Anda di halaman 1dari 55

1

Skenario 2
Lumpuh Layu
Seorang anak laki-laki 5 tahun dibawa orang tuanya kepuskesmas dengan keluhan lumpuh
layu, orang tua menyampaikan bahwa satu minggu yang lalu demam dan tampak lemas. Setelah
itu anak mengalami diare dan ruam pada kulitnya. Anak semakin lemas dan tidak aktif, dan
sejak 2 hari yang lalu tidak mampu berdiri dan hanya terkulai di tempat tidurnya. Dokter yang
memeriksa nampak terkejut karena menduga bahwa annak tersebut menderita penyakit infeksi
virus yang seharusnya sudah tereliminasi dari indonesia sejak lebih dari 10 tahu yang lalu
sehingga termasuk re-emerging desease dan melaporkan kasus ini sebagai KLB. Akhirnya
dokter melakukan investigasi dengan mendatangi tempat tinggalnya dan didapatkan bahwa
dilingkungan tersebut penduduknya masih belum memiliki jamban sehingga BAB di sungai
dan kebun. Indonesia sendiri telah mencanangkan bahwa vaksin terhadap penyakit ini
merupakan bagian dari imunisasi wajib.

Step 1
1. Lumpuh layu : Gejala lumpuh yang terjadi cepat dan ditandai lemas
2. Re-emerging desease : Penyakit yang muncul kembali setelah mengalami penurunan
Signifikan, mucul kembali dengan cepat dan tinggi
3. Kasus luar biasa : Timbul kejadian kesakitan / kematian yang merupakan awal
terjadinya wabah dan diteliti surveilans

Step 2
1. Mengapa anak tersebut mengalami lumpuh layu ?
2. Apakah penyakit yang termasuk re-emerging desease ?
3. Faktor apa yang mempengaruhi re-emerging desease ?
4. Bagaimana hubungan re-emerging dan imunisasi ?
5. Bagaimana hubungan trial epidemiologi dan penyakit tersebut ?
6. Apa saja pengendalian penyakit ?
7. Bagaimana suatu penyakit yang dapat dikatakan KLB ?

Step 3
1. 3 faktor yang mempengaruhi :
a. Makanan
b. Lingkungan
2

c. Imunisasi

2. a. Difteri f. Rabies
b. Polio g. malaria
c. DBD h. influenza
d. Kolera i. H5N1
e. Pertusis j. Antrhax
3. a. Evaluasi
b. Hubungan mikroba dengan perantara
c. Perubuhan iklim lingkungan
d. Masuknya orang ke daerah endemik penyakit
4. Faktor
a. Vaksin
b. Host (imunitas)
c. Lingkungan
5. Agen dan lingkungan yang menyebabkan terjadinya penyakit
Host = Manusia atau hewan
6. a. Diadakan surveilas
b. Diatur permenkes
c. prevention dan kotrol
d. puskesmas
7. a. Timbulnya penyakit menular yang sebelumnya tidak ada
b. Adanya peningkatan dalam waktu tertentu
c. Penderita baru jumlahnya meningkat dalam 1 bulan

Step 4
1. a. Etiologi → infeksi → virus → polio
b. Virus → mulut → tenggorokan → Usus halus → vili → pembuluh darah → medula spinalis
→ otot
c. Makanan tidak bersih
d. lingkungan : tidak ada jamban
e. sanitasi : dalam pengendalian air dan sampah
2. Pasal 4
3

a. malaria : nyamuk, demam menggigil, plasenta, terdapat 2 fase ( tubuh manusia dan
nyamuk)
b. Leptosporosis : Daerah banjir, kontak urine, demam meningkat
c. Difteri : cornu bakterium diphterine, pembentukan psudokomplex
d. Pertusis : lewat udara, gejala batuk
e. Polio : type I, type II, type III
4. a. Imunisasi polio : IPV dan OPV
b. Vaksin : mengurangi penyakit, vaksin kadaluarsa, dosis tidak pas
c. Host : sering demam,, kurang gizi, tidak di vaksin
5. a. Host : Tidak vaksin dengan lengkap, bawaan
b. Lingkungan : tidak ada jamban, ventilasi dan cahaya kurang, fasilitas kesehatan kurang
c. Agen : Fisik, kimia, virulensi, antigenisitis, patogen
6. a. Pelaporan
b. Mengamati daerah tekena wabah
c. mengumpulkan data
d. memberikan data ke dinas kesehatan
e. menganalisis
7. Timbulnya suatu penyakit menular sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, terjadi
peningkatan
Signifikan bahkan sampai 2 kali lipat dari biasanya.
Endemi : Kejadian penyakit yang menetap disuatu daerah (papua-malaria)
Epidemi : Penyakit baru, meningkat, tidak diprediksi (Diare)
Pandemi : Menyebar luas bahkan sampai ke negara lain
Sporadis : Jarang, terjadi tidak teratur yang tiba-tiba hilang atau timbul
4

Mind map

Macam-macam Trias
penyakit epidemiologi
Re-emerging
desease
Hubungan dengan
Kejadian luar imunisasi
biasa

Penanggulangan
Kriteria Peraturan surveilance
pemerintah

Step 5
1. Re-emerging desease, macam-macam penyakit, patofisiologi, dan faktor penyebab?
2. Trias epidemiologi, hubungannya dengan terjadinya penyakit?
3. Kriteria KLB, apa bedanya dengan wabah, endemik, epidemik, pandemik, dan sporadik?
4. Bagaimana upaya pengendalian dan penanganan penyakit?
5. Imunisasi wajib?

Step 6
Belajar Mandiri
5

Step 7
1. Re-emerging disease adalah infeksi yang muncul kembali setelah terjadi penurunan yang
signifikan atau infeksi yang pernah ada sebelumnya dan sekarang muncul kembali dengan
peningkatan yang cepat.1

A. Kolera
Kolera adalah penyakit infeksi yang disebabkan vibrio cholerae dengan manifestasi
diare disertai muntah yang akut dan hebat akibat enterotoksin yang dihasilkan bakteri tersebut.
Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri
Vibrio Cholerae akan mengeluarkan enterotoksin atau racunnya di saluran usus sehingga
terjadinya diare sekretorik yang disertai muntah akut. Gejala ini menyebabkan penderita hanya
dalam beberapa hari dapat kehilangan banyak cairan tubuh atau dehidrasi. Jika dehidrasi tidak
segera ditangani atau mendapatkan penanganan yang tepat dapat berlanjut ke arah hipovolemik
dan asidosis metabolik sampai akhirnya menyebabkan kematian. Hipovolemik merupakan
kondisi medis atau bedah di mana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada
kegagalan beberapa organ. Sedangkan asidosis metabolik adalah keasaman darah yang
berlebihan, yang ditandai dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah.3
Pada tahapan ini, penderita tidak banyak terbantu dengan pemberian air minum biasa.
Penderita kolera membutuhkan infus cairan gula (Dextrose) dan garam (Normal saline) atau
bentuk cairan infus gabungan keduanya (Dextrose Saline).3
Kolera dapat menyebar sebagai penyakit yang endemik, epidemik atau pandemik.
Meskipun sudah banyak penelitian berskala besar dilakukan, namun kondisi penyakit ini tetap
menjadi suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern.3

ETIOLOGI

Penyakit kolera disebabkan oleh bakteri vibrio cholerae yang merupakan kuman aerob gram
negatif berukuran 0,2-0,4 mm x 1,5-4,0 mm, mudah dikenal dalam sediaan tinja kolera dengan
pewarnaan gram sebagai batang-batang pendek sedkit bengkok (koma), tersusun berkelompok
seperti kawanan ikan berenang. V. Cholerae dibagi menjadi 2 biotipe yaitu klasik dan El Tor,
yang dibagi berdasarkan stuktur biokimiawinya dan parameter laboratorium lainnya. Tiap
biotipe dibagi lagi menjadi 2 serotipe yaitu inaba dan ogawa.3
6

Vibrio cholerae

( Gambar , Vibrio Cholera )

Vibrio cholerae bersifat motil (dapat bergerak), memiliki struktur antogenik dari antigen
flagelar H dan antigen somatik O, gamma-proteobacteria, mesofilik dan kemoorganotrof,
berhabitat alami di lingkungan akuatik dan umumnya berasosiasi dengan eukariot. Spesies
Vibrio kerap dikaitkan dengan sifat patogenisitasnya pada manusia, terutama V. cholerae
penyebab penyakit kolera di negara berkembang yang memiliki keterbatasan akan air bersih
dan memiliki sanitasi yang buruk. Diagnosis presumtif secara cepat dapat dibuat dengan
menggunakan mikroskop fluoresensi dengan menggunakan antibodi tipe spesifik yang telah
dilabel dengan fluoresein, atau dengan uji mobilisasi vibrio dengan memakai serum tipe
spesifik dan dilihat dengan mikroskop lapang gelap atau mikroskop fase.
Vibrio cholerae tumbuh cepat dalam berbagai media selektif seperti agar garam empedu, agar
gliserin-telur-taurokolat atau agar thiosufat-citrate-bile salt-sucrose (TCBS). Kelebihan
medium TCBS ialah pemakainannya tidak memerlukan sterilisasi sebelumnya. Dalam medium
ini koloni vibrio tampak berwarna kuning suram. Identifikasi vibrio cholerae biotipe el tor
penting untuk tujuan epidemologi. Sifat-sifat penting yang membedakannya dengan biotipe
koler klasik ialah resistensi terhadap polimiksin B, resistensi terhadap kolerafaga tipe IV
(mukerjee) dan menyebabkan hemolisis pada eritrosit kambing.3

EPIDIOMOLOGI

Sejak tahun 1917 dikenal 7 pendemi yang penyebarannya bahkan mencapai eropa. Vibrio yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya pandemi ke-7 adalah vibrio cholerae OI, biotipe El tor.
7

Pandemi ke-7 baru baru ini di mulai pada tahun 1961 ketika vibrio pertama kali muncul
menyebabkan epidemi kolera di sulawesi, indonesia. Penyakit ni lalu menyebar dengan cepat
ke asia timur lainya dan mencapai bangladesh pada tahun 1963, india pada tahun1964 dan
Unisoviet, iran, iraq pada tahun 1965-1966. Pada tahun 1970 kolera menyebar di afrika barat,
suatu wilayah yang belum pernah mengalami penyakit ini selama lebih dari 100 tahun. Penkit
ini menyebar dengan cepat ke beberapa negara dan menjadi endemik pada banyak benua. Pada
tahun 1991, kolera menyerang amerika latin, dimaa penyakit ini juga telah hilang selama lebih
dari satu abad. Dalam waktu setahun penyakit ini menyebar ke 11 negara dan secara cepat
menyebar lintas benua. Sampai tahun 1992, hanya serogrup vibro cholerae OI yang
menyebabkab endemi kolera. Serogup lainnya dapat menyebabkan kasus-kasus diare yang
sporadis, tapi tidak menyebabkan epidemi. Pada akhir tahun 1992 ledakan kasus kolera dimulai
di india dan bangladesh yang disebabkan oleh serogrup v. Cholerae yang sebelumnya belum
teridentifikasi yaitu serogrup OI39 atau bengal. Keadaan ini dikenal pula sebagai pandemik ke-
8. Isolasi dari vibrio ini telah dilaporkan dari 11 negara di asia tenggara. Namun masih belum
jelas apakah vibrio cholerae OI39 akan menyebar kedaerah/wilayah lain, dan pengawasan
epidemologik yang cermat dari situasi ini sedang dilakukan..3

