Anda di halaman 1dari 21

Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022

Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

Handout

Mata Kuliah Analisis Wacana


Semester Gasal 2022/2023

Andik Yuliyanto M.Si.

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Surabaya
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

1. Konsep Dasar Analisis Wacana

Tulisan ini menggunakan sudut pandang sosial untuk


memahami bahasa manusia. Oleh sebab itu, ilmuwan bahasa (wacana)
yang dirujuk sebagian besar juga bersudut pandang sosial. Pandangan
ini berpendapat bahwa bahasa tidak dapat terlepas dari siapa
penggunanya, bagaimana, mengapa, dan kapan digunakan. Dengan
kata lain, bahasa digunakan dalam interaksi sosial (van Dijk, 1997:2).
Mengikuti penjelasan van Dijk, wacana kadangkala dapat
dijelaskan sebagai sebuah bentuk-bentuk interaksi verbal, misalnya
bertelepon, menyatakan ekspresi perasaan kepada orang lain, tanya
jawab di ruang kelas, tanya jawab di ruang dokter, wawancara untuk
mendapatkan pekerjaan tertentu di perusahaan. Di dalam proses
berinteraksi tersebut, melibatkan apa yang disebut para pelibat
wacana. Para pelibat wacana merupakan bagian atau anggota dari
suatu kelompok sosial atau profesi tertentu.
Menurut Carter, kata discourse, mengandung pengertian talk
yang berarti bercakap-cakap (Carter, 2001:165). Istilah discourse
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi wacana. Ada juga
yang memakainya dengan istilah diskursus. Ketika orang berbicara
dengan orang lain, maka dia sebenarnya sedang berdiskursus atau
berwacana. Dia menyampaikan pesan-pesan yang kemudian diterima
oleh orang yang diajak bicara. Lantas, orang yang diajak bicara
membalasnya. Terjadilah peristiwa komunikasi berbahasa. Jadi,
wacana atau discourse adalah bahasa dalam penggunaan nyata.
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

Penjelasan di atas lebih memperhatikan bahasa lisan. Selain


bahasa yang lisan atau spoken language atau talk, ada juga bahasa
tulis (written or printed language) yang digunakan dalam interaksi
sosial. Misalnya surat menyurat, kolom-kolom berita tertentu di surat
kabar, chatting, e-mail.
Pada akhirnya, van Dijk , secara sederhana memahami wacana
sebagai sebuah bentuk-bentuk penggunaan bahasa (…discourse is a
form of ‘language use”). Sehingga studi wacana, menurut van Dijk
adalah studi talk dan text dalam sebuah context. Teks mengacu pada
produk menulis, sedangkan talk mengacu produk berbicara. Konteks
adalah karakteristik dari situasi sosial atau event komunikasi yang
mempengaruhi talk maupun teks.
Bagi van Dijk, konsep wacana mengandung tiga dimensi
utama: (1) penggunaan bahasa (2) kognisi (3) interaksi dalam situasi
sosial. Implikasi tiga dimensi tersebut akan melibatkan tiga disiplin
keilmuan, yaitu: linguistik, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial. Linguistik
mempelajari bahasa dan penggunaan bahasa. Psikologi mempelajari
bagaimana ide-ide dikomunikasikan. Ilmu-ilmu sosial mempelajari
bagaimana interaksi dalam situasi sosial.
Selain van Dijk, ilmuwan bahasa lain yang memahami bahasa
secara sosial, lebih tepatnya secara semiotik sosial adalah M.A.K
Halliday (1992). Mengikuti pendapat M.A.K Halliday, semiotik
adalah kajian tentang sistem tanda. Dengan kata lain, menurut dia,
semiotik adalah kajian tentang ‘makna’ dalam artinya yang paling
umum. Tanda tidak berdiri terpisah, tetapi mempunyai hubungan
dengan tanda-tanda yang lain.
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

