Kletus Erom
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP UNWIRA Kupang, NTT
ABSTRACT
1. Pendahuluan
Menurut pengamatan awal yang sepintas, MM memiliki empat jenis nama,
yaitu Nama Manggarai (NM) ‘Ngasang Tu’ung’, Nama Katholik (NKat) ‘Ngasang
Serani’, Nama Kekerabatan ‘Ngasang Ame’, dan Nama Samaran (NS) ‘Ngasang
Alit’. Pemberian keempat jenis nama tersebut tentu didasari oleh imajeri budaya
MM karena sistem penamaan tersebut merupakan “permainan simbol verba
berdasarkan imajeri budaya/imajeri mental” (Palmer, 1996: 3) MM.
Nama diri (ND) memiliki arti yang sangat penting dalam imajeri budaya
MM. Pentingnya ND tersebut tidak cuma dideskripsikan, tetapi terlebih secara
linguistis, gramatikal, sintaktis ditonjolkan dengan sistem pemarkahan khusus
(Erom, 2010). Pemarkahan yang khusus tersebut mengisyaratkan bahwa ND
memiliki arti yang sangat penting dalam imajeri budaya MM.
1
2
didasari oleh imajeri budaya orang DaioÞa/ NaioÞa/ LaioÞa yang menganggap
rendah anak wanita dan anak kembar. Selain itu juga tidak dijelaskan lebih jauh
mengapa penyebutan nama secara langsung di hadapan orangnya dianggap kasar.
Kedua, Erom (2014) menemukan empat-belas (14) nama samaran yang
dipraktikkan oleh MM. Nama Samaran (NS) digunakan karena Nama Manggarai
dianggap kasar dalam imajeri budaya MM. Jenis NS tersebut adalah sebagai
berikut: (1) NS berdasarkan nama anak kandung, (2) NS berdasarkan nama anak
kerabat, (3) NS berdasarkan postur tubuh, warna kulit, atau ciri fisik lain, (4) NS
berdasarkan idiolek atau bahasa khas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
(5) NS berdasarkan harta kekayaan yang dimiliki, (6) NS berdasarkan makna
leksikal nama sebenarnya, baik NKat maupun NM, (7) NS berdasarkan warna suara
dan cara bicara, (8) NS berdasarkan kebisaaan anak kecil memanggil, (9) NS
berdasarkan bunyi vokal nama sebenarnya, (10) NS berdasarkan keadaan
kesehatan, (11) NS berdasarkan anak memanggil menurut hubungan kekerabatan,
(12) NS berdasarkan nama jenis kelamin, baik wanita maupun pria, (13) NS
berdasarkan perbuatan khusus, dan (14) NS berdasarkan paci (semboyan) dalam
permainan caci dan perang.
Ketiga, Erom (2014) menulis tentang alasan mengapa NM dianggap kasar
dan NKat dianggap sopan. NM dianggap kasar sehingga tidak digunakan dalam
sapaan sehari-hari, hanya untuk identitas. Nama Katolik (NKat) dianggap sopan
sehingga digunakan dalam sapaan sehari-hari. Dalam simpulan dia juga menyebut
dua jenis nama yang lain: NKet dan NS sehingga menjadi empat jenis nama.
Namun, yang dibicarakan secara rinci hanya NM dan NKat. Juga tidak dijelaskan
proses atau peristiwa penting pemberian nama-nama tersebut.
