Anda di halaman 1dari 42

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN TEORI DASAR

2.1 Regional Geologi

2.1.1 Fisiografi Regional Sumatra


Secara fisiografi, Van Bemmelen (1949) telah membagi daerah Pulau Sumatra
menjadi enam jalur fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: Zona Paparan Sunda, Zona Daratan
Rendah dan Berbukit, Zona Pegunungan Tigapuluh, Zona Jajaran Barisan, dan Zona
Semangko, Zona Kepulauan Busur Luar.

Gambar 1.1 Pembagian Fisiografi Sumatra (Van Bemmlen, 1949)


Berdasarkan letak geografisnya, maka secara fisiografi, daerah penelitian
termasuk kedalam Zona Jajaran Penggunungan Barisan, (Gambar 2.1).
Secara fisiografis bagian selatan Pulau Sumatra dapat dibagi menjadi 4
(empat) bagian, yaitu :
1. Cekungan Sumatra Selatan.
2. Bukit Barisan dan Tinggian Lampung/tinggian tiga puluh.
3. Cekungan Bengkulu, meliputi lepas pantai antara daratan Sumatra dan rangkaian
pulau-pulau di sebelah barat Sumatra, dan
4. Rangkaian kepulauan (for arc ridge) di sebelah barat Sumatra, yang membentuk
suatu busur tak bergunungapi di sebelah barat Pulau Sumatra.
Berdasarkan posisi geografisnya daerah lokasi bendungan regulating Way
Sekampung termasuk dalam Bukit Barisan dan Tinggian Lampung. Secara umum terletak
di daerah morfologi perbukitan dengan ketinggian elevasi antara 70 m sampai 220 m.

2.1.2 Zona Paparan Sunda


Secara Geologi Zona Paparan Sunda landas kontinen perpanjangan lempeng
benua Eurasia di Asia Tenggara. Massa daratan utama antara lain Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Area ini
meliputi kawasan seluas 1,85 juta km2. Kedalaman laut dangkal yang membenam paparan
ini jarang sekali melebihi 50 meter, dan kebanyakan hanya sedalam kurang dari 20 meter,
hal ini mengakibatkan kuatnya erosi dasar laut akibat gelombang laut. Tebing curam
bawah laut memisahkan Paparan Sunda dari kepulauan Filipina, Sulawesi, dan Kepulauan
Sunda Kecil.

2.1.3 Zona pegunungan Bukit Barisan


dengan beberapa puncaknya yang melebihi 3.000 m di atas permukaan laut,
merupakan barisan gunung berapi aktif, berjalan sepanjang sisi barat pulau dari ujung
utara ke arah selatan; sehingga membuat dataran di sisi barat pulau relatif sempit dengan
pantai yang terjal dan dalam ke arah Samudra Hindia dan dataran di sisi timur pulau yang
luas dan landai dengan pantai yang landai dan dangkal ke arah Selat Malaka, Selat
Bangka dan Laut China Selatan.
Gambaran secara umum keadaan fisiografi pulau Sumatera agak sederhana.
Fisiografinya dibentuk oleh rangkaian Pegunungan Barisan di sepanjang sisi baratnya,
yang memisahkan pantai barat dan pantai timur. Lerengnya mengarah ke Samudera
Indonesia dan pada umumnya curam. Hal ini mengakibatkan jalur pantai barat
kebanyakan bergunung-gunung kecuali dua ambang dataran rendah di Sumatera Utara
(Melaboh dan Singkel/Singkil) yang lebarnya ±20 km. Sisi timur dari pantai Sumatra ini
terdiri dari lapisan tersier yang sangat luas serta berbukit-bukit dan berupa tanah rendah
aluvial..

2.2 Statigrafi Regional


Berdasarkan Peta Geologi Bersistem Lembar Kota Agung, Provinsi Sumatra yang disusun
oleh T.C.Amin,Sidarto, S.Santosa dan W.Gunawan (1993) yang diterbitkan oleh Pusat
Survey Geologi, tatanan stratigrafi daerah bendungan Way Sekampung dan sekitarnya
ditempati oleh Alluvium (Qa), Batugamping Koral (Qg), Batuan Gunungapi Kuarter
Muda (Qhy), Formasi Bintunan (QTb), Formasi Semung (QTse), Formasi Ranau (QTr),
Formasi Lampung (QTl), Formasi Kasai (QTk), Formasi Simpangaur (Tmps), Formasi
Lakitan (Tmpl), Formasi Lemau (Tml), Formasi Bal (Tmba), Formasi Seblat (Toms),
Formasi Gumai (Tmg), Formasi Baturaja (Tmb), Formasi Sulusimpang (Tomh), Formasi
Gading (Tomg), Formasi Talangakar (Tomt), Formasi Kikim (Tpok), Formasi Menanga
(Km), Kompleks Gunungkasih (Pzg), Batuan Terobosan (Tm), Granit Kapur (Kgr).
Tatanan Stratigrafi di daerah ini terdiri atas batuan yang mempunyai kisaran umur dari
Pre- Tersier sampai Kuarter. Kondisi geologi ini diperlihatkan pada Gambar 2.2
Berdasarkan letak dari Peta Geologi lembar Kota Agung, fokus daerah penelitian,
tatanan stratigrafi daerah pemetaan pada lokasi bendungan Way Sekampung (regulating
dam) dan sekitarnya terdiri dari 3 (tiga) Formasi batuan, dari urutan tua sampai ke muda
adalah sebagai berikut:
Kompleks Gunung Kasih (Pzg), terdiri dari sekis (s), kwarsit (k), batupualam (m).
Batuan ini diperkirakan berumur Paleozoikum.
Formasi Gading (Tomg), Tersusun dari batupasir, batulanau dan batulempung
dengan batugamping dan lignit. Batuan ini berumur Pliosen Awal.
Formasi Lampung (Qtl), tersusun oleh tuf batuapung, batupasir tuf, setempat
sisispan tuf. Batuan ini berumur Pleistosen.
Gambar 2.2 Peta Geologi Regional Lembar Kota Agung (T.C.Amin, Sidarto, S.Santosa
dan W. Gunawan (1993)
Gambar 2.3 Peta Geologi Regional Daerah Penyelidikan (Amin dkk, Badan Geologi,
2010)

1. Aluvium (Qa)
Formasi ini terdiri dari bongkah, kerakal, kerikil, pasir, lanau, lempung, lumpur.

2. Batu gamping Koral (Qg)


Batugamping koral sebagai berkeping.

3. Batuan Gunung Api Kuarter Muda (Tmbs)


Formasi ini terbentuk dari breksi, lava dan tuf bersusunan andesit-basalt sumber
dari gunung tanggamus dan gunung rindingan, gunung sekincau, gunung t.tebak,
t.begelung, pesawaran, pematang baru dan b.penetoh.

4. Batuan Gunung Api Kuarter Tua (Qv)


Batuan yang membentuk formasi ini terdiri dari lava andesit-basalt tuf dan breksi
gunung api.
5. Formasi Bintunan (QTb)
Formasi ini terdiri dari batupasir tufan, tuf pasiran,batulempung tufan,
konglomerat aneka bauan, tuf berbatu-apung dan sisa tumbuhan.

6. Formasi Semung (QTse)


Formasi ini terdiri dari batupasir konglomeratan, batupasir dan batulempung.

7. Formasi Ranau (QTr)


Satuan ini terdiri dari breksi batuapung, tuf mikaan, tuf batuapung dan kayu
tersikkan sumber dari ranau, seoh, gedong surian.

8. Formasi Lampung (QTl)


Satuan ini terdiri dari tuf berngan tuf berbatubatuapung, batupasir tuf, setempat
sisispan tuf.

