0881036265602
Bahasa Jawa
-Sejarah Bahasa Jawa
Bahasa Jawa Kuno
Bentuk terawal bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dalam tulisan, yaitu Prasasti Sukabumi, berasal
dari tahun 804 Masehi. Sejak abad ke-9 hingga abad ke-15, ragam bahasa ini umum digunakan di
pulau Jawa. Bahasa Jawa Kuno lazimnya dituliskan dalam bentuk puisi yang berbait. Ragam ini
terkadang disebut juga dengan istilah kawi 'bahasa kesusastraan', walaupun istilah ini juga merujuk
pada unsur-unsur arkais dalam ragam tulisan bahasa Jawa Baru. Sistem tulisan yang digunakan untuk
menulis bahasa Jawa Kuno merupakan adaptasi dari aksara Pallawa yang berasal dari India.
Sebanyak hampir 50% dari keseluruhan kosakata dalam tulisan-tulisan berbahasa Jawa Kuno berakar
dari bahasa Sanskerta, walaupun bahasa Jawa Kuno juga memiliki kata serapan dari bahasa-bahasa
lain di Nusantara.
Ragam bahasa Jawa Kuno yang digunakan pada beberapa naskah dari abad ke-14 dan seterusnya
terkadang disebut juga "bahasa Jawa Pertengahan". Walaupun ragam bahasa Jawa Kuno dan Jawa
Pertengahan tidak lagi digunakan secara luas di Jawa setelah abad ke-15, kedua ragam tersebut
masih lazim digunakan di Bali untuk keperluan ritual keagamaan.
Bahasa Jawa Baru tumbuh menjadi ragam literer utama bahasa Jawa sejak abad ke-16. Peralihan
bahasa ini terjadi secara bersamaan dengan datangnya pengaruh Islam. Pada awalnya, ragam baku
bahasa Jawa Baru didasarkan pada ragam bahasa wilayah pantai utara Jawa yang masyarakatnya
pada saat itu sudah beralih menjadi Islam. Karya tulis dalam ragam bahasa ini banyak yang
bernuansa keislaman, dan sebagiannya merupakan terjemahan dari bahasa Melayu. Bahasa Jawa
Baru juga mengadopsi huruf Arab dan menyesuaikannya menjadi huruf Pegon.
Kebangkitan Mataram menyebabkan ragam tulisan baku bahasa Jawa beralih dari wilayah pesisir ke
pedalaman. Ragam tulisan inilah yang kemudian dilestarikan oleh penulis-penulis Surakarta dan
Yogyakarta, dan menjadi dasar bagi ragam baku bahasa Jawa masa kini. Perkembangan bahasa
lainnya yang diasosiasikan dengan kebangkitan Mataram pada abad ke-17 adalah pembedaan antara
tingkat tutur ngoko dan krama. Pembedaan tingkat tutur ini tidak dikenal dalam bahasa Jawa Kuno.
Buku-buku cetak dalam bahasa Jawa mulai muncul sejak tahun 1830-an, awalnya dalam aksara Jawa,
walaupun kemudian alfabet Latin juga mulai digunakan. Sejak pertengahan abad ke-19, bahasa Jawa
mulai digunakan dalam novel, cerita pendek, dan puisi bebas. Kini, bahasa Jawa digunakan dalam
berbagai media, mulai dari buku hingga acara televisi. Ragam bahasa Jawa Baru yang digunakan
sejak abad ke-20 hingga sekarang terkadang disebut pula "bahasa Jawa Modern".
Sugeng enjing rencang-rencang sedaya. Tepangaken, nami Kula Reni Cintya, saged dipuntimbali Reni
utawa Eni. Kula miyos ing Solo, 1 Januari 2000. Dadosipun, umur kula sakniki sampun 19 taun. Griya
Kula ing Perum Peruri, Solo.
Kula saking SMP Harapan. Kula pingin milih SMA Semesta kangge nglanjutaken pendidikan kula.
Amargi, SMA niki gadah kualitas kang sae lan cedak kalian omah griya kula.
Kula temen maos buku lan nyanyi. Kula ugi temen ndeleng drama korea kangge refreshing menawi
wonten PR saking sekolah kang ndamel kula pegel fisik lan pikiran. Kula nggadah gegayuhan dados
guru Bahasa Inggris.
Bahasa Sunda
-Sejarah Bahasa Sunda
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai
keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti
tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.
Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan
aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa
pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).
Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh
sebelum masa itu. Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas
dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman
abad ke-15 sampai dengan 180.
Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu sudah banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi
struktur Bahasa Sanskerta dari India.
Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan
kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti
tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.
Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam),
dan tinja (istinja). Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh
orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri.
Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak
sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram
memasuki wilayah ini.
Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa
Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.
Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai
tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera.
Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan
menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi
oleh pemerintah.
Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah
terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.
Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah
bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap
di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun.
Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam
kehidupan sehari-hari di rumah mereka.
Aksara Sunda Swara memiliki tujuh bunyi vokal yang berbeda dengan huruf vokal pada
bahasa Indonesia yang hanya memiliki lima bunyi vokal saja. Jadi selain ada a, i, u, e, o, ada
juga tambahan seperti eu dan é.
huruf vocal dalam aksara sunda
Contoh pengucapan huruf vokal é adalah ketika kamu mengucapkan kata ‘Lele’. Sedangkan
untuk huruf vokal eu seperti kamu mengucapkan ‘Peuyeum’.
Aksara Swara ‘a’ contohnya anyar (baru), tiasa (bisa), dan sia (lo/kamu).
Aksara Swara ‘i’ contohnya ucing (kucing), daun, dan bau.
Aksara Swara ‘é’ contohnya élang, daék (bersedia) dan saé (bagus).
Aksara Swara ‘eu’ contohnya eusi (isi), baeud (marah), dan ieu (ini).
Aksara Swara ‘o’ contohnya oray (ular), naon (apa), dan néo.
Aksara Swara ‘u’ contohnya udah, udin, dan usang.
Aksara Sunda Ngalagena atau konsonan mati berjumlah 25 yang sangat familiar untuk
percakapan sehari-hari. Aksara ini tersusun dari 18 huruf untuk bunyi paling utama (Sunda
asli) serta ditambah dengan 7 bunyi serapan sehingga membuatnya ditotal menjadi 25 huruf.
huruf konsonan dalam aksara sunda
Untuk bunyi utama terdiri dari ka, ga, nga, ca, ja, nya, ta, da, na, pa, ba, ma, ya, ra, dan la.
Kemudian untuk bunyi serapan sebagai pelengkap aksara ini diantaranya –fa, -qa, -va, -xa, -
za, -kha, dan –sya. Hampir tidak pernah ditemukan huruf f, v, dan x.
Hal tersebut membuat banyak orang mengatakan bahwa orang Sunda tidak dapat
mengucapkan kata yang berawalan dengan huruf-huruf tersebut. Misalnya, ‘fitnah’.
Seringkali orang Sunda justru menyebutnya dengan ‘pitnah’.
Bunyi dasar ‘a’ pada setiap konsonan ternyata dapat berubah menjadi i, u, é, e, eu, dan o.
Perubahan ini dipengaruhi oleh Rarangkén atau maknanya merujuk kepada jenis sisipan.
Dalam aksara Sunda, Rarangkén dibagi menjadi 14 jenis yaitu:
a) Rarangkén Luhur
Rarangkén Luhur artinya adalah di atas. Rangkaiannya terdiri dari lima jenis yang semuanya
ditulis di bagian atas huruf konsonan (Ngalagena), di antaranya adalah:
b) Rarangkén Handap
Rarangkén Handap artinya adalah di bawah. Jadi, penulisan aksaranya berada di bawah huruf
konsonan, yaitu:
c) Rarangkén Sajajar
Rarangkén Sajajar artinya sejajar. Jenis sisipan ini ditulis sejajar dengan huruf konsonan dan
terdiri atas lima macam, di antaranya:
Dalam aksara Sunda juga terdapat aksara angka., mulai dari angka satuan, puluhan, ratusan dan
seterusnya. Semua itu ditulis dari arah kiri ke kanan seperti penulisan pada umumnya. Meski
demikian, ada beberapa bentuk aksara angka yang mirip dengan aksara huruf. Oleh sebab itu
penulisan lambang angka harus diapit dengan garis vertikal yang lebih tinggi dari aksara tersebut.
Aksara tanda baca atau juga dikenal dengan pungtuasi pada aksara Sunda adalah tanda baca
yang digunakan untuk melengkapi suatu kalimat. Tanda baca dalam bahasa Sunda sendiri
terdiri dari beberapa jenis seperti tanda baca dalam bahasa latin, seperti koma (,), titik (.), titik
dua (:), titik koma (;). tanda seru (!), tanda tanya (?), tanda kutip (“…”), tanda hubung (-),
hingga tanda kurung (()).
Dalam penulisan tanda baca dalam aksara Sunda, ukurannya disesuaikan dengan ukuran
aksara Sunda itu sendiri. Tapi uniknya, penulisan pangkat, jabatan atau gelar akademis dalam
aksara Sunda mengikuti tata tulis huruf latin.
1. Wilujeng enjing, yang memiliki arti selamat pagi. Wilujeng enjing ini adalah sebuah
sapaan formal yang saat ini umumnya digunakan dalam pidato, dan lain sebagainya.
2. Wilujeng siang, yang memiliki arti selamat siang. Sama halnya dengan wilujeng enjing,
wilujeng siang ini adalah sebuah sapaan formal yang saat ini umumnya digunakan dalam
pidato, dan lain sebagainya.
3. Wilujeng sonten, yang memiliki arti selamat sore. Sama halnya dengan wilujeng enjing dan
wilujeng siang, wilujeng sonten ini adalah sebuah sapaan formal yang saat ini umumnya
digunakan dalam pidato, dan lain sebagainya.
4. Wilujeng wengi, yang memiliki arti selamat sore. Sama halnya dengan wilujeng enjing, wilujeng
siang, dan wilujeng sonten, wilujeng wengi ini adalah sebuah sapaan formal yang saat ini umumnya
digunakan dalam pidato, dan lain sebagainya.
Irpan: “Abdimah badé daftar sakola. Dupi Nina nuju naon di dieu?”
(Artinya: Saya mau daftar sekolah. Nina sendiri sedang apa di sini?)
Nina: “Sami. Abdi ogé badé daftar sakola. Hayu atuh urang sareng.”
(Artinya: Sama. Saya juga mau daftar sekolah. Ayo kita bareng aja)