oleh aktivitas GTPase transdusin intrinsic, yang juga menonaktifkan PDE. Guanilat
siklase, suatu enzim yang mensintesis cGMP dari GTP, diaktifkan oleh menurunnya kadar
kalsium intraseluler akibat tertutupnya saluran, aksi dari enzim ini dibantu oleh protein
pembantu-guanilat siklase (GCAPs). Dengan meningkatnya kadar cGMP, pintu saluran- saluran
tertutup dan rod kembali mengalami depolarisasi. Meningkatnya kadar kalsium intraseluler
mengembalikan aktivitas guanilat siklase ke level gelapnya. Umpan balik kalsium juga dapat
meregulasi fosforilasi rhodopsin dengan jalan melindungi sensitivitas pintu saluran. Pada saat
tidak terdapat cahaya atau cahaya redup maka rhodopsin diregenerasi. Tubuh mensintesis
rhodopsin dari vitamin A, sehingga apabila terjadi kekurangan vitamin A maka akan
menyebabkan buta senja.

Klasifikasi
Penyebab buta senja dibedakan menjadi dua kategori, dapat diterapi dan tidak dapat diterapi:
Penyebab yang dapat diterapi:
1. Katarak
2. Kongenital Miop Berat
3. Akibat menggunakan obat tertentu
4. Defisiensi vitamin A
Penyebab yang tidak dapat diterapi:
1. Kongenital defek.
2. Retinitis Pigmentosa

BAGIAN FK UMI (HARAP DIISI DENGAN NAMA BAGIAN) 5


Gambaran klinis
Buta senja adalah menurunnya penglihatan pada saat malam hari atau pada cahaya redup.
Buta senja dapat menyebabkan kesulitan ketika membawa mobil pada malam hari. Pasien
dengan buta senja biasanya sulit melihat bintang pada langit malam yang cerah atau berjalan di
ruang yang gelap, seperti di bioskop. Pasien dengan buta senja sering merasakan gejala
memberat apabila dari ruangan terang ke ruangan yang lebih gelap. Pada kasus yang lebih ringan
hanya merasakan lebih lama ketika beradaptasi gelap.

Mata normal buta senja

Diagnosis
Sangatlah penting untuk melakukan pemeriksaan mata yang lengkap sehingga dapat
menentukan penyebab buta senja, yang mungkin dapat diterapi. Misalnya dengan memakai
kacamata atau dengan operasi katarak atau apakah buta senja disebabkan oleh penyakit yang
tidak dapat diobati. Pertanyaan yang dapat diberikan pada saat anamnesis yaitu: berat buta senja
yang dialami?, sejak kapan?, apakah terjadi perlahan-lahan atau tiba-tiba?, apakah terjadi
sepanjang hari?, apakah dengan menggunakan kacamata penglihatan malamnya membaik?,
apakah pernah melakukan operasi mata?, sedang meminum obat apa?, bagaimana makananmu?,
apakah barusan mengalami cedera pada mata atau kepala anda?, apakah terdapat riwayat
diabetes pada keluarga?, apakah terdapat gangguan penglihatan lainnya?, apakah ada gejala
penyerta lainnya?, apakah anda sedang mengalami stres, cemas atau takut akan kegelapan?

BAGIAN FK UMI (HARAP DIISI DENGAN NAMA BAGIAN) 6


Sedangkan pemeriksaan mata yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Tes buta warna.
2. Refleks pupil.
3. Tajam penglihatan
4. Refraksi.
5. Funduskopi.
6. Slit lamp atau penyinaran obliq.
Pemeriksaan penunjang:
1. Electroretinogram (ERG)
2. Visual field

