Anda di halaman 1dari 18

JENIS NAMA ORANG PADA MASYARAKAT MANGGARAI:

PERSPEKTIF LINGUISTIK KEBUDAYAAN

Kletus Erom
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP UNWIRA Kupang, NTT

ABSTRACT

Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan empat


jenis nama Masyarakat Manggarai (MM). Informasi ini berguna bagi MM untuk
mengenal dan memahami sistem penamaan umumnya dan empat jenis nama
khususnya. Untuk mengilustrasi dan menginspirasi penulisan artikel ini beberapa
tulisan penelitian sebelumnya ditinjau. Untuk membatasi dan mengarahkan
analisis sejumlah konsept dijelaskan. Untuk menganalisis data teori linguistik
kebudayaan digunakan. Data dalam bentuk daftar sejumlah nama MM
dikumpulkan dari para informan. Berkaitan dengan karakteristik data metode
deskriptif-kualitatif diterapkan. Hasil analisis data menyebutkan bahwa terdapat
empat jenis nama MM. Keempat jenis nama tersebut termasuk Nama Manggarai
(NM) ‘Ngasang Tu’ung’, Nama Agama/Nama Katholik (NKat) ‘Ngasang Serani’,
Nama Kekerabatan ‘Ngasang Ame’, dan Nama Samaran (NS) ‘Ngasang Alit’.
Ditemukan pula imajeri budaya MM yang mendasari pemberian keempat jenis
nama tersebut. Usulan disampaikan kepada MM untuk mengenal, memahami, dan
menghargai sistem penamaan pada umumnya dan keempat jenis nama tersebut
khususnya. Imajeri budaya dapat dimodifikasi menjadi nilai kehidupan sosial yang
sopan santun, harmonis, dan penuh toleransi bagi MM.

Kata-kata Kunci: Bahasa Manggarai, budaya Manggarai, imajeri budaya,


linguistik kebudayaan, sistem penamaan

1. Pendahuluan
Menurut pengamatan awal yang sepintas, MM memiliki empat jenis nama,
yaitu Nama Manggarai (NM) ‘Ngasang Tu’ung’, Nama Katholik (NKat) ‘Ngasang
Serani’, Nama Kekerabatan ‘Ngasang Ame’, dan Nama Samaran (NS) ‘Ngasang
Alit’. Pemberian keempat jenis nama tersebut tentu didasari oleh imajeri budaya
MM karena sistem penamaan tersebut merupakan “permainan simbol verba
berdasarkan imajeri budaya/imajeri mental” (Palmer, 1996: 3) MM.
Nama diri (ND) memiliki arti yang sangat penting dalam imajeri budaya
MM. Pentingnya ND tersebut tidak cuma dideskripsikan, tetapi terlebih secara
linguistis, gramatikal, sintaktis ditonjolkan dengan sistem pemarkahan khusus
(Erom, 2010). Pemarkahan yang khusus tersebut mengisyaratkan bahwa ND
memiliki arti yang sangat penting dalam imajeri budaya MM.

1
2

Berdasarkan fakta-fakta yang dikemukakan di atas, penulis termotivasi


untuk menuliskan artikel berjudul empat jenis nama orang yang dipraktikkan dalam
bahasa dan budaya Manggarai. Topik tersebut dirinci dan dioperasionalisasikan ke
dalam pernyataan masalah seperti berikut ini. (1) Apa saja jenis nama orang yang
bisa dikenakan pada MM? (2) Bagaimanakah proses terciptanya nama-nama orang
tersebut? (3) Bagaimanakah imajeri budaya MM yang mendasari penggunaan
nama-nama tersebut?
Empat studi terkait sebelumnya menginspirasi penulisan topik ini. Berkaitan
bermakna sama topik, sama bahasa dan budaya yang dikaji, atau sama theori yang
digunakan. Penelitian yang disajikan di sini memiliki kaitan dengan tulisan ini
dalam hal topiknya, yaitu tentang sistem penamaan dan juga bahasa dan budaya,
yaitu Manggarai.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Dedrick (1998) tentang sistem
penamaan orang/suku DaioÞa/NaioÞa/LaioÞa yang memiliki banyak kemiripan
dengan sistem penamaan MM. Aspek-aspek yang mirip disebutkan berturut-turut
berikut ini. (1) Tidak terdapat sistem nama keluarga (family names). Nama anak
tidak akan sama dengan nama ayah dan saudara-saudarinya. (2) Tidak biasa
menyebut nama secara langsung di hadapan orangnya. (3) Nama kekerabatan
sering digunakan dalam sapa-menyapa sehari-hari. (4) Sebagian orang diberi nama
berdasarkan perilaku khusus. (5) Nama pria dan wanita tidak akan sama. Nama
membedakan jenis kelamin. (6) Sebuah nama tidak bisa digunakan oleh seseorang
kalau orang lain dalam keluarga dan sanak famili yang menggunakan nama tersebut
masih hidup. (7) Untuk menghormati orang-orang yang sudah meninggal, mereka
disapa dengan nama khusus, yaitu nama sebagai roh dalam ritual adat. Mungkin
sama dengan Ceki agu Wura, sebuah nama kolektif untuk semua orang yang telah
meninggal dalam bahasa dan budaya MM. Di samping aspek yang sama terdapat
juga beberapa aspek yang tidak sama. (1) Pemberian nama berdasarkan jenis
kelamin dan urutan kelahiran tidak ada dalam bahasa dan budaya MM. (2) Jumlah
nama samaran dalam bahasa dan budaya MM jauh lebih banyak.
Sayangnya dalam penelitian tersebut, tidak dijelaskan latar belakang budaya
mengapa nama wanita urutan pertama dan keempat dan nama anak kembar, baik
pria maupun wanita, ditulis dengan huruf awal kecil. Mungkin saja hal demikian
3