Halliday berpendapat bahwa ilmu bahasa merupakan suatu jenis


semiotik. Makna tidak hanya diungkapkan lewat bahasa, tetapi dapat
diungkapkan selain dengan bahasa. Cara-cara pengungkapan tersebut
dapat berupa bentuk-bentuk seni seperti lukisan, ukiran, bunyi-
bunyian, tarian, dan lain-lainnya, maupun bentuk-bentuk tingkah laku
budaya lainnya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup seni,
misalnya ragam pertukaran, pakaian, susunan keluarga, dan seterusnya
(Halliday, 1992:4).
Selanjutnya, apa pendapat Halliday tentang sebuah teks?
Halliday (1992:13) mendefinisikan teks sebagai bahasa yang
berfungsi. Artinya, bahasa sedang melakukan tugas tertentu dalam
konteks situasi, berlainan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat lepas.
Bahasa yang melakukan tugas tertentu tersebut dapat berupa bahasa
tulis maupun berupa lisan (tutur). Makna bahasa dalam pandangan
Halliday adalah makna-makna bahasa yang bekerja dalam teks
tersebut. Makna-makna yang berada dalam bahasa yang hidup. Teks
pada dasarnya adalah satuan makna.
Akhirnya, Halliday pada kesimpulannya bahwa teks merupakan
produk dan sebuah proses. Sebagai produk, teks merupakan keluaran
yang dapat direkam dan dipelajari karena mempunyai susunan tertentu
yang dapat diungkapkan dengan peristilahan yang sistematik.
Sebagai proses, teks merupakan proses pemilihan makna yang terus
menerus, sesuatu perubahan melalui jaringan tenaga makna dengan
setiap perangkat pilihan yang membentuk sebuah lingkungan bagi
perangkat yang lebih lanjut.
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

Jadi, terang Halliday, sebuah teks adalah sebuah bentuk


pertukaran; dan bentuk teks paling dasar adalah percakapan sehari-
hari secara spontan. Dalam percakapan seperti inilah, yang alamiah,
terjadi pertukaran makna antar manusia.
Hampir sama dengan Halliday, seorang tokoh analisis teks yang
bernama Norman Fairclough (2003:3) berpendapat bahwa teks tidak
hanya tulisan atau cetakan seperti pada surat kabar, tetapi juga
transkrip atau rekaman percakapan dan wawancara pada program-
program televisi ataupun sebuah halaman web. Teks adalah bahasa
dalam penggunaan. Jadi, pada sebuah program televisi, tidak hanya
transkrip percakapan, tetapi juga sesuatu yang menyertainya seperti
gambar-gambar visual dan efek-efek suara.
Tokoh lain yang membahas discourse adalah James Paul Gee.
Gee (2002:25) berpendapat bahwa wacana selalu lebih dari sekedar
bahasa. Di dalam wacana selalu mengkaitkan bahasa dengan cara-cara
bertindak, berinteraksi dengan orang lain, menilai, mempercayai,
merasa, dan menghubungkan bahasa dengan tubuh, pakaian, simbol-
simbol non-linguistik, obyek-obyek, peralatan, teknologi, waktu, dan
tempat.

Penjelasan lain yang juga mengarah pada bahasa dan


penggunaannya dikemukakan oleh Thompson (2003: 22-23). Dia
berpendapat bahwa bekerja dengan analisis wacana menyangkut tiga
karakter. Pertama, mempelajari wacana berarti mempelajari contoh-
contoh ekspresi yang terjadi secara aktual, seperti percakapan antar
teman, interaksi teman-teman kelas, atau editorial sebuah surat
kabar. Kedua, perhatian yang difokuskan kepada unit-unit bahasa
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

yang melampui batas-batas sebuah kalimat tunggal. Ketiga, analisis


bahasa adalah kecenderungan yang meminati hubungan antara bahasa
dan aktivitas non-bahasa.
Studi dari Thompson mencoba mengkaitkan antara ideologi dan
bahasa. Baginya, ideologi bekerja melalui bahasa dan bahasa adalah
medium dari tindakan sosial. Lebih lanjut, tutur Thompson, teori
ideologi mengajak kita untuk melihat bahwa bahasa bukan sekedar
struktur yang dapat digunakan untuk komunikasi dan pertunjukan,
tetapi sebagai fenomena sejarah sosial yang melibatkan konflik
manusia.
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

