Anda di halaman 1dari 14

BENTUK KRAMA DESA DALAM BAHASA JAWA

FORM OF KRAMA DESA IN THE JAVANESE LANGUAGE

Mulyanto
Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta
mulyanto.ms@gmail.com

Abstrak
Selama ini ragam krama desa dalam bahasa Jawa dianggap sebagai bentuk olok-olok atau sebagai bahasa
orang yang tidak mengerti bahasa ragam halus. Penelitian ini bertujuan untuk menaturalisasi anggapan
itu dan menjelaskan secara deskriptif krama desa sebagai bahasa yang hidup. Hasilnya, pembentukan
kosakata krama desa merupakan sebuah paradigma yang memiliki sistem. Walaupun dianggap sebagai
bentukan yang salah dan dengan jumlah kosakata yang terbatas, krama desa memiliki sistem yang ber-
sifat teratur sebagaimana pembentukan bentuk kromo atau krama inggil dari ragam ngoko. Keteraturan
sistem itu berupa analogi yang kuat adanya proses pembentukan kosakata ragam kromo menjadi kromo
yang lain, yang searti.

Kata kunci: kromo, naturalisasi, analogi

Abstract
During this diversity the manner of krama desa in the Javanese language is considered as a form of moc-
kery or as a language of people who do not understand a subtle language diversity. This study aims to natur-
ralize the assumption and explain descriptively of the krama desa as a living language. As a result, the
forming of krama desa vocabulary as a form of paradigm which has a system. Although considered as a
wrong formation with limited numbers of vocabulary, krama desa has a regular system as a forming pesta-
blishment of kromo or krama inggil from ngoko. The regularity of the system in the form of a strong ana-
logy ing kromo vocabularly forming pricess become another kromo synonymous.

Keywords: kromo, naturalization, analogy

1. Pendahuluan
Bahasa krama desa merupakan bahasa asli bahasa yang dipakai orang tua tidaklah
orang-orang desa yang tidak dipenga-ruhi peduli apakah bahasa itu benar atau salah.
oleh bahasa lain. Bahasa itu masih “murni” Pada kenyataannya bahasa itu digunakan
sebagai alat komunikasi sehari-hari yang secara berkelanjutan dan penu-tur tidak
benar-benar muncul dari alam orang pede- pernah membuat penilaian apa pun
saan di Jawa. Kosakata krama desa disebut terhadap bahasanya. Bahasa itu ala-miah.
sebagai “tutur-tinular”. Artinya, bahasa ini Pernyataan itu muncul dari seorang
dipakai sebagai sarana percakapan di pendengar siaran interaktif bahasa Jawa di
antara para orang tua yang kemudian RRI Yogyakarta yang diselenggarakan oleh
ditiru oleh anak cucunya sehing-ga menjadi Balai Bahasa DIY tanggal 24 Februari 2016.
bahasa yang wajar dan terbiasa digunakan Adanya penyataan itu membuat penu-
di pedesaan, terutama di pasar atau tempat lis tergelitik untuk melihat secara lebih sek-
umum lainnya. Anak cucu yang menirukan sama tentang bahasa Jawa ragam krama

Bentuk Krama Desa Dalam Bahasa Jawa 136


desa. Tidak banyak literatur yang mengu- 2) Bagaimana perubahan yang terjadi atas
pas bagaimana sesungguhnya bahasa krama pembentukan krama desa?
desa itu. Barangkali ini merupakan imbas 3) Bagaimana bentuk krama desa dalam
atas anggapan bahwa krama desa adalah ba- konstruksi ragam tutur?
hasa yang salah sehingga tidak perlu di- 2. Teori dan Metode
bicarakan lebih lanjut. Atas dasar sudut Seorang pakar bahasa Jawa, Sasangka
pandang deskriptif, bahasa itu salah atau (2004) mengatakan bahwa penamaan krama
benar, bukanlah sebuah persoalan; tetapi desa sebenarnya merupakan olok-olok yang
bahasa tetap dianggap sebagai gejala alami- dilakukan orang kota terhadap orang desa.
ah yang perlu dijelaskan. Bukankah mun- Saat itu orang yang tidak dapat berbahasa
culnya tata bahasa sebuah bahasa itu ber- dengan benar menurut orang nagari (orang
awal dari ketidakpastian yang kemudian kota) diidentikkan dengan orang desa se-
dibaku-bakukan sedemikian rupa sehingga hingga bahasa kromo yang digunakan dise-
menjadi tatanan yang baik? but krama desa. Sesuai kodratnya bahasa yang
Krama desa saat ini sudah merambah ke digunakan oleh anggota masyarakat bu-
kota. Kosakata aneh yang dicurigai sebagai kanlah sesuatu yang mati, tetapi terus
kosakata ragam krama desa, seperti milai hidup dan berkembang sejalan dengan
‘mulai’, teras ‘terus’, enjang ‘pagi’, sedanten dinamika dan kreativitas anggota masyara-
‘semua’, artosipun ‘artinya’, dan lain-lain kat pada tiap-tiap wilayah tempat anggota
ternyata digunakan oleh orang-orang yang masyarakat itu hidup. Saat ini bahasa yang
notabene tinggal dan berdomisili di ling- disebut krama desa itu masih ada. Bahasa itu
kungan perkotaan. Terlepas dari apakah masih digunakan tidak hanya di pedesaan.
kosakata ini dibawa oleh orang-orang desa Krama desa adalah istilah yang diperkenal-
yang hijrah ke kota, atau sebagai kosakata kan sebagai salah satu ragam bahasa dalam
asli, yang jelas kosakata itu tetap lestari bahasa Jawa. Sesuai dengan namanya, krama
digunakan di dalam bahasa Jawa. Kadang- desa merupakan bahasa krama (bercampur
kadang kita sebagai penutur bahasa Jawa dengan bahasa madya) dan dipakai oleh
juga tidak menyadari bahwa sebagian kosa- orang-orang desa. Krama desa sebenarnya
kata dalam bahasa yang kita gunakan itu identik dengan ragam krama. Namun, ra-
termasuk dalam golongan ragam krama gam ini dipakai oleh orang-orang yang ku-
desa. Telinga kita sudah terlanjur nyaman rang mengerti dengan baik tentang ragam
mendengar kosakata itu. Secara nirsadar krama. Bagi pemakainya, ragam ini diang-
bahwa, yang kita gunakan sudah menjadi gap sebagai ragam kromo seperti kromo-
sistem tersendiri. Kemunculannya pun tidak kromo yang lain. Suharno (1982) menyebut
terkendali. Pemilihan kosakata itu terispirasi hal itu sebagai village type courtesy ‘bentuk
oleh model pembentukan ragam ngoko hormat (orang) desa’, termasuk di dalam-
menjadi kromo sebagai model yang diang- nya adalah pelanggaran penggunaan kata
gap baku. Seberapa jauh model-model itu pirsa pada konstruksi kula pirsa yang seha-
dapat ditirukan sebagai bentuk krama desa rusnya kula sumerep ‘saya mengetahui’. Lebih
harus dapat dijelaskan dengan model pola lanjut ia juga menyebut hal itu sebagai
tersendiri. Untuk itu permasalahan dalam hypercorrection ‘perbaikan yang berlebihan’,
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai misalnya pada kata wedos ‘takut’ yang seha-
berikut. rusnya ajrih ‘takut’ yang berasal dari ngoko
1) Bagaimana distribusi dan status krama wedi ‘takut’ (1982: 127).
desa dalam bahasa Jawa?

