Anda di halaman 1dari 23

A.

PENDAHULUAN
Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Di
antaranya cabang-cabang itu ialah fonologi, morfologi, sintaksis, dan pragmatik.
Fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik mempelajari struktur bahasa secara
internal, yaitu berhubungan dengan unsur bagian dalam bahasa. Semantik dan
pragmatik memiliki kesamaa, yaitu cabang-cabang ilmu bhasa yang menelaah
makna-makna satuan bahasa. Namun, di antara kedua cabang ilmu bahasa itu
memiliki perbedaan, yaitu semantik mempelajari makna satuan bahasa secara
internal sedangkan pragmatik mempelajari makna satuan bahasa secara eksternal.
Berikut dikutip beberapa definisi pragmatik yang dikemukakan oleh para
ahli. Menurut Levinson (1983:9), ilmu pragmatic didefinisikan sebagai berikut,
pragmatic adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari
penjelasan pengertian bahasa. Di sini, pengertian atau pemahaman bahasa
menunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan atau ujaran
bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata
bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya.
Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan
kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
(Nababan,1987:2). Pragmatik juga diartikan sebagai syarat-syarat yang
mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek
pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada
makna kepada makna ujaran (Kridalaksana,1993:177)
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan tentang
batasan pragmatik. Pragmatik adalah suatu telaah umum mengenai bagaimana
caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau
menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran.
Pragmatik memiliki kajian atau bidang telaah tertentu yaitu deiksis,
praanggapan (presupposition), tindak tutur (speech acts), dan implikatur
percakapan (conventional implicature) (Kaswanti Purwo, 1990:17). Namun, pada
makalah ini akan membahas deiksis dan praanggapan.

B. TEORI DEIKSIS
Dalam Linguistik telah kita bertemu dengan istilah rujukan atau sering
disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menghunjuk kepada kata, frase atau
ungkapan yang telah dipakai atau yang akan diberikar Umpamanya:
(1) Ada dua orang di kebun. Mereka sedang menanam ketela.
(2) Berenang adalah senam yang lebih sehat daripada jalan kaki. Namun saya
lebih suka yang kedua dari yang pertama.

1
(3) Contohnya dapat dilihat dalam kalimat yang berikut.
Dalam kalimat (1), "mereka merujuk kepada "dua orang"; dalam kalimat
(2). frase "yang kedua" merujuk kepada "jalan kaki", dan frase "yang pertama"
merujuk kepada "berenang". Perujukan seperti itu menghindarkan pengulangan
sesuatu kata atau frase yang telah dipakai sebelumnya. Hal seperti ini dianggap
gaya berbahasa yang baik dalam se mua bahasa yang kita kenal. Kata atau frase
perujuk seperti itu disebut "kata/frase ganti", dalam bahasa Inggris. "pronoun"
atau "substitute atau "proadverb" (kalau yang diganti itu adalah "adverb"). Dalam
kali mat (3). frase "(kalimat) yang berikut" merujuk kepada kalimat (atau frase,
paragraf, dan sebagainya) yang menyusul yang akan mengandung contoh yang
dimaksud. Dalam linguistik, perujukan atau penggantian se perti ini disebut
"anafora" (= menghunjuk kepada yang sudah disebut / lewat, seperti nomor (1)
dan (2)), dan "katafora" (= menghunjuk kepada yang akan disebut, seperti nomor
(3)).
Dalam kajian pragmatik, rujukan seperti itu dimaksudkan juga dalam apa
yang disebut deiksis, yang berasal dari bahasa Yunani dan telah di pakai dalam
tata bahasa sejak zaman kuno dan diperkenalkan kembali kepada linguistik dalam
abad ke-20 ini oleh Karl Bühler. Konsep yang mirip dengan itu, tetapi lebih luas
cakupannya, disebut dan diperkenal kan dalam logika oleh C.S. Pierce dengan
istilah "indexicality", dalam kalangan linguistik dipakai juga oleh beberapa linguis
untuk menghu bungkan kata, khususnya kata ganti, dengan konteks situasi bahasa.
Umpamanya, kalau orang mendengar kalimat:
"Dia menyukai musik klasik"
Response yang paling realistik ialah: "Siapa yang Saudara maksud dengan dia?,
atau "Siapa?". Dalam kajian pragmatik dikenal 5 macam deiksis, yakni:
(1) deiksis orang;
(2) deiksis tempat;
(3) deiksis waktu;
(4) deiksis wacana; dan
(5) deiksis sosial.
Dalam kategori deiksis orang, yang menjadi kriteria ialah peran
pemeran/peserta dalam peristiwa bahasa itu. Kita bedakan 3 macam peran dalam
kegiatan berbahasa itu, yakni kategori "orang pertama", "orang ke dua", dan
"orang ketiga". Dalam sistem ini, orang pertama ialah kategorisasi rujukan
pembicara kepada dirinya sendiri; orang kedua ialah kate gorisasi rujukan
pembicara kepada seorang (atau lebih) pendengar atau si alamat; dan orang ketiga
ialah kategorisasi rujukan kepada orang atau benda yang bukan pembicara dan
bukan pendengar/alamat ungkapan itu Cara yang paling lazim memberikan bentuk

2
(= "encoding") rujukan ke pada orang ini (deiksis orang) ialah dengan "kata ganti
orang" saya, engkau, kamu, dia, mereka, kami, kita, dan sebagainya. Akan tetapi
cara lain juga dipakai, umpamanya: Tuti atau nama sendiri lain (= saya; orang
pertama); Saudara, Bapak, Ibu, dan sebagainya untuk orang kedua.
Contoh pemakaian deiksis orang dapat dilihat dalam kalimat-kalimt
berikut:
 Mengapa hanya saya yang diberi tugas berat seperti ini?
 Saya melihat mereka di pasar kemarin.
Deiksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang (= tempat)
dipandang dari lokasi orang/pemeran dalam peristiwa berbahasa itu Semua bahasa
membedakan antara "yang dekat kepada pembicara" (di sini) dan "yang bukan
dekat kepada pembicara" (termasuk yang kat kepada pendengar-di situ. Dalam
banyak bahasa, seperti juga dalam bahasa Indonesia, dibedakan juga antara"yang
bukan dekat kepada pembicara dan pendengar" (di sana). Dalam tata bahasa,
kata/frase seperti ini disebut "kata/frase keterangan tempat". Dalam bahasa Batak
sejalan dengan rujukan tempat seperti ini, dibedakan juga antara rujukan benda
"yang dekat dengan pendengar" (i= itu) dan "yang bukan dekat kepada pembicara
dan pendengar" (an = itu, yang jauh dari saya dan engkau/kamu).
Contoh penggunaan deiksis tempat dapat dilihat pad kalimat berikut.
 Tempat itu terlalu jauh baginya, meskipun bagimu tidak.
 Duduklah bersamaku di sini.
Deiksis waktu adalah pengungkapan pemberian bentuk) kepada titik atau
jarak waktu dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibua peristiwa berbahasa),
yaitu sekarang; bandingkan pada waktu itu kemarin, bulan ini, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk dikategorisasikan cara tata bahasa sebagai "kata keterangan
waktu" (sebagaimana kategori- sasi deiksis tempat di atas dalam "kata keterangan
tempat"). Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini diungkapkan dalam
bentuk "kala" (Inggris: tense). Dengan demikian kelihatan deiksis waktu yang
berbeda antara:
(a) I bought a book (= waktu yang lalu) dan
(b) am buying a book (= waktu sekarang ).
Tanpa keterangan waktu, deiksis waktu kedua ungkapan itu sudah jelas.
Kalau diperlukan pembedaan/ketegasan yang lebih terperinci, dapat ditambahkan
sesuatu kata/frase keterangan waktu; umpamanya: yesterday last year, now, dan
sebagainya. Pembedaan deiksis waktu dapat diungkapkan dengan menambah
kata/frase keterangan waktu, sehingga jelas perbedaan rujukan waktu antara (c)
dan (d) di bawah:

3
(c) "I bought the book yesterday"; dan
(d) "I bought the book 2 years ago".
Kalimat-kalimat berikut adalah contoh pemakaian dari kata penunjuk
deiksis waktu:
 gaji bulan ini tidak seberapa yang diterimanya.
 Saya tidak dapat menolong Anda sekarang ini.
Dieksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian tertentu dalam
wacana yang telah diberikan dan/atau yang sedang dikembangkan. Dalam tata
bahasa gejala ini disebut anafora (= merujuk kepada yang sua disebut ) dan kata
ora (= merujuk kepada yang akan disebut - contoh nomor 4). Bentuk-bentuk yang
dipakai mengungkapkan deiksis wacana itu ialah kata/frase ini; itu; yang
terdahulu, yang berikut; yang pertama; disebut; begitulah; dan sebagainya.
Umpamanya:
(1) Beng, beng, begitulah bunyi senapan itu.
(2) Inilah yang tidak dapat saya mengerti (= merujuk kepada apa yang
baru dibicarakan).
(3) Demikianlah bunyi surat itu.
(4) Contoh dari variasi bahasa adalah sebagai berikut.
(5) Si Polan masuk ke kamar, lalu dia membuka jendela.
(6) Saya lahir di Malang dan tinggal di situ sampai umur 6 tanun.
Dalam contoh kalimat (5) ini, kata dia adalah pengungkapan deiksis orang
sebab ia mengganti "Si Polan"; akan tetapi, kata itu dapat dipandang sebagai
deiksis wacana sebab ia merujuk kepada bagian lain dari teks wacana itu. Dalam
frase "oleh karena itu", perkataan itu adalah bentuk pengungkapan deiksis wacana
sebab ia merujuk kepada suatu bagian wacana itu yang telah disebut sebelumnya.
Contoh kalimat yang bersifat anafora dapat dilihat dalam kalimat berikut:
 Wati belum mendapatkan pekerjaan, padahal dia sudah diwisuda dua
tahun yang lalu.
 Joni baru saja membeli mobil BMW. Warnanya merah dan harganya
jangan ditanya.
Contoh kalimat yang bersifat katafora dapat diliht dalam kalimat berikut.
 Di sini, di gubuk tua ini mayat itu ditemukan.
 Setelah dia masuk, langsung Toni memeluk adiknya.

4
Deiksis yang kelima ialah deiksis sosial. Deiksis sosial ini menunjukkan
atau mengungkapkan perbedaan-perbedaan kemasyarakatan yang terdapat antara
peran peserta (Inggris: participant-roles), terutama aspek peran sosial antara
pembicara dan pendengar/alamat dan antara pembi cara dengan rujukan/topik
yang lain. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara
dengan si alamat/pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem
morfologi kata-kata tertentu bahasa Jawa umpamanya, memakai kata nedo dan
kata dahar (= makan); memilih kata omah dan griyo (= rumah): menyebut si
alamat kowe atau sampeyan atau panjenengan, menunjukkan perbedaan sikap
sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang
dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional perbedaan bahasa (variasi bahasa)
seperti itu disebut "tingkatan bahasa", dalam bahasa ngoko dan kromo dalam
sistem pembagian-dua, atau ngoko madyo dan kromo kalau sistem bahasa itu
dibagi tiga, dan ngoko, madyo, kromo, kromo inggil kalau sistemnya dibagi empat.
Aspek berbahasa seperti ini disebut ''kesopanan berbahasa", "unda-usuk": atau
"etiket berbahasa" (Geertz, 1960). Sistem penggunaan bahasa yang mendasar
berbahasa seperti ini dapat disebut "sopan-santun berbahasa" atau hono rifics.
Bahasa-bahasa berbeda dalam kompleksitas sistem sopan-santun berbahasa,
namun semua mempunyainya dan secara lazim diungkapkan dengan kata ganti
orang, sistem sapaan, dan penggunaan gelar, seperti engkau; kamu; Tuan,
Saudara; Bapak: Ibu Tuti; Nyonya Hendro; Drs. Max Renyaan, Prof. Dr.
Sadtono; dan sebagainya.
Kita semua sering mendengar perkataan "berkenan" diselipkan (sering
secara "keliru"!) dalam suatu kalimat untuk mengungkapkan rasa hormat terhadap
orang/pejabat bersangkutan dan/atau suasana da am pertemuan itu, umpamanya: “
"Bapak X berkenan meninggalkan upacara" atau "Ibu Y berkenan duduk
kembali".
Sering juga kita menemukan penggunaan kata-kata khusus untuk
menunjukkan sikap hormat dan/atau rasa segan terhadap orang yang
disebut/bersangkutan. Umpamanya, kita pakai kata "tunda- netra" mengelakkan
kata "buta" yang dianggap kasar dalam banyak keadaan. Gejala kebahasaan yang
didasarkan pada sikap sosial/kemasyarakatan/sopan terhadap orang atau peristiwa
disebut eufemisme (= pemakaian "kata halus"). Inilah yang membuat orang
memakai kata "wafat" atau "meninggal" mengganti kata "mati", "wanita tuna
susila" atau singkatan WTS untuk "pelacur", singkatan WC untuk "jamban" dan
sebagainya. Kiranya jelas bahwa eufemisme erat hubungannya dengan sistem
sopan-santun berbahasa. Boleh dikatakan bahwa eufemisme adalah satu aspek dari
sopan-santun berbahasa; perbedaannya ialah bahwa eufemisme" adalah suatu
gejala dan "sopan-santun berbahasa" adalah suatu sistem/pola berbahasa.

5
Pembicaraan tentang eufemisme dari sudut pandangan fungsiolek telah kita lihat
dalam Bab II di atas.
Contoh pemakain deiksis sosial adalah pada kalimat berikut’
 Apakah saya bisa menemui Bapak hari ini?
 Saya harap Pak Haji berkenan memenuhi undangan saya.
Sebagai penutup pembicaraan tentang deiksis pragmatik ini perlu kita
sebut 2 macam pembedaan yang sering dibuat dalam pengkajian deiksis yakni
pembedaan:
(1) antara deiksis sejati dan deiksis taksejati; dan
(2) antara deiksis kinesik dan deiksis simbolik.
Deiksis sejati ialah kata/frase yang artinya dapat diterangkan seluruhnya
dengan konsep deiksis. Deiksis taksejati ialah kata atau frase yang artinya hanya
sebagian berupa deiksis dan sebagian fungsinya adalah non-deiksis. Yang
termasuk deiksis sejati ialah kata kata ganti seperti saya, engkau, ini, itu, di sini,
dan di situ, dan sebagainya, kalau kata-kata itu dipakai melulu sebagai kata
perujuk atau penghunjuk. Kata-kata ganti orang seperti terdapat dalam bahasa
Inggris: he, she, it adalah deiksis taksejati, sebab dalam arti kata-kata itu
terkandung faktor makna yang tidak merujuk (= non-deiksis), yaitu "masculine"
(= laki-laki); "feminine" (= perempuan), dan "neuter" (=jenis kelamin tidak
relevan). Dalam banyak bahasa lain kategori "gender" (= jenis) tidak didasarkan
pada jenis kelamin seperti umumnya dalam bahasa Germanik (Inggris Belanda,
Jerman, dan lain-lain), tetapi pada faktor-faktor lain seperti "manusia" dan "non-
manusia", atau pada bentuk, ukuran, dan sebagainya. Kadang-kadang juga sesuatu
kata ganti orang, umpamanya ''she" dalam bahasa Inggris, dipakai di luar fungsi
deiksis orang juga untuk mengungkapkan deiksis sosial, yaitu sikap atau perasaan
terhadap yang dirujuk, seperti dalam kalimat.
She is a beauty
di mana she dipakai merujuk kepada suatu mobil yang amat disayangi pemiliknya.
Gabungan deiksis orang dan deiksis sosial terlihat juga dalam penggunaan
"orang kedua": engkau dan kamu; tu lawan vous dalam bahasa Prancis: du lawan
Sie dalam bahasa Jerman; ho dan hamu dalam bahasa Batak: tu lawan Usted
dalam bahasa Spanyol. Dalam hubungan ini dapat kita sebut juga pembedaan
antara aku dan kulo dalam bahasa jawa (yang mengungkapkan sikap terhadap
pendengar!).
Contoh pemakaian deiksis sejati dalm kalimat adalh seperti berikut.
 Jika kami berdiri, kamu harus duduk.

6
 Rumah ini kelihatannya memang sudah lapuk, tetapi semangat kami
tidak akan pernah lapuk tinggal di sini.
Dalam deiksis tak sejati, makna kata atau frasa yang dipakai dalam deiksis
hanya sebagian lagi fungsinya adalah nondeiksis, seperti contoh berikut.
 Dia menjadi pusat perhatian di rumah kami.
Dalam kalimat di atas, kata dia dapat berarti seseorang dan dapat pula
berarti binatang kesayangan.

Pembedaan yang kedua yang kita sebut di sini ialah pembeda


dikemukakan Fillmore (1971) antara deiksis kinesik (yang disebutnya ictic usage)
dan deiksis simbolik (yang disebutnya symbolic usage). Kata/ungkapan yang
dipakai secara kinesik dapat difahami pengamatan (atau pemantauan) gerakan
badan dalam peristiwa/tindakan berbahasa itu dengan pendengaran, penglihatan
dan rabaan. Umpamanya dalam tindakan bahasa berikut:
(1) "Bukan dia guru saya, tetapi dia. Dia adalah Bapak saya"
(2) "Kau boleh pergi, tetapi kau harus tinggal di sini"
Dalam kalimat (1), kita akan mengerti siapa yang dimaksud hanya kalau
kita melihat siapa yang dirujuk/ditunjuk oleh pembicara. Demikian juga rujukan
kata kau dalam kalimat.(2) akan dapat kita mengerti atau tahu hanya kalau kita
melihat siapa yang ditunjuk dengan tangan/jari atau dengan kepala/mata.
Sebaliknya, penggunaan kata secara deiksis simbolik memerlukan
pengetahuan tentang faktor tempat dan waktu (dan kadang-kadang faktor sosial)
dari peristiwa berbahasa itu untuk dapat memahami siapa dan apa yang dimaksud
dalam kalimat itu. Umpamanya, hanya pengetahuan tentang lokasi umum para
pemeran dalam peristiwa berbahasa itu sudah cukup untuk memahami kota mana
dan waktu mana yang dimaksud dalam kalimat:
(1) Kota ini amat ramai.
(2) Saya tidak dapat pulang ke kampung tahun ini.
Sebagai mengakhiri pengantar ke dalam pengkajian deiksis pragmatik ini,
kiranya akan berguna membandingkan penggunaan beberapa kata ganti sebagai:
(a) deiksis kinesik,
(b) deiksis simbolik dan
(c) non-deiksis seperti tertera dalam perangkat-perangkat kalimat bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris di bawah ini.
1. (a) Kita duduk, kamu berdiri.

7
(b) Apa kau beli tadi.
(c) Kita dapat melihat komet itu dengan mata.
2. (a) Jangan pakai sapu ini, inilah.
(b) Kota ini amat ramai.
(c) Dia omongi ini dan itu.
3. (a) Move it from there to there!
(b) Hello, is John there? (bertelepon)
(c) There you go again! (kalau tidak senang atas tindakan/omongan)
4. (a) Don't put it here, but here!
(b) Yes, John is here (bertelepon)
(c) That is neither here nor there (= tidak relevan)

C. PRAANGGAPAN
Praanggapan ini adalah dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks
dan situasi berbahasa (= menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (=
kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar/penerima bahasa itu,
dan sebaliknya membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (=
kalimat, dan sebagainya) yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna
atau pesan yang dimaksud. Umpamanya, perhatikan kalimat berikut:
(1) "Menteri Binaraga mengeluarkan larangan bagi wanita untuk menekuni olah
raga itu"
Kalimat itu mempunyai makna kalau memang ada Menteri Binaraga.
Kalau tidak ada, maka frase itu tidak mempunyai rujukan (= tidak merujuk
kepada seseorang) dan oleh karena itu kalimat itu tidak mempunyai makna. Jadi
agar kalimat (1) itu bermakna, pemakai bahasa itu (dalam hal ini terutama
pendengar) harus mempunyai anggapan atau "praanggapan" bahwa "ada Menteri
Binaraga". Inilah salah satu contoh dari "praanggapan" Jadi dapat dikatakan
bahwa praanggapan tentang adanya hal atau orang-orang yang dibicarakan dan
sifat atau kegiatan yang disebut adalah cocok atau mungkin dipunyai atau
dilakukan oleh orang yang dibicarakan itu. Dalam kalimat di atas, praanggapan
yang akan mencakup juga bahwa "ada wanita yang menekuni olah raga binaraga"
dan bahwa "menekuni binaraga" merujuk kepada suatu kegiatan yang dapat
dilakukan oleh jenis makhluk seperti "wanita".
Agar kalimat seperti di atas (1) dapat memenuhi sifat "benar" atau "tidak
benar", haruslah diterima anggapan bahwa "ada Menteri Binaraga". Praanggapan

8
seperti ini disebut praanggapan keberadaan (dalam arti "ke-ada-an'", dalam bahasa
Inggris existence, jadi existential presup positions). Dalam kalimat berikut, yang
mengungkapkan suatu hal (= proposition):
(2) "Wanita Indonesia itu membeli burung itu" terdapat praanggapan
bahwa:
(2.1) "Ada seorang wanita Indonesia", dan
(2.2) "Ada seekor burung".
Hanya kalau kedua praanggapan itu diterima, maka kalimat (2) itu
mempunyai makna atau dapat dimengerti pendengar/pembaca. Cara lain
menjelaskan/memerikan situasi ini ialah dengan mengatakan bahwa "kalimat (2)
berpraanggapan hal-hal yang terungkap dalam ungkapan (2.1) dan (2.2). Dalam
menceriterakan suatu ceritera, khususnya ceritera dongeng atau hikayat masa lalu,
menyatakan praanggapan ini secara eksplisit sering diucapkan sesuatu ungkapan
dalam bentuk kalimat sebagai berikut
(3) Pada suatu ketika ada dua orang Sumatera yang sedang melawat ke
Pulau Jawa.
(4) Tiga ribu tahun yang lalu seorang pangeran kerajaan Astina…
Kedua kalimat ini menyatakan praangapan ke-ada-an "dua orang
Sumatera" dalam kalimat (3) dan "seorang pangeran kerajaan Astina" dalam
kalimat (4).
a. Konsep Praanggapan
Pembicaraan yang di atas mungkin memberikan gambaran seolah-olah
konsep praanggapan ini sudah jelas dan umum diketahui/diterima ilmuwan-
ilmuwan. Keadaan yang sebenarnya ialah bahwa sampai sekarang masih berbagai
ragam pengertian tentang praanggapan dan cukup besimpang siur pendapat
ilmuwan dari berbagai bidang ilmu.
Istilah praangapan adalah padanan bahasa Indonesia dari istilah bahasa
Inggris "presupposition". Kita perlu ingat bahwa istilah presupposition dan kata
kerja presuppose dipakai dalam berbagai kalimat dengan arti yang tidak dibahas
dalam "teori praanggapan" (presupposition) yang termasuk pragmatik. Sebagai
contoh kita berikan di bawah ini kalimat kalimat dari Levinson (1983: 168). Tidak
semua kata presuppose/-ition di sini dapat diterjemahkan dengan "praanggap/-an".
(a) Effects presuppose cause (= Akibat memerlukan adanya sebab).
(b) (b) John wrote Harry a letter, presupposing he could read (= John
menulis surat kepada Harry dengan anggapan dia tahu membaca).
(c) John said "Harry is so competent", presupposing that we know Harry
had fouled things up in fact we didn't know and so failed to realize that

