Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS LUPUS

ERITEMATOSUS SISTEMIK (SLE)


PRESENTASI KASUS

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Pembimbing :

Yunanto Dwi Nugroho Sp. PD

Disusun oleh :

Noni Frista Al Azhari G4A013079

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2015

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Disusun Oleh :

Noni Frista Al Azhari G4A013079


Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal : Maret 2015

Dokter Pembimbing :

Yunanto Dwi Nugroho Sp. PD

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan
menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-
macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang
jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan
kira- kira delapan kali lebih sering daripada laki- laki. Penyakit ini sering kali dimulai pada
akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Di Amerika Serikat, penyakit ini menyerang
perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering daripada perempuan Kaukasia. Jika
penyakit ini baru muncul pada usia di atas 60 tahun, biasanya akan lebih mudah untuk diatasi.

Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun 1800-an, dan
diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”, melintasi tonjolan
hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala. Lupus discoid adalah
nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada
gangguan kulit.

SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak
diketahui. SLE ditandai dengan autoantibodi dalam sirkulasi terhadap asam deoksiribonukleat
(DNA). Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, arthritis rheumatoid, dan
sindrom Sjogren. Gangguan- gangguan ini seringkali memiliki gejala yang saling tumpang
tindih satu dengan yang lainnya dan dapat tampil secara bersamaan, sehingga diagnosis
menjadi semakin sulit untuk ditegakkan secara akurat. SLE dapat bervariasi dari suatu
gangguan ringan sampai suatu gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Namun
demikian, keadaan yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi atau hampir
remisi yang berlangsung untuk waktu yang lama. Diagnosis SLE dipastikan dari hasil tes
yang positif terhadap faktor antinuklear (ANA) (suatu uji skrining yang berguna) dan uji
yang lebih spesifik untuk antibodi anti-DNA.

Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara
prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender
wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit
Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari
total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.

Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah,
jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada
1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak
berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%,
fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan
manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8 %, anemia
hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%. Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih
cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20
tahun adalah 93-97%, 84-95%, 18-19, 70-85%, 18-19, 64-80%, dan 53-64%. Kesintasan 5
tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE
yang berobat dari tahun 1990-2002. Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih
tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan
dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberkulosis, virus, jamur dan
protozoa. Sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular
aterosklerosis. Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit SLE sangat beragam dan
risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan
yang tepat. Identifikasi dan penatalaksanaan dini SLE biasanya dapat memberikan prognosis
yang lebih baik.

BAB II

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. I

Umur : 28 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Karang Gintung RT 08/06, Gandrung, Mangu, Kab Cilacap

Agama : Islam

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal masuk RSMS : 19 Februari 2015

Tanggal periksa : 23 Februari 2015

No.CM : 00297937

1. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak nafas

Keluhan Tambahan : Mual, pusing, kejang, batuk, badan pegal, lebam di kedua kaki
dan kedua tangan

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk RSMS.
Sesak nafas dirasakan terus-menerus dan semakin memberat sehingga mengganggu aktifitas
pasien. Pasien mengatasi sesak nafasnya dengan posisi duduk dan minum air hangat. Sesak
nafas bertambah apabila pasien berbaring. Selain itu, pasien juga mengeluh mual, pusing, dan
batuk sejak tadi malam. Mual, pusing, dan batuk- batuk dirasakan terus- menerus sehingga
menimbulkan rasa tidak nyaman dan mengganggu aktifitas pasien. Pasien mengatasinya
dengan minum air hangat dan beristirahat.

Pada tanggal 18 Februari 2015 malam, pasien sempat mengalami kejang 1 kali dengan durasi
sekitar 2 jam. Pada saat kejang pasien tidak sadar. Sebelum dan setelah kejang pasien sadar.
Kejang terjadi pada seluruh tubuh.

Pasien juga merasakan keluhan lain yaitu pegal- pegal pada seluruh tubuh. Rasa pegal pada
seluruh tubuh dirasakan sering timbul sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan disertai nyeri sendi-
sendi dan badannya terasa lemah serta mudah lelah. Pada bulan Maret 2014 pasien telah
didiagnosis menderita SLE dengan ditemukannya sel LE pada pemeriksaan penunjang di
RSMS. Keluhan pegal pada seluruh tubuh semakin memberat dan mengganggu aktifitas.
Keluhan bertambah saat pasien melakukan aktifitas- aktifitas berat seperti mencuci baju.
Keluhan akan berkurang saat pasien beristirahat. Pasien juga mengeluhkan adanya lebam-
lebam dan bercak- bercak kehitaman di seluruh tubuh. Lebam- lebam uncul sekitar 2 tahun
yang lalu. Awalnya berwarna kemerahan kemudian berubah warna menjadi hitam tersebar di
seluruh tubuh. Bercak berwarna hitam muncul semakin banyak.

Pasien juga pernah mengalami gusi berdarah 1 tahun yang lalu. Pasien mengakui sekitar 5
tahun yang lalu mulai mengalami kejang kurang lebih 4 kali dalam seminggu. Semakin lama
kejang mulai menghilang. Pasien sudah rutin melakukan pengobatan untuk penyakit SLEnya.

Pada saat anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan, keluhan sesak pasien sudah berkurang,
pusing sudah berkurang, sudah tidak ada mual, badan masih sering pegal- pegal, masih ada
lebam di kaki dan tangan, dan bercak berwarna hitam pada seluruh tubuh.

Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat keluhan yang sama : Diakui


2. Riwayat penyakit jantung : Diakui (CHF)
3. Riwayat asma : Disangkal
4. Riwayat TBC paru : Diakui
5. Riwayat hipertensi : Disangkal
6. Riwayat penyakit liver : Diakui (Fatty liver grade I)
7. Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
8. Riwayat penyakit ginjal : Diakui
9. Riwayat penyakit mata : Diakui (Rabun mata)
10. Riwayat kejang : Diakui
11. Riwayat perdarahan : Diakui (Gusi berdarah)
12. Riwayat mondok : Diakui (5 kali)
13. Riwayat obat-obatan : Diakui MP 3 x 1 tab, asam folat 2 x 1 tab PO
14. Riwayat alergi : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat keluhan yang sama : Disangkal


2. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
3. Riwayat asma : Disangkal
4. Riwayat TBC paru : Disangkal
5. Riwayat hipertensi : Diakui (Kakek)
6. Riwayat penyakit liver : Disangkal
7. Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
8. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
9. Riwayat penyakit mata : Disangkal
10. Riwayat kejang : Disangkal
11. Riwayat perdarahan : Disangkal
12. Riwayat mondok : Disangkal
13. Riwayat obat-obatan : Disangkal
14. Riwayat alergi : Disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi

1. Personal

Pasien sudah menikah dan tinggal bersama suami, 1 orang anak, dan ibunya. Aktifitas pasien
menurun sejak pasien mengalami sakit 5 tahun yang lalu. Sejak 5 tahun yang lalu pasien
mengalami berbagai macam penyakit dan pernah mondok di RS 5 kali. Pasien pernah
mendapatkan tranfusi darah 4 kantong. Karena mudah lelah dan sering mengalami nyeri
sendi, kaku tulang, pegal- pegal pada otot badan maka pasien hanya dapat melakukan
aktifitas sehari- hari yang ringan. Ibu pasien sering membantu memasak dan mencuci baju
serta mengurus anak pasien. Pasien rutin memeriksakan penyakit SLEnya ke rumah sakit.

2. Occupational

Pasien sehari- hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari berasal dari penghasilan suami sebagai buruh dan berkebun.

3. Community

Pasien tinggal di sebuah pedesaan. Hubungan pasien dengan keluarganya tergolong baik.
Hubungan pasien dengan tetangga dan masyarakat sekitar tergolong baik.

4. Diet

Pola makan pasien baik 3 kali sehari. Nasi, lauk, sayur cukup bervariasi. Nafsu makan baik,
terkadang menurun terutama ketika gejala- gejala penyakitnya muncul. Pasien tidak pernah
merokok maupun mengkonsumsi alkohol.
5. Drug

Pasien mengkonsumsi obat-obatan untuk SLE yaitu Metil Prednison 3 x 1 tab PO dan Asam
Folat 2 x 1 tab PO.

1. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan di bangsal Mawar RSMS, 23 Februari 2015.

Hari Perawatan Keempat

1. Keadaan umum : Sedang


2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital sign

Tekanan Darah : 140/80 mmHg

Nadi : 96 x/menit

Respiration Rate : 24 x/menit

Suhu : 36,7 0C

4. Berat badan : 59 kg
5. Tinggi badan : 155 cm
6. Status generalis
7. Pemeriksaan kepala

 Bentuk kepala

Mesocephal, simetris, venektasi temporal (-)

 Rambut

Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata

 Mata

Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

 Telinga

Discharge (-), deformitas (-)

 Hidung

Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)

 Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)

1. Pemeriksaan leher

Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Palpasi : JVP5+3 cm

1. Pemeriksaan thoraks

Paru

Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketertinggalan gerak antara
hemithoraks kanan dan kiri, kelainan bentuk dada (-).

Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri

Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri

Perkusi : Perkusi orientasi seluru lapang paru sonor

Batas paru-hepar SIC V LMCD

Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+ kanan menurun

Ronki basah halus -/-

Ronki basah kasar -/-

Wheezing-/-

Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIV VI 2 jari lateral LMCS

Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC VI 2 jari lateral LMCS dan kuat angkat (-)

Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD

Batas atas kiri : SIC II LPSS

Batas bawah kanan : SIC IV LPSD

Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari lateral LMCS

Auskultasi : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)

1. Pemeriksaan abdomen

Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), undulasi (-)

Hepar : Tidak teraba

Lien : Tidak teraba

1. Pemeriksaan ekstremitas

Ekstremitas superior Ekstremitas inferior


Pemeriksaan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema – – – –
Sianosis – – – –
Ikterik – – – –
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis – – – –
Nyeri sendi + + + +
Lebam + + + +

1. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 19 Februari 2015

Hematologi

Darah Lengkap

Hemoglobin : 7,4 g/dl ↓ (14 – 18 g/dl)

Leukosit : 15.430 /uL ↑ (4800 – 10800/ul)

Hematokrit : 21 % ↓ (42 – 52 %)

Eritrosit : 2,7 x106/ul ↓ (4,7 – 6,1 x 106/ul)

Trombosit : 3000/ul ↓ (150.000 – 400.000/ul)

MCV : 79,5 fL N (79 – 99 fL)

MCH : 27.5 pg N (27 – 31 pg)

MCHC : 27,6% ↓ (33 – 37 %)


RDW : 34,7 % N (11,5 – 14,5 %)

MPV : 14,2 fL N (7.2 – 11.1 fL)

Hitung Jenis

Basofil : 0.1% N (0.00 – 1.00 %)

Eosinofil : 0,0% ↓ (2.00 – 4.00 %)

Batang : 0,8% ↓ (2.00 – 5.00 %)

Segmen : 83,8% ↑ (40.0 – 70.0 %)

Limfosit : 8,4% ↓ (25.0 – 40.0 %)

Monosit : 6,9% N (2.00 – 8.00 %)

Kimia Klinik

Ureum darah : 91,6 mg/dl ↑ (14.90 – 30.52 mg/dl)

Kreatinin darah : 3,04 mg/dl ↑ (0.00 – 1.30 mg/dl)

Gula darah sewaktu : 76 mg/dl N (≤ 200 mg/dl)

Laboratorium tanggal 21 Februari 2015

Hematologi

Darah Lengkap

Hemoglobin : 9 g/dl ↓ (14 – 18 g/dl)

Leukosit : 23.980 /uL ↑ (4800 – 10800/ul)

Hematokrit : 25 % ↓ (42 – 52 %)

Eritrosit : 3,1 x106/ul ↓ (4,7 – 6,1 x 106/ul)

Trombosit : 62000/ul ↓ (150.000 – 400.000/ul)

MCV : 81,7 fL N (79 – 99 fL)

MCH : 28.9 pg N (27 – 31 pg)

MCHC : 35,4% N (33 – 37 %)

RDW : 15,0 % ↑ (11,5 – 14,5 %)


MPV : 0,00 fL ↓ (7.2 – 11.1 fL)

Hitung Jenis

Basofil : 0.1% N (0.00 – 1.00 %)

Eosinofil : 0,0% ↓ (2.00 – 4.00 %)

Batang : 1,5% ↓ (2.00 – 5.00 %)

Segmen : 94,9% ↑ (40.0 – 70.0 %)

