Anda di halaman 1dari 29

REFRESHING

“DEMAM TIFOID”

Pembimbing :
dr. H. Jauhari Tri Wasisto, Sp.A

Oleh :
Nama : Putri Desti Juita S
NIM: 2013730164

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


KEPANITERAAN KLINIK RSUD CIANJUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
refreshing ini. Penulisan dan pembuatan refreshing yang berjudul “Demam Tifoid”
ini merupakan bagian dari tugas pendidikan Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Sayang Cianjur.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. H. Jauhari Tri Wasisto,
Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan nasehat sehingga
penulisan refreshing ini dapat terselesaikan dengan baik. Saya juga ingin
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan refreshing ini.
Saya menyadari bahwa refreshing ini memiliki banyak kekurangan, untuk itu
saya mengaharapkan kritik dan saran agar dapat lebih baik lagi dalam penulisan
selanjutnya. Semoga refreshing ini dapat bermanfaat bagi kita semua sebagai
tambahan informasi mengenai demam tifoid yang masih menjadi salah satu masalah
kesehatan di bidang ilmu kesehatan anak.
Wassalamualaikum Wr Wb.

Cianjur, Mei 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial
atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch. Beberapa
terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik.
Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya disebabkan oleh spesies
Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid
maupun demam paratifoid
Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan
global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai 16
juta kasus di Asia Tenggara dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun.
Kejadian demam tifoid di Indonesia sekitar 1100 kasus per 100.000 penduduk setiap
tahunnya dengan angka kematian 3,1 – 10,4%. Menurut Departemen Kesehatan RI
penyakit ini menduduki urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok
umur 5 – 14 tahun di daerah perkotaan.
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-
undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah. Sebagai salah satu penyakit infeksi yang
endemis di negara-negara berkembang, demam tifoid berkaitan erat dengan kondisi
sanitasi tempat tinggal maupun hygiene makanan yang dikonsumsi, lingkungan yang
kumuh, kurangnya kebersihan tempat makan umum (rumah makan, restoran) serta
perilaku menkonsumsi makanan yang dibeli dipinggir jalan. Demam tifoid adalah
penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonela sp.
Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3 – 19 tahun, kejadian
meningkat setelah umur 5 tahun. Sekitar 95% kasus demam tifoid di Indonesia
disebabkan oleh Salmonela typhi, sementara sisanya disebabkan oleh Salmonela
paratyphi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran. Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan
oleh bakteri gram negatif Salmonela sp yaitu Salmonella typhi.

B. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. Penyakit
ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor
VI tahun1962 tentang wabah. Penderita anak yang ditemukan biasanya
diatas satu tahun, sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat berumur
diatas 5 tahun. Kelompok penyakit menular ini dapat menyerang banyak
orang, sehingga dapat menimbulkan wabah, walaupun demam tifoid
tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data
yg lengkap belum ada sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui
secara pasti.

Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan


masyarakat, serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk. Angka kejadian
demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000
penduduk pertahun atau kurang lebih sekitar 600.000-1.500.000 kasus setiap
tahunnya Diantara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus demam
tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis.

Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi


lebih sering bersifat sporadik (terpencar-pencar disuatu daerah) dan jarang
menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber
penularan biasannya tidak dapat ditemukan.

Ada dua sumber penularan Salmonella typhi: Pasien dengan demam


tifoid dan yang lebih sering carrier Orang orang tersebut mengeksresikan 109
sampai 1011 kuman per gram tinja.Didaerah endemic transmisi terjadi
melalui air yang tercemar, makanan yang tercemar oleh carrier merupakan
sumber penularan yang lebih sering didaerah nonendemik, Carrier adalah
orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi
Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun.

C. Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi .Salmonella


termasuk family Enterobakteriaceae dari genus Salmonella.Kuman
berbentuk batang, Gram (-), anaerob fakultatif,bergerak dengan rambut
getar,tidak berspora,berkapsul, tumbuh baik pada suhu optimal 370C dan
hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada
pemanasan suhu 54,40C selama 1 jam dan 60% selama 15 menit serta tahan
terhadap pembekuan dalam jangka lama, Salmonella mempunyai
karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa namun tidak terhadap
laktosa dan sukrosa.

