Anda di halaman 1dari 24

1

SKENARIO 4

“ INFEKSI BAKTERI ”

Seorang anak perempuan berusia 8 tahun dibawa keluarganya ke


Puskesmas dengan keluhan diare. Diare sejak 2 hari dengan konsentrasi lembek,
warna kuning, lendir ( + ), darah ( + ). Keluhan juga disertai mual dan muntah.
Dokter yang memeriksa mencurigai penyebab diare adalah akibat infeksi dari
bakteri dan penularannya adalah melalui fecal – oral. Oleh karena itu dokter
meminta pasien untuk melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari agen
infeksi pada melalui feses dan urinnya.

STEP 1

1. Diare : Penyakit yang membuat tinja / feses cair lebih dari 3x


sehari.

2. Infeksi : Proses invasi dan multifikasi sebagai mikroorganisme,


pada saat tubuh kemasukan bibit penyakit sehingga menimbulkan panas
atau demam.

3. Fecal – oral : Suatu penyakit yang ditularkan melalui anus oral berupa
makanan / minuman yang tercemar oleh enteropatogen.

4. Bakteri : Kelompok mikroorganisme yang tidak memiliki inti sel.

5. Agen infeksi : Suatu organisme atau partikel yang menyebabkan


penyakit menukar. Contohnya : bakteri, virus, jamur, parasite.

6. Mual : Sensasi yang tidak nyaman pada perut bagian atas yang
disertai dorongan untuk muntah biasanya disertai berkeringat.

7. Muntah : Keluarnya makanan / minuman paksa dari perut melalui


tenggorokan.
2

STEP 2

1. Apa saja macam – macam dari diare ?

2. Apa saja menyebabkan anak tersebut diare dan apa saja agen infeksi
lainnya ?

3. Mengapa diare pada pasien tersebut disertai darah ?

4. Apa saja faktor resiko dari diare ?

5. Bagaimana mekanisme penularan agen infeksi hingga menyebabkan


penyakit ?

6. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium melalui feses dan


urin ?

7. Apa saja macam – macam infeksi ?

8. Bagaimana mekanisme infeksi ?

STEP 3

1. Berikut macam – macam diare :

a. Etiologi.

b. Mekanisme

i. Sekretorik => toksin bakteri => contoh : fibrio kolera.

ii. Osmotik => intolerasi laktosa.

c. Waktu

i. Akut => < 14 hari

ii. Kronis => > 14 hari tanpa infeksi.

iii. Persisten => .> 14 hari ada infeksi.


3

2. Berikut yang menyebabkan anak tersebut diare dan agen infeksi lainnya :

i. Bakteri => E.coli, shigella ( etiologi ), salmonella.

ii. Virus => Rota virus, enterovirus.

iii. Parasit => giardia lambia, tricuris tricuria.

iv. Jamur.

v. Protozoa.

vi. Cacing.

vii. Ektoparasit.

viii. Prion.

ix. Psikologis => cemas.

3. Berikut alasan diare pada pasien tersebut disertai darah :

Karena bakteri pada dinding GI tract.

4. Berikut faktor resiko dari diare :

a. Sosiaekonomi.

b. Lingkungan.

c. Musin.

d. Hyginitas.

5. Berikut mekanisme penularan agen infeksi hingga menyebabkan penyakit


yaitu:

a. Agen infeksi harus mampu melakukan metabolism di dalam hospes.

b. Agen infeksi harus memilih kemapuan untuk menahan mekanisme


pertahanan hospes.

c. 4 jalan saluran
4

i. Saluran pencernaan.

ii. Saluran pernafasan.

iii. Kulit.

iv. Saluran urogenital.

d. Terdapat 3 mekanisme

i. Mengeluarkan toksin.

ii. Mengeluarkan enzim.

iii. Kontak sel

6. Berikut alasan dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium melalui


feses dan urin :

a. Karena untuk mengidentifikasi bakteri sesuai tempat hidup bakteri.

b. Pemeriksaan dengan culture.

c. Flira kulit ( contoh lain ).

d. Bakteri banyak bereplikasi disaluran cerna.

e. Beberapa bakteri hanya tumbuh di genitourinary.

