1. PENDAHULUAN
Ilmu ukur tanah adalah bagian terendah dari ilmu yang lebih luas yang dinamakan
ilmu geodesi. Ilmu geodesi memiliki dua maksud yaitu :
1. Maksud ilmiah, menentukan bentuk permukaan bumi
2. Maksud praktis, membuat bayangan yang dinamakan peta dari sebagian besar
atau sebagian kecil permukaan bumi.
Disini akan dibicarakan maksud kedua yang praktis, jadi maksud untuk membuat peta.
1. UKURAN
Satuan ukuran untuk panjang luas dan sudut di Indonesia umumnya digunakan ukuran
matrik.
Satuan Panjang :
Sebagai dasar ukuran panjang diambil meter international atau meter standar yang
disimpan di Paris. Panjang meter standar itu adalah sepersepuluh juta panjang meridian
bumi dan merupakan jarak antara dua garis pada kedua ujung standar
1 km = 1000 m
1 hm = 100 m
1 dm = 10 m
1m = 1m
1 des = 0,1 m
1 cm = 0,01 m
1 mm = 0,001 m
Satuan Luas :
1 km2 = 1.000.000 m2
1 ha = 10. 000 m2
1 are = 100 m2
1 RANTE = 400 M2
SIKUPANG = 4 RANTE
Satuan Sudut :
Ada satuan lain yang tidak lazim digunakan dalam ilmu ukur tanah, yaitu satuan militer.
Dalam satuan ini, satu lingkaran dibagi menjadi 6400 mils.
Cara sentisimal ini lambat laun menyampingkan cara seksagesimal, karena untuk
pengukuran dengan cara sentisimal lebih mudah digunakan daripada cara seksagesimal.
Tetapi meskipun demikian, cara sentisimal tidaklah dapat menggantikan cara
seksagesimal seluruhnya, karena pada ilmu Astronomi, Ilmu Geografi tetap digunakan
cara seksagesimal untuk penentuan waktu, bujur dan lintang tempat-tempat diatas
permukaan bumi.
Ketiga sistem satuan tersebut dapat dikonversi satu sama lain karena satu lingkaran =
360° = 400g = 2 π radian = 6400 mils. Konversi antara derajat dan grade dan sebaliknya
adalah:
Hubungan antara satuan cara seksagesimal dan satuan cara sentisimal dapat dicari dengan
dibaginya lingkaran dalam 360 bagian cara seksagesimal dan dalam 400 bagian cara
sentisimal, jadi :
360o = 400g
Maka :
Contoh 1.
Ubahlah sudut seksagesimal 204,7738o menjadi sudut sentisimal
204,7738o = ……..g
Contoh 2.
Ubahlah sudut seksagesimal 63o21’45” menjadi sudut sentisimal
63o21’45” = ………….g
Cara ketiga untuk menyatakan sudut ialah dengan menggunakan radial sebagai satuan
sudut. Sudut pusat didalam lingkaran yang mempunyai busur sama dengan jari-jari
lingkaran adalah sebesar 1 radial.
Karena keliling lingkaran ada 2πr , maka satu lingkaran mempunyai sudut sebesar :
2 πr / r = 2 π radial
Maka hubungan antara radial, derajat dan grade diperoleh dari hubungan :
atau :
Maka :
Tugas :
1. Ubahlah sudut seksagesimal 105,5678o menjadi sudut sentisimal dan radial
2. Ubahlah sudut seksagesimal 33o25’65” menjadi sudut sentisimal dan radial
3. Ubahlah sudut sentisimal 60,7738g menjadi sudut seksagesimal dan radial
4. Ubahlah sudut sentisimal 105g45c78cc menjadi sudut seksagesimal dan radial
5. Ubahlah sudut radial 3,1234ρ menjadi sudut seksagesimal dan sentisimal
SELAMAT MENGERJAKAN
SEMOGA SUKSES
Misalnya pada gambar 1, satu bagian skala menyatakan jarak 10 m, maka titik A
mempunyai jarak + 60 m dari titik 0, titik B mempunyai jarak dari titik 0 sebesar -40
m atau ditulis A(+60) dan B(-40) untuk menyatakan titik-titik A dan B.
Bilangan-bilangan yang menyatakan jarak suatu titik dari titik 0 dan yang ditulis
dalam kurung dibelakang titik-titik yang bersangkutan dinamakan koordinat titik-titik
itu. Jadi +60 dan -40 adalah koordinat -koordinat titik-titik A dan B.
Jarak antara titik-titik A dan B adalah 100 m yang didapat dari (+60)-(-40),
Jarak antara titik-titik B dan C adalah 130 m yang didapat dari (+90)-(-40),
Koordinat titik sebelah kanan diberi indeks 2, kiri diberi indeks 1 dan koordinat-
koordinat itu diberi huruf X, maka jarak antara titik-titik ialah :
B dan A adalah dBA = Xa – Xb = (+60) – (-40) = 100
B dan C adalah dBC = Xc– Xb = (+90) – (-40) = 130
A dan C adalah dAC = Xc– Xa = (+90) – (+40) = 30
Dengan demikian akan selalu didapat tanda positif untuk jarak-jarak
o
A B A B
a. Metode Trilaterasi b/ Metode Offsetting
A ἀ β B A ἀ B
a. Triangulasi b. Koordinat Kutub
Gambar Penentuan posisi dengan jarak dan sudut
2. Cara Numeris
Pada cara numeris, posisi sebuah titik dinyatakan dalam sistem koordinat. Adapun
prinsip dasar penentuan posisi secara numeris ada tiga cara atau metode yaitu:
a. Dengan sudut jurusan atau azimut dan jarak
b. Dengan pemotongan ke muka (intersection)
c. Dengan pemotongan ke belakang (resection)
Pada bab ini hanya akan dibahas metode sudut jurusan dan jarak, sedangkan metode
pemotongan ke muka dan ke belakang akan dibahas pada bab lainnya.
atau azimut AB diukur (ἀAB) dan koordinat A diketahui (XA, YA), maka posisi titik B
dapat ditentukan dengan rumus: Y
XB = XA + dAB Sin ἀAB YB B
(XB – XA)
ἀAB = arc tg
(YB – YA)
Harga arc tg dapat + (positif) maupun – (negatif), nilai positif bisa berasal dari +/
+, atau - / -, demikian pula yang negatif bisa berasal dari + / -, atau - / +. Oleh
karenanya kita harus jeli menghitungnya, karena kalkulator kadang- kadang tidak
menunjukkan arah yang sebenarnya.
Contoh
1. Arc tg 6/4 = arc tg 1,5 - kalkulator akan menghitung = 56°18’35”,76
Berarti pada kuadran I, maka azimutnya = ἀ =56°18’35”,76
2. Arc tg 6/-4 = arc tg -1,5, kalkulator akan menghitung = - 56°18’35”,76
Berarti pada kuadran II, maka azimutnya = ἀ =180° - 56°18’35”,76
ἀ =123°41’24”,24
3. Arc tg -6 /- 4 = arc tg +1,5, kalkulator akan menghitung = 56°18’35”,76
ἀ =236°18’35”,76
4. Arc tg -6 / 4 = arc tg -1,5, kalkulator akan menghitung = - 56°18’35”,76
Berarti pada kuadran IV, maka azimutnya = ἀ =360° - 56°18’35”,76
ἀ =303°41’24”,24
Dalam keadaan demikian, sekarang diambil sebagai dasar penentuan tempat titik-titik dua
garis lurus mana dinamakan salib sumbu.
Y+
D (-4, +8)
A (+9, +4)
X- X+
0
B (+5, -3)
C (-8, -6)
Y-
Gambar 2
Garis yang mendatar dinamakan absis atau sumbu X dan garis yang tegaklurus
dinamakan ordinat atau sumbu Y, sedang titik potong dua sumbu dinamakan titik asal
O. Maka salib sumbu itu dinamakan pula salib sumbu YOX.
Dari titik asal 0 garis dibuat dengan skala baik pada sumbu X maupun Y. Pada sumbu
X arah kekiri adalah negatif dan kekanan adalah positif, sedangkan sumbu Y kea rah
atas positif dan kebawah negatif.
Karena rumus “d” ini mempunyai bentuk yang tidak logaritmis, rumus ini jarang
digunakan untuk mencari jarak antara dua titik. Rumus yang lebih baik bentuknya
karena logaritmis akan dibicarakan pada pertemuan berikutnya.
C. Cara ketiga untuk menentukan tempat suatu titik ialah dengan menggunakan suatu
titik P yang tentu dan garis busur PQ yang tentu pula. Maka tempat suatu titik A
ditentukan dengan jarak titik itu dari titik “P” dan dengan sudut “α” yang dibuat oleh
PA dan PQ.
d2
A
d1
α1 α d3 C
2 α3
P
α4
d4
Gambar 3
Maka dari gambar 3, titik A, B, C dan D dinyatakan tempatnya oleh jarak d 1,d2,d3 dan d4
dengan sudut-sudut α1, α2, α3 dan α4. Titik-titik A, B, C dan D dinyatakan dengan cara
menulis A(d1, α1); B(d2, α2): C(d3, α3); D(d4, α4).
Jarak antara dua titik itu selalu dapat dicari di dalam segitiga yang mempunyai dua titik
itu dan titik P sebagai titik-titik sudutnya. Dari tiap-tiap segitiga diketahui dua sisinya dan
sudut antara dua sisi itu.misalnya akan dicari jarak AB, maka AB dapat dicari didalam
segitiga PAB. Dari segitiga PAB diketahui PA = d1; PB = d2 sedang APB = α1- α2 ±δ.
Maka menurut persamaan cosinus didalam segitiga PAB :
AB2 = d12 + d22 – 2d1d2 cos δ.
Rumus ini mempunyai bentuk tidak logaritmis, sehingga kurang tepat untuk mencari
jarak antara dua titik, sehingga kurang tepat untuk mencari jarak antara dua
titik.Koordinat-koordinat d dan a dinamakan koordinat-koordinat polair.
Tugas :
D (-4, +8)
dD
A (+9, +4)
dA
α4
α1
X- α2 X+
α3 0
dB
B (+5, -3)
dc
C (-8, -6)
Y-
SELAMAT MENGERJAKAN
SEMOGA SUKSES
Umumnya digunakan pada Ilmu Ukur Tanah cara dengan salib sumbu YOX
dengan sumbu X dan Y yang letak saling tegak lurus. Sumbu Y positi selalu diarahkan ke
Y Utara Utara
αab
B(Xb, Yb)
αba
dab
αab ηab = Yb - Ya
Gambar 4
Dari gambar 4, terhadap salib sumbu YOX didapat titik-titik A(Xa,Ya) dan
B(Xb,Yb). Dititik A ditarik garis yang sejajar dengan sumbu Y yang positif, maka dengan
mudah dapat dimengerti bahwa sudut αab adalah sudut jurusan arah A-B. Bila sekarang
harus dinyatakan arah B-A, maka pada titik B dibuat garis sejajar dengan sumbu Y yang
positif, sehingga pada gambar didapat sudut α ab yang dimulai dari arah ke Utara, berputar
dengan jalannya jarum jam dan diakhiri pada jurusan yang bersangkutan B-A.
Dapat pula dilihat hubungan antara αab dan αba ialah bahwa αba = αab + 180o atau αba
- αab = 180o. Sudut jurusan αba adalah terhadap arah B – A dan αab terhadap A – B. Maka
sehingga :
Xb - Xa Yb - Ya
dab = = ……………………………… (2)
sin αab cos αab
CATATAN :
1. Rumus (1) dan (2) ini penting sekali digunakan untuk perhitungan pada
Ilmu Ukur Tanah, maka harus dipahami dengan benar-benar.
2. Rumus (2) untuk mencari jarak antara 2 titik yang telah tertentu
(diketahui koordinat-koordinantnya “x” dan “y”) mempunyai bentuk
yang logaritmis, maka gunakan selalu rumus ini untuk menghitung
jarak jangan gunakan rumus phytagoras.
Gambar 5
αap
dab
αab ηab
Untuk mencari titik P, maka titik P diikat pada titik A yang telah diketahui
koordinatnya. Bila jarak dap dapat diketahui dan sudut αap juga dapat diketahui, maka dari
gambar 5 dapat dilihat bahwa :
Xp = OP’ Xp = PP’
= OA’ + A’P” = P’P” + PP”
= OA’ + AP” = AA’ + PP”
= Xa + ξap = Ya + ηap
Besaran-besaran ξap dan ηap menjadi dua sisi siku-siku dalam segitiga siku-siku
APP” dan karena <APP” = maka dengan AP = dap diperoleh :
ξap = dap sin αap
ηap = dap cos αap
Sehingga menjadi :
Xp = Xa + dap sin αap
Yp = Ya + dap cos αap
Disini dapat dipahami, bahwa jarak dap dan sudut αap adalah sangat penting, oleh
karena itu dalam Ilmu Ukur Tanah jarak dan sudut dua unsure yang sangat
penting.
Y
360 0 I
IV
X
Y 1
α
270 90
0 X
III II
180
Imu ukur tanah
Y
90 I
II
1
Y
180 β 0
0 X 360 X
III IV
270
Imu ukur sudut
Gambar 6
Sudut jurusan α yang dimulai dari arah ke Utara dan berputar searah jarum jam
dapat mempunyai sudut 0o – 360o, karena sudut jurusan dimulai dari sumbu Y positif dan
Pada Ilm Ukur Tanah maupun pada Ilmu Ukur Sudut, absis X akan positif bila letak
disebelah kanan sumbu Y dan ordinat Y akan positif bila terletak disebelah atas sumbu X.
Maka dapatlah dibuat daftar sebagai berikut :
ILMU UKUR TANAH ILMU UKUR SUDUT
Kuadran I II III IV Kuadran I II III IV
Absis X + + - - Absis X + - - +
Ordinat Y + - - + Ordinat Y + + - -
sin α X + + - - sin β Y + + - -
cos α Y + - - + cos β X + - - +
Tg α X/Y + - + - Tg β Y/X + - + -
Ternyata sekarang bahwa keadaan sinus, cosinus dan tangens pada ilmu ukur tanah dan
pada ilmu ukur sudut adalah sama. Dengan demikian persamaan-persamaan dan sifat-
sifat pada ilmu ukur sudut dapat digunakan pada ilmu ukur tanah.
Contoh 1.
Diketahui koordinat titik Xa = 871,44 ; Ya = -1.629,81 dan koordinat titik Xb = -1.546,72
; Yb = 1.280,36. Hitunglah sudut jurusan αab, αba dan jarak dab.
Karena selisih absis negatif dan selisih ordinat positif maka sudut jurusan αab akan
terletak di kuadran IV.
b
dab αba
X
αab
tg α
a
Contoh 2.
Penyelesaian :
A αap
dab
X
Tugas 1:
Tugas 2:
SELAMAT MENGERJAKAN
SEMOGA SUKSES
3. SKALA
Peta adalah bayangan yang diperkecil dari sebagian besar atau sebagian kecil
permukaan bumi. Bayangan ini harus selengkapnya-lengkapnya mengingat perkecilan
4. PETA
Isi, ketelitian dan penggunaan peta mempunyai hubungan yang erat dengan dan
tergantung dari skalanya. Bila dari suatu peta diketahui skalanya dan tidak ada keterangan
lain yang diketahui entang peta itu, maka telah didapati dengan kasar bayangan tentang
isi peta itu. Skala peta telah memberi corak pada peta.
Menurut skala peta dapat dibagi dalam :
a. Peta-peta teknik dengan skala sampai dengan 1:10.000
b. Peta-peta topografi atau peta-peta detail dengan skala lebih kecil daripada
1:10.000 sampai dengan 1:100.000
c. Peta-peta geografi atau peta-peta ikhtisar dengan skala lebih kecil dari
1:100.000
BAB II
MEMBUAT GARIS LURUS DI LAPANGAN
A a b P
Diperlukan 2 orang untuk pekerjaan ini. Orang pertama berdiri disebelah kiri titik P,
pada titik mana ditempatkan suatu syalon. Orang yang kedua membawa beberapa
syalon. Oleh petunjuk orang ke 1, syalon yang akan ditancapkan dititik a harus
digeserkan sedemikian, sehingga oleh orang yang berdiri disebelah kiri syalon dititik
P, syalon itu kelihatan terletak satu garis dengan syalon-syalon dititik P dan Q, karena
orang ke 1 itu hanya dapat melihat syalon P, sedang syalon a telah terletak pada satu
garis lurus dengan P dan Q, ialah oleh orang yang berdiri disebelah kiri syalon P
ketiga syalon itu kelihatan sebagai satu syalon.
Setelah syalon a ditanam, maka orang ke1 pindah kesebelah kiri syalon a dan orang
kedua dengan petunjuk orang 1 menanam syalon b, demikian seterusnya.
Q a b
P
Syalon ditempatkan dititik a, sehingga syalon a, Q dan P kelihatan satu, karena syalon
P, syalon Q dan syalon a berimpit. Demikian pula dikerjakan dengan syalon b.
c. Bila titik-titik P dan Q dalam keadaan sedemikian rupa, hingga orang tidk dapat
berdiri dibelakangnya untuk dapat melihat ketitik lainnya,
B1
a1
b2 Q
a2
P
a3 b3
3. PENGUKURAN JARAK
50 mm karet
200 cm
375 mm - 900 mm
Langkah kerja :
- Orang pertama menancapkan jalan A pada titik A
- Orang kedua menancapkan jalan B pada titik B
- Orang kedua menancapkan jalan bantu pertama
- Orang pertama melihat jalan Bantu apakah sudah segaris dengan jalan AB
- Orang kedua menancapkan jalan bantu kedua
- Orang pertama juga melihat apakah jalan Bantu pertama segaris dengan jalan
AB dan jalan Bantu dua.
- Orang kedua menancapkan jalan B pada titik B
Jalan Jalan
Jalan A Pembantu 1 Pembantu 2 Jalan B
30 m A B
Jarak A - B
b. Pengukuran bertahap
Peralatan yang digunakan :
- Waterpass tukang
- Rambu Ukur
A Tahap I
Unting-unting
Tahap III
B
jarak mendatar A – B = Thp I + II + III = IV
Perpindahan
pita ukur
b. Lendutan
Lendutan biasanya terjadi pada pengukuran daerah-daerah tanpa ada usaha untuk
menyangga pita ukur saat pengukuran dilakukan.
f
ΔL
ΔL = 8.f2 / 3e
Titik
Pengikat
BM
Daerah
Pengukuran
Titik
Daerah
Pengukuran
BAB III
MEMBUAT SUDUT SIKU-SIKU
DI LAPANGAN
A x B y C
Langkah kerja :
- Tentukan titik B terletak diantara garis lurus AC
- Dari titik B buatlah jarak Bx sama dengan By masing-masing dikiri dan kanan titik B
pada garis AC
- Dari titik x dan y dibuat garis yang sama, yang berpotongan pada titik Z sehinga xZ =
yZ.
- Hubungkan antara titik B degan Z, sehingga BZ tegak lurus terhadap garis AC yang
membentuk sudut siku-siku di titik B.
B. Membuat sudut siku-siku pada garis lurus dengan menggunakan prinsip phytgoras
Perbandingan dasar ketiga sisinya adalah :
(Zn + 1) : Zn (n + 1) : Zn (n + 1) + 1
Bila n = 1, maka dari perbandingan diatas akan diperoleh 3 : 4 : 5
D
x:y:r=3:4:5
y r 8m 10 m
x = proyeksi
y = proyektor
z = proyektum
x B 6m C A
Langkah kerja :
C. Membuat sudut siku-siku yang terletak diluar dari garis lurus yang diukur
Perbandingan
x
x x
A C E D C
Langkah kerja :
- “X” adalah titik yang berada diluar garis AB, sedangkan AB adalah garis lurus yang
diukur .
- Ikatlah ujung pita ukur dititik X, dengan panjang sembarang yang mendorong garis
AB disembarang tempat, misalnya titik C.
- Dengan memegang pita ukur kita bergerak kearah B sehingga memotong garis AB
dititik lain, misalnya : D (XD = XC)
- Bagi CD atas dua bagian yang sama misalnya : E (ED = EC)
- Hubungkan titik E dengan X, maka EX tegak lurus AB.
BAB IV
PENGUKURAN SIKU-SIKU ATAU
EMPAT PERSEGI PANJANG
Cara dengan koordinat tegak lurus, sehingga selalu harus dibuat sudut siku-siku
Semua titik yang diperlukan untuk membat gambar lapangan diproyeksikan pada
suatu garis ukur yang dipilih sedemikian rupa, sehingga jarak-jarak yang harus diukur
dan yang merupakan salah satu dari koordinat titik-titik itu tidak terlalu panjang. Maka
garis ukur sebaiknya letak memanjang dengan daerah yang diukur.
Sebagai contoh akan dilakukan pengukuran guna pembuatan peta dari sebidang
tanah yang diberi batas dengan titik-titik ujungnya I, II, s/d VII. Titik I, IV dan VI diberi
tanda dengan tugu-tugu dari beton, sedang titik-titik II, III, V dan VII diberi tanda dengan
pipa besi. Didalam bidang tanah itu ada bangunan a, b, c dan d.
Untuk pengukuran dipilih dan dibuat dilapangan garis ukur IA, yang letak
memanjang pada bidang tanah itu. Semua titik sudut bidang tanah itu dan tiga titik sudut
bangunan a, d dan c diproyeksikan digaris ukur itu.
Cara memproyeksikannya dilakukan dengan prisma atau cermin sudut. Lebih
dahulu dipasang di titik-titik yang akan diproyeksikan, kecuali titik-titik sudut bangunan,
perlu ditancapkan syalon-syalon. Untuk titik-titik sudut bangunan digunakan garis-garis
ujung bangunan itu sendiri. Untuk menentukan titik-titik proyeksi, maka orang yang
mengukur dengan memegang prisma atau cermin sudut bergerak ke garis ukur IA,
sehingga syalon dititik I berimpit dengan sylon yang letak dititik-titik yang akan
diproyeksikan. Dengan demikian titik proyeksi akan letak tegak lurus dibawah prisma
atau cermin sudut (gunakan unting-unting). Setelah semua jarak titik proyeksi ditentukan,
maka dimulai dengan mengukur jarak-jarak.
Garis ukur IA digunakan sebagai sumbu X dengan titik 0,0 diletakkan dititik I.
Semua titik proyeksi ditentukan dengan jaraknya dari titik I = 0,0 yang menjadi absis
40.96
40,86
102,04 III
V 18,01
99,84
43,78 a b
18,81 20,01
42,83 73.98
IV 64,12 28,46
12,81 d c
40,02
40,86
29,02 II
VII 38,82
23,76
50,01
45,65
0,0
I
BAB V
1. PENDAHULUAN
Maksud pengukuran beda tinggi ialah menentukan beda tinggi antara 2 titik. Bila beda
tinggi h diketahui antara dua titik A dan B, sedang tinggi titik A diketahui sama dengan
Ha dan titik B letak lebih tinggi daripada titik A, maka tingi titik B ialah :
Hb = Ha + h
yang diartikan dengan beda tinggi antara titik A dengan titik B adalah jarak antara 2
bidang nivo yang melalui titik A dan B. Umunya bidang nivo adalah bidang yang
lengkung, tetapi bila jarak antara titik-titik A dan B kecil, maka kedua bidang nivo yang
melalui titik-titik A dan B dapat dianggap sebagai bidang yang mendatar.
Beda tinggi antara 2 titik dapat ditentukan dengan beberapa cara :
a. Cara barometris (barometric leveling)
b. Cara pengukuran menyipat datar (spirit leveling)
c. Cara takhimetrik (tachymetric leveling)
d. Cara trigonometrik (trigonometric leveling)
e. Cara barometris (barometric leveling)
Urutan tersebut juga merupakan urutan tingkat ketelitian dari cara atau metode
pengukuran beda tinggi.
Disini akan dijelaskan cara pengukuran menyipat datar, karena hasil yang diperoleh lebih
teliti dan akurat, maka metode ini biasanya dikerjakan untuk menentukan ketinggian titik-
titik kerangka dasar pemetaan atau pekerjaan-pekerjaan rekayasa yang membutuhkan
ketelitian yang tinggi.
Istilah sipat datar di sini berati konsep penentuan beda tinggi antara dua titik atau
lebih dengan garis bidik mendatar/horizontal yang diarahkan pada rambu-rambu yang
berdiri tegak atau vertikal. Sedangkan alat ukurnya dinamakan penyipat datar atau
waterpas.
Gambar 5.1
Perbaikan dari alat ini adalah mengganti pipa logam dengan slang dari karet dan 2
tabung gelas skala dalam mm (gambar 5.2). Alat dengan slang karet ini banyak
digunakan pada pembuatan jalan-jalan, jembatan, kanalisasi dan bangunan gedung-
gedung. Setelah slang dihubungkan pada 2 tabung gelas dengan panjang yang diperlukan,
alat diisi dengan air yang telah dihilangkan dari gelembung-gelembung udara. Kedua
tabung gelas ini dipasang tegak lurus dan berdekatan, untuk melihat apakah ada
perbedaan tinggi kedua permukaan air didalam 2 tabung itu; dengan demikian, bila perlu
dapat ditentukan koreksi titik nol skala pada tabung gelas.
Kedua tabung gelas selanjutnya dibawa ke dua titik yang akan ditentukan beda
tingginya, ditungu beberapa menit, hingga permukaan air dalam keadaan tidak bergerak
lagi, barulah tinggi permukaan air didalam dua tabung gelas dibaca beberapa kali. Setelah
pembacaan rata-rata diambil, maka selisih 2 pembacaan akan menjadi beda tinggi 2 titik
yang ditempati oleh tabung gelas itu. Bila pengukuran dilakukan dengan teliti, maka
dapatlah dicapai ketelitian hasil pengukuran yang sama dengan ±1 a 2 mm.
Gambar 5.2
Syarat utama yang mesti terpenuhi oleh semua alat ukur penyipat datar adalah :
garis bidik didalam teropong harus sejajar dengan garis arah nivo, selain itu ada syarat
tambahan yang dimaksudkan untuk mempercepat dan memudahkan pengukuran, berupa :
a. Garis arah nivo harus tegak lurus pada sumbu kesatu alat ukur penyipat datar
Bila garis bidik yang telah sejajar dengan garis arah nivo tidak tegak lurus pada
sumbu kesatu, maka garis bidik akan membuat sudut α < 90 o dengan sumbu kesatu.
Bila garis bidik diarahkan ke mistar kiri dengan gelembung nivo ditengah-tengah,
maka garis arah nivo dan garis bidik akan mendatar. Tetapi karena garis arah nivo
tidak tegak lurus pada sumbu kesatu, maka sumbu kesatu akan miring dari keadaan
tegak lurus (gambar 5.1). Bila sekarang teropong diputar dengan sumbu kesatu
sebagai sumbu putar dan garis bidik diarahkan ke mistar kanan, maka sudut α antara
garis arah nivo dan sumbu kesatu pindah ke kanan, maka sudut antara α antara garis
nivo dan sumbu kesatu pindah kesebelah kanan, dan ternyata garis arah nivo dengan
sendirinya garis bidik tidak mendatar, sehingga garis bidik yang tidak mendatar
tidaklah dapat digunakan untuk melakukan pembacaan pada mistar. Untuk mendapat
pembacaan b dengan garis bidik yang mendatar, haruslah teropong dipindahkan ke
atas, sehingga gelembung ditengah-tengah.
Gambar 5.3
b. Benang mendatar diafragma harus tegaklurus pada sumbu kesatu.
Pada pengukuran tinggi dengan alat penyipat datar, yang dicari selalu titik potong
garis bidik yang mendatar dengan mistar-mistar yang dipasang diatas titik-titik,
sedang diketahui bahwa garis bidik adalah garis lurus yang menghubungkan titik
potong dua benang atau garis diafragma dengan titik tengah lensa objectif teropong.
Maka pada pengukuran akan selalu dibaca pada mistar-mistar tempat titik potong dua
garis diafragma itu pada mistar.
Sebelum alat ukur penyipat datar digunakan untuk mengukur, maka syarat-syarat ini
harus dipenuhi lebih dahulu atau dengan kata lain: alat ukur penyipat datar harus diatur
lebih dahulu, supaya tiga syarat itu dapat dipenuhi.
Berdasarkan konstruksi alat ukur penyipat datar dapat dibagi dalam empat macam
utama, yaitu :
a. Alat ukur penyipat datar dengan semua bagiannya tetap. Nivo tetap ditempatkan
diatas teropong, sedang teropong hanya dapat diputar dengan sumbu kesatu
sebagai sumbu putar.
Gambar 5.4
Gambar 5.5
c. Alat ukur penyipat datar dengan teropong yang mempunyai sumbu mekanis,
tetapi nivo tidak diletakkan pada teropong, melainkan ditempatkan dibawah, lepas
dari teropong. Teropong dapat diangkat dari bagian bawah alat ukur penyipat
datar.
Gambar 5.6
d. Alat ukur penyipat datar dengan teropong yang dapat diangkat dari bagian bawah
alat ukur penyipat datar dan dapat diletakkan dibagian bawah dengan landasan
yang berbentuk persegi, sedang nivo ditempatkan pada teropong.
Gambar 5.7
Karena konstruksi berbeda, maka cara pengaturan tiap-tiap macam alat ukur
penyipat datar akan berbeda pula, meskipun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
semua macam alat sama. Dalam konstruksi yang modern, hanyalah macam kesatu dan
kedua yang dapat mempertahankan diri, dengan perkataan lain, semua alat ukur penyipat
datar yang modern hanya dibuat dalam bentuk 1 dan bentuk ke 2 saja.
Mistar yang digunakan pada pengukuran penyipat datar dapat dibuat dari kayu
atau alumunium dan panjangnya 3,4 dan 5 m. Karena panjangnya ini dan untuk
memudahkan pengangkutannya, maka mistar-mistar dapat dilipat 1,5 atau 2 m. Skala
mistar dibuat dengan cm, tiap-tiap cm adalah blok merah, putih atau hitam, sedangkan
setiap interval adalah 1 cm atau 10 mm. Tiap-tiap meter diberi warna yang berlainan,
merah-putih dan hitam putih untuk memudahkan pembacaan meter.
Pada gambar 5.8 ada beberapa contoh skala mistar. Pada gambar pertama tiap-tiap
dm diberi dua bagian ā 5 cm yang berbentuk E, satu dengan latar merah atau latar hitam,
sesuai dengan warna meternya dan lainnya dengan latar putih. Pada mistar kelihatan
bentuk E yang berwarna putih, merah atau hitam dan kombinasi sebagai E merah – E
putih, dan E hitam – E putih.
Penentuan beda tinggi antara 2 titik dapat dilakukan dengan 3 cara penempatan
alat ukur penyipat datar, tergantung pada keadaan lapangan.
a. Cara pertama, ialah dengan menempatkan alat ukur penyipat datar diatas salah satu
titik, misalnya pada titik B gambar 5.9.Tinggi a baris bidik (titik tengah teropong)
diatas titik B diukur dengan mistar. Dengan gelembung ditengah-tengah, garis bidik
diarahkan ke mistar yang diletakkan diatas titik lainnya, ialah titik A. Pembacaan
pada mistar dimisalkan b, maka angka b ini menyatakan jarak angka b itu dengan alas
mistar. Maka beda tinngi antara titik A dan titik B adala, t = b – a.
Gambar 5.9
b. Cara kedua, alat ukur penyipat datar ditempatkan antara titik A dan titik B, sedang
dititik-titik A dan B ditempatkan dua mistar (gambar 5.10). Jarak dari alat ukur
penyipat datar ke kedua mistar kira-kira sama. Arahkan garis bidik dengan
gelembung ditengah-tengah ke mistar A (belakang) dank e mistar B (muka), dan
misalkan pembacaan pada dua mistar berturut-turut ada b (belakang) dan m (muka).
Bila selalu diingat, bahwa angka-angka pada rambu selalu menyatakan jarak antara
angka dan alas mistar, maka dengan mudahlah dapat dimengerti, bahwa beda tinggi
antara titik-titik A dan B adalah t = b-m.
Gambar 5.10
Gambar 5.11
Pengukuran dengan meletakkan alat ukur penyipat datar antara 2 mistar
memberikan hasil paling akurat, karena kesalahan yang mungkin masih ada pada
pengaturan dapat saling memperkecil, apalagi bila jarak antara alat ukur penyipat datar ke
kedua mistar dibat sama, akan hilanglah pengaruh tidak sejajarnya garis bidik dan garis
arah nivo. Dengan demikian beda antara pembacaan mistar belakang dan pembacaan
mistar muka akan menjadi beda tinggi.
Ingatlah : untuk mendapat beda tinggi antara 2 titik selalu diambl pembacaan
mistar belakang dikurangi dengan pembacaan mistar muka, hingga t = b-m.
Contoh :
rambu ukur
BA waterpass
BT
BB
A
C
B D
datum
Langkah-langkah kerja :
- Syarat pembacaan BT = (BA + BB) / 2 atau BA + BB = 2 BT
- Alat ukur penyipat datar diberikan pada titik C
- Bak ukur diberikan pada titik A, B dan D
- Alat diarahkan ke bak ukur A dan B dengan bacaan benang tengah masing-masing,
titik A = ,75 m dan titik B = 1,50 m.
- Alat arahkan ke titik D, setelah dibaca pada titik A dan B, dan bacaan benang tengah
pada titik D = 1,05 m.
- Tinggi titik A diatas datum = 1,5 – 0,75 = 0,75 m
- Tinggi titik B diatas datum = 1,5 – 1,05 = 0,45 m
Maka diperoleh :
Beda tinggi antara A dan D = 0,75 – 1,05 = - 0,30 m
Dari A menurun sebesar 0,30 m ke D atau naik lebih tinggi 0,30 m dari titik D.
Bila jarak antara 2 titik A dan B yang akan ditentukan titik-titiknya sebegitu besar,
hingga mstar-mstar tak dapat dilihat dengan terang, atau keadaan lapangan yang
sedemikian rupa, maka jarak antara 2 titik dibagi dalam jarak-jarak yang lebih kecil.
Sehingga pengukuran dapat dilakukan dengan mudah dan baik. Jarak-jrak penglihatan
diambil antara 30 a 60 m yang disesuaikan dengan keadaan lapangan, tetapi ambil
maksimum 60 m.
Dalam menentukan beda tinggi t antara 2 titik yang jaraknya besar (gambar 5.12)
maka cara pengukuran berjalan sebagai berikut :
Gambar 5.12
Satu mistar p ditempatkan diatas titik A dan pilihlah tempat untuk alat ukur
penyipat datar M1, sedemikian rupa sehingga garis bidik dapat membaca mistar. Mistar
kedua q diletakkan diatas titik 1 yang dipilih sedemikian rupa pula, hingga garis bidik
memotong mistar kedua q dan jarak antara alat ukur penyipat datar kedua mistar p dan q
kira-kira menjadi sama. Lakukan sekarang pembacaan-pembacaan pada mistar p dan
mistar q, dan misalkan pembacaan-pembacaan ini ada b1 dn m1.
Setelah pembacaan-pembacaan ini ditulis dalam buku ukur, maka alat ukur
penyipat datar dapat dipindahkan ke M2. Mistar p dipindahkan ke titik 2 dan semua
tempat dipilih sedemikian rupa, hingga garis bidik memotong mistar p dan jarak-jarak
dari alat ukur penyipat datar ke kedua mistar sama panjangnya. Mistar q hanya diputar
pelan-pelan, hingga angka-angka mistar ke arah alat ukur penyipat datar yang letak diatas
a. Cara kesatu
Bila hanya dicari beda tinggi antara 2 titik ujungnya saja, maka dapatlah dijumlah
semua pembacaan b dan semua pembacaan m, maka :
t = Σb – Σm, karena :
t 1 = b1 – m 1
t 2 = b2 – m 2
t 3 = b3 – m 3
t m = bn – m n
b. Cara kedua
Bila sekarang perlu diketahui pula beda tinggi atau tinggi titik-titik antara kedua titik
ujung A dan B, maka haruslah pula ditentukan beda tinggi masing-masing. Maka,
hitungan dan table dapat dibuat seperti berikut :
c. Cara ketiga
Untuk mendapatkan beda tinggi antara 2 titik, haruslah dilakukan pengurangan. Bila
b > m, maka harus diambil b – m, dan didapat beda tinggi yang positif. Bila b< m,
haruslah diambil b – m = - (m-b) dan didapat beda tinggi yang negatif. Selanjutnya
pada penghitungan tinggi titik harus dilakukan penambahan, bila t positif; dan harus
dilakukan pengurangan bila t negatif. Dapat dibayangkan, bahwa pada waktu
d. Cara keempat
Pengukuran-pengukuran yang harus mempunyai ketelitian besar, dilakukan pulang
pergi, dan bila dua pengukuran mempunyai selisih yang lebih kecil dari harga yang
diizinkan, diambil harga rata-rata dari 2 hasil pengukuran. Harga kesalahan yang
diizinkan dinamakan harga toleransi.
BAB VI
PENENTUAN LETAK TITIK-TITIK
DENGAN KOORDINAT-KOORDINAT
1. PENDAHULUAN
Bila harus ditentukan letak titik P dari titik A yang sudah diketahui koordinat-
koordinatnya, maka perlu ditentukan terlebih dahulu adalah arah dari titik A ke titik P.
Untuk menentukan dimana letak titik P pada arah itu, perlu diketahui jarak antara titik A
ke titik P, misalkan d. Maka arah AP dibuat jarak sebesar d, maka letak titik P dan titik A
dapat diketahui (gambar 6.1)
dap
αap
Gambar 6.1
Maka untuk menentukan letak titik dari titik lainnya, diperlukan unsur-unsur :
- arah
- jarak
Sudut jurusan diberi tanda dengan α dan bila α ini mengenai dengan arah dan A ke
titik P, maka sudut jurusan dari A ke P, ditulis dengan α ap . Dengan demikian unsure-unsur
yang diperlukan menjadi :
- sudut jurusan α
- jarak d
Prinsip yang dapat dipakai adalah sebagai berikut :
- untuk mencari sudut urusan α, haruslah digunakan sudut jurusan yang sudah
diketahui besarnya.
- Untuk mencari arak d, digunakan jarak yang sudah diketahui.
Sudut jurusan yang dapat ditentukan adalah suatu arah antara dua titik A dan B
dengan diketahui koordinat-koordinat, karena dengan cara menggambar letak titik A dan
Gambar 6.2
Diketahui titik – titik A (Xa1, Y) dan B (Xb1, Yb) menjadi titik ujung garis AB
maka sudut jurusan garis AB menjadi αab (gambar 6.3). Untuk dapat menghitung
besarnya αab, haruslah αab menjadi sudut suatu segitiga siku-siku. Untuk mendapatkan
segitiga siku-siku ini, tariklah melalui titik A garis lurus // sumbu X dan garis // sumbu Y.
Kedua garis ini berpotongan dititik C dengan < C = 90o. Maka αab menjadi sudut ABC
didalam segitiga siku-siku ABC.
Gambar 6.3
Dapat dengan mudah ditentukan, bahwa kedua sisi siku-siku AC = Xb – Xa dan
BC = Yb – Ya. Maka dalam segitiga siku-siku ABC didapat :
Xb - Xa
tg αab =
Yb – Ya
Rumus (1) dan (2) menjadi rumus dasar untuk mencari sudut jurusan Xab dan jarak α ab
antara titik A (Xa, Ya) dan B (Xb, Yb).
Menurut ketentuan sudut jurusan α : adalah sudut yang dimulai dari arah Utara
geografis, maka arah Utara ini diambil sebagai sumbu Y suatu salib sumbu (gambar 6.4).
Gambar 6.4
Apabila arah Utara ini diam sebagai kaki sudut jurusan yang tetap, maka kaki
lainnya diambil sebagai kaki sudut jurusan yang bergerak dengan arah yang sama dengan
jalannya jarum jam.
Pada waktu kaki bergerak OP:
Berimpit dengan sumbu Y yang positif, α = 0
Berimpit dengan sumbu X yang positif, α = 90
Berimpit dengan sumbu Y yang negatif, α = 180
Berimpit dengan sumbu X yang negatif, α = 270
Berimpit dengan sumbu Y yang positif, α = 360
dengan demikian kaki OP yang bergerak melalui daerah-daerah : 0o – 90o; 90o – 180o;
180o – 270o; 270o – 3600o, daerah-daerah mana disebut :
Kuadran I 0o – 90o
Kuadran II 90o – 180o
Kuadran III 180o – 270o
Kuadran IV 270o – 360o
Dan kuadran berputar dengan searah jarum jam.
Gambar 6.5
Pada gambar 6.5 garis AB, dengan sebelah kiri ab dan disebelah kanan αba. Kedua
arah AB dan BA mempunyai arah yang berlawanan, dengan memperpanjang AB, maka
didapat pula αab. Maka pada sebelah kanan dapat ditentukan hubungan antara αab dan αba,
karena terbukti bahwa :
αba = αab + 180
atau αab - αab = 180
Berdasarkan uraian ini, maka diperoleh dua sifat yang penting dari sudut urusan :
0o < α < 360o (sudut jurusan terletak antara 0o dan 360o).
αab - αab = 180o (dua sudut jurusan dari dua arah yang berlawanan berselisih
180o).
Meskipun membagi kuadran pada Ilmu Ukur Sudut dan Ilmu Geodesi berlawanan
arah, pada Ilmu Ukur Tanah berputar dari kanan ke kiri dan pada Ilmu Geodesi berputar
dari kiri ke kanan, tetapi daerah kuadran pada dua ilmu ini menyatakan daerah yang
sama.
Segala sesuatu mengenai sinus, cosinus dan tangens berlaku penuh pada ilmu
geodesi. Rumus untuk menentukan letak kuadran sudut jurusan α adalah :
Xb - Xa
tg αab =
Yb – Ya
Untuk menyingkat tulisan, ambillah Xb – Xa = ΔX
dan Yb – Ya = ΔY, maka :
ΔX
tg αab =
ΔY
Gambar 6.6.
Tanda tg αab akan positif, bila ΔX dan ΔY mempunyai tanda yang sama, ialah di
kuadran I dan III. Tanda tg α ab akan negatif, bila ΔX dan ΔY mempunyai tanda yang
berlawanan, ialah dikuadran II dan III.
Jelaslah pada tanda tg αab positif, haruslah dipilih untuk menentukan αab di
kuadran I atau III, sedangkan pada tg αab negatif, haruslah dipilih untuk menentukan αab di
kuadran II atau IV untuk meletakkan αab (gambar 6.7)
Tanda tg αab positif.
Gambar 6.7.
4. SOAL-SOAL
Titik – titk P, Q, R dan S digabungkan pada titik A. Sebagai titik pengikat titik A
diberi indeks 1, sedangkan titik-titik P, Q, R dan S sebagai titik anu diberi indeks 2.
Diketahui koordinat-koordinat titik sebagai berikut :
A : x = - 1426,81 y = + 1310,54
P : = - 4125,43 = - 967,65
Q : = + 2852,66 = + 2783,08
R : = + 1492,28 = - 1091,19
S : = - 3600,28 = + 1310,54
Carilah : αab ; αaq ; αas ; dab ; daq dan das.
Penyelesaian :
1. PENDAHULUAN
A α
β
B
Gambar 7.1.
b. Cara mengikat ke belakang
Pada cara mengikat ke belakang, yang diukur adalah sudut-sudut yang ada di titik
P yang akan dicari tempatnya. Apabila digunakan dua titik A (x a, ya) dan B(xb, yb) sebagai
titik-titik pengikat, maka yang diukur sekarang adalah sudut APB. Maka dari segitiga
APB diketahui alas dab dan sudut puncaknya sudut APB = α, jadi barulah dari segitiga
APB diketahui dua unsurnya, sehingga tidak dapat dilukiskan dan titik P belum dapat
dipastikan letaknya. Meskipun demikian ada yang diketahui mengenai titik P, ialah
tempat kedudukan titik P. Untuk dengan pasti ditentukan tempat titik P, diperlukan lagi
satu tempat kedudukan untuk mendapatkan tempat titik P dengan pasti dan diperlukan
lagi satu titik tertentu, misalnya titik C (x c, yx) dan sebagai alas digunakan sisi BC dan
perlu diukur sudut BPC = β yang terletak dititik P. Maka dari segitiga BPC diketahui alas
dab dan sudut BPC = β, dengan demikian dapat dilukis tempat kedudukan untuk titik P.
Titik P menjadi titik potong dua tempat kedudukan itu. Tempat kedudukan pertama
adalah busur lingkaran dari lingkaran yang melalui titik-titik A(xa, ya) dan B(xb, yb),
sedang tempat kedudukan yang kedua adalah busur lingkaran yang melalui titik-titik
B(xb, yb) dan C(xc, yc). Pada cara mengikat kebelakang diperlukan paling sedikit tiga titik
pengikat.
Gambar 7.2
Maka yang diukur dari poligoon adalah :
- jarak (d)
- Sudut poligoon (s)
Untuk penelitian terhadap d dan s yang diukur, dari poligoon perlu diketahui x dan y
titik-titik awal dan akhir, dan sudut permon x awal dan akhir di titik ujung poligoon.
Sarat-sarat yang harus dipenuhi oleh unsur-unsur sudut dan jarak yang diukur, harus
dicari terlebih dahulu untuk memberi koreksi pada sudut-sudut dan pada bilangan yang
bersangkutan dengan jarak-jarak yang diukur.
BAB VIII
POLIGON
1. TEORI
Cara membuat suatu poligoon adalah cara pertama untuk menentukan tempat
lebih dari satu titik. Telah diketahui pula, bahwa pada ujung awal poligoon diperlukan
satu titik yang tentu dan sudut jurusan yang tentu pula. Supaya keadaan menjadi simetris,
maka pada ujung akhir dibuat titik yang tentu pula dan diikat pada jurusan yang tentu
lagi. Umumnya suatu poligoon dimulai dan diakhiri pada titik – titik tertentu dan diikat
pada kedua ujung pada dua jurusan tertentu pula.
Sebelum dimulai dengan menghitung koordinat-koordinat titik-titik poligoon,
maka lebih dahulu harus diteliti pengukuran poligoon. Karena untuk dapat menentukan
koordinat-koordinat diperlukan sudut dan jarak, maka yang diukur pada poligoon adalah
sudut-sudut dan jarak-jarak pada poligoon itu. Maka yang harus diteliti sudut-sudut dan
jarak-jarak itu. Untuk dapat melakukan penelitian, maka harus diketahui dan ditentukan
lebih dahulu syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh suatu poligoon. Diukur pada
poligoon semua sudut antara sisi-sisi polygoon dan panjang semua sisi.
Gambar 8.1
d1’ + d2’ + d3’ + d4’ = d1 sin αa1d2 sin α12+ d3 sin α23 + d4 sin α3b, sedang d1’ + d2’ + d3’ + d4’
= Xb – Xa, sehingga :
d1 sin αa1 + d2 sin α12+ d3 sin α23 + d4 sin α3b = Xb – Xa
atau :
Σd sin α = Xb – Xa.
Dengan perkataan : Jumlah d sin α harus sama dengan selisih absis titik akhir dan absis
titik awal poligoon.
Terhadap proyeksi pada sumbu Y dapat ditulis :
d1” = d1cos αa1
d2” = d2 cos α12
d3” = d3 cos α23
d4” = d4 cos α3b
d1” + d2” + d3” + d4” = d1 cos αa1 + d2 cos α12+ d3 cos α23 + d4 cos α3b
dan karena d1”+ d2” + d3” + d4” =Yb – Ya, maka :
cos αa1 + d2 cos α12+ d3 cos α23 + d4 cos α3b = Yb – Ya
atau :
Σd cos α = Yb – Ya.
Dengan perkataan : Jumlah d cos α harus sama dengan selisih ordinat titik akhir dan
ordinat titik awal poligoon.
Maka syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu poligoon adalah :
Syarat pertama : Σ sudut yang diukur = (α akhir – α awal) + n. 180o.
Syarat kedua : Σ d sin α = X akhir - X awal
Syarat ketiga : Σ d cos α = Y akhir - Y awal
BAB IX
PENGGAMBARAN GARIS KONTUR
1. PENDAHULUAN
Peta Kontur.
kemiringan
Selang vertikal
B
A Jarak vertikal
selang vertikal AC
Kemiringan = =
Jarak horizontal AB
80
120
90 110
60
100
50
100
1100
120