Berikut ini adalah beberapa ulasan mengenai cerpen dari para ahli.
• Menurut Sumardjo dan Saini, cerpen merupakan sebuah cerita yang tidak benar – benar terjadi
pada dunia nyata dan ceritanya singkat dan pendek.
• Berdasarkan KBBI, cerpen adalah sebuah tulisan mengenai kisah yang pendek yang isinya tidak
melebihi dari 10 ribu kata, yang berisi mengenai seorang tokoh.
• Menurut Nugroho Notosusanto dalam Tarigan, cerita pendek atau yang biasa disingkat dengan
cerita panjang yang tak lebih dari 5 ribu atau melebihi 17 halaman dengan menggunakan spasi
rangkap dan memusat pada satu orang.
• Menurut Hendy, cerpen merupakan suatu tulisan yang tidak terlalu panjag yang berisi kisah
tunggal.
• Menurut Aoh. K.H, cerpen atau cerita pendek adalah sebuah bentuk kisah prosa yang pendek.
• Menurut J.S Badudu, cerpen adalah sebuah karangan cerita yang hanya berfokus pada satu
kejadian saja.
• Menurut H. B. Jarsin, cerirta pendek atau cerpen ini adalah suatu bentuk dari sebuah karangan
yang cukup lengkap yang terdiri dari 3 bagian yaitu perkenalan – pertikaian – penyelesaian.
Ciri – ciri cerpen
Berikut ini adalah beberapa ciri dari cerpen.
• Jalan cerita yang dimiliki cerpen cenderung lebih singkat dibandingkan novel.
• Jumlah kata yang dimiliki sebuah cerpen tidak melebihi 10 ribu kata dalam satu kali cerita.
• Ide pokok atau inspirasi dari cerita dalam cerpen ini terkadang berasal dari pengalaman dan
kehidupan sehari – hari.
• Cerpen hanya menceritakan seorang tokoh saja, tidak semua tokoh diceritakan.
• Di dalam cerpen selalu seorang tokoh diceritakan sedang mengalami masalah hingga
melakukan penyelesaiannya.
• Kata yang digunakan dalam cerpen tersebut cenderung lebih sederhana dan mudah dimengerti
oleh pembaca.
• Cerpen menyampaikan sebuah kesan yang teramat dalam sehingga pembaca pun dapat ikut
merasakannya.
• Hanya tertulis satu buah kejadian saja yang dipaparkan.
• Alur ceritanya hanya tunggal dan tidak berubah – ubah.
• Penggambaran para tokoh dalam cerita tersebut sederhana tidak terlalu detail.
Struktur Cerpen
Berikut ini adalah beberapa struktur dari cerpen.
• Abstrak di bagian utama. Sebah rangkuman singkat mengenai penggambaran cerita yang ada
dalam cerpen tersebut.
• Bagian selanjutnya adalah orientasi. Orientasi ini berisi tentang rentan waktu kejadian, suasana
yang terjadi dan tempat yang digunakan.
• Mengalami komplikasi. Komplikasi ini adalah sebuah cerita yangmemiliki hubungan tentang
sebab dan akibat dari suatu kejadian yang terjadi.
• Adanya evolusi, evolusi yaitu pengarahan permasalahan yang akan menjadi semakin memanas.
• Lanjut Resolusi, resolusi ini adalah penggambaran pernasalahan yang sedang terjadi.
• Adanya koda. Koda ini adalah suatu hikmah atau nilai yang bisa di petik oleh para pembaca.
Berikut ini adalah unsur intrinsic dari cerpen.
• Memiliki tema. Tema ini adalah inti pokok yang akan di ceritakan dalam sebuah cerita.
• Alur atau plot yang jelas alur atau ployt ini adalah jalan dari sebuah cerita. Alur ini ada beberapa
jenisnya, yakni alur maju, alur mundur dan alur campuran.
• Setting, maksudnya bagian penjelasan mengenai waktu, tempat dan juga suasana yang terjadi.
• Tokoh, tokoh ini adalah sosok yang diceritakan dalam sebuah karangan.tokoh ada beberapa
jenis, yakni tokoh baik, tokoh jahat dan tokoh netral.
• Penokohan, penokohan ini adalah suatu bentuk penggambaran tokoh beserta dengan sifat – sifat
yang dimiliki masng – masing. Dalam penokohan ini ada dua cara untuk menentukan
penokohan. Yakni melalui metode analitik dan metode dramatic. Metode analitik adalah suatu
metode penokohan yang dijelaskan secara langsung. Misalkan dia adalah ank yang pemberani,
rajin dan pandai.
Metode dramatik adalah suatu metode penokohan yang dijelaskan secara tidak angsung.
Pemaparannya bisa melalui penggambaran kebiasaan atau cara berpakaian.
• Sudut pandang, merupakan suatu bentuk cara pandang si pembuat cerita pendek.
Sudut pandang ini ada 4 macam, diantaranya.
1. Sudut pandang oran pertama plaku utama ( maksudnya, sebuah tokoh yang bernama aku
menjadi pemeran utama atau pusat perhatian). Contohnya, hari minggu aku pergi ke pasar,
membeli beberapa bahan masakan untuk ibu di rumah dalam rangka menyambut tamu spesialku
yakni sahabat karibku.
2. Sudut pandang orang pertama pelaku sampingan ( maksudnya, tokoh yang bernama aku
bukanlah pemeran utama, melainkan sebagai seorang yang ada tapi tidak begitu di fokuskan).
Contohnya Lusa aku dan teman – teman berangkat study tour ke beberapa kota yang ada di
indonesia. Kami semua sangat senang bisa meluangkan waktu bersama. Namun aku dan satu
temanku mengalami keletihan sehingga kami jatuh sakit. Temanku yang bernama Ratih ia
mengalami anemia sehingga ia mengalami pusing dan mual lebih parah dari aku.
3. Sudut pandang orang ketiga serbatahu ( pembuat cerita menceritakan tokoh bernama dia dengan
sangat detail sekali). Contohnya, dia adalah salah seorang anak orang kaya yang ada di
indonesia, orang tuanya terkenal di seantero jagat raya ini. Banyak sekali yang ingin menjadi
teman dekatnya di sekolah. Namun ia terlalu sombong dan suka memilih – milih teman.
4. Sudut pandang orang ketia pengamat ( maksudnya, pembuat cerita haya memaparkan apa yang
dilakukan, apa yang dialami, apa yang dipikirkan oleh tokoh dia dan terbatas hanya berfokus
pada satu orang saja. Contohnya, aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya, ia beberapa
akhir ini memanglah terlihat murung dan selalu bersedih. Memang kemarin terdengar kav=bar
bahwa kucing kesayangannya meninggal. Kucing yang ia miliki sejak usia masih di bangku
sekolah dasar.
• Adanya amanat, amanat ini adalah pesan atau nilai atau hikmah yang bisa diambil dan di petik
oleh para pembaca usai membaca karangan cerita tersebut.
Derap tiga pasang kaki bersepatu boot menuruni tangga darurat. Ada licak lumpur yang masih basah
menyisakan jejak dengan bau got menyeruak. Seolah memberi tanda berapa ukuran sepatunya, serta
kemana langkahnya.
Tiga hari kemudian, sebilah sepatu mangkrak di dalam sebuah bunker kosong. Sebilah sepatu masih
menempel pada kaki kanan jasad laki-laki tanpa identitas. Kaki dan tangan terikat tali tambang, jatuh
bebas dengan usus terburai di bawah ganco berkarat. Wajahnya penuh luka sayat, dan secara sembrono
disiram air keras. Tikus pengerat daging berhiliran ketika jasad sudah setengah kroak ditemukan polisi
patrol.
Seorang kawan polisi yang sedang berkomunikasi dengan HT bilang kehabisan tinta pena untuk
mencatat laporan kejadian. Lantas meminta izin memotret TKP dan membubuhinya dengan beberapa
kalimat deskriptif. Tak lama, petugas penyidik datang membawa kantong jasad, mereka
memindahkannya tanpa merasa harus memanggil awak media massa.
Singkat cerita, penemuan jasad di dalam bunker itu tiba-tiba viral di media sosial. Polisi patroli yang
pernah memotret TKP didesak mengaku sebagai biang penyebar hoax, tanpa banyak ba-bi-bu ia
dimutasi segera ke divisi bawah. Menghentikan ocehannya menguap lebih jauh ke atas.
Di sebuah rendezvous, coffee shop yang tidak ada larangan mengasap di dalamnya, setiap hari penuh
sesak beragam emosi. Gelagat dan bau nyinyir bercampur petikan gitar akustik sederhana di atas pentas
kecil. Americano untuk si jenius kritis yang suka banyak omong. Frapuchino untuk si maniak gadget
yang mengejar wifi gratis. Mocca late untuk si melankolis yang diam di dekat jendela. Arabica,
robusta, toraja blend, dan luwak, biasanya dipesan khusus untuk beberapa pemujanya.
Bar tender di tengah ruangan adalah mantan marinir yang konon masih memiliki jaringan ke dalam
intelijen negara. Tidak ada yang tahu kalau ia juga berteman dengan banyak tokoh politisi, kaum
intelektual, intel cyber, konglomerat, atau sekedar ajudan perdana menteri yang menitip salam di
bawah cangkir kopinya. Satu dua wajah terkadang bisik-bisik menyelipkan sandi di dalam obrolan
kasar. Tiga empat kadang mengacung jari tinggi-tinggi. Kalau mau, pemuda yang mengaku menduda
itu akan memberi kelakar balasan. Menyetujui barter percakapan.
“Aku butuh lebih banyak gula di dalam kopi luwak ini,” panggil seorang pelanggan di meja paling
sudut, meja kedua yang menghadap jendela. Tangannya teracung mengangkat jari dengan pucuk kretek
menyala di tengah. Di sisi dalam tungkai telapaknya, seberkas tato tribal kecil saja diukir ahlinya.
Alexio, bar tender yang ramah seperti biasa akan mengirim pelayan berseragam celemek dan rok mini
ke meja tersebut. Menanyakan kebutuhan pelanggan yang baru saja menyebut sandinya. Kopi luwak
ini.
“Dia memesan kopimu, Pak.” Pelayan rendah yang disuruh tadi merutuk kesal pada Alexio. Merasa
benar bilang kalau orang-orang penting itu tidak butuh pelayan selain si Penghubung, Alexio Douglas.
Tidak sampai dua menit, duda tangguh pemilik legalitas coffee shop itu sudah membanting
celemeknya, mengunyah sepotong pai daging, menyambar gelas air es tawar, lantas bergegas ke
sumber malapetaka. Jalannya agak pincang, sebab sepatu boot yang sudah kekecilan menjepit jari
kakinya.
Baru seminggu yang lalu interpol datang menginterogasi, mengatainya marinir pembelot, juga tanpa
segan membanting pistol di hadapan tamu lainnya. Bisik-bisik itu menguap bersama kekhawatiran pria
paruh baya pesolek yang pangkal pahanya basah terkencing-kencing. Kali ini siapa lagi, umpat Alexio
membatin.
“Selamat sore, Bung Alexio. Maaf, aku menggoda pelayan seksimu itu tadi. Kau dapat dimana dia?
Apa keahliannya selain meracik biji kopi? Memeras susu? Aah, lupakan. Lama tak jumpa kau, kawan.”
Basa-basi amatiran, pikir Alexio sambil menjabat tangannya.
“Kau suka kopi luwak ini, Tuan Richard?” timpal Alexio. “Pelangganku yang lebih modern dari kau,
lebih suka memesan caramel late. Oh, jangan salah duga, kopi luwak ini selalu otentik racikan
tanganku sendiri.”
“Benarkah? Aku bahkan belum mencicipinya.” Sejurus kemudian lelaki flamboyan itu mengangkat
gagang cangkir, mengendus aroma bak profesional, lalu menyesap pelan-pelan dengan bibir sedikit
maju.
“Bagaimana? Masih kurang gula?” Alexio menantang.
Lelaki itu menggeleng. “Kau peracik kopi terburuk, kawan. Aku hanya membayar yang terbaik. Hei,
kau punya sisa kulit pai di gigimu, ya, bisa aku minta sepotong dari dapurmu? Yang masih panas. Aku
lapar sekali belakangan ini.”
Alexio membaca seringai di ujung mata lawan bicaranya. Bau anjing pelacak selalu memuakkan.
Penuh tipu daya dan berbalut alkohol. Dengar saja dia bilang itu kopi terburuk buatan Alexio, mungkin
dia belum pernah digilas bersama biji kopi seumur hidupnya. Sebelum mahir merajang kopi, dulu
Alexio remaja sering dihajar dengan penumbuk lesung oleh mendiang ayahnya jika ketahuan
membolos sekolah.
“Aku tahu yang kau inginkan, Tuan Amerika.” Alexio menghembuskan napasnya. “Kau sudah janji
membayar mahal sepotong pai buatanku, bukan?”
Richard menuntaskan isi cangkirnya, membayar bil dengan selembar cek dalam amplop cokelat di
meja. Tidak main-main, enam digit nol dengan angka satu di depannya tegak menyombong. Dolar
sedang kuat-kuatnya sekarang.
Sialnya, kantong kertas recek itu hanya umpan yang dilempar. Terserah Alexio apa mau memakannya.
Lalu ia memadamkan puntung kretek di asbak, beranjak, berbalik lagi melempar dua jari telunjuk dan
jari tengah dari sepasang mata abu-abunya kepada Alexio.
Malam itu, perburuan dimulai. Seorang anjing pelacak yang dikirim ke coffee shop siang tadi hanya
menggeretak dengan angkuh. Menawarkan persekutuan basa-basi. Sejujurnya, Alexio lebih suka
langsung bergulat satu lawan satu. Bukan diam-diam menodong dari belakang jika tak suka.
Oh ya, tentu, tidak semua mafia hukum berpikiran sepertinya. Dia pernah berhubungan dengan orang
yang lebih kasar dari Richard. Pernah nyaris terbunuh dengan air softgun mencium pelipis kalau tidak
punya kemampuan bela diri mumpuni. Itulah sebabnya mengapa ia menduda, mantan istrinya tak suka
pekerjaan Alexio yang berbahaya.
“Richard hanya ingin tahu siapa pembunuh kawannya. Aku punya informasi yang harus dia bayar
mahal. Kau jangan terlalu khawatir, Sayang,” gurau Alexio di sambungan telepon satelit nir kabel pada
perempuan di seberang.
“Ada CCTV yang menangkap gerak-gerik anak-anak Mossad di Celebes. Kau sudah dengar? Mereka
membuka peternakan, diam-diam mengelola lahan perkebunan kentang yang siap meledak kapan saja.
Aku ngeri kalau mengingat kau dalam bahaya, Alex,” rajuk si perempuan sambil lalu mengoper bola
informasi. Tentu saja, peternakan teroris sedang naik daun, dengan sedikit kentang berbumbu, cepat
laku di pasaran demi menggodok RUU Terorisme. Itulah informasinya.
Sepatah dua patah lagi sebelum akhirnya percakapan dihentikan. Telepon satelit terputus saat seberkas
bayangan hendak menyusup ke dalam kamar Alexio. Dia tahu apa yang menjadi sasarannya. Dan
Alexio lebih dari sekedar paham situasinya.
Richard yang siang tadi sempat menodong dengan selembar cek dolar, lebih gesit dari sekedar anjing
pelacak bayaran. Dia membawa revolver yang siap siaga dan satu unit granat untuk meledakkan
gudang di belakang coffee shop. Alexio tahu bencana macam apa yang akan dia hadapi, menelan ludah,
di koran besok tercetak Kafein Coffee Shop miliknya hangus tinggal puing-puing. Pihak asuransi akan
mengurus sisanya.
Alexio tidak tahu benar siapa nama asli Richard, pembunuh bayaran dari negeri Paman Sam. Selain
informasi tentang berkeliarannya agen Mossad di Celebes, anak-anak zionis punya banyak nama
samaran sebanyak e-ktp yang tercecer di kota hujan beberapa waktu lalu.
Mereka lincah menyeludup, bertransaksi dalam bayangan, dan bergerak seperti angin lalu. Mereka
pandai dalam jual-beli hukum, melakukan lobi negosiasi di belakang meja pertahanan, bahkan
menghilangkan jejaknya. Apalagi sekedar memutar balikkan fakta di media massa. Mereka mafia,
punya uang yang cukup untuk membeli pena para jurnalis. Jangan tanya tentang skill membunuh,
mereka buas seperti singa gunung.
Terbunuhnya seorang tentara Paman Sam di dalam bunker kosong jelas sudah menabuh genderang
perang. Akan ada sasaran tembak berikutnya yang di adu domba. Kalian tahu siapa korban sejatinya?
Anak-anak manusia yang tiap hari berdoa di kaki langit, bersujud simpuh pada Tuhan semesta. Atas
kawannya yang lagi-lagi akan digenosida segera. Membunuh pembunuh tikus hanya alibi yang dibuat-
buat untuk menakut-nakuti anak kecil.
Richard, tak banyak yang tahu kecuali yang membayarnya mahal. Pernah menjadi intelijen Rusia
terlatih, lantas membelot dan menjual jasanya dengan emas batangan murni. Richard, oleh tuannya,
adalah alat spionase bayaran yang lihai mengerjakan tugas. Pintar bermain api, dan tahu cara
memadamkannya. Matanya tajam merekam target, memburu sampai ke titik paling pangkal. Tak takut
jika buruannya berkawan dengan orang yang lebih tinggi. Selalu pulang dengan checklist di gawai,
sangat flamboyan.
Maka, hanya dengan mengintai perawakan Alexio, agen Richard tahu siapa si pembunuh. Sepatu
kekecilan itu memiliki jejak lumpur yang sama seperti noda yang membekas di salah satu sepatu yang
mangkrak tak bertuan di kaki si jasad.
Mungkin, Alexio terburu-buru mengenakan salah satunya saat hendak melarikan diri. Tak tahu menahu
mana sepatu milik siapa saat pergumulan di bunker itu menyebabkan sepatunya sendiri tertukar.
Celaka, dia justru berhadapan dengan anjing pelacak macam Richard setelahnya.
~~~***~~~