Penatalaksanaan
Terapi secara oral merupakan metode terapi yang direkomendasikan. Tetapi, apabila
terjadi muntah-muntah yang berulang dan diare yang berat, maka dianjurkan diberikan dengan
metode injeksi intramuskular. WHO merekomendasikan jadwal pemberian sebagai berikut:
1. Semua pasien diatas umur 1 tahun (kecuali wanita usia reproduktif): 200.00 IU vitamin A
secara oral atau 100.00 IU injeksi intramuskular segera diberikan setelah terdiagnosis dan
diulangi besoknya dan empat minggu kemudian.
2. Anak-anak dibawah 1 tahun dan semua anak yang beratnya kurang dari 8 kg harus
diterapi dengan dosis setengah dari dosis yang diberikan pada pasien yang berumur lebih
dari 1 tahun.
3. Wanita usia reproduktif, hamil atau tidak:
(a) mengalami buta senja (XN), xerosis konjungtiva (X1A) dan Bitot’s spot (X1B) harus
diterapi dengan dosis 10.000IU vitamin A secara oral, setiap hari selama 2
minggu.should be treated with a daily dose of 10,000 IU of vitamin A orally (1 sugar
coated tablet) for 2 weeks.
(b) yang mengalami kornea xerofthalmia, direkomendasikan untuk diberikan jadwal dosis
penuh (seperti dosis pasien umur diatas 1 tahun)

BAGIAN FK UMI (HARAP DIISI DENGAN NAMA BAGIAN) 7


Prognosis
Prognosis buta senja yang diakibatkan oleh defisiensi vitamin A adalah bonam karena
masih bersifat refersibel, dimana dalam kategori WHO, buta senja (nyctalopia)/XN termasuk
kelainan yang masih dapat dipulihkan kembali.

Edukasi
Karena menentukan penyebab dari buta senja adalah sangat penting maka pasien diminta
memeriksakan matanya secara lengkap. Begitu pula dengan keluarganya apabila dicurigai
penyebab dari buta senjanya akibat kelainan genetik. Sangat penting pula mengedukasi pasien
buta senja untuk tidak membawa kendaraan pada malam hari karena dapat mengancam jiwa. Dan
segera melakukan terapi pada pasien buta senja akibat defisiensi vitamin A karena gejalanya
bukan hanya buta senja, bahkan terdapat gejala dan komplikasi yang irreversibel.

DAFTAR PUSTAKA
1. Chibis,W.G, Hillary A.B, James, J.T., John, S.B., Karla J., Shalesh K . Fundamentals and
Principles of Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course, Sec. 2, AAO,
San Fransisco, 2011-2012. Hal76-87
2. Regillo, C., Holekamp, N., Johnson, M.W., Kaiser, P.K., Schubert, H.D., Spaide, R., Retina
and Vitreous; Basic and Clinical Science Course Sec. 12, AAO, San Fransisco,
2011- 2012, Hal 7- 17
3. Sarthy, V., Ripps, H., Structural Organization of Retinal Glia, on :The Retinal Muller Cells,
Structure and Function, Kluwer Academic Publisher, New York, 2002. Hal : 1-33
4. Khurana, AK., Comprehensive Ophthalmology four Edition
5. Cukras CA, Zein WM, Caruso RC, Sieving PA. Progressive and ‘stationary’ inherited retinal
degenerations. In: Yanoff M, Duker JS, eds. Ophthalmology. 4th ed. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2014:chap 6.13.
6. Thurtell MJ, Tomsak RL. Visual loss. In: Daroff RB, Jankovic J, Mazziotta JC, Pomeroy
SL, eds. Bradley’s Neurology in Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia, PA:
Elsevier Saunders; 2016:chap 16.

BAGIAN FK UMI (HARAP DIISI DENGAN NAMA BAGIAN) 8


7. Tsang SH, Gouras P. Molecular physiology and pathology of the retina. In: Tansman W,
Jaeger EA, eds. Duane's Ophthalmology 2013 edition. Philadelphia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2013:vol 3, chap 2.

BAGIAN FK UMI (HARAP DIISI DENGAN NAMA BAGIAN) 9

Anda mungkin juga menyukai