9. Formasi Kasai (QTk)


Formasi ini terdiri dari perselingan batu pasir tufan dengan tuf berbatuapung,
struktur silangsiur, sisipan tipis lignit dan kayu terkersikkan.
10. Formasi Simpang Gaur (Tmps)

Satuan ini terdiri dari batupasir tufan, batulanau tufan, konglomerat aneka bahan
mengandung moluska dan cangkang kerang, setempat sisipan tipis lignit.
11. Formasi Lakitan (Tmpl)

Breksi gunung api bersusunan andesit-basalt, epiklastik, sedikit dasitan, tuf,


batupasir tufan.
12. Formasi Lemau (Tml)

Batupasir tufan dan gampingan, batulempung gampingan dengan sisispan tipis


atau bintal batugamping, mengandung foram dan moluska.
13. Formasi Bal (Tmba)

Breksi gunung api bersusunan dasit, tuf dasitan, dan sisipan batupasir.
14. Formasi Seblat (Toms)
Perselingan batulempung, batupasir, batupasir tufan, serpih, batulanau, umumnya
gampingan dan lapisan tipis atau bintai batugamping.
15. Formasi Gumai (Tmg)

Serpih gampingan, napal, batulempung, batulanau.


16. Formasi Baturaja (Tmb)

Batugamping terumbu, kalkarenit dengan sisipan serpih gampingan dan napal.


17. Formasi Hulusimpang (Tomh)

Breksi Gunung api, lava, tuf bersusunan andesitic- basalt terubah berurat kuarsan
dan bermineral sulfida.
18. Formasi Gading (Tomg)

Batupasir, batulanau, batulempung dengan sisipan batugamping dan lignit.


19. Formasi Talangakar (Tomt)

Breksi konglomeratan, batupasir kuarsa, batupasir dengan sisipan lignit atau


batubara dan batu gamping.
20. Formasi Kikim (Tpok)

Breksi, tuff bersusunan andesit tufit, setemat tuf padu.


21. Formasi Menanga (Km)

Perselingan antara serpih gampingan, batulempung dan batupasir, dengan


sisispan rijang dan lensa batugamping.
22. Kompleks Gunung Kasih (Pzg)

Sekis, kuarsit, batupualam dan migmatit


23. Batuan Terobosan (Tm)

Granit, granodiorit, dasit, diorite


24. Granit Kapur (Kgr)

Granit, granodiorite dan tonalit terdaunkan p: granit padean, c: granit curug.


2.3 Struktur Geologi Regional
Secara umum struktur geologi Pulau Sumatera dapat dibagi menjadi 5 (lima )
bagian, yaitu :
1. Busur luar sunda, berupa busur non volkanik yang terletak diluar pantai barat laut pulau
Sumatera, yaitu sepanjang Pulau Singkil, Nias, Kepulauan Mentawai dan Enggano,
menerus ke selatan Pulau Jawa. Busur ini memisahkan cekungan . sumber daridepan busur
dengan palung tempat menunjamnya lempeng Indo-Australia ke kontinen sunda.
2. Cekungan depan busur, terletak antara busur luar non volkanik dan busur volkanik
Sumatera.
3. Cekungan belakang busur, termasuk cekungan Sumatera Selatan, Sumatera Tengah dan
Utara. Cekungan –cekungan ini terbentuk oleh despresi batuan dasar di kaki Pegunungan
Barisan.
4. Jalur pegunungan Barisan, memanjang arah barat laut – tenggara dan sejajar dengan
Pulau Sumatera.
5. Cekungan Intermontane atau Intra-arc Basin
Daerah Lampung secara umum merupakan bagian dari cekungan Sumatera
Selatan yaitu termasuk dalam cekungan belakang busur Sumatera dan dipisahkan dari
cekungan Sumatera tengah pada bagian utara, olehpegunungan duabelas/tigapuluh, yang
merupakan singkapan batuan Pre Tersier, dan pada bagian selatan dibatasi oleh Tinggian
Lampung. Cekungan Sumatera Selatan di bagian barat di batasi oleh Bukit Barisan dan
bagian timur dibatasi oleh paparan Sunda.
Struktur geologi yang dijumpai pada cekungan Sumatera selatan adalah lipatan,
sesar dan kekar yang sebagian besar terjadi pada batuan Tersier. Lipatan yang terjadi pada
umumnya berarah baratlaut-tenggara sampai barattimur, pada batuan yang berumur
Oligosen-Miosen sampai Pliosen. Sesar turun berarah baratlaut-tenggara, terjadi pada
batuan yang berumur Oligosen-Miosen sampai Miosen tengah, dan pada batuan berumur
MIosen sampai Plio-Pliestosen memiliki arah tiumurlaut-baratdaya sampai utaraselatan.
Kekar yang terjadi umumnya berarah timurlaut-baratdaya sampai timur-barat.
Struktur geologi yang berkembang di daerah Lampung adalah lipatan antiklin,
sinklin, sesar dan kelurusan. Kegiatan kemagmaan kembali meningkat pada Miosen
Tengah yang berlanjut sampai Pliosen. Pada Plio-Plistosen sepanjang sistem sesar
Sumatera terjadi geser menganan berarah baratlaut-tenggara yang diikuti oleh
berkembangnya struktur lipatan sejajar pada cekungan busur belakang. Busur Bukit
Barisan pada zaman Kuarter terjadi kegiatan penunjaman dan menghasilkan tufa, lava dan
breksi gunungapi bersusunan riolit-basalt. Endapan Holosen, diwakili oleh aluvium dan
endapan rawa.

Gambar 2.4 Peta Tektonik Regional Pulau Sumatera

2.4 Teori Dasar


2.4.1 Klasifikasi Geomorfologi

Pengelompokkan bentang alam di daerah pemetaan dilakukan secara sistematis


berdasarkan kenampakan bentuk – bentuk relief di lapangan, kemiringan lereng, serta
struktur geologi yang mengontrolnya. Pembahasan konsep dasar geomorfologi bentuk
bentang alam suatu daerah merupakan pencerminan dari proses endogen dan eksogen
yang mempengaruhinya dimana setiap proses menghasilkan suatu bentuk bentang alam
yang khas. Secara umum geomorfologi daerah pemetaan memperlihatkan satuan
geomorfologi pegunungan, sampai dengan dataran. Pengklasifikasian bentang alam ini,
dilakukan dengan mengacu pada klasifikasi bentuk muka bumi (Bandono dan Budi
Brahmantyo, 2006).

Pengklasifikasian satuan geomorfologi dilakukan mengacu pada parameter-


parameter deskriptif dan genetik tertentu serta pemerian warna bentukan asal berdasarkan
klasifikasi dari Badan Standardisasi Nasional,1999 (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Klasifikasi Pewarnaan Pada Peta Geomorfologi (Badan Standarisasi Nasional,
1999)

Unit Utama Kode Warna

Bentukan asal struktur S (structure) Ungu

Bentukan asal gunungapi V (volcanic) Merah

Bentukan asal denudasi D (denudation) Coklat

Bentukan asal laut M (marine) Biru

Bentukan asal sungai F (fluvial) Hijau

Bentukan asal angin A (aeolian) Kuning

Bentukan asal karst K (karst) Jingga

Bentukan asal glasial G (glacial) Biru Terang


Klasifikasi bentuk muka bumi (Bandono dan Budi Brahmantyo, 2006)
menggunakan prinsip-prinsip utama geologis tentang pembentukan morfologi yang
mengacu pada proses-proses geologis baik endogen maupun eksogen, sehingga dapat
dibagi menjadi sembilan kelas utama berdasarkan kepada deskriptif gejala-gejala geologis
yang diamati melalui peta topografi, foto udara, citra satelit, ataupun pengamatan
morfologi langsung di lapangan. Klasifikasi ini dipilih agar daerah penelitian yang relatif
datar dapat tercirikan secara lebih spesifik.

2.4.2 Derajat Tingkat Pelapukan


Dalam pembuatan peta geologi teknik, perlu diketahui derajat tingkat pelapukan
pada suatu singkapan yang ditemukan. Derajat tingkat pelapukan merupakan usaha untuk
mengetahui adanya urutan perubahan akibat adanya proses pelapukan fisik dan kimia
yang berperan dalam individu atau kombinasinya, beserta sifat – sifat keteknikan pada
masing – masing derajat pelapukannya. Dalam pembuatan peta geologi teknik digunakan
klasifikasi klasifikasi International Society for Rock Mechanic (ISRM) 1978. Klasifikasi
ISRM (1978) dibuat berdasarkan beberapa karakteristik yang ditemukan pada singkapan.
Pada Tabel 2.3 menjelaskan mengenai klasifikasi ISRM (1978).
Tabel 2.2 Klasifikasi derajat pelapukan ISRM (1978).
2.4.3 Terowongan Secara Umum
Terowongan adalah struktur bawah tanah yang mempunyai panjang lebih dari
lebar penampang galiannya, dan mempunyai gradien memanjang kurang dari 15%.
Terowongan umumnya tertutup di seluruh sisi kecuali di kedua ujungnya yang terbuka
pada lingkungan luar. Terowongan umumnya dibuat melalui berbagai jenis lapisan tanah
dan bebatuan sehingga metode konstruksi pembuatan terowongan tergantung dari keadaan
tanah. Metode konstruksi yang lazim digunakan dalam pembuatan terowongan antara lain
Cut and Cover System, Pipe Jacking System (Micro Tunneling), Tunneling Bor Machine
(TBM), New Austrian Tunneling Method (NATM), dan Immersed-Tube Tunneling System.
Ditinjau berdasarkan kegunaan terowongan, Made Astawa Rai (1988) membagi
terowongan menjadi bagian, yaitu: a.) Terowongan lalu – lintas (traffic tunnel) seperti
Terowongan kereta api, Terowongan pejalan kaki, Terowongan jalan raya dan b.)
Terowongan Tambang dan c.) Terowongan Angkutan seperti Terowongan Pengelak.

2.4.4 Sistem Klasifikasi Massa Batuan


Kebanyakan lubang bukaan (terowongan) sekarang dibangun berdasarkan
beberapa sistem klasifikasi massa batuan. Seperti yang banyak digunakan dan yang
paling baik diketahui adalah klasifikasi beban batuan Terzaghi. Klasifikasi ini sudah
diperkenalkan lebih dari 40 tahun yang lalu (Terzaghi, 1946).
Tahun 1970 klasifikasi Terzaghi dimodifikasi Deere dan kawan-kawan dan
membuat klasifikasi sistem baru. Sistem klasifikasi ini memperkenal kan teknologi
penyangga batuan yang diberi nama “rock bolt” dan “shotcrete”, yang digunakan
diberbagai proyek, seperti di terowongan, ruang bawah tanah, tambang, lereng dan
pondasi.
Saat ini terdapat berbagai sistem klasifikasi massa batuan dan aspek
penerapannya, yaitu:
1. Rock Load (Terzaghi, USA 1946), untuk penerowongan dengan
memperkirakan beban batuan yang disangga dengan penyangga baja (sekarang
hanya dipakai sebagai topik bahasan teoritis saja).
2. Stand-up Time (Lauffer, Austria 1958), untuk penerowongan. Klasifikasi ini
didasarkan hasil kerja Stini (1950) dan merupakan langkah maju dalam seni
penerowongan dengan memperkenalkan “stand-up time” dari “active span”.
Dimana dapat ditentukan tipe dan jumlah penyangga di dalam terowongan
secara relevan.
3. New Austrian Tunneling Method (NATM, Pacher dan kawan-kawan, Austria,
1964), untuk penerowongan. Metode NATM merupakan pendekatan saintifik
empiric, yang melibatkan pengalaman praktek yang disebut “empirical
dimensioning” (Rabcewicz, 1964). Ini merupakan dasar teoritis yang
melibatkan hubungan antara tegangan dan deformasi di sekeliling terowongan
(lebih dikenal dengan konsep ground-reaction). Pada awalnya ini merupaka
dasar teoritis yang diberikan oleh Fenne dan Kastner. Kemudian metode ini
dikembangkan dengan menggunakan instrument in-situ dan pemantauan yang
canggih dan menginterpretasikan pengukuran secara saintifik
4. Rock Quality Designation (RQD, Deere dan kawan-kawan, USA, 1967), untuk
“core logging” dan penerowongan. RQD adalah modifikasi dari persentase
dari perolehan inti yang utuh dengan panjang 10 cm atau lebih. Ini adalah
indeks kuantitatif yang telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi
daerah batuan dan kualitasnya, sehingga dapat diputuskan untuk menambah
pemboran atau pekerjaan eksplorasi lainnya.
5. Rock Structure Rating (RSR, Wickman dan kawan-kawan, USA, 1972), untuk
penerowongan, Konsep RSR memandang dua parameter umu dari faktor yang
mempunyai perilaku massa batuan di dalam terowongan yaitu parameter
geologi dan parameter konstruksi.
6. Rock Mass Rating System (RMR-System, Bienawski, Afrika Selatan, 1973),
untuk penerowongan, tambang, lereng, dan pondasi. RMR-System
menggunakan enam parameter untuk menilai kualitas massa batuan yaitu kuat
tekan batuan, RQD, jarak bidang diskontinuitas, kondisi bidang diskontinuitas,
kondisi air tanah dan orientasi bidang diskontinuitas
7. Q-System (Barton, Lien, Lunde, Norway, 1974), untuk penerowongan dan
ruang bawah tanah. Klasifikasi ini juga menggunakan 6 parameter untuk
penilaian numeric kualitas massa batuan, yaitu RQD, jumlah set kekar, jumlah
set “roughness”, derajat alternasi, aliran air tanah dan kondisi tegangan.
8. Rock Mass Index (Palmstrom, Norway, 1995), untuk “rock engineering”,
evaluasi penyangga, masukan dalam mekanika batuan. Dalam sistem ini juga
memasukan parameter kuat tekan uniaksial material batuan dan set kekar
(bidang diskontinuitas)

2.4.5 Struktur Geologi

Geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tentang bentuk

(arsitektur) batuan sebagai hasil dari proses deformasi. Proses deformasi adalah perubahan

bentuk dan ukuran pada batuan akibat dari gaya (force) yang terjadi di dalam bumi. Gaya

tersebut pada dasarnya merupakan proses tektonik yang terjadi di dalam bumi. Di dalam

pengertian umum, geologi struktur adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk batuan

sebagai bagian dari kerak bumi serta menjelaskan proses pembentukannya.

Beberapa penulis menganggap bahwa geologi struktur lebih ditekankan pada studi

mengenai unsur-unsur struktur geologi, misalnya perlipatan (fold), rekahan (fracture),

sesar (fault), dan sebagainya, sebagai bagian dari satuan tektonik (tectonic unit),

sedangkan tektonik dan geotektonik dianggap sebagai suatu studi dengan skala yang lebih

besar, yang mempelajari obyek-obyek geologi seperti cekungan sedimentasi, rangkaian

pegunungan, lantai samudera, dan sebagainya.

2.4.6 Definisi Sesar


Sesar adalah rekahan atau zona rekahan pada batuan yang memperlihatkan

peregeseran. Pergeseran pada sesar bisa terjadi sepanjang garis lurus (translasi) atau

terputar (rotasi). Sesar merupakan struktur bidang dimana kedudukannya dinyatakan

dalam jurus dan kemiringan.

Separation (pergeseran relatif semu) adalah jarak yang terpisah oleh sesar dan

diukur pada bidang sesar. Komponen dari sparation dapat diukur pada arah tertentu,

umumnya sejajar jurus atau arah kemiringan bidang sesar.

Slip (pergeseran relatif sebenarnya) adalah pergeseran relatif sebenarnya pada sesar,

diukur dari blok satu keblok yang lain pada bidang sesar dan merupakan pergeseran titik-

titik yang sebelumnya berimpit. Total pergeseran disebut juga ”Net slip”.

Throw (loncatan vertikal) adalah jarak yang diukur pada bidang vertikal dari

slip/sparation.

Heave (loncatan Horizontal) adalah jarak yang diukur pada bidang horizontal.

Foot wall adalah blok tubuh batuan yang terletak dibawah bidang sesar.

Hanging wall adalah blok tubuh batuan yang terletak di atas bidang sesar.
Gambar 2.5 Diagram Blok Sesar.

2.4.7 Klasifikasi Sesar

Sesar dapat diklasifikasikan dengan pendekatan geometri yang berbeda. Beberapa

klasifikasi diantaranya adalah :

 Berdasarkan hubungan dengan struktur lain (sesar bidang perlapisan, sesar

longitudinal, sesar transversal)

 Berdasarkan pola kumpulan sesar (sesar radial, sesar paralel, sesar en echelon).

Aspek terpenting dari geometri sesar adalah pergeseran. Atas dasar ini, sesar dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

Berdasarkan sifat pergeseran relatif semu

1. Strike separation fault adalah pergeseran relatif semu searah dengan jurus bidang sesar,

yang terdiri dari :

a. Strike left separation fault jika kita berdiri di suatu blok dari suatu sesar maka akan

terlihat jejak pergeseran semu pada blok yang lain bergeser ke arah kiri. (gambar 2.9).

b. Strike right separation fault jika kita berdiri di suatu blok dari suatu sesar maka akan

terlihat jejak pergeseran semu pada blok yang lain bergeser ke arah kanan (gambar 2.9)
Gambar 2.6 Pergeseran semu mengiri dan menganan dari sesar mendatar

a. Dip separation fault adalah pergeseran relatif semu searah dengan

kemiringan bidang sesar, yang terdiri dari : Normal separation fault

jika sesar dilihat penampang vertikal, jejak pergeseran pada footwall

ditemukan diatas jejak yang sama pada hangingwall (gambar 2.10).

b. Reverse separation fault jika sesar dilihat pada penampang vertikal,

jejak pergeseran pada footwall ditemukan dibawah jejak yang sama

pada hangingwall (gambar 2.10).

Gambar 2.7 Pergeseran semu ke bawah dan ke atas dari sesar normal dan sesar naik

berdasarkan sifat pergeseran relatif sebenarnya

1. Strike slip fault adalah pergeseran relatif semu searah dengan jurus bidang

sesar, yang terdiri dari :

a. Strike left slip fault jika kita berdiri di suatu blok dari suatu sesar maka

akan terlihat jejak pergeseran sebenarnya pada blok yang lain bergeser

ke arah kiri.
b. Strike right slip fault jika kita berdiri di suatu blok dari suatu sesar

maka akan terlihat jejak pergeseran sebenarnya pada blok yang lain

bergeser ke arah kanan.

2. Dip slip fault adalah pergeseran relatif sebenarnya searah dengan

kemiringan bidang sesar, yang terdiri dari :

a. Normal slip fault blok hangingwall relatif turun terhadap footwall.

b. Reverse slip fault blok hangingwall bergerak relatif naik terhadap

footwall.

3. Oblique slip fault adalah pergeseran miring relatif sebenarnya terhadap

bidang sesar. Untuk penamaan sesar ini dipakai kombinasi istilah “dip slip

dan strike slip” seperti di bawah ini.

a. Normal left slip fault

b. Normal right slip fault

c. Reverse right slip fault

d. Reverse right slip fault

e. Vertical oblique slip fault

4. Sesar Rotasi adalah yang memperlihatkan pergeseran berputar pada bidang

sesarnya.

a. Clockwise rotational fault blok yang berlawanan bergerak searah

jarum jam.
b. Anticlockwise rotational fault blok yang berlawanan bergerak

berlawanan arah jarum jam.

Gambar 2.8 Jenis – jenis sesar

2.4.8 Analisa Struktur Sesar

Sesar adalah struktur rekahan yang telah mengalami pergeseran. Sifat

pergeserannya dapat bermacam-macam, mendatar, miring (oblique), naik dan turun.

Didalam mempelajari struktur sesar, disamping geometrinya yaitu, bentuk, ukuran, arah,

dan polanya, yang penting juga untuk diketahui adalah mekanisme pergerakannya.

2.4.9 Sesar dan Struktur Penyerta

Gejala sesar seringkali disertai dengan gejala struktur yang lain, misalnya kekar,

lipatan, drag fold (lipatan seretan), breksiasi abibat sesar, milonit, filonit dan sebagainya.

Struktur – struktur ini sangat penting untuk membantu didalam analisis tentang

pergerakan sesar.

1. Kekar dan Urat (vein)

Kekar adalah gejala yang umum terdapat dalam batuan. Kekar dapat terbentuk

karena tektonik (deformasi) dan dapat terbentuk juga secara non tektonik (pada
saat diagenesa, proses pendinginan dsb). Dalam hal ini kita membatasi pada jenis

kekar yang terbentuk secara tektonik.

Kekar merupakan salah satu struktur yang sulit diamati, sebab kekar dapat

terbentuk pada setiap waktu kejadian geologi, misalnya sebelum terjadinya suatu

lipatan,atau terbentuknya semua struktur tersebut. Hal ini yang juga merupakan

kesulitan adalah tidak adanya atau relatif kecil pergeseran dari kekar, sehingga

tidak dapat ditentukan kelompok mana yang terbentuk sebelum dan sesudahnya.

Secara kejadiannya (genetik) kekar dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu:

a. Kekar gerus (shear fracture) : adalah rekahan yang bidang-bidangnya

terbentuk karena adanya kecenderungan untuk salin bergeser (shearing).

b. Kekar tarik (extention fractire) : adalah rekahan yang bidang-bidangnya

terbentuk karena adanya kecenderungan untuk saling menarik (meregang).

Extension farcture dapat dibendakan sebagai:

a. Tension fracture : ialah kekar tarik yang bidang rekahnya searah dengan arah

tegasan.

b. Release fracture : ialah kekar yang terbentuk akibat hilangnya atau

pengurangan tekanan dan tegak lurus terhadap gaya utama.


Gambar 2.9 Hubungan Struktur Sesar, Lipatan dan Kekar (Moody dan Hill, 1956).

2. Breksi sesar dan Milonit

Bidang sesar biasanya trerisi oleh bahan-bahan fragmental yang disebut ”Breksi

sesar”. Ada kalanya bahan ini agak lunak dan hancur yang disebut sebagai

”Gouge”, juga pada batuan metamorf menunjukkan lembar-lembar yang berupa

struktur aliran. Pada bagian yang sangat intensif tingkat kehancurannya

(deformasi), zona sesar dapat berupa serbuk berbutir halus dan lunak yang disebut

”milonit”.

Gejala-gejala ini merupakan bukti-bukti yang dapat dipakai untuk menduga

kelurusan dan kemenerusan dari jalur sesar. Arah – arahnya misalnya didapatkan

dari orientasi memanjangnya fragmen atau jalur breksiasi, arah bidang – bidang
gerusan (shearing) dan milonit dan sebagainya. Arah ini akan membantu untuk

menentukan bidang sesar.

3. Struktur seretan (drag)

Struktur seretan (fault drag atau drag fold) adalah gejala penyerta disekitar bidang

sesar yang terbentuk akibat pergerakan sesar. Struktur ini dapat menunjukkan

gerak relatif sebenarnya. Struktur ini tampak pada perlapisan atau bidang foliasi.

Ada 2 macam seretan (drag) yang dapat terbentuk yaitu ”seretan normal” (normal

fold) dan ”seretan naik” (reverse drag).

Gambar 2.10 Pemodelan Drag Fold.

4. Cermin sesar (slickensides) dan Gores garis (striation)

Slickensides atau cermin sesar adalah gejala yang tampak pada permukaan bidang

– bidang yang tergeser. Dapat terbentuk pada bidang sesar atau bidang-bidang

kekar yang menyertainya. Struktur tersebut merupakan bidang-bidang halus, dan

goresan – goresan (striations) yang seolah-olah dipoles. Seringkali disertai dengan


jenjang – jenjang (steps), yang merupakan kekar yang terbentuk akibat gerak

relatif dari bidang itu.

Gambar 2.11 Pemodelan Bidang Sesar

2.4.10 Bentuk Penampang Terowongan


Terowongan dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan, lokasi, dan situasi
geologinya. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai terowongan pengelak (diversion
tunnel) dengan tipe Run-off River. Terowongan pengelak (diversion tunnel) adalah
terowongan yang digunakan untuk mengalihkan aliran sungai agar lokasinya menjadi
kering yang memungkinkan pembangunan bendungan dilaksanakan secara teknis.
Setelah kita mengetahui kondisi batuan, rencana ukuran diameter terowongan,
kondisi umum geologi daerah, maka kita dapat merancang bentuk terowongan yang sesuai
dengan kondisi daerah seefisien dan seekonomis mungkin agar dapat menekan angka
biaya yang dikeluarkan selama pembangunan berlangsung. Bentuk-bentuk terowongan
didesain dan disesuaikan oleh beberapa faktor, antara lain faktor peruntukan terowongan,
alat penggalian, kondisi massa batuan dan debit air yang dibutuhkan.
A. Bentuk Polisentris

Gambar 2.12 Penampang Bentuk Polisentris (Koesnaryo, 1994)


Penampang polisentris adalah salah satu penampang yang terbaik untuk sebagian
besar kondisi, dikarenakan jumlah titik pusat dan panjang jari-jari yang dapat disesuaikan
dengan kondisinya.

B. Bentuk Lingkaran

Gambar 2.13 Penampang Bentuk Lingkaran (Koesnaryo, 1994)


Keuntungan dari penampang ini adalah mampu menahan gaya- gaya eksternal
maupun internal dengan sangat baik. Sangat sesuai untuk mengangkut air karena tidak
diperlukan filling (isian/timbunan) di samping memberikan luas penampang maksimum
dengan parameter/keliling yang minimum. Baik penampang sirkular maupun penampang
elips digunakan untuk terowongan saluran air. Kerugian penampang lingkaran ini adalah
membutuhkan filling yang banyak untuk terowongan jalan kereta dan jalan raya. Di
samping itu bentuknya menyulitkan pada saat pengecoran concrete.
C. Bentuk Tapal Kuda

Gambar 2.14 Penampang Bentuk Tapal Kuda (Koesnaryo, 1994)


Penampang ini adalah kombinasi dari penampang lingkaran dengan arch tunnel.
Keuntungannya adalah lantai terowongan yang cukup datar, sehingga memberikan ruang
kerja yang cukup bagi kontraktor.

D. Bentuk Telur

Gambar 2.15 Penampang Bentuk Telur (Koesnaryo, 1994)


Bentuk ini seringkali digunakan untuk saluran pembuangan, karena penampang
bawah yang kecil dan berfungsi untuk menjaga kecepatan aliran air yang mengangkut
endapan pada musim kering maupun hujan.
E. Bentuk Elips

Gambar 2.16 Penampang Bentuk Elips (Koesnaryo, 1994)


Bentuk ini memiliki sumbu utama vertical sesuai untuk kondisi tanah yang lunak.

f. Penampang Segmetal

Gambar 2.17 Penampang Bentuk Segmental (Koesnaryo, 1994)


Bentuk ini memiliki atap berupa segmen sirkular dengan dinding samping dan
lantai yang datar. Biasanya digunakan untuk terowongan jalan bawah tanah maupun
terowongan navigasi.

2.4.11 Rock Mass Rating (RMR)

Tabel 2.1 Pembobotan RMR (Bieniawski, 1989)

No. Kelas Pemerian Bobot


1 I Sangat Baik 100 - 81
2 II Baik 80 - 61
3 III Sedang 60 – 41
4 IV Buruk 40 - 21
5 V Sangat Buruk < 21
Rock Mass Rating (RMR) atau juga dikenal dengan Geomechanichs Classification
dikembangkan oleh Bieniawski pada tahun 1972-1973. Metode rating dipergunakan pada
klasifikasi ini. Besaran rating tersebut didasarkan pada pengalaman Bieniawski dalam
mengerjakan proyek-proyek terowongan dangkal. Metode ini telah dikenal luas dan
banyak diaplikasikan pada keadaan dan lokasi yang berbeda-beda seperti tambang pada
batuan kuat, terowongan, tambang batubara, kestabilan lereng, dan kestabilan pondasi.
Metode ini dikembangkan selama bertahun-tahun seiring dengan berkembangnya studi
kasus yang tersedia dan disesuaikan dengan standart dan prosedur yang berlaku secara
internasional (Bieniawski, 1989).
Metode klasifikasi RMR merupakan metode yang sederhana dalam penggunaan,
dan parameter-parameter yang digunakan dalam metode ini dapat diperoleh baik dari data
lubang bor maupun dari pemetaan struktur bawah tanah. Metode ini dapat diaplikasikan
dan disesuaikan untuk situasi yang berbeda-beda seperti tambang batubara, tambang pada
batuan kuat (hard rock), kestabilan lereng, kestabilan pondasi, dan untuk kasus
terowongan seperti judul saya.
Dalam menerapkan sistem ini, masa batuan dibagi menjadi seksi-seksi menurut
struktur geologi dan masing-masing seksi diklasifikasikan secara terpisah. Batas-batas
seksi umumnya struktur geologi mayor seperti patahan atau perubahan jenis
litologi/batuan. Perubahan signifikan dalam spasi atau karakteristik bidang diskontinue
mungkin menyebabkan jenis masa batuan yang sama dibagi juga menjadi seksi-seksi yang
berbeda.
Tujuan dari sistem RMR adalah untuk mengklasifikasikan kualitas masa batuan
dengan menggunakan data permukaan. Dalam rangka untuk memandu metode penggalian
dan juga untuk memberikan rekomendasi pertambangan mendukung serta rentang yang
tidak didukung dan stand-up time. Selain itu, menurut metode RMR, yang tergantung pada
kondisi masa batuan di daerah penelitian, penelitian ini mencoba umtuk mencari tau
bagaimana kondisi pada batuan yang berkaitan dengan support pada tunnel, dan dapat
juga mencegah terjadinya resiko resiko potensial.

