Anda di halaman 1dari 49

1

SKENARIO 1

Nama : Ny.S

Usia : 75 tahun

Masalah :

Keluhan pasien :

a. Suara serak
b. Batuk kering
c. Pegal -pegal
d. Tekanan darah : 135/100 mmHg → 120/80 mmHg

Keadaan rumah :

a. Ventilasi menurun
b. Banyak tangga tetapi tidak ada pegangan
c. Wc jongkok dan cukup licin
d. Langit-langit rumah hanya ada di ruang tamu dan kamar saja
e. Lantai dapur belum memakai keramik, bisa menyebabkan licin
f. Di sebelah sumur ada sungai yang jarak nya dekat dengan rumah

Faktor resiko internal :

a. Penglihatan menurun
b. Ispa
c. Low dependent

Faktor resiko eksternal :

a. Resiko jatuh meningkat


b. Ventilasi menurun
c. Kesehatan lingkungan tidak baik
2

SKENARIO 2

Nama : Ny. S

Usia : 77 tahun

Masalah :

a. Hipertensi, TD : 150/91 mmHg → 120/80 mmHg


b. Berat badan kurang, bb : 33 kg → 32,5 kg
c. Asupan nutrisi kurang
d. Wc jongkok, kadang licin dan tidak ada pegangan
e. Pencahayaan dan ventilasi menurun
f. Pasien tidur di lantai bukan di kasur

Faktor resiko internal :

a. Hipertensi
b. Malnutrisi
c. Low dependent

Faktor resiko eksternal :

a. Ventilasi menurun
b. Resiko jatuh meningkat
c. Kesehatan lingkungan tidak baik
3

SKENARIO 3

Nama : Tn. S

Usia : 68 th

Masalah :

Keluhan pasien :

a. Suspek herpes genital


b. Obat sudah habis dan tidak kontrol kembali ke puskesmas
c. Luka sudah membaik
d. Demam setiap hari dari maghrib

Keadaan rumah :

a. Ada 2 kamar :
 Kamar 1 : diisi oleh 6 orang
 Kamar 2 : sendiri ( kurang ventilasi), berantakan
b. Atap kotor, banyak yang bolong
c. Dapur dekat mck
d. Lantai masih menggunakan semen belum memakai keramik dan tidak rata
e. Kamar mandi di luar dekat dengan sumur dan langsung nyambung ke kali
f. Ke arah wc ada tangga rawan untuk jatuh
g. Kurang pencahayaan
h. Lantai tanah
i. Ventilasi menurun

Faktor resiko internal :

a. Infeksi (kulit & pernafasan)


b. Penglihatan menurun
c. Batuk pilek
d. Psikologis
e. Low dependent
4

Faktor resiko eksternal :

a. Resiko jatuh meningkat


b. Kesehatan lingkungan tidak baik

Kesimpulan

Resiko jatuh :

a. Evaluasi cara jalan


b. Evaluasi penggunaan obat-obatan
c. Evaluasi keseimbangan
d. Aktivitas sehari-hari
e. Di berikan pegangan agar tidak jatuh / terpeleset
f. Di berikan keset yang kasar
g. Menggunakan tongkat

Gangguan penglihatan :

a. Pemeriksaan terlebih dahulu


b. Resep kacamata
c. Menambahkan lampu
d. operasi

Infeksi :

a. terapi antibiotik : spektrum luas terlebih dahulu


b. terapi suportif : diet protein, kalori dan protein yang cukup, vitamin dan
mineral (Cu, Se, Zn)

Hipertensi :

a. cek rutin tekanan darah setiap minggu


b. teratur minum obat ( minum obat seumur hidup)
c. first line dari JNC 8

Malnutrisi : (berdasarkan masalahnya apa)


5

a. gigi sudah tidak kuat untuk menguyah


b. lambung nya atrofi
c. cepat kenyang
d. lidah mengalami atrofi di mukosa degenerasi neural

Kesepian :

a. peran organisasi sosial


b. peran keluarga atau dukungan dari keluarga
c. komunikasi

Kesehatan lingkungan :

a. wc berikan kursi yang dibolongin


b. edukasi wajib kepada pasien, keluarga, tetangga
c. mengganti lampu dengan yang lebih terang (berwarna putih)
6

MIND MAP

Masalah pada
geriatri
Non-farmako Sosio

Ekonomi
Farmako Assasment pada
Penatalaksanaan
pada geriatri geriatri
Lingkungan
Teori penuaan

Perubahan pada Fisik


geriatri Psikologi
ADME

Farmakodinamik

STEP 5

1. Penyelesaian masalah pada geriatri berdasarkan assasment geriatri


2. Penatalaksanaan pada geriatri dihubungkan dengan teori penuaan serta
farmakologi obat (adme)

STEP 6
Belajar mandiri
7

Step 7

1. Penyelesain masalah secara umum pada geriatri :


a. Masalah fisik
Permasalahan yang dihadapi oleh geriatri yaitu keadaan fisik yang
mulai renta sehingga menyebabkan terganggunya aktivitas. Dalam
mengatasi masalah ini maka diperlukan pemberian nutrisi yang
baik dan cukup, misalnya pemberian asupan gizi yang cukup serta
mengandung serat dalam jumlah yang besar seperti sayur, buah,
yang dikonsumsi dengan jumlah bertahap, minum air putih 1,5-2
liter secara teratur, olahraga teratur sesuai dengan kapasitas,
istirahat yang cukup dan memeriksakan kesehatan secara teratur.1
b. Masalah kognitif
Permasalahan yang terjadi yaitu mulai menurunnya daya ingat
terhadap sesuatu hal (pikun) dan sulit untuk bersosialisasi dengan
masyarakat sekitar. Dalam mengatasi masalah ini maka geriatri
dapat melakukan olahraga sebagai kebutuhan dan rutinitas harian,
membiasakan diri dengan tidur cukup, mengendalikan rasa stress,
melakukan permainan atau kegiatan yang berhubungan dengan
daya ingat, jangan berhenti untuk terus belajar dan mengasah otak.1
c. Masalah emosional
Permasalahan yang terjadi pada geriatri selain penurunan fungsi
tubuh dan kognitif masalah emosional pun sering terjadi pada
geriatri. Permasalahan yang timbul seperti rasa ingin berkumpul
dengan keluarga, sering marah apabila ada sesuatu yang kurang
sesuai dengan kehendak pribadi dan sering stress apabila ekonomi
kurang terpenuhi. Dalam mengatasi masalah ini maka geriatri
dapat meningkatkan kegiatan ibadah kepada tuhan sehingga
membuat jiwa dan pikirannya menjadi tenang, hindari stress
dengan tidak memikirkan suatu hal terlalu berlebihan. Rekreasi
untuk menghilangkan kelelahan setelah beraktivitas, dan
8

pertahankan hubungan sosial dengan keluarga, teman sebaya dan


lingkungan.1
Penyelesain masalah penyakit penyakit pada geriatri :
A. Jatuh
Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia
lanjut. Banyak faktor berperan di dalamnya, baik
faktor intrinsik dalam diri lansia tersebut seperti
gangguan gaya berjalan, kelemahan otot
ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkope dan
dizzines, serta faktor ekstrinsik seperti lantai
yang licin dan tidak rata, tersandung benda-
benda, penglihatan kurang karena cahaya kurang
terang, dan sebagainya.2
Definisi jatuh sangat beragam. Isaacs pada
tahun 1985 mendefinisikan jatuh sebagai
dampak dari garis vertikal yang melewati pusat
massa tubuh manusia menjadi tergeletak antara
fondasi dan tidak tergantungan waktu dan
tempat. Definisi ini menggambarkan proses
mekanisme jatuh dan bukan merupakan definisi
yang praktis untuk digunakan pada penelitian-
penelitian. Tinetti pada tahun 1988
mendefinisikan jatuh sebagai kejadian yang
mengakibatkan seseorang tergeletak tanpa
disengaja pada tanah atau tempat yang lebih
rendah bukan sebagai akibat dari kejadian
intrinsik mayor (seperti stroke) atau bencana
9

