Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN HIPERTENSI


DI UPTD GRIYA WERDHA JAMBANGAN SURABAYA

Fasilitator:
Iis Noventi, S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh:
Alvianita Mulya Putri
1120021022

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan ini dibuat dan disusun


sebagai bukti bahwa mahasiswa di bawah ini telah mengikuti Praktikum Profesi
Ners :
Nama Mahasiswa : Alvianita Mulya Putri
NPM : 1120021022
Kompetensi : Keperawatan Gerontik
Waktu Pelaksanaan : 4 April 2022 – 17 April 2022
Tempat : UPTD Griya Werdha Jambangan
Ruang :-

Surabaya,

NPM.

Mengetahui,

Kepala Ruangan Pembimbing Klinik

NPP. NPP.

Pembimbing Akademik

NPP.
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Dasar Lansia
1. Definisi Lansia
Lansia atau menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya
secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang menyebabkan penyakit degenerative misal,
hipertensi, arterioklerosis, diabetes mellitus dan kanker (Nurrahmani,
2012).
2. Batasan Lansia
Batasan umur lansia menurut WHO meliputi:
a. Usia pertengahan (middle age), kelompok usia 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly), kelompok 60-74 tahun
c. Lanjut usia (old), kelompok usia 75-90 tahun
d. Lansia sangat tua (very old), kelompok usia >90 tahun
3. Klasifikasi Lansia
Depkes RI (2003) mengklasifikasi lansia dalam kategori berikut :
a. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berada pada usia antara 45-59
tahun
b. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun lebih
c. Lansia yang beresiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih atau seseorang lansia yang berusia 60 tahun atau lebih yang
memiliki masalah kesehatan
d. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau
melakukan kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa
e. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya atau tidak bisa
mencari nafkah sehingga dalam kehidupannya bergantung pada orang
lain
4. Kebutuhan Dasar Lansia
a. Kebutuhan Utama
1) Kebutuhan fisiologi/biologis seperti, makanan yang bergizi,
seksual, pakaian, perumahan/tempat berteduh
2) Kebutuhan ekonomi berupa penghasilan yang memadai
3) Kebutuhan kesehatan fisik, mental, perawatan pengobatan
4) Kebutuhan psikologis, berupa kasih sayang adanya tanggapan
dari orang lain, ketentraman, merasa berguna, memilki jati diri,
serta status yang jelas
5) Kebutuhan sosial berupa peranan dalam hubungan-hubungan
dengan orang lain, hubungan pribadi dalam keluarga, teman-
teman dan organisasi sosial
b. Kebutuhan Sekunder
1) Kebutuhan dalam melakukan aktivitas
2) Kebutuhan dalam mengisi waktu luang/rekreasi
3) Kebutuhan yang bersifat kebudayaan, seperti informai dan
pengetahuan
4) Kebutuhan yang bersifat politis, yaitu meliputi status,
perlindungan hukum, partisipasi dan keterlibatan dalam kegiatan
di masyarakat dan Negara atau pemerintah
5) Kebutuhan yang bersifat keagamaan/spiritual, seperti memahami
makna akan keberadaan diri sendiri di dunia dan memahami hal-
hal yang tidak diketahui/ diluar kehidupan termasuk kematian.
5. Sindrom Geriatri
a. Berkurangnya kemampuan gerak (Immobilisasi)
Berkurangnya kemampuan gerak yang dikenal dengan istilah
imobilisasi digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom
penurunan fungsi fisik sebagai akibat dari penurunan aktivitas dan
adanya penyakit penyerta. Tidak mampu bergerak selama minimal 3
kali 24 jam sesuai defenisi imobilisasi.
b. Jatuh dan patah tulang (Instabilitas Postural)
Perubahan cara jalan (gait) dan keseimbangan seringkali menyertai
proses menua. Instabilitas postural dapat meningkatkan risiko jatuh,
yang selanjutnya mengakibatkan trauma fisik maupun psikososial.
Hilangnya rasa percaya diri, cemas, depresi, rasa takut jatuh sehingga
pasien terpaksa mengisolasi diri dan mengurangi aktivitas fisik sampai
imobilisasi. Gangguan keseimbangan merupakan masalah kesehatan
yang dapat disebabkan oleh salah satu atau lebih dari gangguan visual,
gangguan organ keseimbangan (vestibuler) dan atau gangguan sensori
motor
c. Mengompol (Inkontinensia urin)
Secara umum inkontinensia urin didefinisikan sebagai
ketidakmampuan menahan keluarnya urin atau keluarnya urin secara
tak terkendali pada saat yang tidak tepat dan tidak diinginkan.
d. Infeksi (Infection)
Penyakit infeksi merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas
pada Lanjut Usia. Pasien Lanjut Usia yang dirawat inap biasanya
disebabkan karena infeksi. Beberapa faktor penyebab terjadinya
infeksi pada Lanjut Usia adalah adanya perubahan sistem imun,
perubahan fisik (penurunan refleks batuk, sirkulasi yang terganggu dan
perbaikan luka yang lama) dan beberapa penyakit kronik lain. Infeksi
yang paling sering terjadi pada Lanjut Usia adalah infeksi paru, saluran
kemih dan kulit.
e. Gangguan fungsi panca indra (Impairment of sense)
Gangguan fungsi indera merupakan masalah yang sering ditemui pada
Lanjut Usia. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya
gangguan fungsional yang menyerupai gangguan kognitif serta isolasi
sosial. Untuk itu, sangat penting bagi tenaga kesehatan untuk dapat
mengidentifikasi Lanjut Usia yang mengalami gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, gangguan penciuman gangguan pengecapan
dan gangguan perabaan, mengidentifikasi penyebabnya dan
memberikan terapi yang sesuai
f. Gangguan gizi (Inanition)
Gangguan gizi pada Lanjut Usia dapat merupakan konsekuensi
masalah-masalah somatik, fisik atau sosial. Kekurangan zat gizi energi
dan protein terjadi karena kurangnya asupan energi dan protein,
peningkatan metabolik karena trauma atau penyakit tertentu dan
peningkatan kehilangan zat gizi. Asupan energi secara signifikan
menurun seiring proses menua, karena berhubungan dengan penurunan
akitivitas fisik pada Lanjut Usia serta perubahan komposisi tubuh
g. Masalah akibat tindakan medis (Iatrogenik)
Iatrogenik adalah masalah kesehatan yang diakibatkan oleh tindakan
medis. Polifarmasi merupakan contoh yang paling sering ditemukan
pada Lanjut Usia.
h. Gangguan tidur (insomnia)
Insomnia dapat disebabkan oleh gangguan cemas, depresi, delirium,
dan demensia.
i. Gangguan fungsi kognitif (Intelectual Impairment)
Gangguan fungsi kognitif yang dikenal dengan istilah Intellectual
Impairment adalah kapasitas intelektual yang berada dibawah ratarata
normal untuk usia dan tingkat pendidikan seseorang tersebut.
Gangguan fungsi kognitif ini dapat disebabkan oleh sindrom delirium
dan demensia
j. Isolasi (Isolation)
Yang dimaksud dengan isolasi adalah menarik diri dari lingkungan
sekitar. Penyebab tersering adalah depresi dan hendaya fisik yang
berat.
k. Berkurangnya kemampuan keuangan (Impecunity)
Impecunity mencakup pengertian ketidakberdayaan finansial.
Walaupun dapat terjadi pada kelompok usia lain namun, khususnya
pada Lanjut Usia menjadi sangat penting karena meningkatkan risiko
keterbatasan akses terhadap berbagai layanan kesehatan, pemenuhan
kebutuhan nutrisi, dan asuhan psikososial.

l. Konstipasi (Impaction)
Kesulitan buang air besar (Konstipasi) sering terjadi pada lanjut usia
karena berkurangnya gerakan (peristaltik) usus.
m. Gangguan system imun (Immune Deficiency)
Gangguan kesehatan yang disebabkan oleh perubahan sistem imunitas
pada Lanjut Usia. Sistem imunitas yang tersering mengalami gangguan
adalah sistem immunitas seluler. Berkaitan dengan hal tersebut,
kejadian infeksi tuberkulosis meningkat pada populasi Lanjut Usia ini
sehingga memerlukan kewaspadaan.
n. Gangguan fungsi seksual (Impotence)
Gangguan fungsi ereksi pada laki-laki Lanjut Usia dapat berupa
ketidakmampuan ereksi, ketidakmampuan penetrasi, atau
ketidakmampuan mempertahankan ereksi.
6. Perubahan – Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
a. Perubahan fisik
1) Sel
Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun dan
cairan intra seluler menurun
2) Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah
menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh
darah menurun, meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer,
tekanan darah meningkat.
3) Respirasi
Otot-otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas
menurun, kapasitas residu meningkat ssehingga menarik napas lebih
berat, alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk
menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus.
4) Persyarafan
Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menutun serta
lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang
berhubungan dengan stres, berkurangnya atau hilangnya lapisan
mielin akson, sehingga menyebabkan berkurangnya motorik dan
reflex
5) Muskoleskeletal
Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis),
bungkuk (kifosis), persendian membesar dan membesar dan menjadi
kaku (atrofi otot, kram, temor, tendon mengerut, dan mengalami
sklerosis)
6) Gastrointestinal
Esofagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan
peristaltik menurun sehingga daya absorbsi juga ikut menurun.
Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun
sehingga menyebabkan bekurangnya produksi hormon dan enzim
pencernaan.
7) Genitourinaria
Ginjal mengecil, aliran darah keginjal menurun, penyaringan di
glomerulus menurun, dan fungsi tubulus menurun sebagai
kemampuan mengosentrasi urin ikut menurun.
8) Pendengaran
Membran impani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran,
tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan
9) Penglihatan
Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menuru,
akomodasi menurun, lapang pandang menurun, dan katarak.
10) Kulit
Keriput serta kulit kepala dan rambut menipis, rambut dalam hidung
dan telinga menebal, elastisitas menurun, vaskularisasi menurun,
rambut memutih (uban) kelenjar keringat menurun, kaku keras dan
rapuh, serta kuku kaki tumbuh berlebihan seperti tanduk
11) Endokrin
Produksi Hormon Berkurang

b. Perubahan psikologis
Perubahan psikologis pada lansia meliputi short time memory, frustasi,
kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian,
perubahan keinginan, depresi dan kecemasan.
7. Hipertensi Pada Lansia
Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa
kenaikan tekanan sistolik. Sedangkan mnurut WHO memakai tekanan
diastolik tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya
hipertensi. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang
disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar sehingga
lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah kaku, sebagai
peningkatan pembuluh darah sistolik.
B. Konsep Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan seseorang yang mengalami peningkatan
tekanan darah diatas normal sehingga mengakibatkan peningkatan angka
morbiditas maupun mortalitas, tekanan darah fase sistolik 140 mmHg
menunjukkan fase darah yang sedang dipompa oleh jantung dan fase
diastolik 90 mmHg menunjukkan fase darah yang kembali ke jantung
(Triyanto,2014).
Hipertensi adalah sebagai peningkatan tekanan darah sistolik
sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg.
Hipertensi tidak hanya beresiko tinggi menderita penyakit jantung, tetapi
juga menderita penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal dan pembuluh
darah dan makin tinggi tekanan darah, makin besar resikonya (Sylvia A.
Price, 2015).
Tekanan darah tinggi atau yang juga dikenal dengan sebutan
hipertensi ini merupakan suatu meningkatnya tekanan darah di dalam
arteri atau tekanan systole > 140 mmhg dan tekanan diastole sedikitnya 90
mmHg. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, di
mana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan
meningkatnya resiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan
jantung dan kerusakan ginjal.
2. Etiologi Hipertensi
Hipertensi desebabkan oleh beberapa faktor yang utama antara lain:
a. Faktor usia
Penambahan usia dapat meningkatkan resiko terjangkitnya penyakit
hipertensi, meningkatnya tekanan darah seiring dengan bertambahnya
usia memang sangat wajar, hal ini disebabkan adanya perubahan yang
dialami oleh jantung, pembuluh darah, dan kadar hormon, juga dapat
terjadi hipertensi karena faktor resiko (Junaedi, 2013). Terjadinya
hipertensi yang meningkat akibat pertambahan umur di atas 60 tahun,
sebanyak 50 – 60 % mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama
dengan 140 / 90 mmhg, hal ini merupakan pengaruh dari proses
degeneratif (Nurrahmani, 2015).
b. Jenis Kelamin
Laki – laki atau perempuan memiliki kemungkinan yang sama untuk
mengalami hipertensi selama kehidupannya, namun laki – laki lebih
beresiko mengalami hipertensi selama kehidupannya di bandingkan
dengan perempuan pada usia sebelum 45 tahun, namun jika sudah
memasuki usia 65 tahun maka perempuan lebih beresiko mengalami
hipertensi di bandingkan laki-laki di karenakan memasuki masa
menoupause. (Prasetyanigrum, 2014)
Selain faktor di atas ada penyebab lain dari hipertensi yang dapat
diupayakan minimalnya dampak dari hipertensi, diantaranya yaitu:
a. Stres
Stres dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah
jantung karena peningkatan adrenalin sehingga akan meransang
aktivitas saraf simpatik, seperti hal nya stres yang berhubungan
dengan pekerjaan, sosial, ekonomi (Nurrahmani, 2015).
b. Obesitas
Seseorang yang mengalami obesitas atau kegemukan memiliki resiko
lebih besar untuk mengalami hipertensi, hal ini di dapatkan obesitas
atau tidaknya seseorang melalui IMT atau lingkar perut, meskipun
demikian, kedua indikator tersebut terbaik untuk menentukan
hipertensi, dan mempercepat terjadinya hipertensi (Prasetyanigrum,
2014).
c. Kurang Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan pergerakan otot anggota tubuh yang
membutuhkan energi atau pergerakan yang bermanfaat untuk
meningkatkan kesehatan, aktivitas fisik dapat menyehatkan pembuluh
darah dan mencegah hipertensi (Prasetyanigrum, 2014).
d. Rokok dan Minuman Alkohol
Merokok merupakan penyebab kematian dan kesakitan yang dapat
dicegah, di dalam rokok ada zat kimia yang dihasilkan dari
pembakaran tembakau, berbahaya bagi sel darah dan organ lainnya
seperti jantung, pembuluh darah, mata, organ reproduksi, paru – paru,
sedangkan minuman beralkohol juga dapat meningkatkan tekanan
darah 2 kali lipat (Prasetyanigrum, 2014).
e. Asupan Garam Berlebihan
Di dalam populasi yang luas didapatkan kecenderungan prevalensi
hipertensi meningkat dengan bertambahnya asupan garam, apabila
asupan garam kurang dari 3 gram per hari, sedangkan bila asupan
garam antara 5 – 15 gram per hari maka prevalensi akan meningkat
menjadi 5 – 15 %, pada manusia yang diberikan garam berlebih dalam
waktu yang dekat didapatkan peningkatan tentang tahanan perifer dan
tekanan darah. Sedangkan penurunan penggunaan garam akan
menurunkan tekanan darah, pengaruh asupan garam akan timbul
melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah
tanpa diikuti peningkatan ekskresi garam. (Nurrahmani, 2015).
3. Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi berdasarkan hasil ukur tekanan darah menurut
Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High
Bloods Preassure (JNC) ke-VIII dalam Smeltzer & Bare (2010) yaitu <130
mmHg untuk tekanan darah systole dan <85 mmHg untuk tekanan darah
diastole.
Klasifikasi tekanan darah orang dewasa berusia 18 tahun keatas tidak
sedang memakai obat antihipertensi dan tidak sedang sakit akut.
Tabel Klasifikasi Tekanan Darah Menurut WHO (2013)
Kategori Sistole (mmHg) Diastole (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Tingkat 1 (hipertensi ringan) 140 – 159 90 – 99
Sub grup: perbatasan 140 – 149 90 – 94
Tingkat 2 (hipertensi sedang) 160 – 179 100 – 109
Tingkat 3 (hipertensi berat) ≥ 180 ≥ 110

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan;


a. Hipertensi primer (esensial)
Hipertensi primer adalah hipertensi yang belum diketahui
penyebabnya. Diderita oleh seitar 95% orang. Oleh karena itu,
penelitian dan pengobatan lebih ditunukan bagi penderita esensial.
Hipertensi primer disebabkan oleh faktor berikut ini.
1) Faktor keturunan
Dari data statistic terbukti bahwa seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika
orang tuanya adalah penderita hipertensi.
2) Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi
adalah umur (jika umur bertambah maka tekanan darah
meningkat), jenis kelamn (pria lebih tinggi dari perempuan), dan
ras (ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih).
3) Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi
adalah konsumsi garam yang tinggi (lebih dari 30g), kegemukan
atau makan berlebih, stress, merokok, minum alcohol, minum
obat-obatan (efedrin, prednisone, epinefrin).

b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder terjadi akibat penyebab yang jelas salah
satu contoh hipertensi sekunder adalah hipertensi vascular renal, yang
terjadi akibat stenosis arteri renalis. Kelainan ini dapat bersifat
kongenital atau akibat aterosklerosis stenosis arteri renalis
menurunkan aliran darah ke ginjal sehingga terjadi pengaktifan
baroreseptor ginjal, perangsangan pelepasan renin, dan pembentukan
angiotensin II. Angiotensin II secara langsung meningkatkan tekanan
darah tekanan darah, dan secara tidak langsung meningkatkan sintesis
andosteron dan reabsorpsi natrium. Apabila dapat dilakukan perbaikan
pada stenosis, atau apabila ginjal yang terkena di angkat, tekanan
darah akan kembali ke normal.
Penyebab lain dari hipertensi sekunder, antara lain
ferokromositoma, yaitu tumor penghasil epinefrin di kelenjar adrenal,
yang menyebabkan peningkatan kecepatan denyut jantung dan volume
sekuncup, dan penyakit cushing, yang menyebabkan peningkatan
volume sekuncup akibat retensi garam dan peningkatan CTR karena
hipersensitivitas system saraf simpatis aldosteronisme primer
(peningkatan aldosteron tanpa diketahui penyebab-nya) dan hipertensi
yang berkaitan dengan kontrasepsi oral juga dianggap sebagai
kontrasepsi sekunder (Aspiani, 2016).
4. Manifestasi Klins
Manifestasi klinis menurut Aspiani (2016):
1) Mengeluh sakit kepala, pusing
2) Lemas, kelelahan
3) Sesak nafas
4) Gelisah
5) Mual
6) Muntah
7) Epitaksis
8) Kesadaran menurun
Menurut Crowin (2017) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala
klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa
nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah,
akibat peningkatan tekanan darah intracranial. Pada pemeriksaan fisik
tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi,
tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti
perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh
darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus
optikus). Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi
yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung
secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain.
5. Patofisiologi
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui
beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan
lebih banyak cairan pada setiap detiknya arteri besar kehilangan
kelenturannya dan menjadi kaku sehingga mereka tidak dapat
mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut,
darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang
sempit dari pada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan, inilah yang
terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku
karena arterioskalierosis.
Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat
terjadi vasokondriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk hormon di
dalam darah, bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan
meningkatnya tekanan darah, hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi
ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air di dalam
tubuh, volume darah dalam tubuh meningkat sehingga tekanan darah juga
meningkat.
Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang, arteri
mengalami pelebaran, banyak cairan yang keluar dari sirkulasi maka
tekanan darah akan menurun. Penyesuaaian terhadap faktor – faktor
tersebut di laksanakan oleh perubahan di dalam fungsi ginjal dan fungsi
otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh
secara otomatis). Ginjal merupakan organ penting dalam mngendalikan
tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal dapat
menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan
arteri yang menuju ke salah satu ginjal bisa menyebabkan hipertensi,
peradangan dan cidera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa
menyebabkan naiknya tekanan darah (Triyanto, 2014).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis meransang
pembuluh darah sebagai respon ransang emosi, kelenjar adrenal juga
teransang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi, medula
adrenal mensekresi epinefrin yang menyebabkan vasokondriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan strenoid lainnya, yang dapat memperkuat
respon vasokonstriktor pembuluh darah.
Vasokondriksi yang mengakibatkan penurunan alirah darah ke
ginjal, menyebabkan pelepasan renin, renin meransang pembuluh
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya meransang sekresi aldosteron
oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi Natrium dan air
oleh tubuluh ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler.
Semua factor ini mencetus munculnya hipertensi.
Perubahan struktur dan fungsional pada sistem pembuluh darah
perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada
lanjut usia, perubahan tersebut meliputi arterosklerosis, hilangnya
elastisitas
jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,
yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah, konsistensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung, mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan
perifer (Wijaya, 2013).
Tanda gejala dan patofisologi hipertensi akan mengambarkan
munculnya beberapa diagnosa keperawatan yang dapat diangkat. Tanda
dan gejalanya seperti usia, usia 60 tahun ke atas, dalam WHO usia yang di
maksud elderly akan menimbulkan elastisitas pada dinding aorta pada
jantung menurun, sehingga katub jantung menebal, menyebabkan
vasokontriksi yaitu kontraksi dinding jantung yang menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah, maka terjadinya perubahan pada
tekanan darah, pada peningkatan tekanan darah membuat perubahan
afterload yang di tandai dengan perubahan tekanan darah, hal ini juga
membuat ventrikel kiri hipertrofi, kontraksi jantung lebih tinggi,
menyebabkan perubahan kontraktilitas maka muncul diagnosa
keperawatan resiko penurunan curah jantung.
Pada saat jantung mengalami vasokontriksi maka volume darah
menurun, mengakibatkan suplai oksigen menurun, pada saat suplai
oksigen menurun dapat mempengaruhi berbagai sistem, di antaranya yang
pertama adalah jantung, mengakibatkan adanya trombus di miokard,
jantung menjadi iskemik sehingga menghasilkan diagnosa resiko perfusi
miokard tidak efektif dan nyeri akut. Akibat nyeri yang dirasakan, tidur
akan menjadi terhambat, maka muncul diagnosa keperawatan hambatan
tidur. Yang kedua yaitu sistemik seperti organ ginjal. Menurunnya aliran
darah ke ginjal menyebabkan pelepasan renin, renin meransang
pembentukan angiotensin I yang mengubah menjadi angiostensin II, suatu
vasokonsriktor kuat, meransang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal,
hormon ini menyebabkan retensi Natrium dan air oleh tubulus ginjal,
sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler, maka muncul
edema pada ekstremitas, lalu muncul diagnosa keperawatan hipervolemia.
Yang ketiga yaitu retina saat terjadi peningkatan tekanan darah, mata
menjadi berkunang – kunang, maka menghasilkan diagnosa resiko cedera.
Selain usia, faktor lain yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan
darah yaitu stres. Saat stres akan mempengaruhi hormon adrenalin
sehingga hormon adrenalin meningkat. Hal tersebut akan memicu
kecepatan denyut jantung menjadi meningkat. Obesitas juga merupakan
factor penyebab hipertensi. Obesitas disebabkan karena adanya lemak
tinggi maka juga dapat meningkatkan kecepatan denyut jantung.
Selanjutnya makanan tinggi garam akan meningkatkan jumlah Kalium dan
Natrium sehingga akan mempengaruhi kerja ginjal. Dari semua faktor
inilah menimbulkan terjadinya penyakit hipertensi.
6. Pathway Hipertensi

Usia ≥ 60 tahun
Stress Rokok Obesitas Makanan tinggi
garam

Elastisitas
dinding aorta Adrenalin Lemak Jumlah Na dan
menurun Tinggi K meningkat
meningkat
Kecepatan
Katup jantung denyut jantung
Perubahan Natrium
menebal meningkat
afterload mengikat air
Perubahan
Vasokontriksi tekanan darah Perubahan Ventrikel kiri
hipertrofi
keadaan
Volume darah Kontraksi otot
menurun
HIPERTENSI Kurang jantung lebih
informasi tinggi

Suplai oksigen Dx: Intoleransi


menurun Aktivitas Perubahan
Dx: Defisit kontraktilitas
Pengetahuan
Dx: Resiko
Koroner penurunan
curah jantung
Sistemik Retina
Trombus
di miokard
Berkunang- Dx: Resiko
Ginjal Kunang Jatuh
Iskemik
jantung

Dx: Resiko Pelepasan Retensi Edema


ekstremitas
perfusi miokard
tidak efektf renin Na+
Dx:
Hipervolemia
Dx: Nyeri Dx: Gangguan
Dada pola tidur
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Albuminuria pada hipertensi karena kelainan parenkim ginjal
2) Kreatinin serum dan BUN meningkat pada hipertensi karena
parenkim ginjal dengan gagal ginjal akut.
3) Darah perifer lengkap
4) Kimia darah (kalium, natrium, keratin, gula darah puasa)
b. EKG
1) Hipertrofi ventrikel kiri
2) Iskemia atau infark miocard
3) Peninggian gelombang P
4) Gangguan konduksi
c. Foto Rontgen
1) Bentuk dan besar jantung Noothing dari iga pada koarktasi aorta.
2) Pembendungan, lebar paru
3) Hipertrofi parenkim ginjal
4) Hipertrofi vascular ginjal (Aspiani, 2016)
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas
dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan
pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah di atas 140/90 mmHg. Prinsip
pengelolaan penyakit hipertensi meliputi: (Aspiani, 2016)
a. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Mempertahankan berat badan ideal
Mempertahankan berat badan yang ideal sesuai Body Mass Index
dengan rentang 18,5 – 24,9 kg/m2. BMI dapat diketahui dengan
rumus membagi berat badan dengan tinggi badan yang telah
dikuadratkan dalam satuan meter. Obesitas yang terjadi dapat
diatasi dengan melakukan diet rendah kolesterol kaya protein dan
serat. Penurunan berat badan sebesar 2,5 – 5 kg dapat
menurunkan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg

2) Mengurangi asupan natrium (sodium)


Mengurangi asupan sodium dilakukan dengan melakukan diet
rendah garam yaitu tidak lebih dari 100 mmol/hari (kira-kira 6 gr
NaCl atau 2,4 gr garam/hari), atau dengan mengurangi konsumsi
garam sampai dengan 2300 mg setara dengan satu sendok teh
setiap harinya. Penurunan tekanan darah sistolik sebesar 5 mmHg
dan tekanan darah diastolik sebesar 2,5 mmHg dapat dilakukan
dengan cara mengurangi asupan garam menjadi ½ sendok teh/hari
3) Batasi konsumsi alkohol
Mengonsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau
lebih dari 1 gelas per hari pada wanita dapat meningkatkan
tekanan darah, sehingga membatasi atau menghentikan konsumsi
alkohol dapat membantu dalam penurunan tekanan darah
(PERKI, 2015).
4) Makan K dan Ca yang cukup dari diet
Kalium menurunkan tekanan darah dengan cara meningkatkan
jumlah natrium yang terbuang bersamaan dengan urin. Konsumsi
buah-buahan setidaknya sebanyak 3-5 kali dalam sehari dapat
membuat asupan potassium menjadi cukup. Cara
mempertahankan asupan diet potasium (>90 mmol setara 3500
mg/hari) adalah dengan konsumsi diet tinggi buah dan sayur.
5) Menghindari merokok
Merokok meningkatkan resiko komplikasi pada penderita
hipertensi seperti penyakit jantung dan stroke. Kandungan utama
rokok adalah tembakau, didalam tembakau terdapat nikotin yang
membuat jantung bekerja lebih keras karena mempersempit
pembuluh darah dan meningkatkan frekuensi denyut jantung serta
tekanan darah
6) Penurunan stress
Stress yang terlalu lama dapat menyebabkan kenaikan tekanan
darah sementara. Menghindari stress pada penderita hipertensi
dapat dilakukan dengan cara relaksasi seperti relaksasi otot, yoga
atau meditasi yang dapat mengontrol sistem saraf sehingga
menurunkan tekanan darah yang tinggi
7) Terapi relaksasi progresif
Teknik relaksasi menghasilkan respon fisiologis yang terintegrasi
dan juga menganggu bagian dari kesadaran yang dikenal sebagai
“respon relaksasi Benson”. Respon relaksasi diperkirakan
menghambat sistem saraf otonom dan sistem saraf pusat serta
meningkatkan aktivitas parasimpatis yang dikarekteristikan
dengan menurunnya otot rangka, tonus otot jantung dan
mengganggu fungsi neuroendokrin. Agar memperoleh manfaat
dari respons relaksasi, ketika melakukan teknik ini diperlukan
lingkungan yang tenang, posisi yang nyaman.
b. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis menurut Saferi & Mariza (2013) merupakan
penanganan menggunakan obat-obatan, antara lain:
1) Golongan Diuretik
Diuretik thiazide biasanya membantu ginjal membuang garam dan
air, yang akan mengurangi volume cairan di seluruh tubuh sehingga
menurunkan tekanan darah.
2) Penghambat Adrenergik
Penghambat adrenergik, merupakan sekelompok obat yang terdiri
dari alfablocker, beta-blocker dan alfa-beta-blocker labetalol, yang
menghambat sistem saraf simpatis. Sistem saraf simpatis adalah
istem saraf yang dengan segera akan memberikan respon terhadap
stress, dengan cara meningkatkan tekanan darah.
3) ACE-inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-inhibitor)
menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cara melebarkan
arteri.
4) Angiotensin-II-bloker
Angiotensin-II-bloker menyebabkan penurunan tekanan darah
dengan suatu mekanisme yang mirip ACE-inhibitor.
5) Antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh darah
dengan mekanisme yang berbeda.
6) Vasodilator langsung menyebabkan melebarnya pembuluh darah.
7) Kedaruratan hipertensi (misalnya hipertensi maligna) memerlukan
obat yang menurunkan tekanan darah tinggi dengan cepat dan
segera. Beberapa obat bisa menurunkan tekanan darah dengan
cepat dan sebagian besar diberikan secara intravena: diazoxide,
nitroprusside, nitroglycerin, labetalol.
9. Komplikasi
Kompikasi hipertensi menurut (Trianto, 2014):
a. Penyakit jantung
Komplikasi berupa infark miokard, angina pectoris, dan gagal jantung.
b. Ginjal
Terjadinya gagal ginjal dikarenakan kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerulus. Rusaknya
glomerulus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal dan
nefron akan terganggu sehingga menjadi hipoksik dan kematian.
Rusaknya membrane glomerulus, protein akan keluar melalui urin
sehingga tekanan osmotic koloid plasma berkurang dan menyebabkan
edema.
c. Otak
Komplikasi berupa stroke dan serangan iskemik. Stroke dapat terjadi
pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertrofi dan menebal sehingga aliran darah ke daerah-
daerah yang diperdarahi berkurang.
d. Mata
Komplikasi berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan hingga
kebutaan.
e. Kerusakan pada pembuluh darah arteri
Jika hipertensi tidak terkontrol, dapat terjadi kerusakan dan
penyempitan arteri atau yang sering disebut dengan aterosklerosis dan
arterosklerosis (pengerasan pembuluh darah). Komplikasi berupa
kasus perdarahan meluas sampai ke intraventrikuler (Intra Ventriculer
Haemorrhage) atau IVH yang menimbulkan hidrosefalus obstruktif
sehingga memperburuk luaran. 1-4 Lebih dari 85% ICH timbul primer
dari pecahnya pembuluh darah otak yang sebagian besar akibat
hipertensi kronik (65-70%) dan angiopathy amyloid.
Sedangkan penyebab sekunder timbulnya ICH dan IVH biasa karena
berbagai hal yaitu gangguan pembekuan darah, trauma, malformasi
arteriovenous, neoplasma intrakranial, thrombosis atau angioma vena.
Morbiditas dan mortalitas ditentukan oleh berbagai faktor, sebagian
besar berupa hipertensi, kenaikan tekanan intrakranial, luas dan lokasi
perdarahan, usia, serta gangguan metabolism serta pembekuan darah.
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. Pengkajian
1. Data umum
Tahap pengkajian merupakan dasar utama memberikan asuhan
keperawatan sesuai kebutuhan individu (klien) seperti identitas klien
(nama, umur, agama, tempat tinggal, status pendidikan, dll) dan
penanggung jawab klien
a. Identitas klien
Identitas klien yang biasa dikaji pada penyakit hipertensi adalah jenis
kelamin, umur, agama, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, alamat
rumah, dan sebagainya
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan penyakit
hipertensi adalah klien mengeluh nyeri kepala dada sebelah kiri,
gangguan pola tidur disertai sesak nafas dan ketidakmampuan untuk
beraktivitas.
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit saat ini berupa uraian mengenai penyakit yang diderita
oleh klien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan samoai klien
dibawa ke rumah sakit.
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat kesehatan yang lalu seperti riwayat penyakit hipertensi
sebelumnya
e. Riwayat penyakit keluarga
Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit
yang sama karena faktor genetic keturunan.
f. Pola kebiasaan sehari-hari
1) Biologis
a) Pola makan
Klien harus dikaji pola makannya, frekuensi makan, dengan menu
nasi, sayur, lauk, terkadang disertai dengan buah.

b) Pola minum
Perlu dikaji pola minum pada lansia. Berapa total minum dalam
satu hari, Klien minum apa saja, Biasnya lansia suka minuman
manis dan hangat.
c) Pola tidur
Klien lansia cenderung mengalami gangguan pola tidur pada malam
hari. Biasanya dikarenakan nyeri kepala pada klien.
d) Pola eliminasi (BAK dan BAB)
Pola eliminasi juga harus dilakukan pengkajian. Kebanyakan lansia
mengalami inkontinensia urin dan feses, karena menurunnya fungsi
otot sfingter pada lansia.
e) Aktifitas sehari-hari
Pengkajian pola aktivitas sehari-hari lansia apakah dapat dipenuhi
sendiri tanpa bantuan, misalnya mandi, berhias, makan, minum dan
sebagainya
2) Psikologis
Kondisi psikologis lansia juga harus dikaji untuk menentukan tingkat
depresi pada lansia.
3) Sosial
Keadaan sosial lansia juga harus dikaji untuk menentukan bagaiamana
kehidupan sosialnya
4) Spiritual
Perlu diakaji pelaksanaan ibadah klien, Bagaimana cara lansia
menyelesaikan masalah apakah dengan berdoa, Apakah lansia terlihat
tabah dan tawakal tentang kesehatannya.
g. Pengkajian khusus status fungsional, kognitif, fektif, dan sosial pada
lansia:
1) APGAR keluarga
APGAR keluarga adalah suatu instrument pemeriksaan singkat guna
mengkaji fungsi social pasien. Kegunaan APGAR untuk mengetahui
tingkat intelektua lpasien, tingka tpengetahuan pasien, mengetahuis
eberapa besar tingkat hubungan pasien dengan keluarga dan untuk
mengukur level kepuasaan pasien dalam keluarga.
2) Depresi beck
Alat pengukur status efektif digunakan untuk membedakan jenis
depresi yang mempengaruhi suasana hati, hal tentang gejala dan
sikap yang berhubungan dengan depresi.
3) Pengkajian SPMSQ (Short Portable Mental Status Quesioner)
Pengkajian gerontik SPMSQ (Short Portable Mental Status
Quesioner) merupakan instrument pengkajian sederhana yang
digunakan untuk menilai fungsii ntelektual kemaupun mentaldari
lansia
4) Pengkajian MMSE(MiniMentalStatus Exam)
Pengkajian MMSE (Mini Mental Status Exam) dirancang sebagai
media pemeriksaan status mental singkat serta standarisasi yang
memungkinkan untuk membedakan antara gangguan organic dan
fungsional pada pasien. MMSE( Mini Mental Status Exam) menguji
aspek kognitif dari fungsi mental meliputi orientasi, registrasi,
perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali dan bahasa .Pemeriksaan
ini mengukur beratnya kerusakan kognitif dan mendemonstrasikan
perubahan kognitif pada waktu dan dengan tindakan
5) Risiko Jatuh Ontario Modified Stratify-Sydeny Scoring
Pengkajian ini merupakan Scoring digunakan untuk mengkaji risiko
jatuh pada lansia.
6) Indeks Barthel
Indeks barthel adalah suatu pengukuran tingkat ketergantungan
dalam pengkajian fungsional. Pengkajian indeks barthel berdasarkan
pada evaluasi kemampuan fungsi mandiri atau bergantung dari lansia
yang dinilai dan fungsi mobilitas ADL (Activity Daily Living)
h. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan Fisik Head To Toe
a) Pada bagian kepala meliputi pemeriksaan bentuk kepala simetris,
berrsih, rambut berwarna putih, terdapat nyeri di bagian kepala
belakang.
b) Mata: pergerakan mata, kejelasan melihat, dan ada tidaknya katarak.
Pupil: kesamaan, dilatasi, ketajaman penglihatan menurun karena
proses penuaan
c) pendengaran: apakah menggunakan alat bantu dengar, tinnitus,
serumen telinga bagian luar, kalau ada serumen jangan di bersihkan,
apakah ada rasa sakit atau nyeri ditelinga.
d) Hidung : apakah hidung bersih , bentuk simetrsis, ada polip atau
tidak
e) Mulut : Pada pemeriksaan mulut diketahui bahwa mukosa mulut
lembab lidah berwarna merah muda keputihan, Kondisi gigi lansia
sudah ompong sebagian.
f) Leher : Pada pemeriksaan leher secara inspeksi tidak didapati
bentuk abnormal pada leher, tidak ada pembesaran vena jugularis
g) Dada : dada berbentuk simetris, Bentuk konfugurasi dada klien
tidak menunjukkan barrel chest, pigeon chest maupun funnel chest,
bunyi jantung s1 s2 normal, Pada auskultasi paru suara paru yang
terdengar vesikuler dan tidak ditemukan suara ronchi dan wheezing.
h) Abdomen : bentuk simetrsis, tidak asites, tidak terdapat nyeri tekan,
bising usus norma
i) Muskuloskeletal : pada sistem muskuloskeletal di kaji apakah ada
atau tidak ada kaku sendi, pengecilan otot, mengecilnya tendon,
gerakan sendi yang tidak adekuat, bergerak dengan atau tanpa
bantuan/peralatan, keterbatasan gerak, kekuatan otot, kemampuan
melangkah atau berjalan, kelumpuhan
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada lansia dengan hipertensi
adalah sebagai berikut:
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (peningkatan
tekanan vaskuler serebral)
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurangnya kontrol tidur
3. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen

C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No SLKI SIKI
Keperawatan
1 Kategori: Setelah dilakukan I.08238
Psikologis tindakan keperawatan Manajemen Nyeri
selama 3x24 jam
Subkategori: diharapkan status nyeri Observasi:
Nyeri dan Kenyamanan akut membaik dengan 1. Identifikasi lokasi,
kriteria hasil: karakteristik, durasi,
Kode: frekuensi kualitas
D.0077 L.08036 nyeri
Kontrol Nyeri 2. Identifikasi skala
Masalah: 1. Kemampuan nyeri
Nyeri akut menggunakan teknik 3. Respons nyeri non
non-farmakologis dari verbal
skala 1 (menurun) 4. Identifikasi factor
menjadi skala 5 memperberat nyeri
(meningkat) Terapeutik:
2. Keluhan nyeri dari 1. Berikan teknik non-
skala 1 (meningkat) farmakologis
menjadi skala 5 2. Kontrol lingkungan
(menurun) Edukasi:
3. Penggunaan analgesic 1. Jelaskan strategi
dari skala 1 meredakan nyeri
(meningkat) menjadi 2. Ajarkan
skala 5 (menurun) menggunakan teknik
non-farmakologis
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
analgetik
2 Kategori: Setelah dilakukan I.05174
Fisiologis tindakan keperawatan Dukungan Tidur
selama 3x24 jam
Subkategori: diharapkan gangguan Observasi:
Aktivitas/Istirahat pola tidur membaik 1. Identifikasi pola
dengan kriteria hasil: aktivitas tidur
Kode: 2. Identifikasi faktor
D.0055 L.05045 penganggu tidur
Pola Tidur Terapeutik:
Masalah: 1. Keluhan sulit tidur 1. Batasi waktu tidur
Gangguan Pola Tidur dari skala 1 siang, jika perlu
(meningkat) menjadi 2. Lakukan prosedur
skala 5 (menurun) untuk meningkatkan
2. Keluhan sering kenyamanan
terjaga dari skala 1 Edukasi:
(meningkat) menjadi 1. Ajarkan relaksasi otot
skala 5 (menurun) autogenik atau cara
3. Keluhan tidak puas non-farmakologis
tidur dari skala 1 lainnya
(meningkat) menjadi
skala 5 (menurun)
3 Kategori: Setelah dilakukan I.05178
Fisiologis tindakan keperawatan Manajemen Energi
selama 3x24 jam
Subkategori: diharapkan intoleransi Observasi:
Aktivitas/Istirahat aktivitas membaik 1. Identifikasi ganggun
dengan kriteria hasil: fungsi tubuh yang
Kode: mengakibatkan
D.0056 L.05047 kelelahan
Toleransi Aktivitas 2. Monitor lokasi dan
Masalah: 1. Kemudahan ketidaknyamanan
Intoleransi Aktivitas melakukan aktivitas selama melakukan
sehari-hari dari skala aktivitas
1 (menurun) menjadi Terapeutik:
skala 5 (meningkat) 1. Lakukan latihan
2. Keluhan lelah dari rentang gerak pasif
skala 1 (meningkat) dan/atau pasif
menjadi skala 5 2. Fasilitasi duduk di sisi
(menurun) tempat tidur, jika
3. Perasaan lemah dari tidak dapat berpindah
skala 1 (meningkat) atau berjalan
menjadi skala 5 Edukasi:
(menurun) 1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan aktivitas
secara bertahap
Kolaborasi:
1. Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makan

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi kestatus kesehatan yang baik dengan menggambarkan kriteria hasil
yang diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat pada
kebutuhan klien, faktor – faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan
keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi
(Dinarti & Mulyanti, 2017).

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah membandingkan secara sistematik dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan
berdasarkan kenyataan yang ada pada klien, dilakukan dengan cara
bersinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangakaian proses
keperawatan yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang
telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain (Dinarti & Mulyanti,
2017).
DAFTAR PUSTAKA
Aspiani, R. yuli. (2016). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskular
Nurrahmani, U. (2015). Stop Hipertensi. Yogyakarta: Familia.
Prasetyanigrum, Y. I. (2014). Hipertensi bukan untuk ditakuti. Jakarta Selatan:
Fmedia.
Smeltzer, S. C. (2016). Keperawatan Medikal Bedah (Edisi 12). Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Sunaryo. (2016). Asuhan Keperawatan Gerontik. In Penerbit Andi. Yogyakarta:
Andi.
Triyanto, E. (2014). Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi Secara
Terpadu. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Edisi 1 cetakan 2. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi
1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Triyanto, Endang. (2014). Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi
Secara Terpadu. Jogjakarta: Graha Ilmu
WHO (2015), World Health Day 2015: Measure your blood pressure, reduce
yourrisk.

Anda mungkin juga menyukai