Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem
kardiovaskuler termasuk arteri, vena, ruangan jantung dan
mikrosirkulasi. Menurut Robert Virchow, terjadinya trombosis
adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah
dan komponen pembekuan darah (Virchow triat). Trombus dapat
terjadi pada arteri atau pada vena, trombus arteri di sebut trombus
putih karena komposisinya lebih banyak trombosit dan fibrin,
sedangkan trombus vena di sebut trombus merah karena terjadi
pada aliran daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah
merah terperangkap dalam jaringan fibrin sehingga berwarna
merah1
Deep Vena Trombosis (DVT) adalah Suatu kondisi dimana
terbentuk bekuan darah dalam vena sekunder akibat inflamasi /
trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian, yang
mengakibatkan penyumbatan parsial atau total sehingga aliran
darah terganggu (Doenges, 2000)2 Trombosis vena merupakan
salah satu penyakit yang tidak jarang ditemukan dan dapat
menimbulkan kematian kalau tidak di kenal dan di obati secara
efektif. Kematian terjadi sebagai akibat lepasnya trimbus vena,
membentuk emboli yang dapat menimbulkan kematian mendadak
apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru (emboli
paru). Insidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti,
sehingga tidak ada dilaporkan secara pasti. Banyak laporan-

1
laporan hanya mengemukakan data-data penderita yang di rawat di
rumah sakit dengan berbagai diagnosis. Di Amerika Serikat,
dilaporkan 2 juta kasus trombosis vena dalam yang di rawat di
rumah sakit dan di perkirakan pada 600.000 kasus terjadi emboli
paru dan 60.000 kasus meninggal karena proses penyumbatan
pembuluh darah.
Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu
pengawasan dan pengobatan yang tepat terhadap trombosisnya
dan melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya trombosis
dan terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan
kematian

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di maksud dengan Deep Vein Trhombosis (DVT)?
2. Bagaimana etiologi dari Deep Vein Trhombosis (DVT)?
3. Bagaimana patofisiologi Deep Vein Trhombosis (DVT?
4. Bagaimana manisfestasi klinik Deep Vein Trhombosis (DVT)?
5. Apa saja komplikasi dari Deep Vein Trhombosis (DVT)?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari Deep Vein Trhombosis
(DVT)?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari pemeriksaan Deep Vein
Trhombosis (DVT)?
8. Bagaimana pencegahan Deep Vein Trhombosis (DVT)?

2
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan laporan ini yaitu untuk
mengetahui prinsip kerja dari alat-alat yang digunakan dalam
pemeriksaan dalam mendiagnosa Deep Vein Trhombosis (DVT)

D. MANFAAT
Adapun manfaat dari pembuatan laporan ini adalah
mahasiswa dapat lebih memahami tentang nama dan prinsip kerja
dari alat-alat yang digunakan pada pemeriksaan Deep Vein
Trhombosis (DVT)

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Trombosis adalah suatu pembentukan bekuan darah
(trombus) di dalam pembuluh darah. Bekuan darah pada keadaan
normal terbentuk untuk mencegah perdarahan. Trombus adalah
bekuan abnormal dalam pembuluh darah yang terbentuk walaupun
tidak ada kebocoran. Trombus merupakan massa seluler yang
menjadi satu oleh jaringan fibrin. Trombus terbagi 3 macam yaitu:
merah (trombus koagulasi), putih (trombus aglutinasi) dan trombus
campuran. Trombus merah dimana sel trombosit dan lekosit
tersebar rata dalam suatu massa yang terdiri dari eritrosit dan fibrin,
biasanya terdapat dalam vena. Trombus putih terdiri atas fibrin dan
lapisan trombosit, leukosit dengan sedikit eritrosit, biasanya
terdapat dalam arteri. Bentuk yang paling banyak adalah bentuk
campuran.
Trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT) adalah
suatu kondisi dimana trombus terbentuk pada vena dalam,
terutama di tungkai bawah dan inguinal. Bekuan darah dapat
menghambat darah dari tungkai bawah ke jantung. DVT merupakan
penyakit yang sering terjadi dan dapat berakibat fatal serta
kematian jika tidak didiagnosa dan diobati secara efektif. Kematian
dapat terjadi ketika trombus pada vena pecah dan membentuk
emboli pulmo, yang kemudian masuk dan menyumbat arteri
pulmonalis
Deep Vein Trombosis (DVT) atau trombosis vena dalam adalah
penggumpalan darah yang terjadi di pembuluh darah balik (vena)
sebelah dalam. DVT seringkali diawali dari paha atau kaki oleh

4
karena adanya perlambatan aliran darah pada pembuluh balik. Hal
ini bisa terjadi oleh karena ada masalah pada jantung, infeksi, atau
akibat imobilisasi lama dari anggota gerak. Gumpalan darah beku
yang terjadi disebut emboli yang bisa terbawa ke jantung hingga
menyebabkan komplikasi serius. Proses koagulasi atau
penggumpalan darah terjadi melalui mekanisme kompleks yang
diakhiri dengan pembentukan fibrin (Anonim, 2018)

B. ETIOLOGI
Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang
berperan dalam etiologi terjadinya trombosis pada arteri atau vena
yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan
perubahan daya beku darah. Trombosis vena adalah suatu deposit
intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah merah dan beberapa
komponen trombosit dan lekosit.
Etiologi terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut :
1. Stasis vena.
2. Kerusakan pembuluh darah.
3. Aktivitas faktor pembekuan.
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu
trombosis vena adalah statis aliran darah dan hiperkoagulasi.
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat
terjadi statis terutama pada daerah-daerah yang mengalami
immobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Statis vena
merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis lokal
karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih
terhadap aktifitas faktor pembekuan darah sehingga
memudahkan terbentuknya trombin.
2. Kerusakan pembuluh darah

