Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

HIPERTENSI URGENSI

DISUSUN OLEH :
dr. Helvina Siahaan

Pembimbing :
dr Indiyah suryani Sp.PD

Pendamping :
dr. Yosua yacob
dr Yohanes Ary prayoga

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA


RSK MOJOWARNO
JOMBANG, JAWA TIMJUR

2018
TINJAUAN PUSTAKA

KRISIS HIPERTENSI

Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan di bidang neurovaskular yang


sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan
tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari
penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa (1).

EPIDEMIOLOGI
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi
krisis. Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari
6,7% pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia di atas
60 tahun. Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir
1%-2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target (1).
Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi krisis.
Pada JNC VII tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi
hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai
keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif (1). Tabel 1. Klasifikasi
Tekanan Darah menurut JNC VII (2)
Kategori TD sistolik (mmHg) TD diastolik
(mmHg)
Normal < 120 Dan < 80

Pre-hipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi Stadium 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi Stadium 2 > 160 Atau > 100


DEFINISI
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut.
Definisi yang paling sering dipakai adalah :
1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara
mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi
sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti-hipertensi
intravena.

2. Hipertensi urgensi (mendesak)


Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai
kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam
24 jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.

Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan
kepatuhan pasien.
2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi.
Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130 mmHg dan
kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan
yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak
mendapatkan pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat
hipertensi esensial ataupun sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya
mempunyai tekanan darah normal.
4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang
hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan
darah tersebut diturunkan.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vaskular, berupa disfungsi
endotel, remodeling, dan arterial stiffness. Namun faktor penyebab hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya
peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular.
Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan
nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet,
fibrin dan kerusakan fungsi autoregulasi (1,4,8).

FAKTOR PENYEBAB KRISIS HIPERTENSI


Hipertensi esensial
Penyakit Parenkim Ginjal
Pielonefritis Kronik
Glomerulonefritis
Nefritis tubulointerstisial
Penyakit Vaskular pada Ginjal
Stenosis Arteri Renalis
Makroskopis poliarteritis nodusa
Obat-obatan
Penghentian tiba-tiba obat obatan agonis alfa-2 adrenergik yang bekerja sentral seperti
clonidine dan metildopa
Intoksikasi obat simpatomimetik (kokain, dll)
Interaksi dengan obat MAO-Inhibitor (phenilzine, selegiline)
Kehamilan
Eklampsia/pre-eklampsi berat
Endokrin
Feokromositoma
Aldosteronisme primer
Kelebihan hormone glukokortikoid
Tumor yang mensekresikan rennin
Kelainan Sistem Saraf Pusat
Stroke hemoragik
Cedera Kepala

MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan
pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah
dengan berbagai tingkatan perubahan konstriksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan
darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi
vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi
Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas
autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk
kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan
terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap,
pingsan dan sinkop. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua,
batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga
pengurangan aliran darah dapat terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi (lihat gambar
2)
(1).

Gambar 1. Patofisiologi hipertensi emergensi (1).


Gambar 2. Kurva Autoregulasi Pada Tekanan Darah (1)

Pada penelitian Stragard, dilakukan pengukuran MAP pada penderita hipertensi dengan
yang normotensi. Didapatkan penderita hipertensi dengan pengobatan mempunyai nilai
diantara grup normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan. Orang dengan hipertensi
terkontrol cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal(1).
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan hipertensi krisis, penurunan MAP
sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam, tergantung dari apakah emergensi atau
urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edema paru
akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi
dibandingkan hipertensi emergensi lainya. Penderita hipertensi ensefalopati, penurunan
tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasien dengan infark serebri akut ataupun
perdarahan intrakranial, penurunan tekanan darah dilakukan lebih lambat (6-12 jam) dan
harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170-180/100 mmHg (1,2,4,6,8).
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan organ target yang
ada. Tabel 2. Prevalensi kerusakan target organ

Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai
keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa
hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan
penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal. Pada pemeriksaan fisik pasien
bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, Perdarahan dan eksudasi
maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa
saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung
kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau
hematuria bisa saja terjadi (1,5,7).

Gambar 3. Papilledema. Pembengkakan optic disc dan margin kabur (1).


PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat
dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas pasien. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat menunjukkan organ mana
yang mengalami gangguan.
Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang
rutin diminum, kepatuhan minum obat, riwayat pemakaian obat-obatan yang dapat
menaikkan tekanan darah seperti kokain, phencyclidine (PCP), Lysergic Acid
Diethylamide (LSD), amphetamin, atau obat-obat simpatomimetic lainnya. Gejala
sistem saraf (nyeri kepala, perubahan mental, ansietas). Gejala sistem ginjal (BAK
berwarna merah, jumlah urin berkurang). Gejala sistem kardiovaskuler (adanya sesak
napas, payah jantung, kongestif dan oedema paru, nyeri dada). Riwayat penyakit yang
menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal (glomerulonefritis, pyelonefritis)
penting dievaluasi. Hal yang juga perlu untuk dievaluasi adalah riwayat kehamilan
untuk mencari tanda eklampsia sebagai penyebab krisis hipertensi(1,2,3).

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah beristirahat pada posisi
(baring dan berdiri) pada kedua tangan. Begitu pula nadi diperiksa pada keempat
ekstremitas, auskultasi paru untuk mencari edema paru, auskutasi jantung untuk mencari
murmur/gallop, auskultasi arteri renalis untuk mencari bruit dan pemeriksaan neurologis
serta funduskopi. Dilakukan funduskopi untuk melihat : edema retina, perdarahan retina,
eksudat pada retina atau papil edema. Pemeriksaan kardiovaskuler dinilai apakah ada
peningkatan tekanan vena jugularis, bunyi jantung 3, diseksi aorta, defisit nadi.
Pemeriksaan neurologi untuk menilai tanda perubahan neurologis yang segera terjadi
atau berkelanjutan. Tanda hipertensi ensefalopati seperti disorientasi, gangguan
kesadaran, defisit neurologis fokal dan kejang fokal.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu : a. Pemeriksaan segera seperti :
Darah : Rutin, BUN, creatinine, elektrolit
Urine : Urinalisa
EKG : 12 lead : melihat tanda iskemi
Rontgen Thoraks : Rontgen thorax dapat dilakukan untuk menilai ukuran jantung,
tanda edema paru serta penapisan awal terjadinya diseksi aorta akut.
b. Pemeriksaan lanjutan (tergantung keadaan klinis dan hasil pemeriksaan pertama)
Dugaan kelainan ginjal : IVP, renal angiografi, biopsi renal
Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : CT scan
Bila disangsikan feokromositoma : urine 24 jam untuk khatekolamin, metamefrin,
Venumandelic Acid (VMA)
Echocardiografi dua dimensi : membedakan gangguan fungsi diastolik dari gangguan
fungsi sistolik ketika tanda gagal jantung didapatkan.
Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi (1,2,5) :
Pasien dengan Hipertensi

TD > 180/120 mmHg

Tidak Ya

Tidak Krisis Hipertensi Kerusakan Organ Target

- Pre-hipertensi 1. Neurologi
TDS 120-139 - Tanda Stroke Iskemik/Hemoragik
TDD 80-89 Nyeri kepala
- Hipertensi stadium 1 Muntah
TDS 140-159
Penurunan kesadaran
TDD 90-99
Kelumpuhan anggota gerak/paresis n. cranialis
- Hipertensi stadium 2
Bicara pelo
TDS > 160
Mulut mencong
TDD > 100
- Flapping Tremor
2. Jantung & Paru
- Nyeri dada
Tatalaksana - Perbedaan TD lengan kanan/kiri > 20 mmHg (diseksi aorta)
- Auskultasi : murmur/mitral regurgitasi/gallop
- Peninggian JVP
- Ronkhi basah/sesak napas
3. Ginjal
- Edema perifer
- Oliguria/anuria
- Hematuria/proteinuria
- Peningkatan ureum kreatinin
4. Mata
- Funduskopi Keith-Wagner (KW) III atau IV

Tidak Ya

Hipertensi Urgensi Hipertensi Emergensi

Gambar 4. Alur Diagnostik Krisis Hipertensi(1)


PENATALAKSANAAN
1. Hipertensi Urgensi
Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak
membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan
memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial
Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal
penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-
obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan
tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan
efek akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah.
Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien
dengan hipertensi urgensi.
Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan
onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian
tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi
yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien
dengan stenosis pada arteri renal bilateral).
Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada
pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan
hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo.
Nicardipine memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang
mencapai 22% (p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang
setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering
terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala.
Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki waktu
kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat
lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36
pasien, setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan
300 mg secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik
secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg
secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering
muncul adalah mual dan sakit kepala.
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergicreceptor
agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya antara 2-4 jam.
Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai
tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek
samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik.
Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja antara
10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi
urgensi karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat
diprediksikan sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.

2. Hipertensi Emergensi
. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada
kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan
parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar
monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat
ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial
Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan
tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh
darah orak mengalami hipoperfusi. Untuk menghindari hal tersebut maka pemberian
anti hipertensi yang lebih bisa dikontrol secara intravena lebih dianjurkan dibanding
terapi oral atau sublingual seperti Nifedipine. Tujuan penurunan TD bukanlah untuk
mendapatkan TD normal, tetapi lebih untuk mendapatkan penurunan tekanan darah
yang terkendali. Penurunan tekanan darah diastolik tidak kurang dari 100 mmHg.
Tekanan sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120
mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu (misal : disecting
aortiic aneurisma). Penurunan TD tidak lebih dari 20 % dari MAP ataupun TD yang
didapat. Kemudian dilakukan observasi terhadap pasien, jika penurunan tekanan darah
awal dapat diterima oleh pasien dimana keadaan klinisnya stabil, maka 24 jam kemudian
tekanan darah dapat diturunkan secara bertahap menuju angka normal.

Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi


Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi
emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intracranial dan stroke
iskemik akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah
> 180/105 mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intracranial dan MAP harus
dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah
harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah
akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130
mmHg.
Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut
pada otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi
yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin.
Pada studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan
aliran darah pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan
β blocker (labetalol dan esmolol) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian
dapat dilanjutkan dengan obat-obatan vasodilatasi seperti nitroprusside. Obat-obatan
tersebut dapat menurunkan tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan
(TD sistolik > 120mmHg) dalam waktu 20 menit.
Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi
dari hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria,
oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun
nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat
menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral
dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam
terapi gagal ginjal.
Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh
obatobatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien
dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau
amphetamine dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat
mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom
withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma,
tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator
arteri) atau phentolamine IV (ganglion-blocking agent). Golongan β-blockers dapat
diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi
yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali
klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obatobatan anti hipertensi yang
telah dijelaskan di atas.

PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantung
(13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera(1,6).
Tabel 5. Obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi emergensi
BAB III
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Mrs S
Gender : Perempuan
Umur : 45 tahun
MR : 018383
Ruangan : Dahlia
Tanggal masuk : 01 juni 2018

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : keluar darah dari kedua hidung sejak 1 jam smrs
Telaah :
- Pasien datang ke IGD dengan keluhan keluar darah dari kedua hidung sejak 1 jam
SMRS, keluar darah secara tiba tiba dan berwarna merah segar. Mimisan sampai
menghabiskan I/2 bungkus tissue , pasien tidak mengeluhkan nyeri kepala, pandangan
kabur (-), Mual muntah (-), bicara pelo (-), nyeri dada (-) Batuk pilek (-) sesak nafas(-)
Riwayat trauma pada hidung dan benda asing dihidung disangkal.
- Riwayat BAB (+) normal
- Riwayat BAK (+) normal

RPT : Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol sejak 3 tahun ini
RPO : Obat hipertensi

III. STATUS PRESENS


Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah : 210/ 110 mmHg
Keadaan Gizi : Baik
Nadi : 128 x/I
Pernafasan : 20 x/i
Suhu axila : 36 ⁰C
IV. PEMERIKSAAN FISIS
Kepala
Mata : reflex cahaya (+/+), pupil isokor Ø 3mm, konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-),
sclera ikterik (-/-),
Telinga : bentuk normal, simetris otorrhea -/-
Hidung : bentuk normal, septum ditengah, tidak deviasi, nyeri tekan (-)
Perdarahan aktif (-), rhinorrea (+/+)
Mulut : dalam batas normal, deviasi (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Toraks
Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri, kesan : normal
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Paru : Suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung: S1 (N), S2 (N), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris , datar ,
Palpasi : Hepar lien tidak teraba
Perkusi : Timpani pada semua kuadran
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat (+) CRT <2” , edem ekstremitas (-/-)
Kelemahan anggota gerak (-/-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium (01 JUNI 2018) :
JENIS PEMERIKSAAN HASIL RUJUKAN
HEMATOLOGI
DarahLengkap (CBC)
Hemoglobin (HBG) 13,1 11,7-15,5 gr/dl
Eritrosit (RBC) 4,95 3.8 – 5.2 juta sel
Leukosit (WBC) 12970 3.800 – 11.000
Hematokrit 36 % 36– 47 %
Trombosit (PLT) 391000 150.000 – 440.000
Gula darah sewaktu
GDS 123 75-199,9 mg/dl
Kesan : leukositosis

Hasil pemeriksaan EKG 01 juni 2018

Hasil pembacaan ekg : sinus takikardi + pjk omi anteroseptal

VI. DIAGNOSIS SEMENTARA


Hipertensi urgensi + epistaksis anterior + pjk omi anteroseptal

VII. PENATALAKSANAAN AWAL
- IVFD nacl 0,9 % 1000 cc/24 jam
- Captopril 25 mg sublingual
- Tampon hidung + epinefrin

VIII. RENCANA TERAPI LANJUTAN


- IVFD nacl 0,9 % 1000 cc/24 jam
- Inj antrain 3x1
- Inj ceftriaxone 2x1
- Inj asam traneksamat 3x1 amp
- Captoptil 3x25 mg
- Bisoprolol 1x1
- Amlodipin 1x10 mg

FOLLOW UP PASIEN TANGGAL 02 juni 2018

S O A P
Pusing Ku ; lemah Hipertensi urgensi - IVFD nacl 0,9 %
berkurang Gcs 4-5-6 +epistaksis 1000 cc/24 jam
Keluar TD : 175/113 mmhg nadi anterior + pjk omi - Inj antrain 3x1
darah dari 109 x/menit. anteroseptal - Inj ceftriaxone 2x1
hidung Rr : 20 x/menit - Inj asam traneksamat
sedikit S= 36,3 3x1 amp
k/leher : dbn - Captoptil 3x25 mg
hidung : epistaksis + - Bisoprolol 1x1
thorax : dbn - Amlodipin 1x10 mg
abdomen : dbn Observasi ttv dan
extremitas : dbn perdarahan

FOLLOW UP PASIEN TANGGAL 03 MEI 2018


S O A P
Keluhan (- Ku ; cukup Hipertensi urgensi ( Krs dengan terapi
) Gcs 4-5-6 membaik ) Captopril 3x25 mg
TD :170/100 mmhg +epistaksis anterior + Bisoprolol 1x1
nadi 110 x/menit. pjk omi anteroseptal Amlodipin 1x10 mg
Rr : 20 x/menit
S= 37
k/leher : dbn
hidung : epistaksis (-
)
thorax : dbn
abdomen : dbn
extremitas : dbn
PEMBAHASAN

Pasien didiagnosis dengan Hipertensi emergency dengan epistaksis anterior.


Berdasarkan sumber perdarahannya, epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus
Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Pecahnya Pleksus Kiesselbach atau
arteri ethmoidalis anterior dikarenakan berbagai sebab seperti trauma pada hidung,
adanya benda asing, tumor jinak hidung, ataupun sebab sistemik seperti adanya riwayat
hipertensi. Pada pasien ini berdasarkan anamnesis, terjadinya epistaksis dimungkinkan
karena adanya riwayat hipertensi. Pleksus kiesselbach merupakan daerah dimana rentan
terjadi perdarahan karena daerah ini mempunyai pembuluh darah yang kecil dan rapuh.
Hipertensi dapat menyebabkan pleksus kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior
menjadi pecah karena tingginya tekanan darah di daerah tersebut.

Penatalaksanaan pada pasien ini berupa pasang tampon hidung (tampon anterior), ini
dilakukan untuk menekan dan menutup Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis
anterior agar perdarahan dapat berhenti. Selain itu dapat juga dengan cara menekan
pangkal hidung untuk menghentikan perdarahan tersebut. Pemberian antibiotik
ceftriaxone injeksi bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi karena tampon
dipasang selama 2x24 jam. Injeksi asam traneksamat bertujuan untuk menghentikan
perdarahan. Pemberian antrain digunakan untuk menghilangkan rasa sakit.

Pemberian anti hipertensi pada pasien didasarkan pada diagnosis kerja hipertensi
urgensi karena pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan organ target.
Pemberian obat antihipertensi secara oral merupakan pilihan yang dapat diberikan pada
pasien dengan hipertensi urgensi. Pemilihan obat berdasarkan mekanisme kerja dan
ketersediaan obat. Amlodipine dipilih sebagai alternatif nicardipine yang merupakan
pilihan pertama pada pasien hipertensi urgensi yang berasal dari golongan calcium-
channel blocker. Captopril dari golongan Angiotensin Receptor Blocker diberikan
sebagai kombinasi dengan golongan Calcium channel blocker agar penurunan tekanan
darah dapat berlangsung lebih cepat. Kombinasi obat ketiga adalah golongan antagonis
adrenoseptor, yang dipakai adalah bisoprolol karena bekerja pada reseptor beta-1 yang
dimetabolisme terutama di hepar dan memiliki waktu paruh yang panjang sehingga bisa
dimanfaatkan efeknya untuk menurunkan tekanan darah dalam waktu yang lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA

1. Devicaesaria, Asnelia. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Medicinus
Vol. 27, No.3, Desember 2014.
2. Anonymous. National High Blood Pressure Education Program. The seventh
report of the Joint National Committe on prevention, detection, evaluation and
treatment of high blood pressure. Bethesda (MD): Dept. of Health and Human
Services, National Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood
Institute, NIH Publication. 2004; No.04-5230l.
3. Zampagniole B, Pascale C, Marchisio M, et al. Hypertensive urgencies and
emergencies. Prevalence and clinical presentation. Hypertension. 1996;27:1447.
4. Sutters, M. Systemic Hypertension dalam Papadakis M, McPhee S, Rabow M.
Current Medical Diagnosis and Treatment 55th edition. 2016. McGraw-Hill Education
5. Evidence-based Guideline for Management of Hypertension in adults. Report
From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee
(JNC 8). JAMA. doi:10.1001/jama.2013.284427.
6. Pollack C, Rees C. Hypertnesive Emergency : Acute Care Evaluation and
Management. 2008. Department of Emergency Medicine, Pennsylvania
Hospital. University of Pennsylvania, Philadelphia.
7. Salkic S, Brkic S, Batic-Mujanovic O, et al. Emergency Room Treatment of
Hypertensive Crises. MED ARH. 2015 OCT; 69(5): 302-306
8. Angelats EG, Baur EB. Hypertension, Hypertensive crisis, and Hypertensive
emergency: approaches to emergency department care. Emergencias. 2010; 22:
209219
9. Efiaty arsyad. 2001. Epistaksis, Buku ajar ilmu kesehatan teling-hidung-
tenggorokleher. FKUI. 2001

Anda mungkin juga menyukai