KELOMPOK 4:
Kelas: 1PA13
SEJARAH SUKU JAWA
Asal usul suku Jawa tidak jauh berbeda dengan asal-usul orang Indonesia secara kese-
luruhan yaitu ketika ditemukannya fosil dari Homo Erectus yang juga dikenal dengan “Manusia
Jawa” oleh Eugene Dubois di Trinil. Ia merupakan ahli anatomi yang berasal dari Belanda. Fosil
yang ditemukan tersebut diperkirakan memiliki umur sekitar 700.000 tahun. Tidak lama berse-
lang, ditemukan juga fosil lainnya dari spesies yang sama di Sangiran oleh Gustav Heinrich
Ralph von Koenigswald pada tahun 1930. Dirinya menemukan perkasas yang jauh lebih maju
dibandingkan era sebelumnya. Diiperkirakan umur dari perkasas tersebut adalah 550.000 hingga
143.000 tahun.
Sedangkan, pada sebuah tulisan kuno memberikan sebuah kejelasan mengenai asal usul
nenek moyang suku Jawa yaitu ketika kedatangan aji saka. Akan tetapi, di dalam tulisan kuno
tersebut terdapat keterangan mengenai keadaan geologi pula Jawa dalam sebuah tulisan kuno
hindu yang menyatakan bahwa Nusa Kendang, nama pulau Jawa kala itu merupakan bagian dari
India. Sedangkan tanah yang saat ini dikatakan sebagai Kepulauan Nusantara merupakan daratan
yang menyatu dengan daratan Asia dan Australia yang kemudian terputus dan tenggelam oleh air
bah.
Sementara itu, di Babad Kuno, juga ditemukan sejarah yang samar mengenai suku Jawa.
Diceritakan bahwa ada Arjuna seorang raja dari Astina yang merupakan kerajaan yang ber-
tempay di Kling membawa penduduk pertama ke Pulau Jawa. Pada masa tersebut, pulau ini be-
lumlah mempunyai penghuni. Mereka kemudian mendirikan sebuah koloni yang letaknya tidak
disebutkan.
Sejarah lebih jelas akhirnya didapatkan ketika ditemukannya sebuah surat kuno yaitu Se-
rat Asal Kereaton Malang. Di dalam surat tersebut disebutkan bahwa Raja Rum yang merupakan
sultan dari negara Turki namun disurat lainnya disebut sebagai raja dari Dekhan mengirim
penduduk pertama pada 450 SM. Akan tetapi, penduduk yang dikirim tersebut menderita karena
adanya gangguan dari binatang buas. Karena hal tersebut, maka banyak dari penduduk yang
kembali pulang ke negara asalnya.
Lalu pada 350 SM Raja kembali mengirim perpindahan penduduk untuk kedua kalinya.
Perpindahan tersebut membawa 20.000 laki-laki dan 20.000 perempuan yang berasal dari Koro-
mandel. Perpindahan yang dipimpin oleh Aji Keler ini menemukan Nusa Kendang dengan data-
ran tinggi yang ditutupi oleh hutan lebat serta binatang buas. Sementara itu, di tanah datarnya
ditumbuhi oleh tanaman yang dinamakan jawi. Karena jenis tanaman tersebut ada di mana-mana
maka dirinya menamakan tanah tempat tersebut dengan nama “Jawi”. Nama tersebut yang
kemudian berlaku untuk nama keseluruhan Pulau Jawa.
KEHIDUPAN SUKU JAWA BERDASARKAN 7 UNSUR KEBUDAYAAN
MENURUT KOENTJARANINGRAT
1. Bahasa
Secara resmi, ada dua jenis bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa, yaitu:
1) Bahasa Lisan Suku Jawa
Suku Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Bahasa Jawa
memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan
bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat
dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyara-
kat.
Mayoritas orang Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Sebagian
lainnya menggunakan bahasa Jawa yang bercampur bahasa Indonesia. Bahasa Jawa bisa
dikatakan bahasa yang rumit karena selain memiliki tingkatan berdasarkan siapa yang diajak
bicara, bahasa Jawa juga memiliki perbedaan dalam hal intonasi. Aspek bahasa ini
mempengaruhi hubungan sosial dalam budaya Jawa. Bahasa Jawa sendiri memiliki berbagai
macam variasi dialek atau pengucapan. Pada dasarnya, dialek tersebut dibagi menjadi tiga ke-
lompok, yaitu:
Bahasa Jawa dialek Cirebon, dialek Tegal, dialek Banyumas dan dialek Bumiayu (dialek
barat).
Bahasa Jawa dialek Pekalongan, dialek Semarang, dialek Yogyakarta dan dialek Madiun
(dialek madya/tengah).
