Anda di halaman 1dari 6

STRATEGI MENGHADAPI SIFAT KONSUMTIF MASYARAKAT

KELAS MENENGAH INDONESIA PADA PRODUK IMPOR UNTUK


MEMAJUKAN PEREKONOMIAN BANGSA

Frasa kelas menengah cukup populer di semua kalangan Indonesia.


Golongan menengah bisa dikatakan berada di antara golongan menengah atas dan
golongan menengah bawah. Tidak terlalu miskin dan juga tidak terlalu kaya,
sehingga bisa disebut sebagai golongan menengah. Walaupun sebenarnya, tidak
ada satu defenisi yang disepakati semua orang mengenai kelas menengah, seperti
Lester Thurow (1987) mendefinisikan kelas menengah berdasarkan pendekatan
relatif di Amerika Serikat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki
pendapatan (income) dalam rentang antara 75% dan 125% dari titik tengah
(median) pendapatan perkapita. Sementara menurut Banerjee dan Duflo (2008)
mendefinisikan kelas menengah dengan dua alternatif angka absolut yaitu rentang
pendapatan perkapita per hari $2-$4 dan $6-$10. Kriteria dari Banerjee dan Duflo
digunakan sebagai standar kategorisasi Bank Dunia untuk mengukur jumlah kelas
menengah di Indonesia.

Indonesia sebagai negara berkembang, memiliki jumlah masyarakat kelas


menengah yang besar. Menurut data Bank Dunia sebanyak 55% penduduk
Indonesia masuk dalam kategori kelompok menengah. Kelompok ini
mengeluarkan belanja antara US$ 2 hingga US$ 20 dollar per hari. Survei
McKinsey menunjukkan bahwa ada 45 juta kelompok menengah di Indonesia.
Seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia, jumlah masyarakat kelas menengah pun
terus bertambah. Berdasarkan data Bank Dunia, tahun 2003 jumlah kelas
menengah di Indonesia hanya sekitar 37,7 persen. Namun, pada tahun 2010,
jumlah itu meningkat menjadi 56,6 persen, mencapai 134 juta jiwa.

Masyarakat kelas menengah Indonesia cenderung memiliki sifat


konsumtif. Masyarakat kelas menengah sering berlomba-lomba dalam meraih

1
kepuasan pribadi, sehingga menjadikan konsumen Indonesia terutama dari
masyarakat kelas menengah sebagai target pasar utama bagi industri. Apalagi,
indeks kepercayaan konsumen Indonesia jauh lebih tinggi dari rata-rata indeks
kepercayaan konsumen global. Menurut survei yang dilakukan oleh AC Nielsen,
menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks tertinggi di dunia yaitu 124 dan
meningkat dua poin dari kuartal I 2013. Survei tersebut menempatkan konsumen
Indonesia sebagai konsumen paling optimistis diantara 58 negara di kawasan Asia
Pasifik, posisi tertinggi Indonesia diikuti oleh Filipina, India, Thailand, China,
Hongkong dan Malaysia.

Menginjak era perdagangan bebas, budaya konsumtif masyarakat kelas


menengah semakin subur di Indonesia. Berbagai produk asing yang membanjiri
pasar Indonesia, membuat pilihan konsumen semakin beragam. Barang-barang
kebutuhan sehari-hari, mulai dari makanan, minuman, pakaian, barang elektronik,
alat tulis-menulis, sampai korek api, mengandung label merek asing. Jumlah
barang impor yang membanjiri pasar semakin tidak terbendung, apalagi setelah
diberlakukannya sistem perdagangan bebas ASEAN dan China. Perdangangan
bebas ASEAN dan China menyebabkan produk asal negeri bambu tersebut masuk
tanah air dengan mudah. Saat ini, nilai barang impor Indonesia ke China mencapai
US$ 28,96 miliar atau sekitar Rp 275 triliun.

Budaya konsumtif masyarakat kelas menengah seharusnya dapat


mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan mendongkrak kuantitas permintaan.
Gelombang budaya konsumtif juga dapat menjadi penyelamat perekonomian
dalam menghadapi krisis ekonomi dan menjadi pemasukan utama Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Namun, perilaku konsumtif kelompok kelas
menengah Indonesia yang tidak ditopang dengan jiwa nasionalisme produk
Indonesia, hanya mengakibatkan pasar Indonesia dikuasai asing. Berdasarkan
hasil penelitian oleh Irawan, Chairman Frontier Consulting Group seperti yang
dikutip oleh (Ahadien, 2010), menyebutkan bahwa hasil survei Fontier di enam
kota besar Indonesia, hanya 3% yang dikuasai oleh merek asli daerah. Sisanya,
sebanyak 97% dikuasai merek nasional atau merek global yang diproduksi