didasari oleh imajeri budaya orang DaioÞa/ NaioÞa/ LaioÞa yang menganggap
rendah anak wanita dan anak kembar. Selain itu juga tidak dijelaskan lebih jauh
mengapa penyebutan nama secara langsung di hadapan orangnya dianggap kasar.
Kedua, Erom (2014) menemukan empat-belas (14) nama samaran yang
dipraktikkan oleh MM. Nama Samaran (NS) digunakan karena Nama Manggarai
dianggap kasar dalam imajeri budaya MM. Jenis NS tersebut adalah sebagai
berikut: (1) NS berdasarkan nama anak kandung, (2) NS berdasarkan nama anak
kerabat, (3) NS berdasarkan postur tubuh, warna kulit, atau ciri fisik lain, (4) NS
berdasarkan idiolek atau bahasa khas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
(5) NS berdasarkan harta kekayaan yang dimiliki, (6) NS berdasarkan makna
leksikal nama sebenarnya, baik NKat maupun NM, (7) NS berdasarkan warna suara
dan cara bicara, (8) NS berdasarkan kebisaaan anak kecil memanggil, (9) NS
berdasarkan bunyi vokal nama sebenarnya, (10) NS berdasarkan keadaan
kesehatan, (11) NS berdasarkan anak memanggil menurut hubungan kekerabatan,
(12) NS berdasarkan nama jenis kelamin, baik wanita maupun pria, (13) NS
berdasarkan perbuatan khusus, dan (14) NS berdasarkan paci (semboyan) dalam
permainan caci dan perang.
Ketiga, Erom (2014) menulis tentang alasan mengapa NM dianggap kasar
dan NKat dianggap sopan. NM dianggap kasar sehingga tidak digunakan dalam
sapaan sehari-hari, hanya untuk identitas. Nama Katolik (NKat) dianggap sopan
sehingga digunakan dalam sapaan sehari-hari. Dalam simpulan dia juga menyebut
dua jenis nama yang lain: NKet dan NS sehingga menjadi empat jenis nama.
Namun, yang dibicarakan secara rinci hanya NM dan NKat. Juga tidak dijelaskan
proses atau peristiwa penting pemberian nama-nama tersebut.
Keempat, Erom (2010) mengidentifikasi ciri fonologis sistem penamaan
MM. (1) Nama pria dan wanita berbeda. Nama pria cenderung menggunakan
fonem vokal bundar /a/, /o/, dan /u/ sedangkan nama wanita menggunakan fonem
vokal takbundar /i/ dan /e/. Ciri fonologis, longitudinal, dan amplitudo tersebut
menunjukkan dominasi pria dalam banyak dimensi sosial terhadap wanita. (2)
Nama seorang anak tidak mengikuti nama ayahnya. Setiap anak memiliki NM yang
berbeda. Sebagai gantinya, nama sebagian bahkan semua anak pria, tetapi bukan
anak wanita, memiliki asonansi bunyi vokal dengan nama ayah, kakek, buyut,
4

leluhur, dan saudara-saudaranya. (3) Nama seorang anak bisa saja persis sama
dengan nama generasi sebelumnya, misalnya kakek, buyut, atau leluhur karena
mereka sudah meninggal. (4) Jumlah nama MM hanya satu untuk satu orang.
Setelah agama Katolik masuk Manggarai, secara normal MM memiliki dua nama:
NKat dan NM. Sekarang MM memiliki tiga atau lebih nama untuk satu orang.
Keempat penelitian tersebut berbicara tentang sistem penamaan. Bahkan
tiga yang terakhir berbicara tentang sistem penamaan pada MM. Kali ini penulis
mengaji atau menelaah aspek lain dari sistem penamaan MM sehingga makin
banyak informasi tentang kebudayaan Manggarai umumnya, dan sistem penamaan
khususnya bagi pembaca yang mungkin ingin mendapat informasi semacam itu.

2. Konsep dan Teori


Topik tulisan ini adalah jenis nama orang pada MM. Berkaitan dengan topik
tersebut, sejumlah konsep dasar yang menjadi piranti konseptual yang harus
dijelaskan adalah: (1) Sistem Penamaan, (2) Jenis NM, (3) Bahasa Manggarai
(BM), dan (4) Budaya Manggarai.
Sistem penamaan adalah sistem pemberian nama untuk entitas tertentu
menurut tradisi guyub tutur tertentu. Entitas yang biasa dan bisa diberi nama dalam
tradisi MM adalah entitas manusia, hewan piaraan, objek statis buatan manusia, dan
objek lingkungan alam (Erom, 2010: 175).
Yang dimaksudkan dengan jenis NM adalah jenis nama yang disandang
oleh seseorang MM, baik secara formal maupun tidak formal. Nama formal adalah
nama yang digunakan dalam dokumen resmi, seperti akta, ijasah, Kartu Tanda
Penduduk (KTP), dan lain-lain. Bagi umat Katolik nama tersebut diperoleh melalui
sakramen pembaptisan. Secara tradisional nama tersebut terdiri atas dua, yaitu
Nama Katholik (NKat) ‘Ngasang Serani’ dan Nama Manggarai (NM) ‘Ngasang
Tu’ung’. Sebaliknya, nama informal adalah nama-nama yang disandang oleh
seseorang selain yang tertera dalam dokumen-dokumen resmi, selain kedua nama
formal: NKat dan NM.
Bahasa Manggarai adalah bahasa yang digunakan oleh penutur di tiga
Kabupaten Manggarai dalam banyak urusan, seperti pergaulan sehari-hari,
perundingan perkawinan, upacara keagamaan, upacara adat, doa dan nyanyian
5

