Anda di halaman 1dari 13

SATUAN ACARA PENYULUHAN

RISIKO JATUH PADA PADA KELUARGA Tn. S

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Profesi Ners


Stase Gerontik

Disusun oleh :
Sergius Kawyan

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI
2020
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok Bahasan : Gerontik

Sub Pokok Bahasan : Risiko jatuh pada lansia

Sasaran: Pasien Lansia dan Keluarga

Hari/Tanggal: Rabu, 19 Desember 2020 Waktu: 10.00 WIT

Tempat: Rumah keluarga Tn. S

I. Latar Belakang
Di Indonesia keberadaan seorang anggota keluarga berusia lanjut dirumah merupakan hal
yang biasa. Bahkan adanya “orang tua” di rumah,dirasakan sebagai penghangat suasana
rumah, sebagai pengayom, bahkan sebagai tempat mengadu bagi seisi rumah. Akan
menjadi masalah bila warga usia lanjut ini mengalami sakit atau terganggu mobilitas dan
kemandiriannya, ia menjadi seorang pasien. Pada kondisi ini diperlukan seorang yang
dapat mendampingi , menemui, bahkan merawat dan membantu pasien secara penuh.
Proses menua bukanlah suatu penyakit ataupun kondisi hendaya,walaupun sebagai besar
orang usia lanjut mengalami kemunduran kemampuan fungsionalnya yang sering
disebabkan oleh akibat dari berbagai penyakit kronik yang umumnya menyertai proses
menua. Proses menua adalah penjumlahan semua perubahan yang terjadi dengan
berlalunya waktu.Perubahan ini menjadi penyebab atau berkaitan erat dengan
meningkatnya kerentanan tubuh terhadap penyakit, karena berkurangnya kemampuan
tubuh dalam proses-proses penyesuaian diri dalam mempertahankan keseimbangan tubuh
terhadap rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh. Hal yang nyata adalah terjadi
keterbatasan kapasitas fungsi secara bertahap dan mengurangi kecepatan aktivitas yang
pernah mampu dikerjakan sebelumnya.
Pada umumnya, penyakit yang diderita orang usia lanjut bersifat kronik diselingi dengan
serangan akut. Urutan pola penyakit terbanyak pada orang usia lanjut adalah penyakit
jantung dan pembuluhan darah, penyakit sendi dan tulang, penyakit kencing manis, disusul
dengan penyakit sistem pernapasan.Deretan penyakit ini sangat berpeluang untuk
menimbulkan kecacatan dan mengganggu kemandirian sehingga dapat menyebabkan risiko
jatuh pada lansia
II. Tujuan umum
Setelah mendapatkan penyuluhan selama 30 menit pasien dan keluarga mengerti dan
memahami tentang risiko jatuh pada lansia
III. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti pendidikan kesehatan selama 1x30 menit, pasien dankeluarga
diharapkan mampu:
1. Menjelaskan tentang pengertian lansia dan jatuh.
2. Menyebutkan penyebab resiko jatuh pada lansia.
3. Menjelaskan pencegahan risiko jatuh pada lansia
IV. Metode
Ceramah, diskusi dan Tanya jawab.
V. Media
Leaflet
VI. Proses Pelaksanaan
VII. Materi
1. Pengertian lansia.
2. Penyebab jatuh pada lansia.
3. Pencegahan risiko jatuh pada lansia
VIII. Seting tempat
Duduk saling berhadapan dengan penyaji berada didepan.
IX. Evaluasi
1. Kriteria Struktur
a. Penyuluh mempersiapkan satuan acara penyuluhan.
b. Penyuluh mempersiapkan dan membawa media untuk penyuluhan(leaflet dan
lembar balik).
c. Kontrak dengan keluarga sudah dilakukan.
2. Kriteria Proses.
a. Pada awal kunjungan, petugas sudah menjelaskan tujuan dilakukan kunjungan
b. Selama kegiatan penyuluhan, klien aktif mendengarkan dan memperhatikan.
c. Klien aktif saat mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
d. Mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
e. Kontrak telah diingatkan oleh petugas.
3. Kriteria hasil.
a. Klien kooperatif selama diskusi berlangsung
b. Klien dan keluarga kooperatif bertanya dan menjawab pertanyaan petugas.
c. Klien dan keluarga dapat menjelaskan pengertian, penyebab, dan pencegahan
resiko jatuh pada lansia
X. Struktur Organisasi
Ketua + Fasilitator : Sergius Kawyan
Penyaji :
Observer :
Daftar Pustaka

Beare & Stanley. 2007.Buku Ajar Keperawatan Gerontik , Edisi 2. Jakarta :EGC.Pasien dan
Keluarga

Bandiyah, Siti. 2009.Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik . Jilid Pertama.Edisi Pertama.
Yogyakarta : Nuha Medika.Maas, et al. 2011.