besar. Nevitte pada tahun 1991


mendefinisikannya sebagai seseorang yang
tergeletak dengan berbagai cara ke tempat yang
lebih rendah (lantai atau tanah) atau tergeletak
dan menghantam benda seperti kursi atau
tangga. The Frailty and Injuries: Co-operative
Studies of Intervention Techniques (FICSIT)
tahun 1993 mendefinisikan jatuh sebagai
kejadian yang tidak disadari oleh seseorang yang
terduduk di lantai / tanah atau tempat yang lebih
rendah. Reuben tahun 1996 mendefinisikan
sebagai suatu kejadian yang dilaporkan
penderita atau saksi mata, yang melihat kejadian
meng akibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih
rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
atau luka (Reuben, 1996). The International
Classification of Disease (ICD 9) mendefinisikan
jatuh sebagai kejadian yang tak diharapkan
dimana seseorang terjatuh dari tempat yang
lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah atau
tempat yau sama tingginya. King mendefinisikan
jatuh sebag kejadian yang tidak disadari oleh
seseorang yang terduduk di lantai atau tempat
yang lebih rendah tanpa disebabkan oleh
hilangnya kesadaran, stroke, atau kekuatan yang
berlebihan.2
10

a. Faktor Risiko
i. Faktor Risiko Intrinsik
Sinkop, drop attacks, dan
dizziness merupakan penyebab jatuh
pada orang usia lanjut yang sering
disebut-sebut. Beberapa penyebab
sinkop pada orang usia lanjut yang
perlu dikenali antara lain respons
vasovagal, gangguan kardiovaskular
(bradi dan takiaritmia, stenosis aorta),
gangguan neurologis akut (TIA,
stroke, atau kejang). emboli paru, dan
gangguan metabolik.1
Drop attacks merupakan
kelemahan tungkai bawah mendadak
yang menyebabkan jatuh tanpa
kehilangan kesadaran. Kondisi
tersebut seringkali dikaitkan dengan
insufisiensi vertebrobasiler yang
dipicu oleh perubahan posisi kepala.1
Dizziness atau rasa tidak stabil
merupakan keluhan yang sering
diutarakan oleh orang usia lanjut yang
mengalami jatuh. Pasien yang
mengeluh rasa ringan di kepala harus
dievaluasi secermat mungkin akan
adanya hipotensi postural atau
11

deplesi volume intravaskular. Di sisi


lain, vertigo merupakan gejala yang
lebih spesifik walaupun merupakan
pemicu jatuh yang lebih jarang.
Kondisi ini dikaitkan dengan kelainan
pada telinga bagian dalam seperti
labirinitis, penyakit Meniere, dan
benign paroxysmal positional vertigo
(BPPV). Iskemia dan infark
vertebrobasiler, serta infark
serebelum juga dapat menyebabkan
vertigo.1
Kebanyakan pasien usia lanjut
dengan gejala dizziness dan
unsteadiness merasa cemas, depresi,
sangat takut jatuh, sehingga evaluasi
gejala mereka menjadi sulit. Beberapa
pasien, terutama pada mereka dengan
gejala ke arah vertigo, memerlukan
pemeriksaan otologi, termasuk uji
auditori, yang dapat membedakan
lebih jelas antara gejala akibat
gangguan telinga dalam atau adanya
keterlibatan sistem saraf pusat.1
Sekitar 10-20 persen orang usia
lanjut mengalami hipotensi ortostatik
yang sebagian besar tidak bergejala.
12

Namun demikian, beberapa kondisi


dapat menyebabkan hipotensi
ortostatik yang berat sehingga
memicu timbul- nya jatuh. Kondisi-
kondisi tersebut antara lain curah
jantung rendah akibat gagal jantung
atau hipovolemia, disfungsi otonom
(sebagai akibat diabetes melitus),
gangguan aliran balik vena
(insufisiensi vena), tirah baring lama
dengan deconditioning otot dan
refleks, serta beberapa obat.
Hubungan hipotensi ortostatik dengan
hipertensi perlu dipahami sehingga
tatalaksana hipertensi yang baik amat
diperlukan untuk mencegah timbulnya
hipotensi otostatik tersebut.1
Berbagai penyakit, terutama
penyakit kardiovaskular dan
neurologis, dapat berkaitan dengan
jatuh. Sinkop dapat merupakan gejala
stenosis aorta dan merupakan indikasi
perlunya evaluasi pasien akan adanya stenosis aorta
yang memerlukan penggantian katup. Beberapa
pasien memiliki baroreseptor karotis yang sensitif
dan rentan mengalami sinkop karena refleks tonus
vagal yang meningkat akibat batuk, mengedan, atau
13

berkemih sehingga terjadi bradikardia atau


hipotensi.1
Stroke akut dapat menyebabkan jatuh atau
memberikan gejala jatuh. TIA sirkulasi anterior
dapat menyebabkan kelemahan unilateral dan
memicu jatuh. TIA sirkulasi posterior
(vertebrobasiler) mungkin juga dapat
mengakibatkan vertigo, namun perlu disertai dengan
satu atau lebih gejala lain seperti disartria, ataksia,
kelemahan tungkai, dan berkurangnya lapangan
pandang. Insufisiensi vertebrobasiler seringkali
disebut sebagai penyebab drop attacks; kompresi
mekanik arteri vertebralis oleh osteofit spina
vertebra servikal manakala kepala diputar
disebutkan pula sebagai penyebab ketidakstabilan
dan jatuh.1
Penyakit lain pada otak dan sistem saraf
pusat dapat pula menyebabkan jatuh. Penyakit
Parkinson dan hidrosefalus tekanan normal
menyebabkan gangguan gaya berjalan yang
menyebabkan instabilitas dan jatuh. Gangguan
serebelum, tumor intrakranial, dan hematoma
subduraljuga menyebabkan ketidakstabilan
(unsteadiness) dengan kecenderungan mudah jatuh.
1

b. Faktor Risiko Ekstrinsik


Faktor risiko ekstrinsik merupakan faktor-faktor
yang berada di lingkungan yang memudahkan orang usia
lanjut mengalami jatuh. Berbagai faktor tersebut antara lain
lampu ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah,
atau tidak rata, furnitur yang terlalu rendah atau tinggi,
14

tangga yang tak aman, kamar mandi dengan bak


mandi/closet terlalu rendah atau tinggi dan tak memiliki
alat bantu untuk berpegangan, tali atau kabel yang
berserakan di lantai, karpet yang terlipat, dan benda- benda
di lantai yang membuat seseorang terantuk.
Obat-obatan juga dapat menjadi penyebab jatuh
pada orang usia lanjut. Misalnya obat diuretika yang
dikonsumsi menyebabkan seseorang berulang kali harus ke
kamar kecil untuk buang air kecil atau efek mengantuk dari
obat sedatif sehingga seseorang menjadi kurang waspada
saat berjalan. 1

Gambar 1.1 Obat-obat yang mempengaruhi ketidakseimbangan. 2


15

Gambar 1.2 Faktor-faktor risiko jatuh meliputi faktor-faktor intrinsic


dan faktor-faktor ekstrinsik. 2

Gambar 1.3 Penyebab jatuh. 1


c. Pengkajian Instabilitas dan Jatuh
Evaluasi yang komprehensif terdiri atas riwayat
jatuh dan medis yang rinci, pemeriksaan fisik, pengkajian
cara berjalan dan keseimbangan, pengkajian terhadap
kondisi lingkungan tempat pasien tinggal atau terjatuh,
serta pada keadaan tertentu, pemeriksaan laboratorium.1
Riwayat penyakit seyogyanya difokuskan pada
riwayat medis umum dan pengobatan yang dijalani pasien,
pendapat pasien tentang penyebab jatuh yang dialami
mereka, lingkungan tempat pasien jatuh, gejala dan tanda
yang menyertai (seperti palpitasi akibat aritmia atau gejala
neurologis fokal akibat TIA), dan apakah terdapat riwayat
kehilangan kesadaran. Manakala terdapat riwayat hilangnya
kesadaran perlu dipertimbangkan adanya kejang (terutama
16

