Anda di halaman 1dari 10

KAJIAN AKSIOLOGIS TERHADAP TRADISI SAWER

DALAM PROSES PERNIKAHAN ADAT SUNDA

Ditulis oleh :

Elsya Dewi Arifah

(19/438789/FI/04585)

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2020
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk berbudaya, hal ini tentu tidak terkecuali manusia Indonesia.
Indonesia memiliki banyak sekali ragam budaya didalamnya, dimulai dari ragam bahasa, seni,
sampai upacara adat yang berbeda pada setiap suku yang ada di Indonesia. Memiliki upacara
adat yang berbeda-beda pada setiap suku membuat Indonesia sangat kaya akan kandungan
filosofis pada budayanya. Salah satu tradisi yang menyumbang keberagaman nilai filosofis
didalam budayanya adalah tradisi upacara pernikahan sawér pangantén didalam rangkaian
pelaksanaan upacara pernikahan adat dari masyarakat Sunda.
Masyarakat Sunda sendiri merupakan salah satu suku yang menetap didaerah Pulau Jawa,
berdampingan dengan suku Jawa yang menempati daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur serta
suku Betawi yang mendiami daerah Jakarta dan daerah sekitarnya. Suku Sunda merupakan
orang-orang yang berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang sering disebut
sebagai Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Suku Sunda sangat mudah diketahui karena
masyarakat Sunda secara turun temurun menggunakan bahasa ibu mereka yaitu bahasa Sunda
serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari. Suku Sunda juga memiliki bahasa yang berbeda
dari suku lainnya yang menempati pulau Jawa, bahasanya dikenal halus dan mendayu, seperti
melambangkan lembutnya masyarakat dari tanah Pasundan.
Selain perbedaan dalam bahasa, suku Sunda juga memiliki identitas diri kesundaan
sebagai ciri kepribadian dari orang Sunda, orang Sunda dikenal sangat mencintai dan menghayati
keseniannya. Dilihat dari bahasa, kesenian, dan sikap didalam kesehari-harian orang Sunda,
orang Sunda dapat digambarkan sebagai manusia yang optimis, suka dan mudah gembira,
memiliki watak terbuka, tetapi sering bersifat terlalu perasa (Koenjaraningrat, 1980). Sifat umu
tersebut juga tergambarkan didalam tradisi sawér pangantén yang menjadi salah satu dari sekian
banyak tahapan didalam upacara adat pernikahan Sunda. Didalam tradisi sawér pangantén
sendiri terdapat makna-makna didalamnya berupa permohonan maaf, nasihat, hubungan
percintaan, menghargai dan perhatian, dan mendoakan bagi pengantin baru.
Banyaknya makna-makna yang terkadung didalam sawér pangantén penulis ingin
menelisik lebih dalam lagi mengenai makna filosofis atau terdapatnya filsafat nilai didalam
tradisi sawér pangantén tersebut. Adapun rumusan masalah yang ditujukan didalam penulisan
makalah ini yaitu: Apa itu sawér pangantén dan kegiatan yang terdapat didalamnya? serta
bagaimana makna aksiologis sawér pangantén dalam rangkaian upacara adat pernikahan Sunda?
BAB II PEMBAHASAN
Aksiologi Secara Umum