Limfosit : 2,% ↓ (25.0 – 40.0 %)

Monosit : 1,5% ↓ (2.00 – 8.00 %)

X Foto Torak AP

Batas kanan jantung tertutup perselubungan homogen, batas kiri jantung baik

Infiltrat pada perihiler kanan kiri

Suspek efusi pleura kanan

1. Resume
2. Anamnesis
3. Sesak nafas
4. Keluhan lain: Mual, pusing, kejang, batuk, badan pegal, lebam di kedua kaki dan
kedua tangan
5. Riwayat SLE telah terdiagnosa dengan ditemukan sel LE pada pemeriksaan
penunjang bulan Maret 2015.
6. Pemeriksaan fisik
7. Vital sign :

Tekanan Darah : 140/80 mmHg

Nadi : 96 x/menit

Respiration Rate : 24 x/menit

Suhu : 36,7 0C

1. Diagnosis

Lupus eritematosus sistemik

Observasi dispneu ec Suspek efusi pleura

Anemia ringan
1. Usulan Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)

1. Penatalaksanaan

Non Farmakologi

1. Istirahat
2. Kurangi aktifitas berat
3. Minum obat teratur

Farmakologi :

1. O2 3 lpm NK
2. IVFD RL 16 tpm
3. Inj Metil Prednison 3×125 mg iv
4. Inj Furosemid 2 x 1 Amp iv
5. Inj Ketorolac 2 x 30 mg iv
6. Inj Ranitidin 2 x 1 Amp iv
7. O Asam Folat 2 x 1 tab

Monitoring

1. Keadaan Umum/Kesadaran
2. Vital Sign
3. Gejala- gejala SLE yang muncul

1. PROGNOSIS

ad vitam : dubia ad bonam

ad sanationam : dubia ad bonam

ad fungsionam : dubia ad bonam

Prognosis untuk SLE bervariasi dan tergantung pada keparahan gejala, organ- organ yang
terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan,
penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh mana
gejala- gejala ini dapat diatasi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)


1. DEFINISI

Lupus eritematosus sistemik (LES) atau Systemic lupus Erythematosus (SLE) merupakan
prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibody terhadap komponen-
komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. SLE terutama
menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15- 40 tahun selama masa
reproduksi dengan ratio wanita dan laki- laki 5:1. Etiologinya tidak jelas, diduga
berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompatibilitas mayor
kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA- DR3 (Sudoyo, 2006).

1. EPIDEMIOLOGI

Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.
Prevalensi LES di berbagai Negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang
berbeda- beda bervariasi antara 2,9/100.000- 400/100.000. LES lebih sering ditemukan pada
ras tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi
familial. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini
dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15- 40 tahun (masa
reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara
(5,5-9): 1. Pada lupus eritematosus yang disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih
rendah, yaitu 3:2 (Sudoyo, 2006).

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari
3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan penelitian pada periode yang berbeda
diperoleh data sebagai berikut: antara tahun 1969- 1970 ditemukan 5 kasus LES (Ismail Ali);
selama periode 5 tahun (1972- 1976) ditemukan 1 kasus LES dari setiap 666 kasus yang
dirawat (insidensi sebesar 15 per 10.000 perawatan); antara tahun 1988- 1990 (3 tahun)
insidensi rata- rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria
yang berbeda- beda, yaitu berturut- turut criteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA, dan
kriteria ARA yang telah diperbaiki (Sudoyo, 2006).

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983- 1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan (Purwoto,
dkk). Di Medan antara tahun 1984- 1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4/ 10.000 perawatan
(Tarigan) (Sudoyo, 2006).

1. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Etiologi dan pathogenesis LES masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian,
terdapat banyak bukti bahwa pathogenesis LES bersifat multifactor, dan ini mencakup
pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respons imun (Sudoyo, 2006).

Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar
10- 20% pasien LES mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang juga menderita
LES. Angka terdapatnya LES pada saudara kembar identik pasien LES (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembar non identik (2-9%). Penelitian- penelitian terakhir menunjukkan
bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsur- unsur sistem imun.
Kaitan dengan haplotip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan
komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen (yaitu C1q, C1r,
C1s, C4 dan C2 telah terbukti. Gen- gen lain yang mulai terlihat ikut berperan ialah gen yang
mengkode reseptor sel T, immunoglobulin dan sitokin (Sudoyo, 2006).

Sistem neuroendokrin ikut berperan melalui pengaruhnya terhadap system imun. Penelitian
telah menunjukkan bahwa system neuroendokrin dengan system imun saling mempengaruhi
secara timbale balik. Beberapa penelitian berhasil menunjukkan bahwa hormon prolaktin
dapat merangsang respons imun (Sudoyo, 2006).

Patogenesis LES dihipotesiskan sebagai berikut:

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai akibatnya muncullah
sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang
memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Wujud pemicu ini masih belum
jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk yang di dalamnya ialah hormon seks, sinar
ultraviolet dan berbagai macam infeksi (Sudoyo, 2006).

Pada LES, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak
pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.
Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan
atau kompleks protein- RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas
autoantigen ini ialah mereka tidak tissue specific dan merupakan komponen integral semua
jenis sel (Sudoyo, 2006).

Antibodi ini secara bersama- sama disebut ANA (anti nuclear anti-body). Dengan antigennya
yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah
ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada LES terganggu. Dapat berupa gangguan
klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati,
dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan- gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar system fagosit mononuclear. Kompleks imun ini
akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen
pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,
pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Sudoyo, 2006).

Bagian yang penting dalam patogeneis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang
dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Secara
skematis, hipotesis mengenai pathogenesis LES dapat dilihat pada skema di bawah ini:

Genetically susceptible individual

Gambar 1. Model patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik

1. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidk
dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini
seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat secara beberapa lama hanya
mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah- pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian
diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada
akhirnya akan memenuhi kriteria LES (Sudoyo, 2006).

Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus LES,
walaupun arthritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus.

1. GEJALA KONSTITUSIONAL
2.

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada pasien LES dan biasanya
mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena
banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison.
Kelelahan ini dapat diukur dengan menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes
toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES ini maka
diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan (Sudoyo, 2006).

1. Penurunan berat badan

Keluhan ini dijumpai pada sebagian pasien LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu
makan atau disebabkan oleh gejala gastrointestinal (Sudoyo, 2006).