bila terdapat inkontinensia) maupun kelainan jantung


seperti aritmia sesaat atau blok jantung (heart block).1
Ekstremitas, kulit, dan jaringan lunak yang
dirasakan nyer oleh pasien perlu dikaji untuk mendeteksi
adanya luka yang diakibatkan oleh jatuh. Beberapa masalah
lain perlu juga ditelusuri untuk menetapkan penyebab
instabilitas danjatuh. Oleh karena jatuh dapat diakibatkan
oleh berbagai penyakit akut, perhatian seksama perlu
diberikan pada tanda vital. Demam, takipneu, takikardia,
dan ipotensi perlu dikaji untuk mencari adanya penyakit
akut seperti pneumonia atau sepsis, infark miokard, emboli
paru, dan perdarahan saluran cerna.1
Adanya hipotensi postural perlu diwaspadai karena
selain dapat terjadi pada usia lanjut yang sehat dan tanpa
gejala, dapat pula teradi pada orang yang mengalami
deconditioning akibat imobilisasi berkepanjangan atau
mengalami insufisiensi vena. Adanya hipotensi postural
dapat pula diakibatkan oleh dehidrasi, kehilangan darah
akut, atau efek samping obat.1
Ketajaman penglihatan perlu dikaji, apakah
berperan pada instabilitas dan jatuh. Pemeriksaan
kardiovaskular perlu difokuskan pada adanya aritmia dan
tanda stenosis aorta. Bila kedua kondisi tersebut dicurigai
ada pada pasien, seycgyanya dilakukan pemantauan
berkesinambungan dan ekokardiografi.1
Pemeriksaan ekstremitas seyogyanya dilakukan
untuk mencari adanya deformitas, keterbatasan lingkup
gerak sendi, atau inflamasi aktif yang mendasari instabilitas
dan menryebabkan jatuh. Perhatian khusus sebaiknya
diberikan pada kaki pasien untuk mencari adanya
17

deformitas, lesi yang nyeri (kalus, bunion, ulkus), maupun


sepatu yang tidak sesuai ukuran dan tidak nyaman.1
Pemeriksaan neurologis juga merupakan komponen
penting yang harus dikaji. Status mental harus dievaluasi
dengan mencari tanda neurologis fokal. Adanya kelemahan
otot, rigiditas atau spastisitas, abnormalitas fungsi
serebelum, tanda penyakit Parkinson, dan tanda neuropati
perifer perlu dicari.1
Pengkajian cara berjalan dan keseimbangan juga
merupakan komponen penting dalam pemeriksaan fisik.
Pengkajian sederhana berupa get up dan go test mungkin
cukup praktis dalam mengkaji cara berjalan dan
keseimbangan.1
18

Pemeriksaan laboratorium tidak selalu diperlukan,


tergantung data yang diperoleh dari riwayat penyakit dan

pemeriksaan fisik. Jika diduga terdapat penyakit akut yang


mendasari terjadinya instabilitas atau jatuh, perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksan darah perifer
lengkap, elektrolit, ureum, foto toraks, atau
elektrokardiogram. Jika dicurigai adanya aritrmia sesaat
atau blok jantung, elektrokardiogram perlu dikerjakan.
Ekokardiografi perlu dilakukan bila dicurigai terdapat
murmur jantung lebih keras dari derajat 2. Pencitraan
dengan CT scan dan elektroensefalagram perlu dikerjakan
bila dicurigai kuat terdapat lesi intrakranial atau kejang. 1
Gambar 1.4 Assesment dan penanganan jatuh. 2

d. Pemeriksaan keseimbangan dan mobilitas fungsional


19

Terdapat sejumlah pemeriksaan untuk mengevaluasi


fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan
klinis bermakna yang menyebabkan seseorang berisiko
untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam mobilitas. Tidak
ada baku emas untuk mengukur keseimbangan dan
mobilitas fungsional, namun telah dikembangkan berbagai
alat ukur untuk mengukur kemampuan keseimbangan dan
mobilitas serta pemantauan perubahan kemampuan ini
sejalan dengan waktu, baik yang dilakukan di laboratorium
untuk penilaian obyektif penampilan biomekanik maupun
uji fungsional yang lebih mudah dilakukan, berbiaya
rendah, dan dapat diinterpretasikan langsung relevansi
fungsionalnya. Uji fungsional tersebut antara lain: the
timed up-and-go test (TUG), uji menggapai fungsional
(functional reach test), dan uji keseimbangan Berg (the
Berg balance sub-scale of the mobility index).1

Uji The Tmed Up and Go


Uji TUG merupakan modifikasi dari uji get up and
go (GUG) untuk menghilangkan unsur subyektivitas dalam
penilaian uji GUG. Pada uji GUG subyek diminta untuk
bangkit dari kursi, berjalan sepanjang 3 meter, berbalik arah
kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Oleh pemeriksa
dinilai cara berjalan dan ada tidaknya gangguan gaya
berjalan subyek, kemudian diberikan nilai berskala 1-5;
nilai 1 berarti normal, sedangkan nilai 5 menunjukkan
abnormalitas berat.1
Uji TUG dapat digunakan untuk mengukur
mobilitas, keseimbangan, dan pergerakan pada usila.
Fungsi mobilitas fungsional dasar tersebut diukur dari
berapa detik waktu yang diperlukan subyek untuk
20

melakukan aktivitas berturut-turut: bangkit dari kursi


bertinggi duduk 46 cm dengan sandaran lengan dan
punggung. berjalan sepanjang 3 meter, berbalik arah
kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Nilai <10 detik
menunjukkan kemandirian penuh, nilai 10 <20 detik
umumnya mandiri untuk berbagai aktivitas mobilitas
seperti aktivitas mandi, mampu untuk naik tangga, dan
bepergian sendiri, nilai 20-29 detik terdapat variasi dalam
mobilitas dan keseimbangan, sedangkan nilai 30 detik atau
lebih menunjukkan mobilitas terganggu dan ketergantungan
pada kebanyakan aktivitas karena risiko jatuh tinggi.1
Pemeriksaan ini selain valid (bila dilakukan pada
individu yang tidak menggunakan alat bantu berjalan)
karena berkorelasi tinggi dengan uji keseimbangan Berg/
Berg Balance Scole (uji aktivitas fungsional terhadap 14
tugas), indeks Barthel (penilaian kemampuan untuk
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari/AKS), dan
kecepatan berjalan/gait speed, juga mudah dilakukan
karena hanya membutuhkan perlengkapan, waktu, dan
tempat yang minimal, dapat dikuantifikasi, berkorelasi
dengan kemampuan usila untuk bergerak dengan aman di
lingkungannya, serta dapat digunakan untuk mengukur
perubahan mobilitas setelah dilakukan suatu intervensi.1
Intraclass correlation coefficients (ICC) uji ini
untuk reliabilitas intra dan inter rater sangat baik, yakni
0,99. TUG berkorelasi dengan uji keseimbangan Berg,
indeks AKS Barthel, dan kecepatan berjalan dengan r = -
0,51 sampai dengan - 0,72. Shumway Cook et al
melaporkan pemeriksaan TUG memiliki sensitivitas 87%
dan spesivisitas 87% untuk mengidentifikasi orang dewasa
di komunitas yang berisiko untuk jatuh. 1
21

Uji Menggapai Fungsional


Uji ini menilai kontrol postural dinamis dengan
mengukur jarak terjauh seseorang yang berdiri mampu
menggapai atau mencondongkan badannya ke depan tanpa
melangkah. Nilai normal untuk usia 41- 69 tahun pada laki-
laki 14,98 inci 2,21 dan perempuan 13,81 incit 2,2;
sedangkan untuk usia 70-87 tahun pada laki-laki 13,16 inci
1,55 dan perempuan 10,47 inci ± 3,5. Pada individu berusia
70 tahun atau lebih, nilai 6 inci atau kurang berkorelasi
dengan kecepatan berjalan dan risiko untuk jatuh. Uji ini
mudah dilakukan, namun hanya mengukur satu komponen
dari keseimbangan dinamik. 2