Keempat, Erom (2010) mengidentifikasi ciri fonologis sistem penamaan
MM. (1) Nama pria dan wanita berbeda. Nama pria cenderung menggunakan
fonem vokal bundar /a/, /o/, dan /u/ sedangkan nama wanita menggunakan fonem
vokal takbundar /i/ dan /e/. Ciri fonologis, longitudinal, dan amplitudo tersebut
menunjukkan dominasi pria dalam banyak dimensi sosial terhadap wanita. (2)
Nama seorang anak tidak mengikuti nama ayahnya. Setiap anak memiliki NM yang
berbeda. Sebagai gantinya, nama sebagian bahkan semua anak pria, tetapi bukan
anak wanita, memiliki asonansi bunyi vokal dengan nama ayah, kakek, buyut,
4
leluhur, dan saudara-saudaranya. (3) Nama seorang anak bisa saja persis sama
dengan nama generasi sebelumnya, misalnya kakek, buyut, atau leluhur karena
mereka sudah meninggal. (4) Jumlah nama MM hanya satu untuk satu orang.
Setelah agama Katolik masuk Manggarai, secara normal MM memiliki dua nama:
NKat dan NM. Sekarang MM memiliki tiga atau lebih nama untuk satu orang.
Keempat penelitian tersebut berbicara tentang sistem penamaan. Bahkan
tiga yang terakhir berbicara tentang sistem penamaan pada MM. Kali ini penulis
mengaji atau menelaah aspek lain dari sistem penamaan MM sehingga makin
banyak informasi tentang kebudayaan Manggarai umumnya, dan sistem penamaan
khususnya bagi pembaca yang mungkin ingin mendapat informasi semacam itu.
Gereja Katolik – agama mayoritas MM. BM dalam tulisan ini adalah BM yang
digunakan di Kabupaten Manggarai. Bahasa di kabupaten Manggarai merupakan
salah satu dari empat dialek geografis BM menurut Verheijen (1991: 1) dan
dianggap sebagai dialek standar. Ketiga dialek lain adalah dialek Manggarai Timur,
yang digunakan di kawasan timur Kabupaten Manggarai Timur, dialek S – H dan
dialek Manggarai Barat, yang digunakan di Kabupaten Manggarai Barat.
Bodley (1994: 22) mengatakan bahwa Culture is described or defined as
what people think, make, and do. Kata culture dalam kamus Indonesian – Inggris
diterjemahkan sebagai mind, intelligence ‘pikiran, inteligensi’ (Salim, 1997: 195).
Terjemahan ini sejalan dengan difinisi kata imajeri (imagery). Imagery (or cultural
imagery) is what we see in our mind’s eye (Palmer, 1996: 3). ‘Imajeri budaya
adalah apa yang kita bisa lihat dalam mata pikiran kita’. Imajeri budaya dalam
tulisan ini adalah model berpikir atau skema berpikir seseorang dalam melihat,
mempersepsi atau memahami sistem penamaan. Budaya Manggarai dalam tulisan
ini adalah budaya sistem penamaan.
Teori linguistik kebudayaan (theory of cultural linguistics) digunakan untuk
menganalisis dan mendeskripsikan imajeri budaya MM yang mendasari budaya
sistem penamaan. Teori ini meneliti manusia, filosofi kehidupannya, cara mereka
melihat dunia yang ditentukan atau dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan.
Dalam teori ini ekspresi bahasa dalam bentuk sistem penamaan diyakini ditentukan
oleh atau berdasarkan imajeri budaya MM.
Berikut ini sejumlah pernyataan teoretis berkaitan dengan teori linguistik
kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Gary B. Palmer (1996) dicuplik.
(1) Language is the play of verbal symbols that are based in imagery. Imagery is
what we see in our mind’s eye, but it is also the taste of a mango, the feel of
walking in a tropical downpour, the musik of Mississippi Masala. Our
imaginations dwell on experiences obtained through all the sensory modes,
and then we talk (Palmer, 1996: 3).
they take the attention of the community. Once language provides a word for
an object or activity, that object or event becomes culturally significant. The
relationship of vocabulary and cultural value is multidirectional. Speakers
give names (words) to important entities and events in their physical and
social worlds, and, once named, those entities and events became culturally
and individually noticed and experienced (Sapir, in Bonvillain, 2003: 47 – 48).
yang disebut imajeri. Tanda dapat disejajarkan dengan nama yang memiliki konsep
dan imaji bunyi.
3. Metodologi
Di dalam studi ini akan digali permainan simbol verbal sistem penamaan
MM dan imajeri budaya mereka yang mendasari sistem penamaan tersebut dengan
berbagai jenisnya. Di dalam studi ini juga akan dicari informasi dari sample yang
kaya (Perry, 2005: 75). Karena itu, studi ini juga termasuk jenis kualitatif. Studi ini
memiliki data kualitatif. Kerana itu, dalam melakukan analisis data digunakan
metode deskriptif kualitatif. Metode tersebut bermaksud menjelaskan dan
mendeskrisikan secara kualitatif sistem penamaan pada MM dengan segala jenisnya.
Berdasarkan deskripsi tersebut diperoleh informasi tentang jenis nama yang biasa
dikenakan pada MM, proses pemberiannya, dan imajeri budaya MM yang melatari
penggunaan jenis nama tersebut.
disebut lutur dalam BM. Di lutur tersebut, ibu dan bayi tidur ditemani suami atau
anggota keluarga lain untuk jangka waktu beberapa bulan. Setelah itu, mereka
pindah tidur di kamar tidur. Mungkin praktik ini merupakan teknik tradisional
menjarakkan kelahiran dalam keluarga berencana (KB).
Ratung Wuwung memiliki makna leksikal sebagai Puntung Ubun-ubun.
Ratung ‘puntung’ adalah sisa kayu bakar di tungku api, yang sebagian besar sudah
terbakar. Wuwung berarti ubun-ubun. Saat upacara Ratung Wuwung, lima buah
kemiri dengan kulit keras dibakar di bara api sampai kulit keras menjadi abu dan
tersisa isinya, yang sudah menjadi hitam dan berminyak. Kemiri seperti ini disebut
masu dalam BM. Muncul ungkapan paralelisme BM Neka masu sa’i ‘Jangan masu
pada dahi/kepala’ // Neka helo huwek ‘Jangan mengoleskan daun-daun pada
pelipis’. Ungkapan ini bermakna literal tidak boleh ada masu di dahi/kepala dan
tidak boleh ada obat ramuan dari daun-daun di pelipis. Ungkapan tersebut
bermakna metaforis yang bermaksud memohon kesehatan yang baik bagi si bayi.
Masu di dahi/kepala dan obat ramuan daun-daun di pelipis merupakan tindakan
penyembuhan dari sakit fisik tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa masu dan
ramuan daun-daun tersebut merupakan obat tradisional yang menyembuhkan dan
menyehatkan.
Kelima kemiri yang sudah menjadi masu tersebut dicampur dengan sedikit
darah ayam persembahan yang disembelih. Kemiri (masu) tersebut digosok-gosok
pada sebatang kayu atau pelepah pinang yang sudah kering untuk dihancurkan
menjadi cairan kental lalu dioleskan atau ditempelkan di ubun-ubun bayi yang tipis
itu supaya menjadi tebal. Hal ini ada kaitan dengan Cear Cumpe (Membongkar
Cumpe) saat bayi sudah berkenalan dengan udara bebas. Penebalan ubun-ubun
dengan masu bermaksud agar tidak mudah kemasukan angin melalui ubun-ubun
yang tipis itu. Dengan demikian, bayi sehat dan berumur panjang.
Diyakini oleh MM bahwa pada saat seseorang meninggal, napas terakhirnya
menghembus keluar dari dalam tubuh melalui ubun-ubun yang tipis tersebut.