Gereja Katolik – agama mayoritas MM. BM dalam tulisan ini adalah BM yang
digunakan di Kabupaten Manggarai. Bahasa di kabupaten Manggarai merupakan
salah satu dari empat dialek geografis BM menurut Verheijen (1991: 1) dan
dianggap sebagai dialek standar. Ketiga dialek lain adalah dialek Manggarai Timur,
yang digunakan di kawasan timur Kabupaten Manggarai Timur, dialek S – H dan
dialek Manggarai Barat, yang digunakan di Kabupaten Manggarai Barat.
Bodley (1994: 22) mengatakan bahwa Culture is described or defined as
what people think, make, and do. Kata culture dalam kamus Indonesian – Inggris
diterjemahkan sebagai mind, intelligence ‘pikiran, inteligensi’ (Salim, 1997: 195).
Terjemahan ini sejalan dengan difinisi kata imajeri (imagery). Imagery (or cultural
imagery) is what we see in our mind’s eye (Palmer, 1996: 3). ‘Imajeri budaya
adalah apa yang kita bisa lihat dalam mata pikiran kita’. Imajeri budaya dalam
tulisan ini adalah model berpikir atau skema berpikir seseorang dalam melihat,
mempersepsi atau memahami sistem penamaan. Budaya Manggarai dalam tulisan
ini adalah budaya sistem penamaan.
Teori linguistik kebudayaan (theory of cultural linguistics) digunakan untuk
menganalisis dan mendeskripsikan imajeri budaya MM yang mendasari budaya
sistem penamaan. Teori ini meneliti manusia, filosofi kehidupannya, cara mereka
melihat dunia yang ditentukan atau dipengaruhi oleh bahasa yang digunakan.
Dalam teori ini ekspresi bahasa dalam bentuk sistem penamaan diyakini ditentukan
oleh atau berdasarkan imajeri budaya MM.
Berikut ini sejumlah pernyataan teoretis berkaitan dengan teori linguistik
kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Gary B. Palmer (1996) dicuplik.
(1) Language is the play of verbal symbols that are based in imagery. Imagery is
what we see in our mind’s eye, but it is also the taste of a mango, the feel of
walking in a tropical downpour, the musik of Mississippi Masala. Our
imaginations dwell on experiences obtained through all the sensory modes,
and then we talk (Palmer, 1996: 3).

Inilah pernyataan teoretis paling mendasar dan penting dalam teori


linguistik kebudayaan. Teori tersebut menegaskan bahwa aspek linguistik yang
dikaji dalam terang teori linguistik kebudayaan adalah permainan simbol verbal
‘play of verbal symbols’ dan imajeri budaya ‘cultural imagery’ para penuturnya.
Teori linguiustik kebudayaan berusaha memahami bagaimana penutur
6

memyampaikan tuturannya dan pendengar memahami tuturan tersebut dalam


imajeri yang sama. Permainan simbol verbal dapat disamakan dengan sistem
simbol verbal yang mencakup sistem fonologis, morfologis, sintaksis, semantik,
wacana, metafora dan metonimi, dan lain-lain. Semua sistem bahasa manusia
muncul berdasarkan imajeri para penuturnya.
Imajeri adalah apa yang kita bisa lihat dalam mata pikiran kita (Palmer,
1996: 3). Imajeri adalah kesan yang tercipta begitu seseorang melihat, mengecap,
merasakan, mendengar, dan mencium sesuatu. Segala sesuatu yang dilihat dengan
mata, dikecap dengan lidah, dirasakan dengan kulit, didengar dengan telinga, dan
dicium dengan hidung dicatat dalam otak. Semua aktivitas panca indera bermuara
pada pengayaan imajeri manusia.
Teori linguistik kebudayaan dapat diterapkan pada banyak aspek linguistik.
Pernyataan ini dapat diperkuat dengan pernyataan Palmer (1996: 4).
(2) This theme of imagery in language provides a basis for examining a
surprisingly wide range of linguistic topiks. It applies not only to narrative
and figurative language, but also to the semantiks of words and grammatical
constructions, to discourse, and even to phonology. In the past, these linguistic
domains have been subjected to a disparate and mutually in consistent
theories as though they differ in kind, when they really only represent different
points of view. They can be best understood in terms of a single theory of
culturally defined mental imagery – a cultural theory of linguistic meaning. In
this cultural linguistics, phonemes are heard as verbal image arranged in
complex categories, words acquire meanings that are relative to image –
schemas, scenes and scenarios; clauses are image-base constructions;
discourse emerges as a process governed by the reflexive imagery of itself;
and worldview subsumes it all. The approach builds on older traditions as
well as contemporary theories in anthropological linguistics but it draws most
heavily on new developments in cognitive linguistics, the most rapidly growing
branch of linguistics.

Pernyataan teoretis tersebut menegaskan cakupan penerapan teori linguistik


kebudayaan dalam mengkaji bahasa manusia. Terori linguistik kebudayan dapat
diterapkan dalam mengkaji linguistik mikro (fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik) dan linguistik makro (wacana, metafora, metonimi, dll), seperti yang
yang sudah dijelaskan di atas.
(3) The complete vocabulary of language may indeed be looked upon as a
complex inventory of all the ideas, interests, and occupations that take the
attention of the community. All human experience is, to some extent, mediated
through culture and language. Object or forces in the physical environment
became labeled in language only if they have cultural significance – that is, if
7

they take the attention of the community. Once language provides a word for
an object or activity, that object or event becomes culturally significant. The
relationship of vocabulary and cultural value is multidirectional. Speakers
give names (words) to important entities and events in their physical and
social worlds, and, once named, those entities and events became culturally
and individually noticed and experienced (Sapir, in Bonvillain, 2003: 47 – 48).

Pernyataan teoretis tersebut sangat sesuai dengan sistem penamaan.


Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kosa kata bahasa yang lengkap
sesungguhnya merupakan suatu inventarisasi semua gagasan, minat, dan pekerjaan
yang kompleks yang menarik perhatian masyarakat. Semua pengalaman manusia,
sampai taraf tertentu, dimediasi melalui bahasa dan kebudayaan. Objek atau
rangsangan dalam lingkungan fisik diberi nama dalam bahasa hanya jika objek dan
rangsangan tersebut menarik perhatian masyarakat. Begitu bahasa memberikan
kata/nama kepada suatu objek atau aktivitas, makan objek dan aktivitas itu menjadi
bermakna secara budaya. Para penutur memberi nama/kata kepada entitas dan
peristiwa penting dalam dunia fisik dan sosialnya, dan sekali dinamakan, entitas
dan peristiwa tersebut dicatat dan dialami secara budaya.
Nama adalah representasi yang benar dari sebuah entitas (Barker, 2005: 10,
523; Cavallaro, 2001: 74)). Nama merupakan wujud aktual yang representatif dari
sesuatu. Karena nama dalam sebagian besar suku bangsa mengungkapkan kodrad,
mutu atau sifat yang menonjol dari sesuatu yang dinamakan, maka seharusnya
diperlakukan lebih sebagai sebuah subjek daripada hanya sekadar sebagai objek
(Noerhadi, 1999: 189). Ford (1984: 38) menegaskan bahwa semua satuan aktual itu
sesungguhnya adalah sebuah subjek yang hidup, sehingga layak memiliki sebuah
nama (Sudarminta, 1991: 57).
(4) Linguistic sign is that which unites, not a thing and a name, but a concept and
a sound-image. The latter (the sound image) is not the material sound, a
purely physical thing, but the psychological imprint of the sound, the
impression that it makes on our senses (Saussure in Palmer, 1996: 54).

Pernyataan teoretis tersebut juga sangat cocok dengan sistem penamaan.


Saussure menegaskan bahwa tanda linguistik merupakan konsep dan imaji yang
menyatukan, bukan sekadar hal dan nama. Konsep dan imaji bunyi tersebut bukan
bunyi material, benda fisik semata, melainkan tanda psikologis dari bunyi, kesan
yang dibuatnya pada pancaindera kita. Kesan yang tercipta oleh bunyi bahasa itulah
8

yang disebut imajeri. Tanda dapat disejajarkan dengan nama yang memiliki konsep
dan imaji bunyi.

3. Metodologi
Di dalam studi ini akan digali permainan simbol verbal sistem penamaan
MM dan imajeri budaya mereka yang mendasari sistem penamaan tersebut dengan
berbagai jenisnya. Di dalam studi ini juga akan dicari informasi dari sample yang
kaya (Perry, 2005: 75). Karena itu, studi ini juga termasuk jenis kualitatif. Studi ini
memiliki data kualitatif. Kerana itu, dalam melakukan analisis data digunakan
metode deskriptif kualitatif. Metode tersebut bermaksud menjelaskan dan
mendeskrisikan secara kualitatif sistem penamaan pada MM dengan segala jenisnya.
Berdasarkan deskripsi tersebut diperoleh informasi tentang jenis nama yang biasa
dikenakan pada MM, proses pemberiannya, dan imajeri budaya MM yang melatari
penggunaan jenis nama tersebut.

4. Sistem Penamaan Orang dalam Bahasa dan Budaya Manggarai


Secara referensial nama terbagi atas dua, yaitu nama umum (NU) dan nama
diri (ND). NU adalah nama yang dapat diterapkan pada semua anggota kelompok
suatu entitas (Kirkpatrick, 1983: 254). Nama anjing atau kuda merupakan suatu
contoh NU. Nama tersebut dapat diterapkan pada semua anjing atau kuda. ND
diberikan pada orang, tempat, atau benda tertentu (Kirkpatrick, 1983: 840;
McGinley, 1997: 396). ND adalah nama khusus/pribadi. John atau Mary adalah ND
masing-masing untuk pria dan wanita tertentu. Mbako atau Plari adalah ND untuk
anjing tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa MM memiliki empat jenis ND yang
digunakan sebagai identitas dan sapaan atau panggilan. ND tersebut mencakup
nama Manggarai (NM), nama Katolik (NKat), nama kekerabatan (NKet), dan nama
samaran (NS). Dua ND yang pertama merupakan nama resmi, sedangkan dua ND
yang terakhir hanya sebagai nama sapaan. ND dalam bahasa dan budaya MM
dimarkahi secara sintaktis (Erom, 2010: 55 – 68). Keempat jenis nama tersebut
dijelaskan secara rinci berikut ini.
4.1. Nama Manggarai (NMa)
9

Secara kronologis NM merupakan nama yang pertama yang disandang oleh


MM. Secara tradisional, MM tidak memiliki nama keluarga atau nama klen (family
name), yang disebut wa’u dalam bahasa dan budaya MM. ND seorang MM tidak
akan sama dengan ND ayahnya, kakeknya, pamannya, kakaknya, adiknya, dan
sepupunya. Setiap orang memiliki ND yang berbeda-beda, sebagaimana dapat
dilihat dalam rumpun keluarga keturunan Ndorong, di Kampung Tungku,
Manggarai. Ndorong menurunkan Nakar. Nakar menurunkan Tungku. Tungku
menurunkan Cungga, Kula, dan Neni. Cungga menurunkan Nampar, Yosef Odok
dan Kasianus Odos. Kula menurunkan Urbanus Buhar. Neni menurunkan Paulus
Nodu. Nampar menurunkan Yohanes Parat, Tomas Tandak, Arnold Onggos,
Yohanes Jarat, dan Blasius Don. Urbanus Buhar menurunkan Felix Dedon,
Siprianus Sembo, Yulius Sulam, Stefanus Ndorong, dan Kletus Dukat. Paulus Nodu
menurunkan Tadeus Makas. Dan Felix Dedon menurunkan Albert Polikarpus
Dedon, Hendrikus Dedon, dan Theresia Tia.
Secara tradisi NM diberikan melalui suatu upacara tradisional yang disebut
Céar/Wéngkas Cumpé (Bongkar Cumpe) atau Ratung Wuwung (Puntung Ubun-
ubun). Upacara tersebut dilangsungkan lima hari setelah kelahiran anak. Upacara
tersebut masih berlangsung sampai sekarang, hidup berdampingan dengan upacara
pemberian nama menurut cara Katolik, yang disebut pembabtisan. Keduanya
dilaksanakan oleh MM sebagai suatu keutuhan ritual dan bukan pilihan. Namun,
seringkali saat upacara Cear Cumpe/Ratung Wuwung dilangsungkan, pemberian
ND menyusul beberapa waktu, beberapa bulan bahkan beberapa tahun kemudian.
Pada saat upacara berlangsung, bayi hanya disebut dengan istilah ndu (koe) ‘wanita
kecil’ untuk bayi wanita dan nana (koe) ‘pria kecil’ untuk bayi pria. Hal ini
berkaitan dengan mitos NM, yang dibicarakan pada kesempatan dan media lain.
Dengan demikian, upacara Cear Cumpe/Ratung Wuwung cenderung berfungsi
sebagai upacara syukuran atas kelahiran bayi daripada upacara pemberian nama.
Istilah Cear Cumpe dan Ratung Wuwung memiliki makna leksikal masing-
masing. Cear Cumpe bermakna leksikal sebagai “Membongkar Cumpe”. Cumpe,
yang terletak dekat tungku api tersebut, dibongkar setelah lima hari sejak kelahiran,
ibu dan bayinya tidur dan bangun di tempat tersebut. Kemudian mereka pindah dan
tidur sedikit menjauh dari tungku api, tetapi masih di luar kamar tidur, yang biasa
10