2. Konteks
Penafsiran makna sebuah wacana membutuhkan apa yang
disebut konteks. Adanya konteks akan mempermudah kejelasan
makna sebuah wacana. Konteks berada di luar bahasa itu sendiri,
misalnya siapa yang berbicara dan diajak bicara, tempatnya di mana,
dalam situasi yang bagaimana. Oleh sebab itu, analisis terhadap
konteks adalah analisis terhadap sesuatu (nonlinguistik) yang
menyertai teks atau wacana.
Konteks menyangkut konteks situasi dan konteks budaya.
Konteks situasi adalah keadaaan nonlinguistik sebuah ujaran berupa
situasi-situasi tertentu pada waktu ujaran terjadi yang berguna
membantu pemahaman terhadap pesan atau makna ujaran tersebut.
Konteks budaya adalah keadaan atau situasi budaya dalam arti luas di
mana sebuah ujaran terjadi. Sebuah ujaran yang dilakukan dalam
budaya Inggris akan berbeda dalam hal bentuk ujarannya maupun
maknanya jika dilakukan dalam konteks budaya Jawa.
Seorang ilmuwan bahasa yang bernama Halliday, menggunakan
istilah konteks sosial, yaitu lingkungan terjadinya pertukaran makna.
Dia berpendapat bahwa sebuah teks adalah hasil lingkungannya, hasil
proses pemilihan yang terus-menerus. Teks adalah proses dan hasil
makna sosial dalam konteks situasi tertentu.
Lebih lanjut menurut Halliday, konteks situasi, tempat teks itu
terbentang, dipadatkan dalam teks bukan dengan cara berangsur-
angsur, bukan pula dengan cara mekanis yang ekstrem tetapi melalui
suatu hubungan yang sistematis antara lingkungan sosial di satu pihak,
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

dengan organisasi bahasa yang berfungsi di lain pihak (Halliday dan


Hassan, 1992:16).
Seorang tokoh etnografi komunikasi, Dell Hymes (Sumarsono
dan Paina Partana, 2002:325-335) membuat rincian konteks situasi
menjadi 16 komponen:
1) Bentuk pesan (message form)
2) Isi pesan (message content)
3) Latar (setting)
4) Suasana (scene)
5) Penutur (speaker, sender)
6) Pengirim (addressor)
7) Pendengar (hearer, receiver, audience)
8) Penerima (addressee)
9) Maksud-hasil (purpose-outcome)
10) Maksud-tujuan (purpose-goal)
11) Kunci (key)
12) Saluran (channel)
13) Bentuk tutur (form of speech)
14) Norma interaksi (norm of interaction)
15) Norma interpretasi (norm of interpretation)
16) Jenis (genre)

Dari 16 komponen konteks situasi tersebut, Hymes


menyingkatnya menjadi 8 komponen dengan menggunakan akronim
SPEAKING. Selanjutnya, dijelaskan sebagai berikut:
S =Situasi (act situation), meliputi: latar (3) dan suasana (4).
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

P = Partisipan, meliputi: penutur (5), pengirim (6), pendengar (7),


penerima (8).
E = End (tujuan), meliputi: maksud (9) dan hasil (10).
A = Act sequence (urutan tindak), meliputi: bentuk pesan (1) dan isi
pesan (2).
K = Instrumentalities (peranti), meliputi: saluran (12) dan bentuk tutur
(13).

N = Norms (norma), meliputi: norma interaksi (14)

dan norma interpretasi (15).

G = Genre (jenis).
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

3. Implikatur dan Prinsip Kerja Sama beserta Maksim-


Maksim dari Grice
Grice (1975) mengenalkan konsep implikatur. Implikatur ialah
apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh
penutur tetapi berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Maksud
ujaran dapat dimengerti setelah penutur dan petutur terjadi
kesepahaman. Oleh sebab itu Grice membedakan implikatur
konvensional dan implikatur percakapan.
Bagi Grice, implikatur konvensional (conventional implicature)
ialah implikasi pragmatik yang diperoleh langsung dari makna kata,
bukan dari prinsip-prinsip percakapan (Leech, 1993:17). Contoh: She
was poor, but she was honest (dia miskin, tetapi dia jujur). Kata but
menyiratkan bahwa orang yang miskin patut dianggap tidak jujur.
Implikatur percakapan (conversational implicature) dapat
menjelaskan mengapa makna yang terkandung dalam tuturan penutur
lebih banyak dan kompleks dari daripada yang dia ungkapkan. Makna
yang terkandung implikatur percakapan adalah force (daya), bukan
sekadar arti (sense).
Teori Grice digunakan saat bagaimana seseorang menggunakan
bahasa secara efisien dan efektif dalam sebuah percakapan. Teori ini
diturunkan dari prinsip kerja sama (cooperative principle) percakapan
ditambah dengan sejumlah aturan atau maksim (maxim). Sebagaimana
dikatakan Grice: “make your contribution such as is required, at the
stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the
talk exchange in which you are engaged.” (berikanlah kontribusi Anda
seperti yang diperlukan pada tahap di mana hal tersebut terjadi, sesuai
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan dimana Anda terlibat


