Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

BAHASA DAN JENIS KELAMIN

Terdapat dua pembeda bahasa yang sudah kita kenali, yaitu kelas sosial dan kelompok
etnik. Aspek pembeda kebahasaan yang tidak selalu hadir dalam bahasa yaitu jenis kelamin,
akan dibicakan dalam bab ini. Menurut penelitian ini memang ada sejumlah masyarakat tutur
pria berbeda dengan tutur wanita. Dalam penelitian-penelitian linguistik kadang-kadang
wanita tidak dipakai sebagai informan karena alasan-alasan tertentu Multamia dan Basuki
(dalam Sumarsono, 2012:98) mengutip beberapa pandangan para pakar tentang wanita yang
akan dijadikan informan.

Berkaitan dengan pengambilan responden/informan, Kurath (dalam Sumarsono,


2012:98) mengemukakan bahwa “…mereka, yaitu responder haruslah laki-laki karena dalam
masyarakat barat tutur seorang wanita itu cenderung lebih sadar diri dan sadar kelas
dibanding tutur laki-laki.”

Wanita cenderung mempunyai sikap “hiperkorek” sehingga dianggap mengaburkan


situasi yang sebenarnya yang dikehendaki oleh para peneliti. Karena mereka sering dianggap
sebagai warga Negara “kelasdua”seperti itu. Mereka memunculkan gerakan emansipasi,
kemudian mereka merumuskan slogan “La Femme sans nom, la femme sans voix” (Wanira
itu tanpa nama, wanita itu tanpa suara” untuk bergerak. Anak wakita yang lahir sudah disebut
Miss X (nona X) dan X itu nama bapaknya. Kalau sudah menjadi istri, dia akan disebut Mrs Y
dan Y adalah nama suaminya. Gaji mereka seringkali lebih rendah dari laki-laki meskipun
jabatan mereka sama, dan untuk semua itu perempuan tidak bisa membela hak-haknya.

Karena posisi itu wanita berusaha keras dengan segala cara untuk “meningkatkan”
dirinya sederajat dengan laki-laki dan salah satu cara yang paling efektif ialah dengan
memakai bahasa ragam baku dengan sebaik-baiknya. Mengapa dipilih bahasa baku? Karena
ragam baku ini mempunyai konotasi “terpelajar”, berstatus, berkelas, berkualitas, kompeten
dan independen. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, Elyan meneliti tutur wanita ketika memakai
ragam baku yang disebut sebagai RP (Received Pronounctiation, lafal yang berirama), suatu
lafal yang paling bergengsi di Inggris. Hasilnya dirumuskan sebagai berikut
“...when female dopt an RP rather than a regional accent they are perceived not only
more competent but also as both more than male-like on certain personality attribute and
more feminism (that us androgynopusly) (…ketika wanita menggunakan aksen RP lebih dari
sekadar aksen regional/setempat, hal itu dirasakan bukan karena lebih kompeten, melainkan
juga dirasakan lebih menyerupai laki-laki dalam hal ciri-ciri kepribadian tertentu dan juga
lebih feminine (sehingga wanita bersifat androgini atau mendua)

Namun di lain pihak, ada pula linguis yang cenderung memakai wanita sebagai
responden, seperti yang dilakukan Wartburg (dalam Sumarsono, 2012:100) “everyone knows
that as far as language is concerned women are more consernative than men. They conserve
the speech of ours forbears more faithfully” (Sepanjang menyangkut bahasa, setiap orang
tahu bahwa wanita lebih konservatif dibanding laki-laki mereka lebih fanatik menyimpan
tutur warisan bahasa kita)

1.1 Gerak Anggota Badan dan Ekspresi Wajah


Perbedaan wanita dengan pria itu mungkin tidak lengsung menyangkut masalah
bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal lain yang membarengi tutur. Hal-hal lain itu
antara lain ialah gerak anggota badan (gesture) dan ekspresi wajah. Kedua hal itu pasti
ada dalam tiap masyarakat bahasa, tetapi berbeda dari masyarakat ke masyarakat, berbeda
antara wanita dan pria.
Gesture adalah gerak anggota badan seperti kepala, tangan, jari yang menyertai tutur.
Sebagai contoh masyarakat Indonesia ketika menyetujio sesuatu ucapan “ya” dibarengi
dengan anggukan kepala, jika tidak menjetujui sesuatu mengatakan “tidak” dibarengi
dengan gelengan kepala. Dengan contoh diatas tidak membedakan jenis kelamin, pria
maupun wanita menggunakanya.
Dalam hal ekspresi wajah, di Indonesia relatif lebih banyak “mempermainkan” bibir
dan matanya dibandingkan dengan pria. Misalnya jika seorang wanita tidak berkenan,
tersinggung, wajahnya akan merengut, bibirnya akan mencucu.

