Anda di halaman 1dari 19

BAHASA SUNDA

Bahasa Sunda dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa dengan penutur terbanyak
kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Sesuai dengan sejarah kebudayaannya, bahasa Sunda
dituturkan di kawasan selatan provinsi Banten, sebagian besar wilayah Jawa Barat (kecuali kawasan
pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi dimana penutur bahasa ini semakin berkurang), dan
melebar hingga batas Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah.

Dialek bahasa Sunda

Peta Linguistik Bahasa Sunda


Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda juga beragam, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek
Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan
enam dialek yang berbeda. Dialek-dialek ini adalah:

Dialek Barat
Dialek Utara
Dialek Selatan
Dialek Tengah Timur
Dialek Timur Laut
Dialek Tenggara

Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara
termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang
mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar
Majalengka. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek ini juga dipertuturkan di beberapa
bagian Brebes, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis.

E as y m ed i a Fi les

Sejarah dan penyebaran


Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah Tatar Sunda. Namun
bahasa Sunda juga dipertuturkan di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah bahasa Sunda terutama dituturkan di
kabupaten Brebes dan Cilacap. Terutama banyak nama-nama tempat di Cilacap ini yang masih
merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu dan
sebagainya. Ironisnya nama Cilacap banyak yang menentang bahwa ini merupakan nama Sunda.
Mereka berpendapat bahwa nama ini merupakan nama Jawa yang "disundakan". Sebab pada abad ke19, nama ini seringkali ditulis sebagai "Clacap".
Selain itu menurut beberapa pakar, konon bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah
penuturannya sampai di sekitar dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah.

Fonologi
Saat ini Bahasa Sunda ditulis dengan Abjad Latin dan sangat fonetis. Ada lima suara vokal murni (a, , i,
o, u), dua vokal netral, (e (pepet) dan eu (), dan tidak ada diftong. Fonem konsonannya di tulis dengan
huruf p, b, t, d, k, g, c, j, h, ng, ny, m, n, s, w, l, r, dan y.
Konsonan lain yang aslinya muncul dari bahasa Indonesia diubah menjadi konsonan utama: f -> p, v -> p,
sy -> s, sh -> s, z -> j, and kh -> h.

Undak-usuk
Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-Islam, bahasa Sunda terutama di wilayah Parahyangan - mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa
halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan
dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar)
tetap dominan. Di bawah ini disajikan beberapa contoh.

Tempat
Bahasa Indonesia

Bahasa Sunda Bahasa Sunda


(normal)
(sopan/lemes)

di atas ..

di luhur ..

di luhur ..

di belakang ..

di tukang ..

di pengker ..

di bawah ..

di handap ..

di handap ..

di dalam ..

di jero ..

di lebet ..

di luar ..

di luar ..

di luar ..

di samping ..

di samping ..

di gigir ..

di antara ..
dan ..

di antara ..
jeung ..

di antawis ..
sareng ..

E as y m ed i a Fi les

Waktu
Bahasa Indonesia

Bahasa Sunda Bahasa Sunda


(normal)
(sopan/lemes)

sebelum

saacan

sateuacan

sesudah

sanggeus

saparantos

ketika

basa

nalika

Lain Lain
Bahasa Indonesia

Bahasa Sunda Bahasa Sunda


(normal)
(sopan/lemes)

Dari

tina

tina

Sumber : Nyaangan Alam Dunya Basa Sunda

Bahasa Sunda
Bahasa Sunda
Basa Sunda
Dituturkan di:

Jawa Barat, Banten, sebagian kecil


Jawa Tengah (Indonesia)

Daerah:

Jawa

Total penutur:

24 juta

Peringkat:

?
Austronesia

Rumpun bahasa:

Melayu-Polinesia
Melayu-Polinesia Barat
Sundik
Bahasa Sunda
Status resmi

E as y m ed i a Fi les

Bahasa resmi:

(Jawa Barat)

Diatur oleh:

Kode-kode bahasa

ISO 639-1:

su

ISO 639-2:

sun

Ethnologue edisi
ke-14:

SUN

ISO 639-3:

Perhatian: Halaman ini mungkin memuat simbol-simbol fonetis


IPA menggunakan Unicode.

Bahasa Sunda dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa dengan penutur
terbanyak kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Sesuai dengan sejarah kebudayaannya,
bahasa Sunda dituturkan di provinsi Banten khususnya di kawasan selatan provinsi tersebut,
sebagian besar wilayah Jawa Barat (kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan
urbanisasi dimana penutur bahasa ini semakin berkurang), dan melebar hingga batas Kali Pemali
(Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah.

Dialek bahasa Sunda

E as y m ed i a Fi les

Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda beragam, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek
Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya
membedakan enam dialek yang berbeda[1]. Dialek-dialek ini adalah:

Dialek Barat
Dialek Utara
Dialek Selatan
Dialek Tengah Timur
Dialek Timur Laut
Dialek Tenggara

Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan[2]. Dialek Utara mencakup daerah Sunda
utara termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek
Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur
adalah dialek di sekitar Majalengka. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek
ini juga dipertuturkan di beberapa bagian Brebes, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara
adalah dialek sekitar Ciamis.

Sejarah dan penyebaran


Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar
Sunda. Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah,
khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih
merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan
sebagainya. Ironisnya, nama Cilacap banyak yang menentang bahwa ini merupakan nama Sunda.
Mereka berpendapat bahwa nama ini merupakan nama Jawa yang "disundakan", sebab pada abad
ke-19 nama ini seringkali ditulis sebagai "Clacap".
Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya
sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama "Dieng" yang
dianggap sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna).
Seiring mobilisasi warga suku Sunda, penutur bahasa ini kian menyebar. Misalnya, di Lampung,
di Jambi, Riau dan Kalimantan Selatan banyak sekali, warga Sunda menetap di daerah baru
tersebut.

Fonologi
Saat ini Bahasa Sunda ditulis dengan Abjad Latin dan sangat fonetis. Ada lima suara vokal murni
(a, , i, o, u), dua vokal netral, (e (pepet) dan eu (), dan tidak ada diftong. Fonem konsonannya
ditulis dengan huruf p, b, t, d, k, g, c, j, h, ng, ny, m, n, s, w, l, r, dan y.
Konsonan lain yang aslinya muncul dari bahasa Indonesia diubah menjadi konsonan utama: f ->
p, v -> p, sy -> s, sh -> s, z -> j, and kh -> h.
Berikut adalah fonem dari bahasa Sunda dalam bentuk tabel. Pertama vokal disajikan.
E as y m ed i a Fi les

Vokal
Depan Madya Belakang
Tertutup

Tengah

Hampir Terbuka ()
Terbuka

()

Dan di bawah ini adalah tabel konsonan.


Konsonan
Bibir Gigi
Sengau m

Langit2 Langit2 Celah


keras lunak suara

Letup

pb td c

Desis

Getar/Sisi

lr

Hampiran w

kg

Undak-usuk
Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-Islam, bahasa Sunda terutama di wilayah Parahyangan - mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari
bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah
pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang
daerah Bandung terdengar kasar) tetap dominan. Di bawah ini disajikan beberapa contoh.

E as y m ed i a Fi les

Tempat
Bahasa Indonesia

Bahasa Sunda Bahasa Sunda


(normal) (sopan/lemes)

di atas ..

di luhur ..

di luhur ..

di belakang ..

di tukang ..

di pengker ..

di bawah ..

di handap ..

di handap ..

di dalam ..

di jero ..

di lebet ..

di luar ..

di luar ..

di luar ..

di samping ..

di samping ..

di gigir ..

di antara ..
dan ..

di antara ..
jeung ..

di antawis ..
sareng ..

Waktu
Bahasa Indonesia

Bahasa Sunda Bahasa Sunda


(normal) (sopan/lemes)

sebelum

saacan

sateuacan

sesudah

sanggeus

saparantos

ketika

basa

nalika

Besok

Isukan

Enjing

Lain Lain
Bahasa Indonesia

Bahasa Sunda Bahasa Sunda


(normal) (sopan/lemes)

Dari

Tina

Tina

Ada

Aya

Nyondong

Tidak

Embung

Alim

E as y m ed i a Fi les

Tradisi tulisan
Bahasa Sunda memiliki catatan tulisan sejak milenium kedua, dan merupakan bahasa
Austronesia ketiga yang memiliki catatan tulisan tertua, setelah bahasa Melayu dan bahasa Jawa.
Tulisan pada masa awal menggunakan aksara Pallawa. Pada periode Pajajaran, aksara yang
digunakan adalah aksara Sunda Kaganga. Setelah masuknya pengaruh Kesultanan Mataram pada
abad ke-16, aksara hanacaraka (cacarakan) diperkenalkan dan terus dipakai dan diajarkan di
sekolah-sekolah sampai abad ke-20. Tulisan dengan huruf latin diperkenalkan pada awal abad
ke-20 dan sekarang mendominasi sastra tulisan berbahasa Sunda.

Kesusastraan dalam bahasa Sunda


Bagian ini membutuhkan pengembangan ({{{date}}})

Bilangan dalam bahasa Sunda


Bilangan Lemes
1

hiji

dua

tilu

opat

lima

genep

tujuh

dalapan

salapan

10

sapuluh

Kidung Sunda
Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang
(syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam
Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan
putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama. Namun patih Gajah Mada tidak suka
karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit (baca orang Jawa).
E as y m ed i a Fi les

Kemudian terjadi perang besar-besaran di Bubat, pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan


Sunda. Dalam peristiwa ini orang Sunda kalah dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh
diri.

Versi kidung Sunda


Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr. C.C. Berg, menemukan beberapa versi KS. Dua di
antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya:
1. Kidung Sunda
2. Kidung Sundyana (Perjalanan (orang) Sunda)

Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada Kidung Sundyana dan mutu
kesusastraannya lebih tinggi dan versi iniliah yang dibahas dalam artikel ini.

Ringkasan
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir
kisahnya.

Di bawah ini disajikan ringkasan dari Kidung Sunda. Ringkasan dibagi per pupuh.

Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau
mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang
sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka
prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru
lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang
paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan
rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam
Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda.
Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda
sendiri tidak banyak berkomentar.
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu
kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua
ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.

E as y m ed i a Fi les

apal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki kapal semacam ini.

Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan
Putri Sunda adalah sebuah jung Tatar (Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang
Wijaya. (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka
sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah
datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih
Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit
menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh
yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi
dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak
berani melawan.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan
terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakn untuk pergi
ke Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah
patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan
mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada
menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara
Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata,
seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa
keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya
seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang
ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang
Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka
pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.

E as y m ed i a Fi les

Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa
surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan
perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton,
Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya
hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakn
dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja
Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena purapura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan
kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para
perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah
suami mereka.

Pupuh III (Sinom)


Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia kemudian menuju ke
pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun
meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak
selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.
Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua
pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin
menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu
patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara
(perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak
terlihat menuju ketiadaan (niskala).
Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang ke negara mereka
karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.

Analisis
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang
akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan
lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur
romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para
protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih
E as y m ed i a Fi les

Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi
Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal.
Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga
bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula
bawah ini.
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti
sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang
wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin
Nagarakretagama.
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan
putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah
Pitaloka.
Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan
tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah
Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang
Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci (?), Wandan (Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura
(Kabupaten Ketapang) dan Sawakung (Pulau Sebuku?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai
dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit
di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut.

Penulisan
Semua naskah kidung Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas
apakah teks ini ditulis di Jawa atau di Bali.
Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui dengan
pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, tetapi ini tidak bisa digunakan untuk
menetapkan usia teks. Sebab orang Indonesia sudah mengenal senjata api minimal sejak
datangnya bangsa Portugis di Nusantara, yaitu pada tahun 1511. Kemungkinan besar orang
Indonesia sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa Tionghoa. Sebab sewaktu orang Portugis
mendarat di Maluku, mereka disambut dengan tembakan kehormatan.

Beberapa cuplikan teks


Di bawah ini disajikan beberapa cuplikan teks dalam bahasa Jawa dengan alihbahasa dalam
bahasa Indonesia. Teks diambil dari edisi C.C. Berg (1927) dan ejaan disesuaikan.

E as y m ed i a Fi les

Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b 1. 68 a.)
Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang
rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki,
durung-durung ngong iki andap ring yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita ankani jurit, amrang pradesa ring gunung, nti ramening yuda,
wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Ls Beleteng angmasi, bubar wadwamu malayu, annibani
jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burngik, padmalakw ing
urip.
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene
kaharpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustrusuh, dadi angapusi sang
sadubudi, patitnng niraya atmamu tmbe yen antu.

Alihbahasa:

Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang
ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama
seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.

Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah
pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda
datang kembali dan bala tentaramu mundur.

Kedua mantrimu yang bernama Ls dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan
melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera,
siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.

Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing.
Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin
menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan
jatuh ke neraka, jika mati!

Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 2.71)


[...], yan kitwdng pati, lah age marka, i jng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining
smbah, sira sang nataputri.
Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahn tuhanira,
nora ngong marka malih, angatrana, iki sang rajaputri.

E as y m ed i a Fi les

Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rmpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinbateng
paprangan, srngn si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi.

Alihbahasa:

[...], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan
haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan
Putri.
Maka ini terdengar oleh Sri Raja <Sunda> dan beliau menjadi murka: Wahai kalian para duta!
Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!
Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada
akan silau beta!. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan
(kata-kata pedas orang Majapahit).

Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 3.
33)
Sireanira tinaan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakn aneng made sira wontn aguling,
mara sri narapati, katmu sira akukub, permas natar ijo, ingungkabakn tumuli, kagyat sang
nata dadi atmah laywan.
Wnsning muka angraras, netra dumling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja
amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marka, tinghal
kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parng prapta kongang mangkw
atmah kayki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agsang, kawula
mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
Palar-palarn ing jmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing
duskrti, sida kptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus
alalis, sang sinambrama lnglng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat, ptng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin
gumirih, lwir guruh ing katrini, matag pandng ing santun, awor swaraning kumbang,
tangising wong lanang istri, arrb-rrb pawraning glung lukar.

Alihbahasa:

Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada
di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau
keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.

E as y m ed i a Fi les

Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang
tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa:
Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah
Jawa.

Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya
mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku,
mungkin <hamba> masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!

Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa
dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya. Seakan-akan
begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan
merana.

Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja
semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka
kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan
wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.

*Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim
kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.

Referensi

C.C. Berg, 1927, Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen. BKI 83: 1 161.
C.C. Berg, 1928, Inleiding tot de studie van het Oud-Javaansch (Kidung Sundyana). Soerakarta:
De Bliksem.
Sri Sukesi Adiwimarta, 1999, Kidung Sunda (Sastra Daerah Jawa), Antologi Sastra Daerah
Nusantara, kaca 93-121. Jakarta: Yayasan Obor. ISBN 979-461-333-9
P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
(hal. 528-532)

Aksara Sunda Baku


Aksara Sunda Baku merupakan sistem penulisan hasil penyesuaian Aksara Sunda Kuna yang
digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Saat ini Aksara Sunda Baku juga lazim
disebut dengan istilah Aksara Sunda.

E as y m ed i a Fi les

Latar Belakang dan Sejarah


Setidaknya sejak Abad IV masyarakat Sunda telah lama mengenal aksara untuk menuliskan
bahasa yang mereka gunakan. Namun demikian pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda
dipaksa oleh penguasa dan keadaan untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuna yang
merupakan salah satu identitas budaya Sunda. Keadaan yang berlangsung hingga masa
kemerdekaan ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuna dalam tradisi tulis masyarakat
Sunda.
Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing
(misalnya K. F. Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai
meneliti keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda
Kuna. Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul
kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda.
Oleh karena itu Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996
tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang
kelak digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara
Daerah.
Pada tanggal 21 Oktober 1997 diadakan Lokakarya Aksara Sunda di Kampus UNPAD
Jatinangor yang diselenggarakan atas kerja sama Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat
dengan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Kemudian hasil rumusan lokakarya tersebut
dikaji oleh Tim Pengkajian Aksara Sunda. Dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 1999 keluar Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 343/SK.614-Dis.PK/99 yang
menetapkan bahwa hasil lokakarya serta pengkajian tim tersebut diputuskan sebagai Aksara
Sunda Baku.
Saat ini Aksara Sunda Baku mulai diperkenalkan di kepada umum antara lain melalui beberapa
acara kebudayaan daerah yang diadakan di Bandung. Selain itu, Aksara Sunda Baku juga
digunakan pada papan nama Museum Sri Baduga, Kampus Yayasan Atikan Sunda dan Kantor
Dinas Pariwisata Daerah Kota Bandung. Langkah lain juga diambil oleh Pemerintah Daerah
Kota Tasikmalaya yang menggunakan Aksara Sunda Baku pada papan nama jalan-jalan utama di
kota tersebut.
Namun demikian, setidaknya hingga akhir tahun 2007 Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Jawa
Barat belum juga mewajibkan para siswa untuk mempelajari Aksara Sunda Baku sebagaimana
para siswa tersebut diwajibkan untuk mempelajari Bahasa Sunda. Langkah memperkenalkan
aksara daerah mungkin akan dapat lebih mencapai sasaran jika Aksara Sunda Baku dipelajari
bersamaan dengan Bahasa Sunda. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Lampung dan Propinsi
Jawa Tengah telah jauh-jauh hari menyadari hal ini dengan mewajibkan para siswa Sekolah
Dasar yang mempelajari bahasa daerah untuk juga mempelajari aksara daerah.

Sunda Baku dan Sunda Kuna

E as y m ed i a Fi les

Sebagaimana diungkapkan di atas, Aksara Sunda Baku merupakan hasil penyesuaian Aksara
Sunda Kuna yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Penyesuaian itu
antara lain didasarkan atas pedoman sebagai berikut : bentuknya mengacu pada Aksara Sunda
Kuna sehingga keasliannya dapat terjaga, bentuknya sederhana agar mudah dituliskan, sistem
penulisannya berdasarkan pemisahan kata demi kata, dan ejaannya mengacu pada Bahasa Sunda
mutakhir agar mudah dibaca. Dalam pelaksanaannya, penyesuaian tersebut meliputi penambahan
huruf (misalnya huruf va dan fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan
perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma).

Sumber

Juniarso Ridwan : Perda Kebudayaan yang Terkesan Chauvinistik, Pikiran Rakyat 4 Desember
2003.
Tedi Permadi : Aksara Sunda dan Soal Lainnya, Pikiran Rakyat 15 Februari 2004.
Atep Kurnia : Jasa Tuan Hola Buat Sunda, Kompas (Edisi Jawa Barat) 10 November 2007.
Djasepudin : Memasyarakatkan Aksara Sunda, Kompas (Edisi Jawa Barat) 07 April 2007.

Aksara Sunda Kuna


Aksara Sunda Kuna merupakan aksara yang berkembang di daerah Jawa Barat pada Abad
XIV-XVIII yang pada awalnya digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda Kuna. Aksara Sunda
Kuna merupakan perkembangan dari Aksara Pallawa yang mencapai taraf modifikasi bentuk
khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah lontar pada Abad XVI.

Sejarah
Penggunaan Aksara Sunda Kuna dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasastiprsasasti yang terdapat di Astanagede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti
Kebantenan yang terdapat di Kabupaten Bekasi.
Edi S. Ekajati mengungkapkan bahwa keberadaan Aksara Sunda Kuna sudah begitu lama
tergeser karena adanya ekspansi Kerajaan Mataram Islam ke wilayah Priangan kecuali Cirebon
dan Banten. Pada waktu itu para menak Sunda lebih banyak menjadikan budaya Jawa sebagai
anutan dan tipe ideal. Akibatnya, kebudayaan Sunda tergeser oleh kebudayaan Jawa. Bahkan
banyak para penulis dan budayawan Sunda yang memakai tulisan dan ikon-ikon Jawa.
Bahkan VOC pun membuat surat keputusan, bahwa aksara resmi di daerah Jawa Barat hanya
meliputi Aksara Latin, Aksara Arab Gundul (Pegon) dan Aksara Jawa (Cacarakan). Keputusan
itu ditetapkan pada tanggal 3 November 1705. Keputusan itu pun didukung para penguasa
Cirebon yang menerbitkan surat keputusan serupa pada tanggal 9 Februari 1706. Sejak saat itu
Aksara Sunda Kuno terlupakan selama berabad-abad. Masyarakat Sunda tidak lagi mengenal
aksaranya. Kalaupun masih diajarkan di sekolah sampai penghujung tahun 1950-an, rupanya
salah kaprah. Pasalnya, yang dipelajari saat itu bukanlah Aksara Sunda Kuna, melainkan Aksara
Jawa yang diadopsi dari Mataram dan disebut dengan Cacarakan.

E as y m ed i a Fi les

Sunda Kuna dan Sunda Baku


Pada awal tahun 2000-an pada umumnya masyarakat Jawa Barat hanya mengenal adanya satu
jenis aksara daerah Jawa Barat yang disebut sebagai Aksara Sunda. Namun demikian perlu
diperhatikan bahwa setidaknya ada empat jenis aksara yang menyandang nama Aksara Sunda,
yaitu Aksara Sunda Kuna, Aksara Sunda Cacarakan, Aksara Sunda Pegon, dan Aksara Sunda
Baku. Dari empat jenis Aksara Sunda ini, Aksara Sunda Kuna dan Aksara Sunda Baku dapat
disebut serupa tapi tak sama. Aksara Sunda Baku merupakan modifikasi Aksara Sunda Kuna
yang telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menuliskan Bahasa
Sunda kontemporer. Modifikasi tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan fa),
pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan perubahan bentuk huruf (misalnya
huruf na dan ma).

Aksara Sunda Kuno sebagaimana digunakan pada


naskah-naskah lontar dari Abad XV - XVII. Beberapa
varian huruf dan perubah vokal tidak termasuk dalam
tabel di atas.

Perbandingan bentuk huruf antara


Aksara Jawa Kuno, Aksara Sunda Kuno,
dan Aksara Sunda Baku.

Sumber

Duddy R.S. : Aksara Sunda Kuno Menghiasi Plang Jalan di Kota Tasik, Pikiran Rakyat 10 Oktober
2004.
A-148 : Aksara Sunda Harus Diperkenalkan Kembali, Pikiran Rakyat 19 Juli 2005.

E as y m ed i a Fi les

"Aksara" sunda
Aksara Sunda Baku merupakan hasil pemutakhiran aksara Sunda Buhun (Kuna/Kuno) untuk
pemakaian saat ini.Saat ini huruf sunda dipergunaakan untuk :
Pengajaran bahasa sunda di sekolah-sekolah
Baliho gedung-gedung pemerintah,
Plang nama-nama jalan di kotamadya dan kabupatn di Jawa barat
Aksara Sunda Kuna atawa Buhun dulunya ditemukan dari seratan-seratan lontar-lontar dan batubatu prasasti di wilayah kerajaan Sunda Kuna, yang digarap oleh K.F. Holle taun 1867,
diteruskan oleh C.M. Pleyte (1911, 1914), R. Ng. Poerbatharaka (1919-1912), dan yang lainnya,
sampai oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohadi, Edi S. EkadjatiUndang A.Darsa, "Aksara Sunda
Kaganga", halaman xvii.di bawah ini perbandingan antara aksara Sunda Baku dan Sunda Kuna
menurut makalah "Rancangan Pembakuan Aksara Sunda"A. Sobana Hardjasaputra, Tedi
Permadi, Undang A. Darsa, Edi S. Ekadjati, "Rancangan Pembakuan Aksara Sunda". Bandung,
1998. Aksara Sunda Baku di bawah ini digambarkan dari hasil cetak menggunakan aksara
PakuanLatin-1.1.ttf sedangkan aksara Sunda Kuna merupakan hasil scan dari makalah kasebat.
Huruf suara baru :
Aksara Swara (Vokal Mandiri)
Aksara Sunda Kuna tidak mengikuti huruf 'eu'.
Vokalisasi & Wirahma
Tidak ada perubahan.
Angka
Aksara Sunda Kuna tidak membangun angka-angka. Oleh sebsb itu angka-angka di ciptakan dari
aksara baku
Tanda Baca
Untuk penggunaan sekarang, tanda baca yang dipak dalam aksara Sunda Baku yaitu serupa
dengan yang ada dalam aksara Latin (Eropa), saperti:
. (titik)
, (koma)
? (pananya)
! (panyeluk)
"
'
Referensi : http://jamparing.sytes.net/aksara/AksaraSund

E as y m ed i a Fi les

Anda mungkin juga menyukai