disebut lutur dalam BM. Di lutur tersebut, ibu dan bayi tidur ditemani suami atau
anggota keluarga lain untuk jangka waktu beberapa bulan. Setelah itu, mereka
pindah tidur di kamar tidur. Mungkin praktik ini merupakan teknik tradisional
menjarakkan kelahiran dalam keluarga berencana (KB).
Ratung Wuwung memiliki makna leksikal sebagai Puntung Ubun-ubun.
Ratung ‘puntung’ adalah sisa kayu bakar di tungku api, yang sebagian besar sudah
terbakar. Wuwung berarti ubun-ubun. Saat upacara Ratung Wuwung, lima buah
kemiri dengan kulit keras dibakar di bara api sampai kulit keras menjadi abu dan
tersisa isinya, yang sudah menjadi hitam dan berminyak. Kemiri seperti ini disebut
masu dalam BM. Muncul ungkapan paralelisme BM Neka masu sa’i ‘Jangan masu
pada dahi/kepala’ // Neka helo huwek ‘Jangan mengoleskan daun-daun pada
pelipis’. Ungkapan ini bermakna literal tidak boleh ada masu di dahi/kepala dan
tidak boleh ada obat ramuan dari daun-daun di pelipis. Ungkapan tersebut
bermakna metaforis yang bermaksud memohon kesehatan yang baik bagi si bayi.
Masu di dahi/kepala dan obat ramuan daun-daun di pelipis merupakan tindakan
penyembuhan dari sakit fisik tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa masu dan
ramuan daun-daun tersebut merupakan obat tradisional yang menyembuhkan dan
menyehatkan.
Kelima kemiri yang sudah menjadi masu tersebut dicampur dengan sedikit
darah ayam persembahan yang disembelih. Kemiri (masu) tersebut digosok-gosok
pada sebatang kayu atau pelepah pinang yang sudah kering untuk dihancurkan
menjadi cairan kental lalu dioleskan atau ditempelkan di ubun-ubun bayi yang tipis
itu supaya menjadi tebal. Hal ini ada kaitan dengan Cear Cumpe (Membongkar
Cumpe) saat bayi sudah berkenalan dengan udara bebas. Penebalan ubun-ubun
dengan masu bermaksud agar tidak mudah kemasukan angin melalui ubun-ubun
yang tipis itu. Dengan demikian, bayi sehat dan berumur panjang.
Diyakini oleh MM bahwa pada saat seseorang meninggal, napas terakhirnya
menghembus keluar dari dalam tubuh melalui ubun-ubun yang tipis tersebut.
Penempelan masu di ubun-ubun tentu bermaksud untuk mempertebal ubun-ubun
agar tidak mudah keluarnya napas kehidupan melalui ubun-ubun. Hal ini
dimaksudkan agar bayi tersebut sehat dan berumur panjang. Jika bayinya berumur
panjang, maka ND yang diberikan kepadanya pada saat upacara Céar Cumpé dan
11

Ratung Wuwung atau beberapa saat kemudian tidak sia-sia. Terdapat indikasi
bahwa pemberian ND harus dipertanggungjawabkan dengan cara memelihara
dengan baik nafas kehidupan orang yang menyandang ND tersebut. ND tidak akan
berarti lagi jika orangnya sudah meninggal. Dengan demikian, ND tidak hanya
menjadi identitas seseorang melainkan juga sebagai tanda yang menghidupkan.
Tampaknya ND begitu penting dalam imajeri budaya MM. Pentingnya ND tersebut
tidak cuma dideskripsikan atau ditunjukkan dengan perilaku budaya lain melainkan
juga secara linguistik, diberi pemarkah yang khusus (Erom, 2010: 55 – 68).

4.2. Nama Agama: Nama Katolik (NKat)


Secara kronologis NKat merupakan nama kedua yang disandang oleh MM.
Nama-nama pada tujuh generasi keturunan Ndorong yang sudah dikemukakan di
atas berbeda jumlahnya. Empat generasi pertama (Ndorong → Nakar → Tungku →
Kula) masing-masing hanya memiliki satu nama, nama yang menunjukkan
identitas mereka sebagai MM. Satu nama menunjukkan satu identitas sebagai MM.
Tiga generasi berikutnya (Urbanus Buhar, Felix Dedon, dan Albert Polikarpus
Dedon), masing-masing memiliki dua nama, nama yang menunjukkan identitas
mereka sebagai orang Katolik dan sekaligus MM. Dua nama menyandang dua
identitas, sebagai warga beragama, setidaknya secara tersurat, agama Katolik, dan
warga MM. Nama Urbanus, Felix, dan Albert Polikarpus merupakan NKat. Nama
Buhar dan Dedon (dan juga Sembo, Sulam, Ndorong, Dukat) merupakan NM.
Empat generasi pertama belum masuk Katolik. Mereka hidup sebelum agama
Katolik masuk Mangarai pada tahun 1913, yang ditandai dengan dibabtisnya orang
Manggarai pertama di Reo. Tiga generasi berikutnya sudah masuk Katolik.
NKat dan juga NM diberikan atau dikukuhkan dalam suatu upacara
keagamaan Katolik, yang disebut pembabtisan atau permandian. Pembabtisan
adalah upacara keagamaan Kristen (Katolik) yang dilakukan dengan meneteskan
air berkat oleh imam atau pastor di dahi orang/bayi yang dibabtis. Penetesan air
berkat di dahi/kepala anak/orang yang dibabtis merupakan lambang pembersihan
diri dari dosa, baik dosa asal yang diturunkan dari manusia pertama, Adam dan
Hawa, maupun dosa pribadi. Karena itulah upacara itu disebut juga permandian.
Upacara pembabtisan tersebut merupakan awal mula seseorang menjadi anggota
12

Gereja Katolik dan kepadanya diberikan sebuah NKat. Tidak ada ketentuan yang
sangat ketat dari Gereja Katolik tentang berapa hari setelah kelahiran pembabtisan
dilangsungkan, hanya dihimbau sesegera mungkin setelah kelahiran. Pada
umumnya anak dibabtis satu bulan setelah kelahiran. Hal ini terkait dengan
kebiasaan anak/bayi bisa dibawa ke luar rumah setelah berumur satu bulan. NKat
terasa sopan oleh MM karena itu mereka lebih suka disapa dan menyapa dengan
nama tersebut.
Dalam persandingan bersama dengan NM, NKat ditempatkan di urutan
pertama, sedangkan NM di urutan kedua. Nama Martinus Tasak, misalnya,
Martinus merupakan NKat dan Tasak merupakan NM. Jika terjadi sebaliknya, NM
ditempatkan di urutan pertama dan NKat di urutan kedua, seperti misalnya, Jeladu
Kosmas, maka Kosmas adalah NKat dan Jeladu adalah NM, itu hanya terjadi dalam
ijazah dan bukan dalam surat babtis.

4.3. Nama Kekerabatan (NKet)


Secara kronologis NKet merupakan nama ketiga yang disandang oleh MM.
Selain berfungsi untuk mengidentifikasi seseorang, nama juga berfungsi untuk
menyapa atau memanggil. Menyebut nama secara langsung kepada orangnya, apa
lagi NM dianggap kasar atau tidak sopan dalam imajeri budaya MM. Menyebutkan
nama sendiri kepada lawan bicara saja dianggap tidak sopan, apa lagi nama orang
lain, terutama lawan bicara. Menyebutkan nama dalam perkenalan atau perjumpaan
awal tidak merupakan parktik budaya MM apa lagi menanyakan nama lawan
bicara. Kalau terjadi demikian itu hanya merupakan inovasi praktik budaya
perkenalan yang ditiru dari bahasa dan budaya Indonesia atau asing, seperti Inggris.
Untuk menghindari penyebutan/penyapaan nama seseorang secara
langsung, yang dianggap kasar, MM mencarikan istilah kekerabatan. Istilah-istilah
kekerabatan dalam bahasa dan budaya MM adalah ema ‘ayah/bapa’, endé
‘ibu/mama’, anak ‘anak’, ema lopo ‘kakek/opa’, endé lopo ‘nenek/oma’, empo
‘cucu’, asé ‘adik’, ka’é ‘kakak’, inang ‘tanta’, amang ‘om’, ema koé ‘bapa kecil’,
ema tu’a ‘bapa tua/besar’, to’a ‘keponakan/kemanakan’, koa ‘menantu laki-laki’,
wote ‘menantu wanita’, tu’a ‘bapa atau mama mertua’, késa ‘ipar laki-laki’, ipar
‘ipar wanita’, nara/nana ‘saudara’, enu/ndu ‘saudari’, katun/nawun ‘saudara/i’,
13

inang to’an ‘tanta dari keponakan’, amang to’an ‘om dari keponakan’, haé ‘teman
wanita’, dan tu’a/bisa ‘yang dituakan’. Nama-nama tersebut dianggap sopan karena
dapat menampakkan keakraban hubungan kekerabatan.
Sama seperti orang Daioþa/Naioþa/Laioþa, nama istilah kekerabatan
tersebut bahkan digunakan untuk menyapa orang yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan dengan penyapa. Penggunaan istilah kekerabatan tersebut
menunjukkan rasa hormat kepada orang yang disapa. Ada sejumlah NKet yang
sangat sering digunakan untuk menyapa atau memanggil orang yang tidak memiliki
hubungan kekerabatan dengan penyapa. NKet ema ‘bapa’ dan endé ‘mama’
diucapkan oleh orang muda atau anak-anak masing-masing kepada semua pria dan
wanita yang lebih tua. NKet kesa ‘ipar laki-aki’ diucapkan kepada semua pria
dewasa oleh pria sebaya, dan NKet ipar ‘ipar wanita’ dialamatkan kepada semua
wanita dewasa terutama oleh sesama wanita. NKet nana ‘saudara’ diucapkan
kepada semua pria dewasa oleh wanita sebaya atau kepada semua anak-anak pria
oleh orang tua atau orang dewasa. NKet enu/ndu ‘saudari’ dialamatkan kepada
semua wanita dewasa oleh pria sebaya atau kepada semua anak wanita oleh orang
tua atau orang dewasa.
Selain kata-kata kekerabatan, kata Kraéng ‘Tuan/Bapak/Pa’ dan Mori
‘Tuan/Bapak/Pa’ juga digunakan dalam sapaan sehari-hari. Kata Kraeng, yang
merupakan kata serapan dari Bahasa Bugis, sangat sering digunakan untuk
menyapa pria yang belum dikenal, yang sebaya atau sedikit lebih tua. Misalnya,
Ngo nia-t bo yo Kraéng? ‘Pergi kemana Tuan?’ Ngo lé Ruteng-k o Kraéng. ‘Saya
pergi ke Ruteng, Tuan’. Bahkan nama Kraéng digunakan bersanding dengan nama
sapaan lain. Maka terbentuk istilah Mori Kraeng ‘Tuhan Allah’, Kraéng Tu’a ‘Tua
Adat’, Kraéng Dalu, Kraéng Raja, Kraéng Dalu Thomas (Dalu Cibal), Kraéng
Raja Wunut, Kraéng Raja Baruk, Kraéng Raja Ngambut, Kraéng Tongka ‘Juru
Bicara Negosiasi Perkawinan’, Kraeng Cibal, Kraeng Todo ‘orang Cibal, orang
Todo’.
Selain kata Kraéng, kata Mori ‘Tuan’ juga digunakan untuk menyapa pria
yang belum dikenal dan tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan penyapa.
Misalnya, Ngo nia-t bo yo Mori? ‘Pergi ke mana Tuan?’ Ngo lé Ruténg-k o Mori.
14

‘Saya pergi ke Ruteng, Tuan’. Penggunaan Kraéng atau Mori di sini menunjukkan
bahwa para pelibat tutur sederajat atau sedikit lebih dari penyapa/pembicara.
Secara leksikal kata Mori berarti Tuhan. Namun dalam hal ini, orang yang
disapa Mori tersebut tidak dianggap Tuhan atau sama dengan Tuhan melainkan
hanya untuk menghormati orang yang disapa secara verbal, secara linguistik. Kata
tersebut biasa digunakan oleh MM yang mendiami daerah Manggarai bagian
tengah, selatan, dan barat. Hal ini menunjukkan bahwa MM sangat menghormati
orang lain terutama orang baru dengan menempatkannya sejajar dengan Tuhan.
Berkaitan dengan penggunaan kata Mori sering terdengar dalam sejarah
istilah seperti: Mori Dima ‘Tuan asal Bima’, Mori Goa ‘Tuan asal Goa’ asal
Sulawesi Selatan, Mori Todo ‘Tuan asal Kedaluan Todo’ (sekarang Kecamatan
Satar Mese Barat’, Mori Cibal ‘Tuan asal Kedaluan Cibal’, Mori Reok ‘Tuan asal
Kedaluan Reok’. Istilah Kraeng dan Mori tersebut hanya dikenakan pada kaum pria
dan tidak pada kaum wanita. Hal ini menunjukkan bahwa kaum pria lebih
dihormati secara verbal, secara sistem penamaan. Ini juga menunjukkan dominasi
pria terhadap wanita dalam banyak dimensi sosial.
Kata-kata kekerabatan tersebut begitu banyak jenisnya dan begitu tinggi
frekuensi penggunaannya dalam pergaulan hidup sehari-hari. Hal ini pasti terkait
dengan dianggap kasarnya penyebutan nama secara langsung, baik NKat maupun
NM. Walaupun secara umum NKat dianggap sopan tetapi dalam praktik pergaulan
sehari-hari nama tersebut sering disandingkan dengan nama-nama kekerabatan.
Tidak demikian halnya dengan NM. Beberapa contoh, Bapak David Dehong disapa
Ema David ‘Bapak David’, bukan Ema Dehong ‘Bapa Dehong’. Ibu Katharina
Siung disapa Ende Kata ‘Mama Kata’, bukan Ende Siung ‘Mama Siung’. Penyan
ding NKat dan NKet tersebut tentu bermaksud lebih menghaluskan. Maka, sejalan
dengan yang sudah ditegaskan oleh Erom (2014: 1 – 11), tidak diragukan lagi NM
dianggap kasar dalam imajeri budaya MM.

4.4. Nama Samaran (NS)/Nama Pedengan (Pseudonym)


Secara kronologis NS merupakan nama keempat yang disandang oleh MM.
NS adalah nama tidak sebenarnya, nama tidak betul, atau nama palsu. Disebut
15

palsu karena tidak tertulis dalam catatan resmi seperti dalam akata, Kartu Tanda
Penduduk (KTP), ijasah/sertifikat, terutama dalam buku induk pembabtisan. Nama
tersebut dimiliki di samping nama sebenarnya, yaitu NKat dan NM. NS digunakan
hanya untuk menyapa atau menyapa orang. Seringkali penyapaan/penyebutan nama
tersebut tidak di hadapan orang yang bersangkutan. NS menyamarkan bahkan
menyembunyikan nama sebenarnya, NKat dan NM sebab kedua nama tersebut
seringkali dianggap kasar jika menyapa langsung orangnya.
Berdasarkan pemberinya, ada dua jenis NS. Pertama adalah NS yang dicari
dan diberikan oleh diri sendiri. NS tersebut disebut paci yang biasa digunakan
dalam permainan caci. Kedua, adalah NS yang diberikan oleh orang lain. NS
tersebut awalnya digunakan untuk menyebut orang dan seringkali tidak secara
langsung di hadapan orang bersangkutan. Lama-kelamaan NS tersebut dikenal oleh
banyak orang termasuk orang yang diberi NS. Jika sudah dikenal luas, NS tersebut
bisa digunakan secara langsung untuk menyapa/memanggil orang bersangkutan.
Orang bersangkutan tidak menolak NS tersebut sebab sudah banyak orang
menggunakannya untuk menyapa atau memanggilnya secara konvensi. Bahkan
orang tersebut lebih suka disapa dengan NS daripada dengan nama sebenarnya. NS
dianggap lebih sopan daripada nama sebenarnya. NS datang menyamarkan,
menyembunyikan, bahkan menggantikan nama sebenarnya dalam sapaan.
Terdapat empat-belas nama samaran yang biasa digunakan oleh MM (Erom,
2014: - 39 - 50). Keempat nama samaran tersebut adalah sebagai berikut. (1) NS
berdasarkan nama anak kandung, dan biasanya nama anak kandung pertama atau
sulung untuk bersopan santun. (2) NS berdasarkan nama anak kerabat dan
digunakan sejak sebelum menikah untuk bersopan santun, prestise, dan mempererat
kekerabatan. (3) NS berdasarkan postur tubuh, warna kulit, atau ciri istemewa lain
untuk bersopan santun, menghormati. (4) NS berdasarkan idiolek atau bahasa yang
sering digunakan untuk bersopan santun dan kekaguman. (5) NS berdasarkan harta
kekayaan untuk bersopan santun dan kekaguman. (6) NS berdasarkan makna
leksikal nama sebenarnya, baik NKat maupun NM untuk bersopan santun. (7) NS
berdasarkan warna suara dan cara bicara untuk bersopan santun dan kekaguman
terhadap suara yang nyaring. (8) NS berdasarkan kebiasaan anak kecil memanggil
untuk bersopan santun. (9) NS berdasarkan bunyi vokal nama sebenarnya, baik
16

NKat maupun NM untuk bersopan santun. (10) NS berdasarkan keadaan kesehatan


untuk menyelamatkan. (11) NS berdasarkan anak memanggil menurut hubungan
kekerabatan untuk bersopan santun. (12) NS berdasarkan nama jenis kelamin, baik
wanita maupun pria untuk menyatakan kasih sayang. (13) NS berdasarkan
perbuatan khusus untuk bersopan santun dan kekaguman. (14) NS berdasarkan
paci (semboyan) dalam permainan caci dan perang untuk bersopan santun,
kekaguman, kekuatan.