Secara etimologi, aksiologi berasal bahasa Yunani yakni axios yang berarti sesuai serta
axia berarti nilai, dan logos berarti ilmu pengetahuan. Sehingga aksiologi dapat berarti ilmu
tentang nilai, ilmu yang mempelajari hakikat nilai terhadap suatu objek. Aksiologi atau filsafat
nilai sendiri merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai, baik itu
nilai etis, estetika, dan ketuhanan. Nilai yang dimaksudkan adalah sebuah kualitas yang terdapat
didalam suatu objek atau sesuatu yang menjadi pengemban/inang dari nilai itu sendiri. Kualitas
tersebut memberikan eksistensi bagi objek yang mengembannya. Nilai tidak menambah
substansi dari objek, nilai hanyalah nilai, sebuah kualitas yang tidak ril.
Karena nilai berupa kualitas yang membutuhkan pengemban dan bukan merupakan sifat
dari suatu objek, nilai bersifat parasitis yang dapat hidup bila didukung oleh sebuah objek ril
serta dapat membawa eksistensi sendiri pada benda itu (Frondizi, 2011). Nilai sebelum dianggap
ada didalam pengembannya, nilai tidak lain hanyalah sebuah “kemungkinan” yang tidak
memiliki eksistensi yang ril. Setelah mengetahui pembahasan aksiologi secara umum, penulis
ingin mencari nilai-nilai logis yang tedapat didalam salah satu rangkaian upacara pernikahan adat
suku Sunda sawér pangantén yang memungkinkan mengandung nilai etika, estetika, atau
ketuhanan didalam benda-benda serta syair yang terdapat didalamnya.
Sawér Pangantén di dalam Upacara Penikahan Adat Sunda
Upacara perkawinan adat Sunda perlu diketahui dibagi menjadi dua rangkaian upacara,
pada rangkaian pertama adalah upacara sebelum pernikahan, upacara ini dimaksudkan untuk
mematangkan kedua mempelai sebelum melaksanakan pernikahan. Lalu upacara setelah
pernikahan merupakan kegiatan untuk memantapkan penikahan yang telah dilaksanakan.
Adapun berbagai susunan didalam upacara pernikahan baik sebelum maupun setelah pernikahan
didalam upacara pernikahan adat sunda. Pada susunan upacara sebelum pernikahan adat suku
Sunda terdiri dari: neundeun omong (titip pesan), narosan (melamar), seserahan (menyerahkan
barang dan pengantin laki-laki), lengkahan (melangkahi kakaknya), ngecagkeun aisan
(menurunkan pangkuan), ngaras (memohon doa kepada orang tua dan kerabat), siraman
(memandikan pengantin), ngerik (membersihkan bulu-bulu di kening), dan ngeuyeuk seureuh
(mengolah, mengurus lembaran-lembaran sirih) (Supinah, 2006). Sedangkan pada susunan
upacara setelah pernikahan terdiri dari: sawér pangantén, nincak endog (menginjak telur), buka
pintu, huap lingkung (makan bersama), ngaleupaskeun japati (melepaskan merpati), dan numbas
(kenduri setelah seminggu menikah).
Seperti yang telah penulis sebutkan diatas, didalam rangkaian upacara pernikahan adat
sunda sawér pangantén terdapat didalam rangkaian upacara setelah pernikahan dilakukan. Sawér
atau nyawer berasal dari kata awer yang berarti air jatuh yang menyiprat atau air yang jatuh dari
cucuran atap. Sehingga, sawér pangantén dapat diartikan sebagai air jatuh yang menyiprat
kepada pengantin. Pengertian sawér pangantén terwujudkan dalam pelaksanaanya, sawér
pangantén dilakukan oleh seorang juru sawér yang melakukan saweran kepada pengantin. Juru
sawér melaksanakan sawéran di panyaweran atau tempat yang dimaksudkan seperti cucuran atap.
Juru sawér akan menyiprat-nyipratkan atau menaburkan benda-benda yang menjadi
perlengkapan sawer kepada pengantin dan para tamu yang menghadiri upacara pernikahan.
Sawér pangantén tidak hanya sebatas rangkaian didalam upacara pernikahan adat sunda,
tetapi juga memiliki makna didalamnya. Makna paling kontras didalam sawér pangantén adalah
nasihat atau petuah dari orang tua kedua mempelai. Nasihat dan petuah ini dimaksudkan agar
didengar tidak hanya untuk kedua mempelai pengantin, tetapi juga kepada para hadirin yang
menghadiri upacara pernikahan tersebut. Hal ini bermaksud agar hadirin yang datang ke upacara
pernikahan ikut mendapatkan limpahan doa dan rejeki karena mereka juga ikut serta dalam
mendoakan dan memeriahkan pernikahan kedua mempelai.
Aksiologis Didalam Sawér Pangantén

Tradisi sawér pangantén merupakan salah satu dari banyaknya rangkaian didalam
pernikahan adat Sunda. Prosesi sawér pangantén ini menjadi acara penambah semarak serta
kemeriahan pada saat melakukan prosesi pernikahan adat Sunda. Sawér pangantén tidak hanya
menjadi penambah semarak saja tetapi juga menjadi proses yang menghantarkan pengantin
dengan doa dan pesan penuh makna. Sawér pangantén memiliki banyak sekali simbol-simbol
serta makna filosofis didalamnya, baik didalam penggunaan benda-benda sawéran hingga
tembang atau syair yang digunakan didalam proses pelaksanaan sawér pangantén. Makna-makna
yang terdapat didalam sawér pangantén ini mengandung nilai aksiologis seperti nilai etika dan
religiusitas. Makna-makna tersebut juga menjadi cerminan terhadap kehidupan masyarakat
Sunda.
Sawér pangantén memiliki isi atau makna secara umum berupa nasihat, petuah, atau
wasiat dari para orang tua kedua mempelai yang diwakilkan oleh seorang juru sawer. Wasiat ini
dilakukan di tempat panyaweran. Kedua pengantin mengahadap kearah rumah tepat di dekat
panyaweran (genting/tempat turunnya air hujan), sedangkan juru sawer berada di teras rumah
atau dihadapan pengantin, orang tua kedua mempelai berada di belakang pengantin. Tata letak
ini melambangkan bahwa pengantin yang kini sudah berkeluarga akan berpisah dari rumah
kedua orang tua mereka, tempat berdirinya kedua orang tua mempelai melambangkan bahwa
mereka ikut mengantarkan pengantin baru menuju kebahagiaan bersama mereka. Kemudian,
terdapat payung agung di belakang pengantin yang dipegang oleh seorang laki-laki, payung
agung ini berguna memayungi kedua pengantin dari benda-benda sawér yang nantinya akan
dilemparkan oleh juru sawér setelah membacakan tembang.
Adapun benda-benda atau perlengkapan yang digunakan untuk menyawer pengantin.
Benda-benda ini semuanya bebentuk sebagai simbol atau siloka. Benda-benda tersebut antara
lain:
1. Beras, ini melambangkan kebahagian dari masalah pangan. Pengantin yang sudah lepas
dari tanggung jawab orang tua diharuskan hidup sejahtera seperti yang diharapkan oleh
semua orang. Perlambangan ini sejalan dengan pepatah oran Sunda berbunyi bro di panto
bru di juru ngalayah di tengah imah, yang memiliki arti banyak dengan kekayaan yang
diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pepatah tersebut menjadi doa bagi pengantin agar
banyak memiliki rejeki yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa disekitar mereka.
2. Sirih, sebagai lambang dari agar pengantin selalu rukun. Sirih ini biasa disebut sebagai
Leupit yang dilipat segitiga, berisikan kapur sirih, gambir, pinang, kapol, saga, dan
tembakau. Leupit atau sirih ini dimaksudkan agar kehidupan pengantin dalam berumah
tangga harus terbuka satu sama lain baik suami maupun istri, rukun serta damai agar
tercipta kerukunan didalam rumah tangga mereka. Kedua pengantin harus memiliki satu
ikatan, satu pendirian, satu kemauan, satu tujuan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan
bersama.
3. Koneng atau Kunyit, merupakan perlambangan dari emas sebagai lambang kemuliaan
bagi pengantin. Didalam menjalani kehidupan rumah tangga, pengantin harus seperti
kunyit atau dalam bahasa Sunda koneng. Hal ini berarti bahwa apayang ada di dalam hati
haruslah sama dengan perkataan yang diucapkan, harus saling jujur satu sama lain dalam
berucap. Kunyit juga menjadi lambang sebagai obat yang bisa menyembuhkan bila suami
atau istri berada didalam kesedihan.
4. Bunga-bungaan, melambangkan keharuman dan keindahan. Penggunaan bunga-bunga
didalam sawér pangantén dimaksudkan sebagai harapan orang tua kepada anak-anak
mereka kepada dua mempelai agar memiliki nama yang harum, memiliki perilaku yang
baik, berpengetahuan baik agar dapat hidup sebagai manusia yang dapat bermanfaat
secara lahir dan batin, serta senang membantu dan memberi rejeki kepada orang lain yang
membutuhkannya.
5. Permen, sebagai lambang bahwa kehidupan rumah tangga pengantin harus rukun dam
tentram sehingga disukai oleh semua orang. Bila dikaitkan dengan ungkapan didalam
bahasa Sunda pengatin haruslah amis budi yang berarti harus memiliki budi yang baik
atau manis kepada semua orang. Rumah tangga kedua mempelai juga harus memanis,
didasari keharmonisan keluarga yang luwes, tidak monoton, penuh dengan inovasi, serta
untuk menggapai kebahagiaan bersama-sama.
6. Uang, uang yang digunakan didalam benda-benda sawér pangantén dapat berupa uang
recehan logam ataupun uang kertas. Uang ini melambangkan kehidupan dunia, harta,
serta rejeki bagi pengantin. Pengantin dalam menjalankan kehidupan baru mereka yang
sudah terlepas dari tanggung jawab kedua orang tua harus bisa mencari rejeki mereka
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Tetapi, jangan pernah melupakan kewajiban
untuk memberikan rejeki atau sedekah kepada orang yang membutuhkan seperti yang
diperintahkan oleh agama.
7. Payung, selain sebagai benda pelindung pengantin dari benda-benda sawéran, payung ini
memiliki makna bahwa kuasa Tuhan Yang Maha Esa selalu menaungi kehidupan
manusia. Ketika mendapatkan kebahagiaan atau kesedihan, manusia harus tetap memiliki
keyakinan serta tetap memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu
memayungi manusia didalam lindungan-Nya.
Selain benda-benda yang digunakan dalam prosesi sawér pangantén, saat melaksanakan
sawér pangantén terdapat pelantunan pupuh atau dangding yaitu syair yang beriisikan doa serta
nasihat yang diharapkan oleh keluarga pengantin. Pupuh sendiri memiliki tujuh belas jenis,
empat diantaranya termasuk dalam sekar ageng sedangkan tiga belas lainnya termasuk dalam
sekar alit. Didalam pelaksanaan sawér pangantén biasanya menggunakan pupuh sekar ageng,
penggunaan pupuh sekar ageng sebagai syair dalam melakasanakan sawér pangantén karena
pupuh dalam sekar ageng memiliki makna nasihat, ketuhanan, saling mengasihi, saling
menyayangi, dan banyak ajaran-ajaran moral didalamnya. Pelantunan pupuh ini sebagai media
nasihat serta harapan yang diucapkan secara lisan oleh juru sawer agar kedua mempelai dapat
menjalani kehidupan berumah tangga dengan sejahtera dan bahagia sesuai dengan keinginan
orang tua mereka serta sesuai dengan ajaran agama.
Berikut contoh sebagian dari syair pembuka yang dibacakan saat melaksanakan sawér
pangantén:
Bismillah ngawitan ngidung Muntang ngeumbing ka Yang Widi
Nyebat asma Maha Suci Hirup sing gede bagjana
Maha Welas, Maha Asih Sing soleh sarta walagri
Cunduk waktu nurhayu Jauh tina panaca bahla
Niti wanci nu mastari Hirup hurip nu utami
Hidep nalikeun duriat
Ngaitkeun asih birahi Ganjaran ti Maha Suci
Tumut parentah Pangeran Enggal atuh geura tampi
Gusti nu Maha Kawasa Ayeuna eulis ngahiji
Nu munajat siang wengi Sakapeurih sakanyeri.
Sangkan kang putra waluya Pertikahan eta sumpah
Siang pinareng wengi Ditalian ku sahadat
Ulah rek di mumurah
Prung anaking geura manggung Ulah nikah ngumbar napsu
Didoakeun beurang peuting Lamun geus mimiti layu
Geus tandang cumarita Oncomeos cala-culu
Neneda ka Maha Suci
Ginanjar kawilujengan Ulah nyaah sabot geulis
Amin ya robbal allamin Diilo dieulis-eulis
Mugi Gusti nangtayungan Jadi murag bulu bitis
Ulah melang sabot monyas
Ya Allah Nu Maha Agung Lamun geus pias koneas
Neda welas asih Gusti Sigana sagala luas
Dilelerkeun ka pun anak Lugina dunya aherat
Nu kiwari nitih wanci Gusti maparinan rahmat
Dahup bada diakadan jadi laki rabi Kana waktu ulah elat
Neneda ka Maha Agug Disarengan silih hormat
Silih hormat ka sasama Lila-lila bau hagit
Sing nyaah ka ibu rama Rabig jadi enggon reungit
Lakonan parentah agama Anyaran madep satia
Tangtuna hirup sugema Lila-lila bet sulaya
Anyaran mah sarareungit Ka caroge sua-sia (Masduki, 2015)

a. Nilai Ketuhanan

Nilai Ketuhanan pada syair yang terlantun saat melaksanakan tradisi sawér pangantén
sangat terasa nilai ketuhanan atau keagamaan didalamnya. Dapat dilihat didalam syair yang
tercantum sebelumnya:
Tumut parentah Pangeran (Mengikuti perintah Allah)
Gusti nu Maha Kawasa (Allah Yang Maha Kuasa)
Nu munajat siang wengi (Tempat meminta siang malam)
Sangkan kang putra waluya (Agar sang putra mendapat kemuliaan)
Siang pinareng wengi (Siang dan malam)
Prung anaking geura manggung (Segeralah anakku laksanakan)
Didoakeun beurang peuting (Didoakan siang dan malam)
Geus tandang cumarita (Sudah tiba saatnya)
Neneda ka Maha Suci (Memohonlah kepada Yang Maha Suci)
Ginanjar kawilujengan (Agar mendapat keselamatan)
Amin ya robbal allamin (Amin ya robbal allamin)
Mugi Gusti nangtayungan (Semoga Allah melindunginya)
Dari potongan syair tersebut dapat telihat secara jelas bahwa nilai-nilai ketuhanan sangat
tergambarkan dengan jelas. Bait tersebut menjelaskan bahwa perbuatan pernikahan
merupakan perintah yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Barangsiapa yang melakukan
perintah Allah SWT niscaya akan mendapatkan kemuliaan darinya. Selanjutnya, dalam
melaksanakan perintah pernikahan tersebut memohonlah keselamatan, kesejahteraan, serta
kebahagiaan kepada Yang Maha Kuasa. Dari potongan syair yang belum selesai itu juga
memberikan nasihat bahwa dalam menjalankan kehidupan janganlah melupakan kewajiban
beribadah kepada-Nya agar hidupnya mendapatkan rahmat dari-Nya. Tidak hanya kewajiban
untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga kewajiban selalu hormat kepada
sesama manusia terlebih kepada orang tua.
Hal ini sangat mencerminkan tradisi masyarakat adat Sunda yang sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai keagamaan, khususnya agama Islam yang telah hidup didalam masyarakat Sunda
sejak zaman kerjaan-kerajaan yang menguasai sebagaian besar Tanah Pasundan. Sehingga
sulit kiranya memisahkan adat dan ajaran agama didalam kebudayaan Sunda, karena kedua
unsur tersebut terjalin erat satu sama lain menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan Sunda
(Koentjaranigrat, 1988).
b. Nilai Moral

Nilai moral terkandung didalam syair atau pupuh maupun benda-benda sawér pangantén.
Berikut beberapa potongan syair didalam sawér pangantén:
Mun akur ka sadayana (Kalau rukum kepada semuanya)
Tembongkeun budi basana (Perlihatkan budi bahasanya)
Nu bener tingkah polahna (Yang benar tingkah lakunya)
Supaya hirup sampurna (Supaya hidup sempurna)
Mungguh rumah tangga tangtu (Rumah tangga yang sebenarnya)
Lir kapal jero jaladri (Seperti kapal dalam samudera)
Garwa minangka layarna (Istri sebagai layarnya)
Carogé lir juru mudi (Suami seperti nahkoda)
Di lautan satujuan (Di lautan satu tujuan)
Sapapait samamanis (Harmonis dalam hidup)
Guguru ka lauk laut (Berguru kepada ikan di laut)
Sanajan caina asin (Walaupun airnya asin)
Awakna teu katépaan (Tubuhnya tidak tertular (asin))
Mandiri dina pribadi (Mandiri dalam pribadi)
Mangpaat keur nu lian (Manfaat untuk yang lain)
Jadi pamungpungan asih (Jadi tempat berkasih sayang)
Dari potongan syair tersebut dapat terlihat nilai moral yang disugestikan oleh juru sawer,
seperti apa menjalani kehidupan yang baik bersama orang lain dan menjalin hubungan
dengan pasangan saat sudah menikah. Pernikahan sebagai bagian dari ibadah yang
diperintahkan Allah SWT merupakan permulaan dari kehidupan menjadi manusia yang lebih
baik. Pernikahan dilakukan berdua bersama pasangan, sehingga harus saling mengasihi,
menghormati, dan saling membantu satu sama lain agar kapal yang naiki bersama tidak
karam di tengah lautan. Pengantin baru juga harus bisa mandiri dalam menghadapi masalah-
masalahnya. Mereka kini hidup bersama, harus bisa menyelesaikan masalah bersama-sama.

BAB III KESIMPULAN


Sawér pangantén merupakan salah satu dari serangkaian upacara pernikahan adat Sunda.
Sawér pangantén berarti menyipratkan pegantin seperti air yang jatuh dari cucuran air didepan
rumah. Secara kegunaan sawér pangantén sebagai proses mengantarkan pengantin menuju
kehidupan baru mereka sebagai sepasang suami-istri. Kedua pengantin diantarkan menuju dunia
baru yang sudah lepas dari tanggung jawab kedua orang tua mereka. Proses sawér pangantén ini
dipimpin oleh seorang Juru sawér. Juru sawér ini bertugas sebagai penebar benda-benda sawér
kepada pengantin, pembaca pupuh, serta menjadi perlambangan orang tua kedua mempelai
dalam pelaksanaan sawér pangantén. Sawér pangantén dilakukan didepan rumah, lebih tepatnya
dibawah cucuran air hujan di depan rumah. Makna dari sawér pangantén ini adalah pemberi
nasihat dan doa bagi kedua mempelai, seperti mengucurkan air ke tanah.

Didalam sawér pangantén terdapat benda-benda perlengkapan yang digunakan dalam


menjalankan proses sawér pangantén. Benda-benda perlengkapan tersebut antara lain: beras,
sirih, kunyit, bunga-bungaan, uang kertas atau logam, permen, serta payung. Masing-masing dari
benda tersebut memiliki maknanya masing-masing. Makna yang terkandung didalam benda-
benda tersebut menjadi simbol dalam menasihati pengantin. Selain benda-benda, didalam
pelaksanaan sawér pangantén juga terdapat pupuh atau syair yang harus dibacakan saat
menyebarkan benda-benda sawer kepada kedua mempelai. Syair-syair ini juga memiliki makna
nasihat, doa, serta kebaikkan didalamnya untuk diberikan kepada pengantin.

Didalam syair-syair yang dilantunkan oleh Juru sawér, terdapat didalamnya nilai-nilai
berupa nilai ketuhanan dan nilai moral. Nilai ketuhanan yang terdapat didalam syair tersebut
adalah bahwa pernikahan merupakan perintah dari Gusti Allah Yang Maha Esa. Setiap umatnya
diperintahkan untuk menjalankan perintahnya untuk mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Dalam
menjalankan pernikahan juga kedua mempelai dinasihati untuk tidak melupakan ke-Esaan Sang
Pencipta untuk terus memohon kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan dalam hidup
berumah tangga dan didalam masyarakat.

Kemudian nilai moral yang terkandung didalamnya adalah nasihat untuk saling
menghormati dan menghargai satu sama lain. Baik kepada pasangan ataupun kepada orang lain.
Selain itu juga kedua mempelai harus saling bekerja sama dalam membangun rumah tangga
mereka. Tidak ada yang saling memusuhi atau saling membenci. Rumah tangga dibangun seperti
sedang berlayar dengan kapal di tengah Samudera luas. Sehingga kedua insan yang berada
didalamnya harus saling melengkapi, menghargai, menghormati, dan saling mengasihi satu sama
lain.

Sawér pangantén didalam upacara pernikahan adat Sunda ini sangat kaya akan nilai-nilai
ketuhanan dan moral didalamnya. Nilai-nilai ini tidak dapat lepas dari watak masyarakat Sunda
yang memang sangat menjunjung tinggi kekerabatan serta sangat taat kepada ajaran agama Islam.
Tradisi ini selalu dilakukan didalam upacara pernikahan adat Sunda sejak dahulu nenek moyang
masyarakat Sunda pertama kali melakukannya.
Daftar Pustaka
Frondizi, Risieri. (2011). Pengantar Filsafat Nilai (edisi terjemahan). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Koentjaraningrat. (1988). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Logita, Embang. (2019). Lagu Saweran dalam Pernikahan Adat Sunda dan Pelestariannya
Sebagai Bahan Ajar Bahasa Indonesia Serta Bahan Ajar Pelatihan Ekstrakulikuler.
SEMANTIKS: Kajian Linguistik pada Karya Sastra. hal 182-193. ISBN: 978-623-90740-6-
7

Masduki, Aam. (2015). Sawer Panganten Tuntunan Hidup Berumah Tangga Di Kabupaten
Bandung. Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung. Vol. 7 No. 3. Hal. 431-444.

Sulistian, Andri Tri. (2018). Tradisi Nyawer Panganten Sebagai Bahan Ajar Bahasan Budaya
Sunda di SMA. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda SPs UPI vol. 9 no.1. hal 11-23

Supinah, P. (2006). Sawer: Komunikasi Simbolik pada Adat Tradisi Suku Sunda dalam Upacara
Setelah Perkawinan. Mediator: Jurnal Komunikasi, 7(1), 85–94.
https://doi.org/10.29313/mediator.v7i1.1225

Anda mungkin juga menyukai