Penempelan masu di ubun-ubun tentu bermaksud untuk mempertebal ubun-ubun
agar tidak mudah keluarnya napas kehidupan melalui ubun-ubun. Hal ini
dimaksudkan agar bayi tersebut sehat dan berumur panjang. Jika bayinya berumur
panjang, maka ND yang diberikan kepadanya pada saat upacara Céar Cumpé dan
11
Ratung Wuwung atau beberapa saat kemudian tidak sia-sia. Terdapat indikasi
bahwa pemberian ND harus dipertanggungjawabkan dengan cara memelihara
dengan baik nafas kehidupan orang yang menyandang ND tersebut. ND tidak akan
berarti lagi jika orangnya sudah meninggal. Dengan demikian, ND tidak hanya
menjadi identitas seseorang melainkan juga sebagai tanda yang menghidupkan.
Tampaknya ND begitu penting dalam imajeri budaya MM. Pentingnya ND tersebut
tidak cuma dideskripsikan atau ditunjukkan dengan perilaku budaya lain melainkan
juga secara linguistik, diberi pemarkah yang khusus (Erom, 2010: 55 – 68).
Gereja Katolik dan kepadanya diberikan sebuah NKat. Tidak ada ketentuan yang
sangat ketat dari Gereja Katolik tentang berapa hari setelah kelahiran pembabtisan
dilangsungkan, hanya dihimbau sesegera mungkin setelah kelahiran. Pada
umumnya anak dibabtis satu bulan setelah kelahiran. Hal ini terkait dengan
kebiasaan anak/bayi bisa dibawa ke luar rumah setelah berumur satu bulan. NKat
terasa sopan oleh MM karena itu mereka lebih suka disapa dan menyapa dengan
nama tersebut.
Dalam persandingan bersama dengan NM, NKat ditempatkan di urutan
pertama, sedangkan NM di urutan kedua. Nama Martinus Tasak, misalnya,
Martinus merupakan NKat dan Tasak merupakan NM. Jika terjadi sebaliknya, NM
ditempatkan di urutan pertama dan NKat di urutan kedua, seperti misalnya, Jeladu
Kosmas, maka Kosmas adalah NKat dan Jeladu adalah NM, itu hanya terjadi dalam
ijazah dan bukan dalam surat babtis.
inang to’an ‘tanta dari keponakan’, amang to’an ‘om dari keponakan’, haé ‘teman
wanita’, dan tu’a/bisa ‘yang dituakan’. Nama-nama tersebut dianggap sopan karena
dapat menampakkan keakraban hubungan kekerabatan.
Sama seperti orang Daioþa/Naioþa/Laioþa, nama istilah kekerabatan
tersebut bahkan digunakan untuk menyapa orang yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan dengan penyapa. Penggunaan istilah kekerabatan tersebut
menunjukkan rasa hormat kepada orang yang disapa. Ada sejumlah NKet yang
sangat sering digunakan untuk menyapa atau memanggil orang yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan dengan penyapa. NKet ema ‘bapa’ dan endé ‘mama’
diucapkan oleh orang muda atau anak-anak masing-masing kepada semua pria dan
wanita yang lebih tua. NKet kesa ‘ipar laki-aki’ diucapkan kepada semua pria
dewasa oleh pria sebaya, dan NKet ipar ‘ipar wanita’ dialamatkan kepada semua
wanita dewasa terutama oleh sesama wanita. NKet nana ‘saudara’ diucapkan
kepada semua pria dewasa oleh wanita sebaya atau kepada semua anak-anak pria
oleh orang tua atau orang dewasa. NKet enu/ndu ‘saudari’ dialamatkan kepada
semua wanita dewasa oleh pria sebaya atau kepada semua anak wanita oleh orang
tua atau orang dewasa.