5
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada
pembentukan trombosis vena, melalui :
a) Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
b) Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai
akibat kerusakan jaringan dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi
oleh sel endotel. Endotel yang utuh bersifat non-trombo
genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa
substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan,
aktifator plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat
mencegah terbentuknya trombin. Apabila endotel mengalami
kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar.
Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di
aktifkan dan trombosir akan melekat pada jaringan sub
endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan mikro-
fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin
difosfat dan tromboksan A2 yang akan merangsang
trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan
saling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan
mengaktifkan sistem pembekuan darah.
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam
sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan
terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah
meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena
banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan
darah meningkat, seperti pada hiper koagulasi, defisiensi Anti
trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan
kelainan plasminogen

6
C. PATOFISIOLOGI
Menurut Rudolph Virchow pada tahun 1859, patofisiologi
vena trombosis akut / DVT akut meliputi kombinasi dari tiga
faktor (yang kemudian dikenal dengan Trias Vircow) yaitu adanya
stasis aliran darah, jejas pada endotel pembuluh darah vena dan
keadaan hiperkoagulabilitas.
Stasis aliran darah (penurunan aliran darah vena) akan
menyebabkan terjadinya interaksi yang berlebihan yang akan
menyebabkan ketidakseimbangan antara faktor koagulan dan
faktor anti koagulan, Immobilisasi yang lama seperti pada pasien
post operatif, paralisis dan orang yang menjalani perjalanan jauh
dengan menggunakan pesawat (economy class syndrome) akan
menyebabkan Aliran darah yang lambat terutama saat melewati
katup vena akan menyebabkan adesi leukosit dan hipoksia lokal
juga memicu jejas endotel dan faktor hiperkoagulabilitas. Hal ini
akan menyebabkan peningkatkan terjadinya tombosis..
Setiap trauma baik minor maupun mayor yang menyebabkan
kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan iritasi dan inflamasi
yang akan meningkatkan faktor pembekuan darah. Pada keadaan
normal platelet tidak akan terikat pada endothelium karena
endothelium yang tidak terstimulasi tidak mempunyai receptor
untuk mengikat platelet dan juga endothelium mempunyai
kemampuan memproduksi Nitric oxide dan prostacyclin untuk
mempertahankan platelet dalam keadaan tidak aktif dan
mempengaruhi ikatannya. Ketika lapisan endothelium telah hilang
maka platelet akan terpapar dengan subendothelium yang
mempunyai receptor. Ikatan antara platelet dengan subendothelium
ini dimediasi oleh glycoprotein (GP) Ib-IX-V yang terikat melalui

7
faktor von Willebrand. Perlekatan platelet terhadap endotel vaskuler
akan mengaktivasi platelet dan menyebabkan sintesis dan
pelepasan (degranulasi) berbagai mediator agregasi platelet,
termasuk thromboxane A2 (TxA2), adenosine diphospate (ADP)
dan 5-hydroxytryptamine (5HT atau serotonin). Mediator ini
meningkatkan ekspresi glycoprotein IIb/IIIa receptor yang berikatan
dengan fibrinogen dan menyebabkan agregasi platelet. Dari
penelitian yang dilakukan oleh Brill menunjukkan bahwa faktor Von
Willebrand berperan penting terhadap terjadinya adesi platelet
pada trombosis vena. Defisiensi faktor Von Willebrand akan
mencegah terjadinya trombosis.
Keadaan hiperkoagulabilitas disebabkan berkurangnya
fibrinolisis dan meningkatnya prokoagulan. Hiperkoagulabilitas
biasa terjadi pada kondisi post operasi, trauma, keganasan,
kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral dan desifiensi protein C
dan S. Pemakaian kontrasepsi hormonal (estrogen) yang lama
dapat menurunkan antitrombin III dan protein S, meningkatkan
aktivasi faktor VII dan X. Juga menurunkan thrombomodulin dan
menurunkan aktivasi protein C. Keganasan seperti adenocarcinoma
pada kanker paru (sindrom Trousseau) dapat menyebabkan
keadaan hiperkoagulabilitas melalui interaksi sel tumor dan
produknya dengan sel inang. Interaksi tersebut menghilangkan
mekanisme protektif yang mencegah terbentuknya trombus. Sel
tumor merangsang faktor prokoagulan dengan mensekresi
tromboplastin jaringan yang merupakan kofaktor dengan faktor VIIa
yang mengaktifkan faktor X. Selain itu sel tumor juga melepaskan
protease yang merangsang faktor pembekuan. Pada keganasan
terjadi peningkatan faktor V, VIII, IX, X . (Dokter Medis, 2013)

8
D. MANIFESTASI KLINIK
Sebanyak 50% pasien dengan thrombosis vena ektremitas
bawah tidak menunjukkan gejala yang bervariasi dan biasnya tidak
khas tromboflebitis. Namun meskipun bermacam-macam setiap
tanda klinis harus diselidiki dengan cermat Trombosis vena
terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena
tungkai superfisialis, vena dalam di daerah betis atau lebih
proksimal seperti vena poplitea, vena femoralis dan viliaca.
Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain relatif jarang di
kenai. Trombosis vena superfisialis pada tungkai, biasanya terjadi
varikositis dan gejala klinisnya ringan dan bisa sembuh sendiri.
Kadang-kadang trombosis vena tungkai superfisialis ini menyebar
ke vena dalam dan dapat menimbulkan emboli paru yang tidak
jarang menimbulkan kematian.
Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas,
kelainan yang timbul tidak selalu dapat diramalkan secara tepat
lokasi / tempat terjadinya trombosis.Trombosis di daerah betis
mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis yang
terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang
hebat. Sebagian besar trombosis di daerah betis adalah
asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius apabila trombus
tersebut meluas atau menyebar ke lebih proksimal.
Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala
apabila menimbulkan :
a) bendungan aliran vena.
b) peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.
c) emboli pada sirkulasi pulmoner.
Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa :

9
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan
luas trombosis. Trombosis vena di daerah betis menimbulkan
nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial dan
anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak
spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari
yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau
penderita istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai
ditinggikan.
2. Pembengkakan
Pembengkakan disebabkan karena adanya edema.
Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian
proksimal dan peradangan jaringan perivaskuler. Apabila
pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan maka lokasi
bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan
apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka
bengkak timbul pada daerah trombosis dan biasanya di sertai
nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan
akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki
agak ditinggikan.
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak
ditemukan pada trombosis vena dalam dibandingkan trombosis
arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di temukan
hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah
pucat dan kadang-kadang berwarna ungu.
Perubahan warna kaki menjadi pucat dan pada
perubahan lunah dan dingin, merupakan tanda-tanda adanya
sumbatan cena yang besar yang bersamaan dengan adanya
spasme arteri, keadaan ini di sebut flegmasia alba dolens
4. Sindroma post-trombosis.

10
Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan
tekanan vena sebagai konsekuensi dari adanya sumbatan dan
rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini mengakibatkan
meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis
sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena
dalam.
Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah
vena dalam akan membalik ke daerah superfisilalis apabila otot
berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan jaringan subkutan,
pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di
kenai. Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah
nyeri pada daerah betis yang timbul / bertambah waktu
penderitanya berkuat (venous claudicatio), nyeri berkurang waktu
istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan indurasi
pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah DVT adalah
peradangan pada dinding vena dan biasanya disertai pembentukan
bekuan darah. Ketika pertama kali terjadi bekuan pada vena akibat
statis atau hiperkoagulabilitas, tanpa disertai peradangan maka
proses ini dinamakan flebotrombosis. Trombosis vena dapat terjadi
pada semua vena, namun yang paling sering terjadi adalah pada
vena ekstremitas . Gangguan ini dapat menyerang baik vena
superficial maupun vena dalam ungkai. Pada vena superficial,
vena safena adalah yang paling sering terkena. Pada vena dalam
tungkai, yang paling sering terkena adalah vena iliofemoral,
popliteal dan betis.
Trombus vena tersusun atas agregat trombosit yang
menempel pada dinding vena , disepanjang bangunan tambahan
seperti ekor yang mengandung fibrin, sel darah putih dan sel darah
merah. “Ekor “ dapat tumbuh membesar atau memanjang sesuai
arah aliran darah akibat terbentuknya lapisan bekuan darah.
Trombosis vena yang terus tumbuh ini sangat berbahaya karena

11
sebagian bekuan dapat terlepas dan mengakibatkan oklusi emboli
pada pembuluh darah paru. Fragmentasi thrombus dapat terjadi
secara spontan karena bekuan secara alamiah bisa larut, atau
dapat terjadi sehubungan dengan peningkatan tekanan vena,
seperti saat berdiri tiba-tiba atau melakukan aktifitas otot setelah
lama istirahat

E. KOMPLIKASI
Orang dengan DVT berisiko mengalami emboli paru, yaitu
penyumbatan pembuluh darah arteri di paru-paru akibat gumpalan
darah yang lepas dari tungkai. Gejala tidak akan terasa atau terlihat
jika gumpalan darahnya kecil. Namun jika gumpalan darahnya
berukuran besar, penderita bisa merasakan nyeri dada dan sulit
bernapas, bahkan bisa mengalami gagal jantung.
DVT jangka panjang juga bisa menyebabkan sindrom pasca
thrombosis (PTS), yaitu kondisi ketika DVT mengakibatkan
kerusakan pada pembuluh darah vena sehingga aliran darah di
daerah tersebut menjadi buruk. Keadaan ini mengakibatkan
perubahan warna kulit dan luka pada tungkai. (Tjin Willi, 2018)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis DVT, antara lain :
a. Skor Wells
Skor Wells digunakan untuk menstratifikasi pasien dengan
kemungkinan menderita DVT, dapat dibagi menjadi kelompok
resiko rendah, sedang dan tinggi.

Tabel Skor Wells pretes probablitas untuk memprediksi kejadian DVT


Clinical Characteristic Score
Kanker aktif ( menjalani terapi dalam 6 bulan, atau paliatif ) = 1
Paralisis, paresis, atau menjalani immobilisasi pada ekstremitas

12
bawah = 1
Terbaring di tempat tidur > 3 hari atau menjalani bedah mayor dalam 12
mg dengan Anestesi regional atau umum = 1
Pada perabaan teraba lembut sepanjang sistem distribusi vena dalam = 1
Seluruh kaki bengkak = 1
Pembengkakan betis lebih besar 3 cm dibandingkan daerah yang
asimptomatis (diukur 10 cm dibawah tibial tuberosity) = 1
Edema pitting terbatas pada kaki yang terkena =1
Vena kollateral superficial (nonvaricose) = 1
Pernah mengalami DVT sebelumnya =1
Diagnosis alternatif setidaknya mungkin sebagai DVT = -2

Diagnosis alternatif termasuk : phlebitis superficial, muscle strain, kaki


bengkak pada tungkai yang paralise, insufisiensi vena, edema karena
penyebab sistemik seperti CHF atau cirrhosis, obstruction vena eksternal
(misalnya karena tumor), lymphangitis atau lymphedema, hematoma,
pseudoaneurysm atau abnormalitas pada lutut.

Tabel Interpretasi Skor Wells


Interpretasi skor Wells
Tes Hasil Interpre
tasi
Skor Wells ≥3 High pretest
probability
1-2 Intermediate
pretest probability
≤0 Low pretest
probability

Tabel Evaluasi Pretes Probability dari Skor Wells

13
Tes yang direkomendasikan pada pasien dengan intermediate or high
pretest probability ( Wells score ≥1 )
Tes
Ultrasound jika Positif = Terapi dimulai
Ultrasound jika Negatif = pertimbangkan D-dimer jika secara
klinis kecurigaan DVT sangat tinggi.
Jika D-dimer positif lakukan ultrasound dalam 3-7 hari.