5. Simpulan dan Saran


Hasil analisis data memberikan sejumlah informasi tentang empat jenis
nama MM, proses pemberiannya, dan imajeri budaya MM yang melatari pemberian
keempat nama tersebut.
1. NM biasanya diberikan kepada seorang anak/bayi pada upacara
Ratung Wuwung dan Cear Cumpe. Namun sering NM diberikan bersamaan
dengan NKat pada saat pembabtisan. NM dianggap kasar dengan berbagai
alasannya dalam imajeri budaya MM. Dengan demikian, NM tersebut tidak
digunakan dalam sapaan sehari-hari, hanya untuk identitas.
2. NKat, bersamaan dengan NM, diberikan kepada seorang anak/bayi
pada upacara Pembabtisan. NKat dianggap sopan dengan berbagai alasannya
dalam imajeri budaya MM sehingga digunakan dalam sapaan sehari-hari.
3. NKet biasanya diberikan oleh seseorang atau masyarakat kepada
seseorang MM yang sudah berumur kurang lebih 50-an tahun. Tidak ada
upacara khusus dan penting pemberian NKet. NKet juga dianggap sopan,
bahkan lebih sopan dari penyebutan NKat dalam imajeri budaya MM dengan
alasan tersendiri sehingga lebih sering digunakan dalam sapa menyapa sehari-
hari.
4. Sebagaimana NKet, NS biasanya diberikan oleh seseorang atau
masyarakat kepada seseorang MM yang sudah berumur kurang lebih 50-an
tahun. Tidak ada juga upacara khusus dan penting pemberian NS. NS juga
dianggap sopan, bahkan lebih sopan dari penyebutan NKat dalam imajeri
budaya MM sehingga lebih sering digunakan dalam sapa menyapa sehari-hari.
17

5. Secara tradisi jumlah nama MM hanya satu untuk satu orang.


Setelah agama Katolik masuk Manggarai, secara normal MM memiliki dua
nama: NKat dan NM. Kemudian sejak tahun 1980 nama MM menjadi 3 – 5
untuk satu orang.
Imajeri budaya MM yang mendasari sistem penamaan umumnya dan
anggapan kasar atau sopannya beberapa jenis nama khususnya, hendaknya
dimodifikasi menjadi kearifan lokal yang dapat direvitalisasi dan dilestarikan untuk
membina kehidupan yang bersopan santun, hormat, harmonis, dan toleran dalam
kehidupan bersama di masyarakat.

6. Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teory and Practice. Yogyakarta: Bentang.

Bodley, J. H. Cultural Anthropology: Tribes, States, and the Global Sistem. Palo
Alto, CA: Mayfield.

Bonvillain, Nancy. 2003. Language, Culture, and Communication – The Meaning


of Messages, Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall.

Cavallaro, Dani. 2001. Teori Kritis dan Teori Budaya, (Terjemahan) Laily
Rahmawati. Yogyakarta: Niagara.

Dedrick, Don. 1998. Naming the Rainbow: Colour Language, Colour Science, and
Culture. Dordrecht: Kluwer.

Eggins, Suzanne. 2004. An Introduction to Sistemic Functional Linguistiks, 2nd


Edition. New York: Continuum.

Erom, Kletus. 2010. “Sistem Pemarkahan Nomina Bahasa Manggarai dan


Interelasinya dengan Sistem Penamaan Entitas: Sebuah Kajian Linguistik
Kebudayaan” (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.

Erom, Kletus. 2010. “Cultural Imagery in Nominal Marking System (Artikel)” in


REFERENCE, Journal Language and Language Teaching Vol. 01, No. 02.
March 2010. Kupang: Widya Mandira Catholic University.

Erom, Kletus. 2014. “Penggunaan Nama Samaran (NS) pada Masyarakat


Manggarai (MM): Perspektif Teori Linguistik Kebudayaan (Artikel)” dalam
BIANGLALA LINGUISTIKA, Jurnal Linguistik Vol. 01, No. 02. Januari
2014. Kupang: Progdi Linguistik PPS Undana.
18

Erom, Kletus. 2014. “Imajeri Budaya Masyarakat Manggarai - Alasan Nama


Manggarai Dianggap Kasar dan Nama Katolik Dianggap Sopan (Artikel)”
dalam OPTIMISME, Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya” Edisi 08, Mei
2014. Kupang: Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP Undana.

Feld, Steven. 1990. Sound and Sentiment: Birds, Weeping, Poetics, and Songs in
Kaluli Expression. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Ford, S. Lewis. 1984. The Emergence of Whitehead’s Metaphysics. Alabny: State


University of New York Press.

Kővecses, Zoltan. 2006. Language, Mind, and Culture. Oxford: Oxford University
Press.

Lakoff, George. 1987. Women, Fire and Dangerous Things: What Categories
Reveal about the Mind. Chicago: University of Chicago Press.

McIntosh, Colin. 2013. Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, Fourth


Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Noerhadi, Toety Herati. 1999. “Dramatik dalam Linguistik”, dalam Henri


Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambari, (ed.), Panggung Sejarah:
Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Palmer, Gary B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistiks, 1st Edition. Texas:
The University of Texas Press.

Perry, Fred L. Jr. 2005. Research in Applied Linguistics: Becoming a Discerning


Consumer. USA: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Salim, Peter. 2006. The Contemporary English – Indonesian Dictionary, with


British and American Spelling, Edisi Pertama. Jakarta: Media Eka Pustaka.

Sudarminta, J. 1991. Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred


North Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.

Verheijen, J.A.J. 1991. Manggarai dan Wujud Tertinggi, Jilid 1. Jakarta: LIPI RUL.

Anda mungkin juga menyukai