1. Demam

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti
infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil (Sudoyo, 2006).

1. Lain- lain

Gejala- gejala lain yang sering dijumpai pada pasien LES dapat terjadi sebelum ataupun
seiring dengan aktifitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan,
pembearan kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual, dan muntah (Sudoyo, 2006).

2. MANIFESTASI MUSKULOSKELETAL

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada
pasien LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (atralgia)
atau merupakan suatu arthritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini
seringkali dianggap sebagai manifestasi arthritis rheumatoid karena keterlibatan sendi yang
banyak dan simetris. Untuk ini perlu dibedakan dengan arthritis rheumatoid dimana pada
umumnya LES tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung
beberapa menit dan sebagainya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan
adanya koinsidensi penyakit autoimun lain seperti arthritis rheumatoid, polimyositis,
sklkeroderma atau manifestasi klinis penyakit- penyakit tersebut merupakan bagian gejala
klinis LES (Sudoyo, 2006).

3. MANIFESTASI KULIT

Ruam kulit merupakan manifestasi LES pada kulit yang telah lama dikenal oleh para ahli.
Sejak era Rogerius, Paracelsus, Hebra sebelum abad ke-19 manifestasi kulit seperti seborea
kongestifa, herpes esthimones dan sebagainya telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit
pada LES. Lesi mukokutaneus yang tampak sebagai bagian LES dapat berupa reaksi
fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), lupus
profundus/ paniculitis, alopecia, lesi vascular berupa eritema periungual, levido reticularis,
teleangiectasia, fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna
putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak
atrofis, eritema, atau depigmentasi pada bibir (Sudoyo, 2006).

4. MANIFESTASI PARU

Berbagai manifestasi klinis pada paru- paru dapat terjadi baik berupa radang intersisial
parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau
shrinking lung syndrome (Sudoyo, 2006).

Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik. Pada keadaan akut
perlu dibedakan dengan pneumonia bacterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan
tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Biasanya pasien akan merasa sesak, batuk
kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks
imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis
lupus ini memberikan respons yang baik dengan pemberian steroid (Sudoyo, 2006).

Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan paru
akibat LES ini dan memerlukan penanganan yang tepat, dimana tidak hanya penggunaan
steroid namun tindakan pengobatan lain seperti plasmaferesis atau pemberian sitostatika
(Sudoyo, 2006).

5. MANIFESTASI KARDIOLOGIS

Baik perikardium, miokardium, endokardium, ataupun pembuluh darah coroner dapat terlibat
pada pasien LES, walaupun yang paling banyak terkena adalah pericardium (Sudoyo, 2006).

Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substrelnal, friction rub,
gambaran silhouette sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG, Ekokardiografi.
Apabila dijumpai adanya aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia
yang tidak jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan lebih
lanjut (Sudoyo, 2006).

Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada pasien LES dan bermanifestasi sebagai
angina pektoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak
dijumpai pada pasien LES usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan
steroid jangka panjang (Sudoyo, 2006).
Valvilitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang juga sering
dijumpai pada pasien LES. Vegetasi pada katup jantung merupakan akumulasi dari kompleks
imun, sel mononuklear, jaringan nekrosis, jaringan parut, hematoxylin bodies, fibrin dan
thrombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai adalah bising jantung sistolik dan
diastolic (Sudoyo, 2006).

6. MANIFESTASI RENAL

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% pasien yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun
menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidens
antara usia 20- 30 tahun (Sudoyo, 2006).

Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan
ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin > 500 mg/24 jam atau
positif-3 secara semi kuantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau
gabungan serta piuria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum
kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada pasien LES. Akan tetapi melalui
biopsi ginjal akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini.
WHO membagi klasifikasi keterlibatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi 6 kelas
(Sudoyo, 2006).

Terdapat kaitan antara gambaran klinis, laboratories, dan klasifikasi patologi. Namun
demikian, adanya proteinuria piuria, serta buruknya bersihan kreatinin dapat diakibatkan
sebab lain seperti infeksi, glomerulonefritis, dan efek toksik obat pada ginjal (Sudoyo, 2006).

7. MANIFESTASI GASTROINTESTINAL

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada pasien LES, karena dapat merupakan
cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan
(Sudoyo, 2006).

Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esophagus, mesenteric vasculitis,
inflammatory bowel disease (IBS), pancreatitis dan penyakit hati (Sudoyo, 2006).

Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat pasien dalam keadaan
tertekan dan sifatnya episodic, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada
esophagus tersebut, kecuali gangguan motilitas (Sudoyo, 2006).

Keluhan dispepsia yang dijumpai pada kurang lebih 50% pasien LES, lebih banyak dijumpai
pada mereka yang memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan dengan
pemakaian obat ini (Sudoyo, 2006).

Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum, yang dibuktikan
dengan pemeriksaan autopsy (Sudoyo, 2006).

Kelainan lain seperti IBS sulit dibedakan dengan causa idiopatik karena gambaran klinis yang
tidak banyak berbeda (Sudoyo, 2006).

Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenteric perlu mendapat perhatian yang besar karena
walaupun jarang dapat mengakibatkan perforasi usus halus atau colon yang berakibat fatal.
Keluhan ditandai dengan nyeri di daerah abdominal bawah yang hilang timbul dalam periode
beberapa minggu atau bulan. Pembuktian adanya vaskulitis ini dilakukan dengan arteriografi
(Sudoyo, 2006).

Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% pasien LES. Keluhan ditandai dengan adanya
nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amylase.
Sampai saat ini penyebabnya masih dipertanyakan apakah memang karena LES itu sendiri
atau akibat pengobatan seperti steroid, azatioprin yang diketahui dapat menyebabkan
pankreatitis. Namun demikian dijumpai pula pankreatitis pada pasien yang tidak
mendapatkan steroid (Sudoyo, 2006).

Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai
dengan peningkatan serum SGOT/ SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. Kelainan ini
berkaitan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama
salisilat. Kecurigaan terhadap LES perlu dipikirkan apabila pada seorang wanita muda
dengan poliartritis dan mendapatkan salisilat didapatkan peningkatan serum SGOT/ SGPT.
Transaminase ini akan kembali normal apabila aktifitas LES dapat dikontrol dan
antiinflamasi dihentikan. Belum jelas hingga kini apakah kelainan hati yang terjadi
merupakan bagian dari LES, atau merupakan lupoid hepatitis (autoimmune chronic active
hepatitis) dan tidak dijumpai bukti adanya kaitan dengan infeksi virus hepatitis B (HBV)
(Sudoyo, 2006).

8. MANIFESTASI NEUROPSIKIATRIK

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu
luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis
lebih banyak berdasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain
seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat (Sudoyo, 2006).

Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses
penegakkan diagnosis ini. Dapat dijumpai kelainan EEG namun tidak spesifik, pada cairan
serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA atau
IgM, peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein atau penurunan kadar glukosa
(Sudoyo, 2006).

Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi
syaraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau mielitis transversal. Sedangkan pada
susunan syaraf tepi akan bermanifestasi sebagai neuropati perifer, miastenia gravis, atau
monoteuritis multipleks. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik
atau non organic (Sudoyo, 2006).

9. MANIFESTASI HEMIK- LIMFATIK

Limfadenopti baik menyeluruh ataupun terlokalisis sering dijumpai pada pasien LES ini.
Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal, dengan
karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi antara 3-4 cm (Sudoyo, 2006).

Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada pasien LES adalah splenomegali yang
biasanya disertai oleh pembesaran hati (Sudoyo, 2006).
Kerusakan lien berupa infark atau thrombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan.
Bahkan pernah dilaporkan adanya rupture arteri lienalis walaupun tidak dijumpai bukti
vaskulitis (Sudoyo, 2006).

Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam perkembangan penyakit LES ini.
Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses imun dan non imun. Pada anemia
yang bukan diperantarai proses imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik,
defisiensi besi, sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk anemia yang diperantarai
proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia
hemolitik otoimun seperti anemia pernisiosa, acute hemophagocytic syndrome (Sudoyo,
2006).

1. DIAGNOSIS

Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.


American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk
klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan.
Kriteria tersebut adalah (Sudoyo, 2006) :

1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Arthritis
6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten > 0,5 gr/hari, atau adanya silinder sel
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang- kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau
trombositopenia.
10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif
atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu.
11. Antibodi antinuklear (antinuclear antibody, ANA)

Kecurigaan akan penyakit LES bila dijumpai 2 (dua) atau lebih keterlibatan organ di bawah
ini, yaitu (Sudoyo, 2006) :

1. Jender wanita pada rentang usia reproduksi


2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
3. Muskuloskeletal: Artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu- kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, LES membrane
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, dan vaskulitis.
5. Ginjal: Hematuria, proteinuria, cetakan, sindrom nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru- paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, LES parenkim paru
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali).
10. Hematologi: anemia, leucopenia, dan trombositopenia.
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindrom otak organic, mielitis transversa, neuropati
kranial dan perifer.
Kriteria diagnosis lupus eritematosus sistemik

Kriteria Batasan
Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat
Ruam malar
nasolabial
Bercak eritema menonjol dengan gambaran LES keratotik dan sumbatan
Ruam diskoid
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Ruam kulit yang disebabkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
Fotosensitifitas
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
Ulkus mulut
pemeriksa
Arthritis non Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer ditandai oleh rasa nyeri, bengkak dan
erosif efusi
a. Pleuritis- riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura, atau
Pleuritis atau
perikarditis
b. Perikarditis, bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial
a. A. proteinuria menetap > 0,5 gram per hari atau > +3 atau

Gangguan renal b. Cetakan selular- berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular, atau

Gabungan
a. Kejang- tanpa disebabkan oleh obat- obatan atau gangguan metabolic,
misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit atau
Gangguan
neurologi
b. Psikosis, tanpa disebabkan oleh obat- obatan atau gangguan metabolic,
misalnya uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau

b. Leucopenia < 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau


Gangguan
hematologik
c. Limfopenia < 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan

d. Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat- obatan


a. Anti DNA: antibody terhadap native DNA dengan titer yang abnormal
atau

b. Anti Sm: terdapatnya antibody terhadap antigen nuclear Sm atau


Gangguan
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
imunologik
1. Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM 2. Tes
lupus antikoagulan positif menggunakan metode standart atau 3. Hasil tes
positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema Pallidum atau tes fluororesensi absorbs antibody
treponemal.
Antibodi Titer abnormal dari antibodi antinuclear berdasarkan pemeriksaan
antunuklear imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
positif (ANA) perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.

Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria
tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.

Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan


Monitoring (IRA, 2011)

1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)


2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin
urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, pro•il lipid)
4. PT, APTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6. Foto polos thorax

 pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.

* Setiap 3-6 bulan bila stabil

† Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time.


Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE.

Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE (IRA, 2011) :

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat
yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang
diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai
kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.

Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

1. Secara klinis tenang


2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan
saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:

1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)


2. Trombositopenia (trombosit 20-50×103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:

1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,


tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark
paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia
< 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.

1. PRINSIP UMUM DALAM PENATALAKSANAAN LES

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam


penatalaksanaan pasien LES, terutama pada pasien yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat
dicapai dengan penyuluhan langsung kepada pasien atau dengan membentuk kelompok
pasien yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya (Sudoyo,
2006).

Pada umumnya, pasien LES mengalami foto sensitifitas, sehingga pasien harus selalu
diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasehatkan
untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau
paying bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar
matahari dari jendela (Sudoyo, 2006).

Karena infeksi sering terjadi pada pasien LES, maka pasien harus selalu diingatkan bila
mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada pasien yang memperoleh
kortikosteroid dosis tinggi, obat- obat sitotoksik, pasien dengan gagal ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada pasien
LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi, dan prosedur invasive lainnya
(Sudoyo, 2006).

Pengaturan kehamilan sangat penting pada pasien LES, terutama pasien dengan nefritis, atau
pasien yang mendapat obat- obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya
anti malaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES
dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu pengawasan aktifitas penyakit
harus lebih ketat selama kehamilan (sudoyo, 2006).

Sebelum pasien LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah pasien tergolong yang
memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, pasien LES
yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi
secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ- organ mayor,
maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan
imunosupresan lainnya (Sudoyo, 2006).