137 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


Dalam sejarahnya, istilah krama desa riasi geografis yang tidak memengaruhi si-
mengalami beberapa perubahan, meliputi fat utama dari krama desa tersebut. Sama
perubahan bentuk dan makna. Padmasu- seperti ragam kromo atau ngoko, krama desa
sastra (1899) dalam Serat Warnabasa menye- dapat diidentifikasi sebagai ragam kosakata
but krama desa sebagai krama dhusun. Perbe- dan ragam tutur.
daan sebutan tersebut hanya berkaitan de- Sumber data penelitian ini terdiri atas
ngan ragam. Istilah desa beragam ngoko, se- dua macam, yakni sumber data lisan dan
dangkan dhusun beragam kromo. Akibat sumber data tulisan. Sumber data lisan
berbagai kasus, kosa-kata krama desa (krama berupa pertuturan sehari-hari di berbagai
dhusun) tidak hanya digunakan di wilayah kalangan, baik dalam bentuk dialog (perca-
perdesaan, tetapi juga digunakan di wilayah kapan) atau monolog (misalnya pidato, ter-
perkotaan. Pergeseran itu disebabkan oleh utama khotbah/kultum). Sumber data tu-
migrasinya orang-orang dari desa ke kota, lisan berupa buku-buku berbahasa Jawa
baik karena pekerjaan maupun pendidikan. (terutama ragam kromo). Pengambilan data
Kosakata krama desa yang digunakan di ko- dilakukan dengan teknik observasi lang-
ta tersebut diidentifikasi sebagai krama leres. sung terhadap sumber data, baik terhadap
Padmasustra (1896: 13) juga menyebutkannya sumber data lisan maupun sumber data
dalam Urapsari (1896) bahwa kosakata kra- tulisan (Sudaryanto, 1993).
ma leres memiliki kesamaan dengan kosa- Data berupa kalimat yang memuat
kata krama desa. Baik krama dhusun maupun kosakata yang dicurigai sebagai krama desa.
krama leres merupakan ragam kosakata sub- Namun, fokus data terletak pada kosakata
standar, kadang-kadang merupakan kosakata krama desa itu secara mandiri. Kalimat yang
kromo yang dikromokan lagi (hiperkromo). mengandung fokus data dapat dijadikan
Perbedaan hanya terletak pada tempat dan konteks untuk melihat ragam bahasa yang
orang yang menggunakan bentuk itu. Krama digunakan. Mengingat bahwa kosakata ra-
dhusun digunakan oleh orang yang ada di gam krama desa pada dasarnya merupakan
desa, sedangkan krama leres digunakan oleh ragam kromo, kemunculannya di dalam
warga perkotaan. ragam bahasa ngoko tidaklah lazim.
Di wilayah pesisir, ragam krama desa di- Kosakata kromo dan krama desa memi-
sebut sebagai krama pesisir. Kosakata yang liki perilaku yang mirip. Pada umumnya
digunakan dalam ragam krama pesisir ham- kromo dibentuk atas dasar kosakata ragam
pir sama dengan krama desa. Namun, bebe- ngoko, sedangkan krama desa lebih berva-
rapa kosakata yang bersifat kedaerahan riasi. Krama desa dapat dibentuk dari kosa-
(enggon-enggonan) mewarnai ragam ini. Ada kata ragam ngoko, ragam kromo, atau se-
beberapa kata yang hanya digunakan di pe- bagai kata baru yang tidak memiliki kemi-
sisiran, tetapi tidak digunakan di desa (pe- ripan dengan dasar ngoko atau kromo. Ko-
dalaman). Demikian pula sebaliknya, ter- sakata krama desa dianggap sebagai kosa-
gantung kebutuhan masyarakat pengguna- kata substandar, atau dapat dikatakan bah-
nya (Padmasusastra, 1896). wa kosakata krama desa tidak diakui keba-
Berdasarkan sifat-sifat yang sama, yakni kuannya. Pada umumnya masyarakat masih
digunakannya bentuk-bentuk kromo sub- kesulitan membedakan suatu kosakata ter-
standar dan hiperkromo, dalam tulisan ini masuk dalam ragam kromo atau krama desa.
istilah krama dhusun, krama leres, dan krama Dengan intuisi, penulis dapat mencurigai
pesisir dianggap sejajar dengan krama desa. suatu kosakata itu masuk pada ragam mana.
Perbedaan istilah akibat wilayah pemakaian Untuk itu, diperlukan senarai kosakata kro-
yang berbeda-beda dianggap sebagai va- mo sebagai pembanding krama desa. Senarai

Bentuk Krama Desa Dalam Bahasa Jawa 138


kosakata yang dapat dijadikan acuan ialah menyadari bahwa kata-kata itu termasuk
yang dikeluarkan oleh Poedjosoedarmo ragam tidak baku, tetapi lazim digunakan.
(1979 dan 2013), Dwiraharjo (2001), atau Kata-kata itu adalah benjang ‘besok’, milai
Haryana (2001). ‘mulai’, dan keranten ‘karena’. Kecurigaan
Perlu dibedakan antara kosakata ragam ini dapat timbul akibat kosakata itu memi-
krama desa dan bahasa Jawa dialek lain. Ba- liki ragam kromo dalam bentuk lain yang
hasa Jawa memiliki beberapa dialek. Peng- mirip atau serupa. Kata benjing ‘besok’ ber-
gunaan ragam bahasa merupakan gejala saing dengan benjang ‘besok’. Kedua ben-
dialek sosial, sedangkan penggunaan bahasa tuk kromo itu berasal dari ragam ngoko
yang mencerminkan perbedaan wilayah sesuk ‘besok’. Kata sesuk hanya memiliki pa-
pemakaian, seperti Yogyakarta-Surakarta, sangan kromo benjing, dan tidak memiliki
Banyumas, Tegal, atau wilayah lain meru- pasangan krama inggil (Haryana, 2001: 395).
pakan gejala dialek geografi. Oleh karena Kata benjang merupakan bentukan baru
itu, perbedaan kosakata yang terjadi akibat yang diduga berasal dari ragam kromo
dialek geografis demikian tidak menjadi benjing dengan perubahan vokal ultima /i/
bagian dari penelitian ini. Perbedaan geo- menjadi /a/ seperti pada perubahan ngoko
grafi antara kota dan desa dalam kemun- menjadi kromo pada pasangan lain.
culan istilah krama desa hanya merupakan Kata milai bersaing dengan bentuk melai.
variasi keadaan sosial yang sebenarnya Kedua kata ini berasal dari ragam ngoko
tidak terpengaruh oleh lingkungan geografis mulai/molai ‘mulai’. Kata mulai termasuk
yang lebih luas. kata baru yang diserap dari bahasa Indone-
sia mulai. Kata itu sebenarnya berpadanan
3. Hasil dan Pembahasan dengan wiwit ‘mulai’. Dalam Kamus Ung-
3.1 Distribusi Krama Desa gah-Ungguh Bahasa Jawa kata mulai di-
Kita sudah terlalu sering menganggap bah- anggap sebagai ragam ngoko dan dipa-
wa kosakata yang kita pilih dalam bahasa sangkan dengan kata melai dan milai seba-
kita sehari-hari ialah kosakata yang benar gai ragam kromo yang bersifat enggon-eng-
di antara kosakata lainnya yang berkeliaran gonan ‘setempat’ (Haryana, 2001: 280). Kata
di sekitar kita. Sesungguhnya kebenaran milai dapat diduga berasal dari bentuk mu-
yang kita junjung itu hanya bernaung pada lai (bahasa Indonesia) yang lazim diguna-
lingkup kecil, kelompok kecil, atau bahkan kan dalam bahasa Jawa.
personal. Secara nirsadar kita banyak Kata keranten ‘karena’ merupakan ben-
menggunakan kosakata krama desa dalam tuk bersaing dengan ragam kromo k(a)rana
bahasa sehari-hari. ‘karena’. Karana merupakan ragam krama
ngoko (dapat berposisi dalam ragam kromo
(1) Benjang badhe wonten acara seminar. ‘Besok atau ngoko), dan dapat bersinonim dengan
akan ada acara seminar.’ kata awit atau awit saka ‘karena’. Kata keran-
(2) Panjenengan saged milai saking teori. ‘Anda ten diduga sebagai bentuk baru yang ber-
dapat memulai dari teori.’ asal dari kata karana. Namun, kata karana
(3) Tiyang gesang menika kedah syukur ke-ranten saat ini jarang digunakan dalam bahasa
sampun kaparingan berkah saking Allah. Jawa sehari-hari. Kata karana memiliki ke-
‘Orang hidup ini harus bersyukur karena miripan dengan bahasa Indonesia karena.
sudah dikarunia berokah oleh Allah.’ Kemunculannya yang menjadi keranten me-
Dalam ketiga kalimat di atas terdapat bebe- rupakan perubahan bentuk yang perila-
rapa kata yang sebagian dari kita tidak kunya memiliki kemiripan dengan proses
pembentukan kromo dari bentuk dasar

139 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


ngoko. Sebagaimana telah diketahui bahwa hasa Indonesia. Dalam ranah dialek sosial,
semua bentuk kromo diturunkan dari perubahan bentuk kosakata serapan yang
ngoko (Sumukti, 1971: 114). dikromokan dapat dikategorikan sebagai
Kita dapat memerhatikan bahwa ketiga kromo yang substandar (krama desa).
kalimat itu dapat dikategorikan sebagai ka- 3.2 Krama Desa sebagai Dialek Sosial
limat dengan ragam bahasa kromo. Arti- Dialek merupakan variasi pemakaian bahasa.
nya, kemunculan bentuk yang dicurigai se- Kemunculan dialek lebih umum dikenal
bagai krama desa selalu pada konstruksi kro- sebagai akibat perbedaan wilayah pemakaian,
mo. Krama desa tidak mungkin muncul pada yang disebut dialek geografi. Jika diperhati-
konstruksi ngoko, karena memang tidak di- kan, istilah krama desa bisa saja mengarah
harapkan. Untuk itu, kosakata yang dicuri- pada konsep dialek geografi itu. Kata desa
gai sebagai krama desa itu termasuk dalam dapat diterjemahkan sebagai suatu wilayah
golongan ragam kromo. Kosakata itu bah- geografi yang dikontraskan dengan kota
kan tidak akan dapat diterima dalam ling- (kota v.s. desa). Desa merupakan wilayah,
kungan ragam ngoko apabila tetap diper- kawasan, atau teritorial tertentu. Masyara-
tahankan. katnya cenderung bersifat tradisional, yakni
(1a) *Benjang arep ana acara seminar. masyarakat yang penguasaan ipteknya ren-
(2a) *Kowe bisa milai saka teori. dah sehingga hidupnya masih sederhana dan
(3a) *Wong urip iku kudu syukur keranten wis belum kompleks. Desa-desa di Jawa pada
diwenehi berkahe Allah. umumnya jauh dari pengaruh budaya asing
Atas dasar itu diperoleh asumsi bahwa ko- yang dapat mengakibatkan perubahan pola
sakata krama desa memiliki lingkungan ko- hidup. Sebaliknya, kota memiliki ciri yang
sakata kromo baku atau krama inggil, tidak berbeda. Masyarakatnya cenderung modern,
dalam lingkungan ragam ngoko. Hal itu pola hidupnya sudah banyak dipengaruhi
menunjukkan bahwa sejatinya kosakata oleh teknologi dan aneka macam budaya.
krama desa memiliki fungsi dan berkedu- Untuk itu, kota dan desa berada dalam
dukan sejajar dengan kosakata ragam kromo. wilayah yang berbeda. Hal itulah yang da-
pat menggiring pola pengertian kita bahwa
(1c) Benjing badhe wonten acara seminar.
(2c) Panjenengan saged mulai saking teori.
ragam krama desa merupakan bagian dari
(2d) Panjenengan saged wiwit saking teori. dialek geografi. Pengertian itu bukanlah
(3c) Tiyang gesang menika kedah syukur ka-rana sesuatu yang tepat. Krama desa hanyalah
sampun kaparingan berkah saking Allah. ragam bahasa yang muncul akibat cara
(3d) Tiyang gesang menika kedah syukur awit pemakaian, bukan semata-mata faktor ke-
sampun kaparingan berkah saking Allah. wilayahan. Krama desa muncul untuk
Dalam contoh (2) terdapat kata milai yang “menghormati” orang lain dengan cara
diduga sebagai hasil pengkromoan atas da- yang dikuasai pemakainya. Faktor inilah
sar kata mulai. Padahal, kata mulai hanya yang menunjukkan bahwa krama desa ha-
merupakan kosakata serapan dari bahasa nya sebagai sebuah dialek sosial.
Indonesia/Melayu. Rupanya bahasa Indo- Yogyakarta merupakan kota yang sa-
nesia yang saat ini banyak digunakan oleh ngat majemuk. Pemakaian bahasa Jawa di
masyarakat Jawa sebagai bahasa kedua su- dalamnya juga sangat kompleks. Bahasa
dah memberi pengaruh yang cukup bagi Jawa yang digunakan bukan sekadar baha-
perkembangan kosakata bahasa Jawa, di sa Jawa ragam standar. Aneka pengaruh
samping kosakata bahasa Jawa juga banyak dialek muncul, tidak hanya akibat dialek
berpengaruh terhadap perkembangan ba- geografi, tetapi juga dialek sosial. Penutur