Tabel Evaluasi Pretes Probability dari Skor Wells


Tes yang direkomendasikan pada pasien dengan low pretest probability
Tes
D-dimer jika Positive (>400 ug/ml) = duplex ultrasound dengan
kompresi
jika Negative (≤ 400 ug/ml) = pertimbangkan diagnosis
alternatif

b. Ultrasonography Vena
Ultrasonografi vena adalah pilihan untuk pasien dengan
hasil skor Wells pretest probabilitas moderate atau tinggi.
Bersama dengan pemeriksaan D-dimer, ultrasonography vena
merupakan tes yang paling berguna dan obyektif dalam
mendiagnosis DVT. Penggunaan ultrasonography vena dan tes
D-dimer bersama dengan penilaian klinis dapat menurunkan
penggunaaan contrast venography yang merupakan standar
diagnosis DVT. Ultrasonography vena dapat digunakan untuk
menentukan ada tidaknya thrombus pada vena ekstremitas
bawah, menentukan karakteristik dan staging dari penyakit
thrombus dan mengevaluasi apakah suatu thrombus berpotensi
menyebabkan suatu emboli. Meskipun ultrasonography vena
sangat reliable untuk mendiagnosa DVT pada fase akut, tetapi
ultrasonography vena sangat terbatas dalam mendiagnosa DVT

14
kronik. Ultrasonography vena merupakan tes yang obyektif pada
pasien dengan high atau moderate pretest probability. Jika hasil
ultrasonography vena pada kelompok tersebut positif maka
diagnosa DVT sudah dapat ditegakkan. Jika ultrasonography
vena dikerjakan pada kelompok low pretest probability hasilnya
negatif maka diagnosa DVT dapat disingkirkan.
Kriteria ultrasound duplex pada DVT antara lain : vena
tidak tertekan pada posisi melintang dengan probe Doppler,
tampak adanya trombus, tidak ada aliran pada imaging color,
vena tidak dilatasi saat dilakukan valsava maneuver (khusus
untuk vena femoralis), respiratory phasicity kurang. Dalam
keadaan normal vena tertekan/terkompresi oleh probe Doppler,
dengan posisi melintang. Vena yang tidak terkompresi
menggambarkan adanya trombus. Trombus yang baru terlihat
sangat echolusent sehingga susah untuk
memvisualisasikannya. Lama-lama trombus menjadi echogenic
(putih) dan keadaan kronik mungkin tampak rekanalisasi
(dinding menebal, pada lumen tampak aliran tidak teratur).
Tidak tampak ada aliran darah pada imaging color menunjukkan
adanya oklusi. Pada vena sentral seperti vena ilaka, lebih susah
untuk mengevaluasi secara langsung dengan duplek dan
maneuver kompresi. Cara tidak langsung yang dapat digunakan
adalah dengan aliran phasic. Dilatasi vena femoralis yang tidak
normal dengan maneuver valsalva dapat timbul pada trombosis
vena iliaka dan variasi normal respirasi pada aliran
menunjukkan ketidakadaan phasic.
Ultrasonography vena B mode dengan atau color duplex
imaging mempunyai sensitifitas sebesar 95 % dan spesifitas 98
% dalam mendiagnosa DVT proksimal yang simptomatis,
sedangkan untuk mendiagnosis DVT distal simptomatis
sensitivitas dan spesifisitasnya hanya 60-70%. Ultrasonography

15
vena mempunyai kelebihan berupa non invasive, cepat, aman
dan mudah dikerjakan. Tetapi ultrasonography vena mempunyai
kekurangan yaitu tidak dapat memvisualisasi vena iliaka dengan
baik dan sulit dikerjakan pasien obesitas.
c. Tes D-Dimer
Tes D-dimer adalah tes untuk mengukur produk degradasi
cross-linked fibrin. D-dimer meningkat dalam plasma dengan
adanya bekuan darah akut karena aktivasi simultan koagulasi
dan fibrinolisis. Selama proses pembentukan trombus maka
fibrinogen akan diubah menjadi fibrin monomer yang terikat
dengan jaringan polimer. Selama proses fibrinolisis maka
polimer fibrin tersebut akan terdegradasi yang akan
menghasilkan produk akhir fibrinolisis berupa fragmen fibrin D-
Dimer. D-dimer sangat spesifik untuk fibrin dan spesifisitas fibrin
untuk DVT adalah rendah karena D-dimer yang meningkat tidak
hanya pada keadaan trombosis akut tetapi juga pada kondisi,
seperti kehamilan, kanker, peradangan, infeksi, nekrosis, diseksi
aorta sehingga hasil D-dimer positif tidak berguna Sebaliknya,
hasil negatif menggunakan berguna untuk menyingkirkan DVT
akut.
Saat ini telah tersedia beberapa metode penilaian D-Dimer,
seperti enzyme-linked immunofluorecense assays (Elisa)
(sensitifitas 96%),microplate enzyme-linked immunosorbent
assays (sensitifitas 94%), quantitative latex atau
immunoturbidimetric assays(sensitifitas 93%), whole blood D-
dimer assays (sensitifitas 83%) dan latex semiquantitative
assays (sensitifitas 85%). Tes-tes ini mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing, seperti Elisa merupakan tes yang
sensitif tetapi membutuhkan banyak waktu, perlu pemeriksaan
yang intensif dan tidak praktis pada keadaan emergensi.
Sedangkan tes whole blood D-dimer assays mudah dikerjakan