9
he was being ironic (= John mengatakan "Harry amat terampil",
dengan anggapan bahwa kami tahu bahwa Harry telah merusak
pekerjaan itu. Padahal kami tidak tahu, jadi kami tidak sadar bahwa dia
berbicara secara ironis).
(d) Harry asked Bill to close the door, presupposing that Bill had left it
open as usual; he hadn't, so he threw the chair at Harry. (= Harry
menyuruh Bill menutup pintu, sebab dia kira bahwa Bill membiarkan
pintu terbuka seperti biasanya; padahal dia tidak membiarkannya
terbuka sehingga ia marah sekali pada Harry).
(e) Adolph addressed the butler as "sir", presupposing that he was the host
Sir Ansel himself. (= Adolp menyapa pembantu rumah tangga dengan
"tuan" sebab salah sangka dia adalah tuan rumah Sir Ansel sendiri).
(f) The theory of evolution presupposes a vast time scale (= Teori evolusi
memprasyaratkan suatu skala waktu yang amat besar).
(g) The article by Jackendoff presupposes Chomsky's theory of
nominalizations (= Makalah Jackendoff berpijak pada teori nomi
nalisasi Chomsky).
Suatu unsur yang terdapat dalam semua contoh di atas ialah makna
pengertian "presupposition" sebagai sesuatu macam anggapan/pengetahuan latar
belakang yang membuat sesuatu tindakan, teori ungkapan mempunyai makna atau
masuk akal. Berlainan dari itu, makna teknis dari praanggapan dibatasi oleh
"kesimpulan atau anggapan pragmatik" yang terkandung dalam ungkapan
ungkapan kebahasaan yang dapat diketahui/diidentifikasi melalui ujian
kebahasaan, khususnyadengan "ketetapan dalam peniadaan".
b. Latar Belakang Konsep Praanggapan
Konsep praanggapan ini berasal dari perdebatan dalam ilmu falsafah,
khususya tentang hakikat rujukan (= apa-apa , benda/keadaan / dan sebagainya,
yang dirujuk atau dihunjuk oleh kata, frase atau kalimat) dan ungkapan-ungkapan
rujukan. Rujukan ini menjadi permasalahan inti dalam teori logika oleh sebab
persoalan bagaimana cara menerjemahka ungkapan-ungkapan rujukan itu ke
dalam bahasa logika yang bersifat ketat dan terbatas.
Ahli falsafah yang memajukan suatu penjelasan permasalahan itu yang
masuk akal dan berterima oleh banyak ahli ialah Gottlob Frege. Dia mengatakan
(1892/1952):
Kalau ada sesuatu pernyataan, maka selalu ada sesuatu praanggapan
bahwa nama-nama (atau kata benda) yang dipakai itu, baik sederhana atau
majemuk, mempunyai suatu rujukan (reference). Jikalau orang menyatakan
'Kepler meninggal dalam kesengsaraan', maka ada praanggapan (= orang

10
berpraanggapan) bahwa nama 'Kepler' merujuk kepada sesuatu benda atau
menghunjuk kepada seseorang yang nyata.
Praanggapan ini bukanlah unsur dari makna Kepler meninggai dalam
kesengsaraan; dengan kata lain, bahwa "Kepler merujuk sesuatu (= seorang)"
bukanlah bagian dari makna kalaimat "Kepler meninggal dalam kesengsaraan".
Oleh karena itu jika demikian, menurut Frege, Kepler meninggal dalam
kesengsaraan akan mempunyai bentuk logika: "Kepler meninggal dalam
kesengsaraan & Kepler merujuk kepada sesuatu (benda orang/hal)", dan kalimat
peniadaan Kepler tidak meninggal dalam kesengsaraan akan sama dengan
"Kepler tidak meninggal dalam kesengsaraan atau nama Kepler tidak mempunyai
rujukan". (Bentuk logika ini berasal dari kesamaan -(p & q) dengan -p V-q, di
mana p adalah "Kepler meninggal dalam kesengsaraan" dan q adalah "Nama
Kepler mempunyai rujukan".). Pernyataan (peniadaan) ini, menurut Frege, adalah
tidak masuk akal (absurd). Menurut Frege, bahwa "nama Kepler merujuk sesuatu"
adalah menjadi praanggapan baik dalam pernyataan "Kepler meninggal dalam
kesengsaraan" maupun dalam lawannya (= peniadaannya) "Kepler tidak
meninggal dalam kesengsaraan". Hal ini yang kita sebut di atas dengan "ketetapan
dalam peniadaan".
Frege menggambarkan teori praanggapannya dengan pernyataan
pernyataan berikut:
(a) Frase-frase dan klausa klausa waktu yang merujuk (= mempunyai
rujukan) mengandung praanggapan bahwa frase dan klausa itu
memang mempunyai rujukan yang nyata.
(b) Sesuatu kalimat dan peniadaannya mempunyai praanggapan yang
sama.
(c) Agar sesuatu pernyataan (seperti ungkapan tentang Kepler di atas) atau
suatu kalimat dapat dinyatakan "benar" atau "tidak benar" ,
praanggapannya haruslah "benar" atau "dipenuhi".
Dari pernyataan (c) di atas, kita lihat bahwa pernyataan (= assertions)
yaitu "penggunaan kalimat" dan kalimat sendiri sama-sama dikatakan Frege
mengandung praanggapan. Ini agak membingungkan dan dibelakang hari akan
dibuat pemisahan secara jelas antara "pernyataan" dan "kalimat". Namun, sistem
yang diajukan Frege inilah yang menjadi dasar dan memberi arah kepada kajian
dan pembicaraan tentang praanggapan.
Dalam tulisannya dalam 1905, Russell,ahli falsafah Inggris yang amat
prodiktif dan berpengaruh, mengatakan bahwa penyelesaian Frege itu adalah
salah, dan dia mengajukan suatu "teorinpemerian" yang mendominasi
pembicaraan dan kajian tentang praanggapan selama 45 tahun, yaitu sampai
Strawson mengumakakan suatu pendekatan baru. Russell terdorong mencari jalan

11
lain dari kalimat-kalimat yang mempunyai rujukan tetapi mempunyai makna.
Sebagai contoh dia kemukakan kalimat:
(5) Raja Prancis itu adalah bijaksana.
Di sini , "Raja Prancis" tidak mempunyai rujukan, artinya sekarang ini
tidak ada raja Prancis. Dalam sistemnya, Frege mempunyai jawab atas persoalan
ini denganmembedakan makna dari rujukan;kalimat-kalimat seperti (5)
mempunyai makna walaupun tidak ada rujukannya, dan oleh karena itu kalimat
itu tidak dapat mempunyai "nilai kebenaran", artinya tidak mungkin "benar" atau
"tidak benar" namun, Russell mengatakan bahwa penyelesaian seperti ini akan
menghasilkan kekacauan. Oleh karena itu kalimat-kalimat seperti (5) tidaklah
sederhana terjemahannya secara logika. Apa yang dipandang sebgai "pokok
kalimat" dalam bahasa biasa secara logika. Kalimat seperti (5), secara logika,
adalah perpaduan pernyataan. Jadi terjemahan secara logika dari F adalah G
bukan rumusan subjek-predikat sederhana seperti G (F), tetepi adalah perpaduan
dari ketiga pernyataan berikut:
Ada sesuatu benda x sedemikian sehingga:
(a) x mempunyai sifat F
(b) Tidak ada benda y lain yang bukan x dan mempunyai sifat F.
(c) x mempunyai sifat G.
Dengan demikian, bentuk logika dari (5) bukan (6) tetapi (7) yang lebih
majemuk; di sini kita akan pakai hanya kata "Raja" untuk "Raja" Prancis:
(6) Bijaksana (Raja)
(7) x (Raja (x) & ~ y ((y = x) & Raja (y) &Bijaksana (x)), yang dapat dibaca
demikian: "Ada seorang Raja Prancis dan tidak ada orang lain yang menjadi Raja
Prancis dan dia adalah bijaksana."
Menurut Russell, keuntungan analisisnya ini antara lain ialah kemampuan-
kemampuan menanggulangi "kedwimaknaan cakupan" yang terdapat dalam
peniadaan kalimat (5) menjadi:
(8) "Raja Prancis adalah bijaksana".
ini dapat diartikan dengan dua makna: (a) Ada praanggapan bahwa ada Raja
Prancis dan dia tidak bijaksana, atau (walaupun tidak begitu lazim) (b) Yang
ditiadakan ialah bahwa "ada Raja Prancis dan dia adalah bijak sana". Rumus
Russell seperti dalam (7) di atas memungkinkan penempatan tanda peniadaan (~)
di dua tempat untuk menanggulangi kedwimaknaan itu; dengan kata lain,
peniadaan dapat berlaku dengan cakupan Luas seperti dalam (9) atau dengan
cakupan sempit seperti dalam (10) di bawah ini:

12
(9) ~ ( x (King (x) &- (x) & y ((Y x) & Raja (y)) & Bijaksana (x)), yang dapat
dibaca demikian: Tidaklah benar bahwa: (a) ada Raja Prancis, dan (b) tidak ada
orang lain yang menjadi Raja dan (c) dia adalah bijaksana.
(10) x (Raja (x) & ~y (y = x) & Raja (y) &~Bijaksana (x), yang dapat dibaca
demikian: "Ada Raja Prancis dan tidak ada orang lain yang menjadi Raja Prancis,
dan Raja Prancis itu tidak bijak Sana".
Analisis Russell ini baru mendapat tantangan pada tahun 1950 oleh
Strawson, yang mengajukan pendekatan yang berbeda. Strawson berpendapat
bahwa banyak dari kesulitan tentang praanggapan ini dísebabkan oleh tidak
adanya pembedaan antara "kalimat" dan "pemakaian kalimat". Pembauran dari
perbedaan inilah yang membuat Russell berkesimpulan bahwa oleh karena (5)
adalah bermakna, maka ia mesti "benar atau tidak benar". Akan tetapi, menurut
Strawson, "kalimat bukanlah benar atau tidak benar, hanya pernyataan yang dapat
benar atau tidak benar. Jadi pernyataan (8) mungkin "benar" pada tahun 1686,
tetapi ia adalah tidak benar" pada tahun 1986 (sebab tidak ada Raja Prancis pada
tahun 1986, dan oleh karena itu tidak mungkin timbul persoalan "kebenaran" dan
"ketidakbenaran" sesuatu pernyataan seperti itu).
Pemikiran seperti itu membuat Strawson berkesimpulan bahwa ada
prasyarat bagi mungkinnya pernyataan (5) menjadi beriar atau tidak benar, yaitu:
(11) " Ada Raja Prancis"
Prasyarat yang memungkinkan suatu pernyataan benar atau tidak benar
seperti ini dia sebut praanggapan. Praanggapan inilah yang termasuk dapat kita
sebut sekarang ini "kesimpulan pragmatik", yang berbeda dari "implikasi logika
atau keterkandungan". Jadi konsep praanggapan ini dapat digambarkan dengan
mengatakan bahwa "pernyataan A berpraanggapan pernyataan B hanya jika B
adalah prasyarat bagi benarnya atau tidak benarnya A." Sebenarnya, Strawson
mengabaikan di sini kedwimaknaan peniadaan (seperti ditonjolkan Russell),
sehingga bagi dia pernyataan (8) mempunyai hanya satu interpretasi yakni
formulasi (10) dan dia tidak menerima formulasi (9). Bagi kita, pendapat
Strawson ini lebih menarik sebab lebih cocok dengan intuisi kebahasaan kita
dalam memakai bahasa sehari-hari.
Sebelum Strawson mengemukakan konsepnya tentang praanggapan, para
ahli bahasa hanya memperhatikan suatu hubungan semantik yang memang
penting, yakni yang disebut keterkandungan atau "akibat secara logika". Konsep
ini dapat didefinisikan berdasarkan "kebenaran" dan "ketidakbenaran" secara
semantik sebagai berikut:
Hubungan keterkandungan semantik ini biasanya dilambangkan demikian:
A //- B dalam logika simbolik. Konsep ini memungkinkan berkembangnya suatu
system atau teori yang menarik yang disebut teori praanggapan semantik (yang

13
berkaitan tetapi berbeda dengan praanggapan pragmatik sebagaimana akan jelas di
bawah ini). Praanggapan semantik ini dapat didefinisikan sebagai berikut:
(13) Suatu kalimat A berpraanggapan semantik suatu kalimat B hanya jika:
(a) dalam semua keadaan di mana A benar, maka B (juga) benar;
(b) dalam semua keadaan di mana A tidak benar, maka B (tetap) benar.
Dengan lambang logika, definisi praanggapan semantik ini berbentuk demikain:
(14) Suatu kalimat A berpraanggapan semantik suatu kalimat B hanya benar
demikian jika:
(a) A //-B
(b) ~A //-B
Bandingkan dengan definisi (13) ini definisi praanggapan yang dikemukukan
Strawson, yakni:
(15) Suatu pernyataan A berpraanggapan B hanya jika:
(a) jika A benar, maka B benar;
(b) jika A tidak benar, maka B benar.
Perbedaan terpenting antara kedua definisi itu ialah bahwa yang
dibicarakan dalam definisi praangapan semantik (13) adalah hubungan antar
kalimat, sedangkan yang dibicarakan dalam praangapan model Strawson adalah
hubungan antara pernyataan.
Kegiatan intelektual di atas adalah menarik bagi ahli-ahli bahasa yang
menganut teori semantik-generatif, yang berkembang pesat dalam waktu 1968-
1975. Ahli-ahli semantik-generatif ini mencari cara untuk meluaskan dan
mengubah model-model semantik logika agar dapat mencakup sebanyak mungkin
sifat-sifat bahasa alamiah. Untuk mencapai tujuan itu, mereka mencoba
mengembalikan gejala-gejala pragmatik ke dalan bidangnya ilmu semantik yang
"teratur" (cf. Lakoff 1972; 1975).
Akan tetapi, ternyata bahwa banyak gejala yang menyerupai praanggapan
yang tidak begitu cocok disebut "praanggapan semantik". Umpamanya, Keenan
(1971 51 dalam Levinson 1983: 77) menyebut persoalan mengenai penggarapan
kata ganti tu dalam bahasa Prancis, se perti dalam kalimat:
(16) "Tu es Napoleon"
Kalimat (16) berpraanggapan bahwa "si alamat atau pendengar kalimat ini
adalah hewan, anak kecil, orang bawahan dari pembicara atau orang yang akrab
dengan pembicara". Agaknya amat aneh mengatakan bahwa kalau orang memakai
(16), sedangkan prasyarat-prasyarat tersebut tidak berlaku, maka yang dikatakan

14
itu, yaitu (16), adalah bukan "benar" dan bukan "tidak benar". Sebabnya ialah
bahwa (16) itu "benar" hanya kalau si alamat atau pendengar itu adalah Napoleon,
dan kalau tida maka (16) adalah "tidak benar". Lagi pula kalimat (17) di bawah ini
yang sopan dan formal, mempunyai sifat/persyaratan "kebenaran" yang sama.
(17) "Vous êtes Napoleon"
Dari sini kita lihat bahwa praanggapan mengenai hubungan antara
pembicara dan pendengar, yang diungkapkan di sini dengan pemakaian dan vous,
tidak mempengaruhi persyaratan "kebenaran". Oleh karena itu, Keenan
berkesimpulan bahwa contoh-contoh seperti ini merupakan golongan/kategori
kesimpulan pragmatik yang berlainan dengan dan tidak terkai kepada
praanggapansemantik. Dia sebut hal-hal seperti itu tidak terikat kepada
praanggapan semantik. Praanggapan pragmatik, yang sebaiknya didefinisikan
sebagai "hubungan pembicara dan kewajaran suatu kalimat dalam suatu konteks
tertentu.
Kelihatannya, persoalan itu sudah dapat diselesaikan dengan menerima
dua macam praanggapan yang terpisah dalam bahasa alamiah, yaitu: praanggapan
semantik dan praanggapan pragmatik. Akan tetapi, sejak hingga orang
berpendapat bahwa teori bahasa, dan terutama teori semantik, agaknya lebih baik
melepaskannya. Rasanya, kurang tepat membicarakan alasan-alasan terperinci
bagi pelepasan konsep pranggapan semantik itu dalam pengantar ini. Pembaca
yang berminat da pat membacanya dalam Levinson 1983, halaman 177-204 dan
dalam Gazdar 1983, halaman 90-103. Di bawah ini kita akan bicarakan hanya
praanggapan pragmatik.
c. Teori Praanggapan Pragmatik
Seiring dengan pelepasan konsep praanggapan semantik itu,
bermunculanlah beberapa teori praanggapan pragmatik yang menggunakan faktor-
faktor dan konsep pragmatik dalam definisi praanggapannya. Definisi-definisi itu
pada umumnya menggunakan dua konsep dasar, yakni: kewajaran (Inggris:
appropriateness atau felicity) dan pengetahuan bersama (Inggris: mutual
knowledge, atau common ground, atau joint assumption) seperti kelihatan dalam
definisi di bawah ini:
(18) "Suatu ungkapan A berpraanggapan pragmatik suatu pernyataan B hanya jika
A adalah wajar hanya kalau B sama-sama diketahui oleh pemeran serta ." (Bahasa
Inggris: An utterance A pragmatically B iff A is appropriate only if B is mutually
presupposes a proposition kn own by participants) (Levinson, 1983: 205.
Gadzar (1979: 103 dan seterusnya) memberikan beberapa definisi penting dengan
penilaian tentang kegunaannya seperti di bawah ini. Percobaan definisi yang
paling dulu ialah yang diajukan oleh Stalnaker (1972:387) dan Keenan (1971:49).
Di sini kita berikan definisi itu dalam versi Karttunen (1973: 169-170):

15
(19) "Kalimat A berpraanggapan pragmatik suatu pernyataan B hanya jika,
bilamana A diungkapkan secara sungguh-sungguh, pengungkapan A itu
beranggapan B dan beranggapan bahwa pendengarnya (Inggris: audience)
beranggapan B juga. "
Pada tahun 1973, Staalnaker mengajukan suatu definisi yang didasarkan pada
pembicara. Definisi lebih lanjut dikembangkannya pada tahun 1974 (halaman
200) dan menjadi berbunyi sebagai berikut:
(20) "Suatu pernyataan B adalah praanggapan pragmatik seorang pembicara
dalam suatu konteks tertentu hanya kalau pembicara itu beranggapan atau percaya
bahwa B, (dan dia) beranggapan atau percaya bahwa pendengarnya (Inggris:
audience) beranggapan atau percaya bahwa B, dan dia beranggapan atau percaya
bahwa pendengarnya mengetahui bahwa dia mempunyai anggapan atau
kepercayaan ini."
Lalu dia (Stalnaker 1974:200) memberikan pilihan definisi antara tiga
macam hubungan antara kalimat atau pernyataan dengan praanggapan
pragmatiknya sebagai berikut:
(21) "Kalimat A berpraanggapan pragmatik bahwa B hanya kalau wajar (atau
mungkin normal) hanya dalam konteks di mana B adalah penggunaan A untuk
membuat suatu pernyataan adalah praanggapan pembicara (dengan arti dalam
(20))."
(22) "Pernyataan bahwa A (yang dibuat dalam suatu konteks tertentu)
berpraanggapan pragmatik bahwa B hanya kalau dapat disimpulkan secara wajar
bahwa pembicara itu berpraanggapan bahwa B (dengan arti dalam (20))
berdasarkan fakta bahwa pernyataan itu telah dibuat."
(23) "Pernyataan bahwa A (yang dibuat dalam suatu konteks tertentu)
berpraanggapan pragmatik bahwa B hanya kalau perlu dianggap bahwa pembicara
berpraanggapan bahwa B (dengan arti dalam (20)) agar dapat dimengerti atau
secara benar ditafsirkan pernyataan itu. "
Karttunen (1973: 11) mendefinisikan praanggapan sebagai berikut:
(24) "A berpraanggapan pragmatik B sehubungan dengan suatu perangkat fakta C
yang dianggapkan hanya jika tidak berterima mengungkapkan A dalam konteks C
kalau C tidak mengandungkan B. (Dalam bahasa Inggris: "A pragmatically
presupposes B elative to a set of assumed facts C if it is not acceptable to utter A
in the context of C unless C entails B.")
Definisi ini diubah oleh Karttunen pada tahun 1974 dan mengalami modifikasi
lagi oleh Karttunen dan Peters (1975:268) menjadi:

