Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN I

DEIKSIS

A. PELOPOR TEORI DEIKSIS


Pelopor deiksis dalam linguistik adalah Ferdinand de Saussure dan Émile
Benveniste. Meskipun deiksis sebagai konsep telah diperkenalkan oleh Saussure,
namun Benveniste memperluas dan mengembangkan konsep tersebut secara lebih
rinci.
Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik Swiss abad ke-19, memainkan
peran penting dalam perkembangan konsep deiksis. Dalam karyanya yang terkenal,
"Course in General Linguistics" (terbit secara anumerta pada tahun 1916), Saussure
menyajikan konsep signifikasi yang mencakup aspek deiksis. Ia memperkenalkan
pemisahan antara "tanda" (sign) dan "acara" (referent). Menurut Saussure, tanda
linguistik terdiri dari komponen tanda (signifier) dan konsep (signified), sedangkan
acara referent mengacu pada realitas di luar bahasa yang ditunjuk oleh tanda.
Émile Benveniste, seorang ahli linguistik Prancis pada pertengahan abad ke-
20, mengembangkan konsep deiksis lebih lanjut dalam karyanya. Dalam artikelnya
yang terkenal, "Deixis and Anaphora" (1956), Benveniste menjelaskan bahwa
deiksis adalah penggunaan bahasa yang mengacu pada konteks situasional di mana
ucapan tersebut dibuat. Ia mengidentifikasi tiga elemen utama dalam deiksis,
yaitu "tempat" (place), "waktu" (time), dan "orang" (person), yang memberikan
dasar untuk pengertian posisi dan orientasi dalam percakapan.
Benveniste juga memperkenalkan konsep "deiksis sosial" yang menjelaskan
bagaimana bahasa digunakan untuk membangun identitas sosial dalam interaksi
sosial. Ia mengamati bahwa bahasa dapat digunakan untuk mengungkapkan peran
sosial, status, atau hubungan kekuasaan dalam situasi komunikatif.
Karya Saussure dan Benveniste membuka jalan bagi pengembangan lebih
lanjut dalam studi pragmatik dan deiksis, serta memberikan dasar teoritis untuk
memahami bagaimana bahasa digunakan dalam konteks komunikatif dan
bagaimana makna dapat bervariasi tergantung pada konteksnya. Kontribusi mereka
dalam bidang deiksis telah menjadi pijakan penting dalam studi linguistik modern.
1
B. PENGERTIAN DEIKSIS
Menurut Saussure, bahasa adalah sistem tanda yang terdiri dari tanda bunyi
(signifier) dan konsep (signified). Dia memisahkan tanda dari referennya, yang
berarti bahwa dalam konteks deiksis, tanda bahasa tidak secara langsung mengacu
pada realitas di luar bahasa. Dalam pandangan Saussure, deiksis dapat dikaitkan
dengan aspek referen atau acara yang diindikasikan oleh tanda.

Émile Benveniste kemudian memperluas dan mengembangkan konsep deiksis


secara lebih rinci dalam karyanya yang terkenal, "Deixis and Anaphora" (1956).
Benveniste mengemukakan bahwa deiksis adalah penggunaan bahasa yang mengacu
pada konteks situasional di mana ucapan tersebut dibuat. Dia mengidentifikasi tiga
elemen utama dalam deiksis: "tempat" (place), "waktu" (time), dan "orang"
(person).

Menurut Benveniste, elemen "tempat" dalam deiksis merujuk pada penunjukan


ruang atau tempat, seperti kata-kata yang mengacu pada objek atau lokasi
tertentu. Elemen "waktu" berhubungan dengan penunjukan waktu, termasuk kata-
kata yang merujuk pada waktu sekarang, masa lalu, atau masa depan. Elemen
"orang" berkaitan dengan penunjukan orang atau pihak yang terlibat dalam
komunikasi, termasuk penggunaan kata ganti orang (pronoun) dan penunjukan
status sosial.

Benveniste juga memperkenalkan konsep "deiksis sosial" yang menjelaskan


bagaimana bahasa digunakan untuk membangun identitas sosial dalam interaksi
sosial. Dia mengamati bahwa bahasa dapat digunakan untuk mengungkapkan peran
sosial, status, atau hubungan kekuasaan dalam situasi komunikatif.

Dalam sumbangan Benveniste, konsep deiksis menjadi lebih terfokus pada


penggunaan bahasa dalam konteks komunikatif dan bagaimana makna bervariasi
tergantung pada konteks deiksis yang relevan.

Selanjutnya, Menurut Stephen Levinson, deiksis adalah kemampuan dan


mekanisme dalam bahasa yang memungkinkan seseorang untuk merujuk pada
orang, tempat, waktu, atau objek tertentu dalam konteks komunikasi. Deiksis

2
melibatkan penggunaan kata-kata atau ekspresi yang tergantung pada konteks
situasional, sehingga pemahaman terhadap pesan yang disampaikan bergantung
pada informasi dan referensi yang ada dalam situasi tersebut.

Levinson mengidentifikasi tiga komponen penting dalam deiksis: deiksis


personal, deiksis temporal, dan deiksis spatial.

1. Deiksis Personal: Merujuk pada individu atau orang yang terlibat dalam
komunikasi. Contohnya, penggunaan kata ganti orang pertama "aku" atau "saya"
untuk merujuk pada diri sendiri, kata ganti orang kedua "kamu" atau "Anda"
untuk merujuk pada lawan bicara, dan kata ganti orang ketiga "mereka" atau
"mereka" untuk merujuk pada orang lain.
2. Deiksis Temporal: Merujuk pada waktu dalam komunikasi. Penggunaan kata-
kata seperti "sekarang", "kemarin", atau "besok" tergantung pada saat
pembicaraan dilakukan. Deiksis temporal juga melibatkan penggunaan kata
ganti seperti "hari ini" atau "minggu depan" untuk menunjukkan waktu yang
spesifik.
3. Deiksis Spatial: Merujuk pada lokasi atau tempat dalam komunikasi. Kata-kata
seperti "di sini", "di sana", atau "di tempat lain" digunakan untuk
mengindikasikan lokasi yang terkait dengan pembicaraan. Penggunaan deiksis
spatial juga dapat melibatkan penggunaan kata ganti seperti "ini" atau "itu"
untuk menunjukkan objek atau orang yang dekat atau jauh dari pembicara.

Dengan menggunakan deiksis secara efektif, pembicara dapat menyampaikan


pesan dengan lebih jelas dan memastikan pemahaman yang tepat oleh pendengar
dalam konteks komunikasi yang spesifik.

C. PERKEMBANGAN TEORI DEKSIS

Setelah Ferdinand de Saussure dan Émile Benveniste, beberapa ahli linguistik


telah berkontribusi dalam pengembangan konsep deiksis. Berikut adalah beberapa
di antaranya:

1. Roman Jakobson

3
Roman Jakobson, seorang ahli linguistik Rusia-Amerika, memainkan peran
penting dalam pengembangan teori komunikasi dan pragmatik. Dalam karyanya
yang terkenal, "Linguistics and Poetics" (1960), Jakobson membahas konsep
"deiksis poetik" yang terkait dengan penggunaan bahasa dalam puisi. Ia
menyoroti penggunaan deiksis dalam menciptakan efek estetis dan penekanan
dalam karya sastra.
2. John Lyons
John Lyons, seorang ahli linguistik Inggris, juga berkontribusi dalam
pengembangan teori deiksis. Dalam bukunya yang berjudul "Semantics" (1977),
Lyons membahas berbagai aspek pragmatik, termasuk deiksis. Ia menyajikan
analisis yang rinci tentang aspek-aspek deiksis, termasuk deiksis personal,
temporal, dan spasial.
3. Paul Grice
Paul Grice, seorang filosof dan ahli linguistik Inggris, memberikan kontribusi
yang signifikan dalam teori pragmatik. Dalam teorinya yang terkenal,
"Pragmatic Theory of Meaning" (1989), Grice mengembangkan prinsip kerja
kolaboratif dalam percakapan dan menjelaskan bagaimana konvensi deiksis
berperan dalam pengertian makna tuturan. Ia mengidentifikasi prinsip-prinsip
seperti prinsip keterkoherenan dan prinsip relevansi yang mempengaruhi
interpretasi deiksis dalam konteks komunikatif.
4. Michael Silverstein
Michael Silverstein, seorang ahli antropologi linguistik Amerika, juga memiliki
kontribusi yang signifikan dalam studi deiksis. Dalam karyanya, termasuk
"Shifters, Linguistic Categories, and Cultural Description" (1976), Silverstein
membahas pentingnya konteks sosial dan budaya dalam pemahaman deiksis. Ia
menyoroti peran identitas, kekuasaan, dan norma sosial dalam penggunaan
bahasa dan deiksis.

Penting untuk dicatat bahwa banyak ahli lainnya juga telah berkontribusi dalam
pengembangan teori deiksis, dan bidang ini terus berkembang seiring dengan
penelitian lebih lanjut dan perdebatan dalam linguistik pragmatik dan
sosiolinguistik.

4
D. JENIS-JENIS DEIKSIS

Deiksis adalah penggunaan bahasa yang mengacu pada konteks situasional di


mana ucapan tersebut dibuat. Terdapat beberapa jenis deiksis yang umum dikenal
dalam linguistik pragmatik. Berikut adalah penjelasan dan contoh dari masing-
masing jenis deiksis:

1. Deiksis Persona

Deiksis persona berkaitan dengan penunjukan orang atau pihak yang terlibat dalam
komunikasi. Ini melibatkan penggunaan kata ganti orang (pronoun) atau penamaan
orang secara spesifik. Contohnya:

"Saya akan pergi ke toko nanti."

"Apakah kamu sudah makan?"

"Dia sangat berbakat dalam musik."

2. Deiksis Temporal

Deiksis temporal berkaitan dengan penunjukan waktu dalam ucapan. Ini


melibatkan penggunaan kata atau frasa yang merujuk pada waktu sekarang, masa
lalu, atau masa depan. Contohnya:

"Saya akan menemuimu besok."