1.2 Suara dan Intonasi


Banyak orang yang bisa mengenal suara pria atau wanita karena secara umum
dikatakan volume suara pria relatif kebih besar dibanding wanita. Kita juga bisa
merasakan perbedaan suara dalam hal wicara, setidaknya terlihat beberapa suku di
Indonesia, suara wanita lebih lembut dibandingkan dengan suara pria. Hal ini sedikit
banyak berkaitan dengan nilai sosial atau tatakrama dan sopan santun. Contohnya dalam
masyarakat Jawa, wanita yang berbicara keras dianggap kurang sopan, sebaliknya jika
pria pria berbicara dengan suara lembut akan dianggap seperti wanita.
Kita juga bisa melihat dalam hal intonasi, kita sering menemukan nada panjang
diakhir kalimat pada wanita atau biasa disebut suara manja yang khas pada wanita.
Sebagai contoh di dunia perwayangan, kita mengenal gaya bicara Srikandi yang kenes
atau berbicara dengan intonasi turun naik cepat dan nyaring, berbanding terbalik dengan
gaya bicara Sembadra yang lembut dan lambat. Kedua intonasi itu tidak biasa terjadi pada
pria.

1.3 Fonem sebagai Ciri Pembeda


Vokal pada tutur wanita dalam banyak logat atau ragam bahasa Inggris lebih
ditemukan posisinya lebih “minggir” atau “menepi” dibandingkan dengan vokal laki-laki.
Ada dua fonem yang khusus untuk para pria dan untuk para wanita dalam bahsa
Yukaghir, Asia Timur Laut. Keduanya dilafalkan sama oleh anak-anak. Lafal kanak-
kanak itu sama dengan lafal yang digunakan oleh wanita dewasa dan berbeda dengan
wanita usia tua. Lafal pria dewasa berbeda ketika masih kanak-kanak dan berbeda pula
ketika mereka sudah tua. Perkembangan ini dapat diskemakan demikian

Kanak-kanak Dewasa Tua

P : /tz/, /dz/ /tj/, /dj/ /cj/, /jj/

W : /tz/, /dz/ /tz/, /dz/ /cj/, /jj/

Tampak sekali wanita hanya sekali wajib mengubah lafalnya, yaitu dari masa dewasa
ke masa tua. Dan para pria mengalami duakali perubahan lafal fonem sepanjang peralihan
itu. Perbedaan ragam pria-wanita mungkin tidak hanya berkisar pada tataran fonologi,
melainkan juga pada tataran morfologi, kosakata, dan kalimat. Perbedaan bahasa pria dan
wanita seperti itu memang tidak bisa diterangkan atas dasar perbedaan sosial karena
diantara kedua kelompok itu memang tidak ada rintangan sosial. Jadi perbedaan itu tidak
dapat diterangkam atas dasar kelas sosial, dialek geografis atau etnik. Karena itu kita harus
mencari penyebab yang lain, sebagaimana kita melihat pada paparan berikut.
1.4 Kasus Hindia Barat
Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di Kepulauan Antilen Kecil, Hindia Barat,
dan mengadakan kontak dengan menemukan pria dan wanita menggunakan bahasa yang
berbeda. Pengamatan selanjutnya menunjukan sebenarnya mereka bukan menggunakan
bahasa yang berbeda melainkan hanya menggunakan bahasa ragam yang berbeda dalam
satu bahasa dan itupun menyangkut sejumlah kosakata dan frasa. Pria mempunyai
sejumlah kosakata dan frase yang khusus untuk mereka. Para wanita bisa mengerti bahasa
tersebut, tapi tidak menggunakannya, begitupun sebaliknya, para wanita mempunyai
kosakata dan frase yang khusus yang tidak bisa diguanakan oleh pria atau jika digunakan
akan dicemooh.
Penduduk pribumi kepulauan Dominika mengemukakan sebab terjadinya perbedaan
ragam pria-wanita itu ialah ketika orang Karibia menduduki kepulauan tadi, wilayah ini
dihuni oleh suku Arawak. Pria Arawak dimusnahkan sedangkan wanitanya mereka
kawini. Dikemukakan pula ada persamaan antara tutur orang Arawak daratan dengan
tutur wanita Karibia. Orang pervcaya perbedaan ragam pria-wanita itu akibat
pencampuran antara bahasa Karibia dengan bahasa Arawak karena penyerbuan tadi.
Sayangnya fakta sejarah tidak mendukung pendapat itu. Sehingga hanya dugaan saja.
Seorang ahli bahasa, Otto Jespersen, memberikan penjelasan lain. Ia mengemukakan
perbedaan itu mungkin akibat gejala tabu. Bila kaum pria Karibia menggunakan sejumlah
kata hanya boleh digunakan oleh pria dewasa. Jika itu digunakan oleh wanita dan anak-
anak maka akan terjadi malapetaka. Untuk mengkaji kebenaran teoru tabu ini perlu
diteliti pada bahasa-bahasa lain.