2
perusahaan multinasional. Sementara sikap konsumen masyarakat kelas
menengah cenderung lebih memilih produk luar negeri dari pada produk dalam
negeri. Menurut riset yang dilakukan oleh universitas Indonesia, hanya 34 persen
orang Indonesia yang mau membeli produk Indonesia. Sikap masyarakat kelas
menengah yang kurang peduli pada produk lokal menyebabkan lesuhnya industri
produk dalam negeri. Oleh karena itu, budaya konsumtif harus diarahkan kepada
produk-produk domestik sehingga memberikan efek besar dalam mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi dalam negeri.

Membeli produk dalam negeri akan mendatangkan banyak manfaat bagi


negara dan masyarakat. Dengan semakin banyak permintaan produk dalam negeri
akan semakin meningkatkan beban pekerja dan itu berarti akan meningkatkan
pula upah yang mereka terima. Banyak tenaga kerja yang akan terserap sehingga
dapat membantu mengurangi jumlah pengangguran. Membeli produk dalam
negeri berarti juga meningkatkan pendapatan negara. Tetapi, jika konsumen
Indonesia lebih senang membeli barang-barang impor, maka produsen barang asal
luar negeri yang akan memetik manfaat terbesar. Uang konsumen masyarakat
kelas menengah akan mengalir ke luar negeri tanpa ada manfaat ekonomi ke
dalam. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan langkah-langkah
strategis yang mampu mengarahkan konsumen untuk membeli produk lokal.

Langkah pertama adalah melakukan standardisasi produk domestik.


Langkah tersebut merupakan salah satu cara tepat untuk membendung produk-
produk impor dari negara lain yang membanjirnya pasar Indonesia. Standardisasi
menjadi salah satu instrumen dalam rangka mendukung pembangunan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan daya saing dan kualitas hidup bangsa
Indonesia. Saat ini, banyak produk domestik yang belum mendapat standardisasi.
Suatu produk yang sudah memenuhi standar akan diberikan sertifikasi produk
yang ditempatkan pada kemasannya. Suatu produk yang sudah memiliki
sertifikasi produk memberikan jaminan terhadap produk yang dihasilkan oleh
pelaku usaha, karena sertifikasi atas suatu produk itu baru diberikan setelah
melalui pengujian dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan berdasarkan

3
aturan tentang penstandaran. Salah satu bentuk suatu produk telah memenuhi
penstadaran adalah berlabel SNI. Sistem penerapan SNI dapat untuk memberikan
nilai tambah kepada produsen nasional di pasar domestik. Standardisasi produk
dapat meningkatkan kepercayaan konsumen atas produk yang akan
dikonsumsinya, terletak pada ada atau tidaknya bukti sertifikasi pada produk
tersebut.

Kedua, pemerintah pusat maupun daerah wajib menyelenggarakan


pameran produk lokal untuk mempromosikan produk-produk unggulan daerah.
Pameran produk daerah dapat menjadi wadah atau tempat untuk membangun
merek dalam negeri, membuka akses pasar, hingga meningkatkan jaringan
kerjasama, dan kemitraan dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari seluruh
provinsi di Indonesia. Selain itu, pameran produk lokal dapat membangkitkan
potensi pangan lokal dan meningkatkan konsumsi pangan lokal. Produk-produk
yang ditampilkan dapat menumbuhkan kecintaan masyarakat Indonesia untuk
menggunakan produk buatan anak bangsa, sehingga tercipta kemandirian
Indonesia. Pameran harus diikuti oleh UKM kelas menengah ke bawah dalam
jumlah besar agar acara semakin meriah, sehingga perlu koordinasi penyelenggara
dengan industri lokal. Pameran produk daerah juga harus diadakan di seluruh
Indonesia. Selama ini, kegiatan pameran produk lokal hanya diadakan di kota-
kota besar, seperti Jakarta atau Surabaya. Frekuensi penyelenggaraan pameran
produk lokal juga perlu ditingkatkan dan dijadikan agenda kerja setiap pemerintah
daerah, sehingga pameran produk lokal tidak hanya menjadi kegiatan yang
numpang lewat saja, kemudian tidak diadakan lagi.

