Anda di halaman 1dari 11

Nama : Nirwanto

Instansi : Biro Hukum Sekretariat Daerah Prov. Kaltara


Tugas : Wawasan Kebangsaan dan Bela Negara
Pembimbing : Mayor Ery Witjaksono
Tema : Daerah Ku Bhineka Tunggal Ika

Judul yang saya ambil untuk karangan bebas ini adalah “Daerah Ku Bhineka Tunggal Ika”,
alasan saya menggunakan judul ini adalah karena seperti yang sudah diketahui bahwa Bhineka
Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan persatuan
dan kesatuan Indonesia, dimana kita harus dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
yaitu hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa
memandang suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, warna kulit dan lain- lain. Oleh karena
itu, sebagai warga Negara yang baik seharusnya kita menjaga Bhineka Tunggal Ika dengan
sebaik-baiknya agar persatuan bangsa dan negara Indonesia tetap terjaga dan kita pun harus
sadar bahwa menyatukan bangsa ini memerlukan perjuangan yang panjang yang dilakukan oleh
para pendahulu kita dalam menyatukan wilayah republik Indonesia menjadi negara kesatuan.
Bhinneka Tunggal Ika ini terbentuk untuk mempersatukan bangsa Indonesia dengan
keanekaragaman perbedaan, namun akhir – akhir ini bangsa Indonesia mulai kehilangan makna
dari “Bhinneka Tunggal Ika”. Banyak kekerasan terjadi yang didasarkan karena budaya,
contohnya peperangan antar suku, tawuran antar pelajar, tampak kecondongan terpecah belah,
individualis, tidak lagi muncul sifat tolong menolong atau gotong royong, banyak anak muda yang
tidak mengenal Bhinneka Tunggal Ika, banyak orang tua lupa akan kata-kata Bhinneka
Tunggal Ika, dan masih banyak lagi contoh – contoh nyata dari negara ini mengenai merosotnya
makna “Bhinneka Tunggal Ika”, sehingga semangat “Bhinneka Tunggal Ika” perlu untuk
disosialisasikan lagi.
Maka dengan adanya tugas ini semoga para pembaca mampu mengetahui, mengerti,
memahami serta mengaplikasikan nilai – nilai dari “Bhinneka Tunggal Ika”, sehingga bangsa
Indonesia ini kembali menjadi bangsa Indonesia yang multikiultural dengan negara majemuk.
Sehingga mampu meningkatkan rasa solidaritas dan rasa seperjuangan untuk mencapai cita – cita
Indonesia dan mampu mengurangi kekerasan – kekerasan yang didasarkan oleh budaya seperti
tawuran dan lain lain.
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa
Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per patah kata, kata “bhinneka” berarti "beraneka ragam" atau “berbeda-
beda”. Kata “neka” dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata
"aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara
harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun
berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan
ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa,
agama dan kepercayaan.
Sebelumnya semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat panjang yaitu
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal untuk
pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan
semboyan Bhineka Tunggl Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma. Perumuan
semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha mengatasi
keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan sehubungan usaha bina Negara
kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan Negara Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif
terhadap system pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah
menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indoesia. Dalam kitab
Sutosoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan dalam hal kepercayaan
dan keaneragaman agama yang ada di kalangan masyarakat Majapahit.
1
Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka Tunggal
Ika bukan hanya perbedaan agama dan kepercayaan menjadi fokus, tetapi pengertiannya lebih
luas. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti
perbedaan suku, bangsa, budaya (adat-istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan
yang menuju persatuan dan kesatuan Negara.
Seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan
Negara Indonesia. Berbicara mengenai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi menjadi bagian
dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintahan Nomor 66 Tahun 1951 pada 17
Oktober 1951 dan di undang - undangkan pada 28 Oktober 1951 sebagai Lambang Negara.
Usaha pada masa Majapahit maupun pada masa pemerintahan Indonesia berlandaskan pada
pandangan yang sama, yaitu pandangan mengenai semangat rasa persatuan, kesatuan, dan
kebersamaan sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara. Sementara itu, semboyan “Tan
Hana Darma Mangrwa” dipakai sebagai motto lambang Lembaga Pertahanan Nasional. Makna dari
semboyan itu adalah “tidak ada kebenaran yang bermuka dua”. Namun, Lemhanas kemudian
mengubah semboyan tersebut menjadi yang lebih praktis dan ringkas yaitu “bertahan karena
benar”. Makna “tidak ada kebenaran yang bermuka dua” sebenarnya memiliki pengertian agar
hendaknya manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa” adalah ungkapan yang memaknai
kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit. Tdak hanya Siwa dan Budha, tetapi sejumlah
aliran yang sejak awal telah dikenal