Asuhan Keperawatan Geriatrik Jakarta : EGC.Setiadi Siti, 2000.Pedoman Praktis Perawatan


Kesehatan. Jakarta : FakultasKedokteran Universitas Indonesia
Lampiran

RISIKO JATUH PADA LANSIA

1. Pengertian
Menurut WHO dalam Bandiyah (2009) lanjut usia meliputi :
a. Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) = antara 60 dan 74 tahun
c. Lanjut usia tua (old ) = antara 75 dan 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old ) = diatas 90 tahun
Menurut Undang-undang RI nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia dalam
Bandiyah (2009): yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia
di atas 60 tahun. Pada lansia umumnya mengelami gangguan atau penurunan fungsi tubuh
sehingga dapat menyebabkan keterbatasan fungsi fisik yang dapat menyebabkan masalah
pada kesehatan lansia itu sendiri. Salah satu masalah yang palig sering terjadi pada lansia
adalah jatuh. Lansia sangat berisiko terhadap kejadian jatuh. Jatuh adalah suatu kejadian
yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring atau terduduk dilantai maupun tempat
yang lebih redah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka, trauma, dan cedera.

2. Penyebab resiko jatuh


a. Faktor Intrinsik
Merupakan faktor penyebab yang timbul dalam diri lansia itu sendiri, seperti
1) Proses penuaan.
Seiring dengan terjadinya proses penuaan, terjadi penurunan kekuatan dan daya tahan
otot dan tulang mulai rapuh. Pada lansia bila terjadi jatuh,akan sangat cepat timbul
cedera pada organ yang mengalami benturan.
2) Berbagai penyakit degenerative seperti :
a) Stroke
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai
darah ke otak. Jaringan otak yang tidak mendapatkan suplai darah dapat
mengalami kematian sehingga dapat mengganggu sistem kerja tubuh. Tubuh
dapat mengalami kelemahan dan kehilangan keseimbangan. Tidak jarang stroke
juga disertai dengan lumpuhnya satu sisi tubuh, sehingga pada lansia yang
mengalami stroke sangat berisiko mengalami jatuh.
b) Parkinson
Parkinson adalah penyakit neurodegenerative progresif yang berkaitan erat
dengan usia. Penyakit ini ditandai dengan penurunan kemampuan melihat, tremor
(gemetar) dan kerusakan koordinasi motorik kasar sehingga lansia akan
mengalami kesulitan saat beraktivitas.
c) Gangguan kardiovaskuler
Gangguan kardiovaskuler seperti hipertensi dan penyakit jantung lainnya dapat
mengganggu sirkulasi darah ke jaringan. Darah berperan dalam metabolisme
karena didalamnya terdapat oksigen dan nutrisi yang diperlukan oleh sel. Jaringan
yang tidak mendapat suplai oksigen dan darah akan mengalami gangguan dan
kehilangan fungsi. Tubuh umumnya akan fokus untuk mensuplai darah ke organ
vital seperti otak, jantung dan paru. Organ – organ ekstremitas umumnya akan
mengalami kekurangan suplai darah sehingga dapat menyebabkan kelemahan.
3) Depresi
Depresi yang terjadi pada lansia dapat mengalihkan perhatian lansia saat melakukan
aktivitas, sehingga pada lansia yang mengalami depresi akan berkurang perhatiannya
saat berjalan sehingga tidak menyadari akan hal-hal yang dapat mencederai dirinya
4) Gangguan penglihatan
Pada lansia umumnya mengalami penurunan daya penglihatan terkait dengan katarak
dan penurunan tonus otot mata. Lansia tidak mampu melihat dengan baik lingkungan
sekitarnya sehingga dapat berisiko mengalami jatuh.
5) Dehidrasi
Dehidrasi dapat disebabkan oleh diare, demam serta asupan cairan yang kurang
sehingga dapat timbul ketidakseimbangan pada tubuh. Kondisi yang tidak seimbang
pada lansia dapat menimbulkan jatuh saat lansia melakukan aktivitas.
b. Faktor Ekstrinsik
Faktor Ekstrinsik, merupakan faktor penyebab yang timbul bukan dari dalam diri lansia,
dapat berupa orang, barang maupun kondisi lingkungan sekitar lansia, seperti :
1) Alat atau perlengkapan rumah yang sudah rapuh atau tergeletak di bawah tidak pada
tempatnya.
2) Tempat tidur yang tidak stabil
3) Lantai yang licin, basah, menurun serta karpet yang tidak dilem atau dalam posisi
terlipat tidak rapi di bawah.
4) Keset yang tebal atau menekuk/terlipat di pinggirnya
5) Benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser
6) Tidak adanya tempat pegangan, tempat pegangan yang tidak kuat atau tidak mudah
dipegang
7) Penerangan yang tidak baik
8) Alat bantu jalan yang rapuh, tidak tepat ukuran, berat maupun cara penggunaannya
9) Ketinggian meja dan kursi harus ergonomis sesuai dengan kondisi pasien
10) Alas kaki yang tepat sesuai dengan ukuran, berjalan hanya dengan menggunakan
kaus kaki tanpa alas kaki lainnya
TERAPI MODALITAS KELOMPOK

Terapi Musik

1. Pengertian Terapi Musik

Menurut Aspiani (2014) terapi musik adalah keahlian menggunakan musik dan elemen
musik oleh seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan
kesehatan mental, fisik, emosional dan spiritual. Terapi musik adalah suatu bentuk terapi
dengan mempergunakan musik secara sistematis, terkontrol dan terarah di dalam
menyembuhkan, merehabilitasi, mendidik serta melatih orang yang menderita gangguan
fisik, mental dan emosional.

Menurut Mucci (2004, dalam Saraswati, 2016), terapi musik adalah menggunakan musik
yang sederhana, menenangkan dan mempunyai tempo yang teratur sebagai salah satu cara
untuk mengatasi stres dan menimbulkan kondisi rileks pada seseorang. Djohan (2006 dalam
Saraswati, 2016) mendefinisikan terapi musik adalah penggunaan musik dan atau elemen
musik (suara, irama, melodi dan harmoni) yang bertujuan untuk membangun komunikasi,
meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas, mengungkapkan
ekspresi dan untuk mencapai tujuan terapi lainnya.

2. Jenis-jenis Musik Terapi

Menurut Mucci (2004 dalam Saraswati, 2016), pemilihan jenis musik sangat penting untuk
memberikan efek terapi. Musik yang dipilih hendaknya yang sederhana, menenangkan dan
mempunyai tempo yang teratur. Jenis musik yang tidak disarankan untuk terapi adalah
musik pop, disko, rock and roll dan musik yang berirama keras. Adapun jenis musik yang
sering digunakan sebagai terapi antara lain:

a. Musik Klasik

Merupakan perpaduan instrumen yang menggunakan violin, biola, piano dan cello
sebagai musiknya. Musik klasik memiliki dampak psikofisik yang menimbulkan kesan
rileks, santai, cenderung membuat detak jantung bersifat konstan, memberi dampak
menenangkan dan menurunkan stres. Namun, pemakaian jenis musik ini perlu
mempertimbangkan tentang waktu tampilan musik, taraf usia perkembangan dan latar
belakang budaya (Fausi, 2006 dalam Saraswati, 2016).

b. Musik Relaksasi

Merupakan musik bernuansa lembut, monoton dan datar. Kelembutan musiknya bisa
menenangkan seseorang. Musik ini digunakan sebagai salah satu cara untuk mengatasi
stres, cemas dan menimbulkan kondisi rileks pada seseorang. Wigram et. al (2001,
dalam Saraswati, 2016) menyebutkan elemen-elemen musik yang dapat memengaruhi
relaksasi diantaranya tempo yang stabil, perubahan secara bertahap pada volume, irama,
timbre, pitch dan harmoni, garis melodi yang terprediksi, pengulangan materi, struktur
dan bentuk yang tetap. Mucci (2004, dalam Saraswati, 2016) mengatakan, musik
relaksasi yang terbaik adalah musik instrumental, musik alam sekitar dan musik
mediatif.

3. Indikasi Terapi Musik

Dalam Aspiani (2014) dijelaskan beberapa indikasi pemberian terapi musik pada lansia,
yaitu:

a. Lansia yang mengalami insomnia. Pada lansia dengan insomnia, pemberian terapi
musik dapat memberikan efek relaksasi yang dapat menimbulkan perasaan mengantuk
sehingga lansia dapat tertidur.
b. Lansia yang mengalami kesepian. Musik bisa menjadi teman dan mengalihkan
perhatian lansia dari perasaan kesepiannya.
c. Lansia yang mengalami depresi, stres dan trauma. Musik mampu memberikan hiburan
sehingga dapat menghilangkan stres .
d. Lansia yang mengalami kecemasan. Dengan pemberian terapi musik diharapkan dapat
menurunkan tingkat kecemasan yang dialami oleh lansia.
e. Lansia yang mengalami penolakan terhadap lingkungan.
4. Kontraindikasi Terapi Musik
Menurut Aspiani (2014), kontraindikasi pemberian terapi musik adalah pada lansia yang
mengalami gangguan pendengaran/ tuna rungu.

5. Manfaat Terapi Musik

Menurut Djohan (2006, dalam Sahanantya, 2014), musik sudah lama menjadi bagian dari
kehidupan manusia yang mampu membuat seseorang terhibur. Musik juga bisa menjadi
terapi. Musik diberikan untuk meningkatkan, mempertahankan dan mengambalikan
kesehatan mental, fisik, emosional, dan spiritual seseorang. Terapi musik termasuk dalam
terapi pelengkap (complementary therapy), dimana terapi musik sebagai teknik yang
digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan menggunakan bunyi atau irama
tertentu.

Anthony (2003, dalam Aspiani, 2014) menjelaskan beberapa manfaat terapi musik, antara
lain:

a. Membantu menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri.


b. Efek Mozart, yaitu efek yang dihasilkan sebuah musik yang dapat meningkatkan hormon
serotonin serta intelegensia seseorang.
c. Refreshing, pada saat pikiran seseorang sedang kacau atau jenuh, dengan mendengarkan
musik walaupun sejenak dapat menenangkan dan menyegarkan pikiran kembali.
d. Motivasi, musik dapat memunculkan semangat seseorang.
e. Perkembangan kepribadian seseorang, diketahui dapat memengaruhi dan dipengaruhi
oleh jenis musikyang didengar selama masa perkembangan.
f. Terapi, beberapa masalah yang dapat ditangani dengan musik antara lain nyeri, gangguan
intelegensia, gangguan kemampuan belajar, gangguan tidur, cemas dan depresi.
g. Komunikasi, musik mampu menyampaikan berbagai pesan ke seluruh bangsa tanpa harus
memahami bahasanya. Pada kesehatan mental, terapi musik diketahui dapat memberi
kekuatan komunikasi dan ketrampilan fisik pada penggunanya.
6. Mekanisme Musik sebagai Pengantar Tidur

Musik dengan tempo lamban memberikan rangsangan pada korteks serebri (korteks
auditorius primer dan sekunder) sehingga dapat menyeimbangkan gelombang otak menuju
gelombang otak alfa yang menimbulkan ketenangan dan mengurangi ketegangan otot
(Nursalam, 2007 dalam Kurniasari, 2014). Rangsangan musik pada korteks serebri akan
diteruskan ke serat saraf nuklei rafe sehingga dapat menghambat sinyal nyeri yang masuk
dan mampu menstimulus sekresi serotonin yang merupakan bahan transmitter utama yang
berkaitan dengan timbulnya keadaan tidur (Guyton & Hall, 1997 dalam Kurniasari, 2014).
Musik yang memiliki karakteristik lembut dan santai dapat membantu menjaga
keseimbangan homeostasis tubuh melalui jalur HPA aksis, yang dapat merangsang produksi
beta endorfin dan enkefalin yang merupakan neurotransmiter tidur. Beta endorfin dan
enkefalin mampu membuat tubuh menjadi rileks, rasa nyeri berkurang dan menimbulkan
rasa tenang sehingga lansia dapat lebih mudah tertidur (Nursalam, 2007 dalam Kurniasari,
2014).

7. Pelaksanaan Terapi Musik

Penggunaan terapi musik instrumental yang diberikan 30 menit sampai satu jam setiap hari
menjelang waktu tidur secara efektif dapat mengurangi gangguan tidur (Dhojan, 2006 dalam
Laily, 2017).

Anda mungkin juga menyukai