1.5 Teori Tabu


Tabu memegang peranan penting dalam bahasa. Masalah inipun disinggung dalam
ilmu semantik. Ilmu ini memperhatikan tabu sebagai penyebab berubahnya makna kata.
Sebuah kata yang ditabukan tidak dipakai, kemudian digunakan kata lain yang sudah
mempunyai makna sendiri. Akibatnya kata yang tidak ditabukan itu memperoleh beban
makna tambahan.
Karena tabu tidak hanya menyangkut ketakutan terhadap roh gaib, melainkan juga
berkaitan dengan sopan santun dan tata karma pergaulan sosial, orang yang tidak ingin
dianggap “tidak sopan” akan menghindari penggunaan kata-kata tertentu. Dalam
masyarakat Indoneisa, khusunya dalam bahasa daerah sering dikatakan wanita lebih
banyak menghindari pengguanaan kata-kata yang berhubungan dengan alat kelamin atau
kata-kata “kotor” yang lain. Kata-kata itu seolah-olah ditabukan oleh wanita dan seolah-
olah menjadi monopoli pria.
Di Zulu, Afrika, seorang istri tidak diperbolehkan menyebut nama mertua laki-laki
atau saudara laki-laki mertua itu. Jika melanggar, istri bisa dibunuh. Dalam bahasa Zulu
ada kata-kata tertentu yang tabu untuk digunakan oleh wanita. Bahkan tidak hanya itu,
kata-kata tabu itu bisa meluas sampai kepada bunyi-bunyi yang menyerupai bunyi dalam
kata yang ditabukan itu. Apabila kata-kata itu mengandung buyni /z/, si wanita tidak akan
dapat menggunakan kata seperti amanzi ‘air’ karena mengandung bunyi /z/, dank arena
itu harus mengubahnya menjadi amandhabi. Jika proses ini digeneralisasikan atau
dirampatkan bagi semua wanita dalam masyarakat, akan dapat dimengerti jika dialek
sosial berdasarkan jenis kelamin akan muncul.
Contoh lain yang menyerupai proses pentabuan kata yang “hampir sama bunyinya”
dengan bunyi kata yang ditabukan itu adalah apa yang pernah terjadi di Malaysia,
meskipun contoh ini tidak menyangkut perbedaan jenis kelamin. Di Malaysia kata butuh
ditabukan karena dianggap porno. Almarhum Perdana Menteri Pakistan yang bernama
Ali Bhutto yang namanya mirip kata butuh itu kemudian disebut atau dilafalkan Ali
Bhatto. Sayang sekali, teori ini tidak secara tuntas menjelaskan perbedaan ragam pria-
wanita, ada perbedaan ragam itu yang bisa dijelaskan berdasarkan sistem kekerabatan.

1.6 Teori Sistem Kekerabatan


Bahasa Chiquito, bahasa Indian Amerika di Bolivia, bila seorang wanita ingin
mengatakan ‘kakak saya laki-laki’, ia mengatakan icibausi, sedangkan seorang pria
mengatakan tsaruki. Perbedaan kosakata ini jelas bukan karena masalah tabu, melainkan
akibat dari sistem kekerabatan dan sistem jenis saja pada orang Chiquito. Perbedaan kata
itu didasarkan atas jenis kelamin dari penutur atau orang yang menyapa. Hubungan
saudara laki-laki dengan saudara perempuan tidak sama akrabnya dengan hubungan
antara saudara laki-laki dengan saudara laki-laki. Cara seperti ini ditemukan pula pada
hubungan lain, misalnya:

Penutur pria Penutur wanita

‘ayah saya’ ijai isupu

‘ibu saya’ ipaki ipapa


Perbedaan ini bertolak belakang dengan yang ada dalam bahasa Indonesia atau bahasa
daerah lain di Indonesia, pembedaan didasarkan pada orang yang disapa atau yang
disebut, bukan kepada orang bertutur. Kata paman dan bibi mengacu pada jenis kelamin
yang berbeda dari orang yang kita sapa. Yang menyebut paman dan bibi adalah
kemenakan orang-orang itu, tidak peduli apakah kemenakan itu laki-laki atau perempuan.
Begitu pula halnya dalam bahasa Inggris, yang membedakan kata ganti orang ke-3
tunggal: he dan she.

1.7 Konsevatif dan Inovatif


Ada situasi yang menarik dalam perbedaan ragam tutur pria dan wanita yang tidak
bisa dijelaskan dengan teori tabu. Situasi itu ialah yang terdapat dalam bahasa Koasati,
suatu bahasa Indian dan Amerika. Perbedaan raga mini melibatkan fonologi dari bentuk-
bentuk kata ganti persona. Perhatikan contoh-contoh berikut.

Makna Pria Wanita

‘dia sedang berkata’ /ka:s/ /ka:/

‘itu jangan diangkat’ /lakauci:s/ /lakaucin/

‘itu sedang dikupaskannya /mols/ /mol/

‘kau sedang menyalakan api /o:sc/ /o:st/

Tutur pria cenderung mengarah kepada bunyi /s/ pada bagian akhir kata, sedangkan
pada wanita tidak demikian. Yang menarik ialah hanya wanita berusia tua sajalah yang
mempertahankan bentuk-bentuk khusus itu (seperti dalam daftar itu), sedangkan wanita
muda dan anak-anak menggunakan bentuk-bentuk seperti yang dipakai oleh pria. Jika
seorang anak laki-laki mengatakan /ka:/ misalnya, ibunya akan memperingatkan itu tidak
benar, dan berkata “Jangan begitu, kau harus mengatakan /ka:s/ (harus ada /s/ -nya)”. Ini
berarti wanita, dalam hal-hal seperti itu, tidak ditabukan untuk menggunakan bentuk yang
biasa digunakan oleh pria. Ada beberapa bentuk, dalam bahasa Koasati, yang bagi wanita
lebih kuna daripada bentuk-bentuk bagi pria. Bentuk-bentuk bagi pria mengalami
perubahan atau pembaruan.

Gejala serupa (yaitu adanya perubahan bentuk) juga terjadi dalam bahasa lain,
misalnya pada bahasa Chukchi, suatu bahasa yang digunakan di Siberia. Dalam bahasa ini
ragam bahasa wanita mempunyai konsonan intervokal (yaitu konsonan yang terletak di
antara dua vokal) pada bebrapa kata, terutama /n/ dan /t/, yang tidak ada pada ragam pria.

Contoh,Pria : nitvaqaat

Wanita : nitvaqanat (ada n di antara dua vokal a).

Hilangnya konsonan intervokal (seperti pada pria) merupakan perubahan bunyi yang
jauh lebih sering dan bisa diharapkan adanya, dan hal demikian dapat dilihat pada
berbagai bahasa di dunia. Jenis perbedaan ini jelas memberikan petunjuk ragam wanita
lebih kuna daripada ragam pria. Tutur wanita lebih konservatif daripada tutur pria. Tutur
pria bersifat inovatif atau pembaharuan.

1.8 Sikap Sosial dan Kejantanan


Hal yang lebih menarik ialah sikap orang Koasati terhadap kedua ragam itu. Penutur
berusia tua cenderung mengatakan ragam tutur wanita lebih baik daripada ragam tutur
pria. Situasi ini menarik karena data yang ada pada masyarakat “primitif” dan sederhana
ini serupa dengan data yang diperoleh dari masyarakat yang berteknologi maju, seperti
Amerika dan Inggris.
Ada perbedaan-perbedaan kecil yang kurang jelas dan sifatnya “di bawah sadar”
ditemukan dalam penelitian terhadap bahasa Inggris di Amerika maupun di Inggris. Ada
sejumlah kata dan frase yang cenderung terkait dengan jenis kelamin. Kebetulan sebagian
besar daripadanya adalah kata seru. Ini bisa dipahami karena kata-kata untuk sumpah
serapah mungkin lebih cocok untuk pria daripada wanita. Tetapi lebih banyak lagi
perbedaan itu bersifat fonetik dan fonemik, dan tabu tidak bisa dipakai sebagai penjelasan.
Perbedaan itu tidak berarti sehingga orang sama sekali tidak mengetahuinya secara
sadar. Perbedaan tata bahasa (gramatika) mungkin juga ada, sebagaimana terlihat dari
hasil survai-survai pada dialek perkotaan. Telah terlihatkan dari survai itu dengan
perhitungan faktor-faktor lain seperti kelas sosial, etnik, dan umur, para wanita secara
konsekuen menggunakan bentuk-bentuk yang lebih mendekati bentuk-bentuk ragam
baku atau logat dengan prestise tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang
digunakan pria. Dengan kata lain, para wanita Inggris (yang modern), seperti halnya
dengan wanita Koasati (yang tidak modern) menggunakan bentuk-bentuk yang dianggap
“lebih baik” daripada yang digunakan pria. Sebagai contoh adalah sedikitnya kaum
wanita yang menggunakan kalimat nonbaku seperti I don’t want none ‘Saya tidak ingin
apa-apa’ (yang baku ialah I want nothing atau I don’t want anything). Lihat tabel berikut.

KMA KMB KPA KPB


Pria 6,3 32,4 40,0 90,1
Wanita 0,01,4 35,6 58,9

Dapat dilihat pada tabel itu, semakin tinggi kelas sosial (KMA,KMB) semakin sedikit
penggunaan kalimat nonbaku baik oleh pria maupun wanita. Tetapi jika pria dan wanita
kita bandingkan, persentase wanita untuk semua kelas sosial selalu lebih kecil daripada
pria (bandingkanlah angka-angka pada tiap kolom). Kaum wanita lebih peka terhadap
dinodainya ciri kalimat baku itu, lebih setia kepada gramatika yang “benar”. Hal serupa ini
terjadi pula pada para wanita Negro di Detroit maupun wanita Inggris di Norwich dan
London, dan Afrika Selatan.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Sepanjang yang menyangkut masyarakat pemakai
bahasa Inggris, para ahli membuat terkaan-terkaan berikut. (1) Penelitian sosiologi telah
menunjukkan kaum wanita pada umunya lebih sadar kedudukannya daripada pria. Atas
dasar itu wanita lebih peka terhadap pentingnya faktor kebahasaan yang dihubungkan
dengan kelas sosial seperti pengingkaran rangkap tadi. Artinya, mereka sadar makin baik
bahasanya makin berarti kedudukan sosialnya. (2) Tutur kelas pekerja mempunyai
konotasi kejantanan atau ada hubungannya dengan kejantanan, yang mengakibatkan kaum
pria cenderung lebih menyukai bentuk bahasa yang nonbaku (yang “menyimpang dari
yang baik”) dibandingkan dengan kaum wanita. Hal ini karena tutur kelas pekerja
dihubungkan dengan “kekerasan” yang biasanya merupakan ciri kehidupan kelas pekerja,
dan kekerasan itu dianggap sebagai ciri kejantanan.

Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala
sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena
masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat
mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda.

Bahasa hanyalah pencerminan kenyataan sosial ini. Tutur wanita bukan hanya
berbeda, melainkan juga lebih “benar”. Ini merupakan pencerminan kenyataan sosial, pada
umumnya dari pihak wanita diharapkan tingkah laku sosial yang lebih “benar”.
Semakin lebar dan semakin kaku perbedaan antara peran sosial pria dan peran sosial
wanita dalam suatu masyarakat, semakin lebar dan semakin kaku pula kecenderungan
perbedaan bahasa yang ada. Contoh-contoh yang dikemukakan dalam bahasa Inggris di
atas semuanya terdiri dari kecenderungan wanita untuk menggunakan bentuk-bentuk yang
lebih “benar” daripada pria. Sedangkan contoh-contoh mengenai ragam bahasa pria dan
wanita yang berbeda, seluruhnya berasal dari masyarakat pengumpul bahan makanan atau
masyarakat pengembara yang secara teknologi primitive (seperti pada masyarakat Koasati,
dan sebagainya tadi), di mana perbedaan peranan sosial pria dan wanita jauh lebih jelas
batas-batasnya dibandingkan dengan masyarakat berbahasa Inggris. Pada masyarakat
pengembara misalnya ada perbedaan tugas yang tegas yaitu pria pergi berburu dan wanita
mengurus anak-anak dan makanan. Pada masyarakat teknologi tinggi (seperti Amerika),
jabatan ahli mesin bisa saja dipegang oleh pria atau wanita, jadi tidak jelas perbedaan
peran pria dan wanita. Perbedaan peranan yang begitu tercermin dalam bahasa.

Dengan demikian dapat dikatakan ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik dan
kelompok sosial, sekurang-kurangnya sebgian, adalah akibat dari jarak sosial (social
distance), sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin tadi adalah akibat dari
perbedaan sosial (sosial difference). Anda (pria atau wanita) yang merasa anggota warga
etnik Bali, tinggal di Bali, dan berkasta brahmana, bisa jadi merasa mempunyai jarak
sosial dengan orang dari etnik Flores dengan orang yang tinggal di Lombok, dan dengan
orang dari kasta sudra. Perbedaan-perbedaan ini tercermin dalam perbedaan bahasa. Tetapi
pria dan wanita brahmana tidak punya jarak sosial, mereka berbeda secara sosial saja.
Sifat sosial dan tingkah laku yang berbeda dituntut dari pihak pria dan wanita, dan ragam
bahasa berdasarkan jenis kelamin tersebut merupakan lambang kenyataan ini. Seorang pria
yang menggunakan ragam bahasa wanita sama halnya dengan menyatakan identitasnya
sebagai wanita, dan bertingkah laku sebagaimana layaknya seorang wanita, seperti halnya
kalau ia mengenakan rok. Apakah jadinya jika seorang pria Karibia yang menggunakan
ragam tutur wanita: dia akan dicemoohkan. Dan manakala wanita penutur Inggris
diharapkan lebih “benar” daripada penutur pria, demikian pula wanita Koasati mungkin
diharapkan tidak begitu agresif, dan dengan demikian mungkin kurang menghendaki
pembahasan dan lebih konservatif adalah lambang kewanitaan.
1.9 Prestise Tersembunyi
Kita sudah mempunyai cukup banyak bukti nilai sosial (social value) dan peranan
jenis kelamin (sex roles) dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi
kebahasaan tertentu. Kita ketahui, penutur yang banyak memperhatikan tuturnya secara
linguistik akan cenderung untuk menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status
prestise ini, dan hal ini tampak pada wanita.
Bagaimana tutur pria yang mempunyai konotasi kelas buruh (yang “keras”)? Dalam
hal ini sebenarnya ada pendapat yang berkeyakinan ragam bahasa nonbaku dan kelas
buruh rendahan itu juga mempunyai “prestise” dan ini khusus dimiliki oleh pria (yang
umumnya memang pekerja rendahan). Labov menamakan jenis prestise ini prestise
tersembunyi atau prestise terselubung (covert prestige), karena sikap ini memang tidak
diungkapkan dengan nyata dan terbuka. Sikap ini juga secara mencolok menyimpang dari
alur nilai-nilai sosial pokok yang disadari tiap orang.
Suatu bukti prestise tersembunyi itu ada, dapat dilihat pada hasil penelitian dialek
perkotaan di Norwich. Informan, dalam penelitian ini, diminta untuk mengikuti tes
pengakuan atau evaluasi diri sendiri (self-evaluation test), untuk mengetahui perbedaan
antara (1) apa yang mereka yakini (yang mereka akui) biasa mereka ucapkan dengan (2)
apa yang sebenarnya mereka ucapkan. Atau untuk mengetahui perbedaan antara
pengakuan dengan kenyataan. Dalam tes pertama beberapa kata diucapkan keras-keras
dengan dua lafal yang berbeda (yang baku dengan prestise tinggi dengan lafal nonbaku
yang prestisenya rendah). Para informan disuruh mendengarkan lafal itu, misalnya:

tune: 1 /tju:n/ .2. /tu:n/

Para informan diminta mencatat ucapan atau lafal yang biasa mereka pakai. Mereka
disuruh menilai sendiri. Yang kedua mereka diwawancarai oleh peneliti, satu persatu, dan
wawancara itu direkam. Catatan hasil penilaian mereka pada tes pertama kemudian
dibandingkan dengan rekaman percakapan mereka dalam wawancara dengan peneliti.
Rekaman inilah yang menggambarkan lafal mereka yang sebenarnya. Penelitian ini akan
menjawab persoalan, “Apakah yang diakui selalu cocok dengan kenyataan yang
sebenarnya?”.
Mereka kemudian dikelompokkan menjadi dua. Informan yang dalam rekaman
menggunakan lafal ke-1 (yang berprestise) lebih dari 50%, digolongkan pemakai bunyi
luncur /j/. Yang memakai kurang lebih 50% digolongkan bukan pemakai bunyi luncur.
Angka ini kemudian dibandingkan dengan mereka yang mengaku memakai lafal ke-1 dan
ke-2. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.

1.10 Wanita sebagai Pelopor Perubahan


Tutur wanita dalam masyarakat Koasati, terutama pada masyarakat Chuckhi, lebih
konservatif daripada pria. Artinya, perubahan bahasa dipelopori oleh pria.
Pola serupa, tetapi lebih kompleks, juga terdapat pada masyarakat "Barat". Agak
berbahaya untuk mengeneralisasikan begitu saja karena pengetahuan kita terbatas, tetapi
wanita lebih konservatif daripada pria. Tetapi hal ini, hanya untuk lafal berprestise,
misalnya penggantian /t/ akhir dengan hamzah /?/ dalam bahasa inggris (seperti pada kata
bet yang diucapkan /bE?/).
Apabila terdapat jenis ragam bahasa berstatus tinggi atau bernorma nasional (bukan
regional, bukan dialek), perubahan ke arah norma ini lebih sering dipelopori oleh wanita.
Menurut anggapan orang, hal ini karena pentingnya "ketepatan" dan "kebenaran"
(correctness) sebagai suatu ciri kewanitaan. Perkembangan semacam itu sering terjadi di
daerah Larvik di Norwich Selatan, dimana perubahan bahasa sedang terjadi. Di sini
bentuk-bentuk yang berasal dari kota tersebar ke daerah pedalaman dan mengambil alih
persebaran bentuk-bentuk lama asal perdesaan dan berstatus rendahan. Juga disini para
wanita memelopori perubahan. Kita dapat membedakan dalam beberapa keluarga, tiga
tahap: (1) para bapak di wilayah pedesaan akan lebih konservatif pada anak laki-laki
mereka, (2) anak laki-laki lebih konservatif daripada ibu-ibu dan saudara perempuan
mereka, (3) para wanita lebih banyak kemungkinannya menggunakan bentuk-bentuk
perkotaan yang lebih tinggi prestisenya daripada bentuk-bentuk pedesaan, dan secara
keseluruhan menjadi satu generasi lebih maju daripada penutur pria.
Pola semacam itu muncul di Norwich dengan wanita sebagau pelopor, meskipun
perubahan bahasa yang terjadi mungkin agak kacau jika dikaitkan dengan perbedaan jenis
kelamin. Variabel yang diteliti di Norwich adalah vokal dalam kata seperti top 'atas', hot
'panas', dog 'anjing'. Lafalnua ada dua jenis, yaitu vokal-bundar (round vowel) dan vokal
tak bundar (unrounded vowel). Vokal bundar itu seperti /o/ dalam tokoh. Vokal tak
bundar itu seperti /a/.
Jadi, ragam pria-wanita itu akibat dari perbedaan sikap sosial terhadap tingkah laku
pria dan wanita, dan dari sikap yang dimiliki pria dan wanita itu sendiri, dan dari sikap
yang dimiliki pria dan wanita itu sendiri terhadap bahasa sebagai lembaga sosial. Sikap
ini sangat penting dalam situasi kependidikan. Dalam masyarakat Hindia Barat, misalnya,
ditemukan anak-anak mulai memperoleh sikap-sikap yang berkaitan dengan jenis kelamin
itu dalam bahasa Inggris baku menjelang usia 6 atau 7 tahun. Pada awal anak-anak belajar
Bahasa Inggris baku, tutur mereka tidak menunjukan adanya perbedaan jenis kelamin.
Artinya, prestasi atau keterampilan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, dalam
Bahasa Inggris baku sama saja. Setelah enam bulan berjalan, tutur anak perempuan secara
lebih meluas (ekstensif) mengalami perubahan ke arah warna prestise yang diajarkan
kepada mereka, dibandingkan tutur anak laki-laki, meskipun sedikit banyak keduanya
mengalami perubahan. Artinya, keterampilan anak perempuan lebih menjurus kepada
kaidah yang benar yang diharapkan gurunya.
Pria dan wanita berbicara sedemikian adanya karena mereka merasa jenis ragam
bahasa tertentu memang cocok untuk jenis kelamin tertentu. Kecocokan itu diperkuat oleh
adanya tekanan-tekamam sosial (social pressures), misalnya orang yang menggunakan
ragam bahasa yang tidak tepat akan "dihadiahi" dengan "cemoohan", seperti pada
masyarakat Karibia, atau bahkan bisa dibunuh, seperti yang pernah dilaporkan pada
masyarakat Zulu. Dalam hal-hal lain, orang yang bersangkutan mungkin merasa tidak
enak menggunakan ragam yang cocok bagi jenis kelaminnya, sebagaimana halnya pada
anak laki-laki Hindia Barat, kemudiam mengkompensasikan ketidakcocokan itu dengan
lelucon atau menirukan.
1.11 Penelitian di Indonesia
Penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia belum banyak dilakukan. Satu
di antara yang sedikit adalah penelitian Multamia Lauder dan Basuki Sahardi (1988)
tentang sikap kebahasaan kaum wanita di sebagian kota Jakarta. Penelitian memakai
percontoh (sampel) sebanyak 364 orang, terdiri atas 181 (52,3%) pria dan 165 (47,7%)
wanita. Ubahan (variabel) yang diteliti adalah usia, pekerjaan, pendidikan, lama tinggal
di Jakarta, status, dan kali ini dikaitkan dengan sikap-sikap bahasa mereka, lalu dilihat
perbedaan sikap itu pada pria dan wanita.
Secara umum dapat dikatakan sikap kebahasaan wanita cenderung mendua. Artinya,
ada semacam kontroversi atau pertentangan sikap. Wanita selalu cenderung mengarah
kepada pemakaian bahasa Indonesia. Namun, dalam hal-hal berkaitan dengan masalah
keluarga ada kecenderungan pada wanita untuk mempertahankan bahasa ibu. Menjadi
anggota perkumpulan sosial berbahasa ibu dilakukan karena merupakan tugas sosial, atau
wanita memang lebih senang “kumpul-kumpul” dan “ngobrol” di antara mereka,
sebagaimana diduga oleh Janifer Coates (1987).
Sikap wanita yang mendua sejalan dengan dugaan Eylan dkk. (1988) wanita itu
bersifat “andigini” (mendua). Menurut Eylan, wanita-wanita di kota-kota besar
cenderung mendua; mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti pria, namun tidak mau
kehilangan kefemininan. Juga wanita-wanita karier, yang mempunyai status tinggi di luar
rumah; mereka ingin berkarya sejajar dengan pria, tetapi tetap ingin sebagai ibu dan istri
yang ideal.
Menurut data sensus baik tahun 1970 maupun sensus tahun 1980, pria lebih banyak
yang mampu berbahasa Indonesia daripada wanita, meskipun jumlah penduduk Indonesia
lebih banyak wanitanya. Berikut ini tabel jumlah pemakai bahasa Indonesia menurut
golongan umur dan jenis kelamin selama sensus 1971 dan 1980:

Sensus 1971 Sensus 1980


Umur
Pria (%) Wa (%) Juml.(%) Pria (%) Wa (%) Juml.(%)

0-9 3,59 3,47 7,06 4,36 4,25 8,61


10-49 17,17 13,80 30,97 25,16 22,20 47,36
50+ 1,76 0,98 2,74 3,16 1,66 4,84

Mampu ber-BI 22,52 18,25 40,77 32,70 28,11 60,81

Tak ber-BI 26,76 32,56 59,22 17,00 22,19 39,19

Total 49,28 50,71 100,00 49,70 50,30 100,00

Mengapa pria lebih banyak mampu berbahasa Indonesia? Basuki suhardi mengira, hal
itu ada kaitannya dengan tingkat pendidikan yang dicapaioleh pria. Jumlah laki-laki yang
memperoleh pendidikan formal dari SD sampai dengan perguruan tinggi berdasarkan data
sensus memang lebih banyak dibandingkan wanita. Hal tersebut tergambar dalam tabel
berikut ini.
Sensus 1971 Sensus 1980
No Tingkat Pdd
Pria (%) Wa (%) Juml.(%) Pria (%) Wa (%) Juml.(%)

1. 0/SD 22,15 27,93 50,08 15,34 13,80 29,14


2. SD 7,94 5,38 13,32 8,18 7,50 15,68
3. SLTP 1,84 1,09 2,98 2,56 1,69 4,25
4. SLTA 0,96 0,43 1,39 2,02 1,07 3,09
5. PT 0,16 0,05 0,23 0,26 0,09 0,35

TOTAL 33,12 34,88 88,00 28,36 24,15 52,51

1.12 Ragam Bahasa Waria dan “Gay”


Menyinggung perihal waria dan gay sedikit geli didengar oleh telinga. Beberapa
orang menganggapnya bukan lagi sesuatu yang wajar, bahkan itu menjadi sebuah
kelainan secara fisik dan perilakunya. Pada saat ini sudah tidak jarang lagi ditemukan
laki-laki yang menjelma seperti perempuan atau akrab dipanggil banci atau bencong.
Begitu juga dengan gay, bahkan di negara-negara luar gay tidak dianggap sebagai
penyimpangan malah menjadi sesuatu yang sudah diterima dan menjadi hal yang sah-sah
saja di negara tersebut.
Waria atau wadam merujuk kepada orang-orang yang secara biologis atau fisik
berkelamin laki-laki tetapi berpenampilan serta berperilaku seperti atau mengidentifikasi
diri sebagai perempuan. Gay merujuk kepada laki-laki yang menyukai sesama laki-laki
secara emosional-seksual (.......). Waria bisa dikatakan sebagai seseorang yang mengubah
dirinya dari kelaki-lakian menjadi keperempuanan. Berbeda dengan gay, bahwa gay lebih
dikenal sebagai hubungan sesama jenis yakni seorang laki-laki menyukai laki-laki
lainnya.
Dede Oetomo meneliti bahasa yang digunakan oleh waria dan gay di Surabaya yang
sebenarnya bahasa mereka termasuk “bahasa rahasia”. Bahasa mereka, sebagaimana
model bahasa “rahasia” lainnya, tampak “kelainannya” karena adanya jumlah kosakata
yang khas yang berbeda dengan kosakata umum. Dede melihat, waria biasanya
merupakan kelas “bawah”, berasal dan beroperasi di kota kecil, sebagian “melacurkan
diri” di tempat-tempat tertentu dan sebagian lagi bekerja sebagai penata rambut, dan
sebaginya. Sesuai dengan kelas sosialnya itu, orientasi mereka lebih banyak ke bahasa
Jawa dari pada bahasa Indonesia. Gay di lain pihak berasal dari golongan kelas menengah
di kota Surabaya, dan orientasinya kepada bahasa Indonesia yang memang lebih banyak
menjadi bahasa kelas menengah ke atas. Tetapi, kaum gay itu juga memakai bahawa
Jawa. Dengan demikian, menurut Dede, gay itu dwibahasawan.
Bahasa mereka dapat ditinjai dari dua segi, yaitu (A) struktur pembentukan istilah
dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan, dan (B) penciptaan istilah
baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada. Pada unsur (A) ada
dua jenis pokok yaitu (A1) yang berdasrkan kata bahasa Jawa, dan (A2) yang
berdasarkan kata-kata bahasa Indonesia. Unsur (A2) dapat dibedakan menjadi dua pula,
yaitu (A2a) jenis kata berakhiran dengan –ong dan (A2b) jenis kata-katanya berakhiran
dengan –si. Kaum waria umumnya memakai A1 , sedangkan gay memakai A1 maupun
A2. Jenis B dipakai oleh keduanya.

Contoh A1:

banci ―˃ siban

lanang ‘laki-laki ―˃ silan

payu ‘laku’ ―˃ sipa

Kaidah:

(a) ambil tiga bunyi pertama; konsonan (K) + vokal (V) + K


(b) tmbah si- di depannya.
(c) bunyi K-akhirnya disesuaikan dengan kaidah umum dalam bahasa Jawa: /y/
hilang, /ny/ menjadi /n/.

Contoh A2a:

banci ―˃ bencong

homo ―˃ homeng

maen ‘bersetubuh’ ―˃ meong

Kaidah:
(a) ambil tiga bunyi pertama: atau dua, jika K2 tidak ada.
(b) Tambahkan –ong di belakangnya.

Contoh A2b:

banci ―˃ bences

homo ―˃ homes

maen ―˃ mees

Kaidah (a) dan (b) pada kaidah A1 berlaku di sini.

(c) Tambahkan –es (dengan e-pepet seperti /e/ pada awalan se-)

Dede kemudian menyusun sejumlah kosakata yang digolongkan menjadi empat


golongan, yaitu:

(1) Istilah yang merujuk pada orang atau sifatnya.


siban, bencong, siben, wadam, waria, banci, yongen
siyong = pemuda, remaja
jeruq, jerong, jeres = pemeras
sipul, polesong = polisi

(2) Istilah yang merujuk pada tubuh, bagian tubuh dan kualitas tubuh:
singgan, cekong, cekes, sicek, cucoq = ganteng, cakep
sisun = disunat

(3) Istilah yang merujuk pada kegiatan seksual:


singrat, greong = hubungan seks yang gratis
sistem tisu = sering berganti mitra dalam hubungan seks.

(4) Istilah yang merujuk pada pola hubungan dan pergaulan:


wil,wilseq = mau; tertarik
mbakyu = sebutan untuk waria/ gay feminin yang lebih tua
jeng = sebutan untuk waria/ gay feminin yang lebih muda

Anda mungkin juga menyukai