di dalamnya.” (Grice, 1975:45).
Ada empat maksim dalam prinsip kerja sama yang
dikemukakan Grice:
1. Maksim Kuantitas (Maxim of Quantity):
Berikan kontribusi seinformatif yang diperlukan. Jangan
memberikan kontribusi pembicaraan yang berlebihan daripada
yang diperlukan.
2. Maksim Kualitas (Maxim of Quality):
Jangan katakan apa yang Anda yakini salah. Jangan katakan jika
yang Anda katakan mempunyai bukti-bukti atau kebenaran yang
lemah.
3. Maksim Hubungan (Maxim of Relevance):
Buatlah pembicaraan relevan atau berhubungan dengan apa yang
sedang dibicarakan.
4. Maksim Cara (Maxim of Manner):
Buatlah jelas.
Hindari ekspresi yang kabur.
Hindari kegandaan arti (ambigu).
Bicaralah dengan singkat (hindari bertele-tele).
Bicaralah dengan cara yang teratur.

Seperti dijelaskan di atas, prinsip kerja sama beserta maksim-


maksim Grice digunakan agar sebuah pembicaraan berjalan efektif
dan efisien. Prinsip kerja sama akan berjalan dengan ideal jika
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

“ditaati” oleh penutur dan petutur. Bagaimana jika prinsip dan maksim
itu tidak ditaati atau “dilanggar”?

Pelanggaran pada prinsip kerja sama bukan seperti pelanggaran


dalam berlalu lintas di jalan raya. Jika Anda melanggar maka akan
ditilang oleh polisi. Pelanggaran pada prinsip kerja sama mungkin saja
dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk berbohong,
berkelit, mengaburkan, mempengaruhi orang lain. Contoh: ketika
seorang terdakwa ditanyai oleh seorang hakim, dia akan berusaha
menjawab dengan ketidakjelasan, tidak informatif, dan pendek-
pendek. Strategi ini digunakan terdakwa agar sang hakim tidak
mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari dirinya.

4. Tindak Bahasa dari Austin


Seorang filsuf bahasa yang mengamati bahasa sehari-hari
adalah Austin dengan speech actnya (tindak bahasa) (1962).
Menurutnya, ada ucapan-ucapan konstatif (constative utterances) dan
ucapan-ucapan performatif (performative utterances). Constative
utterances adalah ucapan yang bukan melakukan tindakan, ucapan
yang dapat diketahui apakah ucapan itu benar atau salah.
Performatives utterances adalah ucapan-ucapan dengan melakukan
tindakan, seperti berjanji, bertaruh, memberi peringatan.
Pada perkembangan selanjutnya, dia membagi tindak bahasa
menjadi 3 (Wicoyo, 1997:42-45), yaitu: lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Tindak lokusi adalah tindak bahasa jika kita menyampaikan suatu
makna tertentu. Tindak ilokusi adalah tindak bahasa dalam
mengatakan sesuatu atau tindakan bahasa yang membuat si pembicara
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

bertindak, berlaku, sebagai akibat atau karena yang dikatakan.


Perlokusi adalah tindakan dengan mengatakan sesuatu atau tindakan
si pembicara menimbulkan efek atau pengaruh pada si pendengar,
entah aktif maupun pasif.
Austin kemudian membagi tindak ilokusi bahasa dalam 5
kategori:
(1) Verdictives (tindakan bahasa dengan adanya suatu keputusan,
seperti tindakan wasit, juri)
Misalnya: memerintah (rule), membebaskan (acquit), menghukum
(convict).
(2) Exercitives (tindakan bahasa akibat adanya kekuasaan, hak, atau
pengaruh. Misalnya: menasehati (advising), memerintahkan
(ordering), menamai (name), mengarahkan (direct).
(3) Commisives (tindakan bahasa dengan adanya perjanjian atau
perbuatan.
Misalnya: berjanji (promise), bersumpah (swear), menyetujui
(agree), melawan (oppose), mengumumkan (declare for).
(4) Behabitives (tindakan bahasa dengan sikap (attitude) dan tingkah
laku sosial (social behaviour).
Misalnya: memberi selamat (congratulating), memaafkan
(apologizing), mengutuk (cursing).

(5) Expositives
Tindakan bahasa yang sulit didefinisikan karena tindakan bahasa
ini menyederhanakan ucapan maupun kata-kata agar selaras
dengan suatu argumentasi atau percakapan. Tindakan bahasa untuk
memberi keterangan yang menyangkut penguraian pendapat.
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

Seorang tokoh pragmatik, Geoffrey Leech, memberi kritik


terhadap pandangan Austin dan penerusnya, yaitu Searle. Intinya,
Leech berpendapat bahwa apakah yang dinamakan performatif itu
hanya makna verba ilokusi ataukah performatif itu daya-daya
pragmatik? (Leech, 1993:278). Mengikuti pendapat Leech, seharusnya
makna verba ilokusi merupakan bagian dari tata bahasa dan karena itu
harus dianalisis secara kategorikal, sedangkan daya ilokusi yang
merupakan bagian dari pragmatik, dianalisis secara retorikal dan
nonkategorikal.

Bagi Austin, sah tidaknya suatu ucapan performatif tergantung


pada hal-hal berikut (Bertens, 1981:59-60):
1. Suatu kalimat performatif pasti tidak sah kalau diucapkan oleh
orang yang tidak mempunyai kompetensi. Misalnya: “Saya
mengangkat saudara menjadi menteri….” Ucapan itu menjadi
sah jika yang mengucapkan seorang presiden.
2. Suatu kalimat performatif tidak sah jika orang yang
mengucapkan tidak bersikap jujur. Misalnya seorang yang
berjanji, tetapi tidak menepatinya.
3. Jika tingkah laku yang berbicara menyimpang dari apa yang
diucapkannya.
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

5. Beberapa Model Analisis


5.1 Model M.A.K. Halliday
Halliday adalah ilmuwan bahasa yang berpandangan semiotik
sosial. Bagi Halliday, bahasa yang dikaji dalam analisis wacana
adalah bahasa yang sedang menjalankan fungsi tertentu dalam
kehidupan sehari-hari baik lisan maupun tulis. Bahasa alamiah dan
spontan. Bahasa yang dapat ditemui dalam urusan kehidupan manusia.
Halliday membagi analisisnya menjadi 3 bagian
(Halliday dan Hasan, 1992:16-17), yaitu:
1. Medan Wacana (field of discourse)
Menunjuk pada hal yang sedang terjadi, pada sifat tindakan sosial
yang sedang berlangsung: apa sesungguhnya yang sedang
disibukkan oleh para pelibat wacana?
Dengan kata lain, medan wacana merupakan jawaban atas
pertanyaan : Apa yang sedang terjadi atau dibicarakan dalam
wacana?
2. Pelibat Wacana (tenor of discourse)
Menunjuk pada orang-orang yang mengambil bagian, sifat pelibat,
kedudukan dan peranan mereka.
Dengan kata lain, pelibat wacana merupakan jawaban atas
pertanyaan: Siapa yang sedang berbicara dan siapa sasaran atau
yang diajak bicara?

3. Sarana Wacana (mode of discourse)


Menunjuk pada bagian yang diperankan bahasa, hal yang
diharapkan para pelibat diperankan bahasa dalam situasi:
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

bagaimana organisasi simbolik teks, kedudukan yang dimilikinya,


dan fungsinya dalam konteks, termasuk salurannya (apakah
dilisankan atau ditulis, atau gabungan keduanya?) dan juga mode
retoriknya, yaitu apa yang akan dicapai sebuah wacana atau teks
berkenaan dengan pokok pengertian seperti bersifat membujuk,
menjelaskan, mendidik, dan sebagainya.

Dengan kata lain, mode wacana merupakan jawaban atas


pertanyaan: bagaimana gaya bahasa yang digunakan beserta
akibat-akibat yang ditimbulkannya?

5.2 Model Teun A. van Dijk


Masih mengenai model analisis teks atau wacana, Teun A. van
Dijk membuat analisis sebuah teks dengan membaginya menjadi
struktur mikro (yaitu teks itu sendiri) dan struktur makro yang berupa
struktur sosial masyarakat. Analisis wacana tidak hanya membatasi
pada struktur teks, tetapi juga bagaimana suatu wacana diproduksi.
Analisis wacana model van Dijk memperlakukan sebuah wacana
sebagai proses dalam sebuah interaksi sosial.
Mengacu pada penjelasan van Dijk, teks pada dasarnya
dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau
pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Untuk membongkar makna
tersembunyi tersebut, dibutuhkan analisis kognisi dan konteks sosial.
Pendekatan kognisi ini didasarkan pada asumsi bahwa teks tersebut
tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai
bahasa tersebut. Lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakai
bahasa (Eriyanto, 2001:260).
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

Van Dijk mengamati bahwa suatu teks terdiri atas tiga


tingkatan yang masing-masing bagiannya saling mendukung (van Dijk
1997b:33; Eriyanto, 2001:226). Pertama, struktur makro, yaitu makna
global dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topiknya.
Kedua, superstruktur, yaitu bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke
dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, yaitu makna wacana
yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yang meliputi
kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.

Van Dijk membuat elemen-elemen sebuah teks sebagai berikut:


Sruktur Teks/Wacana Hal yang Diamati Elemen
Struktur Makro Tematik Topik
(Apa yang dikatakan)
Superstruktur Skematik Skema
(Bagaimana pendapat
disusun
dan dirangkai)

Struktur Mikro Semantik Latar, Detail,


(Makna yang ingin Maksud,
ditekankan dalam teks Praanggapan
berita) Nominalisasi

Struktur Mikro Sintaksis Bentuk


(Bagaimana pendapat di Kalimat, Kata
sampaikan) Ganti
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

Koherensi
Struktur Mikro Stilistik Leksikon
(Pilihan kata yang dipakai)

Stuktur Mikro Retoris Grafis,


(Bagaimana dan dengan Metafora
cara apa penekanan Ekspresi
dilakukan)

Mengenai skema penelitian dan metode penelitian, van Dijk


membuat bagan sebagai berikut:

STRUKTUR METODE

Teks Critical linguistics


Menganalisis bagaimana
strategi wacana yang dipakai
Untuk menggambarkan
seseorang atau peristiwa
tertentu. Bagaimana strategi
tekstual yang dipakai untuk
menyingkirkan atau
memarjinalkan suatu
kelompok, gagasan, atau
peristiwa tertentu.
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

Kognisi Sosial Wawancara mendalam


Menganalisis bagaimana
kognisi wartawan dalam
mema hami seseorang atau
peristiwa tertentu yang akan
ditulis

Analisis Sosial Studi pustaka, penelusuran


Menganalisis bagaimana sejarah
wacana yang berkembang
dalam masyarakat, proses
produksi dan reproduksi
seseorang atau peristiwa
tertentu digambarkan
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

Daftar Pustaka

Austin, J.L. 1962. How to do Things with Words. Oxford: Clarendon


Press.
Bertens, K. 1981. Filsafat Barat dalam Abad XX (jilid 1). Jakarta:
Gramedia.
Carter, Ronald dkk. 2001. Working with Text: a core introduction to
language analysis. London: Routledge.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta: LKiS.
Fairclough, Norman. 2003. Analysing Discourse: Textual Analysis for
Social Research. London: Routledge.
Gee, James Paul. 2002. An Introduction to Discourse Analysis:
Theory and Method. London: Routledge.
Grice, H.P. 1975. ‘Logic and Conversation’ in (eds) P. Cole & J.
Morgan. Syntax and Semantics 3: Speech Act. New York:
Academic Press.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan
Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
SABDA dan Pustaka Pelajar.
Thompson, John B. Analisis Ideologi: Kririk Wacana Ideologi-
Ideologi Dunia, International Grandbook of Studies in the
Theory of Ideology. (Penerjemah: Haqqul Yaqin). Yogyakarta:
IRCiSoD.
Wicoyo, A. Joko. 1997. Filsafat Bahasa Biasa dan Tokohnya.
Yogyakarta: Liberty.
van Dijk, Teun A. 1997a. Discourse as Structure and Process.
Discourse Studies: A Multidisciplinary Introduction (Volume
1). London: SAGE Publications Ltd.
Handout Perkuliahan Analisis Wacana JBSI 2022
Andik Yuliyanto, M.Si., FBS, Unesa Surabaya

_______________ 1997b. Discourse as Structure and Process.


Discourse Studies: A Multidisciplinary Introduction (Volume
2). London: SAGE Publications Ltd.

Anda mungkin juga menyukai