2.4.12 Parameter-Parameter Rock Mass Rating


Sistem klasifikasi massa batuan RMR menggunakan 6 parameter berikut dimana
rating setiap parameter dijumlahkan untuk memperoleh nilai RMR:
1. Kuat tekan batuan (UCS)
2. Rock Quality Designation (RQD)
3. Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of Discontinuities)
4. Kondisi kekar (Condition of Discontinuities)
5. Kondisi air tanah (Groundwater Conditions)
6. Orientasi diskontinuitas

a. Kuat tekan Batuan (UCS)


Bieniawski (1984), kekuatan suatu batuan secara utuh dapat diperoleh dari Point
Load Strength Index atau Uniaxial Compressive Strengh. Beliau menggunakan klasifikasi
Uniaxial Compressive Strength (UCS) yang telah diusulkan oleh Deere & Miller, 1968
(Bieniawski, 1984) dan juga UCS yang telah ditentukan dengan menggunakan Hammer
Test. Kekuatan batuan utuh adalah kekuatan suatu batuan untuk bertahan menahan suatu
gaya hingga pecah. Kekuatan batuan dapat dibentuk oleh suatu ikatan adhesi antarbutir
mineral atau tingkat sementasi pada batuan tersebut, serta kekerasan mineral yang
membentuknya. Hal ini akan sangat berhubungan dengan genesa, komposisi, tekstur, dan
struktur batuan. Klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Bobot Kuat Tekan Batuan (Bieniawski, 1984)

No. Kelas Kekuatan Bobot


1 Very low < 25 MPa 0-2
2 Low 25 - 50 MPa 4
3 Medium 50 – 100 MPa 7
4 High 100 – 250 MPa 12
5 Very high > 250 MPa 15

b. Rock Quality Designation (RQD)


Menurut Deere et al., (1967, dalam Hoek, 1995) kualitas massa batuan dapat
dinilai dari harga RQD, yaitu suatu pedoman secara kuantitatif berdasarkan pada
perolehan inti yang mempunyai panjang 10 cm atau lebih tanpa rekahan. Nama lain dari
RQD adalah suatu penilaian kualitas batuan secara kuantitatif berdasarkan kerapatan
kekar.

Gambar 2.18 Pengukuran dan Perhitungan RQD (Deere,1988)


Ini adalah suatu indeks kualitatif yang didasarkan pada presentasi jumlah panjang
dari core yang mempunyai panjang lebih dari 10 cm terhadap panjang core keseluruhan
(Deere, 1988). Ukuran core yang dipergunakan sesuai rekomendasi dari International
Society for Rock Mechanic (ISRM) adalah core dengan diameter lebih dari 54 mm.
Klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Bobot RQD (Deere, 1988)

No. RQD Kelas Bobot


1 0 – 25 % Very Poor 3
2 25 – 50 % Poor 8
3 50 – 75 % Fair 13
4 75 – 90 % Good 17
5 90 – 100 % Excellent 20

c. Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of Discontinuities)


Diskontinuitas adalah bentuk-bentuk ketidakmenerusan massa batuan, seperti
kekar, bedding atau foliasi, shear zones, sesar minor, atau bidang lemah lainnya. Jarak
diskontinuitas dapat diartikan sebagai jarak rekahan bidang-bidang yang tidak sejajar
dengan bidang-bidang lemah lain. Sedangkan spasi bidang diskontinuitas adalah jarak
antar bidang yang diukur secara tegak lurus dengan bidang diskontinuitas. Berikut adalah
klasifikasi beserta bobot yang umum dipakai:

Tabel 2.4 Klasifikasi Jarak antar (spasi) kekar (Goodman, 1980)

No. Kelas Bobot


1 > 200 cm 20
2 60 – 200 cm 15
3 20 – 60 cm 10
4 6 – 20 cm 8
5 < 6 cm 5

d. Kondisi kekar (Condition of Discontinuities)


Kondisi diskontinuitas merupakan suatu parameter yang terdiri dari beberapa sub-
sub parameter, yakni kemenerusan bidang diskontinuitas (persistence), lebar rekahan
bidang diskontinuitas (aperture), kekasaran permukaan bidang diskontinuitas
(roughness), material pengisi bidang diskontinuitas (infilling), dan tingkat pelapukan dari
permukaan bidang diskontinuitas (weathered).
Tabel 2.5 Bobot Kondisi Bidang Diskontinuitas (Goodman, 1980)

No. Kelas Bobot


Very rough surface, Not continuous, No separation, Hard joint
1 30
wall rock
2 Slightly rough surface, Separation < 1, Hard joint wall 25
3 Slightly rough surface, Separation < 1, Soft joint wall 20
Slickensided surface or, Gouge < 5 mm thick, Separation 1 – 5
4 10
mm, Continuous joint
5 Soft Gouge > 5 mm, Separation > 5 mm, Continuous joint 5

e. Kondisi air tanah (Groundwater Conditions)


Air tanah sangat berpengaruh terhadap lubang bukaan suatu terowongan, sehingga
posisi muka air tanah terhadap posisi lubang bukaan sangat perlu diperhatikan. Kondisi
air tanah dapat dinyatakan secara umum, yaitu kering (dry), lembab (damp), basah (wet),
menetes (dripping), dan mengalir (flowing).
Tabel 2.6 Kondisi Air Tanah (Goodman, 1980)
No. Kondisi Bobot
1 Kering 15
2 Lembab 10
3 Basah 7
4 Menetes 4
5 Mengalir 0

f. Orientasi Diskontinuitas
Orientasi diskontinuitas merupakan strike/dip diskontinuitas (dip/dip direction).
Orientasi bidang diskontinuitas sangat mempengaruhi kestabilan lubang bukaan
terowongan, terutama apablika adanya deformasi yang mengakibatkan berkurangnya
suatu kuat geser.
Orientasi bidang diskontinuitas yang tegak lurus sumbu lintasan terowongan,
sangat menguntungkan. Sebaiknya orientasi bidang diskontinuitas yang sejajar dengan
sumbu lintasan terowongan, akan sangat tidak menguntungkan.
Di lapangan, orientasi bidang diskontinuitas dapat diperoleh dengan mengukur
strike/dip kekar menggunakan kompas geologi. Begitu pula dengan arah lintasan
terowongan, dapat diperoleh dengan mengukur azimuth arah lintasan terowongan
menggunakan kompas geologi.
Tabel 2.7 Pembobotan Orientasi Diskontinuitas (Bieniawski, 1989)

No. Kondisi Bobot


1 Sangat Baik 0
2 Baik -2
3 Sedang -5
4 Buruk -10
5 Sangat Buruk -15
2.4.13 Klasifikasi Stand-up Time
Metode ini diperkenalkan oleh Lauffer pada 1958. Metode ini adalah metode
dengan bertambahnya span terowongan akan menyebabkan berkurangnya waktu berdiri
terowongan tersebut tanpa penyangga. Metode ini sangat berpengaruh pada klasifikasi
massa batuan. Faktor-faktor yang berpengaruh pada klasifikasi tersebut ialah arah sumbu
terowongan, bentuk potongan melintang, metode penggalian, dan metode penyangga.

Gambar 2.19 Grafik untuk penentuan span dan Stand Up Time (Lauffer, 1958)
Keterangan:
 Sumbu X: menunjukkan Stand Up Time (jam)
 Sumbu Y: jarak span dengan keadaan atap tanpa didukung (meter) Parameter
yang didapat dari grafik di atas:
 Nilai Stand Up Time (jam)
 Jarak span (meter)
 Waktu ketahanan batuan sebelum runtuh tanpa penyangga
 Perlu/tidaknya penyangga

a. Analisis dan perhitungan


Pemberian poin/nilai dari masing-masing parameter tidak sama, nilai dominan
ditempatkan pada penilaian kondisi retakan, dengan maksimum poin 30. Spasi retakan
dan RQD mempunyai nilai maksimum 20. Kuat tekan dan kondisi air mempunyai nilai
maksimum 15. Akumulasi poin dari semua parameter di atas disebut dengan nilai RMR.
Hasil analisis perhitungan RMR pada batuan, maka kita dapat mengklasifikasikan batuan
tersebut kedalam kelas batuan menurut Bieniawski (1989).
Setelah kita mengetahui kelas masing-masing batuan, kitapun sudah dapat
memberikan informasi rekomendasi metode penggalian dan sistem penyangga awal yang
tepat terhadap batuan yang dihadapi. Rekomendasi sistem penyangga akan disesuaikan
dengan kelas batuan dengan acuan rekomendasi menurut Bieniawski, 1984 (Tabel 2.8)

Tabel 2.8 Petunjuk Metode Penggalian dan Sistem Penyangga Terowongan


(Bieniawski, 1984)

PENYANGGA
KELAS ROCK BOLT
MASS (20mm
A PENGGALIAN Dia,
BATU SHOTCRETE STEEL SETS
Fully
AN Groute
d)
Batuan Sangat
Baik Full Face,
(Kelas dengan Umumnya tanpa penyanggaan, adakalanya pengukuran
I) Kemajua dilakukan untuk memakai “spot bolting”
RMR n 3m
81-100
Lokalisasi,
bolts
Full Face,
pada
dengan
atap
Batuan Baik kemajua
sepanja
(Kelas n 1-1.5m
ng 3 m
II) penyang 50mm di atap Tidak ada
adakala
RMR ga
nya
61-80 komplet
dengan
20m dari
wire
face
mesh

Bolt Sistematis
Top heading dan panjan
bench, g4m
dengan dengan
kemajua spasi
Batuan Sedang n 1,5 – 3 1,5–2
50 – 100 mm di
(Kelas m. m di
atapdan30
III) Penyang atap
mmdi
RMR gan dan di Tidak ada
dinding
41 – dimulai dinding
(sides)
60 setelah . Pada
peledaka atap
n dan 10 dibuat
m dari dengan
face. wire
mesh.

Top heading dan Bolt sistematis


bench, panjan
Batuan Buruk dengan g4–5
100 – 150 mm di Ribs ringan –
(Kelas kemajua m
atap dan sedang
IV) n 1 – 1,5 dengan
100 mm di dengan
RMR di top spasi 1
dinding spasi
21 – heading. – 1,5 m
(sides) 1,5 m
40 Lakukan di atap
penyang dan di
gaan dinding
setiap 10 dengan
m wire
penggali mesh.
an dari
face.

Multiple drifts
dengan
Bolt sistematis
kemajua
panjan
n 0,5 –
g5–6
1,5 m di Rib sedang –
m
top berat
dengan
heading. 150 – 200 mm di dengan
Batuan Sangat spasi 1
Buat atap, 150 spasi
Buruk – 1,5 m
penyang mm di 0,75 m
(Kelas di atap
ga setiap dinding dengan
V) dan di
penggali (sides), dan steel
RMR dinding
an. 50 mm lagging
< 20 dengan
Shotcret pada face dan
wire
ed forepol
mesh.
segera ing.
Buat
dipasang
Bolt di
setelah
lantai
peledaka
(invert)
n.

Tabel rekomendasi menurut Bieniawski adalah tabel yang berisi rekomendasi


secara umum/tidak ekonomis. Untuk itu, analisa perhitungan tinggi beban, beban
penyangga dan analisa nilai tekanan dari masing-masing batuan sangat diperlukan untuk
dapat memberikan rekomendasi seekonomis mungkin. Adapun hasil analisa perhitungan
tersebut didapat dengan menggunakan rumus di bawah:
1. Tinggi beban runtuhan (Singh, 2006) menyatakan tinggi beban penyangga
yang bisa diperkirakan akan runtuh jika tidak diberi penyangga, dengan
persamaan:
100 − 𝑅𝑀𝑅
ℎ𝑡 = ( ).𝐵
100
Dimana: ht : tinggi beban runtuhan (m)
RMR : bobot kelas batuan
B : lebar terowongan (m)
2. Beban penyangga batuan Unal (1983) perlu diperhitungkan sebelum
melakukan rekomendasi penyangga dari batuan, dengan persamaan:
100 − 𝑅𝑀𝑅
𝑃=( ) . 𝛾. 𝐵
100
Dimana: P : beban penyangga beton (ton/m2)
RMR : bobot kelas batuan
γ : densitas batuan (ton/m2)
B : lebar Terowongan (m)
3. Setelah melakukan perhitungan tinggi beban runtuhan dan beban penyangga,
selanjutnya kita dapat memperhitungkan tebal shotcrete yang akan
ditembakkan (Biron, 1983), dengan persamaan:
𝑃. 𝑟
𝑡 = 0,434.
𝜏
Dimana: t : tebal beton tembak (shotcrete) (m)
P : beban penyangga (ton/m2)
r : jari-jari tunnel (m)
τ : tegangan geser yang diizinkan dari shotcrete = 0,2
σb : kuat geser shotcrete = 3 MPa = 305,915 ton/m2

4. Setelah didapat hasil perhitungan dari persamaan yang sudah ada sebelumnya, maka
dilanjutkan dengan memperhitungkan tekanan maksimum yang dapat diterima
shotcrete (Singh, 2006), dengan persamaan:
𝜎𝑏 (𝑟 − 𝑡)2
𝑃𝑠𝑐 𝑚𝑎𝑥 = . (1 − )
2 𝑟2
Dimana: Pscmax : tekanan maksimum shotcrete (ton/𝑚2)
σb : kuat geser shotcrete = 3 MPa = 305,915 ton/m2
r : jari-jari tunnel (m)
𝑡 : tebal shotcrete (m)
b. Metode Penggalian
Banyak cara dalam tahapan penggalian, namun tidak semua cara cocok dalam
tahap penggalian ini, bahkan ada tahapan yang perlu menggunakan biaya yang cukup
besar dan ada juga yang perlu waktu yang cukup lama. Semua tergantung oleh keadaan
massa batuan yang ada di wilayah penggalian. Di bawah ini akan dijelaskan tiga cara
penggalian yang umum digunakan di Indonesia, selebihnya sesuai perkembangan
teknologi dan berkembangnya alat-alat untuk penggalian biasanya di desain sendiri oleh
suatu negara untuk kepentingan penggalian di wilayahnya.

1. Cara Konvensional
Untuk tanah yang keras tetapi cukup stabil, terowongan digali dengan tenaga
manusia dengan menggunakan alat yang bernama snapper/rock-drill dan setelah
penggalian selesai, sesegera mungkin tanah di support (umumnya dengan steel support).

2. Drill and Blast


Untuk tanah yang keras dan stabil, permukaan yang akan digali, dibor dengan alat
bor untuk memasang bahan peledak secukupnya sesuai perencanaan. Sebelum peledakan
dimulai, semua barang, alat dan tenaga/pekerja harus menjauh. Setelah peledakan selesai,
asap dan gas disedot keluar dengan perlengkapan pipa ventilasi, baru setelah udara bersih,
para pekerja boleh kembali ke tempat untuk membuang keluar material ledakan dari
terowongan.

3. Penggalian Batuan
Ada beberapa metode dalam penggalian jenis ini. Metode-metode tersebut dipilih
berdasarkan atas beberapa hal, antara lain ukuran dari bor, peralatan yang tersedia dan
kondisi formasi dari tanah/batuan yang ada. Pada umumnya metode ini dibagi tiga, yaitu:
1. Full Face Method
2. Top Heading and Bench Method
3. Drift Method
Penggalian terowongan jenis ini biasa dilakukan dengan cara peledakan. Teknis
peledakan antara lain diameter bor, kedalaman bor, arah lubang bor serta berat bahan
peledak yang harus dipasang dan dilakukan oleh tenaga yang berpengalaman.

3.1 Full Face Method

Gambar 2.3 Full Face Method (Made Astawa Rai, 1988)


Pada metode ini terowongan digali secara sekaligus untuk luasan penampang
terowongan yang diinginkan. Biasanya metode ini digunakan untuk terowongan yang
berukuran kecil dengan diameter yang kurang dari tiga meter. Dalam metode ini, pada
seluruh muka galian dilakukan pengeboran, kemudian diisi bahan peledak disetiap lubang
bor dengan jumlah yang sesuai kebutuhan dan diledakan secara sekaligus sehingga
membentuk penampang terowongan yang diinginkan. Untuk mempercepat proses
pengeboran, khususnya untuk terowongan dengan penampang yang luas, telah
dikembangkan alat pengeboran besar yang memiliki banyak alat bor yang dapat
dioperasikan secara bersamaan.

3.2 Top Heading And Bench Method


Pada metode ini, terowongan digali secara bertahap, yaitu bagian atas (heading)
digali terlebih dahulu, kemudian bagian bawah (bench). Bila kondisi tanah/batuan cukup
kuat, stabil dan tidak butuh penyangga, maka bagian atas (heading) diselesaikan untuk
seluruh panjang terowongan, barulah kemudia disusul penggalian bagian bawahnya. Bila
kondisi tanah/batuan mudah runtuh, maka bagian atas digali sebagian dan langsung
diberikan penyangga, sebelum akhirnya galian bagian bawah dimulai.
Gambar 2.4 Top Heading and Bench Method (Made Astawa Rai, 1988)

3.3 Drift Method


Metode ini biasanya dilakukan pada terowongan yang memiliki penampang yang
sangat luas, karena akan lebih menguntungkan. Cara ini dilakukan dengan membuat
terowongan kecil yang disebut drift. Drift ini dapat dilakukan untuk seluruh panjang
terowongan atau sebagian dari panjang terowongan, sebelum seluruh penampang
diselesaikan penggaliannya. Terowongan kecil yang disebut drift ini dapat
diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu:
 Center drift
 Bottom drift
 Top drift
 Side drift

Gambar 2.5 Berbagai Drift Method (Made Astawa Rai, 1988)

2.4.14 Tipe Penyangga Terowongan


Pada umumnya terowongan dibuat dalam keadaan yang sangat aman, namun
perilaku yang tidak pasti atas batuan dari terowongan yang akan dibangun perlu diberi
perkuatan untuk meminimalisir kejadian yang diakibatkan oleh ketidakpastian perilaku
batuan penyusunnya, ditambah lagi faktor alam di Indonesia yang memiliki cuaca hujan
yang ikut andil dalam proses pelapukan suatu batuan. Itulah yang membuat perilaku
batuan menjadi tidak pasti.
Adapun tahapan dari sebuah terowongan diberi perkuatan adalah dengen memberi
penyangga awal terowongan yang bersifat sementara. Setelah terowongan dibangun,
maka diperlukannya suatu penyangga terowongan yang sesuai dengan kelas batuan yang
sudah di hitung dari tiap batuan yang ada. Pada umumnya sebelum terowongan dibantu
dengan penyangga permanen, maka sebuah terowongan akan dipasang penyangga awal
sementara yang berfungsi untuk mencega terowongan runtuh sebelum diberi penyangga
permanen.

a. Shotcrete
Shotcrete atau beton semprot harus segera dilakukan sesudah penggalian
terowongan yang berfungsi untuk mencegah terjadinyan keruntuhan atap, karena sekali
saja batuan mengalami runtuh, maka keruntuhan berikutnya akan sulit untuk dicegah lagi.
Oleh karena itu perlu dipasang penyangga awal dan disesuaikan dengan stand-up time dari
masing-masing jenis batuan. Penyangga awal ini biasanya menggunakan campuran beton
dan air yang pemasangannya dilaksanakan dengan cara menyemprotkan campuran
tersebut ke permukaan batuan yang akan disangga. Lapisan shotcrete ini kadang diperkuat
lagi dengan wire mesh dan bisa juga diperkuat dengan rockbolt. Shotcrete menyerap
tegangan-tegangan tangensial yang terjadi dan mempunyai nilai maksimum di permukaan
terowongan setelah proses penggalian. Dalam hal ini tegangan tarik akibat kelenturan
mengecil dan tegangan tekan diserap oleh batuan disekeliling.
Berdasarkan cara pelaksanaannya, shotcrete dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
 Wet Shotcrete
Jenis ini biasanya digunakan pada perkuatan dinding terbuka seperti pada
portal di mulut terowongan baik inlet maupun di outlet, dimana agregat, semen
dan air dicampur menjadi satu dalam suatu tabung dan kemudian disemprotkan
ke permukaan yang diinginkan. Keuntungan penggunaan shotcrete ini adalah
sedikitnya debu akibat penyemprotan. Dalam pelaksanaan wet shotcrete
dicampur di tempat pelaksanaan, kemudian mengingat jarak dari batching
plant ke lokasi penyemprotan yang terkadang jauh dan membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk pengangkutan ke lokasi penyemprotan, sehingga
resiko pengerasan shotcrete sangat besar.
 Dry Shotcrete
Untuk jenis ini material dicampur dalam keadaan kering (belum dicampur air),
kemudian dialirkan melalui pipa alat penyampur air. Perbandingan antara
bahan dan air diatur sedemikian rupa dengan perbandingan tertentu. Cara ini
dipakai pada pekerjaan shotcrete di dalam terowongan yang relatif lembap.
Alasan utama penggunaan jenis terowongan ini adalah dinding terowongan
mengeluarkan air/lembap, sehingga diharapkan tidak terjadi kelebihan kadar
air dalam campuran dan dari segi pelaksanaan karena gerak dalam terowongan
yang terbatas (relatif sempit), maka in situ mixing tidak mungkin dilakukan.

b. Rockbolt
Rockbolt (baut batuan) adalah unsur penyangga awal yang sangat penting, karena
disamping fungsi utamanya untuk mencegah terjadinya loosening dari batuan di sekeliling
terowongan, juga berfungsi sebagai “pemegang” konstruksi penyangga awal yang bersifat
sementara. Dari cara kerjanya, rockbolt dibedakan menjadi:
1. Tension bolt (Baut tarik batuan)
Rockbolt jenis ini adalah baut batuan aktif, karena pada saat setelah
pemasangan diberi pra-tegangan.
2. Full Column Adhesive bolt (Baut geser)
Rockbolt ini adalah baut batuan pasif, karena baut batuan ini akan berfungsi
jika batuan sedang mengalami deformasi.

c. Steel Support (Penyangga Baja)


Perencana dapat memilih penyangga baja yang sesuai dengan kondisi tanah,
mempertimbangkan tujuan pemasangannya, pengaruh yang diharapkan, efisiensi kerja,
efisiensi ekonomi dan faktor-faktor lainnya. Penyangga baja harus dibuat sehingga massa
tanah dapat berfungsi sebagai penyangga bersama dengan shotcrete, rockbolt dan
penyangga lainnya. Adapun secara umum ada 4 jenis sistem penyangga baja berdasarkan
besar kecilnya terowongan yang akan dibuat, antara lain:
1. Continuous Rib, jenis ini biasanya untuk terowongan berukuran kecil, yaitu
terdiri dari dua bagian yang dipertemukan. Steel support di bagian kiri dan
kanan dihubungkan dengan baut pada saat pemasangan. Sedankan bagian
lengkung dan bagian tegaknya untuk tiap bagian dihubungkan dengan sistem
las pada saat fabrikasi.
2. Rib and post, jenis ini biasanya untuk terowongan ukuran besar, yaitu terdiri
dari empat bagian yang dipertemukan. Untuk jenis ini fabrikasinya terdiri dari
empat potong untuk setiap support, yaitu dua rib kiri dan kanan serta dua post
kiri dan kanan. Post dan rib masing-masing dihubungkan dengna baut pada
saat pemasangan, kemudian rib kiri dan kanan juga dihubungkan dengan baut.
3. Rib, wallplate and post, jenis ini biasanya untuk terowongan berukuran besar,
dimana jarak post dan rib tidak sama, yaitu terdiri dari dua bagian yang
dipertemukan dan diletakkan di atas wall plate. Dalam hal ini biasanya jarak
rib lebih rapat dibanding jarak post, perbedaan jarak ini diatasi dengan adanya
wall plate.
4. Full circle rib, jenis ini biasanya untuk terowongan berukuran besar, berbentuk
lingkaran, yaitu terdiri dari dua atau tiga bagian yang dipertemukan.

Anda mungkin juga menyukai