Selain kata-kata kekerabatan, kata Kraéng ‘Tuan/Bapak/Pa’ dan Mori
‘Tuan/Bapak/Pa’ juga digunakan dalam sapaan sehari-hari. Kata Kraeng, yang
merupakan kata serapan dari Bahasa Bugis, sangat sering digunakan untuk
menyapa pria yang belum dikenal, yang sebaya atau sedikit lebih tua. Misalnya,
Ngo nia-t bo yo Kraéng? ‘Pergi kemana Tuan?’ Ngo lé Ruteng-k o Kraéng. ‘Saya
pergi ke Ruteng, Tuan’. Bahkan nama Kraéng digunakan bersanding dengan nama
sapaan lain. Maka terbentuk istilah Mori Kraeng ‘Tuhan Allah’, Kraéng Tu’a ‘Tua
Adat’, Kraéng Dalu, Kraéng Raja, Kraéng Dalu Thomas (Dalu Cibal), Kraéng
Raja Wunut, Kraéng Raja Baruk, Kraéng Raja Ngambut, Kraéng Tongka ‘Juru
Bicara Negosiasi Perkawinan’, Kraeng Cibal, Kraeng Todo ‘orang Cibal, orang
Todo’.
Selain kata Kraéng, kata Mori ‘Tuan’ juga digunakan untuk menyapa pria
yang belum dikenal dan tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan penyapa.
Misalnya, Ngo nia-t bo yo Mori? ‘Pergi ke mana Tuan?’ Ngo lé Ruténg-k o Mori.
14
‘Saya pergi ke Ruteng, Tuan’. Penggunaan Kraéng atau Mori di sini menunjukkan
bahwa para pelibat tutur sederajat atau sedikit lebih dari penyapa/pembicara.
Secara leksikal kata Mori berarti Tuhan. Namun dalam hal ini, orang yang
disapa Mori tersebut tidak dianggap Tuhan atau sama dengan Tuhan melainkan
hanya untuk menghormati orang yang disapa secara verbal, secara linguistik. Kata
tersebut biasa digunakan oleh MM yang mendiami daerah Manggarai bagian
tengah, selatan, dan barat. Hal ini menunjukkan bahwa MM sangat menghormati
orang lain terutama orang baru dengan menempatkannya sejajar dengan Tuhan.
Berkaitan dengan penggunaan kata Mori sering terdengar dalam sejarah
istilah seperti: Mori Dima ‘Tuan asal Bima’, Mori Goa ‘Tuan asal Goa’ asal
Sulawesi Selatan, Mori Todo ‘Tuan asal Kedaluan Todo’ (sekarang Kecamatan
Satar Mese Barat’, Mori Cibal ‘Tuan asal Kedaluan Cibal’, Mori Reok ‘Tuan asal
Kedaluan Reok’. Istilah Kraeng dan Mori tersebut hanya dikenakan pada kaum pria
dan tidak pada kaum wanita. Hal ini menunjukkan bahwa kaum pria lebih
dihormati secara verbal, secara sistem penamaan. Ini juga menunjukkan dominasi
pria terhadap wanita dalam banyak dimensi sosial.
Kata-kata kekerabatan tersebut begitu banyak jenisnya dan begitu tinggi
frekuensi penggunaannya dalam pergaulan hidup sehari-hari. Hal ini pasti terkait
dengan dianggap kasarnya penyebutan nama secara langsung, baik NKat maupun
NM. Walaupun secara umum NKat dianggap sopan tetapi dalam praktik pergaulan
sehari-hari nama tersebut sering disandingkan dengan nama-nama kekerabatan.
Tidak demikian halnya dengan NM. Beberapa contoh, Bapak David Dehong disapa
Ema David ‘Bapak David’, bukan Ema Dehong ‘Bapa Dehong’. Ibu Katharina
Siung disapa Ende Kata ‘Mama Kata’, bukan Ende Siung ‘Mama Siung’. Penyan
ding NKat dan NKet tersebut tentu bermaksud lebih menghaluskan. Maka, sejalan
dengan yang sudah ditegaskan oleh Erom (2014: 1 – 11), tidak diragukan lagi NM
dianggap kasar dalam imajeri budaya MM.
palsu karena tidak tertulis dalam catatan resmi seperti dalam akata, Kartu Tanda
Penduduk (KTP), ijasah/sertifikat, terutama dalam buku induk pembabtisan. Nama
tersebut dimiliki di samping nama sebenarnya, yaitu NKat dan NM. NS digunakan
hanya untuk menyapa atau menyapa orang. Seringkali penyapaan/penyebutan nama
tersebut tidak di hadapan orang yang bersangkutan. NS menyamarkan bahkan
menyembunyikan nama sebenarnya, NKat dan NM sebab kedua nama tersebut
seringkali dianggap kasar jika menyapa langsung orangnya.
Berdasarkan pemberinya, ada dua jenis NS. Pertama adalah NS yang dicari
dan diberikan oleh diri sendiri. NS tersebut disebut paci yang biasa digunakan
dalam permainan caci. Kedua, adalah NS yang diberikan oleh orang lain. NS
tersebut awalnya digunakan untuk menyebut orang dan seringkali tidak secara
langsung di hadapan orang bersangkutan. Lama-kelamaan NS tersebut dikenal oleh
banyak orang termasuk orang yang diberi NS. Jika sudah dikenal luas, NS tersebut
bisa digunakan secara langsung untuk menyapa/memanggil orang bersangkutan.
Orang bersangkutan tidak menolak NS tersebut sebab sudah banyak orang
menggunakannya untuk menyapa atau memanggilnya secara konvensi. Bahkan
orang tersebut lebih suka disapa dengan NS daripada dengan nama sebenarnya. NS
dianggap lebih sopan daripada nama sebenarnya. NS datang menyamarkan,
menyembunyikan, bahkan menggantikan nama sebenarnya dalam sapaan.
Terdapat empat-belas nama samaran yang biasa digunakan oleh MM (Erom,
2014: - 39 - 50). Keempat nama samaran tersebut adalah sebagai berikut. (1) NS
berdasarkan nama anak kandung, dan biasanya nama anak kandung pertama atau
sulung untuk bersopan santun. (2) NS berdasarkan nama anak kerabat dan
digunakan sejak sebelum menikah untuk bersopan santun, prestise, dan mempererat
kekerabatan. (3) NS berdasarkan postur tubuh, warna kulit, atau ciri istemewa lain
untuk bersopan santun, menghormati. (4) NS berdasarkan idiolek atau bahasa yang
sering digunakan untuk bersopan santun dan kekaguman. (5) NS berdasarkan harta
kekayaan untuk bersopan santun dan kekaguman. (6) NS berdasarkan makna
leksikal nama sebenarnya, baik NKat maupun NM untuk bersopan santun. (7) NS
berdasarkan warna suara dan cara bicara untuk bersopan santun dan kekaguman
terhadap suara yang nyaring. (8) NS berdasarkan kebiasaan anak kecil memanggil
untuk bersopan santun. (9) NS berdasarkan bunyi vokal nama sebenarnya, baik
16
6. Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teory and Practice. Yogyakarta: Bentang.
Bodley, J. H. Cultural Anthropology: Tribes, States, and the Global Sistem. Palo
Alto, CA: Mayfield.
Cavallaro, Dani. 2001. Teori Kritis dan Teori Budaya, (Terjemahan) Laily
Rahmawati. Yogyakarta: Niagara.
Dedrick, Don. 1998. Naming the Rainbow: Colour Language, Colour Science, and
Culture. Dordrecht: Kluwer.
Feld, Steven. 1990. Sound and Sentiment: Birds, Weeping, Poetics, and Songs in
Kaluli Expression. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Kővecses, Zoltan. 2006. Language, Mind, and Culture. Oxford: Oxford University
Press.
Lakoff, George. 1987. Women, Fire and Dangerous Things: What Categories
Reveal about the Mind. Chicago: University of Chicago Press.
Palmer, Gary B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistiks, 1st Edition. Texas:
The University of Texas Press.
Verheijen, J.A.J. 1991. Manggarai dan Wujud Tertinggi, Jilid 1. Jakarta: LIPI RUL.