Bentuk Krama Desa Dalam Bahasa Jawa 140


bahasa Jawa dari berbagai wilayah Jawa (8) Umah inyong udu kuwe.
membaur menjadi satu karena urbanisasi. ‘Rumah saya bukan itu.’
Akulturasi bahasa pun terjadi. Untuk itu, (9) Njeprah temen olih-olih nini.
variasi bahasa yang muncul sebagai akibat ‘Banyak sekali oleh-oleh dari nenek.’
pengaruh dialek geografi tidak termasuk
Beberapa kosakata dialek Banyumas me-
dalam ragam krama desa.
mang tidak sama dengan kosakata dialek
(4) Njenengan niku goli tindak mriki pukul Yogyakarta. Beberapa kosakata itu, seperti
pinten? inyong ‘saya’, karus ‘telanjur’, umah ‘ru-
‘Kamu itu akan ke mari pukul berapa?’ mah’, udu ‘bukan’, kuwe ‘itu’, njeprah ‘ba-
(5) Ingkang mbiyantu nggih batir kula se-kolah. nyak’, temen ‘sangat/ sekali’, olih-olih ‘oleh-
‘Yang membantu ya teman sekolah sa- oleh’, nini ‘nenek’. Ketiga kalimat itu dalam
ya.’ dialek Yogyakarta ragam ngoko dan kromo
(6) Ngatos-atos ngasta niku mangke saged gigal. sebagai berikut.
‘Hati-hati membawanya, nanti bisa ja- (7a) Aku wis kebacut tuku buku.
tuh.’
(7b) Kula sampun kebacut tumbas buku.
Kita dapat memperhatikan bahwa di dalam
(8a) Omahku dudu kuwi.
beberapa contoh kalimat ragam kromo di
atas terselip beberapa kosakata khas dialek (8b) Griya kula sanes ingkang menika.
tertentu sehingga bukan merupakan bentuk (9a) Akeh banget oleh-olehe mbah putri.
kromo standar. Kosakata itu ialah goli ‘cara’,
(9b) Kathah sanget oleh-olehipun eyang putri.
batir ‘teman’, dan gigal ‘jatuh’. Ketiga kata
itu sebenarnya bukan bentuk kromo dalam Beberapa pasangan kosakata Yogya-
bahasa Jawa. Kata goli sebagai pengganti karta-Banyumas berikut dapat dijadikan
anggenipun (olehe) ‘caranya’, kata batir bu- alat pembanding bahwa ragam dialek geo-
kan berasal dari ngoko batur ‘pembantu’, grafis berbeda dengan dialek sosial.
tetapi batir yang sinonim dengan kanca ‘te- lendhut belet ‘lumpur’
man’. Kata gigal bukan merupakan bentuk busak busek ‘hapus’
pengkromoan dari gagal ‘gagal’ atau tiba alon dolog ‘pelan’
‘jatuh’. Kata itu menggantikan kata dhawah pinarak/mampir endhong ‘mampir’
‘jatuh’. Tiga kosakata itu memperlihatkan tiba/dhawah gigal ‘jatuh’
gejala campur kode dialek geografi ter- tekan/dumugi gutul ‘sampai’
hadap bahasa Jawa Yogyakarta ragam kro- rada/radi mandan ‘agak’
mo. Tiga kalimat itu dapat diperbaiki men- nyambut damel ngode ‘kerja’
suntak suntek ‘tuang’
jadi sebagai berikut.
(4a) Njenengan niku anggenipun tindak mriki Dialek bukan semata-mata menunjukkan
pukul pinten? substandar, tetapi juga memperlihatkan
adanya standar tersendiri dalam dialek ter-
(5a) Ingkang mbiyantu nggih kanca kula se-kolah.
tentu. Hal itu tidak dapat disalahkan. Da-
(6a) Ngatos-otos ngasta niku mangke saged lam kaitan itu, kosakata krama desa hanya
dhawah. merupakan bagian dari dialek tertentu.
Beberapa contoh kalimat berikut dapat dija-
dikan pembanding (dialek Banyumas). 3.3 Pembentukan Kosakata Krama Desa
Sebagai ragam dialek sosial, kosakata di-
(7) Inyong wis karus tuku buku.
kembangkan dari ragam kromo yang dikro-
‘Saya sudah telanjur membeli buku.’
mokan atau ragam ngoko yang dipaksakan

141 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


menjadi kromo. Sebagaimana kita ketahui merupakan analogi bunyi ultima /ra/ (da-
bahwa hampir seluruh ragam kosakata lam ngoko) menjadi /nten/ pada kromo.
dalam bahasa Jawa dikembangkan dari ra- Atas dasar itu pula, terdapat perubahan-
gam ngoko sehingga terdapat pasangan perubahan ke dalam krama desa dari ragam
ngoko-kromo, pasangan ngoko-kromo-kra- ngoko maupun dari ragam kromo. Peru-
ma inggil, dan pasangan ngoko-krama inggil. bahan itu menginspirasi orang desa dalam
Selain itu, ada beberapa kosakata ngoko mengekspresikan hormatnya kepada orang
yang tidak memiliki pasangan. Kosakata lain. Perhatikan contoh berikut.
ngoko yang tidak memiliki pasangan dapat a) Pasangan kn-kd: neptu-nepdal terinspirasi
digunakan sebagai ragam ngoko, kromo, atas perubahan bunyi ultima /tu/ menjadi
atau krama inggil. Kosakata ngoko yang /dal/ pada pasangan kata ngoko-kromo:
tidak memiliki pasangan dapat disebut kra- metu-medal, wektu-wekdal.
ma ngoko (disingkat: kn). Bentuk kosakata b) Pasangan kn-kd: ngadi-adi-ngados-ados, wedi-
krama desa dikembangkan dari bentuk kro- wedos terinspirasi atas perubahan bunyi /di/
mo yang dikromokan lagi. Hasilnya disebut menjadi /dos/ pada pasangan ngoko-
hiperkromo. Sebaliknya, krama desa yang kromo: dadi-dados, kadi-kados, ladi-lados, wadi-
dikembangkan dari ngoko yang dipaksakan wados.
disebut kromo substandar. Ngoko yang c) Pasangan kn-kd: Cina-Cinten terinspirasi atas
dipaksakan menjadi kromo ini sebenarnya perubahan bunyi ultima /na/ menjadi
tidak memiliki pasangan kromo atau krama /nten/ pada pasangan ngoko-kromo: ana-
inggil atau yang disebut krama ngoko tadi, wonten, dina-dinten, rina-rinten.
yakni kosakata ngoko yang dapat digu- d) Pasangan kn-kd: mili-milet terinspirasi atas
nakan dalam ragam tutur kromo. perubahan bunyi ultima /li/ menjadi /let/
Hiperkromo: pada pasangan ngoko-kromo: keli-kelet.
enjing (k) enjang e) Pasangan kn-kd: Sura-Sunten, gapura-
jawah (k) jawoh gapunten terinspirasi atas perubahan bunyi
sari (k) santen ultima /ra/ menjadi /nten/ pada pasangan
sepuh (k) sepah ngoko-kromo: apura-apunten, pira-pinten,
tuwuh (k) tewah sagara-saganten, wicara-wicanten.
Kromo substandar: f) Pasangan kn-kd: pati-patos, kepati-kepatos
bingung (kn) benget terinspirasi atas perubahan bunyi ultima
/ti/ menjadi /tos/ pada pasangan ngoko-
mandi (kn) mandos
kromo: jati-jatos, ganti-gantos, gati-gatos,
mili (kn) milet ngertii-ngertos, piranti-pirantos.
ngaji (kn) ngaos
sarung (kn) sande g) Pasangan kn-kd: tlaga-tlagi, tuna-tuni
terinspirasi atas perubahan bunyi ultima
surup (kn) serap
/a/ menjadi /i/ pada pasangan ngoko-
rabuk (kn) rabet
kromo: agama-agami, coba-cobi, jaga-jagi,
Walaupun dianggap tidak baku, setelah muga-mugi, prayoga-prayogi, rega-regi.
ditelusuri ternyata kosakata krama desa me- h) Pasangan k-kd: sepuh-sepah terinspirasi atas
miliki sistem. Kata aksanten yang berasal perubahan bunyi ultima /uh/ menjadi /ah/
dari aksara (kn) muncul sebagai akibat ana- pada pasangan ngoko-kromo: Aungsuh-
logi atas konversi pasangan ngoko-kromo: mengsah, suguh-segah, kudu-kedah, butuh-betah,
pira-pinten, kira-kinten, suwara-suwanten, lungguh-lenggah.
apura-apunten. Perubahan yang dimaksud

Bentuk Krama Desa Dalam Bahasa Jawa 142


i) Pasangan kn-kd: wulang-wucal terinspi-rasi gaga (kn) -> gagi (kd) ‘gaga, jenis padi
atas perubahan bunyi ultima /ang/ menjadi ladang’
/cal/ pada pasangan ngoko-kromo: walulang- nama (k) -> nami (kd) ‘nama’
wacucal, ilang-ical, buwang-bucal.
Sistem perubahan vokal ini banyak
Masih banyak analogi perubahan bunyi dite-mukan dalam pembentukan kosakata
yang dijadikan dasar pembentukan kosa- kra-ma desa, baik yang berasal dari bentuk
kata ragam ngoko menjadi kromo. Peru- dasar n (ngoko) atau k (kromo). Di antara
bahan bunyi itu pada umumnya terjadi bentukan yang terjadi meliputi: nedhi ‘min-
pada bunyi suku kata terakhir (ultima). ta’, tedhi ‘makanan’, rawi ‘rawa’, setunggil
Pembentukan kata ragam kromo menjadi ‘satu’, tambi ‘jamu’, tanggi ‘tetangga’, tegil
kata ragam krama desa, atau kosakata krama- ‘ladang’, tlagi ‘telaga’, tuni ‘rugi’, ulami ‘ula-
ngoko menjadi krama desa oleh masyarakat ma’. Semua vokal /i/ yang ada terbentuk
desa terinspirasi oleh proses pembentukan dari vokal /a/.
kosakata ragam ngoko menjadi kosakata Di samping itu terdapat perubahan
ragam kromo seperti yang terjadi di atas. bentuk yang berupa perubahan vokal /a/
Pola pembentukan kosakata kd ternyata menjadi -> /i/ pada silabe awal.
bersifat teratur. Walaupun hanya analogi
abur (kn) -> iber (kd) ‘terbang’
atas pembentukan kosakata kromo dari
dasar ngoko. Kosakata kd dapat dibentuk c) Bunyi vokal /a/ menjadi /o/, seperti
atas dasar kosakata kromo atau ngoko (ter- pada:
masuk yang sebenarnya sudah memiliki semanten (k) -> semonten (kd)
pasangan kromo). Berikut proses pemben- ‘segitu’
jawah (k) -> jawoh (kd) ‘hujan’
tukan kd yang dibagi dalam tiga sistem,
yakni sistem fonologi, sistem morfologi, d) Bunyi vokal /a/ menjadi /u/, seperti
dan sistem leksikon. pada:
jawah (k) -> jawuh (kd) ‘hujan’
3.3.1 Sistem Fonologi e) Bunyi vokal /e/ menjadi /a/, seperti
Sistem fonologis perubahan bentuk menja- pada:
di kd dari dasar ragam tertentu dapat di- mungel (k) -> mungal (kd) ‘berbunyi’
perhatikan pada pola-pola berikut. ungel-ungelan (k) -> ungal-ungalan (kd)
a) Bunyi vokal /a/ menjadi /e/, seperti ‘ungkapan’
pada kata: ungel (k) -> ungal (kd) ‘bunyi’

marga (k) -> mergi (kd) ‘jalan’ f) Bunyi vokal /i/ menjadi /a/, seperti
kapal (k) -> kepel (kd) ‘kuda’ pada kata:
mangke (k) -> mengke (kd) ‘nanti’ tebih (k) -> tebah (kd) ‘jauh’
samanten (k) -> sementen (kd) ‘sekian’ benjing (k) -> benjang (kd) ‘besok’
enjing (k) -> enjang ‘pagi’
b) Bunyi vokal /a/ menjadi /i/, seperti sami (k) -> sama (kd) ‘sama’
pada kata:
g) Bunyi vokal /i/ menjadi bunyi /os/,
ama (kn) -> ami (kd) ‘hama’ seperti pada kata:
apal (kn) -> apil (kd) ‘hafal’ lali (kn) -> lalos (kd) ‘lupa’
aksama (k) -> aksami (kd) ‘maaf’ bekti (kn) -> bektos (kd) ‘hormat’
bangga (kn) -> banggi (kd) ‘melawan’ memedi (kn) -> memedos (kd) ‘hantu’
bawa (kn) -> bawi (kd) patri (kn) -> patros (kd) ‘pateri’
‘mulai/berangkat’ ranti (kn) -> rantos (kd) ‘tomat’
wedi (kn) -> wedos (kd) ‘takut’

143 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


srati (kn) -> sratos (kd) ‘sais’ lon (kn) -> len (kd) ‘pelan’
belo (kn) -> belet (kd) ‘anak kuda’
Sistem perubahan bunyi ini banyak
dite-mukan dalam pembentukan kosakata m) Bunyi ultima /ra/ menjadi /nten/, pada
krama desa, baik yang berasal dari bentuk kata:
dasar kn atau k (kromo). Perubahan bunyi gapura (kn) -> gapunten (kd) ‘gapura’
seperti ini juga terjadi pada /ih/ menjadi piyara (kn) -> piyanten (kd) ‘pelihara’
/os/ pada kata: Sura (kn) -> Sunten (kd) ‘Muharam’
patih (kn) menjadi patos (kd) ‘patih’. ukara (kn) -> ukanten (kd) ‘kalimat’
graji (kn) -> grantos (kd) ‘gergaji’ aksara (kn) -> aksanten (kd) ‘aksara’
kaji (kn) -> kaos (kd) ‘haji’
ngaji (kn) -> ngaos (kd) ‘mengaji’ n) Bunyi ultima /ra/ menjadi /wis/, pada
aji (kn) -> aos (kd) ‘berharga’ kata:
watara (k) -> watawis (kd) ‘antara’
h) Bunyi yang mengandung konsonan /j/ ara-ara (kn) -> awis-awis (kd) ‘tanah
(-ja, -jan, -jeg) menjadi bunyi /os/, lapang’
seperti pada kata: kara (kn) -> kawis (kd) ‘kara, jenis
sayur’
waja (k) -> waos (kd) ‘gigi’
sanajan (k) -> sinaos/senaos (kd) Perubahan bunyi seperti ini berimbas pada
‘walaupun’ kata warangan (kn) yang menjadi awisan (kd)
pajeg (kn) -> paos (kd) ‘pajak’ ‘warangan, cairan pembersih keris’ atau
i) Bunyi ultima /li/ menjadi /ngsul/, pada larangan (kn) menjadi awisan (kd) ‘larangan’.
kata: o) Bunyi ultima /ri/ menjadi /nten/, pada
kendhali (kn) -> kendhangsul (kd) ’tali kata:
kekang’ kori (k) -> konten (kd) ‘pintu’
kuwali (kn) -> kuwangsul (kd) ‘belanga’ negari (k) -> neganten (kd) ‘negara’
Perubahan bunyi ini berimbas pada ultima mori (kn) -> monten (kd) ‘kain mori’
/le/ pada kata kedhele (kn) yang berubah Perubahan itu berimbas pada kata muring
menjadi kedhangsul (kd) ’kedelai’. (kn) menjadi munten (kd) ‘marah’. Di sam-
j) Bunyi ultima /li/ menjadi /nten/, pada ping itu terdapat perubahan bunyi ultima
kata: /ri/ menjadi /ntun/ seperti pada kata:
tumuli (k) -> tumunten (kd) ‘segera’ lemari (kn) -> lemantun (kd) ‘almari’
nuli (kn) -> nunten (kd) ‘lalu, nyari (kn) -> nyantun (kd) ‘mengukur
selanjutnya’ dengan jari’
sari (kn) -> santun (kd) ‘sari’
k) Bunyi ultima /na/ menjadi /nten/, pada
kata: p) Bunyi ultima /rung/ menjadi /nde/, pa-
karana (kn) -> keranten (kd) ‘karena’ da kata:
kulina (kn) -> kulinten (kd) ‘terbiasa’ warung (kn) -> wande (kd) ‘warung’
sarung (kn) -> sande (kd) ‘sarung’
Perubahan yang mengandung bunyi
/n/ menjadi /nt*n/ juga terjadi pada kata q) Bunyi vokal /u/ menjadi /a/, pada kata:
dene (kn) menjadi denten (kd) ‘akan tetapi’, tempuh (kn) -> tempah (kd) ‘tempuh’
glepung (kn) -> glepang (kd) ‘tepung’
atau kata wani (kn) menjadi wantun (kd)
glugu (kn) -> glega (kd)
‘berani, mau’.
‘batang pohon kelapa’
l) Bunyi ultima /o/ menjadi /e/, pada kata: terus (kn) -> teras (kd) ‘terus’
menika lho (k) -> menika lhe (kd) ‘itulah’ sepuh (k) -> sepah (kd) ‘tua’

Bentuk Krama Desa Dalam Bahasa Jawa 144


tuwuh (k) -> tewah (kd) ‘tumbuh’ a) Kontraksi
r) Bunyi vokal /u/ menjadi /e/, pada kata: Kontraksi merupakan pemendekan suatu
dudu (n) -> dede (kd) ‘bukan’ bentuk kebahasaan. Kontraksi juga terjadi
lumah (kn) -> lemah (kd) ‘tidur telentang’ dalam hal pembentukan kata ragam kd.
sumerep (k) -> semerep (kd) ‘mengetahui, Kosakata kd yang berupa hasil kontraksi
melihat, tahu’ terjadi pada bentuk dasar ragam kromo.
labuh (kn) -> labet (kd) ‘buang ke laut’
gawa (n), bekta (k) -> beta (kd) ‘membawa’
labuhan (kn) -> labetan (kd) ‘kur-ban’
akon (n), aken (k) -> ken (kd) ‘suruh’
s) Bunyi vokal /u/ menjadi /i/, pada kata: isih (n), taksih (k) -> tesih (kd) ‘masih’
susah (kn) -> sisah (kd) ‘sedih’ lima (n), gangsal (k) -> gasal (kd) ‘lima’
tamu (k) -> tami (kd) ‘tamu’ tali (n), tangsul (k) -> tasul (kd) ‘tali’
kaum (kn) -> kaim (kd) ‘petugas agama, tenan (n), yektos (k) -> yetos (kd)
golongan’ ‘sungguh’
kumbah (n) -> kimbah (kd) ‘cuci’ ngising (n), bebucal (k) -> mbucal
namung (k) -> naming (kd) ‘hanya’ (kd) ‘berak’
t) Bunyi vokal /u, u/ dalam sebuah kata Ada kemiripan bentuk antara kd dengan
menjadi /e, a/, pada kata: kosakata ragam madya, terutama dalam hal
dhukuh (kn) -> dhekah (kd) ‘desa’ hasil pemendekan bentuk. Kosakata ragam
gupuh (kn) -> gepak (kd) ‘segera, madya pada umumnya juga merupakan
secepatnya’ kromo yang diperpendek bentuknya, seperti
surup (n) -> serap (kd) ‘sore hari’ pasangan ngoko-kromo-madya berikut:
tutuh (kn) -> tetah (kd) ‘dakwa, potong’
tuwuh (kn) -> tewah (kd) ‘tumbuh’ aja-sampun-ampun ‘jangan’
brubuh (kn) -> brebah (kd) ‘tebang’. ana-wonten-onten ‘ada’
iya-inggih-nggih ‘ya’
Tidak selamanya ragam kd dibentuk dari menyang-dhateng-teng ‘ke’
dasar k bagi kosakata yang memiliki pa-
Leksikon kosakata madya sebagian be-
sangan ngoko-kromo. Beberapa kosakata
sar berupa kata tugas. Jadi, di dalam per-
kd justru dibentuk dari dasar ngoko walau-
bendaharaan kata-kata madya itu terdapat
pun memiliki pasangan kromo.
tamba (n), jampi (k) -> tambi (kd) ‘jamu’ jenis kata kerja bantu seperti ajeng ‘akan’,
biyen (n), rumiyin (k) -> siyen (kd) pun ‘sudah’; pronominal personal seperti
‘dahulu’ samang ‘kau’, kiyambake ‘dia’; pronominal
wedi (n), ajrih (k) -> wedos (kd) ‘takut’ penunjuk seperti niki ‘ini’, niku ‘itu’, nika
wani (n), purun (k) -> wantun (kd) ‘itu’; pronominal dengan peran seperti pri-
‘berani’ pun ‘bagaimana’, napa ‘apa’. Namun, ragam
leren (n), kendel (k) -> lereb (kd) ‘istirahat’ madya tidak memiliki kosakata yang berupa
karo (n), kaliyan (k) -> kalih (kd) ‘dengan’ kata penuh seperti kata benda, kata kerja,
dudu (n), sanes (k) -> dede (kd) ‘bukan’ atau kata sifat (Poedjosoedarmo, 2013: 39).
kumbah (n), girah (k) -> kimbah (kd) ‘cuci’
b) Perluasan
3.3.2 Sistem Morfologi
Perluasan merupakan salah satu cara pem-
Pembentukan kosakata kd juga dilakukan
bentukan kd. Realisasinya diwujudkan
dengan sistem morfologi, yakni perubahan
dengan menambahkan unsur tertentu, mi-
bentuk morfem dengan cara-cara morfologis.
salnya morfem terikat atau unsur tambahan
lain.

145 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


godhong (n), ron (k) -> rondhon (kd) isih (n), taksih (k) -> masih (kd)
‘daun’ (diduga berasal dari kata masih)
ben (kn) -> emben (kd) ‘biar’
Selain kosakata umum seperti yang
rewang (n), rencang (k) -> rencangan
(kd) ‘pembantu’ telah disebutkan di atas, kosakata krama desa
wajan (n), waos (k) -> waosan (kd) berkembang pada bentuk bentuk-bentuk
‘penggorengan’ majemuk, nama tempat/wilayah, bahkan
nama orang.
c) Perubahan lain (perulangan dan per-
ubahan nasal aktif) 3.4 Bentuk Lain Krama Desa
amit (kn) -> amit-amit (kd) ‘permisi’
3.4.1 Bentuk-Bentuk Majemuk
ndhewe (n), miyambak (k) -> ngiyambak (kd)
Bentuk majemuk merupakan bentuk yang
‘menyendiri’
terdiri atas dua kata atau lebih dengan
3.3.3 Sistem Leksikon makna baru. Peng-kramadesa-an yang
Bentuk-bentuk kosakata kd juga meru- terjadi berpotensi pada salah satu atau ke
pakan leksikon dengan bentuk baru. Ben- semua unsurnya. Peng-kramadesa-an unsur
tuk-bentuk baru itu tidak memiliki bentuk ini beranalogi pada proses pembentukan
dasar sebagai dasar dari perubahan. kromo dalam pasangan ngoko-kromo. Be-
berapa contoh dapat dilihat pada data be-
dudu (n), sanes (k) -> lintang (kd) ‘lainnya’ rikut.
adhi (kn) -> rayi (kd) ‘adik’
anak (kn) -> yoga (kd) ‘anak’ kancing ukel (kancing gelung)
banjur (n), lajeng (k) -> nunten (kd) ‘lalu’ lambang santun (lambang sari)
bantal (kn) -> lempir (kd) ‘bantal’ lambang sekar (lambang sari)
dalan (n), margi (k) -> radinan (kd) pejah latu (pati geni)
‘jalan’ toya raos (toya rasa)
dhuwit (n), arta (k) -> redana (kd) ‘uang’ toya tawi (toya tawa)
embuh (n), kilap (k) -> kirangan (kd) wotsantun (wotsari)
‘entahlah’ Yang harus diperhatikan dalam ben-
jagung (kn) -> boga (kd) ‘jagung’
tuk-bentuk ini ialah unsurnya. Bentuk ma-
kedhele (kn) -> dhekeman (kd) ‘kedelai’
jemuk minimal terdiri atas dua unsur. Ben-
wurung (kn) -> sande (kd) ‘batal’
tuk ini sebenarnya merupakan bentuk beku
Leksikon kd berikut diduga berasal dari atau idiom. Sebagaimana diketahui bahwa
bentuk lain. Bentuk lain itu berupa peng- idiom bersifat tetap, tidak dapat diubah/
kromoan dari sifat benda tertentu, atau diganti unsurnya, atau dibalik distribusinya.
pengkromoan dari dasar tertentu. Karena terdapat hal-hal yang menyimpang
lawon (kn) -> pethakan (kd) ‘mori’ dari konsep idiom, bentuk-bentuk majemuk
kuningan (kn) -> jeneyan (kd) ‘kuningan’ tadi dapat dikatakan sebagai bentuk yang
kepati (kn) -> kepejah (kd) ‘(tidur) tidak standar. Ketakstandaran itu disebab-
lelap’ kan oleh berubahnya salah satu atau kedua
Beberapa leksikon kd diduga berasal dari unsur menjadi kromo, atau hiperkromo.
bahasa Indonesia sebagai berikut. Kesalahan karena pengkromoan dapat di-
lihat pada, misalnya, toya raos. Bentuk itu
pring (n), deling (k) -> bambu (kd) ‘bambu’ berasal dari toya rasa. Toya ‘air’ beragam
wiwit (kn)-> milai (kd) (diduga berasal
kromo, rasa ‘rasa’ beragam ngoko. Dalam
dari kata mulai)
majemuk itu unsur rasa (ngoko) dikromo-
wiwitan (kn) -> milaen (kd)
(diduga berasal dari kata mulai) kan menjadi raos (kromo). Tidak ada pe-

Bentuk Krama Desa Dalam Bahasa Jawa 146


nyelewengan pada perubahan bentuk rasa beranalogi pada pembentukan pasangan
menjadi raos karena memang seperti itu ngoko-kromo. Bentuk-bentuk itu memiliki
pasangannya. Penyelewengan terjadi justru kemiripan perubahan ragam sebagaimana
setelah menjadi bentuk majemuk. Oleh bentuk majemuk.
karena itu, bentuk itu dianggap krama desa.
Kedua, kesalahan karena perubahan men- 3.4.3 Nama Orang
jadi hiperkromo pada salah satu unsurnya, Ada kalanya nama orang juga diperhalus
misalnya toya tawi. Seperti diketahui, kata dengan krama desa. Hal ini jarang terjadi,
toya ‘air’ itu berupa ragam kromo, tetapi tetapi tetap ada. Di dalam syair macapat
kata tawa ‘mentah, tawar’ itu sebenarnya kita dapat menemukannya, misalnya, Anta-
sudah merupakan ragam krama ngoko. Seba- santun (Antasari), Jayeng Sastra (Jaya Sas-
gaimana diketahui bahwa ragam krama tra), Prabu Pantunkesit (Prabu Parikesit).
ngoko dapat digunakan dalam bentuk ngo- Berdasarkan contoh-contoh itu, pembaca
ko atau kromo karena tidak memiliki pa- diharapkan dapat memahami infor-masi
sangan ragam lainnya. Bentuk tawi ‘men- jika menemukan variasi kosakata yang
tah’ merupakan hiperkromo bentuk tawa. semacam itu di dalam teks (terutama teks
Oleh karena itu, majemuk ini dapat dikata- lama). Kosakata semacam itu tidak perlu
kan sebagai ragam krama desa. lagi dianggap sebagai kosakata sukar, yang
sulit diterjemahkan.
3.4.2 Nama Tempat
Sering kali nama tempat juga menjadi sa- 3.5 Krama Desa sebagai Ragam Tutur
saran pengkromoan. Padahal, tidak seha- Pada prinsipnya krama desa adalah ragam
rusnya seperti itu. Orang desa mengira kromo. Berikut beberapa kalimat yang
bahwa nama tempat yang dikromokan da- menggunakan ragam krama desa.
pat memperhalus bahasanya di hadapan (10) Pangestu sampeyan inggih wilujeng. So-wan
orang lain. Selain orang desa, kasus seperti kula nglapuraken kagungan sampe-yan
ini juga sering terjadi pada syair tembang pantun gagi. Sapunika sampun sepah.
macapat. Karena tuntutan konvensi tem- ‘Karena doa restu Anda, saya baik-baik
bang, penulis macapat sering mengguna- saja. Kedatangan saya untuk melaporkan
kan variasi kata seperti halnya penggunaan bahwa padi gaga Anda sekarang sudah
dasanama. Berikut beberapa contoh nama bisa dipanen.’
tempat yang dibuat krama desa. (11) Boganipun: dereng, dhekemanipun kados
Bajulkesupen (Boyolali) sapeken engkas sepah. ‘Jagungnya sudah,
Cinten (Cina) kedelainya kira-kira seminggu lagi tua
Kawisenggal (Karanganyar) (bisa dipanen).’
Majapisang (Mojogedang) (12) Kula dhawahi watesan, nanging boten
Matawis (Mataram) ngekap, amargi kabenan pejah sadaya.
Semawis (Semarang) ‘Saya tanami semangka, tetapi tidak da-
Surabanggi (Surabaya) pat dipanen karena mati semua terkena
Tingalarum (Mataram) banjir.’
(13) Dereng kula tanemi punapa-punapa, manah
Pada kasus nama tempat yang terdiri
kula taksih gojag-gajeg kemawon, mangke gek
atas dua kata atau lebih, pengkromoan ka- taksih wonten bena malih.
dang dikenakan pada salah satu unsur na- ‘Belum saya tanami apa pun, saya masih
ma, tetapi kadang pada seluruh unsur na- ragu-ragu jangan-jangan masih banjir
ma. Dasar-dasar peng-kramadesa-an juga lagi.’

147 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016


(14) Inggih sandika, punika wau bal sampeyan
tiyang estri nyaosi angsal-angsal ulig ka- 4. Simpulan
lihan ambetan. Ragam krama desa merupakan bahasa yang
‘Siap, itu tadi pembantu Anda (istri saya) digunakan oleh masyarakat sehari-hari.
menitipkan oleh-oleh kue dan durian.’
Walaupun kosakata yang digunakan ada-
Kalimat-kalimat di atas dikutip dari lah kosakata yang tidak standar, peng-
dialog (dalam Serat Urapsari, 26—28) yang gunaan ragam itu tidak patut dipersalahkan.
dilakukan oleh seorang pembantu kepada Ragam krama desa digunakan untuk tujuan
majikannya. Kalimat yang disampaikan menghormati lawan bicara seperti ragam
oleh majikan menggunakan ragam tutur kromo/ krama inggil. Kosakata yang digu-
ngoko tidak dikutip, sedangkan kalimat nakan dibentuk atas dasar sistem yang ter-
pembantu yang menggunakan ragam tutur atur, beranalogi atas dasar pembentukan
krama desa dijadikan bahan pembicaraan ngoko menjadi kromo. Pola pembentukan
ini. Ragam tutur krama desa pada contoh di itu terwujud dalam 1) sistem fonologi, 2)
atas ditandai dengan ciri berikut. sistem morfologi, dan 3) sistem leksikal.
(a) Kosakata utama yang digunakan ada- Dalam bahasa Jawa (dialek Yogyakarta-
lah kosakata ragam kromo, dan bebe- Surakarta) penulis telah mengoleksi sekitar
rapa kosakata ragam krama desa. Kosa- 250-an kata bentuk krama desa, dalam ben-
kata yang ditemukan sebagai ragam tuk majemuk, nama tempat, dan nama
orang. Perubahan bentuk krama desa itu se-
krama desa meliputi gagi– gaga (k) ‘(jenis
padi) gaga’, sepah – sepuh (k) ‘tua’, bagian besar beranalogi dari perubahan
dhekeman – dhele (kn) ‘kedelai’, engkas – bentuk ngoko menjadi kromo. Bentuk dasar
malih (k) ‘lagi’, dan lain-lain. krama desa pada umum-nya bentuk ragam
kromo.
(b) Kata ganti yang dipakai dalam krama
desa seperti apa yang dipakai dalam Daftar Pustaka
bentuk kromo. Kata ganti O1 kula
Dwiraharjo, Maryono. 2001. Bahasa Jawa
dipakai juga sebagai kata ganti milik,
Krama. Surakarta: Pustaka Cakra.
dan pengganti ater-ater {tak-} atau {dak-
} yang masing-masing penulisannya Gina, dkk. 2015. Puspa Rinonce. Yogyakarta:
terpisah menjadi kata tersendiri, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebu-
sowan kula ‘kedatanganku’, kula dha- dayaan Balai Bahasa Provinsi Daerah
wahi ‘saya tanami’. Untuk kata ganti O2 Istimewa Yogyakarta.
dipakai sampeyan ‘kamu’. Kata sampe- Haryana Harjawiyana dan Supriya. 2002.
yan juga dipakai sebagai kata ganti Kamus Unggah-ungguh Bahasa Jawa.
milik pengganti {–mu}. Penulisannya Yogyakarta: Kani-sius.
juga tidak dirangkai dengan kata yang
diterangkannya, seperti berkah sampeyan Padmasusastra. 1899. Warnabasa. Surakarta:
‘berkahmu’, pangestu sampeyan ‘doamu’, Albert Rusche & Co.
kagungan sampeyan ‘milikmu’. Padmosusastro. 1896. Urapsari. (Naskah Lama).
(c) Penggunaan akhiran {–(n)e}, dan {ake} Poedjosoedarmo, Soepomo dkk. 1979. Ting-
yang dipakai dalam bentuk kromo, kat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
yaitu {–(n)ipun} dan {–aken} seperti dhe- Pembinaan dan Pengembangan Ba-
kemanipun ‘kedelainya’, nglapuraken hasa Departemen Pendidikan dan
‘melaporkan’. Kebudayaan.

Bentuk Krama Desa Dalam Bahasa Jawa 148


------------------. 2013. Tingkat Tutur Bahasa
Jawa. Yogyakarta: Kementerian Pen-
didikan dan Kebudayaan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Ba-
hasa Balai Bahasa Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra
Djawa. Groningen, Batavia: J.B. Wol-
ters Uitgevers-Maatschappij N.V.
Sasangka, S.S.T. Wisnu. 2004. Unggah-Ung-
guh Basa Jawa. Jakarta: Yayasan Para-
malingua.
Sudaryanto. 1989. Pemanfaatan Potensi Baha-
sa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
----------------. 1993. Metode dan Aneka Teknik
Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan Secara Linguistik.
Yogyakarta: Duta Wacana University
Press.
Sumukti, Rukmantoro Hadi. 1971. Javanese
Morphology and Morpho-phonemics.
Disertasi Universitas Cornell.
Suharno, Ignatius. 1982. A Deskriptive Study
of Javanese. Canberra: Department of
Linguistics Research School of Pacific
Studies The Australian National Uni-
versity.

149 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 2, Desember 2016

Anda mungkin juga menyukai