Anda di halaman 1dari 5

KAJIAN WACANA Laporan Bacaan Johnstone (Chp. 1) dan Renkema (Chp.

5 dan 7)

KARIN SARI SAPUTRA 1206188616 Jurusan Linguistik - Peminatan Pengajaran Bahasa Program Magister Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 2012

Untuk memahami definisi discourse analysis, menurut Johnstone, terlebih dahulu harus menelaah makna kedua kata tersebut, yakni discourse dan analysis. Wacana atau discourse adalah actual instances of communication in the medium of language (Johnstone, 2002: 2). Dari pernyataan Johnstone tersebut dapat diinterpretasikan bahwa wacana memang pada dasarnya mengkaji komunikasi melalui bahasa, akan tetapi perlu digarisbawahi pada pernyataan berikut; we are not centrally focused on language as abstract system (Ibid). Hal ini dapat ditegaskan dengan cara sebagai berikut: Dalam sistem tanda lalu lintas terdapat satu tanda yang berarti dilarang masuk jalan ini. Tanda ini berbentuk lingkaran merah dengan garis datar melintang putih ditengahnya. Di mana-mana dalam kota terdapatlah papan yang menyampaikan tanda ini. Tetapi jika ditafsirkan dengan tepat, tanda tersebut belum kita temukan dalam bentuk konkret: setiap papan hanya merupakan penyampaian dan pencerminan dari tanda yang dipersoalkan. Tanda itu adalah abstrak, jadi tidak dapat diamati. Orang yang ingin menelaah sistem tanda lalu lintas itu tidak perlu menjelajahi semua papan lalu lintas yang konkret untuk memahami sistem tersebut. Kemudian, Johnstone pun menambahkan: discourses are ideas as well as ways of talking that influence and are influenced by the ideas jika disimpulkan, maka wacana merupakan seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan keadaan suatu kepaduan atau rasa kohesi bagi pendengar atau pembaca. Masih mengutip pernyataan Johnstone yang mengatakan; discourse analysis typically focuses on the analytical process in a relatively explicit way hal tersebut mengisyaratkan kata analysis lebih merujuk untuk mengkaji suatu bahasa guna meneliti struktur bahasa tersebut secara mendalam. Dan hal itu sejalan dengan pernyataan berikut; by analyzing discourse -- that is, by examining aspects of the structure and function of language in use 1

(2002: 4). Jika diuraikan, maka wacana dapat diartikan sebagai peristiwa yang terstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku linguistik atau lainnya serta memfokuskan kepada proses memecahkan wacana menjadi bagian kecil dengan berdasarkan kriteria tertentu dan melihat ciri struktur setiap bagian itu serta melihat fungsi dari bagian tersebut. Lebih lanjut, Johnstone memaparkan kegunaan discourse analysis dalam menjawab berbagai macam pertanyaan yang berbeda yang berkenaan dengan proses bahasa itu sendiri. Discourse analysis akan menunjukkan bagaimana mengetahui makna dari pemakaian bahasa sesuai dengan konteksnya. Misalnya, kalau seseorang pembicara mengemukakan pertanyaan, ia bukan melakukannya begitu saja, melainkan dengan maksud untuk menimbulkan reaksi pendengar yang akan menggerakkan pendengar itu untuk memberikan jawaban. Dan jika misalnya seorang pembicara mengemukakan sesuatu, maka pada umumnya maksudnya ialah untuk memberitahukan sesuatu kepada pendengarnya, menyakinkannya tentang sesuatu, singkatnya untuk mempengaruhi pendengar. Johnstone mengungkapkan; discourse analysis continues to be useful in answering questions that are posed in many fields that traditionally focus on human life and communication (2002: 7), kemudian ditambahkan kembali; anyone who wants to understand human beings has to understand discourse (Ibid). Suatu peristiwa komunikasi akan berfungsi dengan baik jika terjadi pada konteksnya. Pengetahuan analisis tentang unsur--unsur konteks akan memudahkan seseorang dalam menginterpretasikan isi dan bentuk wacana. Makna wacana dibentuk oleh konteks yang dipaparkan oleh Johnstone, meliputi: (1) world, (2) language, (3) participants, (4) prior discourse (expectation, presupposition), (5) media, dan (6) purpose (2002: 9). Konteks merupakan segala sesuatu yang ada di sekeliling atau di luar teks. Sesuatu hal yang di luar teks tersebut ialah keenam unsur konteks yang disebutkan oleh Johnstone. Berbeda salah satu diantaranya akan berbeda pula cara atau bahasa atau makna tujuan yang disampaikan. Wacana merujuk ke hal yang dibicarakan mempunyai arti sama dengan the world. Manusia membentuk the world dengan cara berbicara, menulis dan menggunakan tanda. Lewat manusia wacana membentuk world sendiri. Ditegaskan dalam tulisan Johnstone; discourse is usually about something; discourse that appears not to refer to anything is hard to interpret and likely to be seen as nonsensical, crazy, or the result of some strange linguistic experiment (2002: 10). Agar terjadi komunikasi yang bermakna, pembicara dan pendengar perlu sudah saling mengenal. Bukankah pendengar harus bisa menafsirkan ujaran bahasa dan pertuturan pembicara dengan cara yang tepat? Untuk itu dituntut untuk mengenal sistematika bahasa dan sistematika pemakaian bahasa yang dipakai oleh pembicara. Pendengar bukan hanya harus 2

tahu apa yang dikatakan pembicara, melainkan juga apa yang dipersoalkannya. Maka, hal tersebutlah yang Johnstone maksudkan dalam menafsirkan makna konteks dilihat dari language. Makna suatu tuturan dalam suatu peristiwa komunikasi, dapat dikatakan benar jika diketahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya, dan sebagainya. Johnstone menjelaskan bahwa konteks participants dalam memaknai wacana untuk melihat relevansi dalam interaksi antara pembicara dan pendengar. Pembicara dan pendengar juga harus mempunyai persediaan pengetahuan bersama, baik mengenai bahasa maupun mengenai kenyataan yang mereka bicarakan, agar dapat mencapai komunikasi yang berhasil. Oleh karena itu, antara pembicara dan pendengar mempunyai prior discourse sehingga tidak perlu diutarakan. Konteks yang lain, yakni media dan purpose oleh Johnstone dijelaskan sebagai acuan agar dapat sampai kepada penafsiran yang lengkap seperti dalam pernyataan berikut; expectations associated with pictorial media (including expectations about visual harmony, beauty and so on -- the symbols would be meaningful and that a reader would need to consider their meanings as a set rather than one by one (2002: 16). Akhirnya pengetahuan konteks sering akan membantu pendengar untuk dapat mencapai tafsiran yang tepat. Enam konsep tentang konteks oleh Renkema dipaparkan berbeda dengan apa yang telah Johnstone sebutkan. Namun, ada beberapa hal yang pada prinsipnya mempunyai maksud yang sama. Renkema menyebutkan konsep tentang konteksnya ialah sebagai berikut. (1) deixis, (2) staging, (3) perspectivization, (4) given-new management, (5) presupposition, dan (6) inferences. Menurut Renkema dalam konsep pertamanya, yakni deixis, which is derived from the Greek word meaning to show or to indicate (2004: 121). Semua bahasa bahkan mempunyai unsur-unsur yang hanya dapat ditafsirkan jika kita tahu dalam situasi konkret mana unsur itu telah dipakai. Unsur semacam itu kadang-kadang disebut juga unsur deiktis -- deictic words are words with a reference point that is speaker-or writerdependent and is determined by the speakers or writers position in space and time (Ibid), dan pada umumnya gejala itu dinamakan deiksis. Contoh: Rita dan Ayu sedang bertengkar. Mereka sedang meributkan buku mana yang harus dibeli. Mereka lupa nama judul dan pengarangnya. Mereka hanya terpaku di depan toko itu, merasa bingung. Terdapat dua tataran medan bahasa -- deixis was inspired by Karl Buhler -distinguished two fields in language: deictic field (das Zeigfeld) and the symbolic field (das Symbolfield) (2004: 121).

Staging -- konsep kedua terkait konteks menekankan pada pementingan unsur wacana yang menjadi informasi penting -- the phenomenon of foreground and background information is called, using a theater metaphor (Renkema, 2004: 124). Contoh: Rudi menghubungi Dina dua hari yang lalu. Dua hari yang lalu Rudi menghubungi Dina. Kedua contoh di atas dapat diantar oleh tekanan dan posisi unsur wacana, yaitu merujuk pada prinsip head-tail (kepala-ekor). Implikasinya adalah semakin dekat dengan kepala (kiri) atau dengan ekor (kanan) semakin penting informasi. Berlanjut pada melihat wacana dari konteks perpectivization menurut Renkema terdapat tiga pendekatan yang penting, yakni: (1) vision, (2) focalization, dan (3) empathy. Vision diinterpretasikan dalam sebuah ideologi: sebuah sistem norma dan nilai yang menyinggung pada hubungan sosial. Pada perspektif focalization konteks tersebut merupakan manifestasi dari sudut pandang naratif: orang pertama, kedua, dan seterusnya. Dan perspektif terakhir menyangkut empathy, yakni derajat kedekatan penutur terhadap sesuatu yang dibicarakan. Menginterpretasi ujaran atau kalimat juga disesuaikan dalam bentuk dan arti dengan menyisipkannya kedalam konteks dan terkadang tersirat. Maka, dapat melihat konteksnya dari informasi yang mana memuat informasi lama-informasi baru -- given-new management. Given information merupakan informasi yang sudah sama-sama diketahui. Keduanya akan menghasilkan makna yang inheren dengan kata. Jika terdapat contoh wacana seperti berikut ini; Dia ikut mencoblos dalam Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu. Maka, akan menimbulkan praanggapan atau presupposition, yakni sebuah pengetahuan bersama di mana penggunaan praanggapan oleh pembicara hanyalah ditujukan kepada pendengar, yang menurut pembicara, pendengar juga memiliki pengalaman dan pengetahuan seperti yang dimiliki pembicara. Dan ini kemudian ditambahkan pada pernyataan Renkema; presupposition is reserved for the implicit information which must be true for the sentence in question to be itself true or false (2004: 133) -- tidak dinyatakan secara eksplisit dalam kalimat/tuturan, namun sesungguhnya terkandung di dalam kalimat. Konsep terakhir memaknai wacana ialah dilihat dari konteks inferences yang terdiri dari entailment, conventional implicature, conversational implicature, dan connotation. Entailment atau perikutan merupakan istilah yang diambil dari logika (Renkema, 2004: 136). Contoh: Saat ini Budi sedang kuliah. Dia seorang mahasiswa. Conventional implicature, contohnya: Dia itu Chinese. Dia pintar berdagang. Conversational implicature merupakan 4

apa yang mungkin diartikan, disarankan atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dengan apa yang senyatanya dikatakan oleh penutur. Contoh: A: Mau kemana? B: Biasa. Kemudian konteks terakhir dari Renkema adalah connotation atau nilai rasa. Dalam menganalisis wacana, maka kita perlu melihat struktur dari wacana tersebut. Analisis struktur isi wacana, meliputi: (1) proposisi, (2) topik-komen, (3) makrostruktur, dan (4) suprastruktur. Proposisi merupakan kalimat asertif sederhana (Renkema 2004: 87). Interpretasi asertif ialah menyatategaskan; tidak relevan apakah kalimat merupakan pertanyaan, harapan seruan, dan lain-lain. Kata sederhana itu merujuk pada unit makna minimal; kalimat dapat mengandung lebih dari satu proposisi. Contoh: Gedung MPR terletak 500 meter dari jembatan Semanggi. Kemudian, proposisi terdiri atas satu predikat sebagai inti proposisi dan satu argumen atau lebih -- senada dengan pernyataan Renkema; a proposition has a verb, the predicate, as its core and one or more arguments that relate to it (2004: 88). Membicarakan tentang apa wacana, fragmen wacana, atau kalimat, kesemua hal tersebut mengarah pada topik, sedangkan apa yang dinyatakan tentang topik, maka itu disebut komen. Menurut Renkema; the topic is what the sentence is about (2004: 91). Kalimat dengan makna yang sama dapat berbeda topik. Contoh: Matematika yang dia tidak suka. Topiknya adalah matematika, sedangkan komennya adalah dia tidak suka. Analisis isi wacana dapat dilihat dari tema-tema apa saja yang tidak lepas dari proposisi-proposisi dominan dan proposisi yang didominasi dan itu disebut dengan makrostruktur. Istilah tersebut adalah makna global wacana dan merupakan pembentuk koherensi wacana. Terdapat aturan makro (macrorules) yang menjelaskan bagaimana makrostruktur dibentuk, yakni: (1) aturan penghapusan, (2) aturan perampatan dan (3) aturan penyusunan (Renkema: 2004: 95-97). Makrostruktur lebih menyangkut tentang isi, tapi bagaimana dengan bentuk? Suprastrukturlah yang digunakan -- skema konvensional yang merupakan bentuk global bagi isi makrostruktur wacana. Renkema memaparkan ilustrasi terhadap suprastruktur tersebut sebagai berikut; newspaper articles often have a structure that can be represented approximately like this: First, there is headline; following this is lead; then comes the news article itself, the flat text -- news bulletins have a superstructure with a heading, a lead, and a flat text (2004: 98).

Anda mungkin juga menyukai