Tabel Butir- butir edukasi terhadap pasien LES


1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya
2. Tipe dari penyakit LES dan perangai dari masing- masing tipe tersebut.
Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
3. dengan pemkaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu
maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien LES,
4. mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
Pemakaian obat termasuk jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya.
Perlukan suplementasi mineral dan vitamin. Obat- obatan yang dipakai jangka
5.
panjang contohnya obat anti tuberculosis dan beberapa jenis lainnya termasuk
antibiotik.
Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang LES ini, adakah kelompok
6. pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan LES dan
sebagainya.

1. Terapi Konservatif
2. Artritis, atralgia dan mialgia

Merupakan keluhan yang sering dijumpai pada pasien LES. Pada keluhan yang ringan dapat
diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan
pada penggunaan obat- obat ini adalah efek sampingnya, agar tidak memperberat keadaan
umum pasien. Efek samping terhadap system gastrointestinal, hepar, dan ginjal harus
diperhatikan, misalnya dengan memeriksa serum kreatinin secara berkala. Bila analgetik dan
obat antiinflamasi non steroid tidak memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan
pemberian obat anti malaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6
bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin
lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi
oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina. Pada beberapa pasien
yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan analgetik atau obat anti inflamasi non
steroid atau obat anti malaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah,
dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15
mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada pasien LES. Nyeri
pada 1 atau 2 sendi yang menetap pada pasien LES yang tidak menunjukkan bukti tambahan
peningkatan aktifitas penyakitnya, harus dipikirkan kemungkinan adanya osteonekrosis,
apalagi bila pasien mendapat terapi kortikosteroid. Osteonekrosis awal, sering tidak
menunjukkan gambaran yang bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga
memerlukan pemeriksaan MRI (sudoyo, 2006).

1. Lupus Kutaneus

Sekitar 70% pasien LES akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut LES dapat timbul
bila pasien terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas, dan kadang- kadang juga
sinar fluoresensi. Pasien dengan fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan sinar-
sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan,
menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen
topical berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,
benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultra violet A dan B. Suncreen
ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau bila berkeringat. Glukokortikoid lokal,
seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan
preparat topikal harus hati- hati karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat
diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis dan fragilitas. Untuk
kulit muka dianjurkan penggunaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak
diflorinasi, misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan
steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid.
Untuk lesi- lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat digunakan
glukokortikoid topical berkekuatan tinggi, misalnya betametason dipropionat. Penggunaan
krem glukokortikoid berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian
diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah. Obat-obatan antimalaria angat baik untuk
mengatasi lupus kutaneus, baik lupus kutaneus sub akut, maupun lupus discoid. Antimalaria
mempunyai efek sunblocking, antiinflamasi, dan imunosupresan. Efek imunosupresan
antimalaria berhubungan dengan ikatannya pada membrane lisosomal sehingga mengganggu
metabolism rantai a dan β HLA klas II. Selain itu, antimalaria juga mengurangi pelepasan
interleukin (IL)-1, IL-6, dan tumor necrosis factor (TNF)- α oleh makrofag dan IL-2 dan
Interferon (IFN)- γ oleh sel T. Antimalaria juga mengikat melanin dan berperan sebagai
sunscreen. Pada pasien yang resisten terhadap anti malaria, dapat dipertimbangkan pemberian
glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya. Dapson dapat dipertimbangkan
pemberiannya pada pasien lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LE berbula. Harus diperhatikan
efek toksiknya terhadap sistem hematopoetik, seperti methemoglobinemia,
sulfhemoglobinemia dan anemia hemolitik, yang kadang- kadang memperburuk ruam LE di
kulit (Sudoyo, 2006).

1. Fatiq dan Keluhan Sistemik

Fatigue merupakan keluhan yang sering didapatkan pada pasien LES, demikian juga
penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid,
sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga diakibatkan oleh pemberian
kuinakrin. Dokter harus bersikap simpatik dalam mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini
tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja.
Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan aktifitas LES dan pemberian
glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan (Sudoyo, 2006).

1. Serositis

Nyeri dada dan nyeri abdomen pada pasien LES dapat merupakan tanda serositis. Pada
beberapa pasien, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat anti inflamasi non steroid,
antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus
diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya (Sudoyo, 2006).

2. Terapi Agresif

Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera
dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus
kutaneus yang berat, poliartritis, poliserositis, miokarditis pneumonitis lupus,
glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, trombositopenia, sindrom otak
organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam
tinggi, prostasi) (Sudoyo, 2006).
Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid yang
akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang seperti
deksametason, sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai karena lebih
mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis
tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor LES, seperti arthritis, serositis dan gejala
konstitusional, dapat diberikan prednisone 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi
mayor dan serius dapat diberikan prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus
metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan
sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednisone
oral 1- 1,5 mg/kgBB/hari. Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga
dalam waktu yang cukup lama, seperti 6 sampai 10 minggu. Toksisitas LES merupakan
problem tersendiri pada penatalaksanaan LES. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi
selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai
dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednisone
mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis
prednisone mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/ minggu. Bila timbul
eksaserbasi akut, dosis prednisone dinaikkan sampai ke dosis efektif sebelumnya sampai
beberapa minggu, kemudian dicoba diturunkan kembali (Sudoyo, 2006).

Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan
perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau
terapi agresif lainnya (Sudoyo, 2006).

Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gram/m2 dalam 250 ml NaCl 0,9% selama 60 menit
diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan
secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid diindikasikan pada (sudoyo, 2006):

1. Pasien LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent.
2. Pasien LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.

 Pasien LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang.

1. Glomerulonefritis difus awal.


2. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
3. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya
faktor- faktor ekstrarenal lainnya.

 LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.

Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan
sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus
dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya
diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis
siklofosfamid yang tidak adekuat, sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada pemberian
berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3
bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara
bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea
dan vomitus, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium, dan
azoospermia (Sudoyo, 2006).
Obat sitotoksik lain yang toksisitas dan efektifitasnya lebih rendah dari siklofosfamid adalah
azatioprin. Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternative
terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara oral. Obat ini
dapat diberikan selama 6 sampai 12 bulan pada pasien LES; setelah penyakitnya dapat
dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat
diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya terkontrol dengan baik. Toksisitas
azatioprin meliputi penekanan system hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan
keganasan (Sudoyo, 2006).

Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah sikloposporin A
dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan
pada LES baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah pasien dan kadar kreatinin darah. Bila kadar
kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian Siklosporin A,
maka dosisnya harus diturunkan (Sudoyo, 2006).

Terapi lain yang masih dalam taraf penelitian adalah terapi hormonal, immunoglobulin dan
afaresis (plasmafaresis, leukofaresis, dan kriofaresis). Salah satu terrapin hormonal yang
banyak digunakan adalah danazol, suatu androgen, yang bermanfaat untuk mengatasi
trombositopenia, dengan dosis 300- 400 mg/kgBB/hari, diberikan selama 5 hari berturut-
turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Kontraindikasi
mutlak pemberian immunoglobulin pada pasien defisiensi IgA yang kadang- kadang
ditemukan pada pasien LES (Sudoyo, 2006).

Kortikosteroid

Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski
dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan obat
yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.

Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan pato•isiologi dan
farmakokinetiknya (IRA, 2011).

Terminologi Pembagian Kortikosteroid (IRA, 2011):

Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah :

Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari

Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari

Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari

Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari

Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari.
Indikasi Pemberian Kortikosteroid

Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah
sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna
untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang
berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral (IRA, 2011).

Cara Pemberian Kortikosteroid

Pulse Terapi Kortikosteroid

Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi atau
pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram
metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3 hari berturut-turut (IRA, 2011).

Cara pengurangan dosis kortikosteroid

Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai dikurangi segera setelah
penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari
kembalinya aktivitas penyakit, dan de isiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap memberikan
pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit,
dosis dan lama terapi, serta respon klinis (IRA, 2011).

Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat
dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2
minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3
minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah
untuk mengontrol aktivitas penyakit (IRA, 2011).

Sparing agen kortikosteroid

Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis KS
dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai
sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan metotrexate.
Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping KS (IRA, 2011).

Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.

1. Pengobatan SLE Ringan

Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta
ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu (IRA, 2011):

Obat-obatan

– Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

– Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan
nyeri dan in lamasi.
– Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)

– Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian
dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari
(200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.

– Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.

Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang- kurangnya
15 (SPF 15)

1. Pengobatan SLE Sedang

Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan.
Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol
pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau
yang setara (IRA, 2011).

1. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat- obatannya.
Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum
di bawah ini (IRA, 2011).

Glukokortikoid Dosis Tinggi

Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1 mg/kgBB) prednison atau


yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului
pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut
(IRA, 2011).

Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada
SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil (IRA,
2011).

Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik (IRA, 2011).

(IRA, 2011)

1. PENATALAKSANAAN KEADAAN KHUSUS


2. Trombosis pada LES

Trombosis seringkali merupakan manifestasi dari keadaan ini, antikoagulan merupakan obat
pilihan untuk mengatasinya, misalnya warfarin, dan mempertahankan nilai INR 3-3,5.
Thrombosis arteri biasanya mempunyai prognosis buruk. Antikoagulan lupus, biasanya
mempunyai respons yang baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan antibody
antikardiolipin sangat resisten baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun
imunosupresan lain (sudoyo, 2006).

2. Abortus berulang pada LES

Abortus berulang pada pasien LES dapat diakibatkan oleh aktifitas LESny atau adanya
antibody antifosfolipid. Untuk menekan aktifitas LES, glukokortikoid cukup aman dan tidak
mempengaruhi janin, kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin
dalam bentuk yang aktif. Pada pasien dengan antibody antifosfolipid yang belum pernah
mengalami abortus, dapat dipertimbangkan untuk tidk memberikan terapi apapun. Makin
sering terjadi abortus, maka kemungkinan untuk mempertahankan kehamilan makin kecil,
sehingga terapi harus diberikan. Ada beberapa pilihan terapi, antara lain aspirin dosis rendah,
kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang, glukokortikoid dosis
tinggi dengan atau tanpa aspirin atau penggunaan heparin (warfarin bersifat teratogenik pada
kehamilan trimester I). semua regimen ini meningkatkan angka keberhasilan kehamilan
secara bermakna. Selain itu pemantauan terhadap ibu dan janin secara ketat sangat penting
untuk diperhatikan (Sudoyo, 2006).

3. Trombositopenia pada LES

Pada pasien LES yang mengalami trombositopenia, harus dievaluasi kemungkinan penyebab
trombositopenia yang lain, misalnya efek samping obat, purpura trombositopenia yang lain,
misalnya efek samping obat, purpura trombositopenia trombotik, infeksi virus (HIV, HBV,
CMV) dan infeksi bakteri (endokarditis bakterialis, sepsis gram negative). Berikan
prednisone 0,5 – 1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit < 50.000/ ml,
kemudian dosis prednisone diturunkan secara bertahap. Target terapi ini adalah jumlah
trombosit mencapai > 50.000/ml. Bila prednisone tidak memberikan efek perbaikan, dapat
dipertimbangkan pemberian danazol 400-800 mg/hari, immunoglobulin atau splenektomi.
Pada pasien yang resisten terhadap semua modalitas atau pada pasien dengan keterlibatan
organ mayor, dapat diberikan bolus sikofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan (sudoyo, 2006).

1. MANIFESTASI EFUSI PLEURA PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Manifestasi pleurapulmonari paling umum dari SLE adalah pleuritis. Nyeri pleuritik muncul
dalam 45-60% pasien dan dapat terjadi dengan atau tanpa efusi pleura. Efusi pleura klinis
dilaporkan hingga 50%. Efusi biasanya bilateral dan merata antara hemithoraks kiri dan
kanan. Efusi ini selalu eksudatif dengan dominan neutrofil atau sel mononuklear dengan
glukosa yang lebih tinggi dan tingkat laktat dehidrogenase lebih rendah dari yang ditemukan
di reumatoid arthritis (Bertsias et al., 2012).