Uji Keseimbangan Berg


Uji ini merupakan uji aktivitas dan keseimbangan
fungsional yang menilai penampilan mengerjakan 14 tugas,
diberikan angka 0 (tidak mampu melakukan) sampai 4
(mampu mengerjakan dengan normal sesuai dengan waktu
dan jarak yang ditentukan) dengan skor maksimum 56.
Tugas-tugas yang dinilai adalah duduk tanpa bantuan,
bangkit dari duduk ke berdiri, berdiri ke duduk, transfer,
berdiri tanpa bantuan, berdiri dengan mata tertutup, berdiri
dengan kedua kaki rapat, berdiri dengan kedua kaki dalam
posisi tandem, berdiri dengan satu kaki, rotasi punggung
saat berdiri, mengambil obyek tertentu dari lantai, berputar
360, melangkahi kursi tanpa sandaran, dan menggapai ke
arah depan saat berdiri. Dilakukan penilaian dua dimensi
dari keseimbangan yaitu kemampuan subyek untuk
mempertahankan postur tegak dan melakukan
penyesuaikan yang tepat pada gerakan yang dikehendaki
22

(gerakan volunter). Dibutuhkan waktu selama 10-20 menit


untuk melaksanakan tugas: duduk, berdiri, berjalan,
berbalik arah 360 derajat, menggapai, dan sebagainya.1
ICC interrater uji ini 0,91. Berdasarkan penelitian,
uji ini merupakan prediktor tunggal terbaik status jatuh.
Untuk kisaran skor 56-54, tiap penurunan 1 nilai berkaitan
dengan peningkatan odds ratio risiko jatuh sebesar 3-4%;
untuk kisaran 54-46, tiap penurunan 1 nilai berkaitan
dengan peningkatan risiko jatuh 6-8%. Nilai 36 atau
kurang, risiko jatuh hampir 100%. 1

Tatalaksana instabilitas dan jatuh


Biaya yang harus dikeluarkan akibat jatuh ternyata
cukup besar, baik dalam konotasi fisik maupun trauma
psikologi, hilangnya kemandirian, atau bahkan kematian.
Oleh karena itu, amat diperlukan berbagai strategi untuk
mengatasi dan mencegah jatuh pada orang berusia lanjut.1
Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah
instabilitas dan riwayat jatuh adalah mengkaji dan
mengobati trauma fisik akibat jatuh; mengobati berbagai
kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh; memberikan
terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan,
penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai;
mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan
yang cukup; pegangan; lantai yang tidak licin, dan
sebagainya.1
Latihan fisik (penguatan otot, fleksibilitas sendi, dan
keseimbangan), latihan Tai Chi, adaptasi perilaku (bangun
dari duduk perlahan-lahan, menggunakan pegangan atau
perabot untuk keseimbangan, dan teknik bangun setelah
23

jatuh) perlu dilakukan untuk mencegah morbiditas akibat


instabilitas dan jatuh berikutnya.1
Perubahan lingkungan acapkali penting dilakukan
untuk mencegah jatuh berulang. Lingkungan tempat orang
usia lanjut tinggal seringkali tidak aman sehingga upaya
perbaikan diperlukan untuk memperbaiki keamanan mereka
agar kejadian jatuh dapat dihindari. 1

B. Gangguan Penglihatan
Gangguan penglihatan adalah ganggaun penglihatan mata
sejenak pada kedua mata bisa terjadi pada gangguan vaskular di
korteks visual kedua sisi. Kehilangan penglihatan sejenak pada
satu mata akibat serangan otak sepintas karena gangguan pada
arteri karotis yang berlangsung <10 menit. Terdapatnya gangguan
penglihatan dengan keluhan kesukaran melakukan pekerjaan
malam hari disertai keluhan secara kualitatif melihat objek
menjadi kurang terang yang biasanya berhubungan dengan
kelainan mata.2
Lansia pada umumnya menderita presbiopi atau tidak
dapat melihat jarak jauh dengan jelas yang terjadi karena
elastisitas lensa mata berkurang (Maryam 2008). Proses
degenerasi dialami oleh berbagai jaringan didalam bola mata, sel-
sel reseptor berkurang, visus kurang tajam dibandingkan pada usia
muda. Keluhan silau (Foto-Fobi) timbul akibat proses penuaan
pada cornea dan lensa (Irianto, 2004). Gangguan mata lain yang
dapat menyebabkan kerusakan penglihatan seperti, katarak,
glaukoma.2

Faktor resiko
24

a. Perubahan Struktur Mata


Perubahan penglihatan dimulai dengan terjadinya
kehilangan kemampuan akomodatif seperti seseorang
mengalami kesulitan membaca huruf - huruf kecil.
Kerusakan kemampuan akomodasi terjadi karena otot-otot
siliaris menjadi lebih lemah dan kendur serta lensa kristalin
mengalami kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk
memusatkan pada penglihatan jarak dekat. Ukuran pupil
menurun penuaan karena sfinkter pupil mengalami
sklerosis. Miosis pupil ini dapat mempersempit lapangan
pandang seseorang dan mempengaruhi penglihatan perifer.2

b. Perubahan Struktur Kelopak Mata


M. Orbicularis terjadi perubahan kedudukan
palpebra yaitu terjadi entropion / ektropion senilis /
involusional pada usia lanjut. Pada ektropion bila margo
palpebra mulai eversi, konjungtiva tersalis menjadi terpapar
(ekspose), ini menyebabkan inflamasi sekunder dan tarsus
akan menebal sehingga secara mekanik akan mempercepat
ektropionnya.2
Retaktor Palpebra inferior mengalami kekendoran
mengakibatkan tepi bawah tarsus rotasi / berputar kearah
luar sehingga memperberat terjadinya entropion. Tarsus
kurang kaku oleh karena proses atropi akan menyebabkan
tepi atas lebih melengkung kedalam sehingga entropion
lebih nyata. Kulit pada palpebra mengalami atropi dan
kehilangan elastisitasnya sehingga menimbulkan kerutan
dan lipatan-lipatan kulit yang berlebihan. Keadaan ini bisa
saja terjadi pada palpebra superior maupun inferior dan
disebut sebagai dermatokalasis.2
25

c. Perubahan Sistim Lakrimal


Pada usia lanjut seringkali dijumpai keluhan nrocos,
kegagalan fungsi pompa pada sistem kanalis lakrimalis
disebabkan oleh karena kelemahan palpebra, eversi
punctum atau malposisi palpebra sehingga akan
menimbulkan keluhan mata kering yaitu adanya rasa tidak
enak seperti terdapat benda asing atau seperti ada pasir,
mata lensa kering bahkan kabur.2

d. Perubahan Pada Kornea


Arcus senilis. Kelainan ini berupa infiltrasi bahan
lemak yang bewarna keputihan bebrbentuk cincin, dibagian
tepi kornea. Mula - mula timbulnya dibagian inferior diikuti
bagian superior berlangsung meluas dan akhirnya
membentuk cincin.2

e. Perubahan Struktur Jaringan dalam Bola Mata


Lensa Crystallina. nukleus makin membesar dan
padat sehingga bagian kortex makin menipis, elastisitas
lensa jadi berkurang, indeks bias berubah (membias sinar
jadi lemah). Lensa yang mula-mula bening transparan
menjadi tampak keruh. Iris mengalami proses degenerasi
menjadi kurang cemerlang dan mengalami depigmentasi
tampak ada bercak bewarna muda sampai putih. Pupil
kontriksi Pada usia tua terjadi 1 mm, replek direk lemah.
Badan kaca (vitreus berdigenerasi konsitensi lebih encer
(Synchisis) dapat menimbulkan keluhan photopsia (melihat
kilatan cahaya saat ada perubahan posisi bila mata).
26

Retina terjadi degenerasi pada gambaran pundus


mata mula-mula tampak merah jingga cemerlang menjadi
suram dan ada jalur-jalur berpigment (Tiroid Appearance)
terkesan seperti kulit harimau. Jumlah sel fotoreseptor
berkurang sehingga adaptasi gelap dan terang memanjang
dan terjadi penyempitan lapangan pandang. 2

Beberapa masalah gangguan penglihatan yang sering terjadi pada


lansia sebagai berikut :

a. Presbiopi
Gangguan penglihatan yang terjadi karena kekakuan
lensa. Menurut penelitian lensa manusia mulai terjadi
kekakuan pada usia 40 tahun sehingga kemampuan
akomodasi menurun. Sinar yang masuk kemata tidak
dibiaskan tepat diretina dan dibutuhkan lensa kaca mata
yang sesuai dengan usia.2.