16
dan praktis, tetapi kekurangannya mempunyai sensitifitas yang
rendah. D-dimer juga dapat digunakan untuk menentukan durasi
terapi antikoagulan, dari penelitian yang dilakukan Palareti dkk
menunjukkan bahwa pasien yang melanjutkan pemakaian
antikoagulan dengan nilai D-dimer yang abnormal setelah
menggunakan antikoagulan selama 3 bulan mempunyai resiko
terjadinya venous troboemboli ulangan lebih kecil dibandingkan
dengan yang tidak melanjutkan pemakaiaan antikoagulan.
Ultrasonografi dapat dikombinasikan dengan tes D-dimer
dan mengurangi sekitar 60% dari jumlah pasien yang harus
menjalani serial ultrasonografi. Jika USG awal hasilnya adalah
normal dan hasil D-dimer adalah negatif, pengujian lebih lanjut
dengan serial ultrasonografi tidak perlu dan terapi antikoagulan
belum perlu diberikan. Oleh karena itu, tes D-dimer dapat
mengurangi jumlah pemeriksaan USG yang diperlukan padai
pasien yang datang dengan dicurigai episode pertama DVT.

d. Venografi / Flebografi
Venografi dengan kontras merupakan prosedur
standar untuk mendiagnosis DVT. Teknik ini menginjeksikan
suatu kontras iodinated pada vena kaki bagian dorsal untuk
masuk ke sistem vena bagian dalam ekstermitas bawah.
DVT didiagnosis bila terdapat filling defect. Venografi
merupakan prosedur yang mahal, tidak selalu tersedia, tidak
nyaman bagi pasien, dan dikontraindikasikan pada pasien
dengan renal insufficiency atau alergi terhadap kontras.
Venografi juga mempunyai kekurangan, sekitar 20 %
venogram tidak dapat menampilkan visualisasi yang
adekuat. Oleh karena keterbatasan diatas maka venography
bukan merupakan prosedur yang rutin dikerjakan untuk
mendiagnosis DVT. Bagaimanapun venografi merupakan

17
prosedur standar untuk mendiagnosis DVT, terutama bila
prosedur lain gagal untuk mendiagnosis DVT.
e. Computerised Tomography vena
Computerised tomography vena atau CT venography
merupakan salah satu modalitas untuk mendiagnosis DVT. CT
venography dapat dikerjakan dengan metode langsung yaitu
melakukan pungsi vena pada vena dorsal kaki kemudian
dilakukan injeksi kontras maupun tidak langsung dengan
penyuntikan kontras pada arteri hingga timbul venous return.
CT venography dapat mendeteksi DVT secara akurat dan
kombinasi bersama CT pulmonary angiography telah
direkomendasikan untuk mengevaluasi emboli paru dan DVT
dengan satu kali pemeriksaan.
CT venography mempunyai sensitivitas 96 % dan
spesivisitas 95 % untuk mendiagnosis DVT proksimal. CT
venography dapat memvisualisasi vena pelvis, trombus pada
vena iliaka dan vena cava inferior. CT venography mempunyai
kekurangan yaitu penggunaan kontras media yang
menimbulkan efek radiasi pada pasien, sulit untuk
menginterpretasikan jika terdapat artefak atau pengisian vena
yang menurun, lebih mahal, memerlukan teknik seorang ahli
dan tidak tersedia di setiap rumah sakit .

f. Magnetic Resonance Imaging


Satu lagi modalitas yang digunakan untuk mendiagnosis
DVT adalah Magnetic Resonance Imaging Vena (MRI Vena).
MRI vena dapat digunakan untuk memvisualisasikan vena
pelvis, mendeteksi adanya ekstensi trombus pada vena iliaka
dan pada vena cava inferior. MRI vena mempunyai sensitivitas
96 % dan spesivisitas 93 % dalam mendiagnosis DVT
simptomatis, sedangkan untuk DVT bagian distal MRI hanya

18
mempunyai sensitivitas sebesar 62 %.MRI vena dapat
dikerjakan dengan atau tanpa kontras. Untuk mendapatkan
gambaran struktur vaskular yang lebih baik dapat digunakan
kontras seperti gadolium. Kontras dapat diinjeksikan melalui
vena kaki atau lengan.(Dokter Medis, 2013)

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan penanganan medis DVT adalah mencegah
perkembangan dan pecahnya thrombus beserta risikonya yaitu
embolisme paru dan mencegah tromboemboli kambuhan. Terapi
antikoagulasi dapat mencapai kedua tujuan tersebut. Heparin yang
diberikan selama 10-12 hari dengan infus intermitten intravena atau
infus berkelanjutan dapat mencegah berkembangnya bekuan darah
dan tumbuhnya bekuan baru. Dosis pengobatan diatur dengan
memantau waktu tromboplastin partial (PTT). Empat sampai 7 hari
sebelum terapi heparin intravena berakhir, pasien mulai diberikan
antikoagulan oral. Pasien mendapat antikoagulan oral selama 3
bulan atau lebih untuk pencegahan jangka panjang.
Tidak seperti heparin, pada 50% pasien, terapi trombolitik,
menyebabkan bekuan mengalami dekompensasi da larut. Terapi
trombolitik diberikan dalam 3 hari pertama setelah oklusi akut,
dengan pemberian streptokinase, mokinase atau activator
plasminogen jenis jaringan. Kelebihan terapi litik adalah tetap
utuhnya katup vena dan mengurangi insidens sindrompasca
flebotik dan insufisiensi vena kronis. Namun, terapi trombolitik
mengakibatkan insidens perdarahan sekitar tiga kali lipat
disbanding heparin. PTT, waktu protrombin, hemoglobin,
hematokrit, hitung trombosit dan tingkat fibrinogen pasien harus
sering dipantau. Diperlukan observasi yang ketat untuk mendeteksi
adanya perdarahan. Apabila terjadi perdarahan, dan tidak dapat
dihentikan, maka bahan trombolitik harus dihentikan.