(25) "Kalimat A berpraangapan pragmatik pernyataan 8 hanya jika adalah wajar


mengungkapkan A untuk memperbanyak pengetahuan bersama C hanya kalau B

16
telah terkandung oleh C." (Dalam bahasa Inggris: "Sentence A pragmatically
presupposes proposition B if it is felicitous to utter A in order to increment a
common ground C only in case B is already entailed by C.")
Definisi-definisi ini mempunyai banyak persamaan, termasuk
kecenderungan memakai istilah-istilah yang belum didefinisikan. Umpamanya
kita membaca dalam (19): " sungguh" dan "anggapan": dalam (21) " wajar" ;
dalam (22): "disimpulkan secara wajar"; dan dalam (24): "berterima". Terlepas
dari kekaburan yang disebabkan istilah-istilah yang belum didefinisikan itu,
menurut Gazdar ada juga dua hal yang salah dalam definisi-definisi itu. Yang
pertama ialah bahwa jika ungkapan yang mempunyai praanggapan yang berbentur
(Inggris: clash) dengan konteks bukanlah "tidak wajar", "tidak berterima", "tidak
dapat dimengerti 'tidak sungguh", dan sebagainya; ungkapan-ungkapan itu hanya
kehilangan praanggapan saja. Jadi (26) di bawah berpraanggapan (27), tetapi
dalam suatu konteks yang membuat ketidakbenaran (27) jelas bagi pembicara,
pernyataan (27) itu tidak akan dipraanggapkan.
(26) " Jadi Ali tidak menyesali membunuh ayahnya. "
(27) "Ali membunuh ayahnya."
Kesulitan yang kedua dalam definisi-definisi itu ialah bahwa definisi-
definisi itu mengharuskan bahwa praanggapan itu telah menjadi bagian dari (=
telah terkandungkan oleh) konteks yang ada. Kebanyakan defi nisi itu
mengharuskan praanggapan itu dipunyai sama-sama oleh pembicara dan
pendengar. Kalau ini diartikan secara sungguh/harfiah, maka tidak akan mungkin
menambahkan keterangan/informasi, bagaimanapun dalam bentuk praanggapan.
Umpamanya, kalau seseorang at datang ke suatu rapat dan orang-orang dalam
rapat itu tidak tahu apa orang itu mempunyai mobil atau apa dia datang dengan
kendararaan umum. Sewaktu dia tiba dia mengatakan:
(28) "Maaf, saya terlambat,mobil saya rusak. "
Menurut definisi-definisi di atas, ungkapan ini " tidak berterima" atau "
tidak wajar", dan dia sewajarnya mengatakan (menyatakan praanggap itu sebelum
mempraanggapkannya):
(29) " Maaf, saya terlambat, saya mempunyai mobil dan mobil saya rusak."
Sebenarnya, penganjur-penganjur definisi itu menyadari kesulitan ini, dan
mereka memberikan berbagai ragam penyelesaian masalah itu. Umpamanya,
Karttunen mengatakan bahwa percakapan biasa memang " tidak sempurna", jadi
dalam kehidupan nyata, pendengar-pendengar harus " menerka" apa konteks
sebenarnya. Gazdar (1979:107) berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan itu dapat
dihindari dengan melepaskan persyaratan bahwa praanggapan pragmatik harus
terkandung (Inggris: entailed) oleh konteks. Dia menganjurkan persyaratan yang
lebih lunak yaitu bahwa praanggapan pragmatik itu harus sesuai (Inggris:

17
consistent) dengan konteks. Definisi semantik secara informal adalah sebagai
berikut:
(30) "Suatu kalimat p adalah dikandungkan oleh himpunan kalimat hanya kalau p
adalah "benar" dalam semua keadaan yang mungkin di mana semua anggota G
adalah "benar"."
Perasyarat yang lebih lunak berbunyi:
(31) Suatu kalimat p adalah sesuai dengan himpunan kalimat G hanya kalau p
adalah "benar dalam sesuatu keadaan yang mungkin di mana semua anggota G
adalah "benar"
Kesesuaian (Inggris: consistency) adalah dasar dari definisi-definisi dari
implikatur dan praanggapan yang dibicarakan Gazdar dalam bukunya (1979).
Namun rasanya, pembicaraannya terlalu teknis untuk dibahas dalam buku
pengantar seperti ini. Cukuplah di sini dikatakan bahwa "kesesuaian" ini pun
masih perlu dikaji lebih lanjut seperti ditunjukkan oleh Levinson (1983:205)
dengan contoh berikut:
(32) "Maaf, saya terlambat, mobil pemadam api saya rusak."
(33) "Pembicara mempunyai mobil pemadam api."
Kelihatannya ungkapan (32) ini tidak "sesuai" dalam keadaan di mana
bukanlah lazim dan menjadi pengetahuan umum/bersama bahwa pernyataan (33)
adalah benar, sehingga tidaklah sesuai pengetahuan orang biasa bahwa seseorang
orang biasa mempunyai mobil pemadam api yang dia pakai (juga) untuk pergi ke
kantor atau tempat pekerjaan (termasuk rapat).
Untuk penyelesaian kesulitan-kesulitan ini, beberapa ahli (umpamanya
Gazdar, 1979) mengajukan konsep " kemungkinan pembatalan" praanggapan.
Konsep ini mengatakan bahwa sesuatu praanggapan bersifat potensial dan dapat
dibatalkan (Inggris: defeasible atau cancellable) dengan suatu ujian atau "alat
pembatal". Hanya praanggapan yang tahan ujian inilah yang menjadi praanggapan
nyata (Inggris: actual presupposi tion). Ini dapat dibandingkan juga dengan
kemungkinan pembatalan sesuatu Aturan dalam teori Implikatur Percakapan
Grice.
Ada dua lagi saran penyelesaian yang dapat disebut di sini. Yang pertama
ialah yang dikemukakan Wilson dan Superber (1979) yang mengatakan bahwa "
penggambaran/pemerian semantikharus diperkaya sedemikian hingga dasar-dasar
pragmatik yang berinteraksi dengannya dapat meramakan/menentukanapa yang
dipraanggapan" (cf. Levenson 1983:219). Menurut mereka, penggambaran
semantik yang memadai ialah terdiri dari "himpunan teratur" keterkandungan
yang terbagi atas keterkandungan latar belakang dan keterkandungan latar depan.

18
Saran yang kedua ialah yang dikemukakan oleh Atlas & Levinson (1981)
yang menganjurkan agar lebih diperhatikan/diperkirakan peranan dl\ari bentuk
logika (= struktur pemerian semantik) dalam pembuatan kesimulan pragmatik.
Persoalannya sekarang ialah "apa dasar-dasar atau pedoman, selain
pemerian/peramalan hubungan keterkandungan yang benar, yang kita perlukan
untuk pembuatan bentuk logika yang khusus bagi sesuatu kalimat?" Mereka
menyarankan: (a) bentuk logika itu harus menggambarkan struktur semantik dari
kalimat itu yang penting/bermakna menurut naluri pemakai bahasa; dan (b)
bentuk logika itu harus dapat meramalkan kesimpulan-kesimpulan pragmatik
yang akan dihasilkan oleh konteks. Contoh dan keterangan selanjutnya dapat
pembaca lihat dalam Levinson (1983:220-224).
d. Keterkandungan (Inggris: Entailment)
Di atas telah beberapa kali kita menyebut keterkandungan, tanpa
memberikan definisi atau penjelasan yang memadai, hanya keterangan singkat. Di
sini kita akan menjelaskannya lebih lanjut. Gazdar (1979) memberikan dua
pernyataan tentang adanya atau terdapatnya keterkandungan.Diamengatakan
bahwa: (a) kalimat "faktif" mengiakan (= positif) yang sederhana (Inggris; simple
affirmative factive sentences) mengandungkan (= entail) komplemennya; (b)
penjelasan/pemerian yang tegas atau tentu yang dipakai dalam kalimat mengiakan
(= positif) yang sederhana mengandung ke-ada-an rujukannya. (Kalimat faktif
ialah kalimat yang predikatornya terdiri dari "kata kerja faktif" = kata kerja yang
dapat diberikan komplemen. Jadi, di bawah ini,kalimat (34) engandungkan (35),
dan kalimat (36) mengandungkan (37).
(34) "Ali menyesal telah membohongi ayahnya."
(35) "Ali membohongi ayahnya."
(36) "Raja dari Astina membunuh ayahnya."
(37) "Ada raja dari Astina. "
Pernyataan di atas tidaklah mengejutkan. Memang semua definisi
semantik dari praanggapan membutuhkan keterkandungan dalam kalimat
mengiakan. Menurut pendapat Russell tentang pemerian yang tentu pun (37)
adalah terkandung dalam (36) atau (37) adalah keterkandungan dari (36).
Beberapa pengkajian belakangan ini (khususnya Wilson, 1975)
berkesimpulan bahwa ada hubungan keterkandungan antara (34) dan (35), yaitu
bahwa (35) adalah keterkandungan dari (34). Oleh karena definisi praanggapan
yang memadai memerlukan suatu semantik yang berdwinilai (= "benar" dan
"tidak benar"), maka Gazdar pun mengambil pendirian yang menerima semantik
berdwinilai (Inggris: bivalent semantics) untuk keterkandungan dan juga
menerima hukum logika modus tollens. Dengan demikian, dia berpendapat bahwa
jikalau (35) adalah tidak bena (Inggris: false), maka (34) pun adalah "tidak benar".

