Anda di halaman 1dari 7

REVIEW

INTEGRASI ATAU ISLAMISASI?:


PROBLEM KONSEPTUAL EPISTEMIS

Berdasarkan paparan identifikasi masalah disebutkan bahwa masalah “krisis


kemanusiaan” yang mendera umat manusia abad modern, yang notabene
diakibatkan oleh sekularisme dan proses sekularisasi, hanyalah merupakan obyek
keperihatinan utama kalangan Islam saja. Begitu juga, tampaknya pula situasi yang
sama juga terjadi pada kalangan non-Islam. Selanjutnya sekularisme sebagai
pangkal sumber utama bencana dan malapetaka kemanusiaan di era modern ini.
Ikhtiyar-ikhtiyar terjadi dalam dunia Islam sebagai upaya untuk
membebaskan dan membangkitkan umat dari lilitan serangkaian bencana
kemanusiaan (kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan di segala bidang, dan
penjajahan). Ikhtiyar diawali gerakan reformasi pemikiran Islam (al-Iṣlāḥ) yang
dikomandani oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) lewat majalah besutannya,
al-‘Urwat al-Wuthqā,1. Secara intelektual akademik oleh Dr. Muhammad Iqbal
(1877-1938) mendukung dengan paradigma “rekonstruksi”nya yang dibentangkan
dalam serial kuliyahnya di Madras, Hyderabad dan Aligarh pada tahun 1928-1929,
dan kemudian diterbitkan pada tahun 1930 dengan judul The Reconstruction of
Religious Thought in Islam.2
Awal dekade empat-puluhan, ikhtiyar berikutnya dilakukan oleh seorang
sosiolog besar dari Universitas Harvard, Amerika, yang berasal dari Rusia bernama
Pitirim Aleksandrovich Sorokin (1889-1968), dengan menawarkan model
“Integralisme” lewat bukunya The Crisis of Our Age.3 Pada tahun berikutnya, 1942,
Rene Guenon lewat bukunya, Crisis of the Modern World, mencoba mengajukan

1
Majalah al-‘Urwat al-Wuthqā diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Volume pertamanya terbit pada 13 Maret 1884M. yang bertepatan dengan 15 J. Ula 1301H.
2
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Karpur Art Print.
Works, 1930). Edisi Oxford terbit pada 1934 dengan tambahan bab terakhir yang berjudul “Is
Religion Possible?”.
3
Pitirim Aleksandrovich Sorokin, The Crisis of Our Age (New York: E.P. Dutton, 1941, reprinted
1945).

1
tesis “scientia sacra” atau “sakralisasi ilmu” melalui perkawinan atau integrasi ilmu
dengan “tradisi” untuk mengatasi malapetaka dan krisis dunia modern.4
Pada akhir tujuh puluhan, gagasan-gagasan diskursif dan kritis dalam
bidang ini mulai semarak lagi, dan khususnya di kalangan intelektual Muslim.
Barangkali salah satu factor utama yang menggesa kristalisasi keprihatinan ini
adalah “manifesto Makkah 1977” yang lahir dari International Conference on
Islamic Education di Makkah pada tahun 1977. Berturut-turut dan susul-menyusul
gagasan dan gerakan “Islamisasi Ilmu” (Islamization of Knowledge. Dua tokoh
utama dalam gerakan ini adalah Prof. Dr. Syed Muhammad Naqib Al-Attas dengan
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)nya dan Almarhum Prof. Dr.
Isma’il Ragi Al-Faruqi dengan International Institute of Islamic Thought (IIIT)nya.
Dua perguruan tinggi Islam internasional –International Islamic University
Islamabad (IIUI, Pakistan) dan International Islamic University Malaysia (IIUM),
juga secara spesifik dibangun dalam rangka mensukseskan proses “Islamisasi ilmu”
secara sistematik dan terukur.
Analisis Konseptual Epistemik
Pada kajian Analisis Konseptual Epistemik, problem relasi sains dan
agama (science and religion) atau akal dan wahyu (reason and revelation)
merupakan concern atau keprihatinan bersama para tokoh, pemikir, dan filosuf dari
latar belakang agama, tradisi dan budaya yang berbeda, meskipun cara menyikapi
problem ini, berikut dengan solusi yang ditawarkan, terjadi keragaman, perbedaan,
dan kewarna-warnian. Bagi sementara kalangan, khususnya Islam, kedua model ini
mungkin dianggap hanya berbeda dalam istilah, sementara semangat dan esensinya
sama saja.
Worldview yang mendasari dan sekaligus membentuk dan membingkai
konsep atau model atau tipologi “Integrasi” adalah worldview sekular murni.
Namun dalam kenyataan empiris, historis dan obyektif bahwa di sana terdapat
berbagai sains dan beragam agama yang masing-masing memiliki karakteristiknya
tersendiri yang tidak mungkin direduksi atau direlativisasikan apalagi dinafikan.

4
Rene Guenon, Crisis of the Modern World (Lahore: Suhail Academy, 1942, reprinted 1981).

2
Pada hakikatnya model “integrasi” ini akhirnya berujung pada advokasi
paham “Pluralisme Agama”, yang—alih-alih ingin menawarkan solusi—malah
menciptakan masalah baru.5 Model atau tipologi “integrasi” secara umum lebih
dilatar-belakangi oleh worldview sekular atau sekularisme, sehingga permasalahan
yang ditimbulkan ajaran ini mustahil dapat diselesaikan oleh dirinya sendiri. Ini
ibarat pepatah “menyapu halaman dengan sapu kotor.” Dengan kata lain, persoalan
“relasi sains dan agama” yang coba diselesaikan dengan model “integrasi” ini
menuai deadlock atau stalemate.
Namun agaknya, mereka ini tidak secara spesifik mencoba mengungkap
pangkal utama krisis ini. Tapi sekurang-kurangnya Paul C. Vitz, seorang Professor
Psikologi Emeritus di New York University, mengamati bahwa beberapa decade
terakhir ini telah menyaksikan tiga ideologi besar modern yang menunjukkan
tanda-tanda kejenuhan dan kebangkrutannya. Dalam pengamatannya, ideologi
sekularisme menempati peringkat yang pertama di antara ketiganya.6
Walhasil, model-model relasi sains dan agama yang mengusung “integrasi”
sebagai mottonya, secara filosofis menyisakan sederet pertanyaan konseptual
epistemik mendasar yang sangat problematik. Faktor penyebab utama ini semua
adalah absennya defining criterion bagi relasi tersebut; semua unsur diperlakukan
sederajat, sejajar dan setara, tidak saja antara sains dan agama, tapi juga antara sains
di satu pihak, dan agama yang satu dengan agama-agama lain di pihak yang lain.
Dilain pihak, paradigma “Islamisasi”, jika dibandingkan dengan model-
model dan paradigma-paradigma relasi sains dan agama yang ada, “Islamisasi”
terbukti tangguh dan aman baik secara teoretis maupun empiris. Pertanyaan-
pertanyaan konseptual epistemis yang mendera paradigma “Integrasi” di atas tidak

5
Cf. Anis Malik Thoha, “Urgency of the Integration of Religion and Knowledge for the
Development of Muslim Character,” (Makalah disampaikan dalam the International Seminar on
Islamic Higher Education: Model and Experiences in Muslim World, diorganisir oleh Universitas
Ibnu Khaldun, Bogor, Indonesia, 18 - 19 Mei 2011). Tentang “Pluralisme Agama” lebih lanjut, baca:
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif [Gema Insani
Press], 2005).
6
Paul C. Vitz, “Excellence without a Soul: A Response to the Problem of the Modern University”
(15- minute talk given on Oct. 30, 2006 at Harvard University).
(http://christianpsych.org/wp_scp/2009/08/24/excellence-without-a-soul-a-response-to-the-
problem-of-the-modern-university/).

3
mungkin terjadi pada “Islamisasi”, sebab defining criterion-nya sangat jelas, yaitu
Islam. Dengan demikian, issue yang diangkat oleh Wilber dan Esbjӧrn-Hargens
(“Which religion?”) di atas, dan juga sejenisnya, tidak akan berlaku.
Wujud ideologi-ideologi modern yang sejatinya telah bermetamorfose
menjadi “agama alternatif” ini ternyata semakin mulai banyak disadari, dirasakan
dan diakui. Hal ini semakin mempertegas absurditas model “Integrasi”, yang dari
tampilannya seakan-akan menampakkan absennya keperpihakan, apalagi
preferensi, pada agama atau sistem nilai tertentu, tapi sejatinya setelah dikuliti lapis
demi lapis, dan dirunut secara kritis, tampak jati-diri “sistem nilai” yang melatar-
belakanginya yang sebenarnya secara anatomis tidak beda dengan agama proper.
Oleh karena itulah, Tillich memilih menyebutnya agama dengan prefix quasi (pura-
pura), bukannya pseudo (palsu) atau semi (paroh).7
Acapkali aspek konseptual epistemis ini luput dari pemerhatian kebanyakan
kita, khususnya pihak-pihak yang telah terlanjur silau dan terobsesi dengan
pemikiran tertentu, sehingga nalar dan daya kritisnya menjadi tumpul, dan pada
gilirannya, tidak dapat merasakan ada masalah.
Sementara itu, ada sebagian dari kalangan Islam yang, disebabkan
pemahaman superfisial tentang “Islamisasi” atau sebab lain, mencoba mencari-cari
dalil dari al-Qur’an dan Ḥadīth secara selektif untuk sekadar melegitimasi bahwa
seakan-akan apa yang disebut “nilai-nilai universal” itu kononnya Islami. Padahal
problem mendasar yang mendera umat Islam saat ini sebenarnya adalah problem
“ilmu pengetahuan” yang lebih bersifat “konseptual epistemik” daripada politis,
ekonomis, atau sosial. Yaitu pengetahuan integral (tawḥīdī) atau worldview atau
weltanschauung yang bisa menjelaskan secara memadahi dan komprehensif
tentang hakikat-hakikat agung yang meliputi hidup dan kehidupan, jagad raya,
manusia dan Tuhan, serta posisi dan hubungan timbal-balik antara hakikat-hakikat
agung ini satu sama lainnya.
Oleh karena itu, “Islamisasi” mesti dimaknai sebagai proses perubahan atau
rekonstruksi falsafah hidup dan sistem nilai yang mendasarinya sesuai dengan

7
Tillich, ERQR, hal. 64; CEWR, hal. 4.

4
ajaran Islam dan mengacu pada agenda profetik yang menjadi risalah utama para
Nabi dan Rasul sepanjang zaman yang kemudian dilanjutkan oleh para pewaris
mereka, i.e., ulama’. Hadīth Nabi besar Muhammad saw.: ‫العلماء ورثة األنبياء‬.8 Ulama’
adalah pewaris sah para Nabi dalam hal “ilmu” dan tugas “tablīgh ilmu”. Ḥadīth ini
secara implisit mengotoritaskan para ulama’ sebagai penyandang “otoritas ilmu”
yang sah. Ulama’ yang dimaksudkan dalam ḥadīth ini tentu ulama’ yang ilmunya
mengikuti dan meneladani ilmu dan sunnah para Nabi dan Rasul, dan bukannya
yang inkar, dusta dan menghujat para Nabi dan Rasul, atau malah mengikuti dan
meneladani jejak orang-orang non-Muslim yang memusuhi para Nabi dan Rasul,
atau yang secara umum diistilahkan oleh Imam al-Ghazālī dan ulama’ salaf lainnya
sebagai ‘Ulamā’ al-Sū’. Ciri-ciri utama ulama’ pewaris para Nabi ini adalah orang-
orang yang dengan ilmunya semakin dekat dan tambah khashyah atau takutnya
kepada Allah swt., sebagaimana yang Allah firmankan dalam al-Qur’an ( ‫إنما يخشى‬
‫)هللا من عباده العلماء‬.9
Konsep ulama’ yang benar menurut Islam ini pun banyak di antara umat
Islam yang tidak faham. Sehingga tak perlu heran jika ada orang yang jelas-jelas
tidak meneladani para Nabi dan tak pantas disebut ulama’ malah “di-ulama’-kan”.
Ironisnya memang, dan terdengarlah, suara-suara yang menghujat ulama’, Nabi,
dan Tuhan pun semakin kuat dan nyaring terdengar. Dan ini dilakukan di Indonesia
khususnya, oleh kalangan-kalangan yang mengaku Islam, dan di tengah-tengah
kampus Islam, dengan cara-cara yang sangat vulgar dan demonstratif, “demi dan
atas nama kebebasan”. Gerakan liberalisasi Islam ini semakin berkembang dan
bertapak kuat di negara-negara Islam dengan sokongan politik dan finansial dari
kekuatan-kekuatan global yang nyaris tanpa batas.
Akhirnya, penulis sepakat dengan seorang filosuf teologi Kristian, Paul
Tillich, yang menegaskan bahwa musuh bersama agama-agama masa kini adalah
ideologi-ideologi modern semacam Liberalisme, Sekularisme, Humanisme, yang ia
sebut sebagai quasi-religions.

8
HR. Abū Dāwūd.
9
Sūrah Fāṭir:28.

5
Kesimpulan
Berdasarkan analisis konseptual epistemik, ternyata paradigma ini
menyisakan sederet persoalan epistemis yang tidak mungkin diselesaikan. Maka,
satu-satunya alternatif yang bisa diandalkan, khususnya bagi Umat Islam, hanyalah
paradigma “Islamisasi” yang secara elegan menunjukkan keunggulannya di atas
paradigma-paradigma competitor atau kontestan yang lain. Paradigma “Islamisasi”
mampu menegaskan jati-dirinya tanpa harus menimbulkan masalah-masalah
konseptual maupun praktikal yang tidak perlu. Disamping itu, dalam paradigma
“Islamisasi” proses “integrasi” secara otomatis terakomodasi, dan bukan
sebaliknya. ‫وهللا أعلم بالصواب‬

REVIEW
Berdasarkan formasi paparan, identifikasi penulis dalam menggali
permasalah awal kesenjangan antara integrasi dan islamisasi dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penekanan bahwa awal mula permasalahan
adalah sekularisme sebagai pangkal sumber utama bencana dan malapetaka
kemanusiaan di era modern ini.
Pada kajian konseptual epistemis, penulis mengupas mulai dari munculnya
gagasan-gagasan integrasi yang akhirnya habis tanpa dapat menjelaskan defining
criterion bagi relasi integrasi. Selanjutnya penulis menguraikan paradigma
“Islamisasi” secara utuh dan menunjukkan defining criterion-nya dengan sangat
jelas, yaitu Islam.
Bagi umat Islam, cara desekularisasi atau deliberalisasi yang paling
menjanjikan adalah “Islamisasi”. Islamisasi di sini dalam arti yang sebenarnya dan
sepenuhnya (kaffah), yang mencakup konsep, landasan filosofis, visi dan misi
pendidikan, juga kurikulumnya. Jadi, semuanya ini harus diislamkan,
disyahadatkan, ditauhidkan, yakni disesuaikan dengan, atau lebih tepatnya
ditundukkan kepada iradah Allah (kehendak Allah SWT) terhadap semua
makhlukNya. Semuanya mesti dibangun dalam framework worldview atau
weltanschauung Islam yang komprehensif dan balance.
Maka dengan sendirinya sistem pendidikan yang bersyahadat dan bertauhid
ini akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang menjunjung tinggi karakter dan moral

6
etika serta “khasyyatullah” (takut dosa, azab, dan neraka-Nya) sesuai dengan yang
ditegaskan al-Qur’an surat Fathir: 28 (innama yakhsya Allaha min ibadih al-ulama’
– diantara hamba-hamba Allah yang takut kepadaNya hanyalah orang-orang yang
berilmu). Nah, parameter keilmuan dalam Islam itu adalah “khasyyatullah” ini.
Jadi, kalau ada orang yang mengaku berilmu tapi kerjanya menggugat dan
menentang Allah, itu sebenarnya mengindikasikan kejahilan atau kebodohan,
bukan keilmuan.
Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-faruqi adalah mengislamkan
disiplin-disiplin ilmu atau lebih tepat menghasilkan buku-buku pegangan pada level
universitas dengan menuangkembali disiplin-disiplin ilmu modern dengan
wawasan (vision) Islam.10 Agama dapat berfungsi sebagai kritik seni (budaya)
sekaligus sebagai kritik ilmu, bahwa fungsi kritis agama harus dilakukan dengan
menjauhi sikap yang sifatnya totaliter. Agama (agamawan) dalam menerangkan
fungsi kritisnya secara konkret harus memiliki pengetahuan empiris yang tangguh.
Agama tidak bisa bersifat politis dalam pengertian hanya membatasi dari pada
masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada
Tuhannya, tetapi perlu terlihat ke dalam proses transformasi sosial, sehingga fungsi
agama bisa tercapai dalam konteks seni (budaya) dan ilmu pengetahuan.
Wujud peradaban moral dan agama merupakan nilai-nilai dalam masyarakat
dalam hubungannya dengan kesusilaan. Aturan, ukuran, atau pedoman yang
digunakan dalarn menentukan sesuatu benar atau salah, baik atau buruk yang
dikembangkan dalam perspektif ilmu pengetahuan dan dikemas dalam nilai-nilai
seni dan keindahan agar dia maslahat bagi kemanusiaan. Nilai dan norma moral
tentang apa yang baik dan buruk yang menjadi pegangan dalam mengatur tingkah
laku manusia ini harus terintegrasi dalam ilmu pengetahuan agar dia bernilai dan
dapat memandu manusia menjadi berbudaya dan berperadaban.11

10
Ismail Raji al-Faruqi,(1984). Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Anas Wahyudin, (Bandung:
Pustaka), 35.
11
Mukhtar Latif, (2013), Orientasi ke arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana Premadia
Group, h 331.

Anda mungkin juga menyukai