TRANSMISI

Pada daerah epidemi, air terutama berperan dalam penularan kolera, namun pada epidemi yang
besar penularannya juga terjadi melalui makanan yang terkontaminasi oleh tinja atau air yang
mengandung vibrio cholera. Khususnya pada kolera El tor, yang dapat bertahan selama
beberapa bulan di air. Penularan dari manusia ke manusia dan dari petugas medis jarang terjadi.
Pada pasien dengan infeksi yang ringan atau asimtomatik berperan penting pada penyebaran
penyakit ini. Perbandingan antara penderita asimtomatik dengan simtomatik (bermanifestasi
klinis yang khas) pada suatu epidemi diperkirakan 4:1 pada kolera asiatika, sedangkan untuk
kolera El tor, diperkirakan 10:1. Dengan kata lain terdapat fenomena gugus es. Hal ini
merupakan masalah khususnya dalam upaya pemberantasan kolera El tor. Pada kolera El tor
angka karier sehat (pembawa kuman) mencapai 3%. Pada karier dewasa vibro cholerae hidup
dalam kantung empedu. Prevelensi kolera di daerah epidemik pada anak lebih besar
dibandingkan dengan orang dewasa yaitu 10:1. Pada orang dewasa insiden pada pria lebih
tinggi dari wanita. Pada keadaan epidemis, insiden tidak berbeda pada kelompok umur maupun
jenis kelamin tertentu.3
8

PATOGENESIS DAN IMUNITAS

Kolera ditularkan melalui jalur oral. Bila vibrio berhasil lolos dari pertahanaan primer dalam
mulut dan tertelan, bakten ini akan cepat terbunuh dalam asam lambung yang tidak diencerkan.
Bila Vibrio dapat selamat melalui asam lambung, maka ia akan berkembang di dalam usus
halus. Suasana alkali dibagian usus halus ini merupakan medium menguntungkan baginya
untuk hidup dan memperbanyak diri. Jumlahnya bisa mencapai sekitar 10/ml cairan tinja.
Langkah awal dari patogenesis terjadinya kolera yaitu karena adanya membrane protein terluar
dan adhesin flagella. vibrio chollerae merupakan bakteri non invasif, patogenesis yang
mendasari terjadinya penyakit ini disebabkan oleh enterotoksin yang dihasilkan vibrio
chollerae yang menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit yang masif yang disebabkan oleh
kerja toksin pada sel epitel usus halus, terutama pada duodenum dan yuyenum.
Enterotoksin adalah suatu protein, dengan berat molekul 84.000 Dalton, tahan panas dan tak
tahan asam, resisten terhadap tripsin tapi dirusak oleh protease. Toksin kolera mengandung 2
sub unit yaitu sub unit B (binding) dan A (active). Sub unit B mengandung 5 polipeptida
dimana masing-masing molekul memiliki berat 1500 dan terikat pada gangliosid monosialosil
yang spesifik, reseptor GMI yang terdapat pada sel epitel usus halus. Sub unit A kemudian
dapat masuk menembus membran sel epitel. Sub unit ini memiliki aktivitas adenosine
diphospate (ADP) ribosiltranferase dan menyebabkan transfer ADIP ribose dari Nicotinamide-
adenine dinucleotide (NAD) ke sebuah guanosine triphospate (GTP) binding protein yang
mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi cAMP, yang
menghambat absorpsi NaCl dan merangsang ekskresi klorida, yang menyebabkan hilangnya
air, NaCl, Kalium dan bikarbonat. Toksin-toksin tambahan dan faktor-faktor lain sekarang
telah diketahui terlibat pada patogenesis kolera. zonula occludens toxin (Zot) meningkatkan
permiabilitas mukosa usus halus dengan mempengaruhi stuktur light juction interceluler.
Accessory cholerae esotoxin (ACE) ditemukan pada tahun 1993 dan diketahui meningkatkan
transpor ion transmembran. Imunitas terhadap toksin kolera dan antigenpermukaan bakteri
sama dengan respon infeksi alami. Kebanyakan study terhadap respon imun telah mengukur
antibodi bakt in vivi kemungkinan besar dimediasi oleh IgA sekretorik. Kolera ditandai dengan
diare yang sangat berat yang dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan
hipovolemia dengan angka kematian (mortality rate) yang berkisar dari kurang dari 1% hingga
40%. Terdapat spektrum yang luas mulai dari yang asimtomatik ringan hingga berat.. 3
9

MANIFESTASI KLINIS

Ada beberapa perbedaan pada manifestasi kolera baik mengenai sifat dan beratnya gejala.
Terdapat perbedaan pada kasus individual maupun pada terjadi epidemi. Masa inkubasi kolera
berlangsung antara 15-72 jam. Gejala klinis dapat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai
dengan gejala klinis berupa dehidrasi berat. Infeksi terbanyak bersifat asimtomatik atau terjadi
diare ringan dan umumnya pasien tidak memerlukan perawatan. Manifestasi klinis yang khas
ditandai dengan diare yang encer dan berlimpah tanpa tanpa didahului oleh rasa mulas maupun
tenesmus (rasa ingin buang air besar walaupun perut sudah terasa kosong). Dalam waktu
singkat tinja yang semula berwarna dan berbau feses berubah menjadi cairan putih keruh
(seperti air cucian beras), tidak berbau busuk maupun amis tapi “manis” menusuk. Cairan yang
menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan gumpalan-umpalan putih.
Cairan ini akan keluar berkali-kali dari anus pasien dalam jumlah besar. Muntah timbul
kemudian setelah diare dan berlangsung tanpa didahului mual. Kejang otot dapat menyusul,
baik dalam fibrilasi atau fasikulasi, maupun kejang klonik yang nyeri dan mengganggu. Otot-
otot yang sering terlibat ialah betis, biseps, triseps, pektoralis dan dinding perut. Teriakan
ataupun rintihan pasien karena kejang yang nyeri itu dapat disangka sebagai teriakan nyeri
karena kolik. Kejang otot ini disebabkan karena berkurangnya kalsium dan klorida pada
sambungan neuromuskular.3

A. Gejala dan tanda kolera terjadi akibat kehilangan cairan dan elektrolit serta asidosis. Pasien
berada dalam keadan lunglai tidak berdaya namun kesadarannya relatif baik dibandingkan
dengan berat penyakitnya. Koma baru dapat terjadi pada saat-saat terakhir. Pada kurang lebih
10% bayi dan anak-anak, dapat dijumpai kejang sentral, stupor yang disebabkan hipoglikemia.3

B. Tanda-tanda dehidrasi tampak jelas, nadi menjadi cepat, nafas menjadi cepat, suara menjadi
serak seperti suara bebek manila (vox cholerica), turgor kulit menurun (kelopak mata cekung
memberi kesan hidung yang mancung dan tipis, tulang pipi yang menonjol), mulut menyeringai
karena bibir kering, perut cekung tanpa ada steifung maupun kontur usus, suara peristaltik usus
bila ada jarang sekali. Jari- jari tangan dan kaki tanpak kurus dengan lipatan-lipatan kulit,
terutama ujung jari yang keriput (whaser women hand), diuresis berangsur-angsur kurang dan
berakhir dengan anuria. Diare akan bertahan hingga 5 hari pada pasien yang tak diobati.3
10

B. LEPTOSPIROSIS.
Klasifikasi
Kingdom : Monera
Phylum : Spirochaetes
Class : Spirochaetes
Order : Spirochaetales
Family : Leptospiraceae
Genus : Leptospira
SPecies : Leptospira interoogans

Karakteristik
Ciri-ciri bakteri Leptospira antara lain berbentuk spiral, dapat hidup di airtawar selama satu
bulan, bersifat patogen dan saprofitik. Spesies Leptospira yangmampu menyebabkan penyakit
(patogen) bagi manusia adalah Leptospirainterrogans.Leptospirosis disebabkan bakteri
pathogen berbentuk spiral termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo
spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang
pelan secara anaerob. Setiap spesies leptospira terbagi menjadi puluhan serogrup dan terbagi
lagi menjadi puluhan,bahkan ratusan serovar. Saat ini, Leptospira interrogans yang bersifat
patogen telah dikenal lebih dari 200 serovar. Jasad renik ini biasanya hidup di dalam ginjal host
dan dikeluarkan melalui air kencing (urin) saat berkemih. Host tersebut antara lain tikus,babi,
kambing, domba, kuda, anjing, kucing, kelelawar, tupai dan landak.
.Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus,
babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Resevoar paling utama adalah
binatang pengerat dan tikus adalah yang paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia. Di
Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus,binatang buas dan kucing.2
11

( Gambar , Leptospirosis )

ETIOLOGI

Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit) berbentuk spiral


termasuk genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta
berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan secara anaerob. Genus
Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L
biflexa adalah saprofitik.Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies
patogen yang tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi.
Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus, babi,
anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko
mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi. Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri
leptospira yang berbeda-beda. Hewan yang paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir)
adalah hewan pengerat dan tikus. Hewan tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan
dunia. Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, hewan buas dan kucing.
Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan, misalnya L pomona dan L interrogans
terdapat pada lembu dan babi, L grippotyphosa pada lembu, domba, kambing, dan tikus, L
ballum dan L icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan tikus dan L canicola dikaitkan
dengan anjing. Beberapa serotipe yang penting lainnya adalah autumnalis, hebdomidis, dan
australis.2
12

EPIDEMIOLOGI

Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat pekerjaan)
pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil mengungkapkan manifestasi
klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami penyakit kuning yang berat, disertai
demam, perdarahan dan gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini
di jepang pada tahun 1916. (Inada R, Ido Y, et al: Etiology, mode of infection and specific
therapy of Weil’s disease. J Exp Med 1916; 23: 377-402.).Penyakit ini dapat menyerang semua
usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-
laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit
occupational ini. Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar
kasus terjadi saat musim hujan, di negara Barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur
karena tanah lembab dan bersifat alkalis. Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit
diketahui. Penemuan kasus leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported
dan underreported sejak beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan,
self limited, salah diagnosis dan nonfatal. Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak
50 sampai 150 kasus leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di
Hawai. Di Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah
seperti Klaten, Demak atau Boyolali. Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta
dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak
berkembang biak di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan. Angka
kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan jarang terjadi
fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang lanjut usia dan
penderita mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian. Penderita berusia di atas 50 tahun,
risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah mengalami
kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi
lagi Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang
berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur,
rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit.
Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai,
seperti berenang atau rafting. Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi
leptospira lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap
hewan tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu.
Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 8-29%.
13

Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan peningkatan
sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi perjalanan rekreasi ke daerah
tropis seperti berperahu kano, mendaki, memancing, selancar air, berenang, ski air, berkendara
roda dua melalui genangan, dan kegiatan olahraga lain yang berhubungan dengan air yang
tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah endemik juga menambahkan resiko.2

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESA

Penularan penyakit ini bisa melalui tikus, babi, sapi, kambing, kuda, anjing, serangga, burung,
landak, kelelawar dan tupai. Di Indonesia, penularan paling sering melalui hewan tikus. Air
kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui permukaan
kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Bisa juga melalui makanan atau minuman
yang terkontaminasi setitik urin tikus yang terinfeksi leptospira, kemudian dimakan dan
diminum manusia. Urin tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis dapat mencemari
air di kamar mandi atau makanan yang tidak disimpan pada tempat yang aman. Sejauh ini tikus
merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama penyebab leptospirosis. Beberapa jenis
hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang leptospirosis,
tetapi potensi hewan-hewan ini menularkan leptospirosis ke manusia tidak sehebat tikus.
Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah
dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh
dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal. Saat kuman masuk ke ginjal akan
melakukan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis
interstitial dan nekrosis tubular. Ketika berlanjut menjadi gagal ginjal biasanya disebabkan
karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler. Gangguan hati tampak nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer, ikterus
terjadi karena disfungsi sel-sel hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skletal
menyebabkan edema (bengkak), vacuolisasi miofibril, dan nekrosis focal. Gangguan sirkulasi
mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan
dan hipovolemi sirkulasi. Dalam kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler.
Gangguan paru adalah mekanisme sekunder kerusakan pada alveolar and vaskular interstisial
yang mengakibatkan hemoptu. Leptospira juga dapat menginvasi cairan humor (humor aqueus)
mata yang dapat menetap dalam beberapa bulan, seringkali mengakibatkan uveitus kronis dan
berulang. Meskipun kemungkinan dapat terjadi komplikasi yang berat tettapi lebih sering
terjadi self limiting disease dan tidak fatal. Sejauh ini, respon imun siostemik dapat
14

mengeliminasi kuman dari tubuh, tetapi dapat memicu reaksi gejala inflamasi yang dapat
mengakibatkan. 2

C. CHIKUNGUNYAH

Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus yang menyebar
melalui perantara gigitan hewan Artropoda. Artropoda adalah hewan-hewan dengan tubuh
berbuku-buku atau tubuh bersegemen-segmen. Hewan yang menjadi perantara dari virus
Chikungunya adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Di Indonesia sendiri,
penyebab tersering penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti, yang juga merupakan perantara
untuk penyakit demam berdarah Dengue.3
Kata 'Chikungunya' berasal dari salah satu bahasa di Afrika, yaitu
bahasa Makonde yang berarti yang membengkok, karena penyakit ini menyebabkan terjadinya
perubahan pada sendi sehingga terdapat perubahan pada postur tubuh. Chikungunya pertama
kali dikenal pada tahun 1952-1953 di Afrika dan telah menyebar secara luas di seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Di indonesia sendiri, penyakit Chikungunya merupakan salah satu
penyakit endemis di beberapa daerah.3

GEJALA PENYAKIT

Gejala meliputi demam hingga 40 ° C (104 ° F), ruam petekie atau makulopapular dari
lutut dan kadang-kadang anggota badan, dan artralgia atau artritis yang mempengaruhi
beberapa sendi. Gejala lainnya dapat termasuk sakit kepala, konjungtivitis, sedikit fotofobia
dan hilangnya rasa parsial. Biasanya, demam berlangsung selama dua hari dan kemudian
berakhir tiba-tiba. Namun, gejala lain-yaitu nyeri sendi, sakit kepala, insomnia dan gelar
ekstrimitas seperti sujud (membungkuk) berlangsung selama periode variabel, biasanya selama
sekitar lima sampai tujuh hari.3
Nyeri sendi sering sangat melemahkan, tetapi biasanya berakhir dalam beberapa hari
atau minggu. Kebanyakan pasien sembuh sepenuhnya, tetapi dalam beberapa kasus nyeri sendi
dapat bertahan selama beberapa bulan. Sesekali komplikasi neurologis dan jantung telah
dilaporkan, serta keluhan gastrointestinal. Komplikasi serius yang tidak umum, tetapi pada
orang tua, penyakit ini dapat berkontribusi pada penyebab kematian. Seringkali gejala pada
individu yang terinfeksi adalah ringan dan infeksi mungkin tidak dikenali, atau salah
didiagnosa di daerah di mana dengue terjadi.3
15

ETIOLOGI
Virus Chikungunya asli dari Afrika tropis dan Asia, di mana ia ditularkan kepada manusia
melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, biasanya dari genus Aedes. Virus Chikungunya
termasuk genus alphavirus dari keluarga Togaviridae. Ini adalah "Arbovirus" (arthropoda-
borne).

( Gambar, nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus )


Epidemi demam chikugungya pada manusia melalui transmisi nyamuk. Hospes virus utama
adalah monyet, tetapi spesies lain juga dapat terjadi, termasuk manusia.3

PATOFISIOLOGI

Sel epitel dan endotel manusia, terutama fibroblas dan monosit-makrofag, rentan terhadap
infeksi. Sel limfoid dan monocytoid, limfosit primer dan monosit, sel dendritik tidak rentan
terhadap infeksi. Masuknya virus terjadi tergantung endositosis. Infeksi sitopatik dan terkait
dengan induksi apoptosis pada sel yang terinfeksi. 3
Infeksi sangat sensitif terhadap aktivitas antivirus tipe I dan II interferon.
Type 1 Interferon
Setelah infeksi chikungunya, fibroblas tuan rumah akan menghasilkan tipe 1 (alpha dan beta)
interferon. Tikus yang tidak memiliki reseptor alpha interferon mati dalam 2-3 hari setelah
terkena chikungunya 102 PFU, sementara tikus wild type bertahan bahkan ketika terkena
sebanyak 102 PFU virus. Pada saat yang sama, tikus yang sebagian tipe 1 kekurangan (IFN α
/ β + / -) yang sedikit terpengaruh dan mengalami gejala seperti lemah otot dan kelesuan.
Partidos et al 2011 melihat hasil yang sama dengan strain regangan hidup yang dilemahkan
CHIKV181/25.
16

Beberapa studi telah berusaha untuk menemukan komponen hulu dari jalur 1 jenis interferon
yang terlibat dalam respon host terhadap infeksi chikungunya. Sejauh ini, tidak ada yang tahu
pola molekul patogen chikungunya spesifik. Meskipun demikian, IPS-1 - juga dikenal sebagai
Cardif, MAVS, dan VISA - telah ditemukan menjadi faktor penting. Pada tahun 2011, White
et al menemukan bahwa mengganggu IPS-1 menurunkan fosforilasi faktor interferon 3 (IRF3)
dan produksi IFN-β. Studi-studi lain telah menemukan bahwa IRF3 dan IRF7 penting
tergantung usia. Tikus dewasa yang kekurangan kedua faktor regulasi mati terkena infeksi
chikungunya. Neonatus, di sisi lain, menyerah pada virus jika mereka kekurangan salah satu
faktor. 3

D. Difteri
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis,
Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Difteri merupakan salah satu penyakit menular
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan
bakteri penyebabnya.
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring, laring, hidung,
dan ada kalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina. Bakteri Corynebacterium diphtheria merupakan bakteri berbentuk batang gram positif,
tidak berspora, dan bercampak atau kapsul. Memiliki 3 tipe varian yaitu type gravis,
intermedius dan mitis. Difteri menyebabkan selaput tebal di bagian belakang tenggorokan. Hal
ini dapat menyebabkan kesulitan bernapas, gagal jantung, kelumpuhan, bahkan
kematian.Vaksin dianjurkan untuk bayi, anak-anak, remaja dan orang dewasa untuk mencegah
difteri. 4

ETIOLOGI

Difteri disebabkan Corynebacterium diphteriae, yang merupakan bakteri gram positif


yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung
dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari
lesi.3
Dengan pewarnaan, bakteri bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau
merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Bakteri ini tumbuh secara aerob, bisa
17

dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-telluritatau media
Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan
bakteri diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltosa dan sukrosa.3
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite,
medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan
cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna
abu-abu coklat. 3
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil
yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
a. Gravis
Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
b. Mitis
Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
c. Intermediate
Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan
hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik
jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis
lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bias memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya
berbeda. 3
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada
bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini
mungkin berubah menjadi nontoksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di
laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu
strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin
hanya bias diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene. Untuk membedakan jenis virulen dan non virulen dapat diketahui dengan
pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:
1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai
sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
18

3. Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih
singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam. 3
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan
adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan
Corynebacterium serosis. Basil dapat membentuk :
1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang
terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi
dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal
dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu per lima puluh
ml toksin dapat membunuh marmot dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick. 3
Bakteri ini ditularkan melalui droplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan
yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar
permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa
jenis bakteri ini menghasilkan toksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan
pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Bakteri difteria akan mati pada
pemanasan suhu 60°C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es,
air, susu dan lendir yang telah mongering.4

PATOGENESIS

Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh
limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A, mengakibatkan inaktivasi enzim translokasi sehingga
proses translokasi tersebut tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, akibatnya sel akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang pad awalnya mudah dilepas. Semakin
banyak produksi toksin maka semakin lebar daerah infeksi sehingga terbentuk eksudat fibrin,
kemudian membentuk suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. 3
19

Toksin yang dihasilkan menyerang saraf tertentu seperti saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga
sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung bisa terjadi selama minggu
pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada
elektrokardiogram (EKG). Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu.3
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan
yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan
secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab
penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara,
sehingga mengalami kelsulitan bernapas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran
inilah diagnosis dapat ditegakkan. Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil swab hidung dan
tenggorok. 4

GEJALA

a. Difteri hidung
Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan disertai gejala sistemik ringan.
Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian makropulen menyebabkan lecet
pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi.
Absorbs sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga lama terdiagnosis.
4

b. Difteri faring
Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari berikutnya akan timbul
membrane yang melekat berwarna putih/kelabu dapat menutupi tonsil dan dinding faring
meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah laring trakea. Dapat terjadi limfadenitis
servikalis dan submandibular, bila limfadentid terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak
leher yang luas, maka akan timbul bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas,
maka akan timbul bullneck. Selanjutnya gejala tergantung pada derajat penetrasi toksin dan
luas membrane. Pada kasus berat dapat terjadi kegagalan pernapasan atau sirkulasi. Stupor,
koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. 4
20

c. Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri laring primer gejala toksik
kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit dibedakan dari tipe infectious croups yang lain,
seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi
laring berat terdapat retraksi suprasental, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi peleasan
membrane yang menutup jalan napas, bisa terjadi kematian mendadak. 4
d. Difteri kulit, konjungtiva, dan telinga
Merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa tukak dikulit, tapi jelas
dan terdapat membrane pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan
lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membrane pada konjungtiva pelpebra.
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan secret purulen dan berbau. 4

PENCEGAHAN

a. Imunisasi DPT
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis
(DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua
bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri,
pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah
demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang
pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali.
Sayangnya kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang
dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali.
b. Penyuluhan Tentang Bahaya Difteri
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama
kepada orang tua tentang bahaya dari difteri dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi
dan anak-anak.
c. Memperhatikan Kebutuhan Hygiene
Mencegah penyakit difteri penting pula untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan
lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk
dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga
harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Di samping itu juga perlu diperhatikan makanan
yang kita konsumsi. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih.
21

Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat
kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain. 4

GAMBAR

( Gambar , Penyakit difteri )

( Gambar, Vaksin DTP ) ( Gambar , Corynebacterium diphtheria )


22

E. PERTUSIS
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis,
2
nama lain penyakit ini adalah tussis Quinta, whooping cough, batuk rejan.

ETIOLOGI

Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis yang berbentuk batang gram negatif,
tidak berspora, berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50oC tetapi bertahan pada suhu
0o – 10o C. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran pernapasan.2

GEJALA

Pertusis biasanya mulai seperti pilek saja, dengan hidung beringus, rasa lelah dan
adakalanya demam parah. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan batuk, diikuti
dengan tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita muntah setelah batuk.
Pertusis mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka mungkin menjadi biru atau
berhenti bernapas ketika serangan batuk dan mungkin perlu ke rumah sakit. Anak yang lebih
besar dan orang dewasa mungkin menderita penyakit yang kurang serius, dengan serangan
batuk yang berlanjut selama berminggu-minggu tanpa memperhatikan perawatan. 2
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini
berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung
dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra paroksismal), stadium akut
paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari etiologi
spesifik, usia, dan status imunisasi. 2
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100% batuk
paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65% mengalami whoop,
1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan 0,2-1% kejang atau penurunan
kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan
47% mengalami batuk >9 minggu. Di AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan setelah
munculnya gejala. Sehingga bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan terlambat
mengenali pertusis pada remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan bahwa bila
remaja berobat akibat batuk nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-
20% dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau muntah
setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting pada penyebaran
23

pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala pada awal timbulnya
penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan memberikan profilaksis. Berikut
ini adalah gejala klasik dari pertusis:
a. Stadium kataralis (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore dengan
lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak
begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena
sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dan
anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi 2
b. Stadium paroksismal/stadium spasmodic
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat selama
ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi
melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi
whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol, lidah
menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi petekia di wajah
(terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous
plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga
seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi
whoop. 2
c. Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak
serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk
beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul
serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan
dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang. 2

PATOFISIOLOGI

Bordetella merupakan kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat kecil yang


tumbuh secara aerobik pada darah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor
pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energi dan arang atau resin siklodekstrin untuk
menyerap bahan-bahan berbahaya. Spesies Bordetella memiliki bersama tingkat homologi
DNA yang tinggi pada gena virulen. Hanya B. Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis
(TP). Protein virulem utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil
24

panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalang spesifik untuk B. Pertusis. Serotip bervariasi secara
geografis dan sesuai waktu. 2
Bordetella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3),
dan protein permukaan nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan
terhadap sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP
tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor demonekrotik, dan
adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan
gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP terbukti mempunyai banyak
aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit). Beberapa
darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositisis segera pada
binatang percobaan dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak
memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis. 2

PENCEGAHAN

Cara terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) untuk bayi, anak-anak, ataupun
dewasa adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, kita juga harus menjaga diri dari orang
yang terinfeksi pertussis.
Di Indonesia, vaksin yang direkomendasikan untuk bayi dan anak-anak adalah vaksin
DPT. Vaksin tersebut merupakan kombinasi vaksin yang berguna untuk melindungi tubuh dari
tiga jenis penyakit, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus.
Vaksin tersebut terdiri dari lima kali injeksi, dimana vaksin tersebut diberikan pada bayi
dan anak-anak pada usia dua bulan, empat bulan, enam bulan, 15 – 18 bulan, dan 4 – 6 tahun.
Efek samping dari vaksin tersebut termasuk ringan, seperti demam, sensitive atau mudah
tersinggung, sakit kepala, serta nyeri atau rasa pegal ditempat yang disuntik. 2
Booster Shots
1. Remaja
Karena kekebalan dari vaksin pertusis cenderung menurun pada usia 11 tahun. Hal itu
menyebabkan dokter merekomendasikan untuk memberikan booster shot pada umur tersebut
untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh dari penyakit pertusis, dipteri, dan tetanus, 2
2. Dewasa
25

Umumnya vaksinasi DPT dapat memberikan kekebalan tubuh selama 10 tahun. Sehingga
dokter menyarankan untuk memberikan booster shot saat dewasa untuk meningkatkan kembali
kekebalan tubuh. Selain itu, pemberian vaksin DPT pada saat dewasa dapat mengurangi risiko
penularan pertusis dari orangtua ke anak/bayi. 2
3. Ibu Hamil
Saat ini, para ahli kesehatan menyarankan para wanita hamil untuk menerima vaksin DPT pada
usia kehamilan antara 27 – 36 minggu. Hal ini bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada
bayi selama beberapa bulan pertama kehidupan. 2

( Gambar , Seorang anak terkena penyakit pertusis )

F. TETANUS
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodic dan berat. Tetanus ini
biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastic yang disebabkan tetanospasmin tetani.
Tetanus disebut juga dengan “seven day disease” 3

PATOFISIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, Cloastridium Tetani. Bakteri ini berspora
dan dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan tanah yang
terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau
bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang
bernama tetanospasmin.3
Bentuk spora dalam suasana anaerob dapat berubah menjadi kuman vegetatif yang
menghasilkan eksotoksin. Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat
dengan melewati akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf
26

atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang
bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antititoksin. Toksin yang menjalar
intrakasonal sampai ganglin/simpul saraf dan menyebabkan hilangnya keseimbangan tonus
otot sehingga terjadi kekakuan otot baik lokal maupun menyeluruh 3
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk
melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus
neonatorum. Apabila penyakit berlanjut maka akan terjadi pula spasme otot pada daerah mulut
(trismus atau lockjaw). Yang akan diikuti dengan kekakuan dan spasma pada seluruh otot di
bagiam tubuh yang lain.3

( Gambar , Patomekanisme tetanus )

PETIOLOGI

Sejarah tetanus diawali karena penyebab tetanus oleh neurotoksin yang kuat, yaitu
tetanospasmin yang dihasilkan sebagai protein protoplasmik oleh bentuk vegetatif C.
Pembentukan toksin ini dikendalikan oleh plasmid. Tetanospasmin dapat terikat secara kuat
pada gangliosida neural, dan tempat masuk yang terpenting adalah ke susunan saraf yaitu
myoneural junction pada neuron motorik alfa. Toksin ini akan masuk dan menjalar ke dalam
neuron dan tidak dapat lagi dinetralkan. Tetanospasmin dibawa melalui transpor aksonal
27

retograd ke neuroaksis dan mulailah toksin tersebut akan bermigrasi secara transinaptik ke
neuron lainnya, akibat dari hal tersebut sel penghambat presinaptik pada neuroaksis mencegah
pelepasan transmiter. Karena tidak ada hambatan tersebut, maka neuron motorik yang lebih
bawah akan meningkatkan tonus otot sehingga timbul kekakuan otot. Hal ini dapat
memungkinkan timbulnya spasme otot agonis secara simultan yang merupakan ciri khas
terjadinya tetanus. Tetospasmin dapat pula memudahkan kontraksi otot spontan pada tetanus
yang berat tanpa potensial aksi pada saraf eferen.3
Tetanus merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis
neurotoksin atau racun yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Mycrobacterium ini berbentuk
spora dan biasanya masuk ke dalam luka yang terbuka, berkembangbiak secara anaerobik, dan
akan membentuk toksin. Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan
ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan dalam air
mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–
20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–
bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi,
domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif
dalam anaerob dan kemudian berkembang biak. Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini
memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan
cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan kering.
Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan dapat
mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme
otot dan kejang–kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.3

GEJALA KLINIS

Masa inkubasi tetanus umumnya 3 – 21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau hingga
beberapa bulan). Hal ini secara langsug disebabkan karena jarak dari tempat masuknya kuman
C. Tetani seperti dari tempat luka ke susunan saraf pusat. Secara umum, semakin besar jarak
antara tempat luka dengan susunan saraf pusat maka masa inkubasi akan semakin lama.
Sebaliknya, semakin pendek masa inkubasi, makan akan semakin tinggi kemungkinan
terjadinya kematian.3
Karakteristik Tetanus secara umum antara lain:
a. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
28

b. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya


c. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
d. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian
timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena spasmeOtot masetter.
e. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus , nuchal rigidity)
f. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut
tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
g. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
h. Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
i. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan
dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak) 3

Ada empat bentuk tetanus secara klinis, yaitu:


1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus ini paling umum ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak
disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari tergantung
jarak luka dengan susunan saraf pusat. Penyakit ini memilki pola desendens, dengan tanda
pertama berupa trismus yang diikuti dengan kekauan leher, kesulitan menelan, dan spasme
pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus yang terjadi sekitar 75% kasus, dan seringkali
ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi
iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot
punggung. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme
3
dapat terjadi hingga 3-4 minggu.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal pada ektrmitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang
bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang baik.
Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal dapat mendahului derajat tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan
3
yaitu sekita 1% dalam menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga
tengah. Gejalanya terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis).
Gejala lain dapat berupa gejala pada tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini
memliki masa inkubasi 1 – 2 hari dan prognosis biasanya buruk. 3
29

4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus, dan pada negara yang belum berkembang telah
menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah akibat dari
penggunaan alat – alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat ibu yang belum
diimunisasi. Masa inkubasi sekita 3 – 10 hari. Gejala pada neonatus ini biasanya gelisah, rewel,
sulit minum ASI, mulut mecucu, dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70% 3

( Gambar , Derajat manifestasi klinis tetanus )

PENCEGAHAN

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan artinya dia
mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang
lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah
ianya sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang
pembentukkan antitoksin ( kaena tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat
cepat, walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak dalam konsentrasi
yang adekuat untuk merangsang pembentukan kekebalan). 3
Ada beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal ini diketahui sejak C. tetani
dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin organisme yang berada didalam lumen usus
melepaskan imunogenic quantity dari toksin. Ini diketahui dari toksin dijumpai anti toksin pada
serum seseorang dalam riwayatnya belum pernah di imunisasi, dan dijumpai/adanya
peninggian titer antibodi dalam serum yang karakteristik merupakan reaksi secondary imune
30

response pada beberapa orang yang diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk pertama
kali.3
Dengan dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa insiden
tetanus tidak tinggi, seperti yang semestinya terjadi pada beberapa negara dimana pemberian
imunisasi tidak lengkap/ tidak terlaksana dengan baik.3
Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya
cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat
dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif ( DPT atau DT ). 1

( Gambar, Penyakit tetanus )

G. Filariasis
ETIOLOGI
Disebabkan oleh 3 jenis cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Onchocerca
Volvulus. Habitat cacing – cacing ini di dalam peredaran darah, limfe ataupun rongga serosa
pada vertebrata.Masa inkubasi penyakit ini cukup lama, kurang lebih sekitar 1 tahun,
sedangkan penularan parasite terjadi melalui vector nyamuk sebagai hospes perantara dan
manusia, hewan, kera dan anjing sebagai hospes definitif.3

PATOGENESIS
Larva yang infektif (larva tingkat tiga) dilepaskan melalui proboscis (labela) nyamuk sewaktu
menggigit manusia. Larva kemudian bermigrasi dalam saluran limfe dan kelenjar limfe
kemudian mereka akan tumbuh menjadi dewasa betina dan jantan. Mikrofilaria pertama sekali
31

ditemukan didaerah perifer 6 bulan – 1 tahun setelah infeksi, dan jika tidak terjadi reinfeksi,
mikrofilaria ini dapat bertahan 5 – 10 tahun. Penjamu perantara mendapatkan infeksi dengan
menghisap darah yang mengandung mikrofilaria. Mikrofilaria akan melepaskan sarungnya
didalam lambung nyamuk. Larva akan bermigrasi ke otot – otot dada dan berkembang menjadi
larva yang infektif dalam waktu 10 – 14 hari Cacing dewasa dalam saluran limfe Larva
bermigrasi ke limfatik Yang betina mangeluarkan berkembang menjadi bentuk dewasa
mikrofilaria dalam darah Larva infektif masuk ke dalam hospes Nyamuk menghisap
mikrofilaria ketika nyamuk menghisap darah dalam darah yang dihisapnya.3

MANIFESTASI KLINIS

Akut :
1) Sefalgi
2) Anoreksia
3) Menggigil
4) Demam 3 – 5 hari, interval tidak teratur
Kronis :
Ekstremitas semakin membesar (elephantiasis)
Tanda penting :
1) Adanya adenolimfangitis ; pembengkakan kelenjar getah bening tanpa ada luka
2) Peradangan kelenjar limfe, panas, sakit dari pangkal kaki/lengan ke arah ujung (retrograde
lymphangitis).
3) Filarial abses
4) Epididimitis
5) Orkitis
6) Hidrokel
7) Varises limfatik

H. Campak
ETIOLOGI
Virus campak merupakan virus RNA famili paramyxoviridae dengan genus Morbili virus.
Sampai saat ini hanya diketahui 1 tipe antigenik yang mirip dengan virus Parainfluenza dan
Mumps.Virus bisa ditemukan pada sekret nasofaring, darah dan urin paling tidak selama masa
prodromal hingga beberapa saat setelah ruam muncul.Virus campak adalah organisme yang
32

tidak memiliki daya tahan tinggi apabila berada di luar tubuh manusia.Pada temperatur kamar
selama 3-5 hari virus kehilangan 60% sifat infektifitasnya.Virus tetap aktif minimal 34 jam
pada temperatur kamar,15 minggu di dalam pengawetan beku,minimal 4 minggu dalam
temperatur 35˚C,beberapa hari pada suhu 0˚C,dan tidak aktif pada pH rendah

PATOGENESIS
Campak merupakan infeksi virus yang sangat menular, dengan sedikit virus yang infeksius
sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Lokasi utama infeksi virus campak adalah
epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi virus pertama pada saluran nafas sangat minimal.
Kejadian yang lebih penting adalah penyebaran pertama virus campak ke jaringan limfatik
regional yang menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia primer, terjadi
multiplikasi ekstensif dari virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik regional maupun
jaringan limfatik yang lebih jauh. Multiplikasi virus campak juga terjadi di lokasi pertama
infeksi. Selama lima hingga tujuh hari infeksi terjadi viremia sekunder yang ekstensif dan
menyebabkan terjadinya infeksi campak secara umum. Kulit, konjungtiva, dan saluran nafas
adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi organ lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari
ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain mencapai
puncaknya dan kemudian jumlahnya menurun secara cepat dalam waktu 2 hingga 3 hari.
Selama infeksi virus campak akan bereplikasi di dalam sel endotel, sel epitel, monosit, dan
makrofag.1

MANIFESTASI KLINIS
1. Masa prodromal (3 – 5 hari sebelum ruam kulit, demam tinggi dan gejala infeksi saluran napas
bagian atas) dengan ditandai dengan mata merah, lendir dari hidung, batuk kering.
2. Bercak Koplik terlihat pada mukosa pipi pada hari kedua – ketiga (biasanya terlihat sebelum
ruam pada kulit)
3. Ruam kulit timbul pada hari ke 3-5, biasanya pertama kali terlihat di sekitar telinga dan muka,
kemudian menyebar ke daerah – daerah lain.
4. Mula – mula rash berupa macula (merah kecoklatan) tetapi menjadi makulopapular dan dapat
bersatu.
5. Dapat fatal pada anak – anak dengan malnutrisi 1

I. Hepatitis
ETIOLOGI
33

Menurut Price dan Wilson (2005: 485) Secara umum hepatitis disebabkan oleh virus.
Beberapa virus yang telah ditemukan sebagai penyebabnya, berikut ini.
1) Virus hepatitis A (HAV)
2) Virus hepatitis B (HBV)
3) Virus hepatitis C (HCV)
4) Virus hepatitis D (HDV)
5) Virus hepatitis E (HEV)
6) Hepatitis F (HFV)
7) Hepatitis G (HGV)
adalah HAV (hepatitis A) dan HBV (hepatitis B). Kedua istilah tersebut lebih disukai daripada
istilah lama yaitu hepatitis “infeksiosa” dan hepatitis “serum”, sebab kedua penyakit ini dapat
ditularkan secara parental dan nonparental. Hepatitis pula dapat disebabkan oleh racun, yaitu
suatu keadaan sebagai bentuk respons terhadap reaksi obat, infeksi stafilokokus, penyakit
sistematik dan juga bersifat idiopatik.1

PATOFISIOLOGI
Yaitu perubahan morfologi yang terjadi pada hati, seringkali mirip untuk berbagai virus
yang berlainan. Pada kasus yang klasik, hati tampaknya berukuran basar dan berwarna normal,
namun kadang-kadang ada edema, membesar dan pada palpasi “terasa nyeri di tepian”. Secara
histologi. Terjadi kekacauan susunan hepatoselular, cedera dan nekrosis sel hati dalam
berbagai derajat, dan peradangan periportal. Perubahan ini bersifat reversibel sempurna, bila
fase akut penyakit mereda. Namun pada beberapa kasus nekrosis, nekrosissubmasif atau masif
dapat menyebabkan gagal hati fulminan dan kematian.1

MANIFESTASI KLINIS
Berikut adalah gejala klinis dari penyakit hapatitis.
1) Stadium praikterik berlangsung selama 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah,
anoreksia, mual, muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri di perut kanan atas. Urin menjadi
lebih cokelat.
2) Stadium ikterik yang berlangsung selama 3-6 minggu. Ikterus mula-mula terlihat pada
sclera,kemudian padakulit seluruh tubuh.keluhan-keluhan berkurang, tetapi pasien masih
lemah, anoreksia, dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati
membesar dan nyeri tekan.
34

3) Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi
normal lagi. Penyembuhan pada anak-anak lebih cepat dari orang dewasa, yaitu pada akhir
bulan kedua, karena penyebab yang biasanyaberbeda. 1

Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat, sebagai berikut :


a) Gejala yang ditimbulkan oleh virus A, B, C, D, E, dan virus lain-lain meliputi letih, lesu,
lemas dan mata menjadi kuning, urin seperti teh, rasa tidak enak di perut dan punggung, hati
bengkak, bangun tidur tetap letih, lesu, dan lain-lain. Bila sakitnya berkepanjangan dapat
berubah menjadi kronis dan berkelanjutan menjadi kanker.
b) Virus B dan C cenderung menjadi kronis (menahun atau gejala menjadi tetap ada sampai
6 bulan), bila dibiarkan hati menjadi keriput (sirosis) kemudian menjadi kanker. Komplikasi
sirosis meliputi muntah darah, kanker hati dan koma.
c) Virus C tidak mempunyai gejala awal langsung akut.
d) Gagal hepatitis meliputi sindrom kholaemi : tremor, refleks berlebihan, kejang otot,
gerakan khoreiform, kejang-kejang, kemudian meninggal.1

Gejala – gejala Hepatitis


Setiap proses peradangan akan menimbulkan gejala. Berat ringannya gejala yang
timbul tergantung dari ganasnya penyebab penyakit (patogenitas) dan daya tahan tubuh
penderita.
Secara umum penyakit hepatitis mengenal empat stadium yang timbul akibat proses
peradangan hati akut oleh virus, yaitu masa tunas, fase prod moral, fase kuning, dan fase
penyembuhan.1
1. Masa Tunas
Yaitu sejak masuknya virus pertama kali ke dalam tubuh sampai menimbulkan gejala klinis.
Masa tunas dari masing-masing penyebab virus hepatitis tidaklah sama. Kerusakan sel-sel hati
terutama terjadi pada stadium ini.
2. Fase Prodmoral (fase preikterik)
Fase ini berlangsung beberapa hari. Timbul gejala dan keluhan pada penderita seperti badan
terasa lemas, cepat lelah, lesu, tidak nafsu makan (anoreksia), mual, muntah, perasaan tidak
enak dan nyeri diperut, demam kadang-kadang menggigil, sakit kepala, nyeri pada persendian
(arthralgia), pegal-pegal diseluruh badan terutama dibagian pinggang dan bahu (mialgia), dan
diare. Kadang-kadang penderita seperti akan pilek dan batuk, dengan atau tanpa disertai sakit
tenggorokan. Karena keluhan diatas seperti sakit flu, keadaan diatas disebut pula sindroma flu.
35

3. Fase kuning (fase ikterik)


Biasanya setelah suhu badan menurun, warna urine penderita berubah menjadi kuning
pekat seperti air teh. Bagian putih dari bola mata (sklera), selaput lendir langit-langit mulut,
dan kulit berubah menjadi kekuningan yang disebut juga ikterik. Bila terjadi hambatan aliran
empedu yang masuk kedalam usus halus, maka tinja akan berwarna pucat seperti dempul, yang
disebut faeces acholis.
Warna kuning atau ikterik akan timbul bila kadar bilirubin dalam serum melebihi 2 mg/dl.
Pada saat ini penderita baru menyadari bahwa ia menderita sakit kuning atau hepatitis. Selama
minggu pertama dari fase ikterik, warna kuningnya akan terus meningkat, selanjutnya menetap.
Setelah 7-10 hari, secara perlahan-lahan warna kuning pada mata dan kulit akan berkurang.
Pada saat ini, keluhan yang ada umumnya mulai berkurang dan penderitamerasa lebih enak.
Fase ikterik ini berlangsung sekitar 2-3 minggu. Pada usia lebih lanjut sering terjadi gejala
hambatan aliran empedu (kolestasis) yang lebih berat sehingga menimbulkan warna kuning
yang lebih hebat dan berlangsung lebih lama.
4. Fase penyembuhan (konvaselen)
Ditandai dengan keluhan yang ada dan warna kuning mulai menghilang. Penderita merasa
lebih segar walaupun masih mudah lelah. Umumnya penyembuhan sempurna secara klinis dan
laboratoris memerlukan waktu sekitar 6 bulan setelahtimbulnya penyakit.
Tidak semua penyakit hepatitis mempunyai gejala klasik seperti diatas. Pada sebagian
orang infeksi dapat terjadi dengan gejala yang lebih ringan (subklinis) atau tanpa memberikan
gejala sama sekali (asimtomatik). Bisa jadi ada penderita hepatitis yang tidak terlihat kuning
(anikterik). Namun, ada juga yang penyakitnya menjadi berat dan berakhir dengan kematian
yang dinamakan hepatitis fulminan.
Hepatitis fulminan ditandai dengan warna kuning atau ikterus yang bertambah berat, suhu
tubuh meningkat, terjadi perdarahan akibat menurunnya faktor pembekuan darah, timbulnya
tanda-tanda ensefalopati berupa mengantuk, linglung, tidak mampu mengerjakan pekerjaan
sederhana, dan akhirnya kesadaran menurun sampai menjadi koma. Kadar bilirubin dan
transaminase (SGOT, SGPT) serum sangat tinggi, juga terjadi peningkatan sel darah putih
(leukositosis). Keadaan ini menandakan adanya kematian (nekrosis) sel parenkim hati yang
luas.1
36

2. Hubungan trias epidemiologi dengan terjadinya penyakit adalah :

( Gambar , Segitiga epidemiologi )


1) Lingkungan
Terdiri sdari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari :
a. Keadaan geografis ( Dataran tinggi atau rendah, pesawahan, dll )
Semakin tinggi letak pemukiman, maka akan semakin mudah kadar
oksigennya. Dataran tinggi juga berhubungan dengan temperature
udara.
b. Kelembapan udara
Sebagai vector pembawa penyakit akan lebih suka pada lingkungan
yang lembab
c. Temperature
Temperatur seorang dihubungkan dengan letak Negara sebagian besar
bakteri akan mati pada suhu 80-90 derajat celcius kecuali yang berspora
baru akan mati pada suhu 100 derajat celcius
d. Lingkungan tempat tinggal
Berkaitan dengan saturasi, ventilasi udara, bahan bangunan rumah.3
37

Dan lingkungan non fisik terdiri dari :


a. Lingkungan sosial
Lingkungan sosial berpengaruh pada sikap , pengetahuan, perilaku
masyarakat di bidang kesehatan
b. Pengaruh budaya
Faktor ekonomi yang berhubungan dengan daya beli masyarakat.3
2) Agen
Agen penyebab terdiri dari bahan kimia, mekanik, psikologis, atau biologis.
Pengetahuan mengenai tentang agen penting untuk pencegahan dan
penanggulangan penyakit.3
3) Pejamu
Karakteristik pejamu dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a. Usia
Usia biasanya berhubungan dengan kekebalan tubuh seseorang terhadap
penyakit
b. Jenis Kelamin
Menyerang semua jenis kelamin, yang membedakan biasanya karena
perbedaan gaya hidup
c. Pekerjaan
Bergantung pada tempat dimana individu bekerja
d. Keturunan
Berhubungan dengan konstitusi tubuh manusia, daya tahan tubuh
manusia, kepekaan terhadap zat asing
e. Gaya hidup.3

3. Kejadian Luar Biasa

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk
mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit. Untuk penyakit-penyakit
endemis (penyakit yang selalu ada pada keadaan biasa), maka KLB didefinisikan sebagai suatu
peningkatan jumlah kasus yang melebihi keadaan biasa, pada waktu dan daerah tertentu.
38

Menurut Departemen Kesehatan tahun 2000 Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis
dalam kurun waktu dan daerah tertentu.

Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada
suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.7

7 (tujuh) Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Permenkes 1501 Tahun 2010 adalah :

1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak adaatau tidak
dikenalpada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktudalam
jam,hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan
denganperiodesebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis
penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua
kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlahper bulan dalam
tahunsebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu)
tahunmenunjukkankenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah
kejadian kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)kurun
waktutertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan
denganangka kematian kasus suatu penyakit periodesebelumnya dalam kurun waktu
yang sama.
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam
kurun waktu yang sama.7

Karakteristik Penyakit yang berpotensi KLB

1. Penyakit yang terindikasi mengalami peningkatan kasus secara cepat.


39

2. Merupakan penyakit menular dan termasuk juga kejadian keracunan.


3. Mempunyai masa inkubasi yang cepat.
4. Terjadi di daerah dengan padat hunian.7

Penyakit-Penyakit Berpotensi Wabah/KLB

Penyakit karantina/penyakit wabah penting: Kholera, Pes, Yellow Fever.

1. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/mempunyai mortalitas


tinggi & penyakit yang masuk program eradikasi/eliminasi dan memerlukan tindakan
segera : DHF,Campak,Rabies, Tetanus neonatorum, Diare, Pertusis, Poliomyelitis.
2. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting : Malaria,
Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis, Meningitis,
Keracunan, Encephalitis, Tetanus.
3. tidak berpotensi wabah dan atau KLB, tetapi Penyakit-penyakit menular yang masuk
program : Kecacingan, Kusta, Tuberkulosa, Syphilis, Gonorrhoe, Filariasis, dll.7

Penggolongan KLB berdasarkan sumber

1. Sumber dari manusia : jalan nafas, tenggorokan, tinja, tangan, urine, dan muntahan.
Seperti : Salmonella, Shigela, Staphylococus, Streptoccocus, Protozoa, Virus Hepatitis.
2. Sumber dari kegiatan manusia : penyemprotan (penyemprotan pestisida), pencemaran
lingkungan,penangkapan ikan dengan racun, toxin biologis dan kimia.
3. Sumber dari binatang : binatang piaraan, ikan dan binatang pengerat.
4. Sumber dari serangga : lalat (pada makanan) dan kecoa. Misalnya : Salmonella,
Staphylococus, Streptoccocus.
5. Sumber dari udara, air, makanan atau minuman (keracunan). Dari udara, misalnya
Staphylococus, Streptoccocus, Virus, Pencemaran Udara. Pada air, misalnya Vibrio
cholerae, Salmonella. Sedangkan pada makanan, misalnya keracunan singkong, jamur,
makan dalam kaleng.7

 Wabah
Wabah penyakit menular (wabah)  kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam
masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. 8
40

 Endemik, Pandemik, dan sporadik


Epidemik (epidemic) berarti peningkatan insiden penyakit (disease incidence) atau terjadi
perkembangan penyakit dalam suatu populasi tanaman per satuan waktu per satuan luas (van
der Plank, 1963). Zadock & Schein (1979) mengemukakan bahwa epidemik sebagai
pertambahan penyakit dalam suatu populasi tanaman per satuan waktu per satuan luas.
Pengertian epidemik tersebut digunakan untuk menunjukkan dinamika penyakit dalam
populasi tanaman tanpa mempertimbangkan keganasannya. Epidemi terjadi pada jangka waktu
tertentu, atau tidak selalu terjadi pada setiap waktu. Epidemi terjadi pada tempat, ruang,
wilayah tertentu, atau tidak merata di setiap tempat. Suatu penyakit yang terdapat merata,
terjadi terus menerus di setiap musim dan berasal dari daerah yang bersangkutan, tidak
dianggap sebagai penyakit epidemik, tetapi penyakit endemik. Penyakit exotik terdapat merata
tetapi berasal dari daerah lain. Suatu penyakit yang merata di seluruh benua atau dunia disebut
pandemik, tetapi jika penyakit hanya terdapat di sana-sini dengan selang waktu yang tidak
tertentu dan tidak meningkat disebut sporadik.9

Laporan adanya penderita atau tersangka penderita penyakit menular tertentu yang dapat
menimbulkan wabah disebut laporan kewaspadaan. Yang diharuskan menyampaikan laporan
kewaspadaan adalah :

1. Orang tua penderita atau tersangka penderita, orang dewasa yang tinggal serumah
dengan penderita atau tersangka penderita, kepala keluarga, ketua RT, RW, kepala
dukuh, atau kepala kecamatan
2. Dokter, petugas kesehatan yang memeriksa penderita, dokter hewan yang memeriksa
hewan tersangka penderita.
3. Kepala stasiun kereta, kepala terminal kendaraan bermotor, kepala asrama, kepala
sekolah, pimpinan perusahaan, kepala unit kesehatan pemerintah dan swasta.
4. Nakhoda kendaraan air dan udara.

Laporan KLB

Laporan kewaspadaan disampaikan kepada lurah atau kepala desa dan atau fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat selambat-lambatnya 24 jam sejak mengetahui adanya penderita
atau tersangka penderita (KLB), baik dengan cara lisan, maupun tertulis. Penyampaian secara
lisan dilakukan dengan tatap muka, melalui telepon, radio, dan alat komunikasi lainnya.
Penyampaian secara tertulis dapat dilakukan dengan surat, faksimili, dan sebagainya.9
41

Isi laporan kewaspadaan antara lain :

1. Nama penderita atau yang meninggal;


2. Golongan umur
3. Tempat dan alamat kejadian;
4. Waktu kejadian;
5. Jumlah yang sakit dan meninggal.
Laporan kewaspadaan tersebut selanjutnya harus diteruskan kepada kepala puskesmas
setempat.9

Alur Laporan Kewaspadaan

( Gambar, Tabel alur laporan kewaspadaan )

Kepala puskesmas yang menerima laporan kewaspadaan harus segera memastikan adanya
KLB. Bila dipastikan telah terjadi KLB, kepala puskesmas harus segera membuat laporan
KLB, melaksanakan penyelidikan epidemiologis, dan penanggulangan KLB. Laporan KLB
disampaikan secara lisan dan tertulis. Penyampaian secara lisan dilakukan dengan tatap muka,
melalui telepon, radio, dan alat komunikasi lainnya. Penyampaian secara tertulis dapat
dilakukan dengan

surat, faksimili, dan sebagainya. Laporan KLB puskesmas dikirimkan secara berjenjang kepada
Menteri dengan berpedoman pada format laporan KLB (Formulir W1). Formulir Laporan KLB
42

(Formulir W1) adalah sama untuk puskesmas,kabupaten/kota dan provinsi, namun dengan
kode yang berbeda. Formulir berisi nama daerah KLB (desa, kecamatan, kabupaten/kota dan
nama puskemas), jumlah penderita dan meninggal pada saat laporan, nama penyakit dan gejala-
gejala umum yang ditemukan diantara penderita, dan langkah-langkah yang sedang dilakukan.
Satu formulir W1 berlaku untuk satu jenis penyakit saja.9

( Gambar , Tabel alur laporan KLB (Formulir W1) )

Laporan KLB puskesmas (W1Pu) dibuat oleh kepala puskesmas kepada camat dan kepala
dinas kesehatan kabupaten/kota.

Laporan KLB kabupaten/kota (W1Ka) dibuat oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota
kepada bupati/walikota dan kepala dinas kesehatan provinsi.

Laporan KLB provinsi (W1Pr) dibuat oleh kepala dinas kesehatan provinsi kepada gubernur
dan Menteri (up. Direktur Jenderal).9
43

( Gambar , Formulir laporan KLB (W1) )


44

( Gambar , Formulir pengajuan permintaan bantuan penanggulangan KLB atau wabah )


45

4. Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit

Pada dasarnya ada 4 tingkat pencegahan penyakit secara umum, yakni pencegahan tingkat
dasar (primordial prevention), pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang
meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary
prevention) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan
tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap terjadinya cacat dan
terakhir adalah rehabilitasi. Keempat tingkat pencegahan tersebut saling berhubungan erat
sehingga dalam pelaksanaannya sering dijumpai keadaan yang tumpang tindih.5

a. Pencegahan tingkat Dasar (Primordial Prevention)


Pencegahan tingkat dasar merupakan usaha mencegah terjadinya risiko atau
mempertahankan keadaan risiko rendah dalam masyarakat terhadap penyakit secara umum.
Tujuan primordial prevention ini adalah untuk menghindari terbentuknya pola hidup
social-ekonomi dan cultural yang mendorong peningkatan risiko penyakit . upaya ini
terutama sesuai untuk ditujukan kepada masalah penyakit tidak menular yang dewasa ini
cenderung menunjukan peningkatannya.
Pencegahan ini meliputi usaha memelihara dan mempertahankan kebiasaan atau
pola hidup yang sudah ada dalam masyarakat yang dapat mencegah meningkatnya risiko
terhadap penyakit dengan melestarikan pola atau kebiasaan hidup sehat yang dapat
mencegah atau mengurangi tingkat risiko terhadap penyakit tertentu atau terhadap berbagai
penyakit secara umum. Contohnya seperti memelihara cara makan, kebiasaan berolahraga,
dan kebiasaan lainnya dalam usaha mempertahankan tingkat risiko yang rendah terhadap
berbagai penyakit tidak menular.
Selain itu pencegahan tingkat dasar ini dapat dilakukan dengan usaha mencegah
timbulnya kebiasaan baru dalam masyarakat atau mencegah generasi yang sedang tumbuh
untuk tidak melakukan kebiasaan hidup yang dapat menimbulkan risiko terhadap berbagai
penyakit seperti kebiasaan merokok, minum alkhohol dan sebagainya. Sasaran pencegahan
tingkat dasar ini terutama kelompok masyarakat usia muda dan remaja dengan tidak
mengabaikan orang dewasa dan kelompok manula. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pencegahan awal ini diarahkan kepada mempertahankan kondisi dasar atau status
kesehatan masyarakat yang bersifat positif yang dapat mengurangi kemungkinan suatu
penyakit atau factor risiko dapat berkembang atau memberikan efek patologis. Factor-faktor
itu tampaknya banyak bersifat social atau berhubungan dengan gaya hidup atau pola makan.
Upaya awal terhadap tingkat pencegahan primordial ini merupakan upaya mempertahankan
46

kondisi kesehatan yang positif yang dapat melindungi masyarakat dari gangguan kondisi
kesehatan yang sudah baik.
Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa usaha pencegahan primordial ini sering
kali disadari pentingnya apabila sudah terlambat. Oleh karena itu, epidemiologi sangat
penting dalam upaya pencegahan penyakit.5

b. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)


Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan tingkat pertama
(primary prevention) dilakukan dengan dua cara : (1) menjauhkan agen agar tidak dapat
kontak atau memapar penjamu, dan (2) menurunkan kepekaan penjamu. Intervensi ini
dilakukan sebelum perubahan patologis terjadi (fase prepatogenesis). Jika suatu penyakit
lolos dari pencegahan primordial, maka giliran pencegahan tingkat pertama ini digalakan.
Kalau lolos dari upaya maka penyakit itu akan segera dapat timbul yang secara epidemiologi
tercipta sebagai suatu penyakit yang endemis atau yang lebih berbahaya kalau tumbuldalam
bentuk KLB.
Pencegahan tingkat pertama merupakan suatu usaha pencegahan penyakit melalui usaha-
usaha mengatasi atau mengontrol faktor-faktor risiko dengan sasaran utamanya orang sehat
melalui usaha peningkatan derajat kesehatan secara umum (promosi kesehatan) serta usaha
pencegahan khusus terhadap penyakit tertentu. Tujuan pencegahan tingkat pertama adalah
mencegah agar penyakit tidak terjadi dengan mengendalikan agent dan faktor determinan.
Pencegahan tingkat pertama ini didasarkan pada hubungan interaksi antara pejamu (host),
penyebab (agent atau pemapar), lingkungan (environtment) dan proses kejadian penyakit.5
Pejamu (host) : perbaikan status gizi, status kesehatan dan pemberian imunisasi.
Penyebab (agent) : menurunkan pengaruh serendah mungkin seperti dengan
penggunaan desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, penyemprotan
insektisida yang dapat memutus rantai penularan.
Lingkungan (environment): perbaikan lingkungan fisik yaitu dengan perbaikan air bersih,
sanaitasi lingkungan dan perumahan.5

Usaha pencegahan penyakit tingkat pertama secara garis besarnya dapat dibagi
dalam usaha peningkatan derajat kesehatan dan usaha pencegahan khusus. Usaha
peningkatan derajat kesehatan (health promotion) atau pencegahan umum yakni
meningkatkan derajat kesehatan perorangan dan masyarakat secara optimal, mengurangi
47

peranan penyebab dan derajat risiko serta meningkatkan lingkungan yang sehat secara
optimal. contohnya makan makanan bergizi seimbang, berperilaku sehat, meningkatkan
kualitas lingkungan untuk mencegah terjadinya penyakit misalnya, menghilangkan tempat
berkembang biaknya kuman penyakit, mengurangi dan mencegah polusi udara,
menghilangkan tempat berkembang biaknya vektor penyakit misalnya genangan air yang
menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes atau terhadap agent penyakit seperti
misalnya dengan memberikan antibiotic untuk membunuh kuman.
Adapun usaha pencegahan khusus (specific protection) merupakan usaha yang ter-
utama ditujukan kepada pejamu dan atau pada penyebab untuk meningkatkan daya tahan
maupun untuk mengurangi risiko terhadap penyakit tertentu. Contohnya yaitu imunisasi
atau proteksi bahan industry berbahaya dan bising, melakukan kegiatan kumur-kumur
dengan larutan Flour untuk mencegah terjadinya karies pada gigi. Sedangkan terhadap
kuman penyakit misalnya mencuci tangan dengan larutan antiseptic sebelum operasi untuk
mencegah infeksi, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan untuk mencegah penyakit
diare.
Terdapat dua macam strategi pokok dalam usaha pencegahan primer, yakni : (1)
strategi dengan sasaran populasi secara keseluruhan dan (2) strategi dengan sasaran hanya
terbatas pada kelompok risiko tinggi. Strategi pertama memiliki sasaran lebih luas sehingga
lebih bersifat radikal, memiliki potensi yang besar pada populasi dan sangat sesuai untuk
sasaran perilaku. Sedangkan pada strategi kedua, sangat mudah diterapkan secara
individual, motivasi subjek dan pelaksana cukup tinggi serta rasio antara manfaat dan
tingkat risiko cukup baik. 5

Pencegahan pertama dilakukan pada masa sebelum sakit yang dapat berupa :

a) Penyuluhan kesehatan yang intensif.


b) Perbaikan gizi dan penyusunan pola menu gizi yang adekuat.
c) Pembinaan dan pengawasan terhadap pertumbuhan balita khususnya anak-anak, dan
remaja pada umumnya.
d) Perbaikan perumahan sehat.
e) Kesempatan memperoleh hiburan yang sehat untuk memungkinkan pengembangan
kesehatan mental maupu sosial.
f) Nasihat perkawinan dan pendidikan seks yang bertanggung jawab.
48

g) Pengendalian terhadap faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi timbulnya suatu


penyakit.
h) Perlindungan terhadap bahaya dan kecelakaan kerja.
Pencegahan primer merupakan upaya terbaik karena dilakukan sebelum kita jatuh sakit
dan ini adalah sesuai dengan “konsep sehat” yang kini dianut dalam kesehatan
masyarakat modern.5

c. Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)


Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam akan
menderita penyakit tertentu melalui diagnosis dini untuk menemukan status patogeniknya
serta pemberian pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama pencegahan tingkat kedua
ini, antara lain untuk mencegah meluasnya penyakit menular dan untuk menghentikan
proses penyakit lebih lanjut, mencegah komplikasi hingga pembatasan cacat. Usaha
pencegahan penyakit tingkat kedua secara garis besarnya dapat dibagi dalam diagnosa dini
dan pengobatan segera (early diagnosis and promt treatment) serta pembatasan cacat.
Tujuan utama dari diagnosa dini ialah mencegah penyebaran penyakit bila penyakit ini
merupakan penyakit menular, dan tujuan utama dari pengobatan segera adalah untuk
mengobati dan menghentikan proses penyakit, menyembuhkan orang sakit dan mencegah
terjadinya komplikasi dan cacat. Cacat yang terjadi diatasi terutama untuk mencegah
penyakit menjadi berkelanjutan hingga mengakibatkan terjadinya kecacatan yang lebih baik
lagi.
Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua adalah menemukan penderita secara
aktif pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi : (1) pemeriksaan berkala pada kelompok
populasi tertentu seperti pegawai negeri, buruh/ pekerja perusahaan tertentu, murid sekolah
dan mahasiswa serta kelompok tentara, termasuk pemeriksaan kesehatan bagi calon
mahasiswa, calon pegawai, calon tentara serta bagi mereka yang membutuhkan surat
keterangan kesehatan untuk kepentingan tertentu ; (2) penyaringan (screening) yakni
pencarian penderita secara dini untuk penyakit yang secara klinis belum tampak gejala pada
penduduk secara umum atau pada kelompok risiko tinggi ; (3) surveilans epidemiologi yakni
melakukan pencatatan dan pelaporan sacara teratur dan terus-menerus untuk mendapatkan
keterangan tentang proses penyakit yang ada dalam masyarakat, termasuk keterangan
tentang kelompok risiko tinggi.
49

Selain itu, pemberian pengobatan dini pada mereka yang dijumpai menderita atau
pemberian kemoprofilaksis bagi mereka yang sedang dalam proses patogenesis termasuk
mereka dari kelompok risiko tinggi penyakit menular tertentu.5

d. Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention)


Pencegahan pada tingkat ketiga ini merupakan pencegahan dengan sasaran
utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha mencegah bertambah beratnya
penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta program rehabilitasi. Tujuan utamanya adalah
mencegah proses penyakit lebih lanjut, seperti pengobatan dan perawatan khusus penderita
kencing manis, tekanan darah tinggi, gangguan saraf dan lain-lain serta mencegah terjadinya
cacat maupun kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitasi.
Rehabilitasi merupakan usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial
seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik/medis (seperti pemasangan protese),
rehabilitasi mental (psychorehabilitation) dan rehabilitasi sosial, sehingga setiap individu
dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif dan berdaya guna.5

Menurut Permenkes :

PERMENKES RI NOMOR 374/MENKES/PER/III/2010 PENGENDALIAN VEKTOR


PENYAKIT
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan,memindahkah dan/atau menjadi
sumber penular penyakit terhadap manusia.
2. Pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk
menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi
berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah atau
menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan penyakit tular
vektor dapat dicegah.
3. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) merupakan pendekatan yang menggunakan
kombinasi beberapa metode pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan azas
keamanan, rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya serta dengan
mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya.
50

4. Surveilans vektor adalah pengamatan vektor secara sistematis dan terus menerus dalam
hal kemampuannya sebagai penular penyakit yang bertujuan sebagai dasar untuk
memahami dinamika penularan penyakit dan upaya pengendaliannya.
5. Dinamika Penularan Penyakit adalah perjalanan alamiah penyakit yang ditularkan
vektor dan faktor-faktor yang mempengaruhi penularan penyakit meliputi : inang (host)
termasuk perilaku masyarakat, agent, dan lingkungan
6. Sistim Kewaspadaan Dini adalah kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi Kejadian
Luar Biasa beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi
surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap
kesiapsiagaan, upaya-upaya pencegahan dan tindakan penanggulangan kejadian luar
biasa yang cepat dan tepat.
7. Pestisida rumah tangga adalah semua bahan kimia yang digunakan dalam rumah tangga
sehari-hari untuk mencegah gangguan serangga di permukiman.
8. Kearifan lokal adalah teknologi lokal dalam pengendalian vektor yang telah dibuktikan
secara ilmiah memenuhi persyaratan keamanan dan efektifitas
9. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.6

Pasal 4
1. Upaya penyelenggaraan pengendalian vektor dapat dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau pihak swasta dengan menggunakan metode pendekatan
pengendalian vektor terpadu (PVT).
2. Upaya pengendalian vektor secara terpadu (PVT) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pendekatan pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan pertimbangan
keamanan,rasionalitas dan efektivitas pelaksanaannya serta berkesinambungan.
3. Upaya pengendalian vektor sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilaksanakan
berdasarkan data hasil kajian surveilans epidemiologi antara lain informasi tentang
vektor dan dinamika penularan penyakit tular vektor.6

5. Pada awal tahun 2017, Ikatan Dokter Anak Indonesia melalui Satuan Tugas Imunisasi
mengeluarkan rekomendasi Imunisasi IDAI tahun 2017 untuk menggantikan jadwal imunisasi
sebelumnya. Jadwal imunisasi 2017 ini dibuat dengan tujuan, pertama menyeragamkan jadwal
imunisasi rekomendasi IDAI dengan jadwal imunisasi Kementerian Kesehatan RI khususnya
untuk imunisasi rutin, sehingga mempermudah tenaga kesehatan dalam melaksanakan
51

imunisasi. Kedua, jadwal imunisasi 2017 ini juga dibuat berdasarkan ketersediaan kombinasi
vaksin DTP dengan hepatitis B seperti DTPw-HB-Hib, DTPa-HB-Hib-IPV, dan ketiga dalam
situasi keterbatasan atau kelangkaan vaksin tertentu seperti vaksin DTPa atau DTPw tanpa
kombinasi dengan vaksin lainnya. Seperti jadwal imunisasi yang lalu, jadwal 2017 juga
mencantumkan warna berbeda untuk imunisasi yang diberikan.
• Kolom hijau menandakan imunisasi optimal, yaitu imunisasi diberikan sesuai usia yang
dianjurkan.
• Kolom kuning menandakan imunisasi kejar (catch-up immunization), yaitu imunisasi yang
diberikan di luar waktu yang direkomendasikan.
• Kolom biru menandakan imunisasi penguat atau booster.
• Kolom warna merah muda menandakan imunisasi yang direkomendasikan untuk daerah
endemis. Untuk menerapkan rekomendasi imunisasi IDAI, catatan kaki perlu dibaca karena
memuat keterangan yang penting dalam melaksanakan imunisasi. Berikut adalah beberapa
catatan penting yang berhubungan dengan pelaksanaan imunisasi rekomendasi IDAI 2017. 10

Hal baru yang terdapat pada jadwal 2017

1. Vaksin hepatitis B (HB)


Vaksin HB monovalen pada usia 1 bulan tidak perlu diberikan apabila anak akan mendapat
vaksin DTP-Hib kombinasi dengan HB.
Rasional
Pada saat ini mayoritas vaksin kombinasi berbahan dasar DTP-Hib yang beredar di Indonesia
juga berisi komponen HB sehingga pada imunisasi dasar dengan vaksin DTPw-Hib-HB atau
DTPa- Hib-HB-IPV akan memberikan 3 dosis vaksin HB di luar vaksin HB saat lahir. Hal
tersebut dapat dilakukan berdasarkan hasil seroproteksi terhadap HB setelah 3 dosis vaksin
pentavalen DTPw-Hib- HB adalah 99,3%,1 dan setelah 3 dosis hexavalen DTPa-Hib-HB-IPV
adalah 98,4%2 pada bayi yang telah mendapat vaksin HB saat lahir. 10

2. Vaksin polio
Bayi paling sedikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV (inactivated polio vaccine)
bersamaan (simultan) dengan OPV-3 saat pemberian DTP-3.
Rasional
Dalam masa transisi program eradikasi polio, Indonesia telah melakukan switching dari vaksin
polio oral trivalen (tOPV) ke vaksin polio oral bivalen (bOPV) yang hanya mengandung virus
52

polio 1 dan 3 pada bulan April 2016.3 Galur virus polio tipe 2 dikeluarkan dari OPV karena
virus polio tipe 2 liar ini tidak ditemukan lagi sejak tahun 1999.4 Alasan terpenting
menggantikan OPV karena menimbulkan 250 – 500 kasus vaccine associated paralysis
poliomyelitis (VAPP) setiap tahunnya.5 Selain itu kejadian luar biasa polio sebagian besar
(87%-97%) berhubungan dengan vaccine derived polio virus tipe 2 (VDPV2).10
1. Bayi yang hanya mendapat vaksin bOPV tidak mempunyai kekebalan terhadap virus polio 2
sehingga rentan terinfeksi virus polio 2 yang mungkin terjadi karena importasi dari komunitas
yang masih menggunakan tOPV. Bayi tersebut perlu mendapatkan IPV yang mengandung 3
virus polio inaktif. Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) merekomendasikan paling
sedikit satu dosis IPV tambahan dalam jadwal imunisasi rutin di negara yang hanya
menggunakan OPV.5 Vaksin IPV menimbulkan serokonversi 69% terhadap virus polio 2 pada
anak yang sebelumnya mendapat bOPV dan satu dosis IPV.7 Kekebalan mukosa terhadap virus
polio 1 dan 3 juga meningkat dengan pemberian IPV pada anak yang telah mendapat bOPV
sehingga mempercepat eradikasi polio.8 Saat terbaik pemberian IPV adalah bersamaan dengan
pemberian DTP3 dan bOPV3 yaitu pada keadaan antibodi maternal polio terendah sehingga
memberikan imunogenisitas paling optimal.10

3. Vaksin difteri, tetanus, dan pertusis (DTP)


Vaksin DTP dosis pertama dapat berupa vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan
vaksin lain, diberikan paling cepat pada bayi usia 6 minggu. Apabila diberikan vaksin DTPw
maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila
diberikan vaksin DTPa, interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6
bulan. Vaksin DTPw dan DTPa dapat saling dipertukarkan (interchangibility) pada keadaan
mendesak. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP6
dapat diberikan vaksin Td/Tdap pada usia 10-12 tahun.9 Vaksin Td booster diberikan setiap 10
tahun.10
Rasional
Vaksin DTPw-HB-Hib pada anak Indonesia memberikan seroproteksi yang baik pada
pemberian usia 2, 3, dan 4 bulan.1 Jadwal imunisasi dengan menggunakan DTPa pada usia 2,
3, dan 4 bulan juga digunakan di negara maju seperti Austria, Jerman dan Perancis.11 Vaksin
DTP tidak dianjurkan untuk anak >7 tahun, penggantinya diberikan Td/ Tdap.12 Vaksin Tdap
dianjurkan untuk diberikan satu kali terbaik pada usia 10-12 tahun. Imunisasi booster diberikan
Td setiap 10 tahun. Tdap direkomendasikan untuk diberikan pada remaja hamil dan pada setiap
kehamilan remaja .10
53

4. Vaksin influenza
Saat ini tersedia vaksin influenza inaktif trivalen dan quadrivalen.
Rasional
Vaksin influenza trivalen (2 serotipe influenza A dan 1 serotipe influenza B) dan quadrivalen
(2 serotipe influenza A dan 2 serotipe influenza B) direkomendasikan oleh WHO.10

5. Vaksin measles, mumps, rubella (MMR/MR)


Vaksin MMR dapat diberikan pada usia 12 bulan, apabila anak belum mendapat vaksin campak
pada usia 9 bulan.
Rasional
MMR dapat diberikan pada usia 12 bulan, sesuai anjuran Advisory Committee on
Immunization Practices.10

6. Vaksin human papiloma virus (HPV)


Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-
12 bulan; respons antibodi setara dengan 3 dosis.
Rasional
Penelitian vaksin HPV di India mendapatkan bahwa 2 dosis vaksin HPV pada remaja usia 9-
13 tahun menghasilkan antibodi yang tidak lebih rendah dibandingkan dengan 3 dosis vaksin
HPV.14 Pemberian vaksin HPV 2 dosis pada anak usia 10-13 tahun juga telah
direkomendasikan oleh WHO.10

7. Vaksin Japanese encephalitis (JE)


Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang akan bepergian
ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2
tahun berikutnya.
Rasional
Virus JE sudah merupakan masalah pada beberapa daerah endemis di Indonesia, seperti daerah
tertentu di propinsi Bali. Vaksin JE direkomendasikan untuk wisatawan yang akan tinggal
selama lebih dari 1 bulan di daerah endemi selama masa transmisi virus JE. Vaksin JE
dipertimbangkan untuk wisatawan yang akan tinggal kurang dari satu bulan di daerah endemis
JE jika memiliki rencana mengunjungi daerah rural, daerah outbreak JE, atau tanpa kepastian
mengenai tujuan, aktivitas, atau durasi kunjungan.16 WHO merekomendasikan vaksin JE
54

harus diintegrasikan pada program imunisasi nasional pada daerah JE merupakan prioritas.
Meskipun jumlah kasus JE rendah, imunisasi harus dipertimbangkan pada lingkungan yang
cocok untuk transmisi virus JE seperti hewan reservoir atau berdekatan dengan daerah yang
memiliki transmisi virus JE.10

8. Vaksin dengue
Vaksin dengue yang disetujui oleh WHO saat ini adalah vaksin hidup tetravalen untuk anak
berusia 9 – 16 tahun. Vaksin diberikan 3 kali dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan. Dosis vaksin
0,5 ml setiap pemberian.
Rasional
WHO merekomendasikan pemberian vaksin dengue sebagai pencegahan penyakit dengue
serotipe 1, 2, 3, dan 4 pada usia 9 – 16 tahun yang tinggal pada daerah endemis. Batas usia 9
tahun dipilih berdasarkan faktor keamanan. Vaksin dengue telah dilakukan uji klinis pada
puluhan ribu partisipan di lima negara Asia dan lima negara Amerika Latin. Vaksin ini
menimbulkan imunogenitas lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah terinfeksi
dengue(seropositif ). Efikasi vaksin dengue untuk semua serotipe pada 25 bulan pemantauan
setelah dosis pertama pada anak di atas 9 tahun adalah 65.6%. Efikasi vaksin pada anak yang
seropositif saat dilakukan vaksinasi 81.9% dan seronegatif 52.5%.18 Vaksinasi dengue
menurunkan rawat inap di rumah sakit 80% dan mencegah 92,9% infeksi dengue berat.
Mengingat tingginya beban penyakit dengue pada negara-negara endemis, vaksin dengue
memberikan dampak kesehatan masyarakat jika diberikan bersama upaya penanggulangan
infeksi dengue lainnya (seperti perbaikan tata laksana kasus dan KLB, perbaikan pengendalian
vektor, dan peningkatan partisipasi masyarakat).10
55

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Pedoman Penyelenggaran Imunisasi. Jakarta. 2010


2. Sudoyo, Aru W. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta: Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam. 2014
3. Widoyono. Penyakit Tropis Epidemiologi. Penolakan, Pencegahan dan
Pemberantasan. Edisi II. Jakarta. 2010
4. Nelson. 2012. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
5. Timmreck, Thomas C. Epidemiologi : Suatu Pengentar. Edisi ke 2. EGC : Jakarta ;
2005
6. PERMENKES RI NOMOR 374/MENKES/PER/III/2010 PENGENDALIAN
VEKTOR PENYAKIT
7. Permenkes 1501/MENKES/PER/X/2010
8. van der Plank, J.E. 2010. Plant Diseases : Epidemics and Control. Academic Press.
New York.
9. Zadoks, J.C. & R.D. Schein. 1999. Epidemiology and Plant Disease
Managemen.Oxford University press. New York
10. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis penggantian tOPV menjadi bOPV dan
introduksi IPV. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2015.

Anda mungkin juga menyukai