Anda di halaman 1dari 64

Jurnal SORA Vol 3, No 2, Desember 2018 (hal 54 – 61)

SISTEM NAMA PERSONAL MASYARAKAT PRANCIS


Agnes Andryani Rosiana
Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari-ABA Bandung
andryaniagnes@gmail.com

Abstrak
Nama merupakan sebuah identitas bagi semua orang yang melekat pada diri selamanya. Selain
itu, nama personal juga menunjukkan identitas kelompok masyarakat. Karena nama personal
mengindikasi bahasa dan budaya suatu kelompok masyarakat. Berangkat dari pernyataan
tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan mengenai sistem nama
personal dalam bahasa Prancis. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa nama personal
masyarakat Prancis yang tinggal di Prancis. Sistem nama personal masyarakat Prancis terdiri
dari nama depan dan nama belakang. Selain itu, terdapat unsur yang sering muncul, yaitu
particule. Untuk mengatur sistem nama personal, pemerintah Prancis mengaturnya dalam
sebuah undang-undang, terutama masalah nama keluarga. Sehubungan dengan itu, ternyata
nama keluarga Prancis sangat unik. Secara etimologis nama personal Prancis dapat
dikelompokkan menjadi kelompok tumbuhan, profesi, ciri fisik, hewan, nama tempat dan
benda.

Kata Kunci: masyarakat Prancis, nama keluarga, sistem nama personal

Abstract
Personal name is a kind of identity that always sticks on one’s personality forever. Moreover, it
shows the identity of community. From the personal name we can indicate the language and the
culture of certain community. Start from that reason, this research tries to answer the problem
about the system of French personal name. The data of this research are the personal names of
French people who live in France. The system of French personal name consist of: first name
and surname. Besides, there is a recurring element but it doesn’t have to exist, it called
particule. To manage the personal name in France, the government draws it up in a law,
especially for surname. Talking about surname, French personal name is original.
Etymologically, French personal name is devised into: group of vegetation, profession, physical
characteristics, places, animals, and object.

Keywords: french, surname, system of personal name

1. Pendahuluan

Nama merupakan suatu identitas yang akan melekat pada diri seseorang sampai
kapanpun. Selain itu, nama juga berfungsi sebagai identitas yang sangat penting bagi
pribadi setiap orang. Nama berfungsi sebagai salah satu pembeda antara individu satu
dengan individu yang lainnya. Nama personal juga berfungsi sebagai salah satu
pembeda bagi kelompok masyarakat satu dan lainnya.Sehubungan dengan pernyataan
di atas, nama personal di berbagai daerah atau negara pasti berbeda. Bahkan, nama

54
personal di suatu daerah atau negara dapat berbeda meskipun dalam wilayah yang
sama. Hal itu dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya etnis. Perbedaan nama
personal tersebut salah satunya dapat dilihat dari unsur pembentuknya, misalnya unsur
pembentuk nama personal etnis Tionghoa berbeda dengan unsur pembentuk nama
personal etnis Jawa dan juga Etnis Sunda. Irmayani (2012: 46) menyatakan bahwa
nama masyarakat Tionghoa biasanya terdiri dari tiga unsur pembentuk, yaitu nama
keluarga (yang biasanya berada di depan), nama generasi, dan nama personal atau yang
biasa disebut nama individu, misalnya nama Lie Tjut Siang, Bong Lan Lie, Ng Tian Na.
Dalam etnis Batak juga dikenal sistem nama personal yang menggunakan nama
keluarga. Bedanya dengan etnis Tionghoa, masyarakat Batak meletakkan nama
keluarga di belakang nama personal dan mereka hanya menggunakan dua unsur dalam
nama personalnya, yaitu nama personal dan nama keluarga, misalnya nama penyanyi
Petra Sihombing, Tika Pangabean, nama para pengecara kondang negeri ini, Ruhut
Sitompul dan Hotman Paris Hutapea. Menurut Wibowo (2001) perihal penamaan
masyarakat jawa dapat dilakukan secara arbitrer dan non arbiter. Maksudnya, cara
orang tua memberikan anama kepada anaknya dapat secara arbitrer, tidak memiliki arti
atau tidak diketahui asal-usulnya, hanya untuk membedakan dengan orang lain. Secara
non, arbitrer, maksudnya dalam memberikan nama kepada anaknya, orang tua dapat
memilihkan nama anaknya yang memiliki arti atau memiliki padanan leksikon lain,
mengandung tujuan, harapan, cita-cita, atau menggambarkan aspek historisitas
kelahiran anaknya.
Serupa dengan nama personal masyarakat Batak dan Tionghoa, orang Eropa,
khususnya orang Prancis juga menyandang nama keluarga. Terdapat dua unsur dalam
nama personal Prancis, yaitu nama depan, atau yang disebut prénom dan nama belakang
yang disebut nom. Orang Prancis juga mengenal istilah nom dengan sebutan nom de
famille atau nama keluarga, misalnya nama François Hollande, François merupakan
nama depan, dan Hollande merupakan nama keluarga.
Selain sebagai identitas diri, nama merupakan identitas suatu masyarakat atau
etnis karena nama menggambarkan pula kebudayaan suatu masyarakat. Karena
pentingnya nama, Prancis memandang nama bukanlah suatu hal yang sepele, maka dari
itu pemerintah Prancis menganggap perlunya memperhatikan perihal pemberian nama.
Terdapat aturan dalam masyarakat baik itu aturan tertulis dan aturan tidak tertulis
mengenai pemberian nama. Atas dasar itulah maka disusunlah sebuah undang-undang
yang mengatur perihal pemberian nama, khususnya nama keluarga.
Mengenai nama keluarga, terdapat nama-nama keluarga masyarakat Prancis yang
sangat unik apabila ditelisik dari etimologinya, misalnya nama Choux, Boulanger,
Dupont, Dubois, Lenoir, Leblanc, Petit, Grand, dan lain sebagainya. Karena ternyata
nama-nama tersebut selain memiliki makna, juga meiliki nilai historis bagi
pendahulu/moyang si empunya nama.

55
2. Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan
pertama adalah pengumpulan data. Data bersumber dari buku-buku atau jurnal yang di
dalamnya terdapat pengarang atau peneliti berkebangsaan Prancis, pelancong Prancis
yang datang ke Yogyakarta, atlet-atlet Prancis, politisi Prancis, dan juga laman
genealogi. Setelah data terkumpul, tahapan yang kedua adalah analisis data, dan tahapan
terakhir setelah analisis data yaitu penyajian hasil analisis data. Setelah tahapan analisis
data tahapan selanjutnya adalah verifikasi terhadap penutur bahasa Prancis, dilakukan
guna memperoleh validasi terhadap data yang telah dianalisis.

2.1 Teknik Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, data dikumpulkan dengan metode simak.


Metode simak menurut Sudaryanto (1993) terdiri atas beberapa teknik dasar. Dalam
penggunaannya metode Simak dipilih dengan menggunakan teknik sadap sebagai teknik
dasarnya. Data disadap dari sumber-sumber seperti jurnal, koran, novel, buku-buku
yang berbahasa Prancis yang didalamnya terdapat nama-nama orang Prancis,
wawancara terhadap beberapa pemandu wisata berbahasa Prancis guna mengumpulkan
nama-nama tamu mereka, dan sumber laman genealogi berbahasa Prancis. Data yang
disadap dipilih mulai dari tahun 1900-2013. Obyek kajian adalah nama personal
masyarakat Prancis yang menggunakan Bahasa Prancis.

2.2 Teknik Analisis Data

Tahapan analisis data dilakukan dengan metode padan ekstralingual. Metode ini
merupakan metode analisis data yang menghubungkan permasalahan bahasa dengan
hal-hal di luar bahasa, dalam hal ini adalah budaya masyarakat Prancis (Mahsun, 2005:
114). Nantinya data-data yang berupa nama keluarga akan dihubungkan dengan budaya
masyarakat Prancis.

3. Hasil dan Pembahasan

Setiap bahasa memiliki sistem nama personal, khususnya nama orang yang
berbeda beda. Masyarakat Jawa memiliki sistem nama diri yang khas. Uhlenbeck dalam
Wibowo (2001) menyebutkan bahwa mengenai pemberian nama, masyarakat Jawa tidak
ada aturan/perumusan kaidah yang ketat mengenai hal itu. Karena penamaan merupakan
bagian dari suatu lambang, maka lambang itu pun dapat bersifat arbitrer. Berbeda
halnya dengan sistem nama personal dalam masyarakat Prancis. Dalam bahasa Prancis
nama personal memiliki aturan tertentu yang sudah menjadi kesepakatan sejak lama
dan harus diikuti oleh masyarakat Prancis. Terdapat dua unsur yang wajib ada, yaitu
nama depan dan nama belakang. Nama depan atau disebut juga first name dalam bahasa
Inggris dan prénom dalam bahasa Prancis merupakan nama yang letaknya di depan
(sebelum nama belakang).

56
3.1 Nama Depan Masyarakat Prancis

Nama depan di Prancis dapat diisi dengan nama baptis atau non-baptis. Sebagian
besar masyarakat Prancis menjadikan nama baptis sebagai nama depan mereka karena
sebagian besar penduduk di sana merupakan pemeluk agama Katolik. Beberapa nama
baptis di antaranya Michelle, Alexandre/Alexandra, Monique, Dominique, dan Marie.
Nama-nama tersebut tergolong nama yang sering diberikan ketika pembaptisan. Nama
non-baptis juga tidak jarang dijumpai dalam nama depan bahasa Prancis, misalnya nama
Karim, Fleur, dan Benoit. Nama Karim merupakan nama personal dalam bahasa Arab,
Fleur dan Benoit merupakan nama personal Prancis yang bukan merupakan nama santa,
dan merupakan leksikon dari bahasa Prancis yang bermakna ‘bunga’ jadi bukan
merupakan nama baptis. Masyarakat Prancis cenderung menggunakan nama depan yang
sudah lazim ada dalam masyarakat. Ada pula orang tua Prancis yang memberikan nama
depan yang tidak lazim dalam masyarakat Prancis seperti nama Karim dan Kirana.
Kedua nama tersebut disandang oleh orang Prancis, namun bukan berasal dari bahasa
Prancis. Karim berasal dari bahasa Arab, Kirana berasal dari bahasa Indonesia. Dahulu
orang hanya membutuhkan nama depan saja. namun karena banyaknya yang
menyandang suatu nama membuat orang bingung mengenai referen dari nama-nama
yang memiliki banyak penyandang. maka dari itu dibutuhkan sesuatu yang lain untuk
memanggil atau menyebut seseorang selain nama depan, orang yang dimaksud/referen
tidak tertukar (Danesi, 2011: 120-121).

3.2 Nama Belakang Masyarakat Prancis

Unsur yang kedua yang wajib ada dalam nama personal bahasa Prancis adalah
nama belakang atau surname atau nom. Nama belakang dalam bahasa Prancis wajib
diisi dengan nama keluarga (nom de famille). Nama keluarga merupakan nama yang
diberikan oleh orang tua kepada keturunan, dalam artian ini dapat diturunkan kepada
anak, cucu, cicit dan seterusnya. Selain itu, nama keluarga merupakan nama yang
disandang oleh sebuah keluarga yang digunakan untuk mebedakan suatu keluarga
dengan keluarga yang lainnya dalam kelompok sosial. Nama yang diturunkan dari Ayah
di kenal dengan sebutan patronyme dan nama yang diturunkan dari ibu disebut
matronyme. Dalam sistem nama personal masyarakat Prancis, nama belakang dapat
berasal dari Ayah, Ibu atau kombinasi keduanya yang susunannya dapat diatur oleh
orang tua. Aturan tersebut tertuang dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang
Nomor 2003-516 Tanggal 18 Juni 2003 mengenai pelimpahan nama keluarga. Dalam
undang-undang tersebut terdapat aturan bagaimana orang tua harus memberikan nama
keluarga kepada anaknya. Garis besar aturan yang terdapat dalam undang-undang
tersebut menyebutkan bahwa orang tua dapat memberikan nama keluarga ayah, ibu atau
gabungan antara nama keluarga keduanya yang susunannya dapat diatur sedemikian
rupa oleh orang tua.
Terkait nama keluarga kombinasi, seorang anak dapat mempunyai nama keluarga
kombinasi atau ganda. Nama keluarga ganda yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
terdapat nama keluarga yang lebih dari satu dalam nama personal yang disandang oleh
seseorang. Biasanya nama keluarga ganda dimiliki oleh seseorang yang nama

57
keluarganya gabungan antara nama keluarga ayah dan juga ibunya. Nama Isaline Sager-
Weider, Sager-Weider merupakan nama keluarga ganda yang ditandai dengan tanda
penghubung (-). Kemudian pada nama personal Louisse De La Baume Le Blanc, nama
keluarga dari nama personal tersebut adalah De La Baume Le Blanc. Hal itu ditandai
dengan adanya partikel de la dan le. Partikel merupakan salah satu unsur yang sering
muncul dalam nama keluarga. Nama selanjutnya yang merupakan nama keluarga ganda
adalah Kirana Cipta Montana Sasmi, merupakan anak dari penyanyi Anggun Cipta
Sasmi. Cipta Montana Sasmi merupakan nama keluarga dari Kirana. Nama keluarga
tersebut merupakan nama gabungan dari nama belakang ayahnya, yaitu Montana dan
nama belakang ibunya yaitu Cipta Sasmi.
Selain kedua unsur yang wajib ada tersebut (nama depan dan nama belakang),
terdapat pula satu unsur yang sering muncul dalam nama personal masyarakat Prancis.
Meskipun unsur ini sering muncul, unsur ini bersifat tidak wajib ada dalam nama
personal dalam bahasa Prancis. Unsur tersebut bernama particule ‘pertikel’. Partikel
dalam nama personal terletak dalam nama belakang. Partikel yang ditemukan dalam
nama personal dalam bahasa Prancis terdapat dua macam, yaitu berupa article defini (le
dan la), misalnya nama belakang Lefort dan Laroche. Selanjutnya terdapat partikel
berupa article contracté (de, du, de la, dan des), misalnya nama belakang De Baubigny,
Dubois, De La Baume, dan Deschamps.

3.3 Keunikan Nama Belakang Masyarakat Prancis

Setiap bahasa memiliki keunikan masing-masing, salah satu keunikan yang


dimiliki oleh bahasa Prancis adalah sistem nama personal. Nama personal dalam bahasa
Prancis apabila dirunut secara etimologis dapat berasal dari lingkungan disekitar mereka
atau sesuatu yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari penyandangnya (Dauzat, 1951).
Dari data yang diperoleh, nama keluarga masyarakat Prancis dapat digolongkan menjadi
kelompok tumbuhan, profesi, ciri fisik, hewan, nama tempat dan benda.
Nama keluarga yang berasal dari kelompok tumbuhan apabila dilihat dari kata
pembentuknya terdapat kata-kata yang apabila diartikan terdapat nama tumbuhan di
dalamnya. seperti nama keluarga Dubois. Nama keluarga ini berasal partikel du dan kata
bois yang bermakna ‘kayu’. Nama ini merupakan salah satu nama keluarga yang lazim
disandang oleh masyarakat Prancis. Secara etimologis, nama ini mengindikasikan
bahwa orang atau keluarga yang menyandang nama ini tinggal di tempat yang banyak
terdapat kayu. Bisa jadi juga keluarga ini tinggal atau berprofesi sebagai penjaga hutan.
Jadi keluarga tersebut dijuluki famille du bois ‘keluarga (yang tinggal di dekat) kayu’.
selain nama dubois terdapat nama keluarga lain yaitu Choux. Nama ini berasal dari kata
Choux yang bermakna ‘Kubis’. Nama keluarga Choux berasal dari kata choux ‘kubis’
atau ‘kol’. Nama ini mengindikasikan bahwa dulunya moyang dari penyandang nama
ini merupakan keluarga petani atau penjual kubis. Kemungkinan yang lain. dapat juga
berarti orang yang tinggal di daerah Choux, Departement Jura. Beberapa nama keluarga
lain yang tergolong nama keluarga yang berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan di
antaranya adalah Florence (berasal dari nama bahasa Latin Florens yang bermakna
‘yang berbunga” atau ‘yang berkembang’); Poirier yang bermakna ‘pohon buah pir’,
Sapin yang bermana ‘pohon cemara’.

58
Selain nama keluarga yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, terdapat pula nama
keluarga yang berasal dari kelompok profesi. beberapa nama keluarga dari kelompok ini
di antaranya Barbier ‘tukang cukur’, Boulanger ‘pembuat roti’, dan Marchand
‘pedagang’. nama Barbier misalnya berasal dari kata barbe yang bermakna ‘brewok’,
mendapat akhiran –ier yang menyatakan profesi. besar kemungkinan dulu moyang dari
penyandang nama ini berprofesi sebagai tukang cukur. begitupun dengan nama
Boulanger dan Marchand, dapat diindikasikan bahwa moyang dari penyandang nama
tersebut merupakan pembuat roti atau pedagang.
Kelompok selanjutnya adalah nama keluarga yang berasal dari ciri-ciri fisik.
Nama keluarga yang dapat digolongkan dalam kelompok ini adalah Grand ‘Tinggi”,
Beaugrand ‘Tampan Tinggi’ Lefort ‘Si Kuat’, Lenoir ‘Si Hitam’, Blanc/Leblanc
‘Putih/Si Putih’, Roux/Leroux ‘(Rambut) Merah/Si (Rambut) Merah’, Beau ‘Tampan’,
Court/Delacourt ‘’Pendek/Si Pendek’, Le Sourd ‘Si Tuli’, Petit ‘Kecil’. Nama-nama
tersebut apabila dilihat dari etimologinya merupakan julukan bagi si penyandang nama.
Hal itu dapat dikaitkan dengan sejarah nama keluarga. Dikatakan bahwa dahulu tidak
dikenal istilah nama keluarga. Hanya ada satu nama. Namun karena nama tertentu
memiliki banyak penyandang, maka untuk membedakan beberapa orang yang
menyandang nama sama adalah dengan menambahkan satu unsur lagi di belakang nama
mereka, salah satu di antaranya adalah pemberian julukan. Nama keluarga yang berasal
dari ciri-ciri fisik ini sering kali berawal dari julukan atas ciri fisik yang dimiliki oleh
penyandangnya. Kelompok nama keluarga yang berasal dari ciri fisik sering kali
berawal dari sebuah julukan atas ciri fisik yang dimiliki oleh penyandangnya. Misalnya
karena ia memiliki tubuh yang kecil maka ia dijuluki Petit, pemilik tubuh yang tinggi
maka ia dijuluki Grand.
Hewan juga bisa menjadi nama keluarga masyarakat Prancis. Mereka yang
menyandang nama keluarga dari elompo hewan memiliki nilai historiss yang berbeda-
beda. Nama keluarga Chevalier misalnya. Apabila ditelisik nama ini berasal dari kata
cheval ‘kuda’. Secara etimologis, hal itu berhubungan dengan sejarah Prancis. Kata
chevalier sendiri apabila dicari dalam kamus berarti ‘bangsawan kesatria’. Penggunaan
nama Chevalier sebagai nama keluarga di Prancis tak lepas dari sejarah Prancis yang
pada jaman dahulu kesatrianya menggunakan kuda sebagai kendaraan militer.
Kemudian sejak saat itu bangsawan kesatria disebut chevalier, dan banyak di antara
bangsawan tersebut yang menjadikan sebutan itu menjadi nama keluarga bagi mereka.
Bourdon juga merupakan contoh lain dari nama keluarga dari kelompok ini. Bourdon
berasal dari kata bourdon itu sendiri. Salah satu arti dari Bourdon adalah ‘lebah’ atau
‘kumbang’. Kemungkinan penyandang nama ini memiliki profesi yang berhubungan
dengan lebah, dapat berarti peternak lebah, pencari madu, atau penjual lebah/madu.
Selanjutnya, Papillon merupakan nama keluarga yang berati ‘kupu-kupu’. Alasan
dibalik pemilihan hewan ini sebagai nama keluarga karena hewan ini merupakan simbol
dari légèreté. Kata légèreté tersebut dalam (Arifin dan Soemargono, 2007) berarti
‘ringan’. Apabila dikaitkan dengan sifat seseorang, maka merupakan simbol dari
‘keluwesan’, ‘ringan tangan’, dan apabila dikaitkan dengan gaya bicara, maka dapat
berarti ‘kelembutan’ dan ‘kehalusan’ dalam bertutur kata.
Nama tempat juga dapat menjadi pilihan bagi masyarakat Prancis untuk dijadikan
nama keluarga. Yang dimaksud dari nama keluarga dari kelompok tempat adalah nama-

59
nama keluarga yang diambil dari nama tempat, misalnya diambil dari kata yang
dijadikan nama tempat, misalnya Dupont ‘jembatan’, lacombe ‘lembah’, Deschamps
‘lahan pertanian’ dan lain sebagainya. Salah seorang penyandang nama dari kelompok
ini adalah Didier Deschamps, pelatih Timnas Prancis. Nama Deschamps berasal dari
kata champs dalam bahasa Prancis yang berati ‘lahan’. Nama keluarga ini memiliki dua
kemungkinan secara etimologis.Kemungkinan pertama nama ini awalnya disandang
oleh orang yang tinggal di pedesaan di mana banyak lahan ditemukan di sana.
Kemungkinan kedua yaitu orang yang tinggal di wilayah yang bernama Champ di Isère,
Maine-et-Loire atau berasal dari wilayah yang bernama Champs di Seine-et-Marne.
Benda-benda juga juga tak luput dijadikan nama keluarga olehh masyarakat
Prancis. Kelompok nama keluarga yang tergolong dalam kelompok ini merupakan nama
keluarga yang di dalamnya mengandung unsur atau kata benda. Nama keluarga yang
tergolong dalam kelompok benda adalah Bonnet, Leboeuf, dan Tissot. Bonnet
merupakan nama keluarga Prancis yang berasal dari kata bonnet itu sendiri. Nama ini
memiliki arti ‘topi’ (topi musim dingin yang biasanya dipakai hingga menutupi telinga).
Arti yang kedua ‘penjual bonnet’.Nama keluarga Leboeuf berasal dari kata benda boeuf
dalam bahasa Prancis yang berarti ‘daging sapi’. Mendapat partikel le yang dapat
dipadankan dengan ‘si’ dalam bahasa Indonesia. Nama ini dulunya disandang oleh
orang yang berprofesi sebagai penjual daging sapi. Nama keluarga Tissot merupakan
nama yang berasal dari kata tissu yang berarti ‘kain’. Nama, ini diperuntukkan kepada
orang-orang yang memiliki pekerjaan sebagai pembuat kain atau penenun (dalam
bahasa Prancis tisserand).

4. Simpulan

Dalam penelitian ini ditemukan hasil bahwa sistem nama personal dalam bahasa
Prancis terdiri dari nama depan dan nama belakang. Kedua unsur tersebut wajib ada
dalam setiap nama warga negara Prancis. Hal itu telah ditetapkan dalam sebuah undang-
undang. Undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa pada saat ini anak yang telah
lahir berhak mendapatkan nama dari orang tuanya, terlebih nama keluarga. Dalam
menentukan nama keluarga, anak dapat menyandang nama keluarga ayah, ibu atau nama
keluarga dari keduanya.
Temuan selanjutnya adalah nama-nama keluarga Prancis yang unik, dan apabila
ditelusuri secara etimologis, dapat digolongkan menjadi 6 kelompok nama keluarga (1)
kelompok tumbuhan, (2) kelompok profesi, (3) kelompok ciri fisik, (4) kelompok
hewan, (5) kelompok nama tempat, dan (6) kelompok benda.

5. Daftar Pustaka

Arifin, W. dan Soemarfono, F. (2007). Kamus Perancis-Indonesia. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.
Danesi, M. (trad.) (2011). Pesan, Tanda dan Makna. Yogyakarta, Indonesia : Jalasutra.
Dauzat, A. (1951). Dictionaire Étymologique Des Noms de Famille et Prénoms de
France. Paris, France: Librairie Larousse.

60
Irmayani. (2012). Sistem Penamaan Nama personal Etnik Tionghoa di Kota Pontianak
Provinsi Kalimantan Barat. (Master’s Thesis). UGM, FIB, Yogyakarta, Indonesia.
Mahsun. (2005). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, Metode dan Tekniknya.
Bandung, Indonesia : PT Raja Grafindo Persada.
Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta, Indonesia :
Duta Wacana University Press.
Surname and First name Act 2003-516. Diperoleh dari: http://vosdroits.service-
public.fr/particuliers/N151
Wibowo, M.R. (2001). Nama personal Etnik Jawa. Jurnal Humaniora, 8 (1), 45-55.

61
Jurnal SORA Vol 3, No 2, Desember 2018 (hal 62 – 74)

ANALISIS PENERJEMAHAN FRASE: STUDI KASUS


PADA PENERJEMAHAN FRASE BAHASA JEPANG KE
BAHASA INDONESIA OLEH MAHASISWA
STBA YAPARI-ABA BANDUNG
Asteria Permata Martawijaya & Yayat Hidayat
Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari-ABA Bandung
asteria@stba.ac.id

Abstrak
Pada penelitian ini, peneliti menganalisis hasil penerjemahan frase dari bahasa Jepang ke dalam
berbahasa Indonesia oleh mahasiswa semester VI STBA Yapari-ABA Bandung. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif dengan cara mendeskripsikan dan menginterpretasikan apa
yang ada di lapangan, untuk melihat kondisi, proses yang sedang berlangsung atau
kecenderungan yang tengah berkembang. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa
kecenderungan keberterimaan penerjemahan frase nomina-nomina, frase adjektiva-nomina dan
frase verba-nomina oleh mahasiswa semester VI STBA Yapari-ABA Bandung berbeda-beda
berdasarkan kata dan kalimatnya. Kecenderungan ketidakberterimaan hasil terjemahan
mahasiswa tersebut disebabkan kurangnya penguasaan bahasa, baik bahasa sumber maupun
bahasa sasaran. Dari segi struktur frase, berdasarkan teori Catford (1965), para mahasiswa
tersebut cenderung melakukan pergeseran bentuk wajib dan otomatis dalam terjemahannya.

Kata kunci: Frase Adjektiva, Frase Nomina, Frase Verba, Penerjemahan

Abstract
In this study, researchers analyzed the translated phrases from Japanese into Indonesian done
by the sixth semester students of STBA Yapari-ABA Bandung. This research uses descriptive
method by describing and interpreting what is in the field, to see conditions, ongoing processes
or developing trends. The analysis results concluded that the translation’s tendency of noun-
noun phrases, adjective-noun phrases and phrase verbs done by the sixth semester students of
STBA Yapari-ABA Bandung is relative based on the words and sentences. The unacceptability
tendency of the translation results is caused by the lack of understanding of language, both on
the source language and the target language. In terms of phrase structure, the students tend to
shift the compulsory and automatic form in the translation.

Keywords: Adjective Phrases, Noun Phrases, Verb Phrases, Translation

1. Pendahuluan

Penerjemahan merupakan keterampilan berbahasa yang cukup sulit untuk


dikuasai. Untuk dapat menghasilkan terjemahan yang baik dan benar, penerjemah harus
menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran dengan baik. Seorang penerjemah yang
hanya menguasai bahasa sumber saja akan kesulitan untuk menuangkan pemahamannya
akan sebuah teks ke dalam bahasa sasaran. Sebaliknya jika penerjemah hanya
menguasai bahasa sasaran saja, maka besar kemungkinan hasil terjemahannya tidak bisa

62
menyampaikan pesan yang disampaikan pada teks aslinya karena ada bagian-bagian
yang tidak terpahami dan akhirnya tidak bisa diterjemahkan.
Begitupun halnya dalam penerjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia,
penerjemah harus menguasai struktur dan kaidah bahasa Jepang dan bahasa Indonesia
dengan baik agar dapat menghasilkan terjemahan yang baik dan benar. Bahasa Jepang
dan bahasa Indonesia memiliki struktur yang cukup berbeda, misalnya dalam bahasa
Indonesia struktur kalimat yang lazim digunakan adalah pola Subjek-Predikat-Objek
sementara pada bahasa Jepang yang digunakan adalah pola Subjek-Objek-Predikat.
Kesalahan pemahaman pola kalimat bahasa sumber atau kesalahan penggunaan pola
kalimat bahasa sasaran saat proses penerjemahan dapat menghasilkan terjemahan yang
rancu dan sulit untuk dipahami oleh pembaca. Karenanya untuk menjadi penerjemah
yang baik, calon penerjemah harus memahami dan menguasai struktur kata dan kalimat
bahasa sumber dan bahasa sasaran dengan baik.
Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis hasil penerjemahan frase dari bahasa
Jepang ke dalam berbahasa Indonesia oleh mahasiswa semester VI STBA Yapari ABA
Bandung. Karena wujud objek kajian berupa wacana tulis, maka yang akan dianalisis
meliputi tataran morfologi dan sintaksis. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasikan kecenderungan mahasiswa semester VI STBA Yapari-ABA
Bandung dalam menerjemahkan frase nominal dengan modifier nomina, adjektiva dan
verba.

2. Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan cara mendeskripsikan dan


menginterpretasikan apa yang ada di lapangan, untuk melihat kondisi, proses yang
sedang berlangsung atau kecenderungan yang tengah berkembang. Data penelitian
didapatkan dari hasil penerjemahan frase dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia oleh
mahasiswa semester VI STBA Yapari-ABA Bandung.

2.1 Teknik Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan untuk mengambil data berupa hasil penerjemahan


kalimat-kalimat yang mengandung frase nominal dengan modifier nomina, adjektiva
dan verba bahasa Jepang yang diambil dari buku Minna no Nihongo ke bahasa
Indonesia. Penerjemahan dilakukan oleh mahasiswa semester VI STBA Yapari-ABA
Bandung. Buku Minna no Nihongo dijadikan acuan karena buku ini digunakan pada
pembelajaran bahasa Jepang dasar di STBA Yapari-ABA Bandung sehingga materi dan
tingkat kesulitannya dianggap sudah dikuasai oleh responden. Responden berjumlah 78
orang. Pada kuesioner diberikan 36 kalimat yang mengandung frase nonimal dengan
modifier nomina, adjektiva dan verba.

2.2 Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul diolah secara kualitatif dan dikaji dengan mempergunakan
teknik kajian yang relevan. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui tiga
kegiatan analisis yakni sebagai berikut.

63
a. Reduksi Data
Dalam tahap ini peneliti melakukan seleksi data dan menggolongkan data. Dari 36
data hasil penerjemahan frase digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu data
penerjemahan frase nomina-nomina, frase adjektiva-nomina dan frase verba-
nomina. Setelah dikelompokkan dilakukan reduksi data, peneliti mengambil 3
contoh frase dari tiap-tiap bagian untuk kemudian dianalisis kecenderungan
penerjemahannya. Reduksi data dilakukan berdasarkan jenis kata yang dianggap
telah mewakili dari tiap bagian kelompok.
b. Penyajian Data
Pada penelitian ini, data yang telah direduksi disajikan dalam bentuk tabel untuk
mempermudah proses analisis, terutama dalam menentukan keberterimaan hasil
terjemahan. Data yang telah direduksi disajikan dalam bentuk tabel untuk
mempermudah proses analisis, terutama dalam menentukan keberterimaan hasil
terjemahan. Keberterimaan hasil terjemahan dipilah berdasarkan terjemahan yang
diharapkan dengan patokan berikut.

Kesesuaian
1 sama persis
2 beda
3 unsur pertama sama
4 unsur kedua sama
5 beda tapi berterima

Struktur Frase
1 Menerangkan - Diterangkan
2 Diterangkan - Menerangkan
3 Tidak berbentuk Frase

c. Penarikan Simpulan
Penarikan simpulan dilakukan dengan memperhatikan perolehan data dengan
hasil analisis yang sesuai dengan rumusan masalah yang akan dijawab, hingga
akhirnya diperoleh kesimpulan yang komprehensif.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Penerjemahan Frase Nomina-Nomina

a. Frase “Amerikajin no sensei” 「アメリカ人の先生」


Terjemahan yang diharapkan dari frase “Amerikajin no sensei”「アメリカ人の
先生」adalah “guru orang Amerika”. Terjemahan ini tidak mengalami perubahan
bentuk dan makna, menyesuaikan makna harfiahnya saja dalam bentuk frase.

64
Tabel 1 Data Terjemahan Frase “Amerikajin no sensei”「アメリカ人の先生」
Jumlah Struktur
Terjemahan Responden Kesesuaian
Responden Frase
53 guru orang Amerika 1 2
1 pengajar orang amerika 5 2
1 guru berkewarganegaraan Amerika 5 2
1 guru yang berkewarganegaraan Amerika 3 2
1 guru yang orang amerika 3 2
guru yang merupakan orang Amerika
3 2
1 Serikat
6 guru dari Amerika 3 2
3 guru yang berasal dari Amerika 3 2
1 seorang guru dari Amerika 2 2
1 seorang guru amerika 2 2
3 guru Amerika 3 2
2 guru dari orang amerika 3 2
1 guru berasal dari Amerika 3 2
1 guru asing Amerika 3 2
1 native speaker dari Amerika 2 2
1 pengajar yang berasal dari Amerika 2 2

Penerjemahan frase “Amerikajin no sensei”「アメリカ人の先生」dijawab oleh


78 orang responden. Diperoleh data bahwa sebanyak 67,9% responden menerjemahkan
frase ini menjadi “guru orang Amerika”. Hal ini sesuai dengan terjemahan yang
diharapkan. Sejumlah 1,3% responden menerjemahkan frase ini menjadi “pengajar
orang amerika”, secara struktur dan makna dapat berterima karena guru dan pengajar
mempunyai makna yang sama. Sehingga 69,2% responden menghasilkan terjemahan
yang berterima secara struktur dan makna.
Sejumlah 1.3% responden menerjemahkan frase ini dengan pengembangan yang
mendekati terjemahan harapan, yaitu menjadi “guru berkewarganegaraan Amerika”.
Walaupun secara struktur frase bahasa Indonesia berterima, namun secara makna
mengalami pergeseran, karena tidak semua orang Amerika berkewarganegaraan
Amerika. Sehingga terjemahan ini tidak berterima.
Sejumlah 29,4% responden lainnya menghasilkan terjemahan yang bervariasi.
Ada yang menambahkan kata “dari”, “yang berasal dari”, “yang berkewarganegaraan”,
“yang merupakan orang” “yang”, “berasal dari”, “asing”, setelah kata guru. Ada juga
yang menambahkan kata “seorang” sebelum kata guru. Hal-hal tersebut membuat
terjemahan frase secara struktur menjadi rancu dan sehingga tidak berterima.
Penambahan kata ini didasarkan pada kebiasaan dan tidak sedikit dipengaruhi oleh
penggunaan bahasa lisan yang memiliki karakteristik tidak baku secara struktur. Selain
itu, ada pula responden yang menggunakan istilah native speaker untuk menerjemahkan
kata 先 生 . Secara makna ada pergeseran makna pada terjemahan native speaker,
karenanya terjemahan ini tidak berterima.
Dari segi struktur frase, 100% responden mengubah struktur frase dengan tepat
yaitu dengan perubahan struktur MD menjadi DM. Tidak terdapat pergeseran bentuk
dalam penerjemahan frase ini. Semua terjemahan responden tetap dalam bentuk frase.

65
b. Frase “Hachijihan no densha” 八時半の電車
Terjemahan yang diharapkan dari frase “hachijihan no densha”「 八時半の電車」
adalah “kereta pukul 8.30”. Terjemahan ini tidak mengalami perubahan bentuk dan
makna, menyesuaikan makna harfiahnya saja dalam bentuk frase.

Tabel 2 Data Terjemahan Frase “Hachijihan no Densha” 「八時半の電車」


Jumlah Struktur
Terjemahan Responden Kesesuaian
Responden Frase
15 kereta pukul 8.30 1 2
2 kereta pukul delapan tiga puluh 5 2
4 kereta yang berangkat pukul 8.30 5 2
7 kereta jam setengah sembilan 3 2
2 kereta jam setengah 9 3 2
6 kereta jam 8.30 3 2
1 kereta api jam setengah sembilan 3 2
1 kereta api pukul 8.30 5 2
1 Kereta yang berangkat pada jam 8.30 3 2
1 Kereta yang berangkat pada jam 08.30 3 2
1 kereta dengan keberangkatan jam 08.30 3 2
1 Kereta api dengan keberangkatan pukul 8.30 5 2
1 kereta dengan jam keberangkatan jam 8.30 3 2
2 kereta pada pukul 08.30 5 2
4 Kereta pada pukul setengah sembilan 5 2
2 Kereta pada jam 8.30 3 2
3 Kereta di jam setengah sembilan 3 2
1 Keretanya pukul setengah sembilan 5 2
3 Kereta yang jam 8.30 3 2
1 Kereta yang pukul 8.30 5 2
1 kereta yang pukul setengah 9 5 2
1 kereta yang pada pukul setengah 9 (pagi) 5 2
1 kereta yang pergi pada waktu 8.30 3 2
2 kereta pukul setengah delapan 3 2
1 kereta jam setengah delapan 3 2
1 kereta pukul setengah 8 3 2
1 Kereta jam setengah 8 3 2
2 Kereta pukul setengah delapan 3 2
Kereta yang dijadwalkan datang pada pukul
5 2
1 08.30
1 kereta penuh pada jam setengah 9 3 2
1 jam 8.30 di kereta 2 1
1 pukul 8:30 2 3
1 Jam 08.30 kereta api 2 1
1 Bis pada jam 8.30 2 2

66
Pada penerjemahan frase “hachijihan no densha” 「 八 時 半 の 電 車 」 terdapat
banyak variasi terjemahan yang dihasilkan oleh responden. Terjemahan frase sesuai
harapan yaitu “kereta pukul 8.30” ditulis oleh 19% responden. Pada data ditemukan
juga perbedaan cara penulisan 8.30 dengan menggunakan angka, sebanyak 2,6%
responden menuliskan terjemahannya menjadi “kereta pukul delapan tiga puluh”. Ada
pula 5,1% responden yang menerjemahkan frase ini dengan menambahkan “yang
berangkat” menjadi “kereta yang berangkat pukul 8.30”. Perbedaan cara penulisan dan
tambahan kata tersebut tidak mengubah makna yang disampaikan, sehingga bisa
dianggap berterima. Sehingga jumlah responden yang hasil terjemahannya berterima
secara struktur dan makna menjadi 26,7%.
Responden lainnya dengan persentase 73% menerjemahkan frase dengan
mengembangkan terjemahannya, dengan kata “yang”, “pada”, “di” dan sebagainya dan
menggunakan diksi “jam” sebagai pengganti pukul. Penambahan kata ini disebabkan
karena kebiasaan penggunaan dalam bahasa lisan. Secara struktur hal ini membuat
terjemahan frasenya menjadi kurang berterima. Ada juga responden yang
menerjemahkan 八時半 menjadi pukul setengah delapan sehingga terjemahannya secara
makna salah.
Dari segi struktur frase, 97% responden mengubah struktur frase dengan tepat
yaitu dengan perubahan struktur MD menjadi DM. Sementara 3% orang responden
tidak mengubah struktur frasenya, yaitu “jam 8.30 di kereta” dan “Jam 08.30 kereta api”
sehingga secara struktur bahasa Indonesia, terjemahannya menjadi rancu. Tidak terdapat
pergeseran bentuk dalam penerjemahan frase ini. Semua terjemahan tetap dalam bentuk
frase.

c. Frase “Okosan no namae” お子さんの名前


Terjemahan yang diharapkan dari frase “okosan no namae”「 お子さんの名前」
adalah “nama anak anda”. Terjemahan ini tidak mengalami perubahan bentuk dan
makna, menyesuaikan makna harfiahnya saja dalam bentuk frase.

Tabel 3 Data Terjemahanan Frase “okosan no namae”「お子さんの名前」


Struktur
Jumlah Responden Terjemahan Responden Kesesuaian
Frase
23 nama anak anda 1 2
1 nama bayi anda 5 2
3 nama anakmu 3 2
1 nama anak kamu 3 2
8 nama untuk anak anda 3 2
1 nama untuk bayi anda 3 2
14 nama anaknya 3 2
5 nama untuk anaknya 3 2
2 nama untuk anak kamu 3 2
1 nama untuk anakmu 3 2
7 nama anak 3 2
5 nama untuk anak 3 2
1 nama untuk bayi 3 2
1 nama dari sang bayi 3 2

67
1 nama anak tersebut 3 2
1 nama untuk anak itu 3 2
1 nama oko 3 2
1 Nama 2 3
1 apa nama anakmu 2 3

Pada penerjemahan frase “okosan no namae” 「 お 子 さ ん の 名 前 」 , 30%


responden menerjemahkan frase ini menjadi “nama anak anda”. Hal ini sesuai dengan
terjemahan yang diharapkan. Sejumlah 1% menerjemahkannya menjadi “nama bayi
anda” secara makna hal ini juga masih bisa berterima secara struktur dan makna.
Sehingga 31% responden terjemahannya dapat berterima. Responden lainnya sejumlah
69% menerjemahkan frase ini secara bervariasi, terutama pada kata “okosan”「お子さ
ん」 menjadi “anaknya”, “anak”, “anakmu”, “anak kamu”, “bayi”, “anak tersebut” dan
“anak itu”yang secara makna kurang tepat, karena “okosan”「お子さん」merujuk
pada anak lawan bicara yang dihormati. Sementara responden lainnya terjemahannya
tidak berterima baik secara struktur maupun makna.
Dari segi struktur frase, 97% responden mengubah struktur frase dengan tepat
yaitu dengan perubahan struktur MD menjadi DM. Sementara 1% orang responden
mengubah bentuk terjemahannya menjadi klausa pertanyaan, “apa nama anakmu” dan
menghilangkan salah unsur frase dan menerjemahkan “okosan no namae”「 お子さん
の名前」menjadi “nama” saja. Terdapat pergeseran bentuk dalam penerjemahan frase
ini oleh responden, tapi secara struktur dan makna terjemahannya salah.

3.2 Penerjemahan Frase Adjektiva-nomina

a. Frase “Chiisai mura” 「小さい村」


Terjemahan yang diharapkan dari frase “chiisai mura”「小さい村」adalah “desa
kecil”. Terjemahan ini tidak mengalami perubahan bentuk dan makna, menyesuaikan
makna harfiahnya saja dalam bentuk frase.

Tabel 4 Data Terjemahanan Frase “Chiisai mura”「小さい村」


Jumlah Struktur
Terjemahan Responden Kesesuaian
Responden Frase
53 desa kecil 1 2
14 sebuah desa kecil 5 2
2 kampung kecil 5 2
3 desa yang kecil 3 2
1 desa terpencil 3 2
1 kota yang kecil 2 2
1 desa 2 3
1 hutan kecil 4 2
2 > > >

Pada penerjemahan frase “chiisai mura” 「 小 さ い 村 」 , 68% responden


menerjemahkan frase ini menjadi “desa kecil”. Hal ini sesuai dengan terjemahan yang

68
diharapkan. 18% responden menambahkan kata “sebuah” dalam terjemahannya,
menjadi “sebuah desa kecil”, 2% menerjemahkannya menjadi “kampung kecil”,
terjemahan-terjemahan tersebut secara struktur dan berterima sehingga dapat
disimpulkan bahwa 88% responden terjemahannya berterima. 9% responden
menerjemahkan frase ini menjadi menjadi “desa yang kecil”,“kota yang kecil”, “desa”,
“hutan kecil”, dan “desa terpencil”, yang secara struktur tidak berterima. Sementara itu,
3% responden tidak mengisi terjemahan frase ini.
Dari segi struktur frase, 97% responden mengubah struktur frase dengan tepat
yaitu dengan perubahan struktur MD menjadi DM. Sementara, 3% responden tidak
mengisi terjemahan frase ini. Tidak terdapat pergeseran bentuk dalam penerjemahan
frase ini, semua tetap dalam bentuk frase.

b. Frase “genkina hito” 「元気な人」


Terjemahan yang diharapkan dari frase “genkina hito” 「 元 気 な 人 」 adalah
“orang yang bersemangat”. Terjemahan ini tidak mengalami perubahan bentuk dan
makna, menyesuaikan makna harfiahnya saja dalam bentuk frase.

Tabel 5 Data Terjemahanan Frase “genkina hito”「元気な人」


Jumlah Struktur
Terjemahan Responden Kesesuaian
Responden Frase
12 orang yang bersemangat 1 2
31 orang yang sehat 3 2
20 orang yang ceria 3 2
2 orang yang kuat 3 2
2 orang yang hebat 3 2
2 orang yang penuh semangat 3 2
1 orang yang berenergik 3 2
1 orang yang energik 3 2
1 orang yang berenergik 3 2
1 orang sehat 3 2
1 orang yang enerjik 3 2
1 seseorang yang penuh semangat 3 2
1 orangnya ceria 2 2
1 orangnya semangat 2 2
1 orangnya penuh semangat 2 2
1 orangnya bersemangat 4 2

Pada penerjemahan frase “genkina hito” 「 元 気 な 人 」 , terdapat variasi


penerjemahan yang cukup signifikan. 15% responden menerjemahkan frase ini menjadi
“orang yang bersemangat”. Hal ini sesuai dengan terjemahan yang diharapkan.
Responden lainnya menghasilkan terjemahan lain yang kurang berterima secara
makna. 40% responden menerjemahkan frase ini menjadi “orang yang sehat”.
Sedangkan 26% responden menerjemahkan frase ini menjadi “orang yang ceria”. Secara
harfiah “genkina”「元気な」memang dapat berarti sehat dan ceria, tapi makna ini
tidak sesuai dengan konteks kalimat, sehingga terjemahan ini secara makna tidak

69
berterima. Sementara sebanyak 19% responden menghasilkan variasi terjemahan yang
kurang berterima secara struktur kalimat dan pilihan diksi.
Dari segi struktur frase, 100 persen responden mengubah struktur frase dengan
tepat yaitu dengan perubahan struktur MD menjadi DM. Tidak terdapat pergeseran
bentuk dalam penerjemahan frase ini, semua tetap dalam bentuk frase.

c. Frase “sutekina boushi” すてきな帽子


Terjemahan yang diharapkan dari frase “sutekina boushi”「すてきな帽子」
adalah “topi yang bagus”. Terjemahan ini tidak mengalami perubahan bentuk dan
makna, menyesuaikan makna harfiahnya saja dalam bentuk frase.

Tabel 6 Data Terjemahanan Frase “sutekina boushi”「すてきな帽子」


Jumlah Struktur
Terjemahan Responden Kesesuaian
Responden Frase
42 topi yang bagus 1 2
3 topinya bagus 4 2
1 Ini topi yang bagus 4 2
1 Topi anak yang bagus 4 2
1 Bando yang bagus 4 2
9 topi yang indah 3 2
7 topi yang cantik 3 2
7 topi yang keren 3 2
1 topinya keren 3 2
1 topi yang sangat cantik 3 2
1 topinya cantik 2 2
1 berbagai pengalaman 2 >
3 > > >

Pada penerjemahan frase “sutekina boushi”「すてきな帽子」, 54% responden


menerjemahkan frase ini menjadi “topi yang bagus”. Hal ini sesuai dengan terjemahan
harapan. Responden lainnya sejumlah 42% menghasilkan terjemahan yang bervariasi
yang tidak berterima. Dan sebanyak 4% responden tidak menerjemahkan frase ini.
Dari segi struktur frase, 96% responden mengubah struktur frase dengan tepat
yaitu dengan perubahan struktur MD menjadi DM. Sementara, sebanyak 4% responden
tidak menerjemahkan frase ini. Tidak terdapat pergeseran bentuk dalam penerjemahan
frase ini, semua tetap dalam bentuk frase.

3.3 Penerjemahan Frase Verba-nomina

a. Frase “moeru gomi”「燃えるごみ」


Terjemahan yang diharapkan dari frase “moeru gomi”「燃えるごみ」adalah
“sampah yang dapat dibakar”. Terjemahan ini tidak mengalami perubahan bentuk dan
makna, menyesuaikan makna harfiahnya saja dalam bentuk frase.

70
Tabel 7 Data Terjemahanan Frase “moeru gomi”「燃えるごみ」
Jumlah Struktur
Terjemahan Responden Kesesuaian
Responden Frase
25 sampah yang dapat dibakar 1 2
17 sampah yang bisa dibakar 5 2
8 sampah yang dapat terbakar 3 2
13 sampah yang mudah terbakar 3 2
7 sampah yang dibakar 3 2
3 sampah yang bisa terbakar 3 2
3 sampah terbakar 3 2
2 sampah yang terbakar 3 >
1 sampah yang akan dibakar 3 2
1 sampah bakar 3 2
1 sampah organik (mudah terbakar) 3 2
2 sampah 2 2
2 > > >

Pada penerjemahan frase “moeru gomi” 「 燃 え る ご み 」 , 32% responden


menerjemahkan frase ini menjadi “sampah yang dapat dibakar”. Hal ini sesuai dengan
terjemahan yang diharapkan. 22% responden menerjemahkan frase ini menjadi “sampah
yang bisa dibakar”. Kata “dapat” dan “bisa” merupakan sinonim yang bisa saling
menggantikan maka 54% responden menghasilkan terjemahan yang berterima.
Responden lainnya, sejumah 46% menghasilkan terjemahan yang bervariasi yang tidak
berterima, terutama pada kata ”moeru” 「 燃 え る 」 ada yang menerjemahkannya
menjadi “yang dapat terbakar”, “yang bisa terbakar”, “yang mudah terbakar”, “yang
dibakar”, “terbakar”, “yang terbakar” “yang akan dibakar”, “bakar” dan “organik
(mudah terbakar)”.
Dari segi struktur frase, 94% responden mengubah struktur frase dengan tepat,
dari struktur MD menjadi DM. 3% menghilangkan salah satu unsur frase sehingga
terdapat pergeseran bentuk dalam penerjemahan frase ini, tapi dengan makna yang salah,
menjadi “sampah” saja.

b. Frase “senshuu kashita hon” 「先週貸した本」


Terjemahan yang diharapkan dari frase “senshuu kashita hon”「先週貸した本」
adalah “buku yang dipinjamkan minggu lalu”. Terjemahan ini tidak mengalami
perubahan bentuk dan makna, menyesuaikan makna harfiahnya saja dalam bentuk frase.

Tabel 8 Data Terjemahanan Frase “senshuu kashita hon”「 先週貸した本」


Jumlah Struktur
Responden Terjemahan Responden Kesesuaian Frase
6 buku yang dipinjamkan minggu lalu 1 1
7 buku yang aku pinjamkan minggu lalu 5 1
3 buku yang saya pinjamkan minggu kemarin 5 1
1 buku yang dipinjamkan pada minggu lalu 3 1
1 buku yang saya kasih pinjam minggu lalu 3 1
2 buku yang anda pinjam minggu lalu 3 1

71
29 buku yang dipinjam minggu lalu 3 1
2 Buku yang dipinjam minggu kemarin 3 1
4 buku yang dipinjam pada minggu lalu 3 1
5 buku yang dipinjam 3 1
1 buku yang dipinjam tahun lalu 3 1
1 buku yang minggu lalu 3 1
1 buku yang aku pinjamkan 3 1
2 buku yang saya pinjamkan 3 1
1 buku yang minggu lalu 3 1
1 buku minggu lalu 3 1
1 buku yang telah dikembalikan minggu lalu 3 1
1 buku yang dikembalikan minggu kemarin 3 1
1 dipinjam minggu lalu 2 3
1 pinjam minggu lalu 2 3
1 minggu lalu sudah mengembalikan 2 3
1 minggu kemarin buku yang dipinjamkan 2 3
5 > > >

Pada penerjemahan frase “senshuu kashita hon” 「 先 週 貸 し た 本 」 , 8%


responden menerjemahkan frase ini menjadi “buku yang dipinjamkan minggu lalu”. Hal
ini sesuai dengan terjemahan yang diharapkan. Responden lainnya sejumlah 8,9%
menerjemahkan frase ini menjadi “buku yang aku pinjamkan minggu lalu”, sementara
3,8% lainnya menerjemahkan frase ini menjadi “buku yang saya pinjamkan minggu
kemarin”. Walaupun polanya agak berbeda tapi secara struktur dan makna tidak
bermasalah sehingga dapat diterima. Sehingga terdapat 21% responden yang
terjemahannya berterima. Responden lainnya sejumlah 79% menghasilkan terjemahan
yang bervariasi dan kurang berterima terutama dalam penerjemahan kata “senshuu
kashita” 「 先 週 貸 し た 」 banyak responden menerjemahkannya menjadi “yang
dipinjam” secara makna terjemahan ini kurang tepat. Selain itu, banyak juga responden
yang menghasilkan terjemahan yang kurang berterima karena pola frase yang rancu.
Dari segi struktur frase, 96% responden mengubah struktur frase dengan tepat
yaitu dengan perubahan struktur MD menjadi DM. Tidak terdapat pergeseran bentuk
dalam penerjemahan frase ini, semua tetap dalam bentuk frase.

c. Frase “sankasuru hito” 「参加する人 」


Terjemahan yang diharapkan dari frase “sankasuruhito”「参加する人」adalah
“peserta”. Terjemahan ini tidak mengalami perubahan bentuk dan makna,
menyesuaikan makna harfiahnya saja dalam bentuk frase.

Tabel 9 Data Terjemahanan Frase “sanka suru hito”「参加する人」


Jumlah Struktur
Terjemahan Responden Kesesuaian
Responden Frase
10 peserta 1 3
45 orang yang berpartisipasi 5 2
7 orang yang ikut serta 5 2

72
3 orang yang ikut berpartisipasi 5 2
2 orang berpartisipasi 2 2
2 orang yang hadir 2 2
1 Saya akan berpartisipasi 2 2
1 Orang yang bergabung 2 2
1 Semua orang yang akan berpartisipasi 2 2
1 Orang yang ingin bergabung 2 2
1 Bagi yang berpartisipasi 2 2
1 Peserta acara 2 2
3 > > >

Pada penerjemahan frase “sankasuru hito”「参加する人」, 13% responden


menerjemahkan frase ini menjadi “peserta”. Hal ini sesuai dengan terjemahan yang
diharapkan. Sementara 57,6% responden menerjemahkan frase ini menjadi “orang yang
berpartisipasi”, 8,9% responden menerjemahkan frase ini menjadi “orang yang ikut
serta”, 3,8% responden menerjemahkan frase ini menjadi “orang yang ikut
berpartisipasi”. Secara makna tidak ada masalah dengan terjemahan ini. Akan tetapi
karena dalam bahasa Indonesia ada istilah yang bisa menggantikan frase ini, yaitu
“peserta” maka terjemahan yang paling tepat adalah “peserta”. Tapi secara keseluruhan
dapat disimpulkan bahwa 83,3% responden menghasilkan terjemahan yang berterima.
Responden lainnya, sejumlah 16,6% menghasilkan terjemahan yang kurang berterima.
Dari segi struktur frase, terdapat pergeseran bentuk dalam penerjemahan frase ini,
dari bentuk frase berubah menjadi kata. Dari 78 orang responden hanya 13% responden
yang menggunakan pergeseran bentuk ini. Sisanya menggunakan sistem penerjemahan
harfiah dengan tidak mengubah bentuk struktur.
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kecenderungan keberterimaan
penerjemahan frase nomina-nomina, frase adjektiva-nomina dan frase verba-nomina
berbeda-beda berdasarkan kata dan kalimatnya. Tingkat keberterimaan ini tidak bisa
dikategorisasi berdasarkan jenis frasenya. Hal ini terlihat dari persentase tingkat
keberterimaan yang tertinggi dan terendah terdapat pada penerjemahan frase adjektiva-
nomina. Tingkat keberterimaan tertinggi terdapat pada frase adjektiva-nomina “chiisai
mura” 「 小 さ い 村 」 . Sedangkan tingkat keberterimaan terendah terdapat pada
penerjemahan frase adjektiva-nomina “genkina hito”「元気な人」.
Kecenderungan ketidakberterimaan terjemahan disebabkan oleh pemberian
tambahan/ sisipan kata yang tidak pada tempatnya sehingga secara pola frase menjadi
rancu. Penambahan tambahan kata ini banyak dipengaruhi oleh kebiasaan penggunaan
dalam bahasa lisan responden. Dalam bhaasa lisan struktur kata cenderung rancu dan
tidak sesuai struktur. Hal ini akhirnya mempengaruhi kualitas penerjemahan responden
terutama dalam kualitas struktur kalimat. Selain itu, ada pula kesalahan pemilihan diksi
sehingga secara makna terjemahannya menjadi tidak berterima. Hal ini disebabkan
kurangnya pemahaman responden mengenai struktur bahasa Indonesia. Selain itu,
terjadi pula kesalahan pemahaman makna sehingga secara makna terjemahannya
menjadi tidak berterima. Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman bahasa Jepang
responden.
Dari segi struktur frase responden kebanyakan melakukan pergeseran bentuk
wajib dan otomatis dalam terjemahannya. Hal ini sesuai dengan teori Catford (1965)
yang menyatakan bahwa pergeseran bentuk wajib dan otomatis adalah pergeseran

73
bentuk yang disebabkan oleh sistem dan kaidah bahasa, yaitu mengubah struktur frase
dengan tepat dari struktur frase MD menjadi DM. Para responden tidak melakukan
pergeseran bentuk untuk kewajaran dalam penerjemahannya. Frase dari bahasa sumber
tetap diterjemahkan menjadi frase dalam terjemahannya, walaupun saat terdapat istilah
lain yang dapat mewakili frase tersebut dalam bahasa Indonesia.

4. Simpulan

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kecenderungan keberterimaan


penerjemahan frase nomina-nomina, frase adjektiva-nomina dan frase verba-nomina
oleh mahasiswa semester VI STBA Yapari-ABA Bandung berbeda-beda berdasarkan
kata dan kalimatnya dan tidak bisa dikategorisasi berdasarkan jenis frasenya.
Kecenderungan ketidakberterimaan hasil terjemahan mahasiswa semester VI
STBA Yapari-ABA Bandung disebabkan oleh kurangnya penguasaan bahasa, baik
bahasa sumber maupun bahasa sasaran dan pengaruh penggunaan bahasa pada bahasa
lisan. Hal ini menyebabkan hasil terjemahan menjadi rancu dan tidak berterima, baik
secara struktur maupun makna.
Dari segi struktur frase, mahasiswa semester VI STBA Yapari-ABA Bandung
cenderung melakukan pergeseran bentuk wajib dan otomatis dalam terjemahannya.
Selain itu, mereka tidak melakukan pergeseran bentuk untuk kewajaran dalam teknik
penerjemahannya.

5. Daftar Pustaka

Catford, J.C. (1965). A Linguistic Theory of Translation. London, Inggris: Oxford


University Press.
Chaer, A. (2011). Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta, Indonesia: Rineka
Cipta.
Dahidi, A. & Sudjianto. (2004). Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta,
Indonesia: Kesaint Blanc.
Hirai, M. (1989). Nandemo Wakaru Shinkokugo Handobukku. Tokyo, Jepang: Sanseido.
Iwabuchi, T. (1989). Nihon Bunpoo Yoogo Jiten. Tokyo, Jepang: Sanseido.
Larson, M. L. (1984). Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language
Equivalence. London, Inggris:University Press of America.
Machali, R. (2009). Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta, Indonesia: Kaifa.
Newmark, P. (1984). Approach to Translation. Oxford, Inggris: Pergamon Press.
________ (1988). A Textbook of Translation. London, Inggris: Prentice Hall
International (UK) Ltd.
Nida, E.A. & Taber, C. R. (1974). The Theory and Practice of Translation. Leiden,
Belanda: E.J. Brill.
Nitta, Y. (1997). Nihongo Bunpou Kenkyuu Josetsu. Tokyo: Kuroshio Shuppan.
Ogawa, Y. (1987). Nihongo Kyouiku Jiten. Tokyo, Jepang: Taishuukan Shoten.
Ramlan. (1987). Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta, Indonesia: CV Karyono.
Simatupang & Maurits, D.S. (2000). Pengantar Teori Penerjemahan. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Sutedi, D. (2011). Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung, Indonesia:
Humaniora.
Verhaar, J.W.M. (2004). Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta, Indonesia: Gadjah
Mada University Press.

74
Jurnal SORA Vol 3, No 2, Desember 2018 (hal 75 – 89)

ANALISIS GALAT BERBAHASA INGGRIS


PADA PENULISAN IKLAN LUAR RUANG DI KOTA BANDUNG
Fuji Alamsari & Iim Rogayah Danasaputra
Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari-ABA Bandung
fujialamsari@stba.ac.id

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis jenis iklan luar ruang yang melakukan galat Bahasa
Inggris di kota Bandung. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode deskriptif.
Penulis mengumpulkan data melalui observasi lapangan, membuat dokumentasi berupa foto dan
mengklasifikasikan data berdasarkan jenis iklan dan jenis galat bahasa Inggris yang dilakukan
oleh pihak pengiklan. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis iklan ruang yang mempunyai
galat bahasa Inggris adalah jenis iklan pakaian, makanan dan minuman, elektronik, umum dan
kecantikan. Kemudian, jenis galat penggunaan Bahasa Inggris dalam iklan luar rung di kota
Bandung adalah galat ejaan (spelling), pilihan kata (word choice), tata bahasa (grammar) dan
susunan kata (word order).

Kata Kunci: iklan, analisis galat, iklan luar ruang

Abstract
This article has aims at analyzing types of outdoors advertising which made errors of English
around Bandung City. The method used in the research was descriptive research. The writers
collected the data by observing English errors of outdoor advertising around Bandung city,
making documentation through capturing photos, then classifying the data based on the types of
outdoor advertising and the kinds of English errors done by the advertiser. The results shows
that the types of outdoor advertising which made English mistakes were fashion, food and
beverage, electronics, general ads, and beautification ads. And then, there were the English
errors of outdoors ads found in Bandung City as follows: errors of spelling, word choice,
grammar, and word order.

Keywords: advertising, error analysis, outdoor advertising

1. Pendahuluan

Dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat sehari hari, penggunaan


bahasa Inggris telah mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia terutama yang
berkaitan dengan tatanan baru kehidupan dunia dan perkembangan ilmu pengetahuan
serta teknologi, khususnya teknologi informasi yang semakin syarat dengan tuntutan
dan tantangan globalisasi sebagai akibatnya komunikasi berbahasa Inggris saat ini
berkembang dalam berbagai media. Tujuan masyarakat menggunakan bahasa Inggris
juga dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi masyarakat. Secara sosial, masyarakat
menggunakan bahasa Inggris dalam media tertulis dengan tujuan dapat menggunakan
bahasa tersebut sebagai daya tarik komunikasi. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam
bahasa iklan.

75
Di kota Bandung sendiri, masyarakat menggunakan bahasa Inggris berupa tulisan
di berbagai media. Penulisan berbahasa Inggris tersebut, sering ditemukan pada instansi,
baliho, spanduk, papan iklan, pertokoan dan rumah makan. Pemilihan kata, frase, klausa
bahkan kalimat berbahasa Inggris tersebut sering ditemukan galat. Bukan hanya diksi,
tetapi juga struktur gramatika yang ditemukan masih mengalami galat. Contoh galat
yang ditemukan adalah penulisan Fried Rices di sebuah rumah makan.
Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk meneliti penggunaan galat
berbahasa Inggris yang digunakan oleh pengiklan di kota Bandung Galat penulisan
berbahasa Inggris dalam media luar ruang di kota Bandung.
Berbicara tentang iklan, Dewan Periklanan Indonesia (2007:16) menyatakan
bahwa “iklan merupakan pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang
sesuatu produk yang disampaikan melalui suatu media dibiayai oleh pemrakarsa yang
dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat”. Sementara Arens
dalam Junaedi (2013:109) mengatakan bahwa “Iklan sebagai struktur dan komposisi
komunikasi informasi yang bersifat nonformal umumnya dilakukan dengan berbayar
yang dicirikan dengan persuasif, berisi tentang produk (barang, jasa dan ide) yang
diidentifikasikan sebagai sponsor melalui berbagai media”.
Ada banyak jenis media iklan luar ruang. Media iklan luar ruang (outdoor
advertising) adalah salah satu media yang diletakkan di luar ruangan yang pada saat ini
telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, dan memiliki tujuan untuk
mempromosikan suatu produk barang atau jasa. Menurut Fandy Tjiptono dalam Ratna
Susanti (2008:243), media luar ruangan adalah media yang berukuran besar dipasang di
tempat-tempat terbuka, seperti di pinggir jalan, di pusat keramaian atau tempat-tempat
khusus lainnya, seperti di dalam bus kota, gedung, pagar tembok, dan sebagainya.
Begitu pula, menurut Sigit Santosa (2009:168) dalam Susanti, media luar ruangan
adalah semua iklan yang menjangkau konsumen ketika mereka sedang berada di luar
rumah atau kantor. Media luar ruangan membujuk konsumen ketika mereka sedang di
tempat-tempat umum, dalam perjalanan, dalam ruang tunggu, juga di tempat-tempat
terjadi transaksi.
Contoh media iklan luar ruang, di antaranya sebagai berikut.
a. Billboard
Billboard merupakan bentuk promosi iklan luar ruang dengan ukuran besar. Alat
promosi lain yang disebut juga billboard adalah bentuk poster dengan ukuran yang
lebih besar yang diletakkan tinggi di tempat tertentu yang ramai dilalui orang. Billboard
termasuk model iklan luar ruang (outdoor advertising) yang paling banyak digunakan.
Perkembangannya pun cukup pesat. Sekarang di jaman digital, billboard pun
menggunakan teknologi baru sehingga muncullah digital billboard. Ada juga mobile
billboard yaitu billboard yang berjalan ke sana ke mari karena dipasang di mobil (iklan
berjalan). Mobile billboard sendiri sekarang sudah ada yang digital mobile billboard. Di
Indonesia, billboard memiliki definisi tersendiri, yaitu billboard yang berbentuk bidang
dengan bahan terbuat dari kayu, logam, fiberglass, kain, kaca, plastik, dan sebagainya
yang pemasangannya berdiri sendiri, menempel pada bangunan dengan konstruksi tetap,
dan reklame bersifat permanen. Jadi papan iklan di atas toko pun masuk kategori
billboard.
b. Spanduk
Spanduk adalah kain membentang biasanya berada di tepi-tepi jalan yang berisi
teks, warna, dan gambar. Spanduk merupakan suatu media informasi. Spanduk bisa
dibuat sendiri dengan menggunakan cat, sablon (screen printing) ataupun dengan cara

76
cat mesin (offset). Spanduk juga termasuk media promosi yang cukup populer
belakangan ini karena harganya yang murah dan proses pengerjaannya yang cepat.
Zaman sekarang banyak perusahaan yang bergerak di bidang periklanan memiliki mesin
digital print sendiri.
c. Sign Board
Papan penunjuk letak toko atau instansi terkait biasanya berbentuk papan yang
bertuliskan nama dan arah menuju tempat.
d. Neon Box
Neon box merupakan alternatif lain untuk media promosi, variasi bentuk dan
warna sekaligus memadukan unsur pencahayaan sehingga dapat menarik perhatian
khalayak. Neon box adalah bagian media promosi luar ruang yang umumnya berbentuk
kotak dan diterangi lampu neon dari dalam boks itu sendiri. Corak dan model biasanya
mencerminkan identitas corporate/usaha itu sendiri.
e. Shop Sign
Shop Sign adalah sejenis papan nama usaha sebagai identitas dari perusahaan
tersebut. Media ini biasanya menempel tidak jauh-jauh dari gedung tempat usaha agar
klien/konsumen juga tidak jauh-jauh bertanya dan mudah mengenali.

Beberapa penelitian sejenis pernah dilakukan di antaranya oleh peneliti dari


Universitas Syiah Kulaha Muhammad Idhan dan Azwardi pada tahun 2007 dengan
judul “Analisis Eror Penulisan Bahasa Aceh pada Media Luar Ruang di Kota Banda
Aceh”, yang menghasilkan terjadinya pencampuran penggunaan bahasa Aceh dan
Bahasa Indonesia serta pencampuran penggunaan bahasa Aceh dan Bahasa Inggris.
Kemudian, Mardan Syah Putra pada tahun 2011 dengan judul: Analisis Eror Ejaan dan
Kalimat pada Media Luar Ruang di Unsyiah” yang tidak membahas galat penulisan
tanda baca dan diksi. Selain itu, Ratna Susanti dari Politeknik Indonesia Surakarta
dengan judul “Analisis Eror Berbahasa pada Penulisan Media Luar Ruang di Kota
Klaten yang menemukan bahwa kebanyakan galat diperoleh dalam spelling,
punctuation, dan diksi. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah dalam hal lokasinya,
yaitu di kota Bandung.

1.1 Jenis Iklan

Fandy Tjiptono (2005:227) mengklasifikasikan iklan berdasarkan aspek isi pesan,


tujuan dan pemilik iklan.
a. Aspek Isi Pesan
Berdasarkan isi pesannya, iklan dibagi dua yaitu:
1) Product Advertising yaitu iklan tentang informasi produk (barang atau jasa)
suatu perusahaan. Jenis iklan ini dapat dibagi dua lagi menjadi Direct-action
Advertising (iklan yang didesain untuk mendorong tanggapan segera dari
khalayak) dan Indirect-action Advertising (Iklan yang didesain berjangka
panjang)
2) Institutional Advertising yaitu iklan yang didesain untuk memberi informasi
tentang usaha bisnis pemilik iklan dan membangun goodwill dan image
positif bagi organisasi. Jenis iklan ini dapat dibagi dua lagi menjadi
Patronage Advertising (informasi usaha bisnis pemilik iklan) dan Public
Service Advertising (iklan yang menunjukkan bahwa pemilik iklan adalah
orang baik karena memiliki kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan).

77
b. Aspek Tujuan
Berdasarkan tujuannya iklan dibagi tiga yaitu:
1) Pioneering Advertising (informative Advertising): iklan yang menciptakan
permintaan awal,
2) Competitive Advertising (Persuasive Advertising): iklan yang berupaya
mengembangkan pilihan pada produk tertentu,
3) Reminder Advertising:iklan yang berupaya melekatkan nama atau merek
produk tertentu di benak khalayak.
c. Aspek Pemilik Iklan
Berdasarkan aspek pemilik iklan, ada dua jenis iklan yaitu
1) Vertical Cooperative Advertising: iklan bersama para anggota saluran
distribusi misalnya antar grosir, pengecer
2) Horizontal Cooperative Advertising: iklan bersama beberapa pengusaha
sejenis.

1.2 Tujuan Iklan

Definisi tentang tujuan yang rinci disampaikan oleh Terence A. Shimp (2000:261)
yang mengatakan bahwa tujuan akhir iklan adalah untuk:
1. Informing: Iklan membuat konsumen sadar akan merek-merek baru,
mendidik mereka tentang berbagai fitur dan manfaatnya serta memfasilitasi
citra merek yang positif
2. Persuading: iklan secara efektif membujuk konsumen untuk mencoba produk
dan jasa yang diiklankan
3. Reminding: iklan yang menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam
ingatan konsumen
4. Adding Value: iklan ini memberikan nilai tambah dengan cara
penyempurnaan kualitas dan inovasi pada merek dengan mempengaruhi
persepsi konsumen
5. Assisting: iklan ini menjadi pendamping yang memfasilitasi upaya-upaya lain
dari perusahaan dalam proses komunikasi pemasaran. (Lihat juga Junaedi).

1.3 Sifat Iklan

Fandy Tjiptono (2005:226-227) menyatakan bahwa sifat-sifat iklan adalah


1. Publish Presentation: Iklan memungkinkan setiap orang menerima pesan
yang sama tentang produk yang diiklankan,
2. Persuasiveness:Iklan dapat diulang-ulang untuk memantapkan penerimaan
informasi,
3. Amplifed Expresiveness: Iklan mampu mendramatisir perusahaan dan
produknya melalui gambar dan suara untuk menggugah dan mempengaruhi
perasaan khalayak,
4. Impersonality:iklan tidak bersifat memaksa khalayak untuk memperhatikan
dan menanggapinya karena merupakan komunikasi monolog. (Lihat juga
Kotler dan Keller yang dialihbahasakan oleh Benyamin Molan: 2007:229).

78
1.4 Media Iklan

Saat memutuskan untuk menggunakan iklan, seseorang harus mengetahui jenis-


jenis media utama untuk menghasilkan jangkauan, frekuensi dan dampak bersama
biaya, keunggulan, dan keterbatasannya. Kotler dan Keller yang dialihbahasakan oleh
Benyamin Molan (2007: 229) menggambarkannya dalam tabel berikut.

Tabel 1 Jenis-jenis Media beserta Keunggulan dan Keterbatasannya


Media Keunggulan Keterbatasan
Koran Fleksibilitas, tepat Usia penggunaan pendek, mutu reproduksi jelek,
waktu, jangkauan pasar audiens “terusan”kecil
lokal baik, penerimaan
luas, tingkat
kepercayaan tinggi
Televisi Menggabungkan Biaya absolut tinggi, kekacauan tinggi, paparan
gambar, suara, dan bergerak kilat, pemilihan audiens kurang
gerakan, merangsang
indera, perhatian tinggi,
jangkauan tinggi
Surat Audiens terpilih, Biaya relatif tinggi,, citra”surat sampah”
Langsung fleksibilitas, tidak ada
persaingan iklan dalam
media yang sama,
personalisasi
Radio Penggunaan massal, Hanya penyajian suara, perhatian lebih rendah
pemilihan geografis dan daripada televisi, struktur harga tidak standar,
demografis tinggi, paparan bergerak kilat
biaya rendah
Majalah pemilihan geografis dan Perencanaan pembelian iklan panjang, sebagian
demografis tinggi, sirkulasi sis-sia, tidak ada jaminan posisi
kredibilitas dan gengsi,
reproduksi bermutu
tinggi, usia penggunaan
panjang, penerusan
pembacaan baik
Iklan Luar Fleksibilas, penggunaan Pemilihan audiens terbatas, kreativitas terbatas
Ruang paparan tinggi, biaya
rendah, persaingan
rendah
Yellow Liputan lokal sangat Persaingan tinggi, perencanaan pembelian jangka
Pages bagus, tingkat panjang, kreativitas terbatas
kepercayaan tinggi,
jangkauan luas, biaya
rendah
Berita Pemilihan audiens Biaya dapat hilang sia-sia
Berkala sangat tinggi, terkontrol
penuh, peluang
interaktif, biaya rendah

79
Brosur Fleksibilas, terkendali Produksi berlebihan dapat menyebabkan biaya
penuh, dapat dapat hilang sia-sia
mendramatisir pesan
Telepon Banyak pengguna, Biaya relatif tinggi kecuali jika digunakan
peluang memberikan sukarelawan
sentuhan pribadi
Internet Pemilihan audiens Media relatif baru dengan jumlah pengguna yang
tinggi, kemungkinan rendah di beberapa negara.
interaktif, biaya relatif
rendah

Dalam penelitian ini yang akan dianalisis adalah iklan luar ruang yang ditemukan di
sekitar Kota Bandung.

1.5 Kesalahan Berbahasa

Chrystal (dalam Pateda, 1989) menyatakan bahwa analisis galat berbahasa adalah
suatu teknik untuk mengidentifikasikan, mengklasifikasikan dan menginterpretasikan
secara sistematis galat-galat yang dibuat siswa yang sedang belajar bahasa kedua atau
bahasa asing dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur berdasarkan
linguistik. Galat-galat tersebut ditentukan oleh berterima atau tidaknya bagi penutur asli
atau pengajarnya. Jadi bila pembelajar bahasa Indonesia membuat galat, ukuran yang
digunakan apakah bahasanya tersebut salah atau benar menurut penutur asli bahasa
Indonesia.
Analisis galat mempunyai dampak positif terhadap pembelajaran bahasa karena
bahasa merupakan perangkat kebiasaan yang dipakai setiap orang sebagai media
komunikasi. Dengan mengetahui galat yang dibuatnya, pembelajar akan dapat
menggunakan bahasa yang dipelajarinya dengan lebih baik.
Beberapa ahli memberikan definisi galat yang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Purwadi (2000:3) dalam Sarwono (2016) mengatakan bahwa galat terjadi
karena faktor kompetensi pemakai bahasa di antaranya karena dia belum menguasai,
belum tahu, belum memahami kaidah bahasa yang digunakannya sehingga dapat
dikategorikan bersifat sistemik. Pendapat yang sejenis dikemukakan oleh S. Piet Corder
(dalam Henry Guntur Tarigan dan Djago Tarigan, 1990) yang menyatakan bahwa galat
berbahasa merupakan pelanggaran terhadap kode berbahasa, bukan hanya bersifat fisik
melainkan menunjukkan kurang sempurnanya pengetahuan dan penguasaan terhadap
kode.
Ikhwal kata analisis sendiri Jos Daniel Parera (1993) dalam Sarwono (2016)
berpendapat bahwa analisis merupakan proses menjelaskan gejala-gejala alam dengan
cara 1) membedakan, 2) mengelompokkan, 3) menghubung-hubungkan, 4)
mengendalikan dan 5) meramalkan. Pemahaman yang sama dikemukakan oleh Tarigan
(2011:68) bahwa untuk dapat menganalisis galat, pembelajar seharusnya melaksanakan
langkah-langkah yaitu pengumpulan data, pengidentifikasian galat, penjelasan galat,
pengklasifikasian galat, pengevaluasian galat
Berdasarkan teori di atas dapat diasumsikan bahwa analisis galat berbahasa
adalah suatu proses kerja yang digunakan para peneliti bahasa melalui langkah-langkah
pengumpulan data, pengidentifikasian galat yang terdapat dalam data, pengklasifian

80
galat tersebut berdasarkan penyebabnya dan penjelasan galat tersebut serta
pengevaluasian taraf galat tersebut.
Di lain pihak Corder (dalam Pateda, 2000) membedakan pengertian antara galat
(error) dengan kekeliruan (mistakes). Menurutnya galat mengacu kepada pemahaman
sedangkan kekeliruan mengacu pada penampilan. Misalnya seseorang mengatakan
‘intruksi’ padahal seharusnya ‘instruksi’ atau ‘bisah’ untuk ‘bisa’, maka yang
bersangkutan melakukan kekeliruan karena kejadian ini merupakan penyimpangan yang
tidak sistematis, terjadi karena emosi, atau salah ucap, namun jika dia mengatakan “
Yesterday I go to the market” atau “Ini hari saya tidak masuk sekolah”, maka dapat
dikatakan dia melakukan galat karena sudah melakukan penyimpangan yang sistematis,
taat asas dan menggambarkan kemampuan berbahasa yang bersangkutan pada tahap
tertentu.
Berdasarkan teori-teori di atas dapat diasumsikan bahwa galat berbahasa terjadi
karena adanya suatu kaidah bahasa yang diabaikan baik disengaja maupun tidak
disengaja oleh pemakai bahasa dalam pemakaian bahasa. Menurut Corder (1981) yang
dikutip oleh Zhang menyatakan bahwa “errors were predicted to be the result of the
persistence of existing mother tongue habits in the new language”. Berdasarkan teori
tersebut diketahui galat bahasa juga dipengaruhi oleh bahasa Ibu (mother tongue) yaitu
kebiasaan bahasa yang digunakan berpengaruh terhadapa bahasa baru yang dipelajari
atau digunakan. Dalam hal ini, galat yang terjadi dalam penulisan berbahasa Inggris
pada iklan media luar ruang akan dipengaruhi oleh kebiasaan bahasa Ibu yang
digunakan di Kota Bandung di mana bahasa yang digunakan masyarakat adalah bahasa
Indonesia sebagai bahasa Ibu dan juga bahasa Sunda atau bahasa daerah.

1.6 Linguistic Landscape

Banyak ahli bahasa memberikan berbagai pemahaman tentang linguistics


landscape ini. Kata landscape menurut kamus memiliki dua makna yaitu pemandangan
yang dapat dilihat di suatu tempat pada suatu waktu, sementara makna lain mengacu
pada gambaran lain dari suatu pemandangan yang membedakan antara pemandangan
dengan gambar. Linguistics Landscape mengandung makna (1) bahasa yang digunakan
sebagai lambang dan (2) gambaran bahasa yang sangat penting karena berhubungan
dengan identitas dan budaya, perkembangan bahasa Inggris dan revitalisasi bahasa-
bahasa minor lainnya. (Garter, 2018).
Teori Linguistics Landscape ini pernah digunakan oleh Sciriha & Vassallo (2001)
dalam Garter (2018) yang menganalisis situasi bahasa di negara tertentu dan oleh
Kreslins (2003) yang menggambarkan penggunaan bahasa di suatu wilayah yang lebih
luas. Berdasarkan hal itu Garter mendefinisikan Linguistic Landscape sebagai “
linguistic market, linguistic mosaic, ecology of languages, diversity of languages or
linguistic situation”. Namun yang paling populer dan diikuti oleh pakar bahasa lain
adalah definisi yang diberikan oleh Landry and Bouchis (1997:25) dalam Garter yang
menyatakan bahwa: The language of public road signs, advertising billboards, street
names, place names, commercial shop signs, and public signs or goverment buildings
combines to form the linguistic landscape of a given territory, region or urban
agglomeration. Dari definisi di atas dapat diasumsikan bahwa bahasa yang digunakan
untuk tanda jalan, papan iklan, nama jalan, nama tempat, lambang toko, nama
perusahaan atau kantor pemerintah merupakan bagian dari linguistics landscape (LL)
dari wilayah, daerah atau komunitas tertentu.

81
2 Metodologi

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian


ini menggunakan metode deskriptif karena menggambarkan keadaan yang ditemukan
dalam data yang sebenarnya. Subino (1982) metode yang tepat untuk meneliti apa yang
terjadi di lapangan adalah metode deskriptif.

3 Hasil dan Pembahasan

Beberapa data di bawah ini menunjukkan bagaimana galat tersebut seharusnya


diperbaiki:

3.1 Galat Ejaan (Spelling)

Berdasarkan hasil penelitian di atas ditemukan beberapa galat ejaan sebagaimana


dijelaskan di bawah ini:

Gambar 1. Papan Iklan di sebuah pusat perbelanjaan

Berdasarkan gambar di atas, terdapat tiga galat penulisan iklan berbahasa Inggris
yang dilakukan oleh pihak toko. Data tersebut antara lain sebagai berikut.

(1) Ladis Socks


Pada data (1) galat yang terjadi adalah galat tulisan ladis yang seharusnya ladies
/ˈleɪ.diz/ . Frasa yang dimaksud adalah Ladies Socks yang terjemahnnya ‘kaos kaki
wanita’. Galat yang dibuat adalah pada kata ‘ladies’, huruf ‘e’ hilang menjadi kata
‘ladis’. Kesalahan yang dilakukan adalah kesalahan ejaan (spelling). Galat tersebut
terjadi karena pihak pengiklan memiliki diasumsikan memiliki keterbatasan
pengetahuan mengeai kosa kata bahasa Inggris sehingga apa yang ditulis ‘ladis’ tidak
sesuai dengan penulisan kosa kata ‘ladies dalam bahasa Inggris.

(2) Piyama / Pujamas


Berdasarkan data (2), galat yang dtemukan adalah kata pujamas. Maksud
pembuat iklan adalah kata ‘piyama’. Dalam data tersebut pembuat iklan menggunakan
kata pujamas sebagai terjemahan kata piyama. Kata ‘piyama’ seharusnya
diterjemahkan dengan kata ‘pajama’. Selain galat kata, pembuat iklan juga
menggunakan ‘s’ dalam kata ‘pujamas’. Penggunaan ‘s’ pada kata pajamas

82
menunjukkan jamak untuk nomina pajama /pəˈdʒɑː.mə/ . Namun demikian pembuat
iklan menggunaka kata pajamas. Dengan demikian terlihat galat yang terjadi dalam
penulisan kata berbahasa Inggris untuk kata ‘piyama’.

Gambar 2 Spanduk iklan sebuah usaha aksesoris telepon selular dan pulsa

(3) Pulsa Electrik


Pada data (3), galat penulisan iklan berbahasa Inggris yang digunakan adalah kata
electrik. Galat yang dilakukan oleh pembuat iklan adalah galat ejaan ‘electrik’. Yang
dimaksud oleh pembuat iklan adalah electric /iˈlek.trɪk/ namun melakukan galat
penulisan dengan menuliskan ‘k’ bukan ‘c’ pada kata tersebut. Oleh karena itu, pembuat
iklan membuat galat kata berbahasa Inggris pada ejaan kata (spelling). Dengan
demikian dapat disimpulkan galat yang dilakukan adalah galat ejaan pada kata yang
ditulis pada iklan berbahasa Inggris.

(4) Pocer
Pada data (4), terdapat galat penulisan iklan berbahasa Inggris kata pocer. Yang
dimaksud penulisan iklan tersebut adalah voucher. Kata pocer jika dilafalkan mirip
dengan kata voucher /ˈvaʊ.tʃər/. Pengiklan menuliskan huruf ‘p’ seharusanya huruf
yang ditulis adalah ‘v’ pada kata ‘voucher’, kemudian pengiklan menghilangkan huruf
‘u’ dan ‘h’ sehingga pengiklan menuliskan kata ‘pocer’ sehingga galat dalam penulisan
‘voucher’. Dapat disimpulkan bahwa pengiklan galat penulisan kata voucher dengan
tulisan pocer oleh karena itu, pengiklan melakukan galat dalam penulisan iklan
berbahasa Inggris dalam hal galat ejaan (spelling).

83
Gambar 3 Papan iklan penjual telepon selular dan jasa perbaikannya

(5) cervice HP
Pada data (5), galat penulisan iklan berbahasa Inggris terjadi pada kata cervice.
Pembuat iklan bermaksud menuliskan frasa‘service HP’ yang artinya memberikan jasa
atau pelayanan perbaikan untuk telepon genggam. Akan tetapi, terdapat galat penulisan
huruf‘s’ pada kata service /ˈsɝː.vɪs/ dengan huruf ‘c’ menjadi ‘cervice’. Oleh karena itu,
galat yang dilakukan oleh pembuat iklan adalah galat ejaaan (spelling) pada kata yang
dimaksud.

(6) voucher acesoris


Galat yang dilakukan oleh pembuat iklan pada data (6) adalah kata acesoris. Galat
yang terjadi adalah adanya galat penulisan ‘acesoris’ yang dimaksud accessory
/əkˈses.ər.i/ yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah aksesoris. Ada beberapa
huruf yang hilang dari kata tersebut yaitu hururf ‘c’, ‘s’ dan ‘e’. Dengan demikian,
pembuat iklan melakukan galat ejaan pada kata ‘accessoories’ sehingga salah dalam
penulisan iklan berbahasa Inggris dengan menuliskan ‘acesoris’.

(7) Jual beli HP secon


Berdasarkan data (7 ), galat penulisan iklan berbahasa Inggris terjadi pada kata
secon. Yang dimaksud iklan tersebut adalah kata secondhand /ˈsek·əndˈhænd/yang
dimaksud barang bekas. Namun, dalam penulisan iklan pada data ini, huruf ‘d’ hilang
sehingga menjadi ‘secon’. Dengan demikian, galat yang terjadi adalah galat ejaan
(spelling).

84
Gambar 4 Selebaran iklan menawarkan jasa penerjemahan

(8) Translet
Pada data (8), galat penulisan iklan berbahasa Inggris adalah pada kata translet.
Yang dimaksud oleh pembuat iklan adalah kata translate /trænsˈleɪt/ karena tujuannya
adalah untuk menyampaikan iklan jasa penerjemahan bahasa Inggris dan bahasa Jepang.
Akan tetapi, pembuat iklan membuat galat penulisan dengan kata ‘translet’ bukan
‘translate’. Data diasusmsikan bahwa bahasa Ibu yaitu Sunda sudah mempengaruhi
penulisan bahasa iklan tersebut. Galat yang dilakukan adalah galat ejaan (spelling).

3.2 Galat Pemilihan Kata (word choice)

Berdasarkan data yang dianalisis ditemukan juga galat pemilihan kata pada iklan
ruang luar di Kota Bandung sebagai berikut:

Gambar 5. Papan iklan di sebuah pusat perbelanjaan

(9) Ladies Under Water (Pakaian Dalam Wanita)


Pada data (9), galat yang terjadi adalah pada penulisan under water. Frasa yang
tepat pada iklan tersebut seharusnya underwear /ˈʌn.dɚ.wer/ yang terjemahannya
‘pakaian dalam’ karena yang dimaksud oleh pihak toko dalam papan tulisan iklan

85
tersebut adalah ‘pakaian dalam wanita’. Pembuat iklan salah menggunakan kata ‘water’
yang artinya air seharusnya kata yang digunakan adalah wear /wer/ Dengan demikian
galat yang digunakan oleh pembuat iklan dalam penulisan iklan berbahasa Inggris
adalah galat pemilihan kata (word choice) atau diksi .

(10) Daster/ Duster


Pada data (10), galat penulisan terjadi pada kata duster /ˈdʌs.tɚ/. Yang dimaksud
oleh pembuat iklan adalah daster yaitu jenis pakaian tidur/santai. Dalam data tersebut,
pembuat iklan menuliskan duster yang bukan terjemahan ‘daster’. Dengan demikian
terdapat galat pemilihan padanan kata yang digunakan oleh pembuat iklan. Kata duster
secara leksikal diterjemahkan ‘kain lap’. Jika menggunakan duster untuk ‘daster’ maka
terjadi galat pemilihan kata untuk memadankan arti bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

Gambar 6. Penulisan iklan penjual minuman

(11) Milk sex


Pada data tersebut terdapat galat penulisan iklan dalam menggunakan bahasa
Inggris, yaitu kata milksex. Maksud dari penjual yang menuliskan kata tersebut adalah
milkshake /ˈmɪlk.ʃeɪk/ yaitu jenis minuman berbahan susu dengan cara dikocok cara
pencampurannya. Penulisan yang dilakukan adalah menggunakan kata sex yang tentu
saja salah dalam pemilihan kata. Dengan demikian pada data tersebut terdapat galat
pemilihan kata (word choice) atau diksi.

86
Gambar 7. Spanduk iklan aksesoris telepon selular dan pulsa

(12) Henpun
Pada data (12), terdapat galat penulisan iklan berbahasa Inggris kata henpun.
Yang dimaksud penulisan iklan tersebut adalah handphone yaitu cellular phone
/ˈsel·jə·lər ˈfoʊn/atau cell phone /ˈsel ˌfoʊn/ dalam bahasa Inggris. Pengiklan
menggunakan kata ‘henpun’ dengan ejaan h-e-n-p-u-n. Galat penulisan yang dilakukan
pengiklan adalah galan pilihan kata ‘handphone’ yang mana dalam bahasa Inggris yang
dimaksud adalah ‘cell phone’ atau ‘cellular phone’ berdasarkan analisis tersebut,
terdapat galat penulisan yang dilakukan pengiklan dalam menggunakan bahasa inggris
untuk Dapat disimpulkan bahwa galat yang dilakukan oleh pengiklan adalah galat
pemilihan kata (word choice).

3.3 Galat Tata Bahasa (Grammar)

Gambar 8 Papan iklan penjual jenis makanan

87
(13) Fried Rices
Berdasarkan data (13) di atas, galat penulisan iklan berbahasa Inggris adalah frasa
fried rices. Galat terjadi pada penulisan ‘rices’. Penulisan ‘rices’ salah secara gramatika
terutama pada nomina ‘rices’. Rice /raɪs/ adalah nomina yang tidak dapat dihitung
(uncountable noun) yang tidak memiliki aturan jamak (plural). Oleh karena itu, kata
rice tidak boleh diakhiri dengan ‘s’ penanda jamak (plural) untuk nomina yang dapat
dihitung (countable noun). Dengan demikian dapat disimpulkan data (13) memiliki
galat gramatika dalam penulisan iklan menggunakan bahasa Inggris.

3.4 Susunan Kata (word order)

Gambar 9. Billboard berisi iklan penjual jenis makanan

(14) Gift exclusive


Pada data (14) galat penulisan iklan berbahasa Inggris adalah pada frasa Gift
Exclusive. Dalam penulisan frasa berbahasa Inggris, frasa nomina (noun phrase)
tersusun atas modifier dan noun atau nomina. Oleh karena itu, pada tulisan iklan gift
exclusive seharusnya exclusive /ɪkˈskluː.sɪv/ kemudian diikuti gift /ɡɪft/ menjadi
exclusive gift. Dengan demikan, galat penulisan iklan berbahasa Inggris pada data ini
adalah galat susunan kata (word order).

4 Simpulan

Setelah mendokumentasikan, mengklasifikasikan, menganalisis dan mengevaluasi


data, penulis mendapatkan dua simpulan yaitu kategori iklan yang memiliki kesalahan
penulisan dan jenis kesalahan yang dilakukan dalam penulisan iklan berbahasa Inggris
luar ruang di Kota Bandung. Adapun temuan kategori iklan luar ruang yang membuat
kesalahan ada beberapa jenis. Kategori tersebut antara lain iklan pakaian, iklan makanan
dan minuman, iklan elektronik, iklan umum, dan iklan kecantikan. Selain itu, penulis
mendapatkan temuan tentang jenis kesalahan penulisan iklan berbahasa Inggris di Kota
Bandung. Jenis kesalahan yang dilakukan adalah galat penulisan ejaan (spelling), galat
pemilihan kata (word choice) dan galat tata bahasa (grammar) dan galat susunan kata
(word order).

88
Dalam artikel ini, peneliti menganalisis data yang ditemuan secara deskriptif.
Seain itu, teori yang digunakan merupakan bagian dari teori Linguistic Landscape.
Objek yang diteliti adalah kata-kata yang digunakan dalam iklan. Akan tetapi, ada
banyal data lain yang dapat dianalisis misal kata-kata baik imbauan maupun peratuan-
peraturan publik yang ada di sekitar kota Bandung. Selain secara deskriptif kualitatif,
peneliti selanjutnya dapat meneliti objek ini dengan pendekatan kuantitatif.

5 Daftar Pustaka

Backaus, P. (2007). Linguistics Landscape: A Comparative Study of Urban


Multilingualism in Tokyo. lcevedon: Multilingual Matters.
Corder, S.P. (1981). Error Analysis and Interlanguage. Oxford: Oxford University
Press
Dewan Periklanan Indonesia. (2014). Etika Pariwara Indonesia. Jakarta: Dewan
Periklanan Indonesia
Gorter, D. (2006). The Study of Linguistic Landscape as a New Approach to
Multilingualism. Toronto: Multilingual Matters. Ltd.
Kreslins, J. (2003) Linguistic landscapes in the Baltic. Scandinavian Journal of History.
28. 165-174.
Kharsten, S. (1981). Second Language Acquisition. University of Southern California:
Pergaman Press. Inc.
Landry, R. & Bourhis, R. (1997). Linguistic Landscape and Ethnolinguistic Vitality an
Empirical Study. Journal of Language and Social Psychology - J LANG SOC
PSYCHOL. 16. 23-49.
Molan, B. (2007). Manajemen Pemasaran. Jilid 1. Jakarta: PT Indeks.
Parker, F. & Kathryn, R. (2010). Linguistics for Non Linguists. USA: Pearson
Education. Ltd.
Pateda, M. (1989). Analisis Kesalahan. Ende : Arnoldus.
Purwadi, B. (2000). Riset Pemasaran. Jakarta: Grasindo.
Seligen, H. & Shohamy, E. (1989). Second Language Research Methods. Oxford:
Oxford University Press.
Subino. (1982). Bimbingan Skripsi. Bandung: ABA YAPARI
Susanti, R. (2016). Analisis Kesalahan Berbahasa pada Penulisan Iklan Luar Ruang di
Kota Surakarta. Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta, Volume. 2.
Tarigan, H.G. (2001). Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, H.G. & Tarigan, D. (1990). Bahasa, Keterampilan -Studi dan Pengajaran.
Bandung: Angkasa.
Terence, A.S. (2000). Periklanan Promosi: Aspek Tambahan Komunikasi. Pemasaran
Terpadu Jilid I (edisi ke-5). Jakarta: Erlangga.
Tjiptono, F. (2008). Strategi Pemasaran . Edisi 3. Yogyakarta: ANDI.
Traugott, E. C. & Mary, L. P. (1980). Linguistics for Students of Literature. New York:
Harcourt Brace Jovanovich. Inc.
Wardhough. (1984). Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.

89
Jurnal SORA Vol 3, No 2, Desember 2018 (hal 90 – 101)

SINONIM ADJEKTIVA UTSUKUSHII DAN KIREIDA


DALAM BAHASA JEPANG: KAJIAN SEMANTIK
Intan Dwi Dahidi Putri
Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari-ABA Bandung
intanddp@yahoo.com

Abstrak
Adjektiva kireida dan utsukushii merupakan adjektiva bersinonim, yaitu bentuk bahasa yang
memiliki makna sama/mirip, dalam bahasa Jepang disebut dengan ruigigo. Kedua adjektiva
tersebut dalam bahasa Indonesia berpadanan dengan kata indah/cantik. Latar belakang
dipilihnya kedua adjektiva tersebut antara lain digunakan dalam kehidupan berbahasa Jepang
sehari-hari dan digunakan dalam buku-buku pelajaran bahasa Jepang. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan adjektiva utsukushii dan kireida sebagai
sinonim dengan mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dari segi struktur kalimat, makna,
dan penggunaannya berdasarkan konteks kalimat. Dalam mengkaji persamaan dan
perbedaannya sebagai sinonim digunakan teknik substitusi kalimat. Penelitian ini menemukan
adanya persamaan struktur kalimat dan makna yang terkandung antara adjektiva utsukushii dan
kireida yang memiliki arti indah, cantik, bagus, baik, nyaring/merdu dalam bahasa Indonesia
berdasarkan pada konteks kalimatnya. Selain itu, kedua adjektiva ini digunakan untuk
menyatakan suatu bentuk penilaian terhadap objek yang dapat dilihat atau didengar. Perbedaan
kedua adjektiva tersebut terdapat pada subjek atau nomina yang digunakan. Subjek atau nomina
pada utsukushii merupakan benda abstrak berupa suatu hubungan sosial. Sedangkan subjek atau
nomina pada kireida merupakan benda abstrak yang berupa campuran berbagai gas tidak
berwarna, benda konkrit, aktivitas, dan suatu tindakan.

Kata kunci : kireida, sinonim, utsukushii

Abstract
Kireida and utsukushii adjectives are synonymous adjectives, which have the same meaning in
the forms of language, it is called ruigigo in Japanese language. The two adjectives in
Indonesian language mean ‘beautiful/nice’. The background of chosen these two adjectives are
being used in everyday Japanese life; in Japanese language textbooks. The purposes of this
research are to find out the similarities and differences in utsukushii and kireida adjectives as
synonyms by describing similarities and differences in terms of sentence structure, meaning and
function based on the context of the sentence. In studying the similarities and differences as
synonyms, sentence substitution techniques are used. The results of this research have been
founded that there are similarities of utsukushii and kireida adjectives with the same meanings
such as beautiful, good, loud/sweet in Indonesian based on the context of the sentence. In
addition, these two adjectives are used to express a description of an object that can be seen or
heard. The difference between utsukushii and kireida adjectives is in the subject or noun used.
Subjects or nouns in utsukushii are abstract objects in the form of a social relationship. While
the subject or noun in kireida is an abstract object in the form of a mixture of various colorless
gases, concrete objects, activities, and actions.

Keywords: utsukushii, kireida, synonymous

90
1. Pendahuluan

Bahasa Indonesia maupun bahasa asing tentu tidak terlepas dari berbagai
permasalahan. Salah satu permasalahan dalam berbahasa asing (khususnya bahasa
Jepang), selain harus mempelajari hurufnya yang unik dan khas, kita juga harus
memperhatikan aspek penting yaitu mengenai makna kata. Sehubungan dengan makna
ini, Sutedi (2003:2) menjelaskan bahwa ketika kita menyampaikan ide, pikiran, hasrat
dan keinginan kepada seseorang baik secara lisan maupun secara tertulis, orang tersebut
bisa menangkap apa yang kita maksud, tiada lain karena ia memahami makna (imi)
yang dituangkan melalui bahasa tersebut. Jadi, fungsi bahasa merupakan media untuk
menyampaikan (dentatsu) suatu makna kepada seseorang baik secara lisan maupun
secara tertulis.
Chaer (1994:297) menjelaskan bahwa sinonim adalah hubungan semantik yang
menyatakan adanya kesamaan makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya.
Dalam bahasa Jepang sinonim disebut ruigigo. Adapun pengertian ruigigo adalah
katachi wa chigau ga, arawasu imi ga daitai nikayotteiru tango. Tatoeba jikan to
jikoku...nado. (Reikai Shinkokugo Jiten, 1984:969). Artinya, bahwa yang dimaksud
dengan sinonim adalah kata yang memiliki bentuk berbeda tetapi mengandung
pengertian atau makna yang hampir sama. Misalnya, kata jikan, jikoku, dan lain-lain.
Dalam bahasa Jepang banyak terdapat kata yang bersinonim, baik dalam kategori
nomina (meishi), adjektiva (keiyooshi), maupun verba (doushi). Oleh karena itu,
pemelajar bahasa Jepang akan mengalami kesulitan dalam hal menggunakannya, karena
secara arti leksikal maknanya benar, tapi dalam penggunaan kosakata tersebut tidak
tepat karena tidak sesuai dengan konteks kalimatnya. Adjektiva utsukushii dan kireida
merupakan adjektiva yang bersinonim. Dilihat dalam kamus Jepang-Indonesia,
adjektiva tersebut dipadankan dengan kata indah dalam bahasa Indonesia, seperti contoh
berikut:

(1) その映画は、二人の少年の美しい友情の物語です。
(Midorikawa & Sakazume, 2001:65)
Sono eiga wa, futari no shoonen no utsukushii yuujoo no monogatari desu.
Film itu menceritakan persahabatan yang indah antara dua remaja.
(2) 山の上から見た景色は、すばらしくきれいだった。
(Tsuruko, 1990:282)
Yama no ue karamita keshiki wa, subarashiku kirei datta.
Pemandangan yang dilihat dari atas gunung sungguh indah sekali.

Kedua contoh kalimat di atas adalah sebagian kecil dari contoh penggunaan
adjektiva yang mempunyai pengertian sejenis (mirip), tetapi berbeda dalam
penggunaannya.
Seringkali pemelajar Bahasa Jepang khususnya tingkat dasar merasa kesulitan
dan kebingungan untuk memilih kata mana yang paling tepat ketika akan membuat
suatu kalimat yang di dalamnya terdapat kata “indah” tetapi tidak mengetahui
terjemahan bahasa Jepangnya. Hal ini tentunya akan membuat mereka mencari tahu
terjemahan bahasa Jepang dari kata “indah” dalam kamus, namun ternyata kata yang
tertulis adalah kireida dan utsukushii. Untuk membuat kalimat yang menggunakan kata
“indah”, pemelajar akan memilih salah satu kata yang tertulis dalam kamus tersebut.
Biasanya pemelajar memilih kata yang pertama tertulis, meskipun pemelajar tidak tahu

91
apakah kata tersebut cocok atau tidak untuk digunakan dalam kalimat yang akan ia buat.
Besar kemungkinan akan terjadi kekeliruan ketika pemelajar memilih kireida padahal
yang sebenarnya cocok untuk konteks kalimat yang dimaksud adalah utsukushii.
Meskipun maknanya sama atau mirip, tetapi seringkali berbeda dalam
penggunaannya. Dalam buku pelajaran bahasa Jepang untuk orang asing, semua makna
adjektiva, cara membedakan fungsi dan penggunaannya tidak diulas dengan jelas.
Padahal, pemahaman makna suatu kosakata ini sangat penting terutama ketika
menggunakan kosakata tersebut, baik secara langsung dalam komunikasi lisan maupun
secara tidak langsung dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, penulis dalam penelitian
ini mencoba untuk mengungkap tentang persamaan dan perbedaan makna adjektiva
utsukushii dan kireida yang keduanya bermakna “indah”. Analisis yang dilakukan
terpusat pada persamaan dan perbedaan makna dan penggunaan dari kedua adjektiva
tersebut ditinjau dari sudut semantik.

2. Metodologi

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan makna yang
terkandung dalam adjektiva utsukushii dan kireida sebagai adjektiva yang digunakan
dalam bahasa Jepang modern, agar dapat diketahui apakah kedua adjektiva tersebut
dapat saling menggantikan atau tidak dalam suatu kalimat. Oleh karena itu, metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Objek penelitian
ini adalah adjektiva utsukushii dan kireida sebagai sinonim.

2.1 Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa jitsurei, yaitu berbagai macam
contoh kalimat yang menggunakan adjektiva utsukushii dan kireida sebanyak-
banyaknya yang diambil dari buku-buku pelajaran, majalah, dan ditambah contoh
kalimat buatan penulis sendiri yang diterima oleh penutur aslinya (sakurei).
2.2 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik permutasi
(pertukaran) dan subtitusi (pergantian). Teknik ini merupakan salah satu pendekatan
yang digunakan dalam membedakan makna suatu kata, dengan cara melihat apakah
suatu kata dapat digunakan dalam suatu kalimat bisa digantikan dengan sinonimnya
atau tidak.

3. Hasil dan Pembahasan

Pada bagian ini penulis akan menyajikan hasil analisis tentang struktur kalimat
serta persamaan dan perbedaan adjektiva yang dijadikan objek dalam penelitian ini.

3.1 Struktur Adjektiva Utsukushii dan Kireida dalam Kalimat.

(3) きれいな魚ですね。
Kireina sakana desu ne.
Ikan yang indah

92
(4) あんな美しい花火は初めてみました。
Anna utsukushii hanabi wa hajimete mimashita.
Saya baru pertama kali melihat kembang api indah seperti itu.

Dari kalimat-kalimat di atas, dapat diketahui bahwa adjektiva utsukushii dan


kireida memiliki pola kalimat yang sama yaitu utsukushii / kireina + nomina. Kedua
adjektiva sama-sama diletakkan di belakang nomina, yang berfungsi menerangkan
keadaan nomina tersebut. Nomina yang digunakan pada kalimat (3) dan (4) di atas
adalah ikan dan kembang api.

(5) 芝生の緑が美しいです。
Shibafu no midori ga utsukushii desu.
Rerumputan hijau yang indah.
(6) このしばふはきれいですね。
Kono Shibafu wa kirei desune.
Rerumputan ini indah ya.
(7) みにくかった子供の鳥は、大人になって美しい鳥になった。(Midorikawa &
Sakazume 2001:65)
Minikukatta kodomo no tori wa, otona ni natte utsukushii tori ni natta.
Anak burung yang buruk rupa sudah menjadi dewasa, dan ia sudah menjadi burung
yang indah.
(8) 夜空に星が美しく輝いている。
Yozora ni hoshi ga utsukushiku kagayaiteiru.
Bintang-bintang di langit malam bersinar dengan indah.
(9) この切手は色がきれいです。
Kono kitte wa iro ga kirei desu.
Perangko ini berwarna indah.

Dari kalimat (5) sampai (9), dapat diketahui bahwa adjektiva utsukushii dan
kireida berperan sebagai predikat yang menerangkan keadaan subjek dengan meletakan
partikel ga/wa antara subjek dan predikat sebagai pemisahnya. Pada kalimat yang
menggunakan adjektiva utsukushii sebagai predikatnya, memiliki pola kalimat Subjek +
(wa/ga) + utsukushii. Sedangkan kalimat yang menggunakan adjektiva kireida sebagai
predikatnya diakhiri oleh kopula. Pola kalimatnya menjadi Subjek + (wa/ga) + kirei +
desu. Adapun subjek yang digunakan pada kalimat (5) sampai (9) di atas secara
berurutan adalah suasana hijau, kota, burung, bintang, dan warna.
Berdasarkan kalimat (5) sampai (9) di atas, pola kalimat secara umum yang bisa
digunakan untuk adjektiva utsukushii dan kireida dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1 Pola kalimat Adjektiva Utsukushii dan Kireida sebagai Predikat


No Adjektiva Sebagai Predikat
~ (は/が) 美しい
1 Utsukushii
Subjek + (wa / ga) + utsukushii
~ (は/が) きれいだ
2 Kireida
Subjek + (wa / ga) + kirei + desu

93
Tabel 2 Pola kalimat Adjektiva Utsukushii dan Kireida sebagai Atribut pada
Nomina
No Adjektiva Sebagai Atribut pada Nomina
美しい ~
1 Utsukushii
Utsukushii + Nomina
きれいな ~
2 Kireida
Kireina + Nomina

3.2 Persamaan dan Perbedaan Makna Adjektiva Utsukushii dan Kireida sebagai
Sinonim (Indah)

Persamaan makna kedua adjektiva secara umum berdasarkan hasil pendeskripsian


para peneliti terdahulu adalah rasa kagum terhadap suatu objek yang dapat dilihat dan
didengar oleh panca indera. Dengan kata lain objeknya itu harus merupakan benda yang
kongkrit. Sedangkan perbedaannya dapat dilihat dari subjek, nomina yang diikuti, serta
hal lain yang akan mempengaruhi arti sesuai dengan konteks kalimatnya seperti pada
contoh-contoh kalimat di bawah ini dengan menggunakan metode ganti (substitusi).
Tanda ( ✘ ) di awal adjektiva menunjukkan bahwa adjektiva tersebut tidak bisa
digunakan dan tanda (△) di awal adjektiva menunjukkan penggunaan adjektiva tersebut
memungkinkan jika kondisinya berbeda. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh
kalimat berikut:

(10) あのへんから(富士山・海・景色)が美しく見えますね。
Ano hen kara (fujisan / umi / keshiki) ga utsukushiku miemasu ne.
Dari sekitar situ, (gunung Fuji / laut / pemandangan) terlihat indah ya.
(11) あのへんから(富士山・海・景色)がきれいに見えますね。
Ano hen kara (fujisan / umi / keshiki) ga kireini miemasu ne.
Dari sekitar situ, (gunung Fuji / laut / pemandangan) terlihat indah ya.

Pada kalimat (10) dan (11) di atas, adjektiva utsukushii maupun adjektiva kireida,
sama-sama dapat digunakan. Jika melihat subjek yang digunakannya yaitu berupa
gunung Fuji <fujisan>, laut <umi> dan pemandangan <keshiki>. Ketiga subjek tersebut
merupakan benda alam atau segala sesuatu yang berkaitan dengan alam, yaitu benda-
benda atau segala sesuatu yang bukan merupakan ciptaan manusia. Pada kedua kalimat
tersebut dideskripsikan bahwa si pembicara menikmati dan mengagumi akan keindahan
gunung, laut dan pemandangan. Hal tersebut menandakan bahwa ada bentuk penilaian
dari si pembicara terhadap benda-benda alam.

(12) 夜空に星が(美しく / きれいに)輝いている。


Yozora ni hoshi ga (utsukushiku / kireini) kagayaiteiru.
Bintang-bintang di langit malam bersinar dengan indah.
(13) 今日は空が (美しく / きれいに) 晴れています。
Kyoo wa sora ga (utsukushiku / kireini) hareteimasu.
Hari ini langit cerah dengan indahnya.

Demikian pula, adjektiva utsukushii dan kireida dapat digunakan pada kalimat
(12) dan (13) karena subjek yang digunakannya berupa benda-benda alam, yaitu bintang

94
<hoshi> pada kalimat (12) dan langit <sora> pada kalimat (13). Bentuk penilaian pada
kalimat (12) tertuju pada keadaan bintang yang dinilai indah oleh si pembicara, karena
bintang tersebut mengeluarkan sinar. Sedangkan pada kalimat (13) keindahan yang
dilihat si pembicara tertuju pada keadaan langit yang cerah, yaitu langit yang tidak
tertutup awan.

(14) これは (美しい / きれいな) 花です。


Kore wa utsukushii / kireina hana desu.
Ini bunga yang indah/cantik
(15) 緑の芝生が (美しい / きれい)です。
Midori no shibafu ga utsukushii / kirei desu.
Rerumputan hijau yang indah.

Pada kalimat (14) dan (15) di atas, kedua adjektiva bisa digunakan juga untuk
menerangkan nomina berupa bunga <hana> pada kalimat (14) dan subjek berupa
rumput <shibafu> pada kalimat (15). Kedua adjektiva tersebut sama-sama digunakan
sebagai penilaian untuk menerangkan kondisi tumbuh-tumbuhan yang merupakan
benda alam dan memiliki unsur-unsur keindahan. Bentuk penilaian pada kalimat (14)
tertuju pada keadaan bunga yang dinilai indah oleh si pembicara, penilaiannya itu bisa
dilihat dari bentuk atau warna dari bunga tersebut. Sedangkan pada kalimat (15) tertuju
pada keadaan rerumputan yang berwarna hijau.
Dari kalimat (10) sampai (15) dapat diketahui bahwa adjektiva utsukushii dan
kireida digunakan untuk menerangkan kondisi terhadap benda-benda alam atau
fenomena yang terjadi di alam. Persoalannya sekarang, benda alam yang bagaimanakah
yang bisa dikatakan indah/cantik menggunakan adjektiva utsukushii atau kireida itu?
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh kalimat berikut:

(16) 私はむねいっぱい朝の (✘美しい / きれいな) 空気をすいながら、やわらか


い土をふんで庭を歩きました。
Watashi wa mune ippai asa no (✘utsukushii / kireina) kuuki o suinagara,
yawarakai tsuchi o funde niwa o arukimashita.
Saya berjalan di taman menginjak tanah yang empuk sambil menghirup udara
bersih di pagi hari yang memenuhi dada.

Pada kalimat (16) adjektiva utsukushii tidak dapat digunakan, karena sesuatu yang
dinilainya itu berupa udara <kuuki>. Memang udara merupakan benda alam atau
sesuatu yang berkaitan dengan alam, tetapi udara memiliki sifat tidak nyata (maujud)
karena udara terbentuk dari campuran berbagai gas yang tidak berwarna dan tidak
berbau, sehingga udara tidak bisa ditangkap oleh indera penglihatan. Lain halnya
dengan bintang yang terbentuk dari gas menyala seperti matahari. Karena gas tersebut
mengeluarkan cahaya yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan, maka adjektiva
utsukushii pun bisa digunakan.
Secara kontekstual makna adjektiva kireida pada kalimat (16) menyatakan
keadaan yang tidak kotor. Maksudnya adalah keadaan yang terbebas dari polusi dalam
bentuk padat, cair, atau gas, seperti debu dan karbon. Sehingga dapat dipadankan
dengan kata bersih. Untuk hal seperti ini hanya adjektiva kireida saja yang bisa
digunakan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa adjektiva kireida digunakan

95
untuk menyatakan penilaian terhadap benda-benda alam yang bersifat kongkrit dan
abstrak serta mengalami pergeseran makna menjadi ’bersih’.
Sedangkan adjektiva utsukushii hanya digunakan untuk menyatakan penilaian
terhadap benda-benda alam yang bersifat kongkrit saja. Dengan kata lain, sesuatu yang
dinilainya itu harus berupa benda alam atau fenomena alam yang dapat ditangkap oleh
indera penglihatan. Dalam hal ini adjektiva utsukushii tidak mengalami pergeseran
makna.

(17) あの女の人は (美しい / きれいな) 顔をしている。


Ano onna no hito wa utsukushii / kireina kao o shiteiru.
Wanita itu mempunyai wajah yang cantik.
(18) (美しい / きれいな) 魚ですね。
Utsukushii / Kireina sakana desu ne.
Ikan yang indah.

Pada kalimat (17) dan (18) baik adjektiva utsukushii maupun kireida, kedua-
duanya bisa digunakan. Dideskripsikan bahwa pada kedua kalimat tersebut terdapat
bentuk penilaian si pembicara terhadap objek atau sesuatu yang dilihatnya. Adjektiva
utsukushii dan kireida yang digunakan pada kedua kalimat di atas berperan sebagai kata
keterangan terhadap objek yang menjadi topik pembicaraannya. Pada kalimat (17) objek
yang dibicarakannya adalah wajah <kao> yang dimiliki oleh seorang wanita. Kemudian
pada kalimat (18) objek yang dibicarakannya adalah ikan <sakana>. Maka dapat
disimpulkan bahwa adjektiva utsukushii dan kireida menunjukan bentuk penilaian
terhadap anggota tubuh manusia (wajah) dan hewan (ikan).

(19) みにくかった子供の鳥は、大人になって (美しい /△きれいな) 鳥になった。


Minikukatta kodomo no tori wa, otona ni natte (utsukushii /△kireina) tori ni natta.
Anak burung yang buruk rupa sudah menjadi dewasa, dan ia sudah menjadi burung
yang indah.

Adjektiva yang digunakan pada kalimat (19) membicarakan topik yang


menerangkan keadaan suatu burung. Burung merupakan makhluk hidup yang
dikategorikan kedalam jenis hewan seperti halnya pada ikan. Tetapi meskipun topik
pembicaraannya mengenai jenis hewan, pada kalimat (19) hanya utsukushii saja yang
bisa digunakan. Karena pada kalimat tersebut terdapat kata minikukatta (bentuk lampau
dari minikui) yang merupakan bentuk antonim/lawan kata dari adjektiva utsukushii. Jika
diartikan kedalam bahasa Indonesia mempunyai pengertian jelek, buruk rupa atau tidak
enak dipandang. Dalam konteks kalimat seperti ini hanya adjektiva utsukushii saja yang
bisa digunakan, karena jika digunakan adjektiva kireida pada kalimat di atas, makna
kalimat itu akan terasa janggal.

(20) 姉は私に美しい(人形・ゆびわ)をくれました。
Ane wa watashi ni utsukushii (ningyoo / yubiwa) o kuremashita.
Kakak perempuan memberi (boneka / cincin) yang cantik/indah kepada saya.
(21) 姉は私にきれいな(人形・ゆびわ)をくれました。
Ane wa watashi ni kireina (ningyoo / yubiwa)o kuremashita.
Kakak perempuan memberi (boneka / cincin) yang cantik/indah kepada saya)

96
Baik adjektiva utsukushii maupun kireida pada kedua konteks kalimat di atas bisa
digunakan. Jika dilihat dari objek dalam kalimat tersebut, yaitu boneka <ningyoo> dan
cincin <yubiwa> yang kedua-duanya merupakan benda mati (tidak bernyawa). Hal ini
pun merupakan persamaan dari adjektiva utsukushii dan kireida sebagaimana telah
dijelaskan diatas, bahwa kedua adjektiva ini sama-sama menyatakan penilaian si
pembicara terhadap sesuatu yang dilihatnya, dalam hal ini boneka dan cincin.

(22) これは、働いてもらった (✘美しい / きれいな) 金だ。汚い金ではない。


Kore wa, hataraite moratta (✘utsukushii / kireina) kane da. Kitanai kane dewanai.
Ini adalah uang halal hasil kerja saya. Bukan uang haram.

Sedangkan pada kalimat (22) adjektiva utsukushii tidak bisa digunakan. Padahal
benda yang diterangkannya sama-sama merupakan benda mati, yaitu uang <kane>. Jika
dilihat dari segi penggunaannya, boneka dan cincin pada kalimat (20) dan (21)
merupakan barang yang dipakai untuk menghiasi sesuatu. Sebagai contoh, boneka dapat
dipakai untuk menghiasi kamar atau lemari dan cincin dipakai untuk menghiasi jari
manusia. Dengan kata lain, boneka dan cincin merupakan benda mati yang berfungsi
sebagai hiasan.
Sedangkan uang <kane> pada kalimat (22) bukan merupakan barang yang dipakai
untuk menghiasi sesuatu. Tetapi merupakan barang yang dikeluarkan pemerintah suatu
negara sebagai alat tukar atau standar pengukur nilai yang sah. Dijelaskan bahwa si
pembicara memperoleh uang tersebut dari hasil kerja kerasnya, bukan merupakan uang
kotor. Maksudnya bukan uang yang diperoleh dari hasil korupsi, sogokan atau
perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak sejalan dengan peraturan hukum. Dalam hal ini,
adjektiva kireida dapat dipadankan dengan kata halal dalam bahasa Indonesia. Dengan
demikian, kireida dapat menyatakan keadaan terhadap benda yang diperoleh dengan
cara sah berdasarkan pada ketentuan yang ada.

(23) 着物を洗濯して (✘美しく / きれいに) する。


Kimono o sentaku shite (✘utsukushiku / kireini) suru.
Kimono yang sudah dicuci akan menjadi bersih.
(24) (✘美しく / きれいに) 歯をみがきます。
(✘Utsukushiku / Kireini) ha o migakimasu.
Menggosok gigi dengan bersih.
(25) 部屋が (✘美しく / きれいに) 掃除してありますね。
Heya ga (✘utsukushiku / kireini) sooji shite arimasu ne.
Kamarnya sudah dibersihkan ya.

Pada kalimat di atas adjektiva utsukushii tidak dapat digunakan, karena adjektiva
pada ketiga kalimat tersebut berfungsi menerangkan kata kerja yang menjadi topik
pembicaraannya, seperti mencuci <sentaku suru> pada kalimat (23), menggosok
<migaku> pada kalimat (24), dan membersihkan/membereskan <souji suru> pada
kalimat (25). Di mana ketiga kata kerja tersebut merupakan salah satu tindakan yang
dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk menjadi bersih dan tersusun rapi.
Dalam hal ini, adjektiva kireida dapat dipadankan dengan kata bersih dalam
bahasa Indonesia. Pada konteks kalimat seperti ini hanya adjektiva kireida saja yang
dapat digunakan.

97
(26) 負けてもかまわないから、(✘美しい / きれいな) 試合をしよう。
Maketemo kamawanai kara, (✘utsukushii / kireina) shiai o shiyoo.
Kalah juga tidak apa-apa, yang penting bertanding dengan jujur.
(27) (✘美しい / きれいな)政治。
(✘Utsukushii / Kireina) seiji.
Politik yang jujur.

Adjektiva utsukushii pada kedua kalimat (26) dan (27) di atas tidak dapat
digunakan. Pada kalimat (26) topik pembicaraannya adalah pertandingan <shiai>, yaitu
suatu aktifitas yang menghadapkan dua pemain atau regu dalam berkompetisi atau
bersaing untuk merebut kejuaraan. Kemudian pada kalimat (27) topik pembicaraannya
adalah politik <seiji>, yaitu segala urusan dan tindakan tentang suatu kebijakan atau
siasat dalam pemerintahan suatu negara. Dalam hal ini, adjektiva kireida dapat
dipadankan dengan kata jujur dalam bahasa Indonesia.

(28) その映画は、二人の少年の (美しい / ✘きれいな) 友情の物語です。


Sono eiga wa, futari no shoonen no (utsukushii / ✘kireina) yuujoo no monogatari
desu.
Film itu menggambarkan persahabatan yang baik antara dua remaja.

Adjektiva kireida pada kalimat (28) tidak dapat digunakan, karena topik
pembicaraannya adalah persahabatan <yuujoo>, yaitu suatu hubungan yang
menggambarkan perilaku kerja sama dan saling mendukung antara dua atau lebih
entitas sosial.

(29) あの人は心が (美しい / きれいだ)。


Ano hito wa kokoro ga (utsukushii / kireida).
Orang itu berhati baik.

Topik yang dibicarakan membahas tentang segala sesuatu yang bersifat abstrak,
maksud abstrak disini adalah sesuatu yang kasat mata, tidak berwujud, dan tidak
terdefinisi. Pada kalimat (29) topik pembicaraannya adalah hati <kokoro>. Hati yang
dimaksud dalam kalimat tersebut adalah perasaan atau emosi jiwa yang dimiliki oleh
manusia, bukan hati dalam bentuk fisik.

(30) (美しい / △きれいな) 声で歌を歌う。


(Utsukushii / △kireina) koe de uta o utau.
Menyanyikan lagu dengan suara yang merdu.
(31) 彼女の (美しい / △きれいな) 歌声に、みんながはくしゅを送った。
Kanojo no (utsukushii / △kireina) utagoe ni, minna ga hakushu o okutta.
Hadirin bertepuk tangan pada alunan nyanyiannya yang merdu.
(32) 弾いていた人はあまり有名な人ではありませんでしたが、ギターの
(△美しい / きれいな) 音にとても感動しました。
Hiiteita hito wa amari yuumeina hito dewa arimasen desuta ga, gitaa no
(△utsukushii / kireina) oto ni totemo kandoushimashita.

98
Orang yang memainkan gitar itu bukan orang yang terkenal, tetapi suara merdu
gitarnya sangat berkesan.

Kedua adjektiva pada kalimat (30) sampai (32) di atas dapat digunakan karena
nomina yang diikuti adjektiva utsukushii dan kireida merupakan benda kongkrit, yaitu
getaran udara yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran yang berupa bunyi atau
suara. Nomina yang digunakan pada ketiga kalimat tersebut adalah suara <koe>,
nyanyian <utagoe> dan bunyi <oto>.
Untuk nomina koe dan utagoe seperti pada kalimat (30) dan (31) akan lebih tepat
jika menggunakan adjektiva utsukushii, karena getaran udara tersebut merupakan hasil
yang dibuat oleh alat ucap manusia seperti pita suara, lidah dan bibir. Sedangkan pada
kalimat (32) yang menggunakan bunyi <oto> sebagai nomina yang diterangkannya,
akan lebih tepat jika menggunakan adjektiva kireida. Hal ini dikarenakan getaran udara
yang dihasilkan berasal dari benda mati atau benda tidak bernyawa, misalnya bunyi
yang berasal dari alat musik gitar yang terdapat pada contoh kalimat (32) di atas.
Tetapi lain halnya jika getaran udara tersebut dihasilkan oleh benda hidup atau
benda bernyawa sejenis hewan, seperti pada contoh kalimat berikut ini.

(33) こんなにきれいな鳥だから、さぞ(美しい / きれいな)声で鳴くかと思った


ら、「ギャギャ」って、汚らしい声で鳴くんだ。
Konnani kireina tori dakara, sazo (utsukushii / kireina) koe de naku ka to omottara,
“GYA-GYA” tte, yogorashii koe de nakunda.
Saya fikir burung indah seperti ini kicauannya juga akan nyaring, tapi ternyata
berbunyi “GYA-GYA”, kicauan yang buruk.

Pada kalimat (33) dapat kita lihat bahwa adjektiva utsukushii dan kireida dapat
saling menggantikan dalam konteks kalimat yang menggunakan hewan sebagai
nominanya, dalam hal ini seekor burung.

(34) 子供は (美しい / きれいな) 着物を着て、喜んでいます。


Kodomo wa (utsukushii / kireina) kimono o kite, yorokondeimsu.
Anak-anak bahagia memakai kimono yang bagus.
(35) この着物は安くて、(美しくて / きれいで)、丈夫です。
Kono kimono wa yasukute, (utsukushikute / kireide), joobu desu.
Kimono ini murah, bagus dan kuat.

Kalimat (34) dan (35) di atas dapat kita lihat bahwa adjektiva utsukushii dan
kireida dapat saling menggantikan, karena kedua kalimat tersebut bersifat ambigu yaitu
memiliki dua penafsiran. Jadi, penggunaan kedua adjektiva tersebut tergantung pada
topik yang sedang dibicarakan oleh penutur. Jika adjektiva yang digunakan adalah
utsukushii, maka topik yang dibicarakan yaitu mengenai kualitas kimono. Hal ini
menunjukkan bahwa si pembicara mempertimbangkan kimono berdasarkan pada mutu
warna, misalnya kepudaran yang akan terjadi dalam jangka waktu panjang, kemudian
bisa juga berdasarkan pada bahan yang dipakainya, misalnya bahan yang dipakai tipis
sehingga akan mudah sobek, dan bisa juga berdasarkan kerapihan atau kekuatan jahitan.
Dapat diekspresikan pada kalimat (34) bahwa anak-anak merasa bahagia karena
memakai kimono yang berkualitas baik. Perasaan bahagia yang muncul kemungkinan
disebabkan oleh bahan pada kimono tersebut merupakan bahan yang tidak mudah

99
sobek, dengan demikian mereka akan leluasa untuk bergerak, sehingga menimbulkan
perasaan bahagia. Kemudian pada kalimat (35) kimono yang dibicarakan penutur
memiliki harga yang murah, berkualitas baik dan kuat. Dalam konteks kalimat tersebut,
ada kemungkinan kondisi si pembicara saat itu akan membeli kimono dan sedang
memilih-milih kimono dengan mempertimbangkan harga dan kualitas kimono tersebut.
Sedangkan jika adjektiva yang digunakan adalah kireida, maka topik yang
dibicarakan yaitu mengenai kebersihan kimono. Pada kalimat (34) Anak-anak merasa
bahagia karena mereka memakai kimono bersih yang sudah dicuci. Perasaan bahagia itu
muncul kemungkinan disebabkan oleh wangi yang menempel pada kimono atau
hilangnya noda-noda pada kimono karena sudah dicuci, sehingga hal tersebut
menimbulkan perasaan bahagia. Kemudian pada kalimat (35) kimono yang dibicarakan
penutur merupakan kimono yang murah, tidak kotor dan kuat. Dalam konteks kalimat
ini ada kemungkinan si pembicara sudah lama memiliki kimono tersebut yang dibelinya
dengan harga murah dan meskipun sudah dicuci berkali-kali yang menandakan kimono
tersebut dalam keadaan bersih tetapi sampai sekarang kimono tersebut tetap awet.
Demikian penjelasan mengenai persamaan dan perbedaan adjektiva utsukushii dan
kireida dalam suatu kalimat yang bertujuan memberikan alasan-alasan mengapa
adjektiva utsukushii dan kireida dapat saling menggantikan atau tidak dalam suatu
kalimat.
4. Simpulan
Setelah menganalisis adjektiva utsukushii dan kireida yang digunakan dalam
berbagai macam kalimat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa adjektiva utsukushii dan
kireida memiliki persamaan, yaitu bisa dipadankan dengan kata indah, cantik, bagus,
baik, nyaring/merdu dalam bahasa Indonesia berdasarkan pada konteks kalimatnya,
kedua adjektiva ini digunakan untuk menyatakan suatu bentuk penilaian terhadap
sesuatu/objek yang dapat dilihat atau didengar (benda konkrit misalnya berupa benda
alam, benda mati, benda hidup, dan lain-lain).
Perbedaan adjektiva utsukushii dan kireida dilihat dari segi makna dan
penggunaannya adalah utsukushii berfokus pada subjek atau nomina sebagai topik yang
dibicarakannya merupakan benda abstrak yaitu berupa hubungan kerjasama yang saling
mendukung antara dua atau lebih entitas sosial. Selain itu, utsukushii mengandung
makna hubungan yang serasi dan selaras, dapat dipadankan dengan kata harmonis
dalam bahasa Indonesia. Sedangkan adjektiva kireida berfokus pada banyak subjek atau
nomina sebagai topik pembicaraannya, diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Subjek atau nomina sebagai topik pembicaraannya merupakan benda abstrak yang
berupa campuran berbagai gas tidak berwarna dan tidak berbau, serta tidak bisa
dilihat oleh mata.
b) Subjek atau nomina sebagai topik pembicaraannya merupakan benda konkrit berupa
alat tukar atau standar pengukur nilai yang sah dalam suatu Negara.
c) Subjek atau nomina sebagai topik pembicaraannya merupakan aktivitas yang
menghadapkan dua pemain atau regu dalam berkompetisi atau bersaing untuk
memperebutkan kejuaraan.
d) Subjek atau nomina sebagai topik pembicaraannya merupakan segala urusan dan
tindakan tentang suatu kebijakan atau siasat dalam pemerintahan suatu negara.
Selain itu, adjektiva kireida mengandung makna keadaan yang tidak kotor, yaitu
keadaan yang terbebas dari polusi dalam bentuk padat, cair, atau gas, seperti debu dan
karbon, dapat dipadankan dengan kata bersih dalam bahasa Indonesia. Keadaan

100
bersihnya, digunakan untuk menerangkan suatu aktivitas atau tindakan yang dilakukan
oleh manusia dengan tujuan untuk menjadi bersih dan tersusun rapi. Mengandung
makna suatu keadaan yang diperoleh dengan cara sah dan berdasarkan pada ketentuan
yang ada, dapat dipadankan dengan kata halal dalam bahasa Indonesia. Mengandung
makna suatu keadaan yang tidak curang, tulus dan ikhlas, dapat dipadankan dengan kata
jujur dalam bahasa Indonesia.

5. Daftar Pustaka

Chaer, A. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.


Izuhara, S. (1998). Ruigigo Tsukaiwake Jiten. Tokyo: Kenkyuusha.
Kaigai Gijutsusha Kenshuu Kyoukai. (2005). Shin Nihongo no Kiso. 3-A Net Work.
Matsura, K. (1994). Nihongo Indonesi-go Jiten. Tokyo: Kyooiku Geijutsu Kenkyuusho.
Midorikawa, O & Sakazume, T. (2001). Nihongo no Kokoro o Tsutaeru Keiyoushi.
Tokyo : Senmon Kyouiku Publishing.
Nihon Hoosoo Kyookai. (1976). Nihongo Hatsuon Akusento Jiten. Tokyo: Nihon
Hoosoo Shuppan Kyookai.
Ogawa, Y. (1982). Nihongo Kyooiku Jiten. Tokyo: Daishuukanshoten.
Shiro, H. (1984). Reikai Shinkokugo Jiten. Japan : Sanseido Co.
Soedjito. (1988). Sinonim. Bandung : Sinar Baru.
Sutedi, D. (2003). Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama
Press.
________. (2005). Pengantar Penelitian Pendidikan dan Bahasa Jepang. Bandung :
Universitas Pendidikan Indonesia.
Tsuruko, A. (1981). Gaikokujin no Tame no Kihongo Yoorei Jiten Dai 2 Ban. Tokyo:
Bunkachoo.

101
Jurnal SORA Vol 3, No 2, Desember 2018 (hal 102 – 116)

ANALISIS BUKU AJAR (LEHRWERKANALYSE) BAHASA


JERMAN STUDIO D DAN NETZWERK DALAM PENGAJARAN
BAHASA JERMAN DI STBA YAPARI-ABA BANDUNG
Dasim Karsam & Tintin Agustina
Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari-ABA Bandung
dasimkarsam@stba.ac.id

Abstrak

Buku ajar memainkan peran yang sangat penting dalam pengajaran bahasa asing. Di satu sisi,
sebuah buku ajar berkaitan dengan fenomena linguistik dan budaya; Di sisi lain, ia
mengendalikan seluruh proses pembelajaran untuk jangka waktu tertentu. Penelitian ini
berfokus pada materi pembelajaran utama dan media yang akan digunakan oleh para dosen dan
mahasiswa Jurusan Bahasa Jerman STBA Yapari-ABA. Tujuan penelitian ini adalah
menemukan buku ajar yang lebih sesuai. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini
menggunakan landasan teoretis Rösler & Würffel (2014: 17-32) tentang analisis materi dan
media pembelajaran dalam bentuk metode analisis buku ajar. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa buku ajar Netzwerk A1-B1 memiliki lebih banyak keunggulan atas Studio d A1-B1
dengan mempertimbangkan (1) komponen dan fungsinya, (2) struktur internal, dan (3) tingkat
bahasa (Kerangka Acuan Umum Eropa untuk Bahasa) kedua buku ajar tersebut. Urgensi
penelitian ini terkait realisasi rencana pemutakhiran bahan/materi dan media pembelajaran di
Program Jurusan Bahasa Jerman pada tahun akademik 2018/2019. Penelitian lebih lanjut dapat
dilakukan dalam rangka evaluasi atas penerapan materi dan media pembelajaran di dalam kelas.

Kata Kunci: materi dan media, pembelajaran, bahasa Jerman, tingkat CEFRL (Kerangka
Acuan Umum Eropa untuk Bahasa)

Abstract
A textbook plays a very crucial role in foreign language teaching. On the one hand, it deals with
linguistic and cultural phenomena; Moreover, it controls the whole learning process for a
certain period of time. This research focuses on the main learning materials and media used by
lecturers and students of German Department at STBA YAPARI. The purpose of the study is to
find a suitable textbook for them. In order to reach the goal of the investigation, this study uses
the theoretical foundations of Rösler & Würffel (2014: 17-32) on the analysis of learning
materials and media in a form of the textbook analysis method, namely the analysis of "Studio
d" and "Netzwerk" A1-B1. The results of the study show that the new textbook has some
advantages over the old one if the two textbooks consider (1) the components and their
functions, (2) the internal structure, and (3) the language level Common European Framework
of Reference for Languages (CEFRL) of textbooks. The importance of this research is that the
plan for the renewal of learning materials and media should be implemented in the German
Department in the 2018/2019 academic year. Another investigation can be done in the form of
an evaluation of the implementation of learning materials and media in the classroom in the
2018/2019 academic year.

Keywords: CEFRL’s level, German, learning, materials and media

102
1. Pendahuluan

Alles zu seiner Zeit ‘semua ada waktunya’. Der Junge wird alt ‘yang muda akan
menjadi tua’. Kutipan tersebut berasal dari puisi pujangga terbesar Jerman sepanjang
zaman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) yang ditemukan pada bahan dan
materi pembelajaran dalam buku ajar Studio d B1. Begitulah, kehidupan memberi kita
ketetapan berupa hukum-hukum alam yang berlaku juga untuk sebuah buku ajar yang
sudah bertahun-tahun merupakan bahan dan media pembelajaran di berbagai perguruan
tinggi. Saat pertama terbit, sebuah buku ajar dinilai sangat aktual atau sesuai dengan
tuntutan zaman. Namun, setelah berjalannya waktu, sebuah buku ajar digantikan dengan
yang lebih sesuai dengan zaman yang terus berubah. Sementara itu, di bursa buku saat
ini tersedia banyak pilihan buku ajar. Urgensi penelitian ini terkait implementasi
rencana pemutakhiran bahan/materi dan media pembelajaran pada program studi
sebagai tuntutan pelaksanaan kurikulum baru. Untuk itu, maka diperlukan rekomendasi
sebagai hasil kajian keilmuan tentang keunggulan dan kelemahan buku ajar resmi yang
akan digunakan oleh jurusan mulai Semester Gasal 2018/2019.

2. Kajian Literatur

2.1 Pengertian Materi atau Bahan dan Media Pembelajaran

Pada saat mulai belajar bahasa, lingkungan sekitar kita merupakan sumber atau
input bahasa kita. Di sekolah, input bahasa kita bertambah dengan hadirnya materi atau
bahan ajar yang khusus dirancang untuk keperluan belajar. Selain itu, ada juga bahan
ajar yang sengaja dirancang untuk orang yang mempelajari bahasa asing yang sama
sekali baru atau belum pernah dipelajari sebelumnya (ab initio) agar bisa belajar
mendengar, berbicara, membaca dan melihat teks yang tidak diproduksi khusus untuk
proses belajar mereka (Rösler & Würffel, 2014: 9). Mereka belajar bahasa asing dengan
sumber-sumber belajar, sebagai berikut: buku ajar, kaset-audio, CD-Audio, CD-ROM,
DVD, Apps, komponen internet buku ajar, radio, televisi, buku (buku fiksi dan non
fiksi), internet (www), surat kabar (kertas/online), penutur asli, chatting dengan teman,
peserta didik atau mahasiswa lain, teks dari kehidupan sehari-hari (Realien), misalnya
brosur dan formulir, dan lain-lain.
Menurut Rösler & Würffel (2014: 12-13), sebenarnya materi atau bahan ajar tidak
hanya menyangkut buku ajar. Meskipun demikian, buku ajar tetap memegang peran
sangat penting dalam proses belajar-mengajar bahasa. Buku ajar merupakan bagian dari
materi dan media belajar secara keseluruhan yang mengangkat fenomena bahasa dan
budaya bahasa yang dipelajari yang dirancang khusus dan yang merupakan patokan
berlangsungnya proses belajar bahasa untuk jangka waktu tertentu. Semua bahan itu
meliputi materi atau bahan belajar (Lernmaterial) dan bahan mengajar (Lehrmaterial).
Jadi, bahan ajar bahasa mengacu pada semua bahan yang dapat digunakan oleh
pembelajar untuk mempelajari bahasa dan oleh pengajar untuk mengajar bahasa, yaitu:
buku ajar, teks, gambar, permainan, film, dan lain-lain yang khusus diproduksi untuk
pelajaran di kelas. Selain itu, ada juga bahan yang sebenarnya dibuat untuk tujuan lain,
tetapi dapat digunakan untuk belajar bahasa. Jika kita masih menekankan bahan ajar
pada buku ajar, semua yang disebutkan terakhir termasuk ke dalam materi tambahan
(Zusatzmaterialien). Baik bahan belajar maupun bahan mengajar sebenarnya
bersinonim jika dilihat dari bahannya.

103
Selanjutnya, media memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah
pengetahuan manusia. Menurut Seidler (dalam Ulrich, 2014: 50), sebuah media
memungkinkan seorang individu maupun masyarakat untuk menyimpan, mengolah, dan
mengomunikasikan informasi. Begitu pula dalam pembelajaran bahasa asing, seluruh
informasi itu “terhimpun” dalam sebuah buku ajar. Sebelum abad ke-20, metode
pembelajaran bahasa asing boleh dikatakan tidak mengalami perubahan berarti.
Perubahan paradigma baru kemudian berlangsung karena pengaruh ilmu psikologi dan
teknologi. Pada tahun 1970-an istilah yang pertama lebih menonjol dan lebih sering
digunakan oleh para peneliti seiring dengan paradigma baru saat itu bahwa pembelajar
lebih penting daripada pengajar, seperti terlihat dari pergeseran pembelajaran yang
semula berpusat pada pengajar (Lehrerzentriert) menjadi berpusat pada siswa atau
mahasiswa (Lernerzenriert). Sebagai bentuk kompromi, di Jerman digunakan istilah
yang disatukan sekaligus, yaitu: bahan belajar dan mengajar (Lehr- und Lernmaterial).
Di abad ke-21 ini, kedua istilah itu digunakan, yaitu materi belajar mandiri
(Selbstlernmaterialien) yang menitikberatkan perhatian pada peserta didik atau
mahasiswa (Lerner) dan buku ajar (Lehrwerk) yang menitikberatkan perhatian pada
pengajar (Lehrer).
Dalam pembelajaran bahasa asing, istilah bahan ajar sering bercampur-aduk
dengan istilah media belajar. Padahal, bahan ajar sering tidak hanya meliputi bahan
cetak, melainkan juga bisa berbentuk file audio, video/filem dan sejenisnya. Dalam
pembelajaran bahasa asing, semua itu berfungsi sebagai media belajar. Istilah media
lebih rumit lagi karena digunakan dalam berbagai disiplin ilmu seperti Ilmu
Komunikasi, Ilmu Budaya, dan Ilmu Bahasa dengan penekanan atau perspektif yang
berbeda-beda seperti sudah disinggung di atas. Namun dalam penelitian ini, istilah
media mengacu kepada semua alat atau piranti (Mittel) untuk menyampaikan semua
materi/isi (Materialien), tugas (Aufgaben), untuk membantu proses pemerolehan
pengetahuan dan kemampuan bahasa. Sebuah siaran radio adalah bahan belajar
(Lernmaterial) dengan media radio yang dapat melatih kemampuan bahasa menyimak
(Hörverstehen) sedangkan di dalam media komputer, kita menemukan latihan
tatabahasa sebagai bahan belajar (Lernmaterial) yang diproduksi berupa perangkat
lunak (software) khusus (Rösler & Würffel, 2014: 12-13).
Dengan demikian, istilah bahan ajar dan media pembelajaran akan digunakan
bersama-sama menjadi bahan dan media pembelajaran (Lernmaterialien/-medien)
dalam melakukan penilaian dan analisis terhadap buku ajar. Jadi, buku ajar dalam
penelitian ini mencakup: buku ajar (Lehrbuch) itu sendiri, buku kerja (Arbeitsbuch),
kertas kerja (Arbeitsblätter), kaset audio, CD, VCD, latihan online, bahan latihan dalam
bentuk CD-ROM, poster, buku fiksi, bacaan ringan atau easy reader (Belletristik und
Lektürenhefte), teks dari kehidupan sehari-hari, misalnya formulir, foto, perangko,
brosur dan lain-lain (Realien), artikel surat kabar, peta, internet, papan tulis, papan
untuk presentasi/kertas (Stelltafel), internet, papan tempel/dinding (Wandtafel),
diaprojector, overhead-projector (OHP), DVD-Player, dan televisi, papan tulis
interaktif/papan tulis cerdas (interaktive Tafel, interaktives Whiteboard, Smartboards),
LCD Projector (beamer), tablet/PC, telefon mobil yang dapat terhubung dengan internet
(internetfähiges Mobiltelefon), platform belajar (Lernplattform) sebuah lembaga (Rösler
& Würffel, 2014: 12-13).

104
2.2 Jenis Media atau Bahan Ajar: Analog dan Digital

Dilihat dari sejarahnya, penggunaan media dalam belajar bahasa asing dimulai
pada awal paruh abad ke-20 seiring dengan penggunaan metode belajar audio-lingual
dan audio-visual yang bertujuan untuk melatih struktur bahasa secara terpola atau
skematis. Untuk itulah, dibangun sebuah ruangan terpisah dan khusus dengan sebutan
laboratorium bahasa yang meskipun pada abad ke-21 sudah mulai banyak ditinggalkan,
pernah memegang peranan penting dalam pembelajaran bahasa asing pada abad ke-20.
Saat ini, penggunaan media makin bertambah seiring dengan datangnya berbagai media
digital. Oleh sebab itu, media pun kemudian dibagi ke dalam media analog dan media
digital. Media analog mencakup pita video, kaset audio, buku cetak, poster belajar,
sedangkan internet dan papan tulis cerdas atau papan tulis interaktif merupakan media
digital yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan belajar-mengajar di
abad ke-21. Rösler & Würffel (2014: 12-13) mendefinisikan media digital sebagai
media elektronik yang bekerja dengan kode-kode elektronik. Melalui media digital,
peserta didik atau mahasiswa bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan fasilitas-
fasilitas yang tidak dimungkinkan melalui media analog Materi atau bahan belajar
digital dapat diperlihatkan dengan grafik di bawah ini:

Grafik 1 Materi/Bahan Pembelajaran Digital (Rösler, 2012: 52) dalam Rösler &
Würffel (2014: 12-13)

2.3 Buku Ajar: Unsur-Unsur Buku Ajar dan Fungsinya

Sebuah buku ajar berbeda dengan buku ajar lainnya, bukan hanya berbeda dari
tampilan fisiknya, tetapi juga dari komponen yang mengikutinya. Sebagian buku ajar
memiliki buku siswa baik untuk digunakan di dalam kelas, maupun untuk digunakan
untuk di luar kelas atau sebagai bahan pekerjaan rumah (Hausaufgaben). Hal yang sama
berlaku bagi buku pegangan guru (Lehrerhandbuch). Ada buku pegangan guru yang
mendeskripsikan secara rinci untuk tiap unit pelajaran, proses dan metode belajar serta
kunci jawaban. Namun, sebagian lagi sebaliknya, dengan hanya memberi informasi
yang sangat sedikit dan memberikan kebebasan, tetapi juga dapat menjadi beban bagi
sebagian pengajar. Oleh sebab itu, karena berbeda-beda itulah, penilaian atas tujuan
(Zielsetzungen) terhadap sebuah buku pegangan guru – selain buku ajar – menjadi juga
penting (Rösler & Würffel, 2014: 25).

105
Buku ajar bersama-sama dengan buku pegangan guru (Lehrbuch) di atas, dan
buku siswa (Arbeitsbuch) membentuk inti dari sebuah buku ajar (Lehrwerk). Ketiga
komponen tersebut - yang juga sering menjadi acuan atau sumber satu sama lainnya –
menentukan seluruh aktivitas pembelajaran bahasa di dalam kelas. Biasanya, masih
terdapat juga komponen tambahan lainnya seperti CD, film, bahan audio dari internet,
latihan kosakata (Wortschatztrainer), latihan tatabahasa (Grammatiktrainer), lembar
kerja (Arbeitsblätter) atau materi/bahan untuk difotokopi (Kopiervorlage) yang saat ini
dapat diunduh, latihan-online, atau bahan digital untuk papan tulis interaktif atau papan
tulis cerdas (Rösler & Würffel, 2014: 20). Berdasarkan teori tersebut di atas, maka
dalam penelitian ini dikembangkan sebuah instrumen penelitian untuk melakukan
penilaian komprehensif terhadap sebuah buku ajar (Lehrwerkanalyse) disertai hasilnya
yang diolah dari teori Rösler & Würffel (2014: 17-21).

3. Metodologi

Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Rösler & Würffel (2014: 21),
penelitian ini menggunakan metode analisis komprehensif buku ajar (Lehrwerkanalyse)
dilakukan melalui tiga langkah, yaitu: (1) komponen dan fungsinya, (2) struktur
internal, dan (3) tingkat bahasa (Kerangka Acuan Umum Eropa untuk Bahasa) dari
buku ajar. Menurut kedua pakar ini, buku ajar (Lehrwerk), tidak termasuk buku
pegangan guru/dosen dan buku siswa/mahasiswa), memiliki 10 fungsi, sebagai berikut:
1. menggerakkan pemerolehan bahasa atau capaian pembelajaran
2. mengantarkan ke dalam tema-tema tertentu
3. menyediakan kosakata yang sesuai dengan tema-tema tertentu tersebut dan
informasi tentang budaya/pranata masyarakat
4. mempresentasikan fenomena tatabahasa dan ungkapan-ungkapan bahasa
5. menawarkan bahan untuk latihan
6. menyediakan motif untuk berkomunikasi (Kommunikationsanlässe)
7. mengantar penguasaan pelafalan (Aussprache)
8. mengusulkan berbagai bentuk sosial dan bentuk kelompok (Arbeits- und
Sozialformen) dan berisikan berbagai jenis teks
9. menunjang setiap kemampuan bahasa (bicara, menulis, membaca dan mendengar,
serta keterpaduan berbagai kemampuan tersebut)
10. menawarkan petunjuk kepada pembelajar tentang bagaimana mereka menguji atau
mengukur pengetahuan yang sudah mereka peroleh
Para penyusun buku ajar bahasa asing pada umumnya memperlihatkan ke-10
fungsi tersebut Rösler & Würffel (2014: 17-21), tentu dengan penekanan yang berbeda-
beda, dalam buku ajar yang mereka susun. Dalam penelitian ini, terlihat juga bahwa ke-
10 unsur itu menjadi pertimbangan penting para penyusun dan penerbit buku ajar pada
umumnya untuk menyusun buku ajar bahasa asing yang berkualitas baik. Dengan
demikian, perbedaan ke-10 fungsi dalam kedua buku ajar yang diteliti biasanya tidak
terlihat signifikan. Oleh karena itu, fokus penelitian ini hanya ditujukan pada penilaian
struktur bangunan, alokasi waktu, dan capaian pembelajaran dalam bentuk kemampuan
bahasa.

106
3.1 Struktur Bangunan Buku Ajar: Komponen dan Fungsinya

Menurut Rösler & Würffel (2014: 26), struktur bangunan sebuah buku ajar juga
berbeda-beda. Untuk meraih capaian belajar yang ditetapkan oleh standar Uni-Eropa
untuk bidang bahasa, sebuah buku ajar memerlukan jumlah tertentu dalam hal
pembagian bab/unit. Untuk capaian pembelajaran A1-B1, buku ajar DaF Kompakt
membagi capaian belajar ke dalam 30 unit. Buku ajar Studio d terdiri dari 34 unit
dengan rincian: Studio d A1 terdiri dari 12 unit, Studio d A2 12 unit, dan Studio d B1 10
unit. Perbedaan jumlah unit terutama sering berkaitan erat dengan jumlah halaman pada
tiap unit yang juga bergantung pada tatahalaman dan tatagambar (optische Gestaltung)
serta lay-out. Makin banyak gambar, foto dan ilustrasi, meskipun menarik secara optis
dan meningkatkan efek motivasi (Motivationseffekt), makin banyak menghabiskan
halaman, dan tentu saja tidak ekonomis dari sisi harga.

3.2 Struktur Internal Buku Ajar: Alokasi Waktu

Hasil analisis di atas dapat digunakan untuk membagi alokasi waktu secara kasar
tentang pembagian waktu untuk tiap unit untuk menentukan capaian pembelajaran
secara umum seperti terlihat pada Tabel 1. Untuk melakukan pembagian atau alokasi
waktu dalam meraih capaian pembelajaran, dalam praktiknya tidak mudah. Waktu yang
biasa ditetapkan sampai saat ini masih merupakan perkiraan kasar (Rösler & Würffel,
2014: 26), misalnya sampai tingkat C1 diperlukan waktu 1000-1200 jam, sampai B1
diperlukan 600 jam. Dengan demikian, perhitungan kasar itu masih dapat digunakan
sebagai pegangan dalam melakukan orientasi pencapaian hasil belajar yang akan
dirancang oleh sebuah institusi. Perguruan tinggi di negara kita pada umumnya
menetapkan capaian pembelajaran tingkat B2 yang menunjukkan standard minimal
kemampuan bahasa dalam bidang-bidang pekerjaan.
Jumlah alokasi waktu sangat bergantung pada banyak faktor (Rösler & Würffel
(2014: 27), terutama faktor intern pembelajar itu sendiri, seperti kebiasaan dan motivasi
belajar, kehadiran dan aktivitas di kelas, dan seterusnya. Ternyata, dari pengalaman
sebagai pengajar, terlihat begitu beragamnya cara dan kecepatan seseorang dalam
belajar. Itu semua akan menjadi pertimbangan dalam menetapkan jumlah jam untuk
pencapaian hasil belajar yang akan ditetapkan oleh institusi. Oleh sebab itu, para
pengajar harus menguji dan meneliti secara komprehensif buku ajar mereka terlebih
dahulu, terutama buku ajar baru yang akan digunakan resmi oleh institusi tempat
mereka mengajar.
Menurut Rösler & Würffel (2014: 26), langkah-langkah untuk menetapkan sebuah
buku ajar yang sesuai pada institusi adalah sebagai berikut.
Pertama, para pengajar harus menetapkan bersama-sama, berdasarkan pengalaman
selama ini pada institusi, berapa lama biasanya diperlukan waktu untuk meraih capaian
belajar
Kedua, bersama-sama dihitung berapa waktu yang diperlukan dengan cara membagi
waktu yang telah ditetapkan oleh institusi dengan jumlah unit dalam sebuah buku ajar
untuk mengetahui waktu yang tersedia untuk tiap unit.
Ketiga, para pengajar dapat mempertimbangkan apakah tiap unit itu bisa dicapai atau
tertangani dengan waktu yang tersedia karena perhitungan ini biasanya cukup akurat
meskipun berbeda-beda untuk tiap buku ajar.

107
Keempat, atau terakhir, para pengajar membagi waktu yang tersedia untuk tiap bab
dengan jumlah halaman tiap bab yang menghasilkan jumlah waktu untuk tiap halaman
yang meskipun tidak begitu akurat, karena dalam banyak kasus tiap halaman
memerlukan alokasi yang berbeda-beda, sangat berguna sebagai patokan.

3.3 Capaian Pembelajaran: Tingkat Bahasa Kerangka Acuan Umum Eropa


untuk Bahasa (CEFRL)

Untuk menguji sebuah buku siswa (Arbeitsbuch) dan buku pegangan guru
(Lehrerhandbuch) digunakan kriteria khusus yang tidak akan dilakukan dalam
penelitian ini. Dalam penelitian ini akan lebih ditujukan untuk melakukan analisis
terhadap tingkat atau niveau bahasa (Sprachniveau) bagi pembelajar menurut standar
uni-Eropa untuk kemampuan bahasa Gemeinsame Europäische Referenzrahmen für
Sprachen (GER) atau Kerangka Acuan Umum Eropa untuk Bahasa (CEFRL).
Pembagian tingkat sebelumnya yang berdasarkan tiga penamaan lama (pemula,
menengah, mahir) dinilai tidak sesuai dengan tuntutan zaman sehingga harus digantikan
oleh penamaan baru, yaitu enam tingkat kemampuan bahasa (Niveaustufen) A1, A2, B1,
B2, C1 dan C2 dengan deskripsi kompetensi yang lebih terukur yang disepakati
bersama oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni-Eropa.
Selain itu, pembagian tingkat atau niveau kemampuan bahasa menunjukkan
standar dengan kriteria penilaian, deskripsi kriteria, dan bobot nilai yang cukup rumit.
Pada banyak buku ajar, tingkat atau niveau tersebut sebenarnya sangat mudah dikenali
karena biasanya tertera pada buku dan tidak terpisahkan dari nama buku ajar tersebut.
Namun, pada bahan pembelajaran berupa buku ajar, keterangan mengenai niveau
biasanya jarang ditemukan. Padahal, informasi dan pengetahuan tersebut sangat penting
untuk membantu pengajar melakukan adaptasi atau penyesuaian sekaligus menjadi
patokan untuk menentukan kecocokan antara buku ajar dan tingkat kemampuan bahasa
yang dimiliki dan capaian pembelajaran yang akan diraih oleh siswa/mahasiswa (Rösler
& Würffel, 2014: 31). Glaboniat et. al. (2002: 10) mendeskripsikan tingkat atau niveau
kemampuan bahasa yang dapat diringkas dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 1 Ke-6 Tingkat Kemampuan Bahasa Standar Uni-Eropa atau Kerangka


Acuan Umum Eropa untuk Bahasa (CEFRL)
Deskripsi Kemampuan
N Penggunaan Tingkat/ Keterangan/setara
Bahasa dengan Kata-
No. Bahasa Niveau dengan
Kata Kunci
(1) (2) (3) (4) (5)
Penggunaan Mampu berinteraksi G1/G2
1 bahasa secara A1 dengan kalimat Grundstufe 1/
“elementer” sederhana, untuk survive Grundstufe 2
Mampu berinteraksi dan ZD/ZdaF
Penggunaan bernegosiasi dengan Zertifikat Deutsch
2 bahasa secara A2 kalimat yang lebih Zertifikat Deutsch
“elementer” panjang dengan tema als Fremdsprache
sehari-hari
Penggunaan Mampu berkomunikasi, ZMP
3 B1
bahasa secara bernegosiasi, dan Zentrale

108
“mandiri” melakukan presentasi Mittelstufenprüfung
tentang tema sehari-hari
dan dalam bidang
pekerjaan dengan penutur
asli
Mampu berargumentasi ZOP
dan berkomunikasi serta Zentrale
melakukan presentasi Oberstufenprüfung
Penggunaan tentang tema sehari-hari
4 bahasa secara B2 dan dalam bidang
“mandiri” pekerjaan dengan penutur
asli, mampu melakukan
koreksi atas kesalahan
tatabahasa
Mampu berkomunikasi, KDS
berargumentasi, dan Kleines Deutsches
melakukan presentasi Sprachdiplom
Penggunaan serta berdiskusi dengan
5 bahasa secara C1 penutur asli tentang
“kompeten” bidang suatu ilmu dan
istilah / terminologi
bidang ilmu dengan
spontan dan lancar
Mampu berkomunikasi, GDS
berargumentasi, dan Großes Deutsches
berdiskusi seperti penutur Sprachdiplom
asli tentang bidang ilmu
Penggunaan ilmu dan istilah /
6 bahasa secara C2 terminologi bidang ilmu
“kompeten” dengan sangat spontan,
dan sangat lancar, mampu
membedakan nuansa dan
ungkapan sehubungan
dengan budaya Jerman
Sumber: Glaboniat et al. (2014: 10), diolah untuk penelitian ini

Deskripsi kemampuan bahasa di atas diolah dengan sangat ringkas. Sebenarnya


deskripsi tersebut sangat terperinci dan tiap unsur kemampuan bahasa (mendengar,
berbicara, membaca, menulis) memiliki deskripsi tersendiri. Begitu juga deskripsi
unsur-unsur atau komponen dalam ujian dan bobot penilaian ujian. Namun, deskripsi di
atas, melalui kata kunci “berinteraksi”, “berkomunikasi”, “berargumentasi”,
“berdiskusi” dan seterusnya., diharapkan dapat menggambarkan semua deskripsi yang
sangat rinci tersebut. Semua buku ajar bahasa yang terbit di Jerman pada tahun-tahun
terakhir mengacu pada standar di atas. Meskipun demikian, menurut (Rösler & Würffel,
2014: 30-32) masih belum jelas apakah setiap buku ajar benar-benar menerapkan
seluruh ketentuan dan deskripsi kemampuan (Kann-Beschreibungen) yang disusun oleh
Uni-Eropa tersebut.

109
4. Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini melakukan analisis komprehensif atas dua buah buku ajar, masing-
masing untuk tingkat A1, A2, dan B1. Pertama, buku ajar Studio d dengan
pertimbangan bahwa buku ajar tersebut selama ini digunakan. Kedua, Netzwerk yang
merupakan buku ajar baru yang menurut rencana akan digunakan pada Jurusan Bahasa
Jerman STBA Yapari-ABA. Fokus penelitian ini terutama ditujuan pada penilaian
struktur bangunan, alokasi waktu, dan capaian pembelajaran dalam bentuk kemampuan
bahasa, sebagai berikut.
4.1 Struktur Bangunan Buku Ajar: Komponen dan Fungsinya

Prinsip utama yang dipegang oleh penelitian ini adalah tidak ada buku ajar yang
buruk. Dengan demikian, yang ada adalah buku ajar yang baik dengan tingkat
kesesuaian yang berbeda-beda. Dilihat dari komponen dan fungsinya, untuk meraih
capaian belajar yang ditetapkan oleh standar Uni-Eropa untuk bidang bahasa, buku ajar
Studio d dibagi ke dalam 34 unit dengan rincian: Studio d A1 terdiri dari 12 unit, Studio
d A2 12 unit, dan Studio d B1 10 unit, kadang-kadang dengan perbedaan jumlah
halaman. Namun, analisis atas buku ajar tersebut sebagai kesatuan organisasi,
menghasilkan penilaian yang tertera dalam tabel (2).
Tabel 2 Hasil Penilaian terhadap Struktur Bangunan dalam Buku Ajar Studio d
(1) (2) (3)
No. Komponen unit Nilai
Bobot nilai dengan huruf A B=baik C
Bobot nilai dengan angka 8,0 7,5 7,0 6,5 6,0
1 Presentasi sebuah tema tertentu dengan x
informasi tentang pranata masyarakat/budaya
(dengan berbagai perspektif)
2 Presentasi satu atau lebih fenomena x
tatabahasa
3 Presentasi satu unsur fonetik x
4 Menyediakan berbagai bentuk sosial dan x
bentuk kerja (Arbeits- und sozialformen)
5 Presentasi berbagai jenis teks x
Nilai rata-rata: 7,1

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata yang dihasilkan adalah 7,1.
Sementara itu, dari hasil analisis terhadap buku ajar Netzwerk diperoleh nilai rata-rata
lebih tinggi yaitu: 8,0. Dari hasil analisis struktur bangunan, terlihat bahwa buku ajar
Netzwerk yang terbit satu dasawarsa kemudian memiliki nilai yang lebih tinggi, dengan
perbedaan nilai 0,9. Terutama aspek tatabahasa (Grammatik) terlihat kurang mendapat
perhatian dalam buku ajar Studio d.
4.2 Struktur Internal: Alokasi Waktu

Hasil analisis berikut akan membandingkan alokasi antara waktu pada Jurusan
Bahasa Jerman dan Goethe-Institut sebagai benchmark bagi banyak perguruan tinggi
dalam menentukan alokasi waktu 480 jam untuk capaian belajar A1-B1. Alokasi per

110
bab rata-rata adalah 12 jam pelajaran (satu jam pelajaran = 45 menit). Berdasarkan
alokasi waktu itu, instrumen penelitian ini akan dicoba untuk mengukur akurasi atau
keabsahannya. Hasil penelitian ini menunjukkan temuan sebagai berikut:
Tabel 3 Hasil Penilaian Penentuan Jumlah Alokasi Waktu Goethe-Institut per
Bab/Unit dalam Buku Ajar Studio d
Nama buku ajar : Studio d A1, Studio d A2, Studio d B1
Jumlah unit per buku ajar : 12+12+10=34
Jumlah Halaman rata-rata per bab : 8
Alokasi Waktu per Unit/Bab : 12 jam
No. Unsur Deskripsi Unsur Hasil Keterangan
(1) (2) (3) (4) (5)
1 A Jumlah bab/unit dalam tingkat atau niveau 34
A1-B1
2 B Jumlah rata-rata halaman per bab/unit 8
3 C Jumlah alokasi waktu yang ditetapkan oleh 480 34x8x1.75=476
institusi A x B x E=C
4 D Jumah alokasi waktu per unit/bab yang 14 480:34=14
merupakan hasil pembagian (C) dengan (A) C : A=D
5 E Jumlah alokasi waktu per halaman dengan 1.75 14:8=1.75
membagi (D) dengan (B) D : B=E

Hasil analisis terhadap alokasi waktu dilakukan dengan cara membandingkan


antara alokasi waktu pada Jurusan Bahasa Jerman dan Goethe-Institut sebagai
benchmark bagi banyak perguruan tinggi dalam menentukan alokasi waktu 480 jam
untuk capaian belajar A1-B1 dengan alokasi per bab rata-rata 12 jam pelajaran (satu jam
pelajaran = 45 menit). Berdasarkan alokasi waktu itu, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa alokasi waktu pada Jurusan Bahasa Jerman untuk memenuhi capaian
pembelajaran berupa kompetensi bahasa B1 diperlukan waktu hampir dua kali lipat
(175%) daripada benchmark (480:840 jam).
Kemudian, instrumen di atas akan dicobakan untuk “menentukan” alokasi waktu
buku ajar pada Jurusan Bahasa Jerman, setelah mengalami revisi oleh Jurusan Bahasa
Jerman, sebagai berikut:

Tabel 5 Penilaian Penentuan Jumlah Alokasi Waktu per Bab/Unit Goethe-Institut


dan STBA per Bab/Unit dalam Buku Ajar Studio d
Nama buku ajar : Studio d A1, Studio d A2, Studio d B1
Jumlah unit per buku ajar : 12+12+10=34
Jumlah Halaman per bab :8
Alokasi Waktu per Unit/Bab: 12 jam
No. Unsur Deskripsi Unsur Hasil Keterangan
(1) (2) (3) (4a) (4b) (5)
GI STBA
1 A Jumlah bab/unit dalam satu tingkat 34 34
atau niveau
2 B Jumlah rata-rata halaman per 8 8
bab/unit
3 C Jumlah alokasi waktu yang 480 840 34x8x1.75=476

111
ditetapkan oleh institusi A x B x E=C
4 D Jumah alokasi waktu per unit/bab 14 24.7 480:34=14
yang merupakan hasil pembagian C : A=D
(C) dengan (A)
5 E Jumlah alokasi waktu per halaman 1.75 3.08 D : B=E
dengan membagi (D) dengan (B)

Namun akibatnya, hasil revisi tersebut tersebut membuat alokasi waktu menjadi
tidak ideal. Acuan itu tidak dilakukan dan penyimpangannya hampir dua kali lipat (lihat
hasil pada kolom 4a dan 4b) karena beberapa sebab. Pertama, karena alokasi waktu
berdasarkan kurikulum untuk mencapai kemampuan tingkat B1 adalah 840 jam, yang
berarti hampir dua kali lipat waktu yang dibutuhkan. Kedua, karena semula waktu yang
tersedia sebanyak 840 jam direncanakan lebih banyak untuk mencapai kemampuan B2
atau bahasa Jerman dalam bidang pekerjaan dengan semua kemampuan yang
terintegrasi (integriert): mendengar (Hören), berbicara (Sprechen), membaca (Lesen),
menulis (Schreiben), tatabahasa (Grammatik), dan kosa kata (Wortschatz).
Hasil analisis atas alokasi waktu menunjukkan bahwa buku ajar Studio d terlihat
kurang praktis dibandingkan dengan Netzwerk. Penyebab utamanya adalah alokasi
waktu yang tidak konsisten. Pada buku ajar Studio d alokasi waktu yang ditetapkan
tidak sama untuk tiap unit, tiap jilid, bahkan tiap tingkat. Selain karena jumlah bab/unit
dan halaman yang berbeda-beda, hal ini juga menyangkut tema dan kosa kata yang
dipresentasikan oleh buku ajar ini yang tidak sesuai dengan tingkat yang tertera pada
buku. Tema-tema dan kosa kata yang penting untuk tingkat A1 baru dipresentasikan
pada buku jilid 2 atau Studio d A2 bab 1-4. Jadi, ujian kemampuan bahasa A1 tidak
dapat diraih dengan buku ajar Studio d A1, tetapi harus ditambah dengan jilid 2 (A2)
unit 1-4 tadi, dalam waktu 180 jam. Buku jilid 2 (Studio d A2) unit 5-12 atau sisanya
merupakan bahan ajar untuk mencapai kemampuan bahasa tingkat A2, yaitu sebanyak
120 jam.
Pada jilid 2 (buku ajar Studio d A2) terlihat kekurangan dalam bahan dan media
pembelajaran untuk melatih kemampuan ujian tingkat A2. Hal yang sama terlihat pada
Studio d B1 yang kekurangan dalam bahan dan media pembelajaran untuk melatih
kemampuan ujian tingkat B1. Untuk mencapai kemampuan B1 dengan buku ajar Studio
d diperlukan “tujuh tingkat” yang tidak konsisten dengan rincian pada tingkat A1 dua
tingkat (A1/1, A1/2, A1/3), A2 dua tingkat (A2/1, A2/2, dan B1 tiga tingkat (B1/1,
B1/2, B1/3). Sementara itu, alokasi waktu untuk buku ajar Netzwerk hanya ditentukan
dengan cara membaginya ke dalam tiga jilid (sesuai dengan tingkatnya) dan dengan
alokasi waktu yang sama. Jika dibagi ke dalam tingkat yang lebih kecil untuk
perencanaan, A1/1, A1/2 dan seterusnya. bahan dan materi pembelajaran bisa dengan
mudah dialokasikan dengan waktu yang tersedia serta tingkat yang sesuai, yaitu 160
jam, masing-masing untuk tingkat A1, A2, dan B1 dan 80 jam untuk masing-masing
tingkat A1/1, A1/2 dan seterusnya. alokasi waktu untuk tiap unit atau bab bisa dengan
mudah dilakukan dengan cara membagi jumlah jam tersebut dengan jumlah unit, dan
begitu pula untuk alokasi waktu per halaman.

112
4.3 Capaian Pembelajaran: Tingkat Bahasa Kerangka Acuan Umum Eropa
untuk Bahasa (CEFRL)

Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa dalam kenyataannya, jurusan belum
sepenuhnya menerapkan capaian pembelajaran berupa kemampuan bahasa yang
menjadi standar minimal lulusan peruruan tinggi pada umumnya, yaitu B2 atau Level 4
tingkat kemampuan bahasa CEFRL. Seperti sudah dipaparkan di atas juga, kemampuan
bahasa menurut standar Uni-Eropa dibagi menjadi enam tingkat. Glaboniat et. al. (2002:
10) mendeskripsikan tingkat kemampuan bahasa yang dapat diringkas dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel 6 Tiga dari Enam Tingkat Kemampuan Bahasa Standar Uni-Eropa atau
Kerangka Acuan Umum Eropa untuk Bahasa (CEFRL)
No. Penggunaan Tingkat/ Deskripsi Kemampuan Keterangan/setara
Bahasa Niveau dengan Kata Kunci dengan
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Penggunaan A1 Mampu berinteraksi G1/G2
bahasa secara dengan kalimat sederhana, Grundstufe 1/2
elementer untuk survive
2 Penggunaan A2 Mampu berinteraksi dan ZD/ZDaF
bahasa secara bernegosiasi dengan Zertifikat Deutsch
elementer kalimat yang lebih panjang / Deutsch als
dengan tema sehari-hari Fremdsprache
3 Penggunaan B1 Mampu berinteraksi, ZMP
bahasa secara berkomunikasi, Zentrale
mandiri bernegosiasi, dan Mittelstufenprüfung
melakukan presentasi
tentang tema sehari-hari
dan dalam bidang
pekerjaan dengan penutur
asli
Sumber: Glaboniat et al. (2014: 10) yang diolah untuk penelitian ini

Dari analisis dengan menggunakan deskripsi kemampuan bahasa di atas, buku


ajar Netzwerk terlihat lebih jelas menerapkan tiga dari enam atau seluruh ketentuan dan
deskripsi kemampuan (Kann-Beschreibungen) dengan capaian B1 yang ditetapkan oleh
Uni-Eropa, yaitu: “mampu berinteraksi, berkomunikasi, bernegosiasi, dan melakukan
presentasi tentang tema sehari-hari dan dalam bidang pekerjaan dengan penutur asli”.
Sementara itu, Studio d masih menerapkan capaian belajar hingga B1- atau A2+. Materi
dan media pembelajaran Netzwerk diarahkan oleh para penulisnya pada ujian standar
Uni Eropa dalam bidang bahasa. Hal ini terlihat bukan saja dari bentuk dan materi soal
yang dilatihkan, tetapi pada keseluruhan buku ajar yang juga merupakan bahan dan
media utama dalam proses pembelajaran bahasa asing.
Dari uraian dan analisis di atas juga terlihat bahwa saat ini buku ajar Netzwerk
memiliki lebih banyak keunggulan dengan pemanfaatkan ilmu dan teknologi baru,
seperti apps dan sarana papan tulis interaktif atau papan tulis cerdas (smartboards).
Tentu dalam perjalanan ke depan, pelaksanaan atau penggunaannya memerlukan uji
coba dan evaluasi. Buku ajar ini akan berperan sebagai buku ajar utama pada Jurusan

113
Bahasa Jerman STBA Yapari-ABA, menggantikan Studio d yang telah digunakan
selama lebih dari satu dasawarsa menggantikan Themen neu, buku ajar generasi
sebelumnya. Namun sesungguhnya, pemilihan buku ajar tidak hanya tergantung pada
ketiga unsur di atas, tetapi juga pada faktor-faktor penentu lain, seperti diperlihatkan
dalam grafik 2.

Grafik 2 Faktor-faktor yang menentukan dipilihnya sebuah buku ajar (Rösler &
Würffel, 2014: 44-45)

Pada hakikatnya tidak ada buku ajar yang buruk, yang ada adalah buku ajar yang
sesuai dan kurang sesuai jika dibandingkan dengan yang sudah tersedia (prinsip
kontrastif). Penelitian ini memperlihatkan kebenaran prinsip tersebut yang terlihat jelas
dalam Rösler & Würffel (2014: 56-57) dengan kriteria untuk menilai dan memilih
sebuah buku ajar yang meliputi komponen, capaian pembelajaran, susunan, progresi,
tema/materi, media, tampilan dan lain-lain. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan pada
faktor-faktor yang dikemukanan oleh Rösler & Würffel (2014: 44-45) di atas.

5. Simpulan

Meskipun tidak jauh berbeda, hasil analisis buku ajar dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa presentasi buku ajar Netzwerk lebih lengkap yang meliputi: (1)
presentasi sebuah tema tertentu dengan informasi tentang pranata masyarakat/budaya
(dengan berbagai perspektif), (2) presentasi satu atau lebih fenomena tatabahasa, (3)
Presentasi satu unsur fonetik (4) presentasi berbagai bentuk sosial dan bentuk kerja
(Arbeits- und Sozialformen), dan (5) presentasi berbagai jenis teks. Hasil analisis buku
ajar sebagai kesatuan organisasi terhadap struktur bangunan buku ajar Studio d
menunjukkan nilai rata-rata 7,1. Sementara itu, buku ajar Netzwerk memperoleh nilai
rata-rata: 8,0. Dari hasil analisis struktur bangunan buku ajar tersebut, terlihat bahwa
buku ajar Netzwerk memiliki nilai yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Studio
d, dengan perbedaan nilai 0,9.
Dilihat dari alokasi waktu, buku ajar Studio d lebih nyaman bagi pengguna. Hasil
analisis buku ajar menunjukkan bahwa alokasi waktu dalam buku ajar ini tidak
konsisten pada tiap bab/unit. Pada buku ajar Studio d alokasi waktu yang ditetapkan

114
juga tidak sama untuk tiap jilid, bahkan tidak sama untuk tiap tingkat. Selain karena
jumlah bab/unit dan halaman yang berbeda-beda, hal ini juga menyangkut tema dan
kosa kata yang dipresentasikan oleh buku ajar ini yang tidak selalu sesuai dengan
tigkatnya.
Dari analisis dengan mengacu pada kemampuan bahasa dari enam tingkat
kemampuan Bahasa Standar Uni-Eropa atau Kerangka Acuan Umum Eropa untuk
Bahasa (CEFRL), buku ajar Netzwerk menerapkan tiga dari enam atau seluruh
ketentuan dan deskripsi kemampuan (Kann-Beschreibungen) hingga B1 dibandingkan
dengan buku ajar Studio d dengan capaian belajar hingga B1- atau hanya A2+. Selain
itu, materi dan media pembelajaran pada buku ajar Netzwerk tampak sudah berorientasi
pada ujian (prüfungsorientiert) yang diarahkan pada jenis dan pola ujian standar Uni
Eropa. Hal tersebut terlihat bukan saja dari bentuk dan materi soal yang dilatihkan,
tetapi juga pada keseluruhan buku ajar yang juga merupakan bahan dan media utama
dalam proses pembelajaran bahasa asing.
Berdasarkan hasil analisis terhadap buku ajar Studio d, dan Netzwerk, buku ajar
yang terakhir memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang pertama, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan buku ajar baru, yaitu Netzwerk A1, A2,
dan B1 sesuai dengan rencana jurusan. Namun demikian, evaluasi dan adaptasi atas
materi dan media pembelajaran dalam buku ajar tersebut harus dilakukan secara
berkesinambungan. Salah satu bentuk upaya adaptasi adalah memastikan apakah bahan
dan media dalam buku ajar baru benar-benar sesuai dengan dengan pola dan bentuk
ujian kemampuan bahasa Jerman yang juga menjadi standar capaian pembelajaran
bahasa asing.
Waktu tersedia yang ditetapkan oleh institusi harus dialokasikan dengan lebih
tepat untuk capaian pembelajaran tingkat A1-B1 agar kompetensi penguasaan bahasa
secara mandiri pada institusi juga bisa tercapai, yaitu: mampu berkomunikasi,
bernegosiasi, dan melakukan presentasi dengan penutur asli tentang tema sehari-hari
dan dalam bidang pekerjaan seperti dijabarkan dalam CEFRL dalam bentuk deskripsi-
kemampuan (Kann-Beschreibungen). Oleh sebab itu, alokasi waktu untuk buku ajar
Netzwerk A1-B1 perlu dibuat lebih rinci dengan mempertimbangkan ketersediaan waktu
dalam kurikulum yang ditetapkan oleh institusi. Studi banding dengan lembaga atau
perguruan tinggi lain perlu dilakukan untuk membuat alokasi waktu yang lebih sesuai
dan yang bersumber dari pengalaman, terutama tentang jumlah alokasi waktu yang
ditetapkan oleh institusi dan jumlah waktu yang diperlukan per unit/bab.
Ke depan, capaian pembelajaran dalam bentuk tingkat B2 harus menjadi fokus
perhatian karena lulusan program sarjana harus diberi bekal kemampuan bahasa abad
ke-21, yaitu untuk bidang pekerjaan. Kemampuan bahasa juga harus menjadi dasar bagi
kemampuan akademis dalam bidang bahasa atau linguistik. Oleh sebab itu, dalam masa
transisi pengajaran tatabahasa dan kosakata harus dilakukan terpisah dari empat
kemampuan bahasa (Vier Fertigkeiten) yang lain, yaitu kemampuan mendengar,
berbicara, membaca dan menulis. Kemampuan akademis ini dapat digunakan sebagai
dasar bagi pengembangan pengetahuan tentang bahasa atau linguistik Jerman di satu sisi
dan di sisi lain menjadi dasar bagi bahasa Jerman dalam dunia atau bidang pekerjaan
yang meliputi bidang pariwisata, budaya, perkantoran, penerjemahan dan
kejurubahasaan.

115
6. Daftar Pustaka
Arsyad, A. (2016). Media Pembelajaran. Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada.
Braun, B., Doubek, M., Frater, A., Fügert, N., Sander, I., Trebesius-Bensch, U. (2011).
DaF kompakt A1 - B1. Kursbuch 3 Audio-CDs. Stuttgart, Germany: Klett.
Dengler, S., Rusch, P., Schmitz, H., Mayr-Sieber, T. (2013a). Netzwerk A1. Kursbuch.
Deutsch als Fremdsprache. Berlin/München: Langenscheidt/Stuttgart, Germany:
Klett.
Dengler, S., Rusch, P., Schmitz, H., Mayr-Sieber, T. (2013b). Netzwerk A1.
Arbeitsbuch. Deutsch als Fremdsprache. Berlin/München:
Langenscheidt/Stuttgart, Germany: Klett.
Dengler, S., Rusch, P., Schmitz, H., Mayr-Sieber, T. (2013c). Netzwerk A2. Kursbuch.
Deutsch als Fremdsprache. Berlin/München: Langenscheidt/Stuttgart, Germany:
Klett.
Dengler, S., Rusch, P., Schmitz, H., Mayr-Sieber, T. (2013d). Netzwerk A2.
Arbeitsbuch. Deutsch als Fremdsprache. Berlin/München:
Langenscheidt/Stuttgart, Germany: Klett.
Dengler, S., Rusch, P., Schmitz, H., Mayr-Sieber, T. (2013e). Netzwerk B1. Kursbuch.
Deutsch als Fremdsprache. Berlin/München: Langenscheidt/Stuttgart, Germany:
Klett.
Dengler, S., Rusch, P., Schmitz, H., Mayr-Sieber, T. (2013f). Netzwerk B1. Arbeitsbuch.
Deutsch als Fremdsprache. Berlin/München: Langenscheidt/Stuttgart, Germany:
Klett.
Dröse, P. & Meckert, S. (2012). Pragmatik der Führung. Modelle kommunikativer
Kompetenz. Saarbrücken, Germany: Akademiker.
Ende, K., Grotjahn, R., Kleppin, K., Mohr, I. (2014). Curriculare Vorgaben und
Unterrichtsplanung. Deutsch lehren lernen Band 6. Berlin/München, Germany:
Langenscheidt.
Frederking, V., Frederking, V., Krommer, A., Möbius, T. (Ed.). (2014.) Digitale
Medien im Deutschunterricht. In: Ulrich, Winfrid (Hrsg.). Deutschunterricht im
in Theorie und Praxis. Baltmannsweiler, Germany: Schneider Verlag
Hohengehren.
Funk, H., Kuhn, Ch., Demme, S., Bayerlein, O. (2010a). Studio d A1. Deutsch als
Fremdsprache. Kurs- und Arbeitsbuch. Berlin, Germany: Cornelsen /Jakarta,
Indonesia: Katalis.
Funk, H., Kuhn, Ch., Demme, S., Bayerlein, O. (2010b). Studio d A2. Deutsch als
Fremdsprache. Kurs- und Arbeitsbuch. Berlin, Germany: Cornelsen/Jakarta,
Indonesia: Katalis.
Funk, H., Kuhn, Ch., Demme, S., Bayerlein, O. (2010c). Studio d B1. Deutsch als
Fremdsprache. Kurs- und Arbeitsbuch. Berlin, Germany: Cornelsen/Jakarta,
Indonesia: Katalis.
Glaboniat, M., et. al. (2002). Profile Deutsch. Gemeinsamer europäischer
Referenzrahmen; Lernzielbestimmungen; Kannbeschreibungen; Kommunikative
Mittel; Niveau A1, A2, B1, B2. Berlin/München, Germany: Langenscheidt.
Rösler, D. (2012). Deutsch als Fremdsprache. Eine Einführung. Stuttgart: J.B. Metzler.
Rösler, D., Würffel, N. (2014). Lernmaterialien und Medien. Deutsch Lehren Lernen.
Einheit 5. München, Germany: Klett/Langenscheidt.
Yaumi, M. (2018). Media & Teknologi Pembelajaran. Jakarta, Indonesia:
Prenadamedia.

116
Catatan

Anda mungkin juga menyukai