19
Di atas telah kita sebut "kalimat faktif" yang kita definisikan dengan
memakai istilah "kata kerja faktif" yang menjadi kata kerja utama (atau "
predikator" = unsur utama predikat). Gazdar (1979: 109) menyebut bahwa kata-
kata kerja faktif itu terdiri atas 3 golongan (menurut Karttu nen, 1974), yaitu:
1. Kata kerja yang berarti "mengatakan", seperti: mengatakan,
bertanya/menanya, menceriterakan, mengumumkan, menegaskan, dan
sebagainya.
2. Kata kerja yang mengungkapkan sikap terhadap suatu pernyataan,
seperti: pikir, percaya, kira, kuatir, dan sebagainya.
3. Kata kerja-kata kerja lain yang dapat diberikan/mempunyai
komplemen.
Golongan 1 ini "menghalangi adanya praanggapan" oleh karena adanya
anak kalimat komplemen/pelengkap itu; kata kerja seperti ini sering di sebut
"sumbat" (Inggris: plug) dalam diskusi tentang praanggapan. Golongan 2 ini
membuat praanggapan pelengkapnya menjadi praanggapan dari pokok
kalimat/subyek kalimat wadah/induk. Golongán 3 (juga disebut "lobang" (Inggris:
holel) membuat semua praanggapan komplemennya menjadi praanggapan kalimat
induk. Gazdar masih meragukan kebenaran dari penggolongan ini, tetapi kiranya
jelas bahwa sifat penggolongan ini berdasarkan sifat semantik (= bukan
pragmatik) dari komplementasi kata kerja itu.
Masih belum jelas seberapa penting konsep keterkandungan ini dalam
menjelaskan masalah praanggapan, khususnya keterkandungan yang berdasarkan
kata kerja faktif. Perlu kita catat bahwa yang didukung oleh Gazdar ialah bahwa
kalimat mengiakan sederhana mengandung praanggapan dalam hal kata kerja
faktif dan dalam hal pemerian tentu. Untuk megakhiri pembicaraan tentang
keterkandungan ini, kita berikan di bawah ini 3 macam kalimat lain yang rupanya,
menurut Gazdar, juga menunjukkan keterkandungan. Ketiga golongan kalimat itu
ialah yang Gadzar sebut (a) kalimat "terbelah" (Inggris: cleft), yaitu yang
dicontohkan dalam kalimat (38); (b) kalimat yang menyerupai kalimat terbelah
(Inggris: pseudocleft), yang dicontohkan dengan kalimat (40); dan (c) anak
kalimat waktu, yang dicontohkan dengan kalimat (42).
(38) "Adalah Oedipus yang membunuh ayahnya." (It was Oedipus who killed his
father).
Kalimat ini adalah kalimat terbelah yang mengandungkan dan berpraanggapan
kalimat (39):
(39) "Seseorang membunuh ayahnya."
(40) "Yang diinginkan Oedipus ialah es krim," (What Oedipus wants is ice
cream).

20
Kalimat ini adalah " menyerupai kalimat terbelah" yang mengandungkan dan
berpraanggapan kalimat (41):
(41) "Oedipus inginkan sesuatu. "
(42) " Jocasta menangis ketika Oedipus bernyanyi." (Jocasta cried when Oedipus
sang).
Kalimat ini adalah beranak kalimat waktu yang mengandungkan dan
berpraanggapan kalimat (43):
(43) Oedipus bernyanyi.
Belum tuntas pengkajian mengenai ketergantungan dan praanggapan seperti yang
bersumber pada " nama sendiri" dan "kata bilangan": demin juga sumber sumber
lain yang menghasilkan praanggapan.
Menurut George Yule dalam Eva (2012: 14) mengklasifikasikan
praanggapan ke dalam 6 jenis, yaitu:
1. Praanggapan Ekstensial, yaitu praanggapan yang menunjukkan
eksistensi/keberadaan/jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang
definit (pasti).
Contoh: (a) Orang itu berjalan; (b) Ada orang berjalan.
2. Praanggapan Faktif, yaitu praanggapan di mana informasi yang
dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu
kenyataan.
Contoh: (a) Saya gembira bahwa ini berakhir => praanggapan dalam
tuturan ini disebabkan kata “gembira” yang diasumsikan “bahwa ini
berakhir”. (b) Kami menyesal mengatakan kepadanya => kata “Menyesal”
diasumsikan sebagai bentuk kenyataan bahwa “kami” tidak berniat
mengatakan hal itu.
3. Praanggapan Leksikal, dipahami sebagai bentuk praanggapan yang
maknanya dinyatakan secara konvensional (secara umum) ditafsirkan
dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan)
dipahami. Contoh: Dia berhenti bekerja => Kata “berhenti” secara leksikal
mempunyai makna tidak beraktivitas. Sehingga kata tersebut mempunyai
praanggapan bahwa “dulu dia pernah bekerja”.
4. Praanggapan Non-Faktif, yaitu suatu praanggapan yang diasumsikan tidak
benar. Contoh: (a) Andi membayangkan bahwa dia kurus; (b) Andi tidak
kurus. (c) Tika berpura-pura sakit.
5. Praanggapan Struktural, mengacu pada struktur kalimat-kalimat tertentu
telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional
bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini

21
tampak dalam kalimat Tanya, secara konvensional diinterpretasikan
dengan kata Tanya (kapan dan di mana) sudah diketahui sebagai masalah.
Contoh: (a) Di sana Anda membeli sepeda itu?; (b) Kapan dia pergi?
6. Praanggapan Konterfaktual, berarti bahwa dipraannfakyualkan tidak hanya
tidak benar merupakan lawan dari benar atau bertolak belakang dengan
kenyataan. Contoh: (a) Seanaainya dia mempunyai ijazah SMA, pastilah
akan memperoleh pekerjaan yang layak. (b) Andai kata kamu ikut kuliah
minggu lalu, pasti kamu tidak akan mengikuti ujian susulan.
D. PENUTUP
Adapun simpulan berdasarkan pemabahasa di atas, antara lain:
1. Deiksis adalah kata atau frasa yang menunjuk kepada kata, frasa, atau
ungkapn yang telah diberikan menjelaskan bahwa sebuah kata dikatakan
bersifat deiksis apabila referensinya berpindah-pindah atau berganti-ganti.
2. Jenis deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis
waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial.
3. Praanggapan adalah dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan
situasi berbaha (= menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (=
kalimat atau ungkapan) mempunyai mkna bagi pendengar/penerima
bahasa itu, dan sebaliknya membantu pembicara menentukan bentuk-
bentuk bahasa (= kalimat, dan sebagainya) yang dapat dipakainya untuk
mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.
4. Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis, yaitu:
a. Praanggapan Ekstensial
b. Praanggapan Faktif
c. Praanggapan Leksikal
d. Praanggapan Non-Faktif
e. Praanggapan Struktural
f. Praanggapan Konterfaktual
DAFTAR PUSTAKA

George, Yuli. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

22
Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nababab, P. W. J. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Remaja
Rosdakarya.

23

Anda mungkin juga menyukai