b. Katarak
Katarak adalah kekeruhan lensa atau kapsul lensa
mata yang disebabkan oleh proses penuaan, diabetes militus
dan pemberian obat kortison dalam waktu lama. Katarak
merupakan penyakit yang paling banyak terjadi pada lansia
(katarak senile) terutama pada usia diatas 70 tahun.
Perubahan biokimiawi yang ditemukan adalah
meningkatnya jumlah protein insoluble dan ion kalcium
dalam lensa. Gejala yang dirasakan lansia adalah
kehilangan secara bertahap, tidak nyeri, penglihatan buruk
saat membaca, pandangan silau, pupil bewarna putih susu.2

c. Glaukoma
27

Adanya peningkatan tekanan intraokular yang


muncul ketika tekanan intraokuler mencapai tingkat
patologi yaitu 60-70 mm Hg. Tingkat tekanan sebesar 20-
30 mm Hg dalam waktu yang lama bisa mengakibatkan
hilangnya penglihatan. Pada glaukoma akut tekanan yang
ekstrim bisa mengakibatkan kebutaan dalam beberapa jam
(Charlene). Tekanan intraokuler normal kurang lebih 15
mmHg dengan rentangan 12-20 mm Hg (guyton, 1991).
Ditimbulkan oleh adanya cairan dalam bilik anterior yang
belum sempat disalurkan keluar, sehingga peningkatan
tegangan dapat menimbulkan tekanan pada saraf optik yang
lama-kelamaan menghilangkan daya penglihatan pada
mata. Pengobatan dengan obat-obatan yang
mengkontriksikan otot-otot sfingter pupil dan oto-otot
siliaris atau operasi membuat lubang pada iris.2

Pengukuran Visus pada Gangguan Penglihatan


Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan mata
untuk mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan
turunnya ketajaman penglihatan. Untuk mengetahui tajam
penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan kartu snellen dan
bila kurang penglihatan (Low vision) maka tajam penglihatan
diukur dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari,
lambaian tangan ataupun proyeksi sinar (Ilyas, 2009). Pengukuran
dilakukan menggunakan Snelen Chart yang sudah dikenal terdiri
atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji
penglihatan jauh. Visus normal adalah 20/20 (ukuran feet), atau 6/6
(dengan satuan ukuran meter). Penghitungan Visus menggunakan
rumus: V= d/D yaitu V = visus atau ketajaman penglihatan, d=
jarak antara kartu Snelen dengan mata orang yang sedang diukur D
= jarak baca penglihatan normal.2
28

Dengan kartu snelen chart standart ini ditentukan tajam penglihatan


seseorang seperti :
1) Bila tajam penglihatan 6/6 maka ia dapat melihat huruf
pada jarak 6 meter (visus normal).
2) Bila tajam penglihatan 6/30 maka lansia dapat melihat
huruf pada baris yang menunjukkan angka 30
3) Bila lansia hanya dapat membaca huruf baris menunjukkan
angka 50, berarti tajam penglihatan lansia 6/50.
4) Bila tajam penglihatan 6/60 berarti hanya dapat melihat
jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat
dilihat pada jarak 60 meter.
5) Dengan uji lambaian tangan maka tajam penglihatan pasien
1/300.
6) Bila sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan.
Keadaan ini disebut tajam penglihatan 1/-.2

Bila seseorang diragukan penglihatan berkurang akibat kelainan


refraksi (miopia, astigmatisme) maka dilakukan uji pinhole yang
dapat dikoreksi dengan kaca mata. Bila pinhole diletakkan didepan
mata penglihatan menjadi kabur berarti ada kelainan organik atau
kekeruhan media penglihatan. 2
Prosedur Pemeriksaan Mata dengan menggunakan Kartu
Snellen.Menurut Depkes RI (2007) prosedur pemeriksaan sebagai
berikut :
Tahap I. Pengamatan:
Pemeriksa memegang senter perhatikan:
1) Posisi bola mata: apakah ada juling
2) Konjungtiva: ada pterigium atau tidak
3) Kornea: ada parut atau tidak
4) Lensa: jernih atau keruh/ warna putih
29

Tahap II. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Tanpa Pinhole:


1) Pemeriksaan dilakukan di pekarangan rumah (tempat yang
cukup terang), responden tidak boleh menentang sinar
matahari.
2) Gantungkan kartu Snellen sejajar mata responden dengan
jarak 6 meter.
3) Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan dan Mata kiri
responden ditutup dengan telapak tangannya tanpa
menekan bola mata.
4) Responden disuruh baca huruf dari kiri-ke kanan setiap
baris kartu Snellen atau dimulai baris teratas atau huruf
yang paling besar sampai huruf terkecil (baris yang tertera
angka 20/20).
5) Bila dalam baris tersebut responden dapat membaca huruf
kurang dari setengah baris/ maka yang dicatat ialah baris
yang tertera angka di atasnya.
6) Bila dalam baris tersebut responden dapat membaca huruf
setengah baris atau lebih maka yang dicatat ialah yang
tertera diangka tersebut
Pemeriksaan Tajam Penglihatan dengan hitung jari:
1) Bila responden belum dapat melihat huruf terbesar dari
kartu Snellen maka mulai hitung pada jarak 3 meter (tulis
3/60).
2) Bila belum bisa terlihat maka maju 2 meter (tulis 2/60), bila
belum terlihat maju 1 meter (tulis 1/60). Bila belum juga
terlihat maka lakukan lambaikan tangan pada jarak 1 meter
(tulis 1/300).
3) Lambaian tangan belum terlihat maka senter mata
responden dan tanyakan apakah responden dapat melihat
sinar senter (tulis 1/-).2
30

C. Infeksi pada usia lanjut

Predisposisi penyakit infeksi pada usia lanjut


Infeksi berarti terjadi keberadaan mikro-organisme didalam
jaringan tubuh penderita dan mengalami replikasi. Jadi infeksi
merupakan proses interaksi antara kuman (agent), pejamu (host)
dan lingkungan.1
Faktor predisposisi pada usia lanjut yang memudahkan
terjadinya infeksi antara lain :
A. Faktor intrinsik penderita usia lanjut sendiri seperti yang
terjadi akibat proses menua
B. Faktor kuman :
a. Jumlah kuman yang masuk dan bereplikasi
b. Virulensi kuman
C. Faktor lingkungan : apakah infeksi terjadi atau didapat di
masyarakat rumah sakit atau di panti werda.1
Berbagai jenis infeksi dapat mengenai usia lanjut mulai dari
yang paling ringan seperti influenza sampai dengan yang dapat
mengancam jiwa seperti pneumonia, dan dari keadaan yang
sederhana sampai sepsis.1
31

Gambar 1.5 interaksi beberapa faktor predisposisi infeksi pada usia lanjut.1

D. KESEPIAN
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seorang
lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau teman
dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami
berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai
penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik,
terutama gangguan pendengaran. 3
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri.
Banyak diantara lansia yang hidup sendiri tidak mengalami
kesepian, karena akivitas sosial yang masih tinggi tetapi dilain
pihak terdapat lansia yang walaupun hidup dilingkungan yang
beranggotakan cukup banyak juga mengalami kesepian. 3
Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial
sangat berarti , karena bisa bertindak menghibur, memberikan
motivasi untuk lebih meningkatkan peran sosial penderita,
disamping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah
bila memang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.3

E. Hipertensi
a. Faktor resiko
faktor risiko yang dapat dimodifikasi :
a) Genetik
b) Jenis kelamin
c) Usia
dapat dimodifikasi :
a) Obesitas
b) Kurang berolahraga atau aktivitas
c) Merokok
32

d) Stress
e) Pola makan.4

b. Penyelesaian masalah pada hipertensi :


a) Mengontrol tekanan darah secara rutin
Dengan mengontrol tekanan darah dapat
mengetahui perkembangan tekanan darah.5
b) Mengatur pola makan yang baik
Menghindari kebiasaan mengkonsuinsi
lemak jenuh yang mempunyai faktor resiko terbukti
berhubungan dengan kejadian hipertensi. Kebiasaan
sering mengkonsumsi lemak jenuh erat kaitannya
dengan peningkatan berat badan yang berisiko
terjadinya. Mengkonsumsi garam atau
mengkonsumsi asin merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi.5
Ada pun makanan yang harus dihindari atau
dibatasi oleh pen de rita hipertensi adalah:
i. Makanan yang berkadar lemakjenuh tinggi
(otak, ginjal, paru, minyak kelapa, gajih).
ii. Makanan yang diolah dengan menggunakan
garam natrium (biscuit, crackers, keripikdan
makanan kering yang asin).
iii. Makanan dan minuman dalam kaleng
(sarden, sosis, korned, sayuran serta buah-
buahan dalam kaleng, soft drink).
iv. Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan
sayur/buah, abon, ikan asin, pindang, udang
kering, telur asin, selai kacang).
v. Susu full cream, mentega, margarine, keju
mayonnaise, serta sumber protein hewani
33

yang tinggi kolesterol seperti daging merah


(sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam).
vi. Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi,
saus tomat, saus sambal, tauco serta bumbu
penyedap lain yang pada umumnya
mengandunggaram natrium.
vii. Alkohol dan makanan yang mengandung
alkohol seperti durian, tape.6
c) Rutin berolahraga
Olahraga terbukti dapat merombak lemak
yang berbahaya. Olahraga juga dapat menghindari
terjadinya penimbunan lemak di dinding pembuluh
darah. Apabila penderita hipertensi jarang
melakukan olahraga maka penimbunan lemak di
dinding pembuluh darah tidak dapat dihindari,
akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah
(hipertensi).5
d) Menghindari stress berlebih.
Stess dapat meningkatkan aktivitas saraf
simpatis , yang dapat meningkatkan tekanan darah
secara bertahap.5
e) rutin minum obat
Obat antihipertensi sangat mempengaruhi
keterkontrolan tekanan darah pada penderita
hipertensi.5

F. Kesehatan Lingkungan
Kondisi lansia yang mengalami penurunan sebenarnya
dapat dikurangi jika para lansia memiliki keinginan yang kuat
untuk beraktivitas secara fisik dan berinteraksi sosial karena hal
tersebut mampu melatih gerak tubuh lansia, melatih memori dan
memperlambat kepikunan serta degradasi mental lainnya. Dengan
34

demikian lansia menjadi mandiri dan tetap sehat. Inilah yang


menjadi tujuan dari diciptakannya lingkungan therapeutic yaitu
berkontribusi dalam pemulihan dengan mendukung fisik dan
mental lansia untuk tetap produktif di hari tua. Lingkungan
therapeutic diharapkan menjadi lingkungan yang memungkinkan
untuk melatih kemampuan, mengurangi unsur frustasi. Latihan
yang dilakukan sangat esensial untuk memberikan dukungan
terhadap fisik, kemampuan sosial dan kognitif. Untuk melakukan
perawatan ketiga hal tersebut maka peran darilingkungan yaitu
sebagai fasilitator dan simbol kualitas menjadi penting untuk
diwujudkan.1
Peran pertama lingkungan therapeutic sebagai fasilitator
yaitu mendukung fisik dan kemampuan sosial melalui dukungan
terhadap aktivitas fisik dan kegiatan sosialisasi. Sebagai contoh,
lansia yang mengalami kesulitan dalam mobilisasi membutuhkan
alat bantu berupa tongkat atau kursi roda. Bagi lansia yang
menggunakan kursi roda maka membutuhkan ruang yang cukup
luas untuk beraktifitas. Sedangkan dalam hal bersosialisasi,
pengorganisasian dalam ruang haruslah tepat untuk menciptakan
interaksi yang kondusif. Selain itu penyediaan alat sebagai media
interaksi yang menarik bagi lansia, seperti permainan catur yang
dapat memperlancar interaksi. Peran kedua yaitu sebagai simbol
kualitas, yang menimbulkan suasana (atmosfir) tertentu pada
ruangan dan berhubungan dengan dukungan terhadap kemampuan
kognitif. Kemampuan kognitif merupakan kemampuan mental
untuk mengonstruksikan atau memprediksikan suatu lingkungan
(yang sekiranya tampak terlalu besar untuk dipersepsikan secara
sekilas), serta menciptakan suatu matriks dari pengalaman-
pengalaman lingkungan di mana pengalaman baru dapat
diintegrasikan ke dalamnya. Kognitif ini terbentuk dari informasi
dan stimulasi luaryang didapat dari lingkungan. Stimulasi
35

merupakan hal yang dibutuhkan sesuai pernyataan berikut: The


need for stimulus variation has been shown to be a basic human
need. Aspek-aspek lingkungan fisik yang terkait dengan informasi
dan stimulasi adalah cahaya, warna, material, udara, suara dan
bau.1
Pada lansia, menurunnya kemampuan indera perasa (sense)
berakibat pada kurangnya informasi yang didapat dari lingkungan
dan kepekaan akan stimulasi menurun. Terlalu banyak informasi
dan stimulasi bisa menjadi suatu gangguan bagi para lansia. Hal ini
disebabkan karena saat berada dalam situasi yang kompleks, asing
dan tidak dapat diperkirakan, lansia sulit beradaptasi, merasa stress
dan waktu untuk memproses atau bereaksi menjadi lebih lambat.
Dengan demikian lingkungan fisik yang dirancang untuk lansia
sebaiknya mampu merespon kondisi dan kebutuhan-kebutuhannya.
Lingkungan sebisa mungkin menyesuaikan dengan karakter dan
kategori dari lansia. Tiap lansia membutuhkan bentuk lingkungan
yang berbeda-beda.1

2. Farmakologi pada geriatri


Pada geriatri telah mengalami penurunan fungsi organ sehingga
aktivits obat dalam tubuh geriatri serta pemberian obat pada geriatri
mengalami perubahan.2
Farmakokinetik
a. Absorbsi
Bila obat yang diabsorbsi mengalami metabolisme lintas
pertama di hepar maka bioavibilitas obat yang masuk sirkulasi
mayor akan lebih besar karena fungsi metabolisme hepar sudah
menurun. Perlu penurunan dosis misalnya obat-obat kelompok
penyekat beta.2
b. Distribusi
36

Obat-obat yang bersifat asam FOB-nya meningkat


sedangkan obat-obat yang besifat basa FOT-nya naik, dapat
menurunkan efek terapi dan memperpanjang waktu paruhnya.
Obat-obat yang mempunyai daya kelarutan lemak tinggi akan
berdistribusi luas sehingga mula kerja obat menjadi lebih lambat
dan waku paruh bertambah panjang.2
c. Metabolisme
Obat-obat yang mengalami metabolisme di hepar misalnya
paracetamol, salisilat, diazepam, propanolol, dan warfarin
eliminasinya akan menurun oleh karena kemunduran kapasitas
fungsi hepar. Bila obat tersebut diberikan bersama-sama dengan
obat inhibitor enzim maka proses eliminasi obat akan bertambah
lambat sedangkan waktu paruh meningkat. Obat-obat yang
termasuk enzim inhibitor adalah allupurinol, INH, simetidin,
kloramfenikol, eritromisin, valproat, ciprofloxacin, metronidazol,
Ca antagonist.2
d. Ekskresi
Penurunan fungsi ginjal menyebabkan eliminasi obat
berkurang sehingga pada pemberian obat dengan dosis lazim KOP
dalam darah akan menjadi lebih besar dan waktu paruh menjadi
lebih panjang.2
Farmakodinamik
Obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimiawi
selular intensitasi pengaruhnya akan menurun, misalnya agonis beta dan
index terapi obat menurun. Obat-obat yang cara kerjanya penghambat
proses biokimiawi selular pengaruhnya akan meningkat sehingga efek
farmakologi obat dapat sangat menonjol sehingga menjadi toksik,
misalnya antagonis beta, antikolinergik, antipsikotik, anti-anxietas dan
lainnya.2
Rasionalisasi obat pada usia lanjut
a. Rejimen pengobatan
37

1) Periode pengobatan jangan terlalu lama.


2) Jumlah/jenis obat haruslah dibuat seminimal mungkin
3) Obat harus diberikan atas diagnosis pasti
4) Harus diketahui dengan jelas efek obat, mekanisme kerja
obat, dosis dan efek samping obat yang mungkin timbul.
Apabila ragu-ragu lebih baik tidak memberi obat
5) Apabila diperlukan pemberian polifarmasi, prioritaskan
pemberian obat yang ditujukan untuk mengurangi
gangguan fungsional
6) Pemberian obat harus dimulai dengan dosis kecil, kemudian
dititrasi setelah beberapa hari
7) Frekuensi pemberian obat harus diupayakan sesedikit
mungkin, kalau mungkin sekali sehari.2
b. Pengurangan dosis
Dosis awal obat kira-kira lebih sedikit dari seapruh dosis yang
diberikan pada usia muda.
c. Meninjau ulang pengobatan
d. Kepatuhan penderita2

Tatalaksana pada masalah geriatri


a. instabilitas dan jatuh
Biaya yang harus dikeluarkan akibat jatuh ternyata cukup besar,
baik dalam konotasi fisik maupun trauma psikologi, hilangnya
kemandirian, atau bahkan kematian. Oleh karena itu, amat diperlukan
berbagai strategi untuk mengatasi dan mencegah jatuh pada orang
berusia lanjut.1
Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas
dan riwayat jatuh adalah mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat
jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan
jatuh; memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara
berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai;
38

mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang


cukup; pegangan; lantai yang tidak licin, dan sebagainya.1
Latihan fisik (penguatan otot, fleksibilitas sendi, dan
keseimbangan), latihan Tai Chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk
perlahan-lahan, menggunakan pegangan atau perabot untuk
keseimbangan, dan teknik bangun setelah jatuh) perlu dilakukan untuk
mencegah morbiditas akibat instabilitas dan jatuh berikutnya.1
Perubahan lingkungan acapkali penting dilakukan untuk mencegah
jatuh berulang. Lingkungan tempat orang usia lanjut tinggal seringkali
tidak aman sehingga upaya perbaikan diperlukan untuk memperbaiki
keamanan mereka agar kejadian jatuh dapat dihindari. 1
b. Pengukuran Visus pada Gangguan Penglihatan
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan mata untuk
mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan turunnya
ketajaman penglihatan. Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang
dapat dilakukan dengan kartu snellen dan bila kurang penglihatan
(Low vision) maka tajam penglihatan diukur dengan menentukan
kemampuan melihat jumlah jari, lambaian tangan ataupun proyeksi
sinar (Ilyas, 2009). Pengukuran dilakukan menggunakan Snelen Chart
yang sudah dikenal terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun
mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Visus normal adalah 20/20
(ukuran feet), atau 6/6 (dengan satuan ukuran meter). Penghitungan
Visus menggunakan rumus: V= d/D yaitu V = visus atau ketajaman
penglihatan, d= jarak antara kartu Snelen dengan mata orang yang
sedang diukur D = jarak baca penglihatan normal.1
Dengan kartu snelen chart standart ini ditentukan tajam penglihatan
seseorang seperti :
1) Bila tajam penglihatan 6/6 maka ia dapat melihat huruf pada
jarak 6 meter (visus normal).
2) Bila tajam penglihatan 6/30 maka lansia dapat melihat huruf
pada baris yang menunjukkan angka 30
39

3) Bila lansia hanya dapat membaca huruf baris menunjukkan


angka 50, berarti tajam penglihatan lansia 6/50.
4) Bila tajam penglihatan 6/60 berarti hanya dapat melihat jarak 6
meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada
jarak 60 meter.
5) Dengan uji lambaian tangan maka tajam penglihatan pasien
1/300.
6) Bila sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan.
Keadaan ini disebut tajam penglihatan 1/-. 1

Bila seseorang diragukan penglihatan berkurang akibat kelainan


refraksi (miopia, astigmatisme) maka dilakukan uji pinhole yang dapat
dikoreksi dengan kaca mata. Bila pinhole diletakkan didepan mata
penglihatan menjadi kabur berarti ada kelainan organik atau kekeruhan
media penglihatan. 1
Prosedur Pemeriksaan Mata dengan menggunakan Kartu
Snellen.Menurut Depkes RI (2007) prosedur pemeriksaan sebagai
berikut :
Tahap I. Pengamatan:
Pemeriksa memegang senter perhatikan:
1) Posisi bola mata: apakah ada juling
2) Konjungtiva: ada pterigium atau tidak
3) Kornea: ada parut atau tidak
4) Lensa: jernih atau keruh/ warna putih
Tahap II. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Tanpa Pinhole:
1) Pemeriksaan dilakukan di pekarangan rumah (tempat yang
cukup terang), responden tidak boleh menentang sinar
matahari.
2) Gantungkan kartu Snellen sejajar mata responden dengan jarak
6 meter.
40

3) Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan dan Mata kiri


responden ditutup dengan telapak tangannya tanpa menekan
bola mata.
4) Responden disuruh baca huruf dari kiri-ke kanan setiap baris
kartu Snellen atau dimulai baris teratas atau huruf yang paling
besar sampai huruf terkecil (baris yang tertera angka 20/20).
5) Bila dalam baris tersebut responden dapat membaca huruf
kurang dari setengah baris/ maka yang dicatat ialah baris yang
tertera angka di atasnya.
6) Bila dalam baris tersebut responden dapat membaca huruf
setengah baris atau lebih maka yang dicatat ialah yang tertera
diangka tersebut
Pemeriksaan Tajam Penglihatan dengan hitung jari:
1) Bila responden belum dapat melihat huruf terbesar dari kartu
Snellen maka mulai hitung pada jarak 3 meter (tulis 3/60).
2) Bila belum bisa terlihat maka maju 2 meter (tulis 2/60), bila
belum terlihat maju 1 meter (tulis 1/60). Bila belum juga
terlihat maka lakukan lambaikan tangan pada jarak 1 meter
(tulis 1/300).
3) Lambaian tangan belum terlihat maka senter mata responden
dan tanyakan apakah responden dapat melihat sinar senter (tulis
1/-).1
c. Infeksi
1) Terapi Antibiotik
Terapi infeksi selalu memerlukan anti mikroba yang sesuai
dengan penyebab infeksi. Tetapi pada infeksi virus banyak
virus tidak ada anti virusnya. Sehingga diperlukan peningkatan
daya tahan tubuh yang prima untuk mengeliminasi virus
tersebut. Beberapa infeksi virus seperti influenza, pneumonia,
hepatitis, meningitis enterovirus dapat dilakukan pencegahan
dengan vaksinasi untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut.
41

Untuk infeksi bakterial diperlukan terapi antibiotika yang


sesuai dengan hasil kultur. Tetapi bila belum ada hasil kultur,
diperlukan terapi empirik yang sesuai dengan lokasi infeksi,
lokasi penderita dan lokasi terjadinya infeksi (di masyarakat,
atau rumah sakit).1
Terapi harus segera diberikan bila semua spisemen unuk
pemeriksaan mikrobiologis sudah dikirimkan. Secara empiris
antibiotik berspektum luas, antara lain golongan beta laktam
atau kuinolon dapat segera diberikan. Antibiotik berspektrum
sempit baru bisa diberikan apabila hasil kultur dan
sensivitasnya mendukung. 3
Tiga prinsip pokok yang perlu diperhatikan pada
pengobatan usia lanjut, yaitu pemilihan obat dan dosis perlu
pemahaman yang komprehensif, obat tertentu mempunyai efek
samping lebih besar seperti aminoglokosid, beta laktam,
makrolid, vancomisin, dll. Pemilihan antibiotik secara empiris
perlu memperhatikan tempat infeksi, penyebab dan status
klinis.3
Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis antibiotik perlu
diingat adanya perubahan fungsi organ akibat proses menua
serta ko-morbid yang ada pada usia lanjutyang semuanya akan
berakibat terjadinya perubahan distribusi obat, metabolisme
obat, eksresi obat, dan interaksi obat. Penuaan sendiri telah
menyebabkan menurunnya filtrasi glomerulus sebanyak 50%
pada usia 70 tahun, sehingga diperlukan penurunan dosis obat
yang dieksresi lewat ginjal. Beberapa antibiotik juga
berinteraksi dengan obat obat lain yang secara bersamaan
sering diminum usia lanjut untuk terapi ko-morbidnya.1
Interaksi obat tersebut dapat meningkatkan toksisitas obat,
atau penurunan efektivitas obat. Contohnya makrolid,
tetrasiklin, sulfa, dll (tidak termasuk azitromisin dapat
42

meningkatkan toksisitas digoksin, warfarin, teofilin, dan


terfenadin atau pemakaian antasid atau H 2 bloker akan
menurunkan absorbsi kuinolon.1
Efektivitas antibiotik juga dapat berubah atau menurun
karena adanay perubahan motilitas gaster, penurunan
permukaan untuk absorbsi, peningkatan jaringan adiposa dan
interaksi obat. 1
43

