Anda di halaman 1dari 13

Hal ini bisa diihat dari banyaknya pemberiataan yang berbau criminal, seperti

pergaulan bebas, pornografi, pengangguran, budaya kelas atas karena foto yang
ditampilkan selalu yang mewah atau wah, individual, budaya senang-senang atau esek-
esek, sehingga banyak menghilangkan dan menghancurkan kharakter budaya bangsa
yang selama ini dianggap sebagai nilai-nilai luhur yang universal. Nilai-nilai dan
kharakter budaya bangsa yang akan hilang itu, seperti cinta kepada Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggung jawab; kejujuran/ amanah dan diplomatis;
hormat dan santun; dermawan, suka menolong, dan gontong royong/kerja sama;
percaya diri dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati, serta
toleran dan cinta damai.
PERBANDINGAN TIGA ISOLEK DI TEMPAT YANG MEMILIKI
KESAMAAN NAMA DI MINANGKABAU1
Nadra2

Abstract
This research is aimed to describe the isolects used in the locations with the
same name in Minangkabau to trace the speakers migration. In this occasion, the
research is focused on three isolects used in three locations, namely Rao-rao. The
analysis is focused on two aspects, that are the clans name and the addressing
system. To analyze the data is used identity method. Based on the analysis, it can be
concluded that the same name of locations does not determine the similarity of clans
name and the same name of locations does not determine the similarity of addressing
system. It means that the same name of locations does not relate with the two aspects
and can not be used to trace the speakers migration.

Keywords: isolect - location clans name - addressing system migration

1. Pendahuluan
Penelitian isolek-isolek yang dituturkan di tempat yang memiliki kesamaan
nama di Minangkabau, guna menelusuri arah migrasi penuturnya, sejauh
pengetahuan penulis, belum pernah dilakukan. Isolek-isolek tersebut dapat dikaji dari
berbagai aspek. Pada kesempatan ini kajian difokuskan pada dua aspek, yakni nama
suku dan kata sapaan, khususnya kata sapaan dalam hubungan kekerabatan.
Omar (1985: 4) menyatakan bahwa suatu bahasa mempunyai wilayah pakai
yang sama dengan wilayah yang dihuni oleh para penuturnya3. Wilayah pakai bahasa

1 Makalah yang disajikan pada Seminar Internasional Linguistik Lintas Bidang yang diselenggarakan oleh Program S-2 Linguistik
PPs. Universitas Andalas dan MLI Cabang Unand pada tanggal 18 Maret 2010, Padang, Indonesia.
2
Dosen Universitas Andalas
3 Asmah Haji Omar, Susur Galur Bahasa Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985, hlm. 4.
tersebut bisa meluas dan bisa pula menyempit mengikuti penyebaran penuturnya. Jika
penuturnya menyebar ke daerah yang luas, maka luaslah wilayah penyebaran
bahasanya. Sebaliknya, jika penuturnya lebih suka dibatasi oleh garis wilayah yang
kecil, maka kecillah wilayah bahasanya. Penyebaran bahasa yang mengikuti
penyebaran penuturnya itu dinamakan penyebaran secara migrasi atau secara
perpindahan.
Pernyataan di atas membuktikan bahwa migrasi masyarakat sekaligus juga
mengakibatkan migrasi bahasa dan budaya. Oleh sebab itu, menarik untuk diteliti
apakah kesamaan nama tempat juga akan menunjukkan kesamaan asal
penduduknya1. Dengan kata lain, adanya kesamaan nama tempat apakah ada
hubungannya dengan migrasi penduduknya. Selanjutnya, kesamaan nama tempat
apakah juga akan menunjukkan kesamaan dalam hal nama suku dan kata sapaan.
Penelitian tentang nasab ibu dan merantau pernah dilakukan oleh Kato (1982),
tetapi penelitian tersebut dilakukan dari sudut pandang antropologi dan sosiologi.
Penelitian yang berhubungan dengan kata sapaan juga pernah dilakukan di beberapa
tempat di Minangkabau, seperti Syafyahya dkk. (2000), Sari (2000), dan Kasih (2000).
Akan tetapi, semua penelitian itu, tanpa melihat hubungan kata sapaan itu dengan
kesamaan nama tempat seperti yang dilakukan ini.
Selanjutnya, studi yang mendalam tentang merantau dilakukan oleh Naim.2
Penelitian Naim merupakan penelitian dari sudut pandang sosiologi, yang mencoba
menjawab empat masalah pokok, yaitu: (1) siapa yang merantau, (2) mengapa mereka
merantau, (3) ke mana mereka merantau, dan (4) apa akibat merantau tersebut. Istilah
merantau digunakan Naim khusus untuk seseorang yang bepergian ke luar daerah
budayanya.
Penelusuran daerah asal dan arah migrasi, bukan hanya dilakukan
berdasarkan kajian sejarah, sosiologi, dan antropologi, melainkan juga dapat
dilakukan berdasarkan kajian bahasa, seperti penelitian Nothofer (1995) (lihat Nadra
dan Reniwati, 2009:7). Penelitian tentang penelusuran daerah asal dan arah migrasi
berdasarkan kajian bahasa ini juga telah dilakukan oleh Nadra (2001, 2004, dan 2009),
dan Nadra dkk. (2006 dan 2008). Tulisan ini merupakan kelanjutan dari penelitian-
penelitian yang telah penulis lakukan tersebut, tetapi dengan menggunakan metode
dan aspek yang berbeda. Tulisan ini merupakan bagian yang dikembangkan dari
penelitian yang berjudul Kajian Arah Migrasi Berdasarkan Kesamaan Nama Tempat
di Minangkabau3.

1
Ibid., hlm.80
2
Mochtar Naim, Merantau:Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984 hlm.102.
3
Nadra dan Wahyuni, Kajian Arah Migrasi Berdasarkan Kesamaan Nama Tempat di Minangkabau, Laporan Penelitian
Dalam tulisan ini, istilah merantau yang dianut Naim, sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, tidak diikuti sepenuhnya. Pengertian merantau yang
digunakan adalah pergi ke tempat lain atau pindah dari tempat asal ke tempat lain,
baik dalam etnis yang sama maupun dalam etnis yang berbeda (bandingkan dengan
Omar1. Jadi, merantau dalam pengertian ini bisa terjadi dalam luhak yang sama, bisa
dari satu luhak ke luhak lain, bisa dari luhak ke daerah perluasannya, ataupun pergi
ke luar daerah budayanya.
Dalam tulisan ini, migrasi atau merantau dikaji berdasarkan variasi nama suku
dan kata sapaan yang digunakan di tempat yang memiliki kesamaan nama2. Untuk
tujuan tersebut digunakan metode padan.
Setelah diamati, ternyata beberapa nama tempat yang ada di Alam
Minangkabau memiliki kesamaan, baik yang terdapat di daerah luhak yang sama,
maupun antara luhak yang satu dan luhak yang lain, ataupun antara luhak dan daerah
rantau3
Pada kesempatan ini penelitian difokuskan pada tiga isolek yang digunakan di
tiga tempat yang memiliki kesamaan nama, yakni Rao-rao yang terdapat di daerah
luhak dan daerah rantau. Untuk daerah luhak, nama Rao-rao ditemukan di daerah
Luhak Tanah Datar. Sesuai dengan pernyataan Kato (1982) dan Naim (1984), Luhak
Tanah Datar memiliki rantau, yakni Rantau Solok. Di daerah Solok ini, tepatnya di
Kabupaten Solok Selatan, juga ditemukan nama tempat Rao-rao. Selain itu, di daerah
rantau Agam tepatnya di Kabupaten Pasaman Barat juga terdapat nama tempat Rao-
rao.

2. Pembahasan
Sebelum pembahasan mengenai nama suku dan kata sapaan dikemukakan,
terlebih dahulu dijelaskan asal nama tempat Rao-rao tersebut. Nama tempat Rao-rao
di Kab. Tanah Datar digunakan untuk menunjuk pada nama nagari atau kenagarian.
Secara administratif, Kenagarian Rao-rao ini terletak di Kecamatan Sungai Tarab.
Terdapat beberapa versi asal kata dan nama tempat Rao-rao ini. Sebagian masyarakat
mengemukakan bahwa kata rao-rao berasal dari kata arah yang artinya adalah
menunjukkan suatu pedoman ke suatu tempat. Dalam isolek Rao-rao diucapkan
arahnyo, kemudian diucapkan arah-arah-o dan selanjutnya diucapkan menjadi rao-
rao.
Buatlah catatan kaki dari kutipan berikut!

Fundaental yang Dibiayai oleh DP2M Dikti, 2008, hlm.89


1
Asma Haji Omar, Op. Cit, hlm. 200
2
Nadra dan Wahyuni, Loc.Cit., hlm. 120
3
Nandra dan Wahyuni, Loc. Cit., hlm. 90.
Ada versi yang menyatakan bahwa kata rao-rao berasal dari nama sejenis
kayu. Ada pula versi yang menyatakan bahwa kata rao berasal dari kata raok yang
artinya hinggap atau bertumpu. Raok-raok berarti hinggap untuk sementara 1
Nama tempat Rao-rao di Kabupaten Solok Selatan menunjuk pada nama
jorong. Jorong merupakan bagian dari nagari. Rao-rao ini terletak di Kenagarian Koto
Baru, Kecamatan Sungai Pagu. Daerah Rao-rao ini lebih dikenal dengan nama
Bariang Rao-rao. Nama Rao-rao, menurut masyarakatnya, juga berasal dari nama
pohon yang buahnya berasa seperti buah mangga. Warnanya agak kemerahan dan
buahnya lebih kecil, yaitu sebesar ibu jari kaki. Nama pohon ini diambil sebagai nama
tempat, berdasarkan penuturan para informan, disebabkan oleh pohon Rao-rao
tersebut merupakan pohon yang terbesar yang tumbuh di daerah itu. Digambarkan
bahwa lingkaran batang pohon itu tidak bisa dipegang oleh tiga orang secara
bersambungan. Dengan dasar itulah akhirnya mereka memutuskan untuk memberi
nama tempat tersebut dengan nama Rao-rao. Sementara, nama bariang berasal dari
kata buah dan kata riang. Oleh karena diucapkan dengan cara yang lebih cepat, maka
berubah menjadi bariang. Selanjutnya, berdasarkan penuturan para informan,
penduduk (Bariang) Rao-rao merupakan penduduk asli. Artinya, tidak ada sejarah
yang mereka terima bahwa mereka berasal dari suatu daerah tertentu.
Nama tempat Rao-rao di Kabupaten Pasaman Barat menunjuk pada nama
jorong. Tempat ini terletak di Kenagarian Batahan, Kecamatan Ranah Batahan. Nama
Rao-rao, menurut masyarakatnya, berasal dari nama tempat di Kecamatan Maga,
Kabupaten Mandailing Natal. Menurut masyarakatnya, mereka berasal dari Rao-rao
Mandailing Laru, Kecamatan Maga, Kabupaten Mandailing Natal (dekat
Penyabungan). Dengan demikian, nama rao-rao diambil dari nama tempat yang
merupakan tempat asal mereka. Sebagian mengatakan bahwa mereka dari Rao-rao
di daerah Kotonopan. Menurut mereka, pada zaman Belanda, mereka diharuskan
membayar belasting kepada Belanda, namun nenek moyang mereka tidak mau
membayarnya. Oleh karena mereka tidak mau ditangkap, mereka melarikan diri
sampai ke daerah ini. Mereka memperkirakan kejadian tersebut sudah berlangsung 4
generasi. Oleh karena mereka berasal dari daerah Rao-rao, mereka juga memberi
nama tempat yang mereka datangi dengan nama daerah asal mereka, yaitu Rao-rao.
Sementara itu, asal kata rao-rao itu sendiri tidak pernah mereka ketahui.
Versi lainnya adalah masyarakat Rao-rao di Kabupaten Pasaman Barat ini

1
Suardi Mahyuddin dan Rustam Rahman, Hukum Adat Minangkabau dalam Sejarah Perkembangan Nagari Rao-rao
Ranah Katitiran di Ujuang Tanduak, (Jakarta: Yayasan Gebu Minang, 2002), hlm. 29.
berasal dari Kotonopan. Mereka adalah keturunan Lubis. Lubis mempunyai anak dua
orang, yaitu Baitang dan Langkitang. Langkitang berangkat menuju arah timur, mereka
menemukan batang air (sungai) yang muaranya sama. Batang air (sungai) itu
bernama Paluangan (Batahan) dan Poroman 2 anak air. Anaknya pindah ke daerah
ini dan menyebut nama daerah yang baru ditempati tersebut dengan nama Rao-rao.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan asal-
usul nama tempat yang diteliti walaupun ketiga tempat itu memiliki nama yang sama.
Untuk mengetahui lebih jauh hubungan antarketiga tempat yang memiliki
kesamaan nama ini, dibandingkan variasi nama suku dan kata sapaan yang
digunakan. Selanjutnya, bertolak dari variasi yang ditemukan, dicoba mengkaji arah
migrasi penuturnya. Dalam uraian selanjutnya, daerah Rao-rao Tanah Datar disingkat
dengan RTD, Rao-rao Solok Selatan disingkat dengan RSS, dan Rao-rao Pasaman
Barat disingkat dengan RPB.
Dari data yang diperoleh, ditemukan 8 suku di RTD dan di RSS, dan 1 suku
dengan 6 marga di RPB. Walaupun di RTD dan di RSS terdapat jumlah suku yang
sama, namun hanya 1 suku yang memiliki kesamaan nama, yakni suku Caniago,
sedangkan 7 suku yang lainnya memiliki nama yang berbeda. Jika nama suku yang
terdapat di RTD dibandingkan dengan nama suku yang ada di RPB, ditemukan pula
bahwa salah satu suku yang ada di RTD juga memiliki kesamaan nama dengan yang
ada di RPB, yakni suku Mandailing. Namun demikian, dalam suku Mandailing yang
ada di RTD tersebut tidak ditemukan adanya marga, seperti yang terdapat di RPB.
Selanjutnya, dibandingkan nama suku yang ada di RSS dengan yang ada di RPB.
Ternyata tidak ditemukan adanya persamaan.
Berdasarkan analisis terhadap nama-nama suku yang ada di ketiga tempat
yang diteliti, hanya ditemukan satu suku yang memiliki kesamaan nama.
Dalam pembahasan mengenai kata sapaan, pendekatan geneologis yang
dipakai untuk memerikan kata sapaan adalah sebagai berikut: ego, sebagai generasi
keempat, yang dijadikan sebagai sentral penelitian ini; ibu sebagai generasi ketiga;
nenek (ibu dari ibu), sebagai generasi kedua; dan ninik (ibu dari nenek), sebagai
generasi pertama. Penamaan moyang digunakan untuk menunjuk pada orang tua di
atas ninik yang biasanya tidak jelas keturunan ke berapa dari ninik tersebut. Hubungan
antargenerasi ini disebut dengan hubungan vertikal. Oleh karena setiap generasi juga
memiliki hubungan persaudaraan berupa kakak dan adik, maka analisis juga dilakukan
untuk menjelaskan hubungan tersebut. Hubungan antarkakak dan adik ini disebut juga
hubungan horizontal (intergenerasi)
Bentuk kata sapaan yang dipakai tergantung pada bentuk hubungan orang
yang menyapa dengan orang yang disapa. Pembahasan dalam tulisan ini difokuskan
pada bentuk-bentuk kata sapaan dalam hubungan kekerabatan, yaitu yang sesuai
dengan adat dan budaya.
Berdasarkan hubungan intergenerasi di ketiga tempat yang diteliti, hanya
ditemukan kesamaan kata sapaan dalam hal menyapa adik, baik untuk menyapa adik
yang perempuan maupun untuk menyapa adik yang laki-laki, yaitu menggunakan
nama sebagai kata sapaan. Di samping itu, ditemukan pula kesamaan variasi bentuk
kata sapaan di RTD dengan di RSS, yaitu kata sapaan uni dan uda. Namun, jika dikaji
lebih lanjut, terdapat perbedaan pemakaiannya. Kata sapaan uni di RTD cenderung
digunakan oleh penutur yang berusia muda. Berdasarkan pernyataan informan, dapat
dipastikan bahwa bentuk ini merupakan bentuk baru karena adanya pengaruh dari
isolek Minangkabau umum. Sementara, di RSS bentuk uni cenderung digunakan
untuk menyapa kakak perempuan yang usianya lebih tua, bila jumlah kakak
perempuan lebih dari satu orang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan konsep penggunaan kata sapaan tersebut di kedua daerah yang diteliti.
Lagi pula, di RTD, bentuk itu bukan merupakan bentuk yang asli.
Demikian juga halnya, salah satu bentuk variasi kata sapaan yang digunakan
untuk menyapa kakak perempuan di RTD dan di RPB ditemukan pula kesamaan
bentuk, yaitu kakak. Walaupun begitu, juga terdapat perbedaan konsep
penggunaannya. Sapaan kakak di RTD cenderung digunakan oleh penutur yang
berusia tua. Bertolak dari kenyataan tersebut dan diperkuat oleh pernyataan informan
dapat dikatakan bahwa bentuk kakak merupakan bentuk asli daerah tersebut. Bentuk
itu dipakai untuk menyapa semua kakak perempuan, apakah kakak tersebut hanya
satu orang atau lebih. Untuk membedakannya jika lebih dari satu orang dilakukan
dengan cara menambah kata sapaan itu dengan nama kakak yang bersangkutan.
Sementara, di RPB, bentuk kakak hanya digunakan bila kakak perempuan itu hanya
satu orang. Bila lebih, maka digunakan kata sapaan yang lain, yaitu ocik untuk
menyapa kakak perempuan yang lebih tua dan kakak namenegna untuk kakak
perempuan yang lebih kecil.
Begitu pula halnya untuk menyapa kakak laki-laki, ditemukan bentuk yang
sama di RTD dan di RSS, yaitu bentuk uda. Bentuk ini di RTD, sama halnya dengan
bentuk uni, yaitu merupakan bentuk baru yang hanya dipakai oleh penutur yang
berusia muda, sedangkan di RSS digunakan untuk menyapa semua kakak laki-laki.
Selanjutnya, dikemukakan kata sapaan yang ditemukan berdasarkan
hubungan antargenerasi (vertikal) di ketiga tempat yang diteliti. Di RTD kata yang
digunakan oleh ego untuk menyapa ibu ada beberapa bentuk, yaitu ande, umak, ibu,
umi, mama, dan mami. Di RSS hanya ditemukan bentuk amak, dan di RPB hanya
ditemukan bentuk umak. Dengan demikian, bentuk umak sama-sama digunakan, baik
di RTD maupun di RPB. Namun demikian, di RTD bentuk umak hanya digunakan oleh
penutur yang berusia tua, sementara di RPB bentuk ini digunakan tanpa memandang
usia dan status sosial.
Untuk menyapa kakak perempuan ibu di RTD digunakan dua bentuk, yaitu mak
tuo dan uwo. Di RSS ditemukan satu bentuk saja, yaitu mak tuo, sedangkan di RPB
ditemukan dua bentuk yang berbeda daripada bentuk sapaan yang digunakan di
kedua daerah sebelumnya, yaitu bentuk tuoq dan inang tua. Sementara, untuk
menyapa adik perempuan ibu tidak ditemukan bentuk yang sama di RTD dan di RSS,
sedangkan dengan RPB terdapat bentuk yang sama, yaitu etek. Namun demikian,
bentuk etek di RTD hanya digunakan oleh penutur yang lebih muda, sedangkan di
RPB digunakan untuk semua usia. Bentuk yang berbeda untuk sapaan ini digunakan
di RSS, yaitu iciak.
Untuk menyapa saudara laki-laki ibu terdapat bentuk yang sama di RTD dan
RPB, yaitu mamak. Di RTD, di samping bentuk mamak, juga digunakan bentuk mak
yang diikuti oleh bentuk dang, tangah, atau ketek sesuai dengan urutan usia dalam
keluarga atau bentuk mak yang diikuti oleh nama saudara laki-laki ibu yang
bersangkutan. Bentuk mamak dan mak yang diikuti oleh nama saudara laki-laki ibu
yang bersangkutan juga digunakan di RSS untuk menyapa saudara laki-laki yang lebih
muda usianya daripada ibu, sedangkan untuk menyapa saudara laki-laki ibu yang
usianya lebih tua digunakan bentuk yang berbeda dengan kedua daerah lainnya, yaitu
bentuk angku.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa dalam hal kata sapaan, untuk
menunjukkan hubungan antara ego dan ibu, ditemukan banyak perbedaan. Di RTD,
terdapat beberapa variasi bentuk kata sapaan, sedang di RSS dan RPB hampir tidak
ada variasi. Munculnya variasi kata sapaan di RTD ini, sebagaimana telah diuraikan
pada bagian terdahulu, disebabkan oleh perbedaan usia penuturnya. Penutur yang
berusia muda cenderung menggunakan kata sapaan yang dipakai oleh penutur di
daerah lainnya. Dengan kata lain, penutur berusia muda cenderung menyerap bentuk
sapaan lain yang didengarnya.
Sebaliknya, untuk menunjukkan hubungan antara ibu dan ego di RTD
digunakan tiga bentuk kata sapaan, yaitu nak, dengan menyebut nama, dan rangkayo.
Bentuk nak dan menyebut nama juga digunakan di RSS. Namun, pengggunaan kata
tersebut ada perbedaannya. Di RTD kata sapaan nak dan menyebutkan nama
digunakan secara umum, kecuali untuk anak yang memiliki gelar penghulu disapa
dengan rangkayo. Kata sapaan dengan menyebut nama digunakan pada ketiga
daerah yang diteliti dengan konsep yang sama. Di RPB, di samping menyapa dengan
nama, juga digunakan bentuk anakku dan boruku. Kata sapaan anakku khusus dipakai
untuk menyapa anak laki-laki, sedangkan boruku khusus dipakai untuk menyapa anak
perempuan.
Kata sapaan yang digunakan oleh saudara perempuan ibu terhadap ego di
RTD dan RSS memiliki bentuk yang sama dengan yang digunakan oleh ibu.
Sementara, di RPB hanya digunakan kata sapaan nama. Kata sapaan yang digunakan
saudara laki-laki ibu, baik yang lebih tua maupun yang lebih muda terhadap ego di
RTD juga terdapat bentuk yang sama dengan kata sapaan yang digunakan oleh ibu
dan saudara perempuan ibu, yaitu dengan cara menyebut nama atau rangkayo.
Bedanya dengan kata sapaan yang digunakan oleh ibu dan saudara perempuan ibu
adalah terdapatnya bentuk sapaan nakan. Di RSS dan RPB untuk hubungan ini hanya
digunakan sapaan nama.
Kata yang digunakan oleh ego untuk menyapa nenek di RTD adalah datuak
atau disingkat tuak. Namun demikian, untuk membedakan antara yang laki-laki dan
yang perempuan digunakan pembeda jenis kelamin, yaitu padusi perempuan dan
jantan laki-laki sehingga menjadi datuak padusi yang biasa disingkat dengan datuak
uci untuk yang perempuan dan datuak jantan yang biasa disingkat dengan datuak
antan untuk yang laki-laki. Untuk nenek kandung biasanya digunakan kata sapaan
datuak, tuak, tuak uci, dan tuak kanduang. Kata sapaan ini digunakan, baik oleh
penutur berusia tua maupun penutur berusia muda.
Kata untuk menyapa saudara nenek, selain menggunakan bentuk datuak atau
biasa disingkat dengan tuak, juga ada yang ditambah dengan bentuk tertentu, seperti
jenis kelamin (tuak antan dan tuak uci) dan posisi atau kedudukan saudara nenek
dalam susunan saudaranya. Bila usia saudara nenek lebih tua daripada nenek
kandung ego, baik laki-laki maupun perempuan, digunakan sapaan tuak adang. Untuk
saudara nenek yang berikutnya digunakan sapaan tuak onga, sedangkan untuk
saudara yang lainnya lagi digunakan datuak/tuak+nama. Kata sapaan untuk saudara
laki-laki dan perempuan nenek yang usianya lebih tua tampaknya hampir sama,
namun pada kenyataannya memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut ditemukan pada
bentuk sapaan tuak onga. Kata sapaan ini hanya digunakan untuk saudara nenek
yang perempuan. Untuk saudara nenek yang usianya lebih muda digunakan sapaan
datuak+nama.
Di RSS untuk menyapa nenek dan saudara-saudara perempuannya digunakan
bentuk anduang. Untuk saudara nenek yang laki-laki digunakan bentuk datuak.
Bentuk tersebut sama dengan bentuk yang digunakan di RTD. Hanya saja, jika bentuk
itu digunakan sebagai kata sapaan di RSS, bentuk itu tidak memiliki variasi
sebagaimana yang digunakan di RTD. Di RPB, kata sapaan yang digunakan adalah
nenek, baik untuk ibu dari ibu maupun untuk saudara-saudara perempuannya,
sedangkan untuk saudara laki-laki nenek digunakan kata sapaan ompung.
Sebaliknya, untuk menghubungkan generasi nenek dan cucu di RTD,
digunakan bentuk cucu, cu, dan nama. Di RSS hanya digunakan nama saja. Di RPB,
selain digunakan bentuk yang sama dengan yang digunakan di RTD dan RSS, yaitu
dengan cara menyebut nama, juga digunakan kata sapaan dik.
Kata yang digunakan untuk menyapa nenek dan saudara-saudaranya oleh ego
di RTD mempunyai bentuk yang berbeda dengan yang digunakan di RSS dan RPB.
Di RTD digunakan bentuk niniak, di RSS digunakan bentuk nyinyiak, sedangkan di
RPB digunakan bentuk tuoq.
Bentuk yang digunakan di RTD untuk menyapa oleh nenek kepada ego dan
saudara-saudara perempuannya adalah upiak, sedangkan untuk menyapa saudara
laki-lakinya adalah buyuang. Sementara, di RSS, untuk menyapa ego dan saudara-
saudaranya digunakan bentuk yang lebih bervariasi. Bentuk-bentuk yang digunakan
itu adalah nak, nama, piak, dan yuang. Untuk yang laki-laki digunakan nak, nama, dan
yuang dan untuk yang perempuan digunakan nak, nama, dan piak. Bentuk piak dan
yuang merupakan bentuk singkatan dari upiak dan buyuang. Namun demikian, bentuk
upiak dan buyuang atau bentuk lengkapnya tidak digunakan di RSS. Di RPB bila ninik
menyapa ego dan saudara-saudaranya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan,
digunakan bentuk tuoq. Bentuk ini sama dengan yang digunakan oleh ego kepada
ninik.
Selanjutnya, dikemukakan pula hubungan antara ago dan ayah serta saudara-
saudaranya, hubungan ego dengan ayah dari ayah (kakek) dan ibu dari ayah (nenek),
serta hubungan ego dengan kakek dari ayah dan nenek dari ayah.
Bentuk yang digunakan untuk menyapa oleh anak terhadap ayah dan saudara-
saudaranya di ketiga daerah yang diteliti juga ada perbedaan. Di RTD ditemukan lebih
banyak variasi kata sapaan dibandingkan dengan di kedua daerah lainnya. Untuk
menyapa ayah oleh ego digunakan bentuk ayah, abak, papa, dan papi. Di RSS, untuk
hubungan itu digunakan bentuk abak dan apak. Dari kedua bentuk itu, bentuk abak
merupakan bentuk yang paling lazim digunakan. Sementara itu, di RPB hanya
digunakan satu bentuk saja, yaitu ayah.
Kata sapaan yang digunakan untuk menyapa saudara perempuan ayah yang
usianya lebih tua daripada ayah ditemukan kesamaan antara RTD dan RSS, yaitu mak
tuo. Di daerah RPB ditemukan bentuk yang berbeda untuk hubungan itu, yaitu
namboru godang. Untuk menyapa saudara perempuan ayah yang usianya lebih muda
daripada ayah di RTD digunakan bentuk etek dan oncu, sedangkan di RSS hanya
digunakan bentuk etek. Di samping bentuk etek dan oncu, di RPB digunakan pula
bentuk uci. Dengan demikian, untuk menyapa adik perempuan ayah terdapat bentuk
yang sama, yaitu bentuk etek. Bentuk oncu ditemukan di dua daerah, yaitu RTD dan
RPB.
Kata yang digunakan untuk menyapa saudara laki-laki ayah yang lebih tua
usianya daripada ayah di daerah RTD ditemukan berbagai variasi, yaitu ayah, ayah
dang, ayah+nama, pak, pak dang, dan pak+nama. Hanya ditemukan satu kata sapaan
yang digunakan dalam hubungan ini di RSS, yaitu pak tuo. Di RPB juga ditemukan
satu bentuk saja untuk hubungan ini, yaitu ayah tuoq.
Begitu pula halnya dengan kata sapaan yang digunakan oleh saudara ayah
yang laki-laki yang usianya lebih muda daripada ayah. Untuk hubungan ini di RTD juga
ditemukan beberapa variasi kata sapaan, yaitu ayah, ayah+nama, pak, pak etek,
pak+nama, papa, pa dang, dan pa+nama. Di RSS ditemukan dua variasi, yaitu pak
etek dan pak usu, sedangkan di RPB hanya ditemukan satu bentuk saja, yaitu udaq.
Dari uraian tersebut tampak bahwa hanya bentuk pak etek lah yang merupakan bentuk
yang sama yang ditemukan di RTD dan RSS.
Kata yang digunakan untuk menyapa nenek dan kakek di RTD digunakan
bentuk datuak, juga digunakan bentuk singkatannya, yakni tuak dan bentuk singkatan
yang ditambah dengan beberapa variasi, yaitu tuak antan untuk nenek dan tuak
kanduang serta tuak uci untuk kakek. Di RSS digunakan sapaan anduang untuk nenek
yang perempuan dan gaek untuk kakek (ayah dari ayah). Di RPB digunakan sapaan
yang berbeda lagi daripada yang digunakan di kedua tempat yang sudah dijelaskan,
yaitu nenek dan untuk kakek digunakan ompung.
Kata yang digunakan untuk menyapa nenek dari ayah atau kakek dari ayah
yang dalam tulisan ini disebut dengan ninik, di RTD dan di RSS ditemukan bentuk
yang mirip. Bedanya hanya dari segi fonem yang digunakan, yaitu niniak di RTD dan
nyinyiak di RSS. Di RPB digunakan kata sapaan yang berbeda dari kedua daerah
lainnya, yaitu nenek untuk menyapa ninik yang perempuan dan tuoq untuk menyapa
ninik yang laki-laki.
Setelah dilakukan analisis terhadap kata sapaan yang digunakan di ketiga
tempat yang memiliki kesamaan nama ini, juga tidak banyak ditemukan kesamaan.
Lagi pula, kesamaan dalam penggunaan kata sapaan lebih banyak disebabkan oleh
bentuk-bentuk yang merupakan unsur serapan, baik yang berasal dari bahasa
Minangkabau umum maupun yang berasal dari isolek daerah lainnya. Pada umumnya,
bentuk-bentuk seperti itu digunakan oleh penutur yang berusia muda sebab mereka
cenderung menyerap kata sapaan lain yang didengarnya.
Bertolak dari analisis nama suku dan kata sapaan yang telah dilakukan,
tampak bahwa ketiga tempat yang diteliti tidak memperlihatkan hubungan yang berarti
disebabkan oleh sedikitnya persamaan yang ditemukan dalam kedua aspek tersebut.

3. Penutup
Pada uraian di atas telah dikaji tiga isolek yang dituturkan di tiga tempat yang
memiliki kesamaan nama di Minangkabau, yaitu Rao-rao. Berdasarkan data yang
diperoleh, terungkap bahwa terdapat perbedaan asal-usul nama tempat yang diteliti
walaupun ketiga tempat itu memiliki nama yang sama. Selanjutnya, berdasarkan
analisis atas nama-nama suku di ketiga tempat yang diteliti, ditemukan bahwa
kesamaan nama tempat tidak menunjukkan kesamaan dalam hal nama suku.
Berdasarkan analisis atas bentuk-bentuk kata sapaan dalam hubungan kekerabatan,
juga sedikit sekali ditemukan kesamaan. Kesamaan tersebut pada umumnya
ditemukan pada penutur yang berusia muda sebab mereka cenderung menyerap kata
sapaan lain yang didengarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesamaan
nama tempat tidak ada hubungannya dengan kedua aspek yang diteliti dan tidak dapat
digunakan untuk menelusuri arah migrasi penuturnya
DAFTAR PUSTAKA

Kasih, Media Sandra. 2000. Sistem Sapaan Bahasa Minangkabau: Suatu Tinjauan
Sosiolinguistik. Disertasi. Universitas Putra Malaysia.

Kato, Tsuyoshi. 1982. Nasab Ibu dan Merantau. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.

Mahyuddin, Suardi dan Rustam Rahman. 2002. Hukum Adat Minangkabau dalam
Sejarah Perkembangan Nagari Rao-rao Ranah Katitiran di Ujuang Tanduak.
Jakarta: Yayasan Gebu Minang.

Nadra. 2001. Dialectal Variations of Minangkabau Language in Riau Province and


Their Relationship with Minangkabau Dialects in West Sumatera, URGE
Project. Directorate General of Higher Education Ministry of Education and
Culture.

Nadra. 2004. Hubungan Isolek Taratak Air Hitam dengan Isolek-isolek Minangkabau
di Daerah Sumatera Barat. Makalah yang disajikan pada Simposium
Internasional Bahasa-bahasa Austronesia. Denpasar.

Nadra dkk. 2006. Daerah Asal dan Arah Migrasi Orang Minangkabau di Provinsi
Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Utara Berdasarkan Kajian Variasi Dialektal.
Laporan Penelitian Riset Unggulan Bidang Kemasyarakatan dan Kemanusiaan
(RUKK) VI.

Nadra dkk. 2008. Daerah Asal dan Arah Migrasi Orang Minangkabau di Provinsi
Jambi Berdasarkan Kajian Variasi Dialektal dalam Jurnal Makara: Seri Sosial
Humaniora, Jakarta, Universitas Indonesia, Vol. 12, No. 1.

Nadra dan Wahyuni. 2008. Kajian Arah Migrasi Berdasarkan Kesamaan Nama
Tempat di Minangkabau. Laporan Penelitian Fundamental yang Dibiayai oleh
DP2M Dikti.
Nadra. 2009. Kajian Variasi Leksikal Bahasa Minangkabau di Sumatera Utara sebagai
Dasar Penelusuran Daerah Asal dan Arah Migrasi Penuturnya. Makalah, yang
disajikan pada Seminar Antara Bangsa (Internasional) Dwi Tahunan. Pinang,
Malaysia, 5 Agustus 2009.

Nadra dan Reniwati. 2009. Dialektologi: Teori dan Metode. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.

Naim, Mochtar. 1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Nothofer, Bernd. 1995. Jakarta Malay in Indonesia dalam Oceanic Linguistics,


Volume 34, No. 1.

Omar, Asmah Haji. 1985. Susur Galur Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.

Sari, Kartika. 2000. Sistem Sapaan Bahasa Minangkabau Dialek 50 Kota dan Dialek
Agam. Laporan Penelitian Balai Bahasa Padang.

Syafyahya, Leni dkk. 2000. Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kabupaten Agam.
Jakarta: Pusat Bahasa.

Anda mungkin juga menyukai