Anda di halaman 1dari 10

Humaniora, Vol. 25, No.

1 Februari 2013: 82-91HUMANIORA

VOLUME 25 No. 1 Februari 2013 Halaman 82-91

KONSTRUKSI NAMA ORANG JAWA


STUDI KASUS NAMA-NAMA MODERN DI SURAKARTA
Sahid Teguh Widodo*

ABSTRACT
Javanese name is a form of utterance that has the form, structure, and interesting meaning.
The modern Javanese name have diverse forms and meanings. Based on the data analyzed, it was
apparent that the tendency of modern names compiled from more than one element of the name.
However, it still can be found also the single names, the name of which only consists of one single
element. This case is very interesting to be seen and studied more deeply, espesially related to
construction (composition) Javanese naming. Understanding of constraction of Javanese name is
very important to know cultural tastes, desires, hopes, and ideals of society are constantly changing
from time to time

Keywords: construction, culture, Java, modern, name

ABSTRAK
Nama Jawa adalah bentuk ucapan yang memiliki bentuk, struktur, dan makna yang menarik.
Nama Jawa modern memiliki beragam bentuk dan makna. Berdasarkan data yang dianalisis, tampak
jelas bahwa kecenderungan nama modern disusun dari lebih dari satu unsur dari nama tersebut.
Namun, masih dapat ditemukan juga nama-nama tunggal, nama yang hanya terdiri dari satu elemen
tunggal. Kasus ini sangat menarik untuk dilihat dan dipelajari lebih dalam, terutama yang berkaitan
dengan konstruksi (komposisi) penamaan Jawa. Pemahaman proses konstruksi dari nama Jawa
sangat penting untuk mengetahui selera budaya, keinginan, harapan, dan cita-cita masyarakat yang
terus berubah dari waktu ke waktu.

Kata Kunci: budaya, Jawa, konstruksi, modern, nama

PENGANTAR perkara nama ini berkait rapat dengan masalah-


masalah di luar aspek kebahasaan. Ternyata,
Nama adalah sesuatu yang dipahami dan
nama orang di dalam lingkungan masyarakat
disebut oleh seseorang berupa kata, istilah, atau tidak saja berhubungan dengan agen penyandang
ungkapan yang dapat digunakan untuk mengenali atau keluarganya saja, tetapi berkait rapat
seseorang atau sesuatu dari yang lainnya (Hofmann, dengan aspek yang lain, misalnya waktu, tempat,
1993:117). Budaya Jawa mempunyai aturan tradisi suasana atau peristiwa, status sosial, sejarah, dan
yang sama, penulisan nama diwujudkan dengan tradisi. Nama merupakan produk masyarakat
huruf kapital sebagai bentuk penghormatan bagi yang mampu menjelaskan berbagai hal tentang
penyandangnya. Bermula dari itulah, saya mengira masyarakat itu. Inilah yang menarik, mengapa

* Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta

82
Sahid Teguh Widodo - Konstruksi Nama Orang Jawa

nama dapat merujuk ide-ide yang abstrak, seperti tradisional yang dilakukan oleh orang-orang
budaya, masyarakat, nilai, cita-cita, harapan, dan doa Jawa dalam proses pemberian nama, menyambut
(Cavallaro, 2004). kelahiran, dan juga bentuk social spirit dari
Penelitian tentang nama orang masih sangat masyarakat Jawa tradisional.
terbatas jika dibandingkan dengan pelbagai kajian Beberapa literatur lain yang tidak secara
atau penelitian lain dalam bidang bahasa, sosial, langsung membahas masalah nama orang Jawa
dan budaya. Penelitian nama orang Jawa (Javenese adalah karya Koentjaraningrat (1984), Ki Hudoyo
personal name), menurut Uhlenbeck (1982), Doyopuro (1996), Hadiwidjana (1968), Mutawakil
mungkin dianggap kurang menarik, sempit, dan (1989), Miftah Farid (1998), dan Kitab Primbon
kering karena tidak banyak materi yang dapat Betal Jemur Adam Makna (1934). Berbagai
diteliti. Berbagai literatur dan penelitian yang ada penelitian itu kebanyakan hanya menampilkan
selalu melihat nama dalam paradigma tunggal, yaitu deret panjang nama-nama orang Jawa yang ter-
sebagai struktur kebahasaan. Akibatnya, penelitian baik dan terpilih saja. Perlu ditambahkan bahwa
nama terjerumus ke dalam medan sempit dan tulisan Radjiman (1986) yang berjudul Sejarah
kering karena tidak memberi pilihan terhadap sudut
Surakarta: Tinjauan Sejarah Politik dan Sosial
pandang yang lain.
secara khusus pada Bab IV membahas tradisi
Arti sebuah nama selalu berkait dengan pemberian nama di Surakarta, tetapi lebih men-
makna rujukan (Crystal, 1987) yang merujuk pada jurus upacara tradisi dan sistem penamaan tempat
sesuatu bahwa ‘ini adalah arti tersebut’. Jika nama (toponimi).
diri dipahami dari rujukan saja, dapat diramalkan
Artikel ini mencoba mengungkap konstruksi
akan terjadinya kekacauan pengertian. Adanya
nama orang Jawa modern dari perspektif kebaha-
paradigma tunggal dalam penelitian sistem nama
saan. Namun, disadari benar bahwa peringkat
orang juga mengakibatkan kekeliruan yang cukup
ilmu bahasa pun tidaklah mungkin membatasi diri
serius, yaitu menerapkan makna nama secara
tautologis ’pengulangan gagasan pernyataan, ber- pada struktur logika internal saja. Allport (1937)
lebihan, dan kurang mengena’. Moore (1954) menjelaskan bahwa nama orang merupakan iden-
menyatakan bahwa sebuah nama berarti objeknya, titas diri dan terdapat bukti bahwa nama seseorang
dan objek itu adalah artinya. Pada sisi lain, nama mempunyai pengaruh dalam kehidupannya. Seba-
juga sering disalah artikan dengan konsep. Padahal, gai contoh penyandang nama yang populer secara
di dalam logika bahasa, keduanya memiliki dasar sosial akan menjadi lebih digemari (McDavid &
pengertian yang berbeda (Charlesworth, 1959). Harari, 1966) dan lebih mudah menyesuaikan diri
Penelitian tentang nama-nama orang Jawa (Twenge & Manis, 1998). Bahkan, secara eks-
pernah dilakukan oleh Suranto (1983) yang trem dinyatakan bahwa nama orang juga turut
berjudul Studi tentang Nama-nama Jawa. Kajian ini dikaitkan dengan panjang atau pendek umur sese-
merupakan kajian rintis yang menyediakan berbagai orang (Christenfeld, Phillips, & Glynn, 1999).
informasi dan data awal. Perihal yang menarik dari Apa pun alasannya, sistem nama orang (personal
kajian ini adalah penegasan Suranto bahwa nama name) masih perlu untuk ditelaah secara lebih
diri tidak hanya dapat dikaji dari aspek struktur mendalam hingga memberikan dasar pengetahuan
kebahasaannya saja, tetapi juga memungkinkan yang lebih kukuh. Selain itu, nama memiliki posisi
untuk ditelaah dari aspek-aspeknya yang lain yang cukup penting dalam sistem budaya Jawa
(socio-cultural). Selain itu, penelitian Suharno karena tradisi pewarisan budaya dimulai dari masa
(1987) yang berjudul Nama Diri dalam Masyarakat awal kehidupan sebuah generasi, yaitu masa ia
Jawa merupakan kajian yang lebih lengkap. memperoleh nama sebagai bentuk pembudayaan
Suharno mencoba merangkum berbagai upacara manusia.

83
Humaniora, Vol. 25, No. 1 Februari 2013: 82-91

WUJUD NAMA ORANG JAWA pengertian yang lebih luas sehingga semakin jelas
bahwa nama orang dari segi bentuk (fonetik) dan
Pada masa meneliti data nama yang terkumpul,
makna (semantik) tidak memiliki persamaan
didapatkan bentuk-bentuk nama seperti Sekar
dengan bentuk bahasa mana pun juga (Bloomfield,
’bunga’, Agung ’agung, besar, berwibawa’, Surya
1954; Uhlenbeck, 1982).
’sinar, matahari, dewa’, Risqi ’rejeki’, dan Lintang
’bintang’. Apabila dilihat dari bentuknya, deret
nama modern tersebut mempunyai konstruksi dasar Ikhwal Honorifik Su-
yang berupa kata dengan unsur pembentuknya
Salah satu contoh nama model Su- yang
berupa morfem. Nama dengan konstruksi dasar
digunakan adalah nama Suhardi. Awalan honorifik
seperti itu populer pada sekitar tahun 1940-1950.
Su- pada nama Suhardi –juga dari data nama-
Contohnya, Wadi ’rahasia’, Slamet ’selamat’,
nama sejenis lainnya– merupakan sebuah morfem.
Gudel ’anak kerbau, Muji ’memuji’, Sapar ’bulan
Sebagaimana pernyataan Sudaryanto (1994), su-
Jawa Islam’, Darmo ’perbuatan’, dan Hadi
adalah morfem, oleh karena satu dengan yang
’besar’. Setelah tahun 1970an, bentuk-bentuk
lain tidak memiliki persaman, baik dari fonetis
nama berunsur tunggal semakin jarang dijumpai.
maupun semantik. Pada nama lain seperti Suparjo
Pada berbagai kasus, bentuk-bentuk tunggal ini
‘keturunan yang baik’, Supriyadi ‘lelaki tampan
bergabung dengan bentuk lain menjadi bentuk
nama baru yang dipakai oleh orang hingga saat yang baik’, dan Susilo ‘berperilaku baik’, kesemua
ini. Misalnya, Sekar Ayu Mustikaningrum, Agung awalan honorifik Su- menandai makna yang sama,
Suryanto, Lintang Pamungkas, dan Mohammad yaitu baik dan indah.
Riski Pradana. Namun demikian, walaupun awalan honorifik
Unsur-unsur nama Mustikaningrum dan Su- adalah sebuah morfem yang terikat secara
Suryanto di atas, berkonstruksi kelompok kata bentuk, ia bebas secara makna. Su- ‘baik, indah’
(fraseologik) dengan berbagai konstituen frasa, merupakan pinjaman dari bahasa Sansekerta ke
yaitu kata. Dalam perspektif kebahasaan, kons- dalam bahasa Jawa yang memiliki ciri makna
truksi seperti ini dapat dikatakan sebagai unsur (lexical meaning) tertentu yaitu ‘baik dan indah’.
nama yang yang berwujud kata yang telah Su- selalu hadir bersama-sama pada morfem bebas
mengalami perubahan karena adanya morfem (free morphemes) yang lain dan selalu menjadi
lain yang bergabung menjadi satu dengannya. ‘pengarah’ pada makna ’baik dan indah’, tanpa
Oleh karena itu, dapat disebut sebagai nama mengganggu kejatian makna morfem bebasnya
yang berkonstruksi polimorfemis (bandingkan (Sudaryanto, 1994; Parera, 1994; dan Hocket,
Sudaryanto, 1990; Suranto, 1983). Adapun nama 1958). Jadi, pada kasus nama Suparjo, Supriyadi,
atau unsur nama yang berkonstruksi dasar saja dan Susilo, Sujono, Sudarsono, dan bentuk-bentuk
hanya terdiri dari bentuk tunggal, dapat disebut lain yang sejenis, morfem honorifik su- tidak
berkonstruksi monomorfmis, yaitu nama orang dapat berdiri sendiri secara bentuk sebagai unsur
yang hanya terdiri dari satu morfem saja dan nama, maka dengan itu dapat disebut sebagai
merupakan bentuk dasar. morfem tidak mandiri. Sedangkan Parjo (dari
Unsur nama yang berbentuk kata mono­ kata parji ‘keturunan’), Priyadi (priya ‘laki-
morfemis mempunyai bentuk fonemis yang ber­ laki’ + (a)di), -silo /a/ ’tatanan’, dan -jono ‘anak’
korelasi dengan sebuah makna tertentu. Adapun disebut morfem mandiri, baik secara bentuk
unsur nama yang polimorfemis selalu memiliki ciri maupun makna. Deret nama dalam tabel 1 berikut
tertentu dari bentuk fonemisnya yang berhubungan ini menunjukkan proses morfemis beberapa
tetap dengan ciri tertentu dari makna. Pengertian nama yang memiliki ciri-ciri morfemis seperti
morfem dalam hal ini hendaklah difahami dalam penjelasan di atas.

84
Sahid Teguh Widodo - Konstruksi Nama Orang Jawa

Tabel 1. Penggabungan morfem Su- pada morfem yang lain

Nama Proses Morfemis Makna Nama


Sudarmi Su + darmi Wanita yang memiliki akhlak
‘perbuatan, kebajikan’ yang baik dan mulia
Suwarno Su + warna Harapan menjadi anak tampan
‘wajah, penampilan, fizikal’ dan sifat yang baik.
Suwiji Su + wiji Harapan menjadi generasi
‘keturunan, generasi’ penerus (wiji, Jw) yang baik
Sumitro Su + mitro(a) Harapan dapat menjadi
‘teman, pengasuh, sahabat’ sahabat yang baik

Berdasarkan data di lapangan, morfem tidak Beberapa hal yang dipahami dari dua kasus
mandiri Su- sangat populer digunakan pada nama- honorifik Sa- dan Su-, adalah: (1) kedua-duanya
nama orang di kota Surakarta, bahkan melebihi merupakan morfem bahasa Jawa, (2) Sa- dan
bentuk-bentuk lain. Setelah itu menyusul morfem Su- kedua-duanya adalah morfem terikat (bound
Sri-, Wi-, dan Sa-. Khususnya untuk morfem Sri-, morphemes). Namun Su- memiliki makna ter­
ia memiliki kemungkinan untuk tampil dalam dua sendiri yaitu ‘baik dan indah’, sedangkan sa- ber­
bentuk, yaitu bentuk mandiri seperti pada nama makna ’sebuah atau seseorang’, (3) penulisan huruf
Sri Sumekar, Sri Utami, Sri Supiyarno, dan Sri /s/ pada morfem nama selalu ditulis dengan huruf
Wahyuni. Bentuk kedua tampil sebagai morfem kapital /S/ di manapun posisinya dalam kalimat.
tidak mandiri seperti beberapa contoh nama di
Dalam khazanah nama orang Jawa terdapat
bawah ini (tabel 2). Bagimanapun, Sri- lebih
cenderung sebagai nama perempuan, walaupun banyak unsur nama yang memiliki suku kata awal
beberapa nama laki-laki memakainya juga. Dalam Su-, Sa-, Wi-, dan Sri-. Namun demikian, tidak
tradisi lisan Jawa dikenali nama Dewi Sri, dewi berarti bahwa semua bentuk kata yang berwalan
padi dan kesuburan, Sri- memang melukiskan keempat morfem tidak mandiri tersebut adalah
berbagai hal yang berkaitan dengan kesuburan. polimorfemis atau berkomponen ganda. Deret kata
Dari data nama yang saya kumpulkan, ditemu- seperti: Suka, Sudi, Suyut, Suluk, Sugih, Sunar,
kan morfem tidak mandiri Sa- tidak banyak diguna- Sari, Sêtra, Sapto, Sakur, Sahid, Wito, Winih, Wiji,
kan pada nama orang Jawa. Sa- bermakna ‘sebuah’ Widhi, Wisik, Widuri, Srimbit, Sriya, dan Sribit
berdasarkan konteksnya. Sa- berarti ‘seorang’ adalah bentuk dasar (mandiri) yang sering muncul
(Saputera ‘seorang anak’), berarti sebuah (Satiti sebagai dalam bentuk tunggal atau menjadi unsur
‘sebuah ketelitian’ dan Sateja ’sebuah sinar’). dari sebuah nama yang lebih panjang.

Tabel 2 Beberapa contoh komponen morfem tidak mandiri


Su- Sa- Sri- Wi-
Suharto ‘kaya Sateja Srigrak ‘cergas’ Wiguna ‘berguna baik’
raya’ ‘bersinar’
Sukur ‘syukur’ Satiti ‘teliti’ Srikandi ‘isteri Wireja ‘keramaian’
Harjuna’
Suci ‘suci’ Saputera Srinata ‘lagu Jawa’ Wiranto ‘pemberani’
‘seorang anak’
Surti ‘berhati- Sasalancana Srining ‘inti sari’ Winingsih ‘wanita yang
hati’ ‘rembulan’ baik’

85
Humaniora, Vol. 25, No. 1 Februari 2013: 82-91

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami sistem nama. Tidak saja untuk mengetahui
bahwa berdasarkan konstruksinya, bentuk nama panjang pendeknya nama orang Jawa, namun
orang Jawa bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, lebih dari itu juga dapat digunakan sebagai cara
wujud dasar, yaitu tampilnya kata atau nama mengetahui pola hubungan antar bagian, ritme
dasar (monomorfemis) tertentu secara mandiri (irama) pengucapan sebuah nama sehingga sebuah
sebagai unsur nama. Oleh karena wujudnya nama enak didengar (lihat Kridalaksana, 1982),
itulah dapat disebut juga sebagai unsur nama dan sebagai ancangan tafsir sebuah nama dengan
berkomponen tunggal (tersusun atas satu morfem memperhatikan satuan bentuk dalam tuturan
saja). Kedua, wujud kompleks, apabila ia tampil (bandingkan Verhaar, 1978).
dengan mendapat berbagai ’imbuhan’ berupa Suharno (1987) menyatakan bahwa konstruk­-
penambahan morfem mandiri atau tidak mandiri si nama orang Jawa secara umum berupa sebuah
lain, baik di depan, di tengah, maupun di belakang kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari dua
bentuk dasar lainnya. Imbuhan itu merubah wujud suku kata dan selebih-lebihnya lima suku kata.
dasarnya menjadi kompleks dan seterusnya dapat Pada kenyataannya saya berhasil mendapatkan
disebut sebagai nama berkomponen ganda, karena data nama dengan konstruksi yang lebih pendek
tersusun dari beberapa morfem (polimorfemis). dan lebih panjang dari temuan Suharno tersebut.
Bentuk dasar darma sebagai unsur nama orang Konstruksi nama yang lebih pendek hanya terdiri
dapat berubah-ubah tampilannya menjadi Dar- dari satu suku kata saja, sedangkan konstruksi
madi, Sudarma, Sudarmin, Sudarmini, Darmaji, yang lebih panjang terdiri dari enam suku kata.
Darmono, Darmani, dan Darmoko. Bentuk dasar Berikut ini saya sampaikan hasil klasifikasi data
Karma melalui suatu proses tertentu berubah nama orang Jawa berdasarkan jumlah suku katanya.
menjadi Sukarma, Sukarmin, Karmana, Karmani,
Nama-nama Jawa yang hanya terdiri dari
Karminta, dan Karmaya. Darma dan Karma
satu suku kata, seperti Bun- dalam Bun Umardie
adalah wujud dasar. Hasil perubahan dari proses
Rasyid, Mus dalam Mus Mujiana, dan Wim
pengimbuhan itu disebut wujud kompleks.
dalam Wim Kuntara Aji, tidaklah memiliki arti
yang jelas, bahkan tidak membawa arti yang lain,
Pola Persukuan Nama Orang Jawa kecuali mengacu kepada makna identitas dari
Pembicaraan mengenai pola persukuan ini nama itu sendiri bagi penyandangnya. Ditinjau dari
merupakan bagian yang cukup penting dalam bentuknya, seolah-olah ketiga bentuk nama tersebut

Tabel 3. Konstruksi nama berdasar jumlah suku katanya


Jumlah
Nama Laki-Laki Nama Perempuan
Suku Kata
Satu Bun, Sri, Muh, Sad, Dwi, Tri, Mus, Dwi, Tri, Sri, Sih
Wim
Dua Adi, Agus, Andi, Antok, Haris, Farid, Aknes, Ajeng, Betty, Desi, Dian, Ayu,
Haryo, Cahyo, Iwan, Seto Dolli, Efa, Elfa, Rosi, Eni
Tiga Riyanto, Nugroho, Sudrajat, Aprista, Pratiwi, Hartati, Henindra,
Bandoro, Diyanto, Suryanto, Farida, Harjanti,
Empat Parikasusit, Setiono, Kurniawan, Rarasati, Setyawati, Maharani,
Murdiyanto, Purnawanto, Hariyadi Febriana, Larasati, Rahmawati
Lima Kurniawanto, Sugiartoyo, Sulistiono, Elminangkani, Kurniawati,
Damaringalam, Anggitasari, Susilowati
Enam Taufikurahman, Kusumawardhana Nilawatiningsih, Kumaralalita,

86
Sahid Teguh Widodo - Konstruksi Nama Orang Jawa

mandiri –setidak-tidaknya ditulis terpisah– sebagai Pada unsur nama Sih dan Muh, kedua-duanya
sebuah unsur yang mandiri. Namun, sesungguhnya merupakan singkatan dari bentuk nama yang lebih
kehadirannya selalu menjadi sebagian dari sebuah panjang. Sih adalah bentuk pendek dari Asih atau
struktur nama yang lebih panjang. Kasus ini Kasih ‘kasih dan sayang’, sedangkan Muh adalah
merupakan sebuah kasus dari berbagai-bagai kasus kependekan dari nama Rasullullah Muhammad
yang tergolong unik dan menarik. (Nabi suci penganut Islam). Modifikasi bentuk
Pada kasus yang berbeda, deretan nama pendek Muh cukup beragam, yaitu Moch., Much., dan
(hanya terdiri dari satu suku kata) lain seperti Dwi Moh. Tanda (.) digunakan untuk menunjuk bahwa
‘dua’, Tri ‘tiga’, dan Sad ‘enam’ memiliki makna nama itu adalah bentuk pendek dari Muhammad.
penanda urutan, sehingga dapat diduga bahwa Dwi Berdasarkan bentuknya, nama-nama yang
Wahyuningrum, Neny Triana Dewi, dan Sadmoko pendek seperti Haryo, Cahyo, Seto, Deni, Patih,
masing-masing dalam keluarganya sebagai anak Teguh, Tobat, Gagas disusun dari satu, dua,
‘kedua’, ‘ketiga’, dan ‘keenam’. Munculnya unsur- atau tiga suku kata. Nama tersebut dapat disebut
unsur nama yang pendek seperti Boen, Wim, Eka, sebagai nama yang sederhana. Nama sederhana
Dwi, Tri, dan bentuk lain sejenis, masing-masing tampil dari sebuah bentuk dasar berupa kata atau
memiliki tujuan dan motivasi masing-masing yang nama tanpa mengalami proses pembentukan.
seratus persen menjadi kuasa pemberi namanya. Berbeda dengan itu adalah nama yang panjang
Unsur nama Boen dan Wim kurang memiliki arti, seperti Setyawati, Maharani, Rahmawati, Wahyu-
kecuali hanya menjadi identitas penyandangnya ningrum, Sugiartoyo, Sulistiono, Damaringalam,
saja. Namun, kedua bentuk tersebut tentu mem-
dan Setyasekawan yang disusun dari lebih dari tiga
punyai latar belakang sejarah atau peristiwa
suku kata. Nama-nama yang tidak sederhana lagi
penting lain yang menjadi “daya batin” dari nama
tampil dari sebuah proses pembentukan. Proses ini
itu apabila “daya lahir” (makna leksikal) tidak
dinamakan proses persenyawaan, yaitu sebuah
ditemui.
proses bersenyawa atau bercantumnya beberapa
Penjelasan ini penting untuk disampaikan senyawa (komponen) nama menjadi sebuah
untuk menambah penjelasan pendapat Uhlenbeck bentuk dan makna baru. Fenomena yang menarik,
(1982) yang menyebut nama atau unsur nama wujud nama sederhana dan tidak sederhana ter-
yang tidak memiliki makna leksikal dianggap sebut tampil sebagai pasangan nama, misalnya:
sebagai nama yang tidak bermotivasi, sedangkan
Darma – Sudarmanto, Harta(o) - Suharta(o),
nama yang memiliki makna leksikal digolongkan
Lestari – Lestariningsih, Padma – Padmaningsih,
sebagai nama yang bemotivasi. Ada pandangan
dan Kartika – Kartikaningrum.
yang lain, yaitu nama yang tidak terdapat dalam
tuturan bahasa Jawa dapat digolongkan sebagai Dari kasus ini, dapat disampaikan bahwa
nama yang berdaya batin karena mengandung apabila dua bentuk nama (pendek dan panjang)
latar sejarah penamaan dan atau peristiwa tertentu. digandengkan dan ternyata memiliki bentuk
Sebaliknya, nama yang terdapat sebagai bagian dari dasar yang sama, konstruksi nama yang pendek
tuturan bahasa Jawa dapat digolongkan sebagai merupakan kependekan dari nama yang memiliki
nama yang berdaya lahir. Jelasnya, tidak ada konstruksi nama yang panjang (bdk. Uhlenbeck,
nama yang tidak memiliki makna. Deret nama 1982). Namun, apabila Uhlenbeck menengarai
seperti Ninik, Uun, Iis, Nino, Nonok, dan Bim, ikhwal tersebut berkaitan dengan kelas sosial
adalah bentuk-bentuk yang tidak memiliki arti masyarakat, pada kenyataan di lapangan, tidak
sebagaimana dalam kamus bahasa, tetapi ia tetaplah ditemui adanya implikasi tersebut. Untuk nama
memiliki makna bagi pemberi dan penyandangnya. modern, tidak ada hubungan kaitan antara nama
Makna sebuah nama, bagaimanapun sederhananya, yang pendek dengan kelas sosial rendah, dan nama
sangat berarti sehingga mendorong seseorang untuk yang lebih panjang dengan kelas sosial yang lebih
mengabadikannya di dalam nama. tinggi.

87
Humaniora, Vol. 25, No. 1 Februari 2013: 82-91

MEMAHAMI NAMA DAN KONSTRUKSINYA mobilitas rendah), setelah era itu nama-nama
sederhana mengalami pergeseran bentuk menjadi
Panjang pendeknya nama dapat ditelusuri
nama-nama yang lebih panjang. Kenyataan ini
dari bentuk dan maknanya. Nama yang pendek
tentu terkait erat dengan adanya motivasi dan
(sederhana) sekurang-kurangnya terdiri dari satu,
dorongan, pola pikir, dan respons budaya baru
dua, atau tiga suku kata– (misalnya Setya dan
dalam masyarakat Jawa. Dari analisis data,
Kartika). Ketika bentuk nama pendek bergabung
diperoleh beberapa alasan terjadinya perubahan
(atau sengaja digabungkan) dengan komponen
konstruksi nama tersebut, yaitu:
nama yang lain, seperti -tyas, -ningrum, atau –
wati, akan berubah menjadi nama-nama yang tidak (1) Adanya upaya memberi nama yang baik, yaitu
nama diri yang dapat mengikuti perkembangan
sederhana lagi (Setyaningtyas, Kartikaningrum,
zaman. Bahwa harapan memiliki nama anak
Setyawati, Kartikawati). Walaupun kedua unsur
yang sehat, ternyata tidaklah cukup diwakili
tersebut dapat digabungkan, keduanya tetaplah
dengan nama Waluyo, Widodo atau Basuki.
sebagai unsur yang berbeda. Kartika dan Setya Namun, muncul kasadaran baru, bahwa
adalah unsur bebas (dependent), sedangkan –tyas, sehat pun memiliki prasarat, yaitu pandai,
–ningrum, atau –wati adalah komponen terikat berkekayaan, dan bermoral. Oleh karena itu,
(independen). nama yang diberikan harus bisa mewadahi
Mengenai nama yang tampak sederhana, pelbagai bentuk artikulasi fikiran dan
Moore (1954) menduga masalah itu berhubungan keinginan tersebut. Maka, muncullah bentuk
dengan sikap hidup orang Jawa. Orang Jawa nama-nama baru, seperti Brilliandi Waluya
dalam berbagai keadaan selalu berusaha tampil Jati ’sangat pandai, sihat, dan unggul’, Ronny
sederhana. Terlebih lagi tampak benar sewaktu Wicaksana ’seorang yang bijaksana’, Adha
mengambil sebuah keputusan pada berbagai Maha Adhi Prayoga ’Besar, agung, dan baik’,
Satria Raya Putera ’seorang ksatria yang
kesempatan. Sikap yang menonjol adalah saviar
besar’, Febryana Nur Maharani ’wanita yang
vivre ‘lapang dada’, nonkonfrontatis, toleransi, dan
lahir bulan Pebruari, cahaya dari raja’.
tenang. Simuh (1996) menambahkan bahwa orang
(2) Dorongan untuk memberi nama yang anggun
Jawa menghasilkan berbagai-bagai bentuk karya.
dan memiliki “daya saing” dengan nama-nama
Nama diri adalah karya yang memiliki daya sentuh
yang lain.
inderawi yang berasal dari pengalaman dan sikap
(3) Dorongan untuk memberikan nama-nama yang
batin yang dalam. Lebih jauh Suwardi Endraswara
bermartabat. Berbagai-bagai bentuk upaya
(2001) menyatakan:
teknisnya adalah dengan memilih kata-kata
“Toleransi menjadi pokok (induk) sikap yang bermakna besar (Agung, Akbar, Gedhe),
mental orang Jawa. Toleransi yang meng- agung (Agung, Sakti, Wibawa), indah (Ayu,
ajarkan kasederhanaan, saling pengertian, Bagus, Endah), pandai (Briliandi, Cendikia,
dan sabar inilah reputasi dan “raport hijau” Limpad), dan bentuk lain sejenis.
orang Jawa sementara ini. Artinya, estetika
literer tidak selalu dapat menjastifikasi Perlu ditambahkan, pada nama diri orang
sebuah nama. Harus pula ditelusuri lebih Jawa terkandung upaya pendayagunaan kosa
lanjut estetika konsep di balik bentuk kata bahasa, baik kosa kata bahasa Jawa, mau­
nama-nama sederhana tersebut.” (Suwardi pun bahasa lainnya seperti bahasa Indonesia,
Endraswara, 2001, hlm. 123) Sansekerta, India (Hindu-Buddha), dan pelbagai
Satu hal yang menarik adalah temuan adanya bahasa asing atau daerah lainnya. Pendayagunaan
perubahan konstruksi bentuk nama orang Jawa bahasa Jawa tampak pada nama-nama lama,
dari waktu ke waktu. Jika sebelum era 1970-an, seperti Peni, Prenjak, Beja, Gesang, Nami,
nama-nama Jawa sederhana banyak dijumpai Setu, Pon, Sinem dan nama-nama baru seperti
di wilayah pedesaan (kolektif yang memiliki Nur, Pambudi, Puteri, Surya, Asma, dan Satria.

88
Sahid Teguh Widodo - Konstruksi Nama Orang Jawa

Sebaliknya, bentuk pendayagunaan kosa kata Perkara ini didasari oleh satu kesadaran akan
bahasa lain, misalnya Hartawan ‘kaya raya’, kemungkinan adanya kesulitan bagi masyarakat
Anggun ‘anggun, cantik berwibawa, berkelas’, awam untuk mengenali kedua jenis morfem
Elok ‘enak dipandang mata, luar biasa, menarik tersebut dalam usaha mengungkap makna sebuah
hati’ Cendikia ‘pandai, cergas, suka berpikir’, nama. Oleh karena itu, pembahasan akan dibagi
Bagus ‘bagus’, Boiman ‘laki-laki sejati’, Sahid menjadi dua bagian, yaitu:
‘suci’, Zulfikar ‘pedang, selempang’ Akbar ‘besar’ (1) pemenggalan suku kata (wanda [wand‫]כ‬, Jw)
Laksmi ‘cantik, anggun, berwibawa’ Samiran
pada nama orang Jawa. Model pemenggalan
‘senjata besempang’ dan berbagai bentuk lainnya.
ini seterusnya dapat disebut sebagai sistem
pemenggalan suku kata pada nama Jawa.
SISTEM PEMENGGALAN NAMA ORANG Berdasarkan data nama yang berhasil saya
JAWA kumpulkan, saya menemui empat model
Sistem pemenggalan sebuah nama ke pemenggalan suku kata pada nama orang
dalam sukunya penting dikemukakan untuk Jawa, yaitu (1) pemenggalan di antara dua
mempermudah mengetahui dan mengenal lebih huruf vokal yang berurutan, (2) pemenggalan
pasti morfem mandiri dan morfem tidak mandiri. sebelum konsonan di antara dua buah vokal,
Selain itu, hal itu juga berguna sebagai metode (3) pemenggalan sebelum atau sesudah
untuk mempermudah menafsirkan makna sebuah gabungan konsonan yang melambangkan
nama, yaitu dengan cara memisahkan bagian inti sebuah fonem konsonan, dan (4) pemenggalan
makna dan bagian bukan inti. di antara konsonan.

Tabel 4 Pemenggalan antara dua huruf vokal yang berurutan

Nama Pemenggalan Jumah Suku Kata Susunan Fonem


Aan A-an 2 V-VK
Giarto Gi-ar-to 3 KV-VK-KV
Lisdiana Lis-di-a-na 4 KVK-KV-V-KV
Birliandini Bir-li-an-di-ni 5 KVK-KV-VK-KV-KV
Febrian Feb-ri-an 3 KVK-KV-VK

Tabel 5 Pemenggalan sebelum konsonan antara dua buah vokal

Nama Pemenggalan Jumah Suku Kata Susunan Fonem


Prabawa Pra-ba-wa 3 KKV-KV-KV
Pratiwi Pra-ti-wi 3 KKV-KV-KV
Triyono Tri-yo-no 3 KKV-KV-KV
Tamariska Ta-ma-ris-ka 4 KV-KV-KVK-KV
Pitaya Pi-ta-ya 3 KV-KV-KV
Herawati He-ra-wa-ti 4 KV-KV-KV-KV

89
Humaniora, Vol. 25, No. 1 Februari 2013: 82-91

Tabel 6. Pemenggalan unsur nama orang Jawa

Model Persukuan
No Nama Pemenggalan Unsur
(MP)
1 Setyabudi Setya ’setia’ + Budi ’perbuatan’ MP 2 + 2
2 Kartikawati Kartika ‘bintang’+ wati ‘wanita’ MP 3 + 2
3 Kusumawardhani Kusuma ‘bunga’+ wardhani MP 3 + 3
’berkembang, menjadi banyak’
4 Linggarjati Linggar ‘pergi’ + jati ‘benar, sungguh MP 2 + 2
5 Prawiraatmaja Prawira ‘perwira’ + atmaja ‘anak’ MP 3 + 3
6 Setyaningrum Setya ‘setia, selalu’+ ning ‘pada’ + rum MP 2 + 1 + 1
‘keharuman’

(2) pemenggalan kata bentukan atau campuran oleh karena makna disusun dari unsur atau
(camboran, Jw) berdasarkan unsur-unsurnya komponen di dalamnya.
atau berdasarkan morfem mandiri yang Selain itu, bahasa Jawa mengenal apa yang
menjadi unsurnya. Model pemenggalan ini disebut akar kata (tembung wod, Jw) yang menjadi
seterusnya dapat disebut sebagai sistem bentuk dasar sebuah kata. Pemahaman akar kata
pemenggalan unsur nama. itu menjadi bagian penting untuk penentuan model
persukuan dan terlebih pada tafsir makna sebuah
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa nama. Misalnya, akar kata ja ‘lahir’ (Sansekerta),
kesalahan pemerian nama orang ke dalam suku- di dalam suku kata bahasa Jawa sering menempati
suku katanya akan mengacaukan maknanya. suku akhir nama orang Jawa yang mengandung
Nama Kusumawardhani jika diurai berdasarkan arti: makmur, bahagia, dan mekar. Maka, muncul-
unsur morfem yang membangunnya terdiri dari lah kata-kata seperti puja ‘doa agar selamat dan
dua morfem, yaitu Kusuma dan wardhani dengan bahagia”, teja ‘sinar yang kemilau’, beja ‘untung,
pola pemengggalan suku 3 + 3. Jika pemenggalan makmur, dan bahagia’, reja ‘ramai, tenteram dan
sukunya 4 + 2 atau 2 + 4, akan menjadi bahagia’, uja ‘dibiarkan agar mekar terus’, dan
Kusumawar + dhani atau “Kusu + Mawardhani”. lain-lain yang semuanya berhubungan dengan
Akibatnya, nama itu tidak memiliki makna atau makna dari akar kata tersebut (bdk. Sahid, 2005).
akan salah diinterpretasi secara maknawi.
Bertolak dari bagian kecil dalam pembicaraan SIMPULAN
ini, dapat dicatat dua hal tentang pemerian nama Belumlah semua dapat dipaparkan di sini.
berdasarkan konstruksinya pembentuknya, yaitu: Terlalu ringan dan terlalu sempit untuk memulai
Pemerian konstruksi nama berdasarkan suku- perbincangan konstruksi nama secara lebih
suku kata penting dilakukan untuk mengetahui mendalam. Namun, setidaknya untuk sementara
kedudukan tiap-tiap bagian di dalam sebuah sudah dapat ditangkap inti dari adanya konstruksi
unsur nama. Apakah sebuah suku kata (wanda) nama yang tidak saja menjelaskan arti dan
berkedudukan sebagai morfem tidak mandiri (Su-, makna nama itu saja, tetapi jauh dari itu menjadi
Wi-, -ji, -nem, -kem) yang semestinya bermakna, ancangan penjelasan berkait dengan faktor di luar
ataupun ia merupakan bagian saja dari sebuah bahasa nama, yaitu konteks nama.
morfem mandiri yang tiap bagiannya tidak Artikel sederhana ini terbatas membahas
memiliki makna sendiri. konstruksi yang terdapat pada nama orang Jawa.
Pemaknaan nama dapat dimulai dari hasil Sebaliknya, konstruksi unsur pembentuknya belum
pemerian nama –baik suku kata maupun unsurnya– disinggung sama sekali. Keduanya memiliki

90
Sahid Teguh Widodo - Konstruksi Nama Orang Jawa

ulasan dan penjelasan yang berbeda. Bentuk nama McDavid, J. W., & Harari, H. (1966). Stereotyping of
dibentuk dari komponen-komponen sehingga names and popularity in grade-school children.
membentuk unsur yang penuh. Sebuah unsur nama Child Development, 37, 453–459.
Parera, J. D. (1994). Morfologi Bahasa. Jakarta:
mempunyai dua kemungkinan jika dilihat dari
Gramedia Pustaka Utama.
struktur komponennya, yaitu unsur berkomponen
Radjiman. (2000). Kejawen dalam Dunia Kepustakaan
tunggal dan unsur berkomponen ganda. Namun Jawa. Surakarta: Krida .
demikian, dapat disampaikan di sini bahwa inti Radjiman. (2001). Konsep petangan Jawa. Semarang:
pati konstruksi nama menyangkut tiga hal dasar, Pustaka Caraka Aksara
yaitu adanya bentuk dasar, terdapat cara-cara Sahid, T.W. (2005). Sistem Nama Orang Jawa (Laporan
tertentu untuk mengubahnya, dan kata atau nama Penelitian Dosen Muda). Dikti, Jakarta.
baru sebagai hasil ubahan. Sahid, T.W. (2010a). Kajian Kes Nama Orang di Bandar
Surakarta: Dinamik dan Sistem. (Disertasi). Kedah
Malaysia: UUM Press.
DAFTAR RUJUKAN Sahid, T.W. (2010b). Nama Orang Jawa: Kepelbagaian
Unsur dan Maknanya. SARI. International Jurnal
Allport, G. W. (1937). Personality: A Psychological
of Malay World and Civilisation (28) 2 (2010), hal.
Interpretation. New York: Holt.
259-277.
Bloomfield, L. (1957). Language. New York: Henry
Sudaryanto. (1990). Aneka Konsep Kedataaan Lingual
Holt.
dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana
Cavallaro, D. (2001). Critical and Cultural Theory: University Press.
Thematic Variation. The Althone Press London &
Suharno. (1987). Sistem Nama Diri dalam Masyarakat
New Brunswick, NJ.
Jawa (Laporan Penelitian). Yogyakarta: Proyek
Christensfield, N., Phillips, D. P., & Glynn, L. M. (1999). Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
What’s in a name: Mortality and the power of Daerah DIY. Depdikbud.
symbols. Journal of Psychosomatic Research, 47,
Suranto, A. (1983). Studi tentang Sistem Nama-nama
241–254.
Jawa. Surakarta: Fakultas Sastra UNS.
Crystal, D. (1987). The Cambridge Encyclopedia of
Suwardi, E. (2003). Mistik Kejawen: Sinkretisme,
Language. London: Cambridge University Press.
Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual
Goodenough, W. H. (1965). Personal Names and Modes Jawa. Yogyakarta: Narasi.
of Address in Two Oceanic Societies. In Spiro, M.
Suwardi, E. (2006). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta:
E. Context and Meaning in Cultural Anthropology.
Cakrawala.
New York: Free Press.
Twenge, J. M., & Manis, M. (1998). First-name des-
Hofmann, T. R. (1993). Realms of Meaning. New York:
reliability and adjustment: Self-satisfaction, Others’
Longman Publishing.
Ratings, And Family Background. Journal of
Jell-Bahlsen, S. (1988). Names and Naming. Instances Applied Social Psychology, 28, 41–51.
from the Oru Igbo. Dialectical Anthropology, 13(2),
Uhlenbeck, E. M. (1982). Kajian Morfologi Bahasa
199-207.
Jawa (terjemahan Soenarjati Djajanegara). Jakarta:
Kridalaksana, H. (1984). Kamus Linguistik. Jakarta:
Djambatan.
Gramedia.

91

Anda mungkin juga menyukai