Tabel 2.1 Terapi antibiotik untuk infeksi


44

Tabel 2.2 Terapi antibiotik untuk infeksi

2) Terapi Suportif
Harus selalu diingat bahwa sebagian besar usia lanjut sudah
dalam keadaan gizi yang kurang baik sebelumnya (keadaan ini
pula yang menyebabkan lanisa mudah terserang infeksi).
Dengan demikian upaya perbaikan gizi penderita memegang
peranan penting. Pemberian diet dengan kalori dan protein
yang cukup harus diupayakan, bila perlu dengan pemberian
nutrisi enteral dan parenteral. Penanganan hidrasi yang cukup
juga seringkali diperlukan untuk membantu penyembuhan
penderita. Pemberian vitamin dan mineral (Cu, Se, Zn)
seringkali diperlukan pada keadaan gizi yang kurang baik. 3

d. Hipertensi
Guideline JNC 8 mencantumkan 9 rekomendasi penanganan
hipertensi . Populasi berusia lebih dari atau sama dengan 60 tahun
45

terapi farmaolokogis untuk menurunkan tekanan darah dimulai


tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 150 mmHg, atau
tekanan darah diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmhg dengan
target sistolik kurang dari atau sama dengan 150 mmhg, dan target
diastolik kurang dari atau sama dengan 90 mmhg. 7
Table 1. obat antihipertensi yang direkomendasikan JNC 8.7

Penerapan Lingkungan Therapeutic di Rumah Tinggal Lanjut Usia


Kebanyakan lansia di Indonesia tinggal di rumah sendiri atau rumah milik
anak/kerabat lain maka upaya dalam menciptakan lingkungan therapeutic
perlu diterapkan pada rumah tinggal. Penerapan ini dapat dijabarkan
berdasarkan peran lingkungan therapeutic sebagai fasilitator dan simbol
kualitas terhadap pemenuhan kebutuhan lansia dengan memberi dukungan
terhadap kemampuan fisik, sosial dan kognitif. Berikut adalah beberapa
penerapan peran lingkungan therapeutic sebagai fasilitator untuk dukungan
terhadap kemampuan fisik dan sosial:
46

a. Kemampuan fisik
1) Ramp diaplikasikan untuk kemudahan mobilitas menuju lantai
di atas atau di bawahnya dan handrails diaplikasikan sebagai
pegangan melangkah.
2) Luasan ruang harus mencukupi bagi lansia yang menggunakan
kursi roda, terutama dalam kamar mandi dan dapur.
3) Bathtub dan wc dilengkapi dengan dudukan , disertai pegangan
besi pada tembok dengan lantai yang memiliki tekstur kasar
dan tidak licin.
4) Lantai ruangan berada pada ketinggian level yang sama untuk
mengurangi risiko kecelakaan.
5) Jalan setapak dari semen bertekstur batu-batu kecil di halaman
rumah dapat dimanfaatkan untuk refleksi telapak kaki.1
b. Kemampuan sosial
Pendengaran lansia mengalami penurunan sehingga jarak ruang
interaksinya perlu diperhatikan. Sebaiknya ruang interaksi diperkecil
dengan penyusunan antar bangku yang tidak terlalu jauh. 1

Selanjutnya adalah peran lingkungan therapeutic sebagai simbol kualitas


untuk memberi dukungan terhadap kemampuan kognisi. Yang perlu diperhatikan
adalah membuat stimulasi dan informasi lingkungan semakin jelas. Dengan
mengenal baik lingkungan, dapat memberikan kepercayaan diri, rasa aman dan
nyaman bagi lansia untuk berada didalamnya. Berikut adalah beberapa
kemungkinan penerapan-penerapannya:

a. Anak tangga dikontraskan dalam pewarnaan, tingkat keterangan


(brightness) dan tekstur. Lansia lebih peka terhadap warna yang
hangat dengan tingkat keterangan yang tinggi. Warna seperti
kuning, oranye atau merah lebih diperhatikan ketimbang gelap.
Warna gelap seperti biru, hijau atau ungu sulit dibedakan.
b. Cahaya yang menyilaukan atau refleksi dari suatu permukaan
dikurangi sehingga detail pada cahaya yang tidak terlalu menusuk.
47

c. Kontras yang tinggi pada warna, keterangan cahaya dan tekstur


dapat memperkaya sensor lingkungan. Sebaliknya, area homogen
yang umum ditemui di institusi sesungguhnya dapat memicu
disorientasi dan stress.
d. Pencahayaan remang menciptakan suasana nyaman untuk
beristirahat dan tidur bagi lansia.
e. Perbanyak stimulasi dari alam seperti cahaya dan udara karena
lebih menyehatkan dan menimbulkan energi yang positif.
f. Memasukkan sinar matahari ke dalam ruangan sangat bagus,
karena memicu kulit untuk memproduksi vitamin D yang berguna
bagi tulang.
g. Perabotan lama milik lansia menjadi pengingat kenangan serta
berfungsi sebagai alat pengenal lingkungan bagi mereka.
h. Cermin sebagai alat untuk mendorong lansia mengingat rupanya
dan mengkontrol penampilannya merupakan sesuatu yang baik
secara psikologis.1

Penerapan lingkungan therapeutic bagi lansia yang dilihat secara fisik


seperti diatas bertujuan untuk meningkatkan fungsi dari lansia dalam mengatasi
penurunan kondisi yang dialaminya. Tiga komponen penting dalam lingkungan
therapeutic yaitu tingkah laku, organisasi dan fasilitas, penerapan yang telah
dijelaskan lebih mengarah kepada komponen tingkah laku dan fasilitas. Untuk
komponen organisasi, di dalam tempat tinggal lansia diwujudkan dalam hubungan
antara lansia dengan orang yang tinggal bersamanya. Keberadaan mereka sangat
berarti bagi lansia karena telah memberi perhatian, dukungan dan bantuan dalam
menjalani kehidupannya. Kebiasaan-kebiasaan yang telah terbina seperti waktu
makan bersama atau menonton bersama merupakan sesuatu yang baik untuk
psikologi lansia agar tidak merasa kesepian dalam menjalani masa tuanya. Bahkan
sebenarnya hanya dengan duduk dan melihat kegiatan dari orang lain bisa menjadi
partisipasi yang aktif bagi lansia yang lebih rentan. Akhirnya yang menjadi kunci
keberhasilan dalam penerapan lingkungan therapeutic di tempat tinggal lansia
adalah terbentuknya kolaborasi yang baik antara tiga komponen (tingkah laku,
48

organisasi dan fasilitas) dalam memenuhi kebutuhan lansia dan menjaga kondisi
kesehatannya sehingga menimbulkan rasa percaya diri dan mandiri.1

Daftar Pustaka
1. Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid III. Jakarta.
Internal Publishing; 2014.
2. Darmojo B. Buku Ajar Ilmu Geriatri. Edisi ke-5. Jakarta. FKUI; 2015.
3. Martono H, Pranaka K. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke 5.
Jakarta : FKUI ; 2015
4. Hafiz,M. dkk. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN HIPERTENSI PADA KELOMPOK LANJUT USIA. Vol 5.
No 7. Bali : universitas udayana. 2016.
5. Herwati. Sartika, w. TERKONTROLNYA TEKANAN DARAH
PENDERITA HIPERTENSI BERDASARKAN POLA DIET
DANKEBIASAANOLAH RAGA DIPADANGTAHUN 2011. Vol 8. No
1. Padang : jurnal kesehatan masyarakat. 2014.
6. Kemenkes RI. Hipertensi. Pusat dan data kesehatan kemenkes RI : Jakarta
selatan. 2014.
7. Muhadi. JNC 8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi
Dewasa. Vol 43. No 1. Jakarta : FK UI.2016
49

Anda mungkin juga menyukai