Jumlah sel darah putih biasanya berkisar dari beberapa ratus hingga 15.000 / uL. Glukosa
rendah dan pH dapat dilihat pada 20% dari efusi, tetapi biasanya glukosa lebih tinggi dan
LDH lebih rendah dari efusi arthritis. Kehadiran sel LE dalam cairan pleura dianggap
diagnostik dan dapat ditemukan di cairan pleura ketika tes serum ANA negatif kadar
komplemen pleura dapat menurun, tetapi tidak berguna dalam memisahkan SLE dari efusi
RA. Antibodi antinuklear, antibodi anti-DNA telah ditemukan dalam cairan pleura dan biopsi
pleura telah menunjukkan infiltrasi sel limfosit dan plasma dengan deposisi kompleks imun,
yang menyatakan pleuritis imun lokal sebagai patogenesis efusi (Kristin et al., 2004).
Pada SLE, efusi pleura biasanya bilateral dan ukuran kecil sampai sedang, efusi besar yang
mengarah ke pergeseran mediastinum juga telah dilaporkan. Deposisi komplek imun dalam
mikrovaskular pleura dan aktivasi komplemen memainkan peran penting dalam patogenesis
pleuritis dan efusi pleura. Patogenesis efusi pleura pada SLE berbeda dari yang terjadi pada
RA, misalnya, kompleks imun pada RA diperkirakan dihasilkan secara lokal di pleura,
sedangkan kompleks imun pada SLE berasal dari sirkulasi. Selain itu, konsentrasi
interleukin- 2 (IL-2) reseptor dalam cairan pleura di RA secara signifikan lebih tinggi dari
pada SLE. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi imun sel-T lokal dimediasi lebih penting pada
mekanisme pleuritis arthritis daripada di lupus. Dalam studi otopsi 54 dari 58 pasien (93%)
dalam seri Ropes menunjukkan keterlibatan pleura, pada 33 pasien cairan yang ditemukan
dalam rongga pleura dan adhesi terlihat pada 63% kasus. Derajat perubahan mikroskopis
yang ditemukan di 24% kasus, terdiri dari akumulasi limfosit dan makrofag, thicking pleura,
perivaskular nekrosis fibrinoid dengan neutrofil dan mononuclear infiltrat, eksudat fibrinous
dan hematoxylin tubuh (Mitra et al., 2005).

Beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan tingkat komplemen hemolitik, C1q, C4, C3
dalam cairan pleura pada pasien lupus jika dibandingkan dengan efusi pleura dari pasien
dengan kanker, gagal jantung, dan kondisi lainnya. Tingkat ini tetap rendah bahkan setelah
disesuaikan dengan total kadar protein cairan pleura. Namun, tingkat cairan pleura rendah
tidak spesifik untuk SLE dan dapat terjadi pada pasien dengan RA atau empiema (Mitra et
al., 2005).

Ada beberapa bukti bahwa tingkat komplemen cairan pleura rendah pada SLE hasil dari
aktivasi komplemen cascade oleh kompleks imun. Demikian konversi produk yang
dihasilkan oleh aktivasi kaskade komplemen yang hadir dalam cairan pleura SLE dan
kompleks imun berlimpah pada cairan pleura SLE. Selanjutnya deposisi perivaskular dari
imunoglobulin dan komponen komplemen di pleura parietal telah ditemukan pada pasien
dengan lupus pleuritis. Sifat dari kompleks imun pada cairan pleura SLE tidak jelas,
meskipun mereka juga mungkin DNA anti-Kompleks DNA (Mitra et al., 2005).

Studi yang dilakukan oleh Andrew BS, Arora NS, Shadforth MF et al menunjukkan bahwa di
RA proses yang terjadi di rongga pleura tampaknya sejalan dengan yang terjadi pada sendi
sedangkan mekanisme yang dinyatakan untuk menjelaskan patogenesis efusi ganas termasuk
1) implantasi pleura sel tumor, 2) obstruksi limfatik pleura oleh sel tumor 3) meningkatnya
protein cairan pleura yang dapat mengganggu penyerapan protein oleh pleura visceral
limfatik dan atelektasis menyebabkan pengurangan tekanan pleura (Mitra et al., 2005).

Tingkat kompleks imun lebih tinggi dalam serum daripada di cairan pleura pada pasien
dengan penyakit ganas, sebaliknya pada pasien dengan penyakit jaringan ikat. Aktivasi C3
dan faktor properdin B hampir tidak berubah-ubah di cairan pleura dari pasien dengan
penyakit jaringan ikat dan infeksi bakteri (Mitra et al., 2005).

Pada lupus, jumlah sel diferensial cairan pleura bervariasi dari sebagian besar
polymorphoneuclear (PMN) untuk mononuklear tergantung pada waktu thorakosentesis dan
timbulnya efusi. Pada karakteristik SLE dari cairan pleura adalah: pH> 7.30, dengan tingkat
glukosa > 60mg / dl, dan LDH pernah terjadi lebih dari 600 U / L. Ketika cairan pleura
ANA> 1: 160 dengan cairan pleura / serum (PF / S) ANA Rasio lebih dari 1, diagnosis adalah
lupus. Pada sebagian besar pasien, perbaikan efusi pleura dapat dilaksanakan dengan
pemberian kortikosteroid oral atau intrapleural (Mitra et al., 2005).
BAB IV

KESIMPULAN

1. Lupus eritematosus sistemik (LES) atau Systemic lupus Erythematosus (SLE)


merupakan prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibody
terhadap komponen- komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis
yang luas.
2. SLE terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15- 40 tahun
selama masa reproduksi dengan ratio wanita dan laki- laki 5:1.
3. Etiologinya SLE tidak jelas, diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik
pada kompleks histokompatibilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA- DR3.
4. Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.
American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria
untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat
ditegakkan.
5. Prognosis untuk SLE bervariasi dan tergantung pada keparahan gejala, organ- organ
yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat
disembuhkan, penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan
dengan sejauh mana gejala- gejala ini dapat diatasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic lupus erythematosus: pathogenesis, clinical


manifestations, and diagnosis. Eular 2012;20:476-505

IRA. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan
Reumatologi Indonesia.

Kristin B. Highland, John E. Heffner. 2004.


Pleural Effusion in Interstitial Lung
Disease Curr Opin Pulm Med. 10(5).
Diakses di
http://www.medscape.com/viewarticle/4889
86_6 Pada tanggal 10 Maret 2015.
Mitra B, P Sengupta, K Saha, N Sarkar, J Pal. 2005. Systemic Lupus Erythematosus
Presenting with Recurrent Pleural Effusion without any Systemic Manifestation. JAPI vol 53.
Diakses di www.japi.org pada tanggal 10 Maret 2015.

Price, Sylvia; Lorraine Wilson. 2005. Patofisiologi dan konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. Volume II. Jakarta: EGC.
Sudoyo, A.W., Bambang S, Idrus A, Marcellus S.K., Siti S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai