Anda di halaman 1dari 9

CINDY YULI KARTIKA (A1J221014)

METODE PENELITIAN BAHASA

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. KAJIAN TEORI

Deiksis

Kata “deiksis“ memiliki asal-usul dari kata Yunani “deiktikos“ yang berarti
“penunjukan langsung“. Dalam konteks logika, istilah Inggris “deictic“ digunakan untuk
merujuk pada pembuktian langsung setelah masa Aristoteles, sebagai lawan dari istilah
“elenctic“ yang mengacu pada pembuktian tidak langsung. Dalam bidang linguistik saat ini,
kata tersebut digunakan untuk menggambarkan fungsi berbagai jenis kata ganti persona, kata
ganti demonstratif, serta fungsi waktu dan berbagai fitur gramatikal dan leksikal lainnya yang
menghubungkan ucapan dengan konteks ruang dan waktu dalam tindak ucapan (Lyons
1977:636). Sebelumnya, istilah “deiktikos“ digunakan oleh tatabahasawan Yunani dalam arti
yang sekarang kita kenal sebagai kata ganti demonstratif. Tatabahasawan Romawi (yang
memberikan dasar bagi perkembangan tata bahasa tradisional di dunia Barat) menggunakan
kata Latin “demonstrativus“ untuk menerjemahkan istilah “deiktikos“ tersebut. Beberapa ahli
bahasa lain, seperti Sturtevant (1947:135-136) dan Jespersen (1949:123-124), menggunakan
istilah “shifters“ untuk merujuk pada deiksis. Namun, istilah “shifters“ juga mencakup makna
yang lebih luas, yaitu perubahan arti sesuai konteks; misalnya, usia empat puluh tahun
dianggap muda untuk seorang presiden, tetapi tidak muda untuk seorang mahasiswa
(misalnya, lihat Pei 1966:247). Oleh karena itu, dalam kerangka penelitian ini, istilah
“shifters“ tidak digunakan.

Menurut Yule (1996), deiksis merujuk pada penggunaan bahasa untuk menunjukkan
sesuatu. Bentuk linguistik yang digunakan untuk tujuan tersebut disebut ekspresi deiktis atau
indeksikal. Menurut Yule (1996), deiksis dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu deiksis
persona yang menunjukkan orang, deiksis spasial yang menunjukkan lokasi, dan deiksis
temporal yang menunjukkan waktu. Ekspresi deiktis dari setiap jenis deiksis berbeda. Dalam
konteks ini, penting untuk diketahui bahwa interpretasi ekspresi deiktis tergantung pada
pembicara dan pendengar saat mereka memiliki persepsi yang sama tentang konteks yang
sedang dibicarakan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang konsep-konsep
ini, berikut adalah penjelasan mengenai jenis-jenis deiksis dan beberapa contohnya dalam
bahasa Indonesia.
CINDY YULI KARTIKA (A1J221014)
METODE PENELITIAN BAHASA

Dalam penelitian pragmatik, terdapat beberapa kriteria pembagian deiksis. Menurut


Nansi J. (1983:18), deiksis dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu deiksis persona, deiksis
tempat, dan deiksis waktu. Pembagian ini serupa dengan yang dilakukan oleh Bambang
Kawwanti Purwo (1994:19) dan Victoria serta Robert (1987:91). Sementara itu, Nababan
(1987:41) mengklasifikasikan deiksis menjadi lima jenis, yaitu deiksis persona, deiksis
tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial.

1. Deiksis persona

Deiksis persona merujuk pada pemberian wujud kepada peran individu dalam
komunikasi bahasa. Dalam kategori deiksis persona, faktor yang menjadi acuan adalah peran
atau peserta dalam peristiwa berbahasa tersebut. Peran dalam kegiatan berbahasa ini terbagi
menjadi tiga jenis, yaitu persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga (Haliday dan
Hasan, 1984:44). Dalam sistem ini, persona pertama mengacu pada penggunaan kata ganti
diri oleh pembicara untuk merujuk pada dirinya sendiri, persona kedua mengacu pada
penggunaan kata ganti diri oleh pembicara untuk merujuk pada pendengar atau penerima
pesan, dan persona ketiga mengacu pada penggunaan kata ganti untuk merujuk pada orang
atau objek yang bukan pembicara dan bukan juga lawan bicara. Deiksis persona merupakan
deiksis primer, sementara deiksi waktu dan deiksi tempat merupakan deiksis yang lebih
spesifik. Pendapat ini didasarkan pada pandangan Becker dan Oka dalam Purwo (1984:21)
bahwa deiksis persona adalah dasar orientasi untuk deiksis ruang, deiksis tempat, dan deiksis
waktu.

 Kata Ganti Persona Pertama

Kata ganti persona pertama merujuk pada penggantian kata yang digunakan oleh
pembicara untuk merujuk pada dirinya sendiri. Dalam kata lain, Kata Ganti Persona Pertama
mengacu pada orang yang sedang berbicara. Ada dua jenis utama dari Kata Ganti Persona
Pertama, yaitu Kata Ganti Persona Pertama Tunggal dan Kata Ganti Persona Pertama Jamak.

Kata Ganti Persona Pertama Tunggal memiliki tiga bentuk yang umum digunakan,
yaitu aku, saya, dan daku (P&K, 1988:17). Kata Ganti Persona Pertama aku merupakan
bentuk yang paling asli atau utama, sementara kata Ganti Persona Pertama saya merupakan
bentuk pinjaman dari kata sahaya (Slametmuljono, 1957:54). Bentuk aku memiliki dua
variasi, yaitu -ku dan ku, sementara bentuk saya tidak memiliki variasi bentuk.
CINDY YULI KARTIKA (A1J221014)
METODE PENELITIAN BAHASA

Dalam distribusi sintaksisnya, bentuk -ku digunakan sebagai bentuk yang melekat
pada sebelah kanan, sedangkan bentuk ku- digunakan sebagai bentuk yang melekat pada
sebelah kiri. Penggunaan bentuk melekat pada sebelah kanan seperti itu dapat ditemukan
dalam konstruksi posesif dalam bahasa Indonesia, di mana bentuk persona selalu melekat
pada sebelah kanan (Sudaryanto, 1979).

Selain menggunakan kata ganti persona, juga digunakan nama-nama orang untuk
mengacu pada persona pertama tunggal (Samsuri, 1987:238). Anak-anak sering
menggunakan nama mereka sendiri sebagai referensi diri, misalnya, saat seorang anak
bernama Agus ingin makan, dia mengatakan "Agus mau makan," yang berarti 'Aku mau
makan' (dalam konteks Agus sendiri). Namun, jika kalimat tersebut diucapkan oleh seorang
ayah atau ibu dengan nada tanya, seperti "Agus mau makan?" maka nama Agus tidak lagi
mengacu pada pembicara, melainkan pada persona kedua tunggal (mitra tutur).

Bentuk dan fungsi persona pertama tunggal memiliki perbedaan dengan bentuk dan
fungsi kata ganti persona pertama jamak. Bentuk jamak termasuk "kami" dan "kita". Dalam
bahasa Inggris, baik untuk merujuk pada "kami" maupun "kita", hanya menggunakan satu
bentuk, yaitu "we". Bentuk "we" yang berarti "kami" mencakup "I, she, he, dan they" tanpa
mencakup "you" sebagai lawan bicara, sedangkan bentuk "we" yang berarti "kita" mencakup
"I, she, he, they, dan you" (Hal1iday dan Hasan, 1984:50).

Bentuk persona pertama jamak "kami" digunakan secara eksklusif, artinya merujuk
pada pembicara atau penulis dan orang lain di pihaknya, namun tidak mencakup orang lain di
pihak lawan bicara. Selain itu, bentuk "kami" juga sering digunakan dalam pengertian
tunggal untuk merujuk pada pembicara dalam situasi formal. Dengan demikian, kedudukan
"kami" dalam hal ini menggantikan persona pertama tunggal, yaitu "saya" (P&K, 1988:174).
Hal ini terkait dengan sikap sopan pengguna bahasa dalam menyampaikan dirinya dan oleh
karena itu menghindari penggunaan kata "saya". Sebaliknya, dengan bentuk "kita", bentuk ini
bersifat inklusif, artinya merujuk pada pembicara/penulis, pendengar/pembaca, dan mungkin
pihak lain (Leech, 1979:84). Oleh karena itu, biasanya pembicara menggunakan bentuk "kita"
sebagai upaya untuk mempererat hubungan dengan lawan bicara.

 Kata Ganti Persona Kedua

merupakan cara untuk menyebut lawan bicara dalam percakapan. Dalam kata lain, bentuk
kata ganti persona kedua merujuk pada orang yang kita ajak bicara, baik dalam bentuk
CINDY YULI KARTIKA (A1J221014)
METODE PENELITIAN BAHASA

tunggal maupun jamak. Ada dua bentuk umum dari kata ganti persona kedua tunggal, yaitu
"kamu" dan "engkau". Kedua bentuk tersebut dapat memiliki variasi "-mu" dan "kau".
Biasanya, bentuk ini digunakan dalam situasi berikut:

a) Orang tua kepada anak muda yang sudah akrab dan sudah lama dikenal.

b) Orang dengan status sosial yang lebih tinggi untuk menyapa lawan bicara dengan
status sosial yang lebih rendah.

c) Orang yang memiliki hubungan dekat, tanpa memandang usia atau status sosial
(Purwo, 1984:23).

 Kata Ganti Persona Ketiga

Kata ganti persona ketiga, baik tunggal maupun jamak, merujuk pada orang yang
tidak terlibat dalam komunikasi. Terdapat dua bentuk kata ganti persona ketiga dalam bahasa
Indonesia. Bentuk tunggalnya terdiri dari "ia" dan "dia" dengan variasi "-nya". Meskipun
kedua bentuk tersebut memiliki fungsi yang sama, terdapat perbedaan tertentu karena
penggunaan penegasan atau penekanan. Dalam bahasa Melayu, terdapat juga bentuk "ia"
yang digunakan dengan penegasan. Hal ini disebabkan karena bahasa Melayu tidak memiliki
bentuk "ialah" yang mirip dengan kata "adalah" dalam bahasa Indonesia. Persamaannya
adalah keduanya dapat berfungsi sebagai subjek. Selain bentuk-bentuk tersebut, juga dikenal
bentuk kesopanan seperti "beliau".

Bentuk kata ganti persona ketiga dalam bentuk jamak adalah "mereka". Selain
memiliki arti jamak, bentuk "mereka" memiliki perbedaan dalam penggunaannya
dibandingkan dengan kata ganti persona ketiga tunggal. Biasanya, kata ganti persona ketiga
hanya digunakan untuk merujuk pada manusia. Namun, dalam karya sastra, terkadang bentuk
"mereka" juga digunakan untuk merujuk pada binatang atau benda yang dianggap hidup.
Bentuk jamak pronomina persona ketiga ini tidak memiliki variasi bentuk, sehingga hanya
digunakan dalam bentuk tersebut tanpa variasi dalam setiap konteks. Penggunaan bentuk
persona ini menunjukkan hubungan yang netral, yang berarti tidak digunakan untuk
mengungkapkan penghormatan yang lebih atau sebaliknya.

2. Deiksis Spasial (Tempat)

Deiksis spasial adalah istilah yang digunakan untuk mengacu pada lokasi yang
berubah-ubah. Deiksis spasial dinyatakan melalui penggunaan ekspresi deiktis yang
CINDY YULI KARTIKA (A1J221014)
METODE PENELITIAN BAHASA

menunjukkan lokasi. Yule (1996) menjelaskan bahwa dalam deiksis spasial, terdapat dua
ekspresi deiktis yang menandakan lokasi, yaitu "sini" dan "sana". "Sini" digunakan untuk
menunjukkan lokasi yang dekat dengan penutur, sehingga disebut juga sebagai ekspresi
deiktis proksimal. Sebaliknya, "sana" digunakan untuk menunjukkan lokasi yang jauh, dan
oleh karena itu disebut ekspresi deiktis distal. Dalam bahasa Indonesia, kedua ekspresi deiktis
tersebut dapat ditambah dengan kata "situ" yang mengindikasikan lokasi yang tidak terlalu
dekat dan tidak terlalu jauh.

Selain kata-kata seperti "sini", "situ", dan "sana", dalam bahasa Indonesia juga
terdapat banyak ungkapan alternatif yang digunakan untuk mengindikasikan posisi atau
lokasi secara spasial. Contohnya termasuk penggunaan "ke depan" dalam kalimat seperti "Bu,
boleh buang sampah ke depan, ya."; "ke belakang" dalam kalimat "Boleh ke belakang
sebentar, Pak."; "di kota" dalam kalimat "Dia tinggal di kota sejak tahun kemarin"; "di dekat
jalan raya" dalam kalimat "Rumahnya dibeli di dekat jalan raya."; dan "ke toko sebelah"
dalam kalimat "Tunggu sebentar ya, dia masih berbelanja di toko sebelah." Ciri utama dari
ekspresi deiktis alternatif tersebut adalah tidak ada penjelasan yang spesifik mengenai tempat
atau ruang.

3. Deiksis Temporal (Waktu)

Deiksis jenis ketiga mengacu pada deiksis temporal. Hal ini terkait dengan perubahan
waktu yang menjadi titik referensi dalam ekspresi deiktis. Sebagai contoh, kata "kemarin"
dapat merujuk pada hari setelah hari ini atau beberapa hari yang lalu. Ekspresi deiktis
temporal tidak hanya terlihat pada kata "kemarin" yang menunjukkan masa lalu, tetapi juga
ekspresi lain yang menandakan waktu sekarang dan masa depan. Berikut adalah contoh-
contoh ekspresi deiktis temporal yang umum digunakan dalam komunikasi sehari-hari, baik
dalam bentuk formal maupun informal.

4. Deiksis wacana

Deiksis wacana merujuk pada penggunaan deiksis yang mengarahkan pada elemen-
elemen khusus dalam wacana yang telah disebutkan atau sedang dijelaskan. Ini meliputi
penggunaan referensi anaforis dan kataforik.

5. Deiksis sosial
CINDY YULI KARTIKA (A1J221014)
METODE PENELITIAN BAHASA

Deiksis sosial merupakan salah satu bentuk deiksis yang dipergunakan untuk
menyoroti atau mengungkapkan perbedaan sifat sosial antara pengucap atau penulis dengan
pendengar atau pembaca, berdasarkan topik atau konteks pembicaraan. Penggunaan deiksis
sosial berperan dalam memperoleh pemahaman tentang makna sosial dan
mengaplikasikannya dalam percakapan atau teks tertulis. Beberapa contoh penggunaan
deiksis sosial adalah dalam menunjukkan perbedaan status sosial, latar belakang, atau norma-
norma sosial.

6. Deiksis Penunjuk

Deiksis penunjuk adalah jenis deiksis yang mengarah kepada penggunaan kata ganti
penunjuk yang menunjukkan tempat atau lokasi spesifik. Fungsinya adalah untuk merujuk
pada objek, tempat, atau orang tertentu. Deiksis penunjuk termasuk dalam kategori deiksis
yang menunjukkan tempat. Di bawah ini terdapat beberapa contoh penggunaan deiksis
penunjuk dalam kalimat:

- Saya menyukai bunga ini. (Saya menyukai bunga ini)

- Kendaraan itu adalah miliknya. (Itu adalah kendaraan miliknya)

- Anu telah datang ke tempat ini. (Anu telah datang ke tempat ini)

Pada contoh-contoh di atas, kata-kata "ini", "itu", dan "tempat ini" merupakan contoh dari
penggunaan deiksis penunjuk karena mereka menunjukkan objek atau lokasi yang spesifik.

Novel

Asal-usul kata "novel" dapat ditelusuri secara etimologis dari bahasa Inggris, yaitu
"novelette", yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di Italia, istilah yang
serupa adalah "novella", yang secara harfiah berarti sebuah barang baru yang kecil dan
diartikan sebagai cerita pendek. Saat ini, istilah "novella" atau "novelle" memiliki makna
yang serupa dengan istilah Indonesia "novelet", yang mengacu pada karya prosa fiksi dengan
panjang yang cukup, tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro,
2009: 9-10). Dalam konteks ini, dapat disimpulkan bahwa novel memiliki panjang cerita
yang lebih besar daripada cerpen. Karenanya, novel memiliki kebebasan untuk
menyampaikan informasi secara lebih bebas, menyajikan hal-hal dengan lebih mendalam,
lebih terperinci, dan melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.
CINDY YULI KARTIKA (A1J221014)
METODE PENELITIAN BAHASA

Menurut pendapat yang serupa dengan The American College Dictionary


(sebagaimana dikutip dalam Tarigan, 1993: 164), novel merupakan sebuah narasi prosa
imajinatif dengan durasi tertentu, menggambarkan karakter, pergerakan, dan situasi
kehidupan nyata yang menggambarkan sebuah alur atau keadaan yang kompleks. Definisi
tersebut mengindikasikan bahwa elemen-elemen yang membentuk sebuah novel tersebar
secara tak teratur karena karya sastra ini berbeda dengan karya ilmiah.

Abrams (1971:51) mengemukakan gagasan yang serupa, yang menjelaskan bahwa:

“Fiction in the inclusive sense, is anny narative which is feigned or invented rather
than historically or factually true. In most present day discussion. However, the term
fiction is applied primarily to prose narratives (the novel and the short story), and is
sometimes used simply as a synonym for novel”.
Menurut penjelasan Abrams, istilah fiksi sering digunakan untuk merujuk khususnya
pada karya prosa seperti novel dan cerita pendek, dan terkadang juga digunakan sebagai
padanan kata untuk novel.

Ada pandangan lain yang disampaikan oleh Waluyo (2002: 37), yang menyebutkan
bahwa asal usul kata "novel" berasal dari bahasa Latin novellus, yang kemudian mengalami
perubahan menjadi noveis yang berarti "baru". Kata "baru" ini dikaitkan dengan fakta bahwa
novel adalah jenis cerita fiksi yang muncul lebih belakangan dibandingkan dengan cerita
pendek dan roman.

Menurut Freye (dalam Wardani, 2009:15), terdapat pandangan yang berbeda yang
menyatakan bahwa novel adalah sebuah karya fiksi realistik yang tidak hanya terbatas pada
imajinasi, tetapi juga memiliki kemampuan untuk meluaskan pengalaman kehidupan dan
membawa pembaca ke dunia yang lebih menarik.

Goldmann (1981:3) berpendapat bahwa novel adalah sebuah narasi mengenai


perjalanan yang mengalami penurunan nilai-nilai otentik yang dilakukan oleh seorang
pahlawan yang penuh dengan masalah dalam sebuah dunia yang juga mengalami penurunan
nilai.

Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
novel merupakan sebuah karya fiksi yang realistik. Novel tidak hanya berupa imajinasi
semata, tetapi juga memiliki kemampuan untuk memperluas pengalaman pembaca melalui
berbagai unsur yang ada. Unsur-unsur tersebut bekerja bersama-sama untuk membentuk
CINDY YULI KARTIKA (A1J221014)
METODE PENELITIAN BAHASA

sebuah struktur yang saling terkait erat dan berhubungan guna menciptakan makna yang
utuh.

B. PENELITIAN RELEVAN

Telah dilakukan penelitian sebelumnya mengenai deiksis sebelumnya, sehingga penelitian ini
bukanlah hal yang baru. Beberapa penelitian terdahulu yang relevan tentang deiksis
mencakup:

Pertama, penelitian deiksis dalam novel Halimun Seberkas Cahaya Di Tanah Dayak Karya
Rina Tri Handayani. Penelitian ini dilakukan oleh Riris Imelda tahun 2020. Dalam penelitian
tersebut ditemukan beberapa data berupa 1. Deiksis persona: aku, kita, kamu, dan mereka 2.
Deiksis tempat: di sini, ke sini. 3. Deiksis waktu: tadi, esok, nanti. 4. Deiksis wacana: itu.

Kedua, penelitian deiksis pada cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari. Penelitian ini
dilakukan oleh Chelfia Luthfi Intan Pratiwi dan Asep Purwo Yudi Utomo tahun 2021. Dalam
penelitian ini ditemukan lima jenis deiksis yang ada pada cerpen tersebut, yaitu deiksis
persona (4), deiksis tempat (2), deiksis waktu (3), deiksis wacana (4), dan deiksis sosial (2).

Ketiga, penelitian deiksis dalam novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy.
Penelitian ini dilakukan oleh Anita, Ratu Wardarita, dan Siti Rukiyah tahun 2022. Dalam
penelitian ini ditemukan data deiskis berupa: 1. Deiksis persona: aku, kami, kita, kau, anda,
ia, dia, dan mereka. 2. Deiksis waktu: sekarang, saat ini, siang, menit, hari esok, lusa dan
nanti, ketika itu dan dahulu. 3. Deiksis tempat: di sini, di sana, ke sana.
CINDY YULI KARTIKA (A1J221014)
METODE PENELITIAN BAHASA

C. KERANGKA BERFIKIR

Sastra

Novel Kata
Karya

Deiksis

Deiksis Deiksis Deiksis Deiksis Deiksis


Persona Tempat waktu wacana Sosial

Analisis

Temuan

Anda mungkin juga menyukai