19
Penataksanaan Bedah. Pembedahan trombosis vena dalam
(DVT) diperlukan bila : ada kontraindikasi terapi antikoagulan atau
trombolitik, ada bahaya emboli paru yang jelas dan aliran darah
vena sangat terganggu yang dapat mengakibatkan kerusakan
permanen pada ekstremitas. Trombektomi (pengangkatan
trombosis) merupakan penanganan pilihan bila diperlukan
pembedahan. Filter vena kava harus dipasang pada saat dilakukan
trombektomi, untuk menangkap emboli besar dan mencegah
emboli paru.
Penatalaksanaan Keperawatan. Tirah baring, peninggian
ekstremitas yang terkena, stoking elastik dan analgesik untuk
mengurangi nyeri adalah tambahan terapi DVT. Biasanya
diperlukan tirah baring 5 – 7 hari setelah terjadi DVT. Waktu ini
kurang lebih sama dengan waktu yang diperlukan thrombus untuk
melekat pada dinding vena, sehingga menghindari terjadinya
emboli. Ketika pasien mulai berjalan, harus dipakai stoking elastik.
Berjalan-jalan akan lebih baik daripada berdiri atau duduk lama-
lama. Latihan ditempat tidur, seperti dorsofleksi kaki melawan
papan kaki, juga dianjurkan. Kompres hangat dan lembab pada
ekstremitas yang terkena dapat mengurangi ketidaknyamanan
sehubungan dengan DVT. Analgesik ringan untuk mengontrol
nyeri, sesuai resep akan menambah rasa nyaman. ( Anonim, 2018)

H. PENCEGAHAN
Pencegahan DVT merupakan hal yang sulit oleh karena
beberapa faktor risiko tidak bisa diubah seperti umur dan riwayat
keluarga. Berjalan dan mobilitas dini pasca operasi dapat
mencegah terjadinya DVT. Penggunaan elastic stocking pada
pasien dengan resiko terjadi DVT sangat berguna dalam
pencegahan DVT. Elastic stocking sangat berguna selama tidak
menimbulkan komplikasi perdarahan, mudah dipakai dan tidak

20
mahal. Intermitten pneumatic compression sangat berguna pada
pasien dengan resiko tinggi terutama ada resiko terjadinya
perdarahan. Penggunaan Unfractionated heparin dosis rendah
dapat juga dipergunakan dalam pencegahan DVT.
Heparin dapat diberikan dengan dosis 5000 unit tiap 8
sampai 12 jam kemudian dapat digantikan warfarin jika resiko
trombosis masih ada. Resiko terjadinya perdarahan harus dimonitor
secara ketat dengan menyesuaikan APTT sesuai yang
dikehendaki. LMWH dapat diberikan sekali atau dua kali sehari
sebagai pengganti UFH. Dari penelitian yang dilakukan Agnelli dkk,
penggunaan Enoxaparin bersamaan dengan compression stocking
lebih efektif dibandingkan penggunaan compression stoking saja
dalam mencegah terjadinya venous thromboembolism pada pasien
yang telah dilakukan pembedahan saraf. Sedangkan penggunaan
aspirin setelah penggunaan antikoagulan dihentikan dapat
mencegah terjadinya trombosis ulangan tanpa meningkatkan resiko
perdarahan. (Iman Haryana, 2013)

21
BAB III

PEMBAHASAN

A. ALAT ECHO DOPLER

Gambar 1: Alat Echo Doppler


1. Merek : Philips
2. Tipe : Epiq 5

22
B. PRINSIP KERJA ALAT ECHO DOPLER
USG diagnostic menggunakan gelombang suara berdenyut,
frekuensi tinggi (>20.000 Hz). Gelombang ultrasonic memasuki
jaringan, ditransmisikan melalui jaringan dan dipantulkan kembali
dari jaringan berdasarkan inpedansi akustik jaringan. Impedansi
akustik jaringan adalah densitasnya kali kecepatan dimana suara
bergerak melalui jaringan. Semakin besar ketidak cocokan dalam
impedansi akustik anatar dua jaringan yang berdekatan, semakin
besar jumlah USG dipantulkan kembali ke tranduser. Tulang /
jaringan dan udara / jaringan antar muka sangat reflektik karena
ketidak cocokan besar dalam impedansi akustik mereka dari
jaringan yang berdekatan. Tulang memiliki jaringan impedansi
akustik yang sangat tinggi dan udara memiliki impedansi akustik
yang sangat rendah relative jaringan lunak. Jadi, ketika sinar
ultrasound memotong struktur tulang antarmuka yang dipenuhi
udara, sinar ultrasound di pantulkan kembali ke tranduser,
mencegah pencitraan struktur yang lebih dalam. Oleh karena itu,
ekokardiografi harus dilakukan diruang intercostal dalam jendela
jantung (dimana jantung melawan toraks, tanpa paru-paru
intervening) atau dari jendela subcostal.
Gelombang ultrasound disebarkan melalui jaringan yang
berdekatan pada kecepatan yang diketahui, yang bervariasi
tergantung pada jenis jaringan yang dilewati dari sinar ultrasound.
Kecepatan ultrasound melalui jaringan lunak sekitar 1540 m/detik.
Ketebalan, ukuran dan lokasi berbagai struktur jaringan lunak
dalam hubungannya dengan tranduser dapat dihitung pada setiap
titik waktu. USG mematuhi hukum optic geometric dengan
memperhatikan refleksi, transmisi dan pembiasan. Ketika
gelombang ultrasound memenuhi antarmuka dari impedansi akustik

23
yang berbeda, gelombang dipantulkan, dibiaskan dan diserap.
Intensitas sinar ultrasound menurun ketia ia bergerak menjauh dari
tranduser karena divergensi sinar, penyerapan, pancar, dan refleksi
energy gelombang pada antarmuka jaringan.

C. TEKNIK TEKNIK PEMERIKSAAN DASAR


1. Prosedur tindakan/urutan prosedur tindakan
a. Anda akan terbaring pada satu sisi bagian tubuh atau
punggung.
b. Seorang operator akan menaruh cairan (jelly) khusus pada
bagian atas probe dan akan meletakkan diatas wilayah
dada.
c. Dengan menggunakan gelombang suara Ultra-High-
Frequency akan menggambil gambar dari hati anda serta
klep (valve) jantung anda, pada penggunaan alat ini tak akan
menggunakan sinar-X.
d. Pergerakan (denyut) dari jantung atau hati anda dapat dilihat
pada suatu layar video. Sebuah video atau foto dapat
membuat gambar dari pergerakan (denyut) tadi. Anda dapat
pula mengamatinya pada saat test ini berlangsung, dan
biasanya mengambil waktu kurang lebih 15-20 menit.
e. Dalam test ini anda tak akan merasa sakit dan tidak
mempunyai efek samping.
f. Selanjutnya dokter akan memberitahukan hasil pemeriksaan
tersebut.
g. Gelombang suara tadi akan mengambil gambar hati atau
jantung anda secara jelas dan ketika pemeriksaan telah
selesai maka operator tadi akan mencabut probe yang
sebelumnya digunakan untuk melihat pergerakan hati atau
jantung anda.

24
h. Setelah itu anda akan menunjukkan tanda-tanda ingin batuk,
sebagai tanda bahwa pemeriksaan telah selesai.

2. Teknik teknik pemeriksaan dasar menggunakan alat


Di mana untuk teknik teknik pemeriksaan dasar jantung
Selain pendekatan subxiphoid (alias subcostal) dari scan
CEPAT, parasternal dan pendekatan apikal digunakan. Pasien
sebaiknya diperiksa terlentang untuk pendekatan subxiphoid,
tetapi untuk pandangan lain Anda harus memposisikan pasien
jika situasi klinis memungkinkan – miliki pasien berguling ke kiri
dan jika memungkinkan, letakkan tangan kiri mereka di
belakang kepala mereka. Ini turun jantung jauh dari belakang
sternum dan membuka ruang tulang rusuk.
a. Parasternal Long Axis View (PLAX)
Tujuannya adalah untuk mengorientasi balok dengan
sumbu panjang ventrikel kiri. Transduser ditempatkan di
sebelah kiri sternum di ruang interkostal ketiga, keempat,
atau kelima dengan marker berorientasi ke arah klavikula
kanan (sekitar jam 11).
b. Parasternal Short Axis View (PSAX)
Transduser tetap berada di ruang interkostal yang
digunakan dapatkan tampilan sumbu panjang parasternal
dan diputar searah jarum jam 90 derajat sehingga tegak
lurus terhadap sumbu panjang LV (penanda probe ke bahu
kiri). Ini kemudian dimiringkan untuk menyapu dari dasar ke
puncak hati, memperoleh sejumlah pandangan yang
berbeda.
Aplikasi utama dari pandangan ini dalam gema dasar
adalah untuk menilai bentuk relatif dan ukuran dari dua
ventrikel yang dicurigai PE, dan secara visual menilai fungsi

25
LV, keduanya secara global dan secara regional, dengan
mencari gerakan dinding yang tidak normal. Ini juga
berguna untuk mengonfirmasi diduga efusi perikardial.
Periksa bentuk dan ukuran ventrikel. Itu LV harus
lebih besar daripada RV. LV seharusnya bulat dan bulan
sabit RV berbentuk, seperti kebalikannya huruf ‘D’.
Hubungan ini terbalik dalam cor akut pulmonale karena
emboli paru.
Probe dapat dimiringkan untuk memeriksa tampilan
SAX di tingkat yang berbeda:
1. Tingkat otot papiler.
2. Katup mitral.
3. Tingkat katup aorta

c. Apical Four Chamber View (A4C)


Transduser ditempatkan pada titik impuls maksimum
jika pasien memiliki denyut apikal teraba; jika tidak
ditempatkan di Ruang interkostal kelima dekat garis aksila
anterior. Balok itu diarahkan ke kepala pasien, dan
transdusernya diputar jadi penanda sekitar jam 3.
Pada dasarnya, pandangan ini sangat membantu
untuk identifikasi efusi perikardial dan menunjukkan fisiologi
tamponade (runtuhnya ruang diastolik sisi kanan), serta RV
pelebaran emboli paru masif dan submasif.

d. Apical Two Chamber View (A2C)


Ini dicapai setelah tampilan empat ruang apikal
dengan memutar transduser kira-kira 45 hingga 90 derajat
berlawanan arah jarum jam: penanda probe sampai jam 12
siang. Ini memvisualisasikan anterior yang sebenarnya dan

26
dinding inferior yang benar dari ventrikel kiri yang penting
untuk penilaian regional kelainan gerakan dinding.

e. Subcostal Long Axis View


Jendela ini dapat menyediakan satu-satunya tampilan
yang dapat dicapai di pasien yang secara teknis sulit seperti
mereka dengan penyakit paru obstruktif kronik atau yang
menerima ventilasi mekanis. Pasien terlentang dan jika
memungkinkan, lutut sedikit ditekuk untuk dikurangi
ketegangan dinding perut. Transduser ditempatkan di
bawah dan sedikit di sebelah kanan xiphisternum. Penanda
sisi berada di posisi jam 3 dan transduser dimiringkan ke
depan. Itu mungkin diperlukan untuk mendorong sedikit ke
bawah ke perut untuk mencapai bidang pindai ini.

27
BAB IV
PENUTUP

Trombosis vena cukup sering ditemukan pada penderita yang di


rawat di rumah sakit, terutama terjadi pada immobilisasi yang lama dan
post operatif ortopedi.Penyakit ini tidak menimbulkan kematian, akan
tetapi mempunyai resiko besar untuk timbulnya emboli paru yang dapat
menimbulkan kematian.Manifestasi kliniknya tidak spesifik, sehingga
memerlukan pemeriksaan obyektif lanjutan. Pengobatan adalah
mencegah timbulnya embol paru, mengurangi morbiditas dan keluhan
post flebitis dan mencegah timbulnya hipertensi pulmonal.Pengobatan
yang di anjurkan adalah pemberian heparin dan dilanjutkan dengan anti
koagulun oral.

28
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2018.(Https://scribd.com ) Di akses pada tanggal 2 agustus 2018

Anonim, 2018.(http://macrofag.blogspot.com) Di akses pada tanggal 2


agustus 2018

Dokter Medis.2013.(http://dokter-medis.blogspot.com) Di akses pada


tanggal 2 agustus 2018

Iman Haryana, 2013.(http://dokter-medis.blogspot.com ) Di akses pada


tanggal 2 agustus 2018

Tjin Will. 2018.(https://www.alodokter.com) Di akses pada tanggal 2


agustus 2018

29
LAMPIRAN 1

FORMAT RESUME KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
A. Biodata Pasien:
Nama : Ny ”JA”
Umur : 61 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Makassar
Pekerjaan : Ibu rumah Tangga
Diagnosa Medis : Deep Vein Thrombosis di
ekstremitas inferior sinistra
dengan thrombus
B. Riwayat Penyakit : Tumor Rectum
C. Pemeriksaan Penunjang : Echo Doppler

2. ANALISA KASUS TERHADAP DATA FOKUS, ETIOLOGI:


a. Keluhan utama: Nyeri pada perut dan terjadi pembengkakan
pada kedua kaki
b. Riwayat penyakit sekarang: Deep Vein thrombosis di
ekstremitas inferior sinistra dengan thrombus
c. Pemeriksaan TTV:
TD : 115/86 mmHg
HR : 86 x/menit
RR : 22 x/menit

30
S : 36,5˚C
Thoraks : Simetris
Tonsil : Dalam
d. Etiologi : kerusakan pembuluh darah

3. DIAGNOSIS HASIL DAN TINDAK LANJUT PEMERIKSAAN:


Diagnose Medis : Deep Vein Thrombosisdi ekstremitas inferior
sinistra dengan thrombus
Tindak Lanjut : pemeriksaan Echo Doppler

4. MENENTUKAN TUJUAN / OUT COME KETEKNISIAN:


a. Melakukan pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
b. Melakukan pemeriksaan Foto Thoraks
c. Melakukan pemeriksaan Echokardiography
d. Melakukan pemeriksaan Echo Doppler

5. INTERVANSI KETEKNISIAN :
Echo Doppler adalah sebuah pemeriksaan non invasive
yang bertujuan untuk menilai suatu arteri atau vena, apakah
terdapat thrombus atau tidak, dan untuk menilai apakah thrombus
yang terdapat pada ekstremitas masih terbilang dalam derajat
ringan ataupun sudah dalam derajat yang berat. Setelah hasil echo
Doppler ada, maka dokter dapat menyimpulkan tindakan apa yang
akan dilakukan selanjutnya.
Adapun hasil pemeriksaan Echo Doppler yakni:

31
Gambar 2: Hasil Echo Doppler

32
Gambar 3: Hasil EKG

LAMPIRAN 2

ASUHAN PRAKTEK KETEKNISIAN KARDIOVASKULER

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien.
Nama : Ny “JA”
Umur : 61 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah Tangga
Alamat : Makassar
Status Perkawinan : kawin
Tanggal pengkajian : 20-07-2018

2. Riwayat Penyakit Sekarang: Deep Vein Thrombosis di


ekstremitas inferior sinistra dengan trombus

3. Pengkajian sekunder:
a. Pemeriksaan TTV:
TD : 115/86 mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 22 x/menit
S : 36,5˚C
b. Keluhan utama: Nyeri perut dan pembengkakan pada kedua
kaki

33
B. ANALISIS DATA
1. Data subjektif :
a. Nyeri perut dan pembengkakan pada kedua kaki
b. Pasien mempunyai riwayat tumor rectum dan
pembengkakan pada kedua kaki

2. Data objektif:
a. TD : 115/86 mmHg
b. HR : 86 x/menit
c. S : 36,5˚C

34
C. WEB OF CAUTION ( WOC)

Hipertensi,
Luka pada sel endotel Usia, jenis kelamin,
hyperlipidemia, merokok,
genetic, ras
kalori, kolesterol,diet
tinggi lemak jenuh
Aterosklerosis

Terjadi penebalan dinding


arteri
Elastisitas arteri
berkurang
Jaringan sikartik

Plak banyak terbentuk

Aliran darah coroner ↓ Lumen arteri mengecil

Rupture plak STEMI Oklusi thrombus

Pembentukan thrombus
pada kaskade koagulasi

Gambar 4: Web of Caution DVT

35
D. DIAGNOSIS MEDIS
Dx : Deep Ven Trhombisis di ekstremitas inferior sinistra dengan
thrombus

E. RENCANA TINDAKAN /PEMERIKSAAN


1. Anjuran melakukan pemeriksaan Elektrokardiogram ( EKG)
2. Anjuran melakukan pemeriksaan Foto Thoraks
3. Anjuran untuk melakukan pemeriksaan Echocardiography
4. Anjuran untuk melakukan pemeriksaan Echo Doppler

F. IMPLEMENTASI
1. Melakukan pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
2. Melakukan pemeriksaan Foto Thoraks
3. Melakukan pemeriksaan Echocardiography
4. Melakukan pemeriksaan Echo Doppler

G. EVALUASI

36
Gambar 5: Hasil Echo
Doppler

37

Anda mungkin juga menyukai