Kuman ini mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen,yaitu:

 Antigen O (somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida)

 Antigen H (Flagel)

 Antigen Vi (Virulensi)

Dalam serum penderita terdapat zat anti (agglutinin) terhadap ketiga


macam antigen tersebut.Etiologi lainnya adalah Salmonella paratyphi A, B,
C.
D. Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti


ingesti organisme, yaitu:

1. Penempelan dan invasi sel sel M peyer’s patch,

2. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag peyer’s patch,


nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem
retikuloendotelial.

3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah

4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta


usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal.

Sebenarnya tubuh mempunyai mekanisme pertahanan untuk melawan


dan membunuh kuman yang masuk yaitu dengan adanya:

1. Mekanisme pertahanan nonspesifik disaluran pencernaan, baik secara


kimiawi maupun fisik.

2. Mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan seluler

Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam tubuh

Kuman Salmonella typhi masuk kedalam tubuh melalui makanan/minuman


yang tercemar ke dalam tubuh melalui mulut.Setelah kuman sampai di
lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang
bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim
yang dihasilkan.

Kurang lebih ada dua faktor yang dapat menentukan apakah kuman dapat
melewati barrier asam lambung, yaitu:
1. Jumlah asam lambung yang masuk

2. Kondisi asam lambung

Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan sekurang-kuraangnya


105 – 109 yang tertelan melalui makanan dan minuman.Pada saat melewati
lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati.
Keadaaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan
antagonis reseptor histamin H2, Inhibitor pompa proton atau antasida dalam
jumlah besar, akan mengurangi dosis bakteri. Sebagian kuman yang masuk
ke lambung akan dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke
usus halus yaitu kuman yang memiliki pertahanan lokal berupa motilitas dan
flora normal usus kuman berusaha menghanyutkan kuman dengan usaha
pertahanan tubuh nonspesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus,
bakteri melekat pada sel sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan
menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel
epitel khusus yang melapisi peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi
Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti
aliran ke kelenjer limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sitemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limfe.

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang


lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun
pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui
duktus torasikus masuk kedalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini
organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai
oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu
dan peyer patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi
baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu.
Eksresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui tinja.

(1) Bakterimia I (1 – 7 hari)

Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (106-
109) masuk kedalam tubuh manusia melalui esofagus, kuman masuk
kedalam lambung dan sebagian lagi kuman masuk kedalam usus halus. Di
usus halus, kuman mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum
terminalis yang sudah mengalami hipertropi (ditempat ini sering terjadi
perdarahan dan perforasi). Lalu kuman menembus lamina propria, kemudian
masuk ke aliran limfe dan mencapai kelenjer mesenterial yang mengalami
hipertrofi. Melalui duktus thoracicus, sebagian kuman masuk kedalam aliran
yang menimbulkan Bakterimia I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus,
dan masuk kembali kedalam hati.

(2) Bakterimia II (6 hari – 6 minggu)

Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk kedalam
hati lalu kuman ditangkap dan bersarang sebagian di RES: plaque peyeri di
ileum terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES, kemudian masuk
kembali ke aliran darah dan menimbulkan Bakterimia II lalu menyebar ke
seluruh tubuh.

Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam


tifoid disebabkan oleh endotoksin Salmonella typhi yang berperan pada
patogenesis demam tifoid karena salmonella typhi membantu terjadinya
proses inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi berkembang
biak dan endotoksin Salmonella typhi merangsang sintesis dan pelepasan zat
pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

Pada dasarnya tifus abdominalis merupakan penyakit


retikuloendotelial sistem yang menunjukkan diri terutama pada jaringan
limfoid usus, limpa, hati dan sumsum tulang. Di usus, jaringan limfoid
terletak di antemesenterial pada dindingnya, dan di namai Plaque peyeri.

Usus yang terserang tifus umumnya ileum terminal atau distal, tetapi
terkadang bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi
pada minggu I. Pada permukaan plaque peyeri penuh dengan fagosit,
membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrate atau hiperplasia di
mukosa usus. Pada akhir minggu pertama infeksi terjadi nekrosis dan tukak.
Tukak ini lebis besar di ileum dari pada di kolon sesuai dengan ukuran
plaque peyeri yang ada disitu.Kebanyakan tukannya itu dangkal, kadang
lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada tukak
yang menembus serosa. Setelah penderita sembuh biasannya ulkus membaik
tanpa meninggalkan jaringan parut dan fibrosis.

Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjer


limfe mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjer membesar dan melunak.
Limpa biasannya juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi
sel Polimorfonuklear dan mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain
hampir selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi dan bakteri hidup
dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita dapat tetap mengandung
bakteri dan penderita menjadi pembawa kuman.

Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni


bakteri. Itu sebabnya pada minggu minggu pertama ditemukan kumannya
dalam air kemih. Bila sembuh, penderita menjadi pembawa kuman yang
menularkan lewat kemihnya. Parotitis dan orkitis kadang bisa ditemukan,
sedangkan Bronkitis hampir selalu ada, kadang pneumonia dapat juga
terjadi. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus abdominalis
lebih sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumococcus.

Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan


gambaran miokarditis. Biasanya Tekanan Darah turun dengan Nadi lambat
(Bradikardi Relatif ) akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami
trombosis terutama V.femoralis, V.sefana, dan sinus di otak. Otot lurik dapat
mengalami degenerasi zenker berupa hilangnya striae transversalis disertai
pembengkakan otot.Otot yang sering terserang adalah otot diafragma.
M.rektus abdominis dan otot paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot
pada penderita demam tifoid. Toksin di otot dapat juga menyebabkan rupture
spontan disertai perdarahan local. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan
abses di otot bersangkutan. Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa
abses .Osteomielitis dapat berlangsung bertahun tahun . Yang paling sering
terkena adalah tibia, sternum, iga, dan ruas tulang belakang . Pada demam
tifoid sering di dapat gambaran piogenik disertai adanya basil tifus yang
dapat hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang ditunjukkan dengan
gambaran leukopenia disertai hilangnya sel Polimorfonuklear dan eosinofil
dan bertambahnya sel mononuklear.

E. Alur Diagnosis
Masa inkubasi berlangsung selama 10 – 14 hari) dan tidak menunjukkan gejala
asimtomatis
 Usia sekolah dan masa remaja
Gejala klinis menyerupai orang dewasa
Malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah abdomen (anak
biasanya tidak dapat menunjukan daerah yang paling sakit/rasa tidak nyaman
difus), keluhan meningkat pada minggu kedua.
 Demam sampai hari ke 4 bersifat remiten, dengan pola seperti anak tangga
(stepwise fashion), sesudah hari ke 5 atau paling lambat akhir minggu
pertama pola demam berbentuk kontinu
 Diare dapat ditemukan pada hari-hari pertama sakit, selanjutnya terjadi
konstipasi
 Mual muntah dapat ditemukan pada awal sakit
Keluhan malaise, anoreksia, mialgia, sakit kepala, sakit daerah
abdomen pada minggu kedua bertambah berat, dapat ditemukan disorientasi,
letargi, delirium, bahkan stupor.
Pemeriksaan Fisik :
 Bradikardi relatif (jarang pada anak usia yang lebih muda, dapat
ditemukan pada remaja)
 Dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali, distensi abdomen yang
disertai rasa sakit. Biasanya anak tidak dapat melokalisasi rasa sakit,
memberi kesan tidak enak/sakit yang difus
 Rose spot ditemukan pada 50% kasus, dicari di daerah dada bawah dan
abdomen bagian atas
 Bila ditemukan tanda pneumonia seperti sesak napas, biasanya terjadi
sesudah minggu kedua dan merupakan superinfeksi
 Bila tanpa penyulit akan sembuh dalam 2 – 4 minggu.
 Usia balita
Relatif jarang, biasanya bersifat ringan berupa demam ringan, malaise, dan
diare. Sering misdiagnosis sebagai diare akut
 Neonatus
Gejala yang biasanya timbul dapat berupa muntah, diare, distensi abdomen,
suhu tubuh tidak stabil, icterus, BB menurun, kadang disertai kejang.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis demam
tifoid adalah :
 Hematologi Rutin
Sering ditemukan anemia normokrom-normositer akibat supresi sumsum
tulang, leukopenia tetapi jarang < 2.500/mm disertai limfositosis relatif. Dapat
ditemukan trombositopenia yang cukup berat terutama pada akhir minggu
pertama
 Kimia Darah
Pada penderita dengan penyulit hepatitis tifosa dapat ditemukan peningkatan
transaminase hepar dan bilirubin serum (harus dibuktikan bukan oleh sebab
lain seperti virus hepatitis). Pada penderita gizi kurang/buruk dapat ditemukan
hiponatremia dan hipokalemia
 Biakan Salmonela
Darah : umumnya (+) pada minggu pertama dan awal minggu ke-2 (60–80%).
Pemeriksaan kultur sumsum tulang merupakan tindakan invasif, biasanya
hanya dilakukan untuk keperluan penelitian
Urin/feses : sesudah bakteremia sekunder (minggu ke 2 – 3)
 Serologi
Tes Widal: diambil 2 kali (dengan serum berpasangan), didapat titer O
meningkat > 4 kali, pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena banyak
ditemukan nilai (+) palsu.
IgM anti-S.typhi hari ke 6 – 8, pemeriksaan ini hanya berlaku untuk demam
tifoid, bila (-) tidak menyingkirkan kemungkinan demam paratifoid
Pemeriksaan antigen bakteri: Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan lain seperti pencitraan (rontgen toraks, rontgen polos perut
(BNO), USG abdomen), D-dimer, dan lain-lain dilaksanakan apabila terjadi
penyulit
Pemeriksaan penunjang lainnya:
a. Pemeriksaan darah tepi

Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan


aneosinofilia. Pada permulaan sakit, mungkin terdapat anemia dan
trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah
dikerjakan di laboratorium yang sederhana akan tetapi sangat berguna
untuk membantu diagnosis yang tepat.

b. Pemeriksaan sumsum tulang


Dapat digunakan untuk menyokong diagnosa, pemeriksaan ini
tidak termasuk pemeriksaan rutin sederhana. Terdapat sumsum tulang
berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan sistem
eritropoeisis, granulopoeisis dan trombopoiesis berkurang.

(1) Pemeriksaan laboratorium untuk membuat diagnosis

Biakan empedu untuk menemukanSalmonella typhosa dan


pemeriksaan widal adalah pemeriksaan yang dapat dipakai untuk
membuat diagnosis tifus abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan
tersebut perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu
berikutnya.

a. Biakan Empedu

Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita


biakan dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan
dalam urin dan feses, mungkin akan tetap positif untuk waktu yang
lama. Oleh karena itu, pemeriksaan yang positif dari contoh darah yang
digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif
dari contoh urin dan feses 2 kali berturut-turut digunakan untuk
menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan tidak
menjadi pembawa kuman (karier).

b. Biakan Darah

Seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan


tinja positif setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang
dan kelenjer limfe atau jaringan retikuloendotelial lainnya.sering masih
positif setelah darah steril.

Biakan darah positif ditemukan pada 70% - 80% penderita pada


minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ketiga, biakan
darah positif hanya pada 10 penderita. Setelah minggu keempat penyakit
sangat jarang kuman ditemukan dalam darah. Bila terjadi relaps maka
biakan darah akan positif kembali.

Pada penelitian mendeteksi DNA kuman Salmonell typhi dalam


darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat dan metode penggandaan
DNA dengan polymerase chain reaction (PRC). Cara ini dilaporkan
dapat mengidentifikasi kuman dalam jumlah yang amat sedikit.

Identifikasi kuman melalui Uji Serologi

(1) Pemeriksaan Widal

Dasar pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila


serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhosa.
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi.yang
bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu agglutinin dalam
serum pasien yang disangka menderita tifoid. Dengan jalan
mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan yaitu
pengenceran tertinggi yang dapat menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk
membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen
O.Titer yang bernilai 1/200 atau lebih atau menunjukkan kenaikan yang
progresif digunakan untuk membuat diagnosa. Titer terhadap antigen H
tidak diperlukan untuk diagnosis, karena dapat tetap tinggi setelah
mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Tidak selalu
pemeriksaan widal positif walaupun penderita sungguh-sungguh
menderita tifus abdominalis sebagaimana terbukti pada autopsi setelah
penderita meninggal dunia.

Sebaliknya titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut:


 Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, Karena
infeksi basil Coli patogen dalam usus.

 Pada Neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali
pusat

 Terdapat infeksi silang dengan ricketsia.

 Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya kuman peroral


atau pada keadaan infeksi subklinis.

Antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap salmonella typhi akan


positif dalam serum pada:

(a) Pasien demam tifoid

(b) Orang yang pernah tertular Salmonella.

(c) Orang yang pernah di vaksinasi terhadap demam tifoid

Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka didalam tubuh pasien


membuat antibodi (aglutinin), yaitu:

Aglutinin O

Aglutinin O adalah antibody yang dibuat karena rangsangan


dari antigen O yang berasal dari tubuh kuman.

Aglutinin H

Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan


dari antigen H yang berasal dari flagella kuman.

Aglutinin Vi
Aglutinin Vi adalah antibody yang dibuat karena rangsangan
dari antigen Vi yang berasal dari simpai kuman.

Dari ketiga aglutinin diatas, hanya aglutinin O dan aglutinin H yang


ditentukan titernya untuk menegakkan diagnosis.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu:

(a) Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien

- Keadaan umum pasien

- Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

- Pengobatan dini dengan antibiotik

- Penyakit-penyakit tertentu

- Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid

- Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya

(b) Faktor-faktor yang berhubungan dengan teknis

- Aglutinasi silang

- Konsentrasi suspense antigen

- Strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen

Interpretasi uji Widal, yaitu:

 Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien


menderita demam tifoid

 Tidak ada consensus mengenai tingginya titer uji Widal yang


mempunyai nilai diagnostik pasti untuk demam tifoid
 Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendahtidak menyingkirkan
diagnosis demam tifoid.

 Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septicemia karena Salmonella


lain.

 Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan


kesembuhan pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari
demam tifoid, aglutinin akan tetap berada dalam darah untuk waktu
yang lama.

 Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai


penyebab demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat
mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga dapat
menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama pula.

(2) Tubex TF

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi


kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-
benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya
antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa
menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100%
dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar
78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
Interpretasi tes Tubex TF:
 Scoring 2 : (-)
 Scoring 3 : Borderline, ulangi pemeriksaan 3 – 5 hari
kemudian
 Scoring 4 – 5 : (+) Lemah
 Scoring 6 – 10 : (+) Kuat ,indikasi mutlak

(3) Metode enzyme immunoassay (EIA)


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak
antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi.
Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid
akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan
tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi
IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut,
konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total
sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas
sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi
negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk
(2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis
non tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh
karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal
positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila
digunakan bersama dengan kulturuntuk mendapatkan diagnosis demam
tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi
silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen
dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus
sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai
fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.
Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6
bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.

(4) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi.
Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi
dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa
dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah,
73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada
penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel
urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada
pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk
(2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-
masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd.Pemeriksaan terhadap
antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya
nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

(5) Pemeriksaan Dipstik.


Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang
mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik
dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyaifasilitas laboratorium
yang lengkap
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 9.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002)
terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002)
mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada
pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita
demam tifoid Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di
tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.
F. Penyulit
Penyulit pada tifus dapat dikelompokkan dalam penyulit yang langsung
akibat gangguan di sistem retikuloendotelial dan penyulit tak langsung karena
adanya bakteremia. Penyulit yang langsung berupa perdarahan dan perforasi
tukak di ileum, kolesistitis akut dan kronik, hepatitis tifosa, osteomielitis dan
perdarahan pada otot yang rusak karena toksin kuman tifoid. Kerusakan otot
dapat menyebabkan abses terutama di otot paha dan otot perut. Peradangan di
jaringan limfe usus halus sering menyebabkan ileus paralitik. Osteomielitis
biasanya menyerang tibia, sternum, iga dan tulang belakang.
Perdarahan tukak tifus ditemukan pada kira-kira 5 % penderita, sedangkan
perforasi pada 3% dengan mortalitas tinggi. Komplikasi ini biasanya terjadi pada
minggu kedua atau ketiga. Beberapa keadaan ternyata disertai dengan risiko
tinggi terjadinya perdarahan dan perforasi, yaitu kadar albumin serum yang
rendah (< 2,5 gr%) yang menunjukkan gizi kurang, kadar obat yang tidak
memadai, banyak gerak, diet padat yang diberikan lebih dini, dan keadaan
penyakit berat, misalnya demam lebih dari tiga minggu. Pada keadaan toksik
kesadaran menurun dan bradikardia relatif yang berubah menjadi takikardia
merupakan tanda buruk yang mengarah ke syok toksik disertai miokarditis.
Untuk mengurangi kemungkinan komplikasi perdarahan dan/atau
perforasi usus, penderita dianjurkan mendapatkan diet cukup dan lunak sampai
demam hilang sama sekali. Penderita juga harus membatasi geraknya. Obat
antitifus perlu diberikan secara tepat dengan dosis yang memadai dan diminum
secara teratur.
Gejala yang harus dicurigai sebagai tanda awal perforasi adalah tekanan
sistolik yang menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan
defens muskuler akibat rangsangan peritoneum. Diagnosis perforasi sering sulit
ditegakkan karena penderita sudah letargik dan somnolen. Perut yang kembung
dan tegang menyebabkan adanya rangsangan peritoneum tak jelas. Perdarahan
usus sering tampil sebagai anemia. Pada perdarahan hebat mungkin terjadi syok
hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar. Indikasi
laparotomi didasarkan atas jumlah perdarahan. Pada perforasi akut, sebaliknya
keadaan pasien tampak baik, tanda klasik dari perforasi muncul bila ditekan,
tetapi keadaan umum pasien akan menurun dengan cepat. Pasien biasanya respon
terhadap pengobatan konservatif dibandingkan dengan operasi. Pengobatan yang
konservatif yaitu dengan kloramfenikol, aspirasi gastrik yang bersamaan dengan
cairan dan elektrolit. Jika perforasi intestin dioperasi, angka kematiannya akan
lebih tinggi.
Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,
bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani.
Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya kosong.
Penderita biasanya mengeluh nyeri perut dan muntah. Pemeriksaan radiologi
menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, sering disertai gambaran
ileus paralitik. Penyulit tak langsung berupa infeksi fokal yang dapat terjadi pada
setiap organ. Infeksi fokal ini antara lain berupa tromboflebitis di v.femoralis,
v.safena maupun sinus otak, juga berupa nefritis, orkitis, parotitis dan bronkitis
yang mudah berlanjut menjadi pneumonia yang mungkin disusul empiema.
Meningitis biasanya merupakan lanjutan tromboflebitis di sinus otak.

G. Diagnosis
Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gejala
klinik serta pemeriksaan laboratorium serologi. Bila didapati titer O yang tinggi
tanpa imunisasi sebelumnya, maka diagnosis demam tifoid dapat dianggap positif.
Diagnosis dapat dipastikan bila biakan dari darah, tinja, urin, sumsum tulang,
sputum atau eksudat purulen positif.
a. Ig-M anti S.thypi
b. Biakan S.thypi
c. Titer uji Widal meningkat 4 kali lipat selama 2 – 3 minggu.
- Titer antibodi (aglutinin) O = 1 : 320  4 x (1 : 80)
- Titer antibodi (aglutinin) H = 1 : 640  4 x (1 : 160)
Demam tinggi dengan atau tanpa bronkitis, disertai keluhan sakit kepala dan
nyeri samar-samar di perut dapat disebabkan banyak penyakit seperti
salmonelosis pada umumnya, tuberkulosis diseminatus, malaria, demam dengue,
bronkitits akut, influenza dan pneumonia.

H. Komplikasi
1. Komplikasi Intestinal
 Perdarahan usus (bila gawat harus dilakukan pembedahan)
 Perforasi usus (harus dilakukan pembedahan)
 Ileus paralitik
2. Komplikasi Ekstra-Intestinal
 Darah : Anemia hemolitik, trombositopenia, DIC.
 Kadiovaskular : Syok septik, miokarditis, trombosis, tromboflebitis
 Paru-paru : Empiema, pneumonia, pleuritis, bronkhitis
 Hati dan kandung empedu : Hepatitis, kolesistitis
 Ginjal : Glomerulonefritis, pielonefritis
 Tulang : Osteomielitis, arthritis
 Neuropsikiatrik : Delirium, meningitis, polineuritis perifer, encephalopaty,
sindrome Guillian – Barre, psikosis.

I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
 Antibiotik
Lini I :
 Klorampenikol 100 mg/KgBB/hari per oral atau IV, dibagi dalam 4
dosis selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun.
Kloramfenikol tidak diberikan apabila leukosit < 2000/µl
 Amoksisilin 100 mg/KgBB/hari per oral atau IV selama 10 hari
Lini II (multidrug resistant S.typhi) :
 Seftriakson 80 mg/KgBB/hari IV/IM, sekali sehari, selama 5 hari
 Sefiksim 10 mg/ KgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10
hari
 Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan penurunan
kesadaran: Deksametason 1-3 mg/KgBB/hari IV, dibagi 3 dosis
hingga kesadaran membaik
 Pertimbangan transfusi darah pada kasus perdarahan saluran cerna.
 Tindakan Bedah
Diperlukan bila terjadi perforasi usus

2. Non Medikamentosa
 Tirah baring
 Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi

Indikasi Rawat :
Demam tifoid berat harus dirawat inap d RS :
 Terutama pada demam tinggi, muntah, diare bila perlu diberikan asupan cairan
dan kalori
 Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan
 Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
 Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
 Antipiretik diberikan apabila demam > 39’C kecuali pada pasien dengan
riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal
 Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan
kalori cukup
 Transfusi darah kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus
Bahan Makanan Dianjurkan Tidak Dianjurkan
Sumber karbohidrat Beras ditim, dibubur; Nasi digoreng; beras
kentang direbus, dipure; ketan, ubi; singkong;
makaroni, soun, mi, tales; cantel
misoa direbus; roti;
biskuit; tepung sagu,
tapioka, maizena,
hunkwe dibubur atau
dibuat puding; gula;
madu.
Sumber protein hewani Daging, ikan, ayam, Daging dan ayam
unggas tidak berlemak berlemak dan berurat
direbus, dikukus, ditim, banyak; daging, ayam,
dipanggang; telur ikan, telur digoreng; ikan
direbus, diceplok air, banyak duri seperti
diorak-arik; bakso ikan, bandeng, mujair, mas dan
sapi, ayam direbus; susu, selat.
milkshake, yogurt, keju.
Sumber protein nabati Tempe, tahu direbus, Tempe, tahu dan kacang-
dikukus, ditumis, kacangan digoreng;
dipanggang; kacang hijau kacang merah.
direbus; susu kedelai.
Sayuran Sayuran tidak berserat Sayuran banyak serat
banyak dan dimasak seperti daun singkong,
seperti daun bayam, daun daun katuk, daun melinjo,
kangkung, kacang nangka muda, keluwih,
panjang muda, buncis genjer, pare, krokot,
muda, oyong muda rebung; sayuran yang
dikupas, labu siam, labu menimbulkan gas seperti
kuning, labu air, tomat kol, sawi, lobak; sayuran
dan wortel. mentah.
Buah-buahan Buah segar dihaluskan Buah banyak serat dan
atau dipure tanpa kulit menimbulkan gas seperti
seperti pisang matang, nanas, nangka masak dan
pepaya, jeruk manis dan durian; buah lain dalam
jus buah (pada pasien keadaan utuh kecuali
yang mempunyai pisang; buah kering.
toleransi rendah terhadap
asam, jus buah tidak
diberikan).
Bumbu-bumbu Dalam jumlah terbatas : Cabe dan merica.
garam, gula, pala, kayu
manis, asam, saos tomat,
cuka, kecap.
Minuman Sirop, teh dan kopi encer, Minuman yang
jus sayuran dan jus buah, mengandung alkohol dan
air putih masak. soda seperti bir, wiski,
limun, air soda, coca
cola, orange crush; teh
dan kopi.
Selingan Es krim, puding. Kue kacang, kue kenari,
buah kering, kue terlalu
manis dan berlemak.
Lain-lain Selai, marmalade, coklat Keripik dan snack yang
bubuk, gelatin, hagelslag terlalu gurih.

Pemantauan Terapi
- Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5
setelah pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi
adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik,
atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis
- Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, perbaikan klinis, dan tidak dijumpai
komplikasi. Pengobatan dapat dianjurkan dirumah.

J. Prognosis
Prognosis tergantung pada umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah/virulensi kuman, saat dimulainya pengobatan (cepat dan tepatnya
pengobatan), keadaan sosio-ekonomi dan gizi penderita. Angka kematian di
rumah sakit tipe A berkisar antara 5 – 10% persen. Pada tindakan operatif atas
indikasi perforasi, angka kematian berkisar antara 15 dan 25%. Kematian pada
demam tifoid disebabkan oleh keadaan toksik, perforasi, perdarahan atau
pneumonia.

DAFTAR PUSTAKA
Clearly TG. Salmonella. In: Klegman RM: Stanton BM, Geme J, Schor N, Behrman
RE, editors. Nelson’s Textbook of Pediatrics. 19th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2011

Pedoman Diagnostik dan Terapi. Demam Enterik : Demam Tifoid dan Paratiroid. 3 th
Ed. Bandung; 2005

Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
editors. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2011

Pudjiadi, H Antonius. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid
I.Jakarta: IDAI; 2010

Sumarmo SPS, Herry G, Sri RSH, Hindra IS, editors. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri
Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012

Anda mungkin juga menyukai