Anda di halaman 1dari 5

BAB

PEMBAHASAN

A. Deiksis
Penggunaan kata deiksis berawal dari bahasa Yunani yakni
deiktikos. Istilah deiktikos memiliki makna sebagai kata ganti penunjuk.
Dalam KBBI (1995: 217) deiksis dapat diartikan sebagai suatu hal atau
fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa seperti: kata tunjuk
pronominal, ketakrifan, dan lain sebagainya. Deiksis juga dapat disebut
sebagai informasi kontekstual secara leksikal ataupun gramatikal yang
menunjuk pada hal tertentu baik itu benda, tempat, maupun waktu.
Putrayasa (2014: 37) berpendapat bahwa deiksis merupakan ungkapan
penggunaan kata atau frasa sebagai kata ganti penunjuk yang dipakai atau
akan diberikan. Lyons (dalam Djajasudarma, 2009: 51) juga berpendapat
bahwa deiksis ialah identifikasi orang, kegiatan atau peristiwa tuturan
yang dibicarakan antara pembicara atau lawan tutur yang memiliki
hubungan dengan tempat dan waktu dituturkannya. Sedangkan Purwo
(1984: 1) mengatakan bahwa deiksis dapat dikatakan sebagai kata yang
memiliki sifat berpindah-pindah bergantung pada pembicara, waktu dan
tempat dituturkannya.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
deiksis merupakan kata penunjuk pada hal tertentu baik itu benda, tempat,
maupun waktu yang memiliki sifat berpindah-pindah bergantung pada
penutur, waktu, dan tempat dituturkannya.
Deiksis dapat dibedakan menjadi beberapa macam bentuk, antara
lain sebagai berikut.
a) Deiksis Persona
Dalam Putrayasa (2004: 43) persona pertama kali digunakan
oleh bangsawan Yunani yang berasal dari kata prosopon. Proposon
sendiri memiliki arti sifat atau karakter pemain sandiwara. Bangsa
Yunani memilih kata persona karena terdapat kemiripan dengan
kegiatan bahasa dan permainan bahasa. Pada dieksis persona
mengfokuskan pada penggunaan kata yang difungsikan sebagai kata
ganti orang. Deiksis persona juga dapat dikatakan sebagai ungkapan
menunjuk kepada peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan
misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan identitas yang lain. Sejalan
dengan hal tersebut Alwi (2003: 249) berpendapat bahwa deiksis
persona merupakan kata ganti yang merujuk pada orang. Kata ganti
tersebut menekankan pada pembicara, lawan tutur atau orang yang
diajak bicara. Acuan dalam kata ganti persona sendiri dapat berubah-
ubah bergantung pada peran peserta dalam tindak bahasa.
Untuk kata ganti orang pertama ialah kata ganti yang lebih
menekankan pada diri sendiri. Dalam hal ini Putrayasa (2014: 43)
membedakan kata ganti persona pertama atas dua bentuk, yakni tunggal
dan jamak. Kata ganti persona pertama tunggal memiliki bentuk “aku,
saya, daku”. Sedangkan kata ganti persona pertama jamak memiliki
bentuk “kami” dan “kita”. Alwi ( 2003: 251-252) menjelaskan bahwa
bentuk “aku” memiliki vaiasi bentuk –ku dan ku-. Bentuk –ku sering
digunakan dalam kata yang menunjukkan kepemilikan dan dilekatkan
pada kata di depannya. Berbeda dengan bentuk aku, bentuk “saya”
dapat digunakan dalam hubungan kata kepemilikan yang dilekatkan
pada kata di belakangnya, contohnya: sepatu saya, buku saya, tunangan
saya, dan lainnya. Bentuk persona kami dan kita juga memiliki
perbedaan. Bentuk “kami” berifat eksklusif, yang memfokuskan pada
pembicara bukan pada pihak pendengar. Sedangkan, “kita” bersifat
inklusif yang menekankan pada pembicara untuk mewakili kelompok
dalam kegiatan berkomunikasi yang melibatkan pembicara atau
pembicara dalam kelompok.
Kata ganti perona kedua merupakan kata ganti yang diujarkan
oleh penutur kepada lawan tutur. Dengan begitu, semua rujukan baik
dalam bentuk tunggal maupun jamak berfokus pada lawan tutur. Kata
ganti persona kedua terbagi atas dua bentuk, yakni tunggal dan jamak.
Putrayasa (2014: 44) mengatakan bahwa bentuk kata ganti persona
tunggal ialah “kamu” dan “engkau”. Selain itu, kata ganti persona
kedua juga memiliki bentuk “anda”, “dikau”, “kau-“, dan “mu-“.
Sedangkan untuk bentuk kata ganti persona kedua jamak memiliki
bentuk “kalian”.
Terakhir kata ganti persona ketiga ialah kata ganti yang
berkaitan dengan orang yang sedang dibicarakan atau di luar peristiwa
tutur. Dengan kata lain, kata ganti persona ketiga merujuk pada orang
yang berada di luar pihak penutur maupun lawan tutur. Kata ganti
persona ketiga memiliki bentuk jamak dan tunggal. Bentuk tunggal
kata ganti persona ketiga ialah “ia” dan “dia” yang memiliki variasi –
nya. Sedangkan bentuk kata ganti persona ketiga jamak ialah “mereka.”
Secara garis besar, bentuk kata ganti persona ketiga jamak mereka
hanya merujuk pada manusiawi. Akan tetapi, dalam sebuah karya sastra
biasanya digunakan untuk menunjuk pada hewan atau benda yang
dianggap bernyawa. Bentuk kata ganti persona ketiga tidak memiliki
bentuk variasi sehingga penggunaannya bersifat netral. Selain itu, kata
ganti persona ketiga ini memiliki keunikan yang dapat merujuk pada
persona pertama ataupun kedua. Hal ini dikarenakan faktor pembeda
dalam konteks tuturan (Putrayasa, 2014:45).
b) Deiksis Ruang
Deiksis ruang merupakan deiksis penunjuk lokasi atau tempat,
di mana penunjuk umum tersebut meliputi kata ini dan itu yang
memiliki sifat atributif yang diletakkan setelah kata atau frasa yang
diterangkan. Penunjuk tempat sendiri meliputi kata sana, sini, situ yang
dapat digabungkan dengan preposisi di/ke/dari. Menurut Alwi (2003:
264-265) dalam deiksis ruang tidak hanya bentuk sini, sana, situ, akan
tetapi terdapat penunjuk lokasi jauh (begini) maupun dekat (begitu)
serta demikian (mencakup kata begini dan begitu). Selain itu, terdapat
pula bentuk kata yakni dan yaitu sebagai penunjuk lokasi atau tempat
yang bukan termasuk kata ganti.
c) Deiksis Waktu
Deiksis waktu merupakan kata ganti yang berfokus pada jarak
waktu pembicara saat berujar. Waktu ketika ujaran terjadi diungkapkan
dengan sekarang atau saat ini. Untuk waktu-waktu berikutnya
digunakan kata-kata: besok, lusa, kelak, nanti; untuk waktu ‘sebelum’
waktu terjadinya ujaran kita menemukan tadi, kemarin, minggu lalu,
ketika itu, dahulu.
d) Deiksis Sosial
Deiksis sosial berhubungan dengan aspek-aspek kalimat yang
mencerminkan kenyataan-kenyataan tertentu tentang situasi sosial
ketika tindak tutur terjadi. Deiksis social juga dapat diartikan sebagai
aspek penting dalam memperhatikan kesopanan berbahasa. Hal ini
tercermin dalam perbedaan penggunaan bahasa berdasarkan kedudukan,
gelar, pekerjaan, pekerjaan, pendidikan dan lain sebagainya. Perbedaan
dalam penggunaan bahasa dapat dikatakan sebagai tingkatan bahasa.
Tingkatan bahasa digunakan untuk menjaga kesamaan harmoni dan
keeratan antara penutur dan mitra tutur. Dalam bahasa Jawa terdapat
pembagian tingkatan bahasa seperti ngoko dan krama yang memiliki
variasi madya dan inggil sebagai aspek kesopanan berbahasa, atau
undu-usuk, dan etiket berbahasa (Nababan dalam Putrayasa, 2014:53-
54).

Sumber:

Kesumawardani, Prastuti. Deiksis Persona, Tempat, dan Waktu dalam Novel


Pulang karya Tere Liye (Kajian Pragmatik) dan Relevansinya dengan
Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. [Online]. Diakses dari:
http://repository.upy.ac.id/1580/1/ARTIKEL%20PRASTUTI
%20KESUMAWARDANI.pdf. (18 April 2020)
Pratiwi, Adhi Wirawati. Bentuk dan Fungsi Deiksis Dalam Wacana Pengungsi
Syria Harian Süddeutsche Zeitun. [Online]. Diakses dari:
http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/identitaet/article/viewFile/18015/16
420. (18 April 2020)

Tologana, Walset. 2016. Jurnal Skripsi Deiksis dalam Novel “Assalamualaikum


Beijing” karya Asma Nadiai. [Online]. Diakses dari:
https://media.neliti.com/media/publications/81165-ID-deiksis-dalam-novel-
assalamualaikum-beij.pdf. (18 April 2020)

https://eprints.uny.ac.id/8371/3/BAB%202-05210144025.pdf (enggak ada nama


penulis langsung bentuk pdf)

http://eprints.umm.ac.id/41678/3/BAB%20II.pdf (enggak ada nama penulis


langsung bentuk pdf)

Anda mungkin juga menyukai