Ketiga, pemerintah perlu kembali mengkampanyekan produk dalam


negeri, yang diharapkan mampu membuat masyarakat kelas menengah lebih
memilih produk lokal daripada produk impor. Kampanye dilakukan dengan
memanfaatkan berbagai media komunikasi. Departemen perdagangan (Depdag)
harus menganggarkan biaya untuk menempatan iklan “Aku Cinta Produk
Indonesia" pada media seperti televisi dan radio. Pemerintah juga harus
menggunakan spanduk dengan slogan ”Aku Cinta Produk Indonesia”. Kampanye

4
juga dapat melalui bioskop dengan menampilkan iklan “Aku Cinta Produk
Indonesia” sebelum film diputar. Depdag dapat bekerjasama dengan BUMN lain
serta lembaga masyarakat untuk menkampanyekan produk Indonesia.

Keempat, pemerintah harus mensosialisasikan kepada masyarakat tentang


produk dalam negeri. Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer
kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam
sebuah kelompok atau masyarakat. Sosialisasi digunakan untuk membudayakan
cinta produk dalam negeri. Pemerintah wajib menggelar kegiatan sosialisasi
produk lokal dengan tujuan untuk mendorong dan menggali potensi pasar dalam
negeri melalui produk lokal, sehingga diharapkan muncul kecintaan dari
masyarakat terhadap produk lokal. Selain sosialisasi yang ditujukan kepada kaum
dewasa, sosialisasi juga dilakukan kepada dilakukan pada anak-anak sekolah.

Sosialisasi untuk mencintai produk Indonesia paling efektif ditanamkan


sejak dini, sehingga perlu penanaman nasionalisme ekonomi pada sektor
pendidikan. Sosialisasi dilakukan pada siswa sekolah dasar hingga sekolah
menengah atas di seluruh Indonesia setiap pergantian semester sebagai program
tahunan pemerintah daerah. Dalam sosialisasi, siswa akan diperkenalkan produk-
produk lokal mulai dari kerajinan, pakaian, souvenir dan lainnya. Siswa akan
diberi tahu pentingnya memakai produk dalam negeri untuk memajukan
perekonomian negara. Kegiatan yang terdapat dalam sosialisasi bukan hanya
sekedar penyampaian nilai cinta produk dalam negeri melainkan juga menyajikan
pameran produk daerah. Dengan sosialisasi pada bidang pendidikan diharapkan
generasi muda sebagai penerus bangsa akan lebih bangga memakai produk dalam
negeri. Negara mutlak untuk mensosialisasikan nilai cinta produk buatan dalam
negeri sendiri pada generasi muda agar dapat memajukan pasar domestik.

Dari keempat strategi tersebut, nasionalisme yang memegang peranan


penting dari permasalahan bangsa. Lunturya rasa nasionalisme pada produk
Indonesia telah memicu penyimpangan, salah satunya dalam bidang
perekonomian. Masyarakat kelas menengah seharusnya bangga menggunakan

5
barang hasil industri daerah, agar produk daerah mampu menguasai pasar dalam
negeri bahkan menembus pasar internasional, bukan malu menggunakan produk
lokal dan bangga menggunakan produk impor. Sebagai bangsa yang kuat, dengan
memajukan ekonomi mandiri dan bangga produk dalam negeri, kita dapat
memperkuat jati diri bangsa di mata dunia. Dengan prinsip itu, pertumbuhan
ekonomi akan semakin tinggi dan stabilitas ekonomi pun akan semakin kokoh,
sehingga kesejahteraan rakyat akan merata dan pengangguran dapat dikurangi
serta angka kemiskinan dapat dikurangi. Berawal dengan membudayakan
penggunaan produk dalam negeri berarti kita menaruh kepercayaan terhadap
kualitas buatan anak negeri.

Penulis: Akhmat Fauzi

Referensi:

Anonim. 2013. Survey AC Nielsen dan Mastercard Tempatkan Konsumen


Indonesia Paling Optimisti. http://setkab.go.id/berita-9676-survey-ac-
nielsen-dan-mastercard-tempatkan-konsumen-indonesia-paling-
optimistis.html. Diakses 23 Nopember 2013.

Azman dan Launa. 2010. ACFTA dan Ancaman Kedaulatan. Jurnal Sosial
Demokrasi Nomor 3 Volume 8. Pergerakan Indonesia dan Komite
Yayasan Indonesia Kita. Jakarta.

Munthe, Bernadette. Hanya 34 Persen Orang Indonesia Beli Produk Lokal.


Tempo. 3 Oktober 2013.

Triawan, Ahadien. 2008. Hubungan Antara Sikap Dan Keputusan Membeli


Produk Lokal Pada Konsumen. Fakultas Psikologi Universitas Negeri
Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Yuswohady. 2012 . Consumer 3000 : Revolusi Konsumen Kelas Menengah


Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai