Anda di halaman 1dari 1

NASKAH MONOLOG PELEPASAN WISUDA

Sugesty Nurchadjati

Lampu temaram ini, kursi-kursi yang nyaman, meja-meja besar dan hidangan yang
menggugah selera makanku. Di negeri perantauan, lampu-lampu temaram adalah rekanku
menyusun laporan, skripsi dan tulisan-tulisan yang bahkan kutak tahu apakah itu berarti. Di
tanah orang, di gedung pendidikan yang megah, kursi-kursi reot, penuh coretan membuatku
lelah duduk berlama-lama di sana. Apalagi dengan meja-mejanya. Dan, hidangan-hidangan
yang menemaniku tiap malam tak terlalu enak, bahkan nafsu makanku hilang. Dapat
dianggap, minatku hanya pada segelas kopi dan mi instan.
Ingin kuceritakan kepada kawan, tentang punggungku yang kelelahan, tentang jemariku
yang letih mengetik naskah di laptop pinjaman, tentang mataku yang sembap terlalu banyak
menatap layar monitor, tentang kakiku yang selalu gemetar dan berdiri saja kesulitan. Ingin
kuceritakan kepada ibuku di rumah, ayahku di tempat kerja, tentang uang yang selalu habis
dan menipis, tentang cita-cita yang mulai tak realistis, tentang sikapku yang semakin lama
mulai egois. Hanya saja, beban mereka, mungkin lebih berat daripada bebanku. Begitu,
pikirku.
Selamat malam, udara dingin di luar ruangan. Aku berdiri di panggung megah ini,
tersenyum bahagia meski lugu masih menyusup, merengkuh hingga ke tulang-tulang. Telah
lama membayangkan, kaki-kakiku yang lelah dan tangan-tanganku yang gemetar akan
menikmati titik tertinggi di kehidupan ini. Dulu, angin malam saja bergelut meluluhlantahkan
semangatku, membuat lidahku kelu dan selalu saja ingin menyerah. Riuh keramaian seperti
jalanan sepi yang menyekik paru-paruku, hingga sulit bernapas. Sesekali, kepalaku demam,
bibirku biru kedinginan. Yang kudengar hanya gemeretak gigi-gigi yang tak lagi putih,
gemetar, ketakutan hingga tangisan. Bagiku, tangisan adalah satu-satunya jawaban yang
dapat membuatku tenang.

Anda mungkin juga menyukai