7. Berikut macam – macam infeksi :

a. Local.

b. Akut.

c. Kronik.

d. Sistemik.

e. Bakterimia.

f. Septikimia.
5

8. Berikut mekanisme infeksi :

a. 4 tahap

i. Periode ( masa inkubasi ).

ii. Tahap prod normal.

iii. Tahap sakit.

iv. Tahap pemulihan.

STEP 4

1. Berikut macam – macam diare :

a. Etiologi

i. Bakteri => E.coli => BAB berdarah dan berlendir => karena
bakteri merusak epitel pada usus.

ii. Virus => rotavirus => BAB tidak berdarah dan tidak berlendir =>
virus merusak vili – vili tetapi tak merusak epitel.

iii. Parasit => menyebabkan diare dan bisa menyerang organ lain.

b. Sekretorik

Bakteri ( toksin ) => contoh fibrio kolera => merangsang pembukaan


CAMP => menaikkan konsentrasi intasel ( CAMP, CGMP, Ca2+ ) =>
mengaktifkan protein kinase => terjadi pembukaan ion => N+ , Ca- di
lumen naik => cairan tidak bisa diserap => naiknya penumpukan
cairan di lumen => diare ( berwarna putih seperti diare cucian besar ).

c. Osmotik

i. Laktosa / ASI ( bayi ) => pencernaan belum terbentuk sempurna =>


naiknya osmotic di lumen ussus => hipertonis dan hipeosmolar di
liumen => air dan Na di dalam lumen => masuk ke dalam kolon =>
6

penyerapan di kolon tidak sempurna => diare ( warna kuning,


lembek, encer.

ii. Virus => rotovirus => perusakan pada vili usus => proses
selanjutnya sama dengan laktosa.

2. Berikut yang menyebabkan anak tersebut diare dan agen infeksi lainnya :

a. Struktur bakteri

i. Vili melekat ke sel inang menyebabkan infeksi.

ii. Mampu mengalir dari system imun.

b. Virus

i. Mengandung asam nukleat

ii. Berepliksi menyebabkan kerusakan sel.

c. Jamur

Mempunyai enxim keratin.

d. Parasit

Contoh => Protozoa, cacing.

e. Prion

Resisten terhadap protozoa.

f. Protozoa

Dapat melakukan replikasi.

g. Cacing

Diferensiasi tinggi.

h. Eksoparasit

Merekat dan hidup pada kulit.


7

i. Patogenitas

Bakteri pathogen => menimbulkan penyakit.

j. Bakteri oportonistik => bisa menjadi pathogen.

k. Bakteri non pathogen => tidak bisa menyebabkan penyakit.

l. Kemampuan invasi

Bisa menembus ke dalam sel di dukung karena adanya matrix


eksraseluker.

m. Toxin

Eksotoxin => protein baik dengan gram positif maupun negative.

3. Berikut alasan diare pada pasien tersebut disertai darah :

Sudah cukup.

4. Berikut factor resiko dari diare :

a. Sosioekonomi

i. Berhubungan dengan lingkungan.

ii. Hubungan tidak bersih.

b. Lingkungan tidak bersih.

c. Musim dingin bakteri banyak muncul .

5. Berikut mekanisme penularan agen infeksi hingga menyebabkan penyakit


yaitu:

a. 3 mekanisme di saluran urogenital

i. Relase

1) Enzim rellase => degradasi komponen jaringan => merusak


pembuluh darah => menyebabkan neurosis sistemik.
8

2) Matiin sel jarak tertentu.

ii. Kontak / sel pejamu masuk => kematian sel.

iii. Respon imun pejamu

1) Keruskan jaringan.

2) Melawan infeksi.

b. Saluran pernapasan

i. Pertahanan

1) Partikel terjerat di saluran nafas.

2) Partikel kecil langsung ke alveolus.

ii. Saluran urogenital

Melalui urin secara berkala

6. Berikut alas an dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium melalui


feses dan urin :

a. Flora kulit.

b. Tinja.

c. Bakteri dan virus.

d. Urin.

7. Berikut macam – macam infeksi :

a. Infeksi local => spesifik dan terbatas.

b. Infeksi akut => infeksi muncul dalam waktu singkat.

c. Infeksi kronis => infeksi lambat dan lama.

d. Infeksi sistemik => mikroorganisme menyebar kebagian tubuh yang


lain dan menyebabakan kerusakan.
9

e. Bakterimia

f. Septikimia => multiplikasi bakteri dalam darah sebagai hasil dari


infeksi pertama.

8. Berikut mekanisme infeksi :

a. Periode inkubasi => gejala pertama.

b. Tahap prod normal => tanda demam ringan.

c. Tahap sakit => spesifik terhadap jenis infeksi.

i. Demam => sakit tenggorokan.

ii. Gondongan => sakit telinga.

iii. Demam tinggi

d. Tahap pemulihan => interval saat terjadi akut infeksi.

MIND MAP

JAMUR PARASIT

AGEN BAKTER

FAKTOR – FAKTOR
YANG INFEKSI MANIFESTASI
MENYEBABKAN
INFEKSI

MEKANISME INVASI ATOGEN


10

STEP 5

1. Bagaimana respon imun terhadap agen infeksi ?

2. Mekanisme mikroba meghindari dari system imun ?

3. Apa saja factor – faktor infeksi ( yang mempengaruhi ) ?

STEP 6

Belajar Mandiri

STEP 7

1. Respon imun terhadap Virus

Virus merupakan organisme obligat, umumnya terdiri atas potongan DNA


atau RNA yang diselubungi mantel dari protein atau lipoprotein. Respons imun
terhadap protein virus melibatkan sel T dan sel B. Antigen virus yang
menginduksi antibodi dapat menetralkan virus dan sel T sitotoksik yang spesifik
merupakan imunitas paling efisien pada imunitas proteksi terhadap virus.

Virus merupakan obligat intraseluler yang berkembang biak di dalam sel, sering
menggunakan mesin sintesis asam nukleat dan protein pejamu. Dengan reseptor
permukaan sel, virus masuk ke dalam sel dan dapat menimbulkan kerusakan sel
dan penyakit melalui berbagai mekanisme. Hal tersebut disebabkan oleh replikasi
virus yang menganggu sintesis protein dan fungsi sel normal serta efek sitopatik
virus. Virus nonsitopatik dapat menimbulkan infeksi laten dan DNA virus enetap
dalam sel pejamu dan memproduksi protein yang dapat atau tidak menganggu
fungsi sel. (Sylvia,2006)

Imunitas nonspesifik humoral dan seluler

Prinsip mekanisme imunitas nonspesifik terhadap virus adalah mencegah infeksi.


Efektor yang berperan adalah IFN tipe 1 dan sel NK dan yang membunuh sel
yang terinfeksi. Infeksi banyak virus disertai produksi RNA yang merangsang sel
terinfeksi untuk sekresi IFN tipe 1, mungkin melalui ikatan dengan TLR. IFN
Tipe 1 mencegah replikasi virus dalam sel terinfeksi dan sel sekitarnya yang
11

menginduksi lingkungan antiviral. Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh


berbagai jenis virus dan merupakan efektor imunitas penting terhadap infeksi dini
virus. (Sylvia,2006)

Imunitas Spesifik

a. Imunitas Spesifik Humoral

Respons imun terhadap virus tergantung dari lokasi pejamu. Antibodi


merupakan efektor dalam imunitas spesifik humoral terhadap infeksi virus.
Antibodi diproduksi dan hanya efektif terhadap virus dalam fase ekstraseluler.
Antibodi dapat berperan sebagai opsonin yang dapat meningkatkan eliminasi
partikel virus oleh fagosit. (Kumar,2015)

b. Imunitas Spesifik Selular

Virus yang berhasil masuk ke dalam tidak lagi rentan terhadap efek antibodi.
Respon imun terhadap virus intraseluler terutama tergantung dari sel CD8
yang membunuh sel terinfeksi. Fungsi fisiologik CTL ialah pemantauan
terhadap infeksi virus.(Kumar,2015)

Respon imun terhadap jamur dan parasit

A. Jamur

Jamur adalah eukariotik yang mempunyai dinding sel tebal, mengandungi


kitin dan membran sel yang mengandungi ergosterol. Jamur dapat tumbuh sebagai
sel ragi bundar atau hifa ramping berbentuk filamen. Hifa dapat berbentuk septat
(dengan dinding sel yang memisahkan sel-sel individu) atau aseptat, yang penting
untuk membedakan karakteristik materi klinis. Beberapa jamur patogen penting
mempunyai sifat dimorfisme termal,yaitu, jamur tersebut tumbuh sebagai bentuk
hifa pada suhu kamar. namun akan berbentuk ragi pada suhu tubuh.

Jamur dapat membentuk spora seksual, atau lebih sering lagi berupa spora
aseksual yang disebut konidia. Konidia diproduksi pada struktur khusus atau
struktur yang menyerupai buah-buahan yang berasal dari filamen hifa. Jamur
12

dapat menyebabkan infeksi pada permukaan tubuh atau infeksi pada organ dalam
tubuh. (Kumar, 2015).

a). Infeksi permukaan tubuh meliputi kulit, rambut dan kuku. Spesies jamur
yang mengakibatkan infeksi permukaan disebut dermatophyta. Infeksi
pada kulit disebut tinea, karena itu, tinea pedis adalah "athlete's foot" dan
tinea capitis adalah scalp ringworm. Jenis jamur tertentu akan menginvasi
jaringan sub-kutis, menyebabkan abses atau granuloma dan kadang-
kadang disebut misetoma. (Kumar, 2015).
b). Infeksi jamur yang dalam dapat menyebar secara sistemik dan menginvasi
jaringan, merusak organ vital pada pejamu yang immunocompromised
(imunitas rendah), tetapi biasanya dapat di atasi atau tetap laten pada
pejamu normal. Jamur dibagi dalam spesies endemik dan oportunistik.
c). Jamur endemik adalah spesies yang invasif dan dijumpai terbatas pada
daerah geografik tertentu (misalnya, Coccidioides di barat daya Amerika
Serikat, Histoplasma di Ohio River Valley). (Kumar, 2015).
d). Sebaliknya, jamur oportunistik (misalnya, Candida, Aspergilus, Mucor,
Cryptococcus) merupakan organisme yang dijumpai di mana-mana yang
ditemukan pada manusia maupun dijumpai pada lingkungan. Pada
individu dengan imunodefisiensi, jamur oportunis akan mengakibatkan
infeksi invasif yang dapat mematikan dengan tanda nekrosis jaringan,
pendarahan, penyumbatan pembuluh, dengan sedikit respons radang atau
tidak memberikan respons radang (Gambar 8-4).

Pasien dengan AIDS sering terkena jamur oportunis Pneumocystis jiroveci


(sebelumnya disebut Pneumocystis carinii).
13

Gambar 8-4 Pembuluh darah meningen dengan spesies angioinvasif Mucor

Perhatikan lebar yang tidak teratur dan percabangan dengan sudut hampir
tegak dari hifa. (Penghargaan pada Dr. Dan Milner, Department of Pathology,
Brigham and Women's Hospital, Boston, Massachusetts). (Kumar, 2015).

B. Protozoa

Protozoa adalah sel tunggal eukariotik yang merupakan penyebab utama


penyakit dan kematian pada negara berkembang. Protozoa dapat melakukan
replikasi intrasel di dalam berbagai sel (misalnya, Plasmodium dalam sel darah
merah, Leishmania di makrofag) atau secara ekstrasel pada sistem urogenital,
saluran cerna atau darah. Organisme Trichomonas vaginalis adalah parasit
protozoa berflagela yang ditansmisi secara seksual, hidup di vagina dan uretra
laki-laki. (Kumar, 2015).

Protozoa pada usus yang paling sering dijumpai adalah Entamoeba


histolytica dan Giardia lamblia, yang masuk berbentuk kista nonmotil pada
makanan atau air yang berubah menjadi trofozoit motil yang menempel pada sel
epitel saluran cerna. Protozoa yang berasal dari darah (misalnya, Plasmodium,
Tripanosoma, Leishmania) ditransmisikan melalui vektor serangga, di mana
protozoa tersebut akan mengalami replikasi sebelum diteruskan ke pejamu
manusia. (Kumar, 2015).

Toksoplasma gondii diperoleh melalui kontak dengan anak kucing yang


mengandungi oocyst atau dengan mengkonsumsi makanan/ daging yang belum
matang yang mengandungi kista. (Kumar, 2015).

C. Cacing

Cacing parasit adalah organisme multisel dengan diferensiasi tinggi. Siklus


kehidupannya sangat kompleks; sebagian besar terjadi bergantian antara
reproduksi seksual pada pejamu tertentu dan multiplikasi aseksual pada pejamu
perantara atau vektor. Oleh karena itu, tergantung pada spesiesnya, manusia dapat
mengandungi cacing dewasa (misalnya, Ascaris lumbricoides), stadium imatur
(misalnya, Toxocara canis), atau bentuk larva aseksual (misalnya, Echinococcus
14

spp.). Ketika cacing dewasa berada dalam manusia, cacing tersebut tidak akan
bermultiplikasi tetapi akan menghasilkan telur atau larva yang akan dikeluarkan
melalui tinja. Seringkali, beratnya gejala penyakit sesuai dengan jumlah
organisme yang menginfeksi. Sebagai contoh, beban dari 10 ekor cacing tambang
dikaitkan dengan keluhan klinis ringan atau tanpa keluhan klinis, sedangkan 1000
ekor cacing tambang akan mengkonsumsi darah yang bisa mengakibatkan anemia
berat. Pada beberapa infeksi cacing, seperti schistosomiasis, penyakit akan
disebabkan oleh respons radang akibat adanya telur atau larva dan bukan akibat
cacing dewasa.

Cacing terbagi atas tiga kelompok:

a). Cacing bulat (nematoda) bentuknya bulat pada potongan melintang dan
tidak bersegmen. Yang termasuk nematoda intestinal adalah Ascaris
lumbricoides, Strongyloides stercoralis, dan cacing tambang. Nematoda
yang menginvasi jaringan adalah filariae dan Trichinella spiralis (Gambar
8-5).
b). Cacing pita (sestoda) mempunyai kepala (scolex) dan pita bersegmen
multipel yang rata (proglottids). Cacing ini akan menyerap nutrisi melalui
selaputnya/tegument dan tidak mempunyai saluran cerna. Termasuk di
dalam kategori ini adalah cacing pita pada ikan, sapi dan babi, serta
15

dijumpai pula pada saluran cerna manusia. Larva yang berkembang setelah
telur dari cacing pita tertentu tertelan akan mengakibatkan penyakit kista
di dalam jaringan (larva Echinoccus granulosus mengakibatkan kista
hydatid; larva cacing pita pada babi menimbulkan kista yang disebut
sistiserkus pada berbagai organ).
c). Cacing pipih/ Flukes (trematoda) adalah cacing berbentuk daun dengan
alat penghisap yang digunakan untuk menempel pada pejamu. Termasuk
dalam kategori ini adalah trematoda hati dan paru serta sistosoma.
(Kumar, 2015).
D. Ektoparasit

Ektoparasit adalah serangga (berbagai kutu) atau araknida (tungau/ mites,


kutu/ ticks, laba-laba) yang akan melekat dan hidup pada atau di dalam kulit.
Penyakit-penyakit akibat langsung artropoda ditandai dengan keluhan gatal dan
ekskoriasi, misalnya pedikulosis yang diakibatkan oleh kutu yang melekat pada
rambut, atau skabies yang diakibatkan oleh kutu yang menembus stratum
korneum. Pada tempat gigitan, bagian dari mulut dijumpai bersama dengan
infiltrat limfosit, makrofag, dan eosinofil. Artropoda dapat juga berfungsi sebagai
vektor untuk patogen lain, seperti Borrelia burgdorferi, penyebab penyakit Lyme,
yang ditransmisi melalui kutu dari rusa. (Kumar, 2015).

2. Mekanisme Mikroba Menghindari Sistem Imun

Cara Mikroba Menghindari Reaksi Imun

Tidak mengherankan bahwa mikroorganisme mempunyai banyak cara untuk


melawan dan menghindari sistem imun (Gambar 8-6). Mekanisme ini yang
merupakan faktor penting untuk virulensi mikroba dan patogenesisnya, termasuk
(1) variasi antigenitasnya, (2) resistensi terhadap pertahanan imun bawaan dan (3)
gangguan respons antimikroba sel T yang efektif melalui immunosupresi spesifik
ataupun non spesifik. (Kumar, 2015)

Beberapa mikroba dapat menghindari respon imun dengan mengubah


antigen yang diekspresikannya. Antibodi yang menetralkan akan menahan
16

kemampuan mikroba tersebut untuk menginfeksi sel dan merekrut mekanisme


efektor untuk mematikan agen patogen. Untuk menghindari pengenalan, mikroba
menggunakan berbagai strategi yang bervariasi. Rendahnya ketaatan (fidelitas)
polimerase RNA virus (di HIV dan virus saluran pernafasan termasuk virus
influenza) dan penyusunan kembali genom virus (virus influenza) menciptakan
antigen yang bervariasi. Spirokheta Borrelia recurrenstis berulang kali mengubah
antigen permukaannya, dan Borrelia burdorferi, penyebab penyakit Lime,
memakai mekanisme yang sama untuk mengubah protein membran luarnya.
Spesies Trypanosoma mempunyai banyak gen untuk antigen permukaan
utamanya, VSG, dan dapat mengubah ekspresi protein permukaannya.

(Kumar, 2015)

Gambar 8-6 Gambaran mekanisme yang dipergunakan patogen virus dan bakteri
unuk menghindari imunitas bawaan dan adaptif. (Kumar,2015)

Beberapa mikroba mempunyai metode untuk melawan pertahanan imun


secara aktif.

a. Peptida anti-mikroba kation, termasuk defensin, cathelicidin, dan


trombosidin, mempunyai pertahanan awal penting melawan invasi
17

mikroba. Peptida ini akan berikatan dengan membran bakteri dan


membentuk pori-pori yang mengakibatkan kematian bakteri melalui lisis
hipo-osmotik. Bakteri patogen (Shigella spp., S. Aureus) mencegah
kematian dengan membuat molekul permukaan yang rentan terhadap
ikatan peptidaanti-mikroba melalui berbagai mekanisme.
b. Fagositosis dan pembunuhan bakteri oleh leukosit polimorfonukleus atau
neutrofil (PMN) dan monosit berperan penting sebagai pertahanan
pejamu terhadap bakteri ekstrasel. Bakteri yang menyebabkan
pneumonia atau meningitis (S.pneumoniae, N. Meningitis, H.
Influenzae) menyebabkan bakteri tersebut lebih virulen dengan
pencegahan fagositosit oleh neutrofil. (Kumar,2015)
c. Virus dapat memproduksi molekul yang menghambat imunitas alami.
Virus telah mengembangkan sejumlah strategi untuk melawan interferon
(IFN), yang merupakan mediator untuk pertahanan awal pejamu terhadap
virus. Beberapa virus memproduksi IFN-α/β yang homolog dan larut air
atau reseptor IFN-γ yang terikat pada dan menghambat kerja dari IFN
yang disekresikan atau memproduksi protein yang menghambat reseptor
IFN dari downstream sinyal intrasel JAK/STAT. Virus juga dapat menon-
aktifkan atau menghambat protein kinase (PKR) yang bergantung pada
RNA, untai ganda suatu mediator utama bagi efek antivirus IFN.
Beberapa virus menyandi di dalam genomnya homolog dengan sitokin,
kemokin, atau reseptornya yang dapat menghambat respon imun dengan
berbagai cara. Akhirnya, virus mengembangkan strategi untuk menahan
apoptosis di sel pejamu, sehingga virus punya waktu untuk bereplikasi,
bertahan atau mentransformasikan sel pejamu. (Kumar,2015)

Beberapa mikroba memproduksi faktor yang akan mengurangi pengenalan sel


yang terinfeksi oleh sel T helper CD4+ dan sel T sitotoksik CD8+. Contohnya,
beberapa virus DNA (misalnya, virus herpes, termasuk HSV, CMV, dan EBV)
dapat mengikat atau mengubah lokasi dari protein class I Major
Hiostocompability Complex (MHC), mengurangi presentasi peptida terhadap sel
CD8+. Pengaturan lebih rendah (downregulation) dari molekul class I akan
memberikan kesan bahwa sel yang terinfeksi virus akan menjadi target sel NK.
18

Namun, virus herpes juga mengekspresikan homolog MHC class I yang berperan
sebagai inhibitor efektif unuk sel NK dengan melibatkan sel reseptor inhibitor.
Molekul MHC class II merupakan target virus herpes untuk degradasi, sehingga
presentasi antigen pada sel T helper CD4+ akan terganggu. Virus juga dapat
menginfeksi leukosit dengan menurunkan fungsinya secara langsung (misalnya,
HIV menginfeksi sel T CD4+, makrofag dan sel dendrit). (Kumar, 2015)

Penyebaran dan Perkembangan Mikroba dalam Tubuh

Beberapa mikroorganisme berproliferasi lokal, pada tempat asal infeksi,


sedangkan lainnya menembus pertahanan epitel dan menyebar ke tempat yang
jauh melalui pembuluh limfe, darah atau saraf (Gambar 8-6)
19

Kuman patogen yang mengakibatkan infeksi permukaan tetap berada di lumen


organ tubuh (misalnya, Vibrio cholerae) atau melekat pada atau berproliferasi di
dalam sel atau permukaan sel epitel (misalnya, papillomavirus, dermatophytes).
Mikroba dapat menyebar dalam tubuh melalui beberapa cara:
• Beberapa bakteri ekstrasel, fungus, dan helmint mensekresi enzim litik yang
merusak jaringan sehingga memungkinkan invasi langsung. Contoh, S. aureus
mensekresi hialuronidase, yang melakukan degradasi matriks ekstrasel di antara
sel pejamu. Mikroba yang invasif akan mencari tempat dengan resistensi terkecil
dan kemudian menuju kelenjar getah bening regional. S. aureus dari abses lokal
bisa pindah ke kelenjar getah bening. Hal ini kadang-kadang dapat mengakibatkan
bakteremia dan terjadi penyebaran ke organ dalam (jantung, tulang).

• Mikrooganisme dapat menyebar dalam darah atau cairan limfe


bisa bebas dalam cairan ekstrasel atau di dalam sel pejamu. Beberapa virus
(misalnya, virus polio, HBV), hampir semua bakteri Dan fungus, beberapa
20

protozoa (misalnya, tripanosoma Afrika), dan semua helmint dibawa oleh aliran
darah bebas dalam plasma. Leukosit dapat membawa virus herpes, HIV,
mikobakteria, Leishmania, dan Toxoplasma. Parasit Plasmodium dan Babesia
dibawa di dalam sel darah merah. (Kumar, 2015)

Virus umumnya menyebar secara lokal dari sel ke sel melalui replikasi dan
mengeluarkan virion yang infektif, tetapi yang lainnya bertambah dari sel ke sel
melalui fusi dengan sel pejamu, atau melalui saraf (seperti virus rabies dan virus
varicella-zoster). Penyebaran kuman patogen di darah bisa berakibat yang tidak
berarti atau sebaliknya menakutkan. Fokus infeksi yang dibawa oleh darah bisa
hanya satu dan besar (seperti abses atau tuberkuloma) atau multipel dan kecil-
kecil (seperti tuberkulosis miliaris atau mikroabses Candida). Invasi sporadik
aliran darah oleh mikroba dengan virulensi rendah atau non virulen (misalnya,
sewaktu gosok gigi) sering dijumpai tetapi segera teratasi oleh pertahanan normal
pejamu. Sebaliknya, diseminasi viremia, bakteremia, fungemia, atau parasitemia
oleh patogen yang virulen amat berbahaya dan bermanifestasi sebagai demam,
tekanan darah rendah, dan tanda sistemik multipel lain dan gejala sepsis. Invasi
pembuluh darah masif oleh bakteri akan cepat menyebabkan sepsis fatal,
walaupun sebelumnya orang tersebut berada dalam keadaan sehat. (Kumar, 2015)

Manifestasi utama penyakit infeksi dapat timbul pada tempat yang jauh dari
tempat masuknya mikroba. Contoh, virus varicella-zoster dan virus campak
masuk melalui saluran napas tetapi akan memberikan ruam di kulit; virus polio
masuk melalui saluran cerna tetapi mematikan neuron motorik yang
mengakibatkan kelumpuhan. Parasit Schistosoma mansoni menembus kulit tetapi
kemudian berlokasi di pembuluh darah sistem portal dan mesenterium, merusak
hati dan intestin. Schistosoma hematobium mengambil tempat di kandung kemih
dan menyebabkan sistitis. Virus rabies menyebar dari tempat gigitan hewan
menuju otak secara retrograd melalui neuron sensorik, akan mengakibatkan
ensefalitis dan kematian. (Kumar, 2015)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi bakteri pada manusia yaitu


21

1. Adhesi

Fimbriae (pili) adalah struktur yang menyerupai rambut yang terdapat


pada tubuh bakteri. Pili berfungsi membantu bakteri menempelkan
tubuhnya pada lokasi infeksi. Kondisi penempelan ini disebut sebagai
adhesi. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan, reaksi tertentu membantu
terjadinya adhesi. Reseptor permukaan pada sel-sel epitel dan struktur
perekat (adhesin) pada permukaan bakteri terlibat dalam reaksi adhesi ini.
Struktur perekat (adhesin) terdapat pada fimbriae/fibrillae/pili. Adhesin
mengandung faktor virulensi yang membuat rantai virulen bakteri. Bila
adhesin hilang, bakteri menjadi avirulen. Jadi, orang yang diimunisasi
dengan adhesin tertentu akan membuat tubuh membentuk kekebalan
terhadap infeksi bakteri tertentu. (Abbas,2007)

2. Daya Serang

Bakteri yang menyerang jaringan tubuh inang bisa menimbulkan


infeksi pada skala luas atau hanya infeksi lokal. Misalnya, infeksi luka
dapat menyebabkan septikemia streptokokus yang merupakan jenis infeksi
luas. Sedangkan infeksi abses Staphylococcus lebih bersifat lokal.
(Abbas,2007)

3. Jenis Toksin

Bakteri mampu menghasilkan toksin yang menyebabkan infeksi pada


tubuh. Ada dua jenis toksin yang dihasilkan oleh bakteri, yaitu eksotoksin
dan endotoksin. Eksotoksin dapat berdifusi pada media di sekitarnya dan
sangat berbahaya meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit. Sedangkan
22

endotoksin mudah hancur karena panas. Terdapat beberapa eksotoksin


yang terkenal sebagai zat paling beracun di dunia. Misalnya, toksin
botullinum. Satu juta marmut dapat dibunuh dengan hanya 1 mg toksin
botullinum. Eksotoksin umumnya dihasilkan oleh bakteri gram positif dan
beberapa bakteri gram negatif seperti E.coli, Cholera vibrio, dan lainnya.

Eksotoksin menunjukkan afinitas spesifik terhadap jaringan tertentu dan setiap


eksotoksin memiliki efek yang berbeda pada masing-masing inang. Endotoksin
merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri gram negatif. Endotoksin
terbuat dari kompleks polisakarida-protein-lipid yang sangat stabil terhadap
panas. Lipid A merupakan komponen yang mempengaruhi toksisitas endotoksin.
Komponen ini akan dilepaskan ke media sekitarnya hanya ketika dinding sel
bakteri hancur. Endotoksin akan berbahaya hanya ketika terdapat dalam jumlah
banyak. Endotoksin tidak memiliki aktivitas farmakologis tertentu dan memiliki
efek yang sama pada setiap inang. (Abbas,2007)

4. Faktor Lain

a. Bakteriofag

Beberapa bakteri mengandung bakteriofag yang memberikan sifat virulensi pada


bakteri tersebut. Misalnya, bakteri difteri mengandung bakteriofag yang memiliki
gen untuk memproduksi toksin. (Abbas,2007)

b. Plasmid

Terdapat bakteri yang mengandung plasmid. Plasmid ini memberikan kekebalan


ganda terhadap pengobatan pada bakteri sehingga infeksi menjadi sulit diobati.
(Abbas,2007)
23

c. Bakteri berkapsul

Klebsiella pneumoniae dan Haemophilus influenzae adalah jenis bakteri yang


berkapsul. Sel-sel bakteri dilindungi oleh sebuah kapsul yang membantu mereka
menghindari fagositosis. Bakteri tersebut membawa antigen pada kapsul untuk
melanjutkan aktivitas lisis (proses penghancuran) di dalam sel-sel tubuh.
(Abbas,2007)

Daftar Pustaka

Abbas, Abul K , Licthman , Andrew and Pillai.Cellular and Molecular


Immunology.6th ed. Philadelphia: Elsevier. 2007

Kumar,Abbas & Aster.Buku Ajar Patologi Robbins.Edisi ke 9.Saunders


Elsevier: Singapura.2015
24

Price, Sylvia A.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke


-6.EGC:Jakarta.2006.

Anda mungkin juga menyukai