"Kami sudah bertemu kemarin."

"Sekarang sudah pukul 10 malam."

3. Deiksis Spasial

Deiksis spasial berkaitan dengan penunjukan ruang atau tempat dalam ucapan. Ini
melibatkan penggunaan kata atau frasa yang merujuk pada objek atau lokasi
tertentu. Contohnya:

"Tolong ambil buku di atas meja."

"Saya tinggal di rumah seberang."

5
"Dia berada di dekat pintu."

4. Deiksis Demonstratif

Deiksis demonstratif berkaitan dengan penunjukan objek secara konkret dalam


ucapan. Ini melibatkan penggunaan kata seperti "ini," "itu," "sini," atau "situ" untuk
menunjukkan objek yang dekat atau jauh dari pembicara. Contohnya:

"Tolong berikan ini padaku."

"Itu adalah mobil baru saya."

"Sini, saya tunjukkan contohnya."

5. Deiksis Sosial

Deiksis sosial berkaitan dengan penggunaan bahasa untuk membangun identitas


sosial dan menunjukkan hubungan kekuasaan atau status dalam komunikasi.
Contohnya:

"Terima kasih, Pak."

"Ibu, bisakah Anda membantu saya?"

"Mohon maaf, Tuan."

6
BAGIAN II
PRAANGGAPAN

A. PELOPOR TEORI PRAANGGAPAN


Salah satu pelopor teori praanggapan dalam bidang linguistik adalah seorang
ahli bahasa dan filsuf Austria bernama Ludwig Wittgenstein. Dalam karyanya yang
terkenal, "Investigations Philosophiques" atau "Philosophical Investigations",
Wittgenstein mengajukan konsep-konsep mengenai praanggapan atau "pra-
judgement" dalam pemahaman bahasa.

Wittgenstein mengemukakan bahwa bahasa tidak hanya terdiri dari kata-kata


dan tata bahasa, tetapi juga mencakup penggunaan, konteks, dan praktik
komunikatif. Menurutnya, untuk memahami arti suatu ucapan, kita perlu
memahami praanggapan atau asumsi yang ada di baliknya. Praanggapan ini dapat
mencakup pengetahuan budaya, pengetahuan dunia, dan asumsi umum yang
dibagikan oleh penutur bahasa.

Wittgenstein juga menekankan bahwa praanggapan tidak selalu eksplisit dalam


percakapan. Terkadang, praanggapan itu tersirat dan bergantung pada konteks dan
pengetahuan bersama antara penutur dan pendengar. Misalnya, ketika seseorang
berkata, "Saya akan ke toko," praanggapan yang tersirat adalah bahwa toko
tersebut ada dalam konteks yang dapat diakses oleh kedua belah pihak.

Pemikiran Wittgenstein tentang praanggapan memiliki dampak besar dalam


bidang linguistik, terutama dalam analisis wacana dan pragmatika. Teori-teori
berikutnya, seperti Teori Relevansi yang dikembangkan oleh Dan Sperber dan
Deirdre Wilson, juga melanjutkan pemikiran Wittgenstein dan mengemukakan
pentingnya praanggapan dalam komunikasi.

Namun, penting untuk dicatat bahwa konsep praanggapan juga telah dibahas
oleh para ahli lain di luar bidang linguistik, seperti dalam teori pemrosesan
informasi dan psikologi kognitif. Dalam konteks ini, teori praanggapan sering

7
dikaitkan dengan pemahaman dan interpretasi informasi, baik dalam bahasa lisan
maupun tulisan.

B. PENGERTIAN PRAANGGAPAN
Praanggapan, juga dikenal sebagai presuposisi, merujuk pada asumsi yang
terkandung dalam suatu pernyataan atau ucapan. Berikut adalah pengertian
praanggapan menurut beberapa ahli linguistik terkemuka dunia:

1. Roger Brown dan Albert Gilman


Menurut mereka, praanggapan adalah informasi yang dianggap pembicara
berada dalam pemahaman pendengar sebelum pernyataan itu dibuat.
Praanggapan tidak secara langsung dinyatakan, tetapi diasumsikan sebagai
pengetahuan bersama atau latar belakang budaya yang dibagikan oleh penutur
dan pendengar.
2. Sperber dan Deirdre Wilson
Dalam kerangka Teori Relevansi, mereka mengartikan praanggapan sebagai
informasi yang pembicara mengasumsikan bahwa pendengar sudah
mengetahuinya atau memiliki keyakinan sebelumnya yang relevan.
Praanggapan ini memengaruhi cara kita memahami dan menafsirkan ucapan
orang lain.
3. Barbara Abbott
Abbott mengemukakan bahwa praanggapan adalah pernyataan yang
diasumsikan sebagai benar atau diakui sebagai fakta oleh pembicara dalam
suatu konteks tertentu. Praanggapan dapat mengacu pada pengetahuan dunia,
pengetahuan linguistik, atau asumsi tertentu yang dimiliki oleh pembicara dan
dianggap benar oleh pendengar.
4. Laurence Horn
Menurut Horn, praanggapan adalah informasi yang diasumsikan atau
diasumsikan oleh pembicara sebagai dasar bagi pernyataan atau pertanyaan
mereka. Praanggapan dapat melibatkan pengetahuan umum, latar belakang
budaya, atau informasi yang dianggap jelas atau tidak diragukan oleh
pembicara.

8
Pengertian praanggapan ini menekankan bahwa dalam komunikasi, pembicara
sering kali mengasumsikan bahwa pendengar memiliki pemahaman dan
pengetahuan tertentu sebelum mereka berbicara. Praanggapan memainkan peran
penting dalam interpretasi dan pemahaman makna dalam bahasa, karena seringkali
makna sebenarnya suatu pernyataan tidak hanya tergantung pada kata-kata yang
digunakan, tetapi juga pada praanggapan yang terkandung di dalamnya.

C. PERKEMBANGAN TEORI PRAANGGAPAN


Perkembangan teori praanggapan dalam linguistik telah melibatkan kontribusi dari
berbagai ahli dan melalui berbagai pendekatan. Berikut ini adalah gambaran umum
mengenai perkembangan teori praanggapan dalam linguistik dunia:

1. Perkembangan Awal
Pada awalnya, perhatian terhadap praanggapan dalam linguistik terfokus pada
pemahaman makna kata-kata dan frase dalam kalimat. Pada tahun 1960-an, ahli
linguistik seperti Roger Brown dan Albert Gilman mulai mengidentifikasi
praanggapan sebagai informasi yang tersirat dan dianggap diketahui oleh
pendengar. Mereka menyoroti peran praanggapan dalam pemahaman bahasa dan
membuat perbedaan antara pernyataan bersyarat (conditional statements) dan
pernyataan yang menyiratkan praanggapan.

2. Pemikiran Pragmatik
Pada tahun 1970-an, perhatian terhadap pragmatik dan konteks dalam
pemahaman bahasa semakin meningkat. Ahli linguistik seperti Paul Grice
mengembangkan Teori Relevansi yang menekankan pentingnya praanggapan
dalam komunikasi. Grice berargumen bahwa pembicara menggunakan
praanggapan secara sadar untuk mempengaruhi pemahaman pendengar. Teori
ini menyoroti asumsi pragmatik yang mendasari komunikasi dan bagaimana
praanggapan berperan dalam pengembangan makna.

3. Kontribusi Semantik dan Pragmatik


Ahli linguistik seperti Barbara Partee, Irene Heim, dan Hans Kamp berkontribusi
pada pengembangan teori formal mengenai praanggapan yang memadukan

9
aspek semantik dan pragmatik. Mereka mengembangkan model formal yang
memperlakukan praanggapan sebagai elemen penting dalam analisis komposisi
makna kalimat. Pendekatan ini memungkinkan penjelasan yang lebih rinci
tentang bagaimana praanggapan beroperasi dalam pemrosesan bahasa dan
mempengaruhi pemahaman.

4. Perkembangan Lanjutan
Perkembangan teori praanggapan terus berlanjut dengan kontribusi dari ahli
linguistik seperti Laurence Horn, Dan Sperber, Deirdre Wilson, dan banyak
lainnya. Mereka menggabungkan penelitian dalam linguistik, psikologi kognitif,
dan ilmu kognitif lainnya untuk memperdalam pemahaman tentang
praanggapan. Pendekatan interdisipliner ini memungkinkan analisis yang lebih
komprehensif tentang bagaimana praanggapan terbentuk, bagaimana
praanggapan berhubungan dengan aspek-aspek lain dalam pemrosesan bahasa,
dan bagaimana praanggapan dapat mempengaruhi interpretasi bahasa.

Secara keseluruhan, perkembangan teori praanggapan dalam linguistik dunia


melibatkan pemikiran awal tentang pemahaman makna kata-kata, kemudian
berkembang menjadi perhatian yang lebih luas terhadap pragmatik dan konteks,
dan menggabungkan aspek formal dan fungsional dalam analisis bahasa. Kontribusi
dari ahli-ahli linguistik terkemuka telah memperluas pemahaman

D. JENIS-JENIS PRAANGGAPAN
Terdapat beberapa jenis praanggapan dalam linguistik yang dapat ditemukan
dalam komunikasi sehari-hari. Berikut adalah beberapa jenis praanggapan yang
umum, beserta contoh-contohnya:

1. Praanggapan Aspek Faktual:

Contoh: "Ayahnya memiliki mobil baru." Praanggapan faktual di sini adalah bahwa
ayahnya memiliki mobil, dan pernyataan tersebut mengasumsikan kebenaran atau
keberadaan mobil tersebut.

2. Praanggapan Rujukan Dunia

10
Contoh: "Sarah menemukan kunci di lantai." Praanggapan rujukan dunia di sini
adalah bahwa ada kunci yang ditemukan di lantai, dan pernyataan tersebut
mengasumsikan eksistensi kunci tersebut.

3. Praanggapan Implikatur Percakapan:

Contoh: "Apakah kamu akan datang ke pesta?" "Maaf, saya sudah memiliki rencana
lain." Praanggapan implikatur percakapan di sini adalah bahwa orang tersebut
tidak akan datang ke pesta karena memiliki rencana lain, meskipun itu tidak
secara eksplisit dinyatakan.

4. Praanggapan Pengetahuan Bersama

Contoh: "Tolong tutup pintu." Praanggapan pengetahuan bersama di sini adalah


bahwa pendengar tahu pintu tersebut terbuka, dan pernyataan tersebut
mengasumsikan bahwa pendengar memahami konteks yang sama.

5. Praanggapan Identitas:

Contoh: "Saya akan bertemu dengan ibu di rumah." Praanggapan identitas di sini
adalah bahwa pendengar tahu siapa yang dimaksud dengan "ibu" dan dianggap
memiliki pengetahuan tentang hubungan pembicara dengan ibunya.

6. Praanggapan Lebih Lanjut:

Contoh: "Ia tidak lagi bekerja di sana." Praanggapan lebih lanjut di sini adalah
bahwa pendengar tahu bahwa "ia" sebelumnya bekerja di tempat tersebut,
meskipun informasi tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit.

7. Praanggapan Jumlah dan Keberadaan:

Contoh: "Ambil satu apel dari mangkuk." Praanggapan jumlah dan keberadaan di
sini adalah bahwa ada setidaknya satu apel di dalam mangkuk, dan perintah
tersebut mengasumsikan bahwa pendengar tahu ada apel di mangkuk tersebut.

8. Praanggapan Perubahan:

11
Contoh: "John tidak lagi merokok." Praanggapan perubahan di sini adalah bahwa
sebelumnya John merokok, dan pernyataan tersebut mengasumsikan perubahan
keadaan saat ini.

Perlu diingat bahwa praanggapan dapat bervariasi tergantung pada konteks,


penutur, dan pendengar. Contoh-contoh di atas memberikan gambaran umum
tentang jenis-jenis praanggapan yang sering muncul dalam komunikasi sehari-hari.

12
BAGIAN III
IMPLIKATUR

A. PELOPOR MUNCULNYA IMPLIKATUR


Pelopor utama dalam konsep dan analisis implikatur adalah filsuf dan ahli
bahasa, Paul Grice. Dalam makalahnya yang terkenal pada tahun 1975 yang
berjudul "Logic and Conversation" (Logika dan Percakapan), Grice mengembangkan
teori implikatur dan menjelaskan bagaimana makna implisit dapat muncul dalam
percakapan sehari-hari.

Grice mengkritik pendekatan yang hanya memandang makna secara literal atau
harfiah dalam komunikasi. Dia menyadari bahwa dalam percakapan sehari-hari,
seringkali kita menggunakan makna yang tidak terungkap secara langsung, tetapi
dimengerti oleh pendengar melalui asumsi atau implikasi tertentu.

Menurut Grice, implikatur adalah bagian dari maksim kerja sama dalam
percakapan. Maksim kerja sama ini mencakup empat prinsip utama, yaitu prinsip
kuantitas (berikan informasi yang cukup), prinsip kualitas (berikan informasi yang
jujur), prinsip relevansi (berikan informasi yang relevan), dan prinsip cara
(sampaikan informasi dengan cara yang jelas).

Grice berargumen bahwa dalam percakapan, penutur dan pendengar secara


sadar atau tidak sadar mengikuti prinsip-prinsip ini. Ketika seseorang melanggar
prinsip-prinsip ini, terjadi pelanggaran kerja sama dan pendengar harus
menginterpretasikan apa yang dimaksud oleh penutur melalui implikatur.

Grice juga membedakan dua jenis implikatur: implikatur percakapan dan


implikatur konvensional. Implikatur percakapan muncul dalam konteks percakapan
tertentu, sedangkan implikatur konvensional berkaitan dengan makna yang
disepakati dalam bahasa itu sendiri.

Teori implikatur Grice telah menjadi konsep penting dalam analisis pragmatik,
yaitu studi tentang bagaimana konteks, maksim kerja sama, dan implikatur
mempengaruhi pemahaman dan interpretasi pesan dalam komunikasi manusia.

13
B. PENGERTIAN IMPILIKATUR

Ahli terkemuka dalam bidang implikatur adalah Paul Grice. Namun, ada juga
beberapa ahli lain yang memberikan kontribusi penting dalam pemahaman dan
pengembangan konsep implikatur. Berikut adalah pengertian implikatur menurut
beberapa ahli terkemuka dunia:

1. Paul Grice
Menurut Grice, implikatur adalah makna yang timbul secara tidak langsung
atau implisit dalam percakapan, di mana penutur menggunakan prinsip-prinsip
kerja sama untuk menyampaikan pesannya dengan cara yang lebih efektif.
2. Herbert Paul Grice
Grice adalah filsuf dan ahli bahasa yang dianggap sebagai pelopor dalam teori
implikatur. Menurutnya, implikatur adalah proses inferensial yang terjadi
ketika pendengar menggunakan prinsip kerja sama dalam memahami makna
yang tidak diungkapkan secara langsung oleh penutur.
3. H. P. Gric
Dalam pandangan H. P. Grice, implikatur adalah hasil dari prinsip-prinsip
percakapan yang diikuti oleh penutur dan pendengar dalam mencapai
pemahaman yang efisien. Implikatur dapat muncul karena penutur
menyampaikan pesannya secara tidak langsung atau karena pendengar
menginferensikan makna tambahan dari konteks percakapan.
4. Dan Sperber dan Deirdre Wilson
Sperber dan Wilson adalah ahli pragmatik yang mengembangkan teori
Relevansi. Menurut mereka, implikatur adalah proses mental yang terjadi saat
pendengar mencari makna relevan dari informasi yang disampaikan dalam
percakapan.
5. J.L. Austin
Austin adalah ahli filosofi bahasa yang memberikan kontribusi penting dalam
pemahaman implikatur. Menurutnya, implikatur adalah makna yang tersirat
dalam pernyataan, yang dapat dipahami melalui analisis konteks dan maksud
penutur.

14
Pengertian implikatur ini mencerminkan pandangan berbagai ahli terkemuka
dunia yang telah berkontribusi dalam mengembangkan teori dan pemahaman
mengenai konsep ini.

C. PERKEMBANGAN IMPLIKATUR

Perkembangan konsep implikatur dalam dunia linguistik dan pragmatik telah


melibatkan kontribusi dari berbagai ahli selama beberapa dekade. Berikut adalah
penjelasan secara detail tentang perkembangan implikatur di dunia:

1. Paul Grice
Paul Grice, seorang filsuf dan ahli bahasa, dikenal sebagai salah satu pelopor
utama dalam teori implikatur. Pada tahun 1975, ia mengajukan teorinya dalam
makalah "Logic and Conversation" yang memberikan landasan penting bagi
pemahaman dan analisis implikatur. Grice menekankan pentingnya prinsip-
prinsip kerja sama dalam percakapan dan bagaimana implikatur muncul ketika
penutur melanggar prinsip-prinsip ini.

2. Herbert Paul Grice


Ahli bahasa H. P. Grice, yang juga dikenal sebagai Herbert Paul Grice,
mengembangkan dan memperluas konsep implikatur yang diajukan oleh Paul
Grice. Dia menyoroti peran inferensi dan kognisi dalam pemahaman implikatur.
Grice yang kedua menekankan bahwa pemahaman implikatur melibatkan
pemrosesan mental yang kompleks, di mana pendengar secara aktif mencoba
memahami pesan tersembunyi di balik ujaran penutur.

3. Sperber dan Deirdre Wilson


Sperber dan Wilson adalah dua ahli pragmatik yang mengembangkan teori
Relevansi pada tahun 1986. Mereka menekankan bahwa pemahaman implikatur
melibatkan upaya pendengar untuk mencari makna yang paling relevan dari
informasi yang diberikan dalam konteks percakapan. Konsep ini memberikan
pendekatan kognitif yang lebih luas untuk memahami bagaimana implikatur
muncul dalam komunikasi.

15
4. Neo-Gricean Approach
Dalam beberapa dekade terakhir, ada perkembangan dalam teori implikatur
yang melibatkan pendekatan neo-Gricean. Pendekatan ini melibatkan
pengembangan lebih lanjut terhadap konsep implikatur dan penerapannya
dalam analisis pragmatik. Ahli bahasa seperti Kent Bach, Robyn Carston, dan
lainnya telah berkontribusi dalam mengembangkan pendekatan ini dengan
mengeksplorasi lebih lanjut aspek-aspek implikatur dalam konteks bahasa dan
percakapan.
Perkembangan implikatur di dunia terus berlanjut dengan kontribusi dari
berbagai ahli dan peneliti. Konsep ini terus menjadi subjek kajian yang penting
dalam bidang linguistik, pragmatik, dan analisis bahasa, membantu kita memahami
kompleksitas dan fleksibilitas komunikasi manusia dalam berbagai konteks.

D. JENIS-JENIS IMPLIKATUR
Terdapat beberapa jenis implikatur yang telah diidentifikasi dalam penelitian dan
analisis pragmatik. Berikut adalah beberapa jenis implikatur yang umum
ditemukan:

1. Implikatur Konvensional:

Implikatur konvensional muncul dari makna yang secara konvensional terkait


dengan kata-kata atau struktur gramatikal dalam bahasa. Ini berarti bahwa
implikatur ini terkait dengan aturan konvensional dalam bahasa yang sudah
disepakati oleh komunitas berbicara.

Contoh: Seseorang berkata, "Dia adalah dosen."

Implikatur yang muncul adalah bahwa dia adalah dosen di sebuah institusi
Pendidikan

2. Implikatur Kuantitatif:

Implikatur kuantitatif berkaitan dengan prinsip kuantitas dalam percakapan.


Prinsip ini menyatakan bahwa penutur diharapkan memberikan informasi yang
cukup dan tidak memberikan informasi yang lebih atau kurang dari yang

16
dibutuhkan. Implikatur kuantitatif muncul ketika penutur dengan sengaja
memberikan informasi yang kurang atau lebih dari yang seharusnya.

Misalnya, jika seseorang bertanya, "Apakah kamu makan banyak?", dan penutur
menjawab, "Saya makan." Implikaturnya adalah bahwa penutur makan dalam
jumlah yang cukup sedikit.

3. Implikatur Kualitatif

Implikatur kualitatif berkaitan dengan prinsip kualitas dalam percakapan. Prinsip


ini menyatakan bahwa penutur diharapkan memberikan informasi yang jujur dan
dapat dipertanggungjawabkan. Implikatur kualitatif muncul ketika penutur dengan
sengaja memberikan informasi yang tidak jujur atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan.

Misalnya, jika seseorang berkata, "Itu buku yang bagus," ketika sebenarnya dia
tidak suka buku tersebut. Implikaturnya adalah bahwa dia menyampaikan sesuatu
yang tidak sesuai dengan pandangannya.

4. Implikatur Relevansi

Implikatur relevansi berkaitan dengan prinsip relevansi dalam percakapan. Prinsip


ini menyatakan bahwa penutur diharapkan memberikan informasi yang relevan
dengan konteks dan topik percakapan. Implikatur relevansi muncul ketika penutur
dengan sengaja menyampaikan informasi yang terkait dengan topik atau konteks
tertentu.

Misalnya, jika seseorang berkata, "Apakah kamu membawa payung?" ketika langit
mendung. Implikaturnya adalah bahwa penutur ingin tahu apakah pendengar telah
mempersiapkan diri untuk cuaca yang mungkin hujan.

5. Implikatur Percakapan

Implikatur percakapan muncul dari konteks percakapan tertentu dan tergantung


pada pemahaman kolektif penutur dan pendengar. Implikatur ini tidak
berhubungan langsung dengan aturan konvensional bahasa atau prinsip-prinsip
pragmatik yang dapat diterapkan secara universal.

17
Misalnya, jika seseorang berkata, "Saya sangat lelah," setelah bermain sepak bola,
implikaturnya adalah bahwa mereka ingin istirahat dan tidak ingin

18
BAGIAN IV
TINDAK TUTUR

A. PELOPOR

Pelopor teori tindak tutur adalah J.L. Austin dan John Searle. Mereka berdua
merupakan filsuf bahasa dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam
memahami bagaimana tindakan bahasa digunakan untuk menciptakan makna
dalam interaksi sosial.

J.L. Austin, seorang filsuf bahasa Inggris, dikenal karena karyanya yang
berjudul "How to Do Things with Words" (Cara Melakukan Hal dengan Kata-kata)
yang diterbitkan pada tahun 1962. Dalam bukunya, Austin memperkenalkan konsep
"tindak tutur" (speech act) yang menggambarkan bagaimana penggunaan bahasa
bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga melibatkan tindakan
atau efek tertentu. Austin membedakan antara pernyataan ilokusioner
(illocutionary acts), yang menggambarkan tindakan yang dilakukan melalui ucapan,
dengan pernyataan proposisional (propositional acts), yang menggambarkan isi
informasi yang disampaikan.

John Searle, seorang filsuf Amerika, melanjutkan dan mengembangkan konsep


tindak tutur yang diperkenalkan oleh Austin. Dalam bukunya yang terkenal,
"Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language" (Tindak Tutur: Sebuah Esai
dalam Filsafat Bahasa) yang diterbitkan pada tahun 1969, Searle memperluas
kerangka teoritis Austin dan mengidentifikasi berbagai jenis tindak tutur, seperti
pernyataan (assertives), perintah (directives), janji (promises), permintaan maaf
(apologies), dan sebagainya. Searle juga memperkenalkan konsep "kondisi
keberhasilan" (conditions of felicity) yang harus dipenuhi agar sebuah tindak tutur
dianggap berhasil atau sah.

Karya-karya Austin dan Searle telah memberikan dasar teoritis yang kuat untuk
memahami hubungan antara bahasa, tindakan, dan interaksi sosial. Teori tindak
tutur mereka telah menjadi landasan penting dalam linguistik pragmatik dan

19
filsafat bahasa, serta telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk studi
komunikasi, sosiologi, antropologi, dan ilmu politik.

B. PENGERTIAN TINDAK TUTUR

Tindak tutur adalah konsep yang dikembangkan oleh para ahli linguistik untuk
memahami hubungan antara bahasa dan tindakan sosial. Berikut ini adalah
pengertian teori tindak tutur menurut beberapa ahli linguistik terkemuka:

1. J.L. Austin
Austin memandang tindak tutur sebagai tindakan yang dilakukan melalui
penggunaan bahasa. Menurutnya, ketika seseorang mengucapkan suatu
pernyataan, dia tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga melakukan
tindakan seperti menyatakan, mengajukan pertanyaan, memerintah, dan
sebagainya.

2. John Searle
Searle mengembangkan konsep tindak tutur yang diperkenalkan oleh Austin.
Baginya, tindak tutur adalah upaya untuk mempengaruhi dunia melalui
penggunaan bahasa. Ia mengidentifikasi berbagai jenis tindak tutur, seperti
pernyataan, perintah, janji, permintaan maaf, dan sebagainya, serta
memperkenalkan konsep kondisi keberhasilan yang harus dipenuhi agar sebuah
tindak tutur dianggap berhasil.

3. Herbert Paul Grice


Grice memandang tindak tutur dari perspektif pragmatik. Menurutnya,
komunikasi melibatkan asumsi-asumsi dan implikatur yang tidak secara
eksplisit disampaikan dalam ucapan. Grice mengembangkan prinsip kerja
kerjasama (cooperative principle) dan maksims (maxims) percakapan untuk
menjelaskan bagaimana makna dan tujuan komunikasi dapat dipahami.

4. Penelope Brown dan Stephen Levinson


Brown dan Levinson mengembangkan teori kesantunan (politeness theory) yang
berkaitan dengan tindak tutur. Mereka menyatakan bahwa tindak tutur tidak

20
hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga melibatkan upaya untuk
mempertahankan wajah (face) dan menjaga hubungan sosial. Teori kesantunan
ini menjelaskan bagaimana interaksi sosial melibatkan strategi-strategi
kesantunan yang dapat bervariasi dalam budaya yang berbeda.

5. Deborah Tannen
Tannen memandang tindak tutur dari perspektif sosiolinguistik dan gender. Ia
menekankan bahwa bahasa dan tindak tutur dipengaruhi oleh konteks sosial
dan budaya, serta perbedaan gender. Tannen menyoroti perbedaan dalam gaya
berkomunikasi antara pria dan wanita dan bagaimana perbedaan tersebut
dapat memengaruhi pemahaman dan interaksi sosial.

Pengertian teori tindak tutur oleh para ahli linguistik ini memberikan wawasan
yang kaya tentang bagaimana bahasa digunakan untuk menciptakan makna dalam
konteks sosial dan interaksi manusia.

C. PERKEMBANGAN TEORI TINDAK TUTUR


Alur perkembangan teori tindak tutur dunia dapat disajikan sebagai berikut:
1. Pionir: J.L. Austin (1911-1960)
J.L. Austin, seorang filsuf bahasa Inggris, memainkan peran penting dalam
perkembangan awal teori tindak tutur.
Pada tahun 1962, bukunya yang berjudul "How to Do Things with Words"
diterbitkan, yang menjadi karya seminal dalam teori tindak tutur.
Austin memperkenalkan konsep tindak tutur, membedakan antara pernyataan
ilokusioner dan pernyataan proposisional, dan mengeksplorasi hubungan antara
bahasa dan tindakan.

2. Pengembangan: John Searle (lahir tahun 1932)


John Searle, seorang filsuf Amerika, memperluas dan mengembangkan teori
tindak tutur yang diperkenalkan oleh Austin.
Pada tahun 1969, bukunya "Speech Acts: An Essay in the Philosophy of
Language" diterbitkan, yang memberikan kontribusi penting dalam memahami
tindak tutur.

21
Searle mengidentifikasi berbagai jenis tindak tutur, memperkenalkan konsep
kondisi keberhasilan, dan mengajukan kerangka teoritis yang lebih
komprehensif untuk memahami hubungan antara bahasa, tindakan, dan
maksud komunikatif.

3. Perkembangan Lanjutan: Ahli Linguistik Lainnya


Setelah karya Austin dan Searle, teori tindak tutur menjadi subjek penelitian
yang luas dalam bidang linguistik dan pragmatik.
Ahli linguistik lainnya, seperti Herbert Paul Grice, Penelope Brown, Stephen
Levinson, Deborah Tannen, dan banyak lagi, memberikan kontribusi penting
dalam memperluas dan mengembangkan teori tindak tutur dari berbagai
perspektif.
Teori kesantunan, teori implikatur, analisis wacana, dan pendekatan lainnya
digunakan untuk memperkaya pemahaman tentang tindak tutur dan bagaimana
bahasa digunakan dalam konteks sosial dan budaya.

4. Aplikasi dan Pengembangan Lanjutan


Teori tindak tutur telah diterapkan dan dikembangkan dalam berbagai bidang,
termasuk linguistik pragmatik, antropologi linguistik, sosiologi, psikologi sosial,
dan ilmu politik.
Penerapan teori tindak tutur dalam analisis interaksi sosial, komunikasi
antarbudaya, negosiasi, retorika politik, pemrosesan bahasa alami, dan aplikasi
komputasi lainnya terus berkembang.
Melalui kontribusi berbagai ahli linguistik dan peneliti, teori tindak tutur telah
menjadi landasan penting untuk memahami bagaimana bahasa digunakan untuk
menciptakan makna, menjalankan tindakan, dan membentuk interaksi sosial
dalam berbagai konteks budaya dan situasi komunikasi.

D. JENIS-JENIS TEORI TINDAK TUTUR

Ada beberapa jenis teori tindak tutur yang telah dikembangkan oleh para ahli.
Berikut adalah beberapa jenis teori tindak tutur beserta contohnya:

22
1. Klasifikasi Austin-Searle:
a. Pernyataan (assertives): Ucapan yang menyatakan suatu fakta atau
kebenaran. Contoh: "Saya tinggal di kota ini."
b. Perintah (directives): Ucapan yang mengarahkan atau meminta seseorang
untuk melakukan sesuatu. Contoh: "Tolong buka jendela."
c. Janji (promises): Ucapan yang menjanjikan melakukan sesuatu di masa
depan. Contoh: "Aku akan membantumu besok."
d. Permintaan maaf (apologies): Ucapan yang mengekspresikan penyesalan
atas kesalahan. Contoh: "Maaf, saya sudah terlambat."
e. Penyambutan (welcomings): Ucapan yang menyambut kedatangan
seseorang. Contoh: "Selamat datang di rumah kami!"

2. Teori Kesantunan (Politeness Theory) - Brown dan Levinson:


a. Kesantunan positif (positive politeness): Strategi untuk menjaga keinginan
positif dan menghindari mengancam wajah (face) lawan bicara. Contoh:
"Apakah Anda bisa tolong memberikan saya bantuannya?"
b. Kesantunan negatif (negative politeness): Strategi untuk menghindari
mengancam wajah (face) lawan bicara dengan menunjukkan penghargaan
dan mengakui keterbatasan diri sendiri. Contoh: "Apakah Anda mungkin
bisa memberikan saya bantuannya?"
c. Kesantunan tanpa penanda sosial (bald on-record): Tindak tutur yang
langsung, tanpa adanya penggunaan strategi kesantunan. Contoh: "Tutup
pintu itu!"

3. Teori Implikatur - Grice:


a. Implikatur konversasional (conversational implicature): Makna yang
dihasilkan dari asumsi dan implikasi yang tidak secara eksplisit disampaikan
dalam ucapan. Contoh: "Apakah kamu mau datang ke pesta?". Jawaban:
"Saya memiliki jadwal yang padat." (Implikasi: Tidak akan datang)
b. Prinsip kerja kerjasama (cooperative principle): Prinsip yang menyatakan
bahwa komunikasi dilakukan secara kooperatif dan saling bekerja sama
untuk memahami dan berbagi informasi dengan benar. Contoh: "Apakah

23
kamu tahu jam berapa ini tutup?" Jawaban: "Saya tidak tahu." (Kerja sama
dalam memberikan informasi yang jujur).

4. Analisis Wacana (Discourse Analysis):


a. Tindak tutur sebagai tindak tutur sosial (speech acts as social acts):
Penekanan pada peran tindak tutur dalam pembentukan identitas sosial,
pembagian kekuasaan, dan konstruksi sosial lainnya. Contoh: Pidato politik
yang berusaha untuk mempengaruhi pemilih dalam mendukung seorang
kandidat.
b. Tindak tutur sebagai strategi kekuasaan (speech acts as power strategies):
Penekanan pada

24
BAGIAN V
INDIRECTNESS

A. PELOPOR INDIRECTNESS

Salah satu tokoh yang dianggap sebagai pelopor teori indirectness linguistik di
dunia adalah Paul Grice. Grice adalah seorang filosof dan ahli bahasa Inggris yang
dikenal karena karyanya dalam bidang pragmatika dan teori percakapan. Dia
mengembangkan konsep-konsep seperti "Prinsip Kerjasama" dan "Maksim
Percakapan" yang memberikan dasar untuk memahami bagaimana arti tercipta
dalam interaksi verbal.

Menurut Grice, dalam sebuah percakapan, ada asumsi dasar tentang kerjasama
antara penutur dan pendengar. Prinsip Kerjasama ini melibatkan tujuan bersama
untuk berkomunikasi secara efektif dan saling memahami. Grice juga
mengidentifikasi empat Maksim Percakapan yang menggambarkan asumsi-asumsi
yang terlibat dalam percakapan sehari-hari, yaitu:

1. Maksim Kuantitas: Berbicaralah sejelas yang diperlukan dan berikan informasi


yang cukup.
2. Maksim Kualitas: Jangan berbicara tentang sesuatu yang Anda percayai salah
atau tidak ada buktinya.
3. Maksim Relevansi: Berbicaralah tentang hal-hal yang relevan dengan topik yang
sedang dibicarakan.
4. Maksim Cara: Berbicaralah secara jelas, teratur, dan tidak ambigu.

Grice berpendapat bahwa dalam percakapan sehari-hari, penutur sering kali


menggunakan strategi indirectness untuk menyampaikan makna yang lebih halus
atau menghindari konfrontasi langsung. Strategi indirectness dapat melibatkan
penggunaan ironi, pernyataan tersembunyi, implikatur, atau bahasa majas untuk
menyampaikan pesan dengan cara yang tidak langsung.

Karya Grice tentang indirectness dan pragmatika telah berpengaruh besar dalam
bidang linguistik dan mempengaruhi pemahaman kita tentang bagaimana arti
tercipta dalam interaksi verbal. Konsep-konsepnya membuka jalan bagi penelitian
lanjutan dalam bidang pragmatika, teori percakapan, dan komunikasi antarbudaya.

25
B. PENGERTIAN TEORI INDIRECTNESS

Konsep teori indirectness dalam linguistik berkaitan dengan penggunaan bahasa


yang tidak langsung atau tidak langsung secara eksplisit dalam komunikasi. Ahli
linguistik dunia telah menyelidiki dan mengembangkan berbagai teori dan
pendekatan terkait dengan indirectness dalam bahasa. Berikut adalah beberapa
definisi teori indirectness menurut ahli linguistik terkemuka:

1. Penelope Brown dan Stephen Levinson


Dalam bukunya yang berjudul "Politeness: Some Universals in Language Usage,"
Brown dan Levinson mendefinisikan indirectness sebagai upaya untuk
menghindari ancaman terhadap wajah atau harga diri baik penutur maupun
pendengar melalui penggunaan bahasa yang tidak langsung, penekanan pada
kesopanan, dan strategi lain yang melibatkan pemutusan hubungan langsung
antara ungkapan dan makna yang dimaksudkan.

2. Geoffrey Leech
Leech, dalam bukunya yang berjudul "Principles of Pragmatics," menganggap
indirectness sebagai salah satu dari tiga prinsip dasar pragmatika, bersama
dengan prinsip kerjasama dan prinsip kebijaksanaan. Dia menjelaskan bahwa
penggunaan indirectness dapat membantu membangun hubungan sosial yang
lebih harmonis dan mengurangi potensi konflik dalam percakapan.

3. Jonathan Culpeper
Culpeper, dalam bukunya yang berjudul "Impoliteness: Using Language to
Cause Offence," menyelidiki sifat-sifat dan fungsi-fungsi dari perilaku impolite,
termasuk penggunaan bahasa yang tidak langsung dan penghindaran langsung
dalam interaksi. Dia memandang indirectness sebagai strategi yang digunakan
untuk mengungkapkan keengganan, kritik, atau bahkan ancaman dengan cara
yang lebih samar dan lebih sopan.

4. Penelope Eckert
Eckert, dalam penelitiannya tentang variasi sosial dalam bahasa, mencatat
bahwa penggunaan bahasa tidak langsung atau indirectness dapat dipengaruhi

26
oleh faktor-faktor sosial dan kontekstual, seperti status sosial, kelompok
sosial, dan kekuatan relasional antara penutur dan pendengar.

Penting untuk diingat bahwa teori indirectness dapat bervariasi antara ahli
linguistik dan konteks penelitian. Definisi ini memberikan gambaran umum tentang
bagaimana ahli linguistik mendefinisikan teori indirectness dalam konteks linguistik
dan bagaimana konsep tersebut diterapkan dalam analisis komunikasi verbal.

C. PERKEMBANGAN TEORI INDIRECT

Perkembangan teori indirectness di dunia mencakup berbagai pendekatan dan


perspektif yang berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak langsung dalam
komunikasi. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang perkembangan teori ini:

1. Politeness Theory (Teori Kesopanan)


Salah satu pendekatan utama dalam teori indirectness adalah Politeness
Theory yang dikembangkan oleh Penelope Brown dan Stephen Levinson pada
tahun 1978. Teori ini mengajukan bahwa penggunaan bahasa yang tidak
langsung dalam komunikasi merupakan strategi yang digunakan untuk menjaga
wajah atau harga diri baik penutur maupun pendengar. Brown dan Levinson
mengidentifikasi dua jenis keinginan dasar dalam interaksi sosial: keinginan
untuk dihormati (positive face) dan keinginan untuk tidak terganggu (negative
face). Indirectness digunakan untuk menjaga keinginan ini dan menghindari
ancaman terhadapnya.

2. Pragmatics dan Teori Percakapan


Teori indirectness juga berkembang dalam bidang pragmatika dan teori
percakapan. Ahli linguistik seperti Paul Grice dan Herbert H. Clark telah
menyelidiki bagaimana arti tercipta dalam konteks interaksi sosial. Grice
mengajukan konsep Maksim Percakapan yang mencakup prinsip-prinsip seperti
kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara, yang membentuk dasar perilaku
komunikatif. Strategi indirectness dapat digunakan untuk memenuhi prinsip-
prinsip ini dan mencapai tujuan komunikatif yang lebih halus atau sopan.

27
3. Variasi Sosial dan Kontekstual
Ahli linguistik seperti Penelope Eckert menekankan bahwa penggunaan bahasa
yang tidak langsung atau indirectness dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosial dan kontekstual. Variasi sosial dalam penggunaan bahasa dapat terjadi
berdasarkan faktor-faktor seperti status sosial, kelompok sosial, dan kekuatan
relasional antara penutur dan pendengar. Pendekatan ini melihat penggunaan
bahasa yang tidak langsung sebagai bagian dari perbedaan budaya dan sosial
yang mempengaruhi komunikasi.

4. Impoliteness dan Kritik Sosial


Beberapa ahli linguistik, seperti Jonathan Culpeper, telah menyelidiki aspek-
aspek impoliteness dan penggunaan bahasa yang tidak langsung dalam konteks
kritik sosial. Mereka menyoroti penggunaan bahasa yang tidak langsung untuk
menyampaikan kritik, keengganan, atau ancaman dalam komunikasi.
Pendekatan ini melibatkan analisis situasi-situasi yang melibatkan pelanggaran
norma kesopanan dan strategi yang digunakan untuk menyampaikan pesan
secara tidak langsung.

Perkembangan teori indirectness di dunia mencakup berbagai pendekatan dan


perspektif yang saling melengkapi. Dari Politeness Theory hingga pragmatika dan
teori percakapan, serta penelitian tentang variasi sosial dan kontekstual, teori
indirectness membantu kita memahami kompleksitas komunikasi verbal dan
bagaimana bahasa digunakan dalam interaksi sosial.

D. JENIS-JENIS INDIRECTNESS

Berikut ini adalah beberapa jenis teori indirectness dalam komunikasi verbal
beserta contohnya:

1. Politeness Theory (Teori Kesopanan)

Politeness Theory menjelaskan bahwa penggunaan bahasa yang tidak langsung atau
indirectness dalam komunikasi adalah strategi yang digunakan untuk menjaga
wajah atau harga diri baik penutur maupun pendengar. Dalam teori ini, terdapat

28
dua jenis keinginan dasar dalam interaksi sosial: keinginan untuk dihormati
(positive face) dan keinginan untuk tidak terganggu (negative face). Contoh
penggunaan indirectness dalam Politeness Theory adalah:

a. Permintaan dengan mengungkapkan keengganan: Penutur mengungkapkan


keengganan untuk meminta sesuatu dengan menggunakan bahasa yang tidak
langsung, seperti "Apakah Anda mungkin bisa memberikan bantuannya?"
daripada "Berikan bantuannya."
b. Penghindaran langsung : Penutur menghindari permintaan langsung dengan
menggunakan bahasa yang lebih samar atau tidak langsung, seperti "Saya
merasa sedikit haus" sebagai indikasi bahwa mereka ingin minum.

2. Teori Percakapan dan Pragmatika

Dalam teori percakapan dan pragmatika, penggunaan indirectness dalam


komunikasi dipelajari dalam konteks tujuan bersama untuk berkomunikasi secara
efektif dan saling memahami. Contoh-contoh penggunaan indirectness dalam teori
ini melibatkan pelaksanaan prinsip-prinsip Maksim Percakapan oleh penutur,
seperti:

a. Ironi: Penutur menggunakan pernyataan yang bertentangan dengan makna yang


sebenarnya untuk menyampaikan pesan dengan cara tidak langsung. Misalnya,
"Ini adalah hari yang indah" saat hujan deras.
b. Implikatur: Penutur menyampaikan makna yang tidak langsung melalui
implikasi atau inferensi yang dibuat oleh pendengar. Contohnya, "Anda belum
menyapu" bisa mengimplikasikan bahwa penutur mengharapkan pendengar
untuk menyapu.

3. Impoliteness Theory (Teori Ketidaksopanan)

Teori ini mengkaji penggunaan bahasa yang tidak langsung dalam konteks kritik
sosial dan tindakan tidak sopan. Dalam teori ini, penggunaan indirectness dikaitkan
dengan upaya untuk mengganggu wajah atau harga diri pendengar. Contoh-contoh
penggunaan indirectness dalam Impoliteness Theory meliputi:

29
a. Penghindaran langsung: Penutur menghindari menyampaikan kritik secara
langsung dengan menggunakan bahasa yang tidak langsung. Misalnya, "Mungkin
ada beberapa hal yang bisa diperbaiki" sebagai cara untuk mengkritik
pekerjaan seseorang tanpa menyebutkan kesalahan secara langsung.
b. Pernyataan tersembunyi: Penutur menyampaikan pesan yang kritis atau
menghina melalui pernyataan yang tersembunyi, seperti menggunakan
pernyataan positif secara ironis untuk menyampaikan kekecewaan atau
ketidaksetujuan.

Jenis-jenis teori indirectness ini memberikan pemahaman yang lebih rinci tentang
penggunaan bahasa

30
BAGIAN VI
KESANTUNAN

A. PELOPOR TEORI KESANTUNAN

Teori kesantunan linguistik dunia dikembangkan oleh dua ahli bahasa dan
antropolog, yaitu Penelope Brown dan Stephen Levinson. Mereka adalah pelopor
dalam mempelajari prinsip-prinsip kesantunan linguistik yang berlaku secara
universal di berbagai budaya.

Berdasarkan bukunya yang terkenal, "Politeness: Some Universals in Language


Usage" yang diterbitkan pada tahun 1978, Brown dan Levinson memperkenalkan
konsep kesantunan positif (positive politeness) dan kesantunan negatif (negative
politeness) sebagai strategi-strategi yang digunakan dalam interaksi komunikatif
untuk menjaga kesantunan.

Kesantunan positif adalah upaya untuk mempertahankan hubungan baik dan


menciptakan ikatan emosional antara pembicara dan pendengar melalui
penggunaan ungkapan yang merujuk pada keinginan bersama atau penghargaan
terhadap pendengar. Sementara itu, kesantunan negatif berkaitan dengan strategi
penghindaran yang digunakan untuk menghormati kebebasan dan hak-hak individu,
seperti menggunakan ungkapan yang tidak terlalu memaksakan atau mereduksi
ancaman terhadap wajah dan autonomi pendengar.

Teori kesantunan linguistik Brown dan Levinson menjadi dasar bagi banyak
penelitian tentang kesantunan berbahasa di berbagai budaya dan bahasa. Konsep-
konsep yang mereka kembangkan, seperti "wajah" (face) dan "tindakan wajah"
(face-threatening act), telah menjadi bagian penting dari studi kesantunan
komunikasi antarbudaya.

Penting untuk dicatat bahwa teori kesantunan linguistik dunia terus


berkembang, dan ada juga kontribusi dari ahli lain dalam bidang ini. Namun,
Penelope Brown dan Stephen Levinson dianggap sebagai pelopor utama dalam
memperkenalkan dan mengembangkan teori kesantunan linguistik yang melintasi
budaya dan bahasa.

31
B. PENGERTIAN TEORI KESANTUNAN

Teori Kesantunan Linguistik adalah pendekatan dalam linguistik yang


mempelajari bagaimana bahasa digunakan dalam interaksi komunikatif untuk
menjaga kesantunan dan menghindari konflik antara pembicara. Ahli dunia yang
terkenal dalam teori kesantunan linguistik adalah Penelope Brown dan Stephen
Levinson.

Menurut Penelope Brown dan Stephen Levinson, kesantunan linguistik


melibatkan prinsip-prinsip dan strategi-strategi yang digunakan dalam bahasa
untuk mempertahankan wajah atau citra diri positif pembicara dan pendengar.
Mereka mengidentifikasi dua konsep utama dalam teori kesantunan linguistik:

1. Kesantunan Positif: Strategi kesantunan positif melibatkan tindakan-tindakan


yang digunakan untuk menjaga hubungan baik antara pembicara dan
pendengar. Hal ini melibatkan penggunaan bahasa yang mengungkapkan
perhatian, penghargaan, dan kebaikan terhadap pendengar. Contohnya,
menggunakan ungkapan terima kasih, memuji, atau menggunakan kata-kata
yang ramah dan sopan.
2. Kesantunan Negatif: Strategi kesantunan negatif melibatkan penggunaan
tindakan-tindakan yang menghindari ancaman terhadap wajah atau
kebebasan individu. Ini termasuk penggunaan bahasa yang menghormati ruang
pribadi, memberikan opsi atau pilihan kepada pendengar, atau menghindari
perintah langsung. Tujuan dari kesantunan negatif adalah untuk menjaga
harga diri dan privasi pendengar.

Teori kesantunan linguistik juga mempertimbangkan faktor-faktor seperti


status sosial, hubungan antara pembicara dan pendengar, serta konteks komunikasi
dalam menentukan strategi kesantunan yang tepat. Prinsip-prinsip dan strategi-
strategi dalam teori kesantunan linguistik dapat berbeda antara budaya yang
berbeda, dan penggunaan bahasa yang sesuai dengan konteks budaya menjadi
penting dalam menjaga kesantunan.

Teori kesantunan linguistik oleh Penelope Brown dan Stephen Levinson


memberikan wawasan penting tentang bagaimana bahasa digunakan dalam
berbagai situasi komunikasi untuk menjaga harmoni dan kesantunan antara
pembicara. Konsep-konsep yang dikembangkan oleh mereka telah menjadi dasar
untuk banyak penelitian dan kajian tentang kesantunan berbahasa.

32
C. PERKEMBANGAN TEORI KESANTUNAN

Perkembangan teori kesantunan linguistik di dunia melibatkan berbagai


kontribusi dari para ahli bahasa, antropolog, dan peneliti di bidang linguistik dan
ilmu sosial lainnya. Berikut adalah beberapa perkembangan penting dalam teori
kesantunan linguistik beserta pelopor-pelopornya:

1. Teori Kesantunan Positif dan Negatif


Pelopor utama dalam teori kesantunan linguistik adalah Penelope Brown dan
Stephen Levinson. Dalam bukunya yang terkenal, "Politeness: Some Universals
in Language Usage" (1978), mereka memperkenalkan konsep kesantunan positif
dan negatif. Penelitian mereka memperhatikan bagaimana bahasa digunakan
untuk mempertahankan hubungan baik antara pembicara dan pendengar
melalui tindakan-tindakan yang menunjukkan penghargaan atau melalui
penghindaran konflik.
2. Teori Wajah
Goffman dan Erving merupakan ahli sosiologi yang memberikan kontribusi
penting dalam pemahaman teori kesantunan linguistik. Mereka
mengembangkan teori wajah yang menekankan pentingnya citra diri dan harga
diri individu dalam interaksi sosial. Konsep wajah digunakan sebagai dasar
dalam memahami bagaimana kesantunan berperan dalam penggunaan bahasa.
3. Variasi Budaya dan Konteks
Ahli bahasa seperti Yutang Lin dan Richard J. Watts telah berkontribusi dalam
memperluas teori kesantunan linguistik dengan mempertimbangkan variasi
budaya dan konteks sosial. Mereka menyoroti perbedaan dalam ekspresi
kesantunan di berbagai budaya dan mengidentifikasi strategi-strategi
kesantunan yang berbeda dalam bahasa-bahasa yang berbeda.
4. Kesantunan dan Pragmatik
Ahli pragmatik, seperti J.L. Austin dan Paul Grice, telah memberikan
pemahaman yang mendalam tentang peran pragmatik dan maksud implisit
dalam teori kesantunan linguistik. Konsep-konsep seperti implikatur dan
prinsip-prinsip kualitas percakapan memberikan wawasan tentang bagaimana
kesantunan terkait dengan makna dan konteks komunikasi.
5. Gender dan Identitas
Penelitian tentang peran gender dan identitas dalam kesantunan linguistik
telah menjadi fokus penting dalam pengembangan teori ini. Ahli bahasa seperti
Deborah Tannen dan Janet Holmes telah menyelidiki bagaimana perbedaan

33
gender dan faktor identitas lainnya mempengaruhi penggunaan bahasa dan
strategi kesantunan.

Perkembangan teori kesantunan linguistik di dunia melibatkan kontribusi


penting dari berbagai ahli dan peneliti dalam bidang linguistik, antropologi, dan
ilmu sosial. Melalui penelitian dan kajian yang dilakukan oleh mereka, pemahaman
kita tentang bagaimana bahasa digunakan dalam menjaga kesantunan dan
membangun hubungan sosial terus berkembang.

D. JENIS-JENIS TEORI KESANTUNAN

Berikut ini adalah beberapa jenis teori kesantunan linguistik beserta contohnya:

1. Teori Kesantunan Universal


Teori ini berpendapat bahwa ada prinsip-prinsip kesantunan yang berlaku
universal di seluruh budaya. Penelope Brown dan Stephen Levinson adalah
pelopor teori ini. Contoh strategi kesantunan positif yang universal adalah
penggunaan ucapan terima kasih, misalnya "Terima kasih banyak atas
bantuanmu." Contoh strategi kesantunan negatif yang universal adalah
penggunaan kata-kata yang lebih tidak langsung untuk membuat permintaan,
seperti "Apakah kamu bisa membantu saya dengan ini?" daripada "Bantulah saya
dengan ini."

2. Teori Kesantunan Relasional


Teori ini menekankan bahwa strategi kesantunan dipengaruhi oleh hubungan
interpersonal antara pembicara dan pendengar. Misalnya, dalam hubungan
yang dekat, pembicara mungkin lebih memilih untuk menggunakan bahasa yang
informal dan tidak terlalu formal. Contoh strategi kesantunan relasional adalah
penggunaan panggilan nama yang akrab, seperti "Halo, Nita" daripada "Halo,
Ibu Anita."

3. Teori Kesantunan Berdasarkan Konteks Budaya


Teori ini menekankan bahwa strategi kesantunan dipengaruhi oleh norma-
norma budaya dalam masyarakat tertentu. Misalnya, dalam beberapa budaya
Timur, kesantunan sering kali ditekankan melalui penghindaran konflik dan
penggunaan bahasa yang tidak terlalu langsung. Contoh strategi kesantunan
berdasarkan konteks budaya adalah menghindari kritik langsung dan
menggunakan eufemisme untuk menyampaikan pesan yang sensitif.

34
4. Teori Kesantunan Gender
Teori ini menyoroti perbedaan dalam penggunaan bahasa dan strategi
kesantunan antara pria dan wanita. Misalnya, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa wanita cenderung menggunakan bahasa yang lebih sopan
dan ramah dalam interaksi sosial, sementara pria mungkin lebih condong pada
gaya komunikasi yang langsung dan tidak terlalu memperhatikan kesantunan.
Contoh strategi kesantunan gender adalah penggunaan ungkapan "Tolong" oleh
wanita dalam permintaan, misalnya "Tolong bantuku mengangkat barang ini."

Penting untuk dicatat bahwa jenis-jenis teori kesantunan linguistik ini saling
terkait dan kadang-kadang tumpang tindih. Selain itu, penggunaan strategi
kesantunan juga dapat bervariasi tergantung pada konteks komunikasi dan
preferensi individu.

35
BAGIAN VIII
ANALISIS PRINSIP KERJASAMA

A. PELOPOR ANALISIS PRINSIP KERJASAMA

Salah satu pelopor teori analisis prinsip kerjasama di linguistik adalah Paul
Grice. Grice adalah seorang filosof dan pakar linguistik yang terkenal dengan
kontribusinya dalam bidang pragmatik. Ia mengembangkan apa yang dikenal
sebagai Prinsip Kerjasama atau Cooperative Principle dalam analisis komunikasi.

Menurut Grice, dalam berkomunikasi, ada prinsip kerjasama yang secara


tidak langsung diikuti oleh pembicara dan pendengar. Prinsip ini membantu
menjaga efisiensi dan efektivitas komunikasi. Terdapat empat prinsip kerjasama
yang diajukan oleh Grice:

1. Prinsip Kuantitas: Berbicara dengan jumlah informasi yang cukup. Pembicara


diharapkan memberikan informasi yang cukup untuk tujuan komunikasi, tidak
terlalu banyak atau terlalu sedikit.
2. Prinsip Kualitas: Berbicara dengan kebenaran dan kepercayaan. Pembicara
diharapkan menyampaikan informasi yang dapat dipercaya dan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya.
3. Prinsip Relevansi: Berbicara dengan hal yang relevan. Pembicara diharapkan
menyampaikan informasi yang relevan dengan topik atau konteks percakapan
yang sedang berlangsung.
4. Prinsip Gaya: Berbicara dengan cara yang jelas dan tidak kabur. Pembicara
diharapkan menyampaikan informasi dengan jelas dan tidak ambigu.

Grice juga mengembangkan apa yang disebut dengan maksim implikatur, yang
merupakan cara pembicara menggunakan prinsip kerjasama untuk mengirim pesan
tersirat atau terimplikasi. Maksim implikatur ini melibatkan penggunaan inferensi
atau asumsi yang didasarkan pada prinsip kerjasama untuk memahami pesan yang
tidak secara langsung disampaikan oleh pembicara.

Kontribusi Grice dalam analisis prinsip kerjasama telah membantu memahami


bagaimana komunikasi berlangsung dalam bahasa natural dan bagaimana pesan
dapat ditafsirkan dengan mempertimbangkan konteks dan asumsi yang
mendasarinya. Teori ini telah menjadi dasar penting dalam studi pragmatik dan

36
mempengaruhi banyak bidang lainnya seperti analisis wacana, semantik, dan
bahasa buatan

B. PENGERTIAN TEORI ANALISIS PRINSIP KERJASAMA

Prinsip Kerjasama atau Cooperative Principle dalam linguistik adalah


kerangka kerja yang dikembangkan oleh Paul Grice. Teori ini mengajukan bahwa
dalam komunikasi, pembicara dan pendengar secara implisit mengikuti prinsip-
prinsip tertentu untuk menjaga efisiensi dan efektivitas komunikasi.

Berikut adalah pengertian teori analisis Prinsip Kerjasama menurut beberapa ahli
linguistik:

1. Paul Grice
Menurut Grice, Prinsip Kerjasama mengacu pada prinsip-prinsip yang secara
tidak langsung diikuti oleh peserta dalam sebuah percakapan. Prinsip-prinsip
ini meliputi Prinsip Kuantitas, Prinsip Kualitas, Prinsip Relevansi, dan Prinsip
Gaya. Grice juga mengembangkan konsep maksim implikatur untuk
menjelaskan bagaimana pesan tersirat dapat dipahami dalam konteks
komunikasi.

2. Herbert H. Clark
Clark memperluas konsep Prinsip Kerjasama dan mengusulkan model koherensi
berbasis inferensi. Menurutnya, koherensi dalam percakapan tidak hanya
bergantung pada pematuhan terhadap prinsip-prinsip kerjasama, tetapi juga
pada inferensi yang dilakukan oleh pendengar untuk menghubungkan informasi
yang diberikan dengan pengetahuannya yang ada.

3. Stephen C. Levinson
Levinson adalah salah satu ahli pragmatik yang melanjutkan dan
mengembangkan teori Prinsip Kerjasama. Ia menekankan bahwa Prinsip
Kerjasama bukan hanya berlaku dalam percakapan lisan, tetapi juga dalam
komunikasi tulisan dan nonverbal. Levinson juga menyoroti pentingnya konteks
budaya dan sosial dalam pemahaman Prinsip Kerjasama.

4. Dan Sperber dan Deirdre Wilson


Sperber dan Wilson mengembangkan teori Relevansi yang berhubungan dengan
Prinsip Kerjasama. Mereka berpendapat bahwa komunikasi manusia selalu

37
bertujuan untuk menyampaikan informasi yang paling relevan dengan tujuan
komunikasi. Prinsip Kerjasama dianggap sebagai strategi yang digunakan untuk
mencapai relevansi optimal dalam komunikasi.

Pengertian dan pemahaman tentang Prinsip Kerjasama dalam linguistik


dapat sedikit bervariasi di antara para ahli, tetapi intinya adalah bahwa teori ini
menggambarkan prinsip-prinsip dasar yang mengatur komunikasi efektif dan efisien
dalam konteks bahasa dan pragmatik.

C. PERKEMBANGAN TEORI ANALISIS PRINSIP


KERJASAMA

Analisis Prinsip Kerjasama dalam linguistik telah mengalami perkembangan


yang signifikan sejak diperkenalkan oleh Paul Grice. Berikut adalah beberapa
perkembangan penting dalam analisis Prinsip Kerjasama di dunia linguistik:

1. Pengembangan Prinsip Kerjasama


Setelah diperkenalkan oleh Grice, konsep Prinsip Kerjasama terus
dikembangkan dan diteliti lebih lanjut oleh banyak ahli linguistik dan
pragmatikawan. Para peneliti telah menjelajahi aspek-aspek seperti peran
konteks, asumsi, inferensi, dan maksim implikatur dalam konteks komunikasi.

2. Pragmatik dan Analisis Wacana


Konsep Prinsip Kerjasama memiliki dampak yang signifikan dalam bidang
pragmatik dan analisis wacana. Teori ini membantu memahami bagaimana
pesan tersirat dan implisit diinterpretasikan dalam komunikasi, serta
bagaimana konteks dan asumsi mempengaruhi makna yang terkandung dalam
teks atau wacana.

3. Prinsip Kerjasama dan Bahasa Buatan


Dalam pengembangan bahasa buatan dan pemodelan komunikasi manusia-
mesin, Prinsip Kerjasama menjadi pertimbangan penting. Penerapan prinsip ini
dapat membantu sistem komputer dalam menghasilkan dan memahami bahasa
yang lebih alami dan efektif.

4. Pengaruh Kontekstual dan Sosial


Para ahli linguistik semakin mengakui pentingnya konteks budaya dan sosial
dalam pemahaman dan penerapan Prinsip Kerjasama. Prinsip ini dapat

38
bervariasi tergantung pada konteks komunikasi yang berbeda, dan penelitian
telah menyoroti peran faktor-faktor kontekstual dan sosial dalam interpretasi
dan pemahaman pesan.

5. Aplikasi di Bidang Lain


Prinsip Kerjasama juga telah diterapkan di berbagai bidang lain di luar
linguistik. Misalnya, dalam ilmu komputer, prinsip ini digunakan dalam
pengembangan sistem interaksi manusia-komputer yang lebih responsif dan
intuitif. Di bidang hukum, Prinsip Kerjasama juga dapat diterapkan dalam
analisis dan interpretasi teks hukum.

Perkembangan analisis Prinsip Kerjasama dalam linguistik terus berlanjut


seiring dengan penelitian dan pemahaman yang lebih mendalam tentang
komunikasi manusia. Penerapan konsep ini dalam berbagai bidang memberikan
wawasan yang berharga dalam memahami bagaimana komunikasi berlangsung dan
bagaimana makna dibangun dalam bahasa.

D. JENIS-JENIS TEORI ANALISIS PRINSIP KERJASAMA

Analisis Prinsip Kerjasama, terdapat beberapa jenis analisis yang digunakan untuk
memahami dan menganalisis aspek-aspek komunikasi yang terkait dengan prinsip
tersebut. Berikut adalah beberapa jenis analisis Prinsip Kerjasama beserta
contohnya:

1. Analisis Pelanggaran Prinsip Kerjasama

Jenis analisis ini melibatkan identifikasi situasi di mana prinsip-prinsip kerjasama


dilanggar dalam sebuah percakapan. Contohnya adalah ketika seseorang
memberikan informasi yang terlalu sedikit atau terlalu banyak, atau ketika
seseorang menyampaikan informasi yang tidak relevan dengan topik pembicaraan.

Contoh:

A: "Bagaimana film itu?"

B: "Baik."

Dalam contoh ini, B melanggar Prinsip Kuantitas dengan memberikan informasi


yang terlalu sedikit. Dia tidak memberikan informasi yang cukup untuk memenuhi
harapan A.

39
2. Analisis Penafsiran Maksim Implikatur

Prinsip Kerjasama sering kali memunculkan maksim implikatur, yaitu pesan yang
tersirat atau terimplikasi dalam komunikasi. Jenis analisis ini melibatkan
identifikasi dan penafsiran maksim implikatur yang muncul dalam sebuah
percakapan.

Contoh:

A: "Apakah kamu punya waktu luang minggu depan?"

B: "Saya punya beberapa acara yang harus saya hadiri."

Dalam contoh ini, maksim implikatur yang muncul adalah bahwa B tidak memiliki
waktu luang untuk bertemu dengan A. Meskipun tidak secara langsung
diungkapkan, maksim implikatur tersebut dapat dipahami berdasarkan prinsip
kerjasama.

3. Analisis Inferensi dan Koherensi

Analisis ini melibatkan pemahaman inferensi yang dilakukan oleh pendengar untuk
menghubungkan informasi yang diberikan dengan pengetahuan dan konteks yang
ada. Analisis ini membantu dalam memahami bagaimana informasi yang relevan
dikaitkan dan saling berhubungan dalam sebuah percakapan.

Contoh:

A: "Apakah kamu bisa mengambil makan malam dari restoran?"

B: "Maaf, mobil saya rusak."

Dalam contoh ini, inferensi yang dilakukan adalah bahwa B tidak bisa mengambil
makan malam dari restoran karena mobilnya rusak. Inferensi ini membantu dalam
menjaga koherensi dalam percakapan.

4. Analisis Kontekstual dan Sosial

Prinsip Kerjasama sangat dipengaruhi oleh konteks budaya dan sosial. Analisis ini
melibatkan pemahaman tentang bagaimana prinsip-prinsip kerjasama dapat
bervariasi tergantung pada konteks dan faktor-faktor sosial yang ada.

Contoh:

Pada budaya yang sangat hierarkis, mungkin lebih umum bagi pendengar untuk
tidak menyela pembicara dan lebih mengikuti prinsip kuantitas dengan

40
memberikan informasi yang lebih sedikit. Namun, dalam budaya yang lebih
egaliter, pendengar mungkin lebih cenderung untuk ikut aktif dalam percakapan
dan memberikan informasi yang lebih banyak.

Jenis-jenis analisis Prinsip Kerjasama ini membantu dalam memahami


bagaimana prinsip-prinsip kerjasama diterapkan, dilanggar, dan diinterpretasikan
dalam konteks komunikasi.

41
BAGIAN IX
SPEAKING

A. PELOPOR TEORI SPEAKING

Pelopor teori tentang SPEAKING dalam linguistik adalah Dell Hymes. Dell
Hymes adalah seorang antropolog dan ahli linguistik yang dikenal karena karyanya
dalam memperluas pemahaman kita tentang komunikasi verbal dan nonverbal
dalam konteks budaya. Ia mengembangkan konsep SPEAKING sebagai kerangka
kerja untuk memahami praktik komunikasi dalam konteks sosial dan budaya.

SPEAKING adalah singkatan dari komponen komunikatif dalam interaksi sosial:


Setting and Scene, Participants, Ends, Act sequence, Key, Instrumentalities,
Norms, dan Genre. Menurut Hymes, dalam setiap tindakan komunikatif, aspek-
aspek ini saling berinteraksi untuk membentuk makna dan mempengaruhi
bagaimana komunikasi dilakukan.

1. S = Setting and Scene (Situasi dan Latar Belakang): Mencakup faktor-faktor


fisik dan sosial di sekitar interaksi komunikatif.
2. P = Participants (Peserta): Mencakup identitas, peran, status, dan hubungan
antara peserta dalam interaksi.
3. E = Ends (Tujuan): Merujuk pada tujuan atau hasil yang diinginkan dari
komunikasi.
4. A = Act sequence (Rangkaian Tindakan): Menunjukkan urutan atau pola
tindakan komunikatif yang terjadi dalam interaksi.
5. K = Key (Kunci): Merujuk pada sikap, nada, atau suasana hati yang
memengaruhi cara komunikasi dilakukan.
6. I = Instrumentalities (Alat): Mencakup bahasa, gaya bahasa, kode, dan
medium yang digunakan dalam komunikasi.
7. N = Norms (Norma): Merujuk pada aturan-aturan dan norma-norma sosial yang
mengatur komunikasi dalam konteks tertentu.
8. G = Genre (Genre): Mengacu pada jenis-jenis tindakan komunikatif yang
dikenali dan digunakan dalam konteks sosial dan budaya tertentu.

Dengan mempertimbangkan semua komponen SPEAKING ini, Hymes berpendapat


bahwa kita dapat memahami komunikasi sebagai sebuah praktik SOS.

42
B. JENIS-JENIS TEORI SPEAKING

Dalam konteks linguistik, tidak ada jenis-jenis SPEAKING yang spesifik. Namun,
saya dapat memberikan beberapa contoh aspek-aspek SPEAKING yang sering
dibahas dalam analisis linguistik. Berikut adalah beberapa contoh dari setiap
komponen SPEAKING:

1. Setting and Scene (Situasi dan Latar Belakang)

Komunikasi di dalam sebuah restoran

Percakapan di ruang kelas

Wawancara kerja di kantor perusahaan

2. Participants (Peserta)

Seorang guru dan murid di dalam kelas

Seorang penyiar radio dan pendengarnya

Seorang pemandu wisata dan para turis

3. Ends (Tujuan)

Membujuk seseorang untuk melakukan sesuatu

Menyampaikan informasi penting

Mengekspresikan perasaan atau emosi

4. Act sequence (Rangkaian Tindakan)

Memulai percakapan dengan salam dan sapaan

Bertanya, merespons, dan memberikan penjelasan

Menyimpulkan atau mengakhiri percakapan dengan salam perpisahan

5. Key (Kunci):

Komunikasi dengan nada serius dan formil

Berbicara dengan nada santai dan akrab

43
Menggunakan bahasa figuratif atau lelucon dalam percakapan

6. Instrumentalities (Alat)

Bahasa lisan dalam bentuk percakapan

Bahasa isyarat dalam komunikasi dengan tunarungu

Bahasa tulisan dalam bentuk surat atau email

7. Norms (Norma)

Mengikuti aturan kesopanan dan etika berbicara

Menggunakan bahasa yang sesuai dengan konteks sosial

Menyesuaikan gaya berbicara dengan situasi atau kebudayaan tertentu

8. Genre (Genre)

Percakapan informal antara teman dekat

Pidato formal dalam acara resmi

Diskusi ilmiah dalam konferensi akademik

Perhatikan bahwa contoh-contoh ini hanya mengilustrasikan bagaimana


komponen-komponen SPEAKING dapat diterapkan dalam situasi komunikatif yang
berbeda. Komunikasi sebenarnya sangat kompleks dan melibatkan interaksi antara
berbagai komponen ini.

44

Anda mungkin juga menyukai