Bahasa Jawa dialek Surabaya, dialek Malang, dialek Jombang, dialek Banyuwangi (di-
alek timur).
Dalam bahasa Jawa, pada dasarnya terdiri dari 3 kasta bahasa, yaitu:
ü Ngoko (kasar)
ü Madya (biasa)
ü Krama (halus)
Dalam bahasa Jawa, penggunaan tingkatan bahasa tersebut tergantung status yang ber-
sangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain.
Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, na-
mun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil.
Sistem semacam ini masih dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya
cenderung kurang memegang erat tata tertib berbahasa semacam ini.
Terdapat juga bentuk bagongan dan kedhaton, yang hanya dipakai sebagai bahasa pengantar
di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap,
madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, dan kedhaton. Contoh kalimat:
Bahasa Indonesia, "Maaf, saya mau tanya rumah Budi itu, di mana?"
Ngoko kasar, “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng ndi?’
Ngoko alus, “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
Ngoko meninggikan diri sendiri, “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini di-
anggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama
inggil untuk diri sendiri)
Madya, “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa
(substandar)).
Madya alus, “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga
termasuk krama desa (krama substandar)).
Krama andhap, “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten
pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi
ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa).
Krama lugu, “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”.
Krama alus, “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pun-
di?”.
2) Bahasa Tulisan Suku Jawa
Aksara Jawa merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Ben-
tuk aksara dan seni pembuatannya menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan.
Aksara jawa disebut juga dengan nama aksara Legenda. Aksara Legena merupakan aksara Jawa
pokok yang jumlahnya 20 buah.
Setiap suku kata aksara Jawa mempunyai pasangan, yakni kata yang berfungsi untuk
mengikuti suku kata mati atau tertutup, dengan suku kata berikutnya, kecuali suku kata yang ter-
tutup oleh wignyan, cecak dan layar. Tulisan Jawa bersifat Silabik atau merupakan suku kata.
Sebagai tambahan, didalam aksara Jawa juga dikenal huruf kapital yang dinamakan Aksara
Murda. Penggunaannya untuk menulis nama gelar, nama diri, nama geografi, dan nama lembaga.
Hanacaraka atau dikenal dengan nama carakan atau cacarakan adalah aksara turunan aksara
Brahmi yang digunakan untuk naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Sunda,
bahasa Bali, dan bahasa Sasak.
Hanacaraka dikenal sebagai (tulisan Jawa atau abjad Jawa) ialah suatu sistem tulisan ab-
jad suku kata yang digunakan oleh orang Jawa untuk menulis dalam bahasa Jawa. Ia juga
digunakan di Bali, Sunda, dan Madura. Bahkan ditemukan pula surat-surat dalam bahasa Melayu
yang menggunakan tulisan Hanacaraka. Tulisan ini berasal daripada tulisan kawi yang mempu-
nyai asal-usul dari tulisan Brahmi di India. Hanacaraka dinamakan sedemikian kerana lima huruf
pertamanya membentuk sebutan "ha-na-ca-ra-ka". Hanacaraka juga boleh merujuk kepada ke-
lompok sistem tulisan yang berkait rapat dengan tulisan Jawa dan menggunakan susunan abjad
yang sama, iaitu tulisan Jawa sendiri, tulisan Bali dan tulisan Sunda.
Aksara Jawa Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi
menutup bunyi vokal, 8 huruf "utama" (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan
huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya,
beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan
beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada).
2) Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan Jawa, keturunan dari ibu dan ayah dianggap sama haknya, dan
warisan anak perempuan sama dengan warisan laki-laki, tetapi berbeda dengan banyak suku
bangsa yang lain, yang ada Indonesia. Misalnya, dengan suku-suku Batak di Sumatra Utara,
masyarakat jawa tidak mengenal sistem marga. Susunan kekerabatan suku jawa berdasarkan pa-
da keturunan kepada kedua belah pihak yang di sebut Bilateral atau Parental yang menunjukan
sistem penggolongan menurut angkatan-angkatan. Walaupun hubungan kekerabatan di luar
keluarga inti tidak begitu ketat aturannya, namun bagi orang Jawa hubungan dengan keluarga
jauh tetap penting.
3) Sistem Pernikahan
Menurut Prof. Dr. Koentjraningrat dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan di Indone-
sia, beliau menjelaskan bahwa pada masyarakat Jawa berlaku adat-adat yang menentukan bahwa
dua orang tidak boleh saling kawin apabila mereka itu saudara sekandung (pancer lanang), yaitu
anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki lebih muda menurut ibunya dari pihak wanita.
Ada macam-macam perkawinan lain dan yang diperbolehkan,yakningarang
wulu serta wayuh. Perkawinan ngarang wuluh adalah suatu perkawinan seorang duda dengan
seorang wanita salah satu dik dari almarhum isterinya. Jadi merupakan perkawinan sorotan.
Adapun wayuh ialah perkawinan lebih dari seorang istri (poligami).
Sebelum dilangsungkan peresmian perkawinan, jika seorang pria yang ingin kawin
dengan seorang gadis, pertama-tama harus datang ke tempat kediaman orang tua si gadis untuk
menanyakan kepadanya, apakah si gadis itu sudah ada yang punya atau belum (legan).
Selain itu ada juga upacara nontoni, yakni si calon suami mendapat kesempatan untuk
melihat calon isterinya. Apabila mendapat jawaban bahwa si gadis itu ternyata belum ada yang
memiliki dan kehendak hati akan mempersuntingkannya diterima, lalu ditetapkannya kapan di-
adakanpeningsetan. Ini adalah upacara pemberian sejumlah harta dari si laki-laki calon suami
kepada kerabat si gadis ialah orang tua atau walinya. Harta itu biasanya berupa sepasang pakaian
orang wanita lengkap, terdiri dari sepotong kain kebaya yang disebut sakpengadek. Kadang kala
ada yang disertai dengan sebuah cincin kawin. Dengan itu si gadis sedah terikat untuk melang-
sungkan perkawinan atau wis dipancangake.
Sebelumm upacara peningsetan, terlebih dahulu diadakan perundingan untuk membic-
arakan tanggal serta bulan perkawinan. Dalam perundingan ini perhitungan weton, ialah perhi-
tungan hari kelahiran kedua calon pengantin, berdasarkan kombinasi nama system perhitungan
tanggal Masehi dengan pehitungan tanggal sepasaran (atau mingguan orang Jawa), dan itu
merupakan suatu unsure yang amat penting dalam adat Jawa.
Dua atau tiga hari sebelum upacara pertemuan kedua pengantin, diselenggarakan
upacara asok-tukon. Ini adalah suatu tanda penyerahan harta kekayaan pihak laki-laki kepada
pihak wanita secara simbolis yang disaksikan oleh kerabat-kerabatnya. Asok-tukon biasa dise-
but srakah atau sasrahan yang merupakan tanda mas kawin.
1) Sistem Bangunan
Ada beberapa jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku Jawa, diantaranya adalah
rumah Joglo, rumah Limasan, dan rumah Panggang Pe. Umumnya rumah di daerah Jawa
menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka
atau pondasi rumah. Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari
bilik bambu, seiring dengan perkembangan zaman, banyak juga yang telah menggunakan dind-
ing dari tembok. Atap pada umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak
juga yang menggunakan genting.
2) Alat Transportasi
a. Andong/delman/dokar
Andong merupakan salah satu alat transportasi tradisional di Solo dan Yogyakarta dan
daerah-daerah di sekitarnya, seperti Klaten, Karanganyar, Boyolali, Sragen, dan Sukoharjo.
Keberadaan Andong sebagai salah satu warisan budaya Jawa memberikan ciri khas kebudayaan
tersendiri yang hingga kini masih terus dilestarikan, khususnya di Solo. Keberadaan Andong di
Solo difungsikan sebagai alat transportasi pengangkut barang-barang dagangan ibu-ibu dari
pedesaan menuju pasar-pasar tujuan. Selain berfungsi sebagai media pengangkut barang da-
gangan pasar, Andong juga tidak jarang berfungsi sesuai dengan aslinya sebagai alat transportasi
umum bagi masyarakat di Solo dan sekitarnya.
3) Peralatan Dapur
a. Kuwali
Kuwali atau dalam bahasa Indonesia disebut belanga, juga merupakan salah satu jenis
peralatan dapur yang sering dipakai oleh masyarakat Jawa di masa lalu. Kuwali sebagai alat
dapur ini pada umumnya juga dibuat dari tanah liat. Cara pengolahan atau pembuatan pun ter-
bilang sangat sederhana. Dengan teknik sederhana, tanah liat dicampur dengan sekam kemudian
dibentuk dalam cetakan piring kayu pipih yang dapat diputar. Tanah liat ditaruh di atas cetakan
tersebut lalu diputar dan dibentuk sesuai besar kecilnya gerabah. Ciri khas bentuk kuwali adalah
bagian pantatnya berbentuk cembung, diameter lebih dari 15 cm, lebar diameter bagian atas
hampir sama dengan bagian tengah kuwali, serta bagian tengah kuwali berbentuk bulat. Alat
yang mudah pecah ini biasa dipakai oleh masyarakat untuk memasak sayur. Kadang-kadang
dipakai untuk menanak nasi, memasak air, atau menggongso biji-bijian seperti kacang atau se-
jenisnya.
b. Cobek
Cobek adalah perkakas masak yang sering digunakan untuk menumbuk maupun mengha-
luskan berbagai bumbu masakan. Alat ini dapat terbuat dari batu kali, kayu, dan tanah liat.
Cobek sangat dibutuhkan bagi para ibu untuk menyajikan sambal maupun pelengkap masakan
lainnya. Dulu, alat ini biasa dimanfaatkan untuk menumbuk jamu, obat-obatan, dan lain se-
bagainya.
5. Sistem Religi
Mayoritas orang Jawa menganut agama Islam, sebagian yang lainya menganuti agama
Kristen, Protestan dan Katolik. Namun, ada beberapa masyarakat Jawa yang menganut agama
Buddha dan Hindu. Terdapat juga agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama
Kejawen. Kepercayaan ini pada dasarnya berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh
agama Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal kerana sifat asimilasi kepercayaanya,
dengan semua budaya luar diserap dan ditafsirkan mengikut nilai-nilai Jawa.
6. Sistem Pengetahuan
Pada tahun 1836, R.R diubah tanpa lagi menyebutkan masalah pengajaran. Baru pada pe-
rubahan tahun 1854 terdapat pasal 125 yang menyebutkan bahwa, “ pengakaran negeri adahlah
hal yang senantiasa menjadi perhatian gubernur jendral ”. Pasal ini kemudian ditambah penjela-
san dalam pasal 126, yang kira-kira berbunyi, “pemberian pengajaran bebas kepada anak-anak
Eropa” dan sedapat-dapatnya yang memenuhi keperluan penduduk bangsa Eropa” ( pasal 127).
Untuk anak-anak bumiputera, R.R pasal 128 berbunyi kurang lebih bahwa, untuk itu ada
beberapa bupati mendirikan “ sekolah-sekolah kabupaten ” yang diadakan hanya untuk mendidik
calon-calon pegawai. Dengan peraturan pemerintah kolonial Belanda, “ Reglement Yoor het in-
landsch onderwijs ” ( Pengaturan Pengajaarn untuk Bumiputera), didirikan sekolah guru di Sura-
karta yang kemudian dipindah ke Magelang, dan pada 1866 pindah ke Bandung. Secara berang-
sur-angsur kemudian didirikan sekolah-sekolah bumiputera yang terdiri atas tiga, sedangkan
gurunya dari week school, dibantu oleh tenaga lulusan Bumiputera, dengan mendapat pendidikan
tambahan. Tujuan dari pendidikan ini adalah “ Pendidikan Tenaga Pegawai Negeri dan Pemban-
tu Perusahaan Milik Pemerintah Kolonial Belanda. “
Dengan kesadaran bahwa pendikan dan pengajaran itu sebenarnya harus bersifat
memulihkan tumbuhnya benih-benih kebudayaan, tokoh-tokoh bangsa seperti R.A. Kartini, Dok-
ter Wahidin, dan lain-lain, dalam cita-cita pergerakannya, tercermin tujuan pendidikan bangsa,
walaupun masih belum melepaskan ciri-ciri atau jiwa tujuan pendidikan kolonial. Baru pada ta-
hun 1920 timbul cita-cita yang cukup radikal dalam lapangan pendidikan dan pengajaran yang
bertujuan, “ cita-cita kemerdekaan nusa dan bangsa dan kebebasan berbudaya bangsa” melalui
Taman Siswa. Kemudian ternyata Taman Siswa ini mendapatkan tempat di hati rakyat.
Setelah zaman kemerdekaan, pendidikan dan pengajaran merupakan hak tiap warga nega-
ra dari pemerintah menyelenggarakan sistem pengajaran nasional dengan perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan dituntut perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan.
7. Kesenian
1) Kethoprak
Kethoprak merupakan salah satu kesenian khas dari Jawa Tengah. Sebagian orang berka-
ta bahwa kethoprak semacam operanya masyarakat Jawa. Kethoprak apabila di Jakarta, semacam
kegiatan lenong. Cerita yang dibawakan dalam kethoprak ini berdasakan dari cerita yang ada di
kehidupan masyarakat sehari-hari. Awal mula terbentuknya kesenian kethoprak ini adalah dari
perjuangan masyarakat Jawa dimana pada zaman dahulu, masyarakat sangat susah untuk
berkumpul tanpa dibubarkan paksa karena pada masa itu.
2) Wayang Kulit
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk
di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa. Pertunjukan Kesenian wayang ada-
lah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan ani-
misme dan dinamisme. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan
bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mame-
nang / Kediri. Sekitar abad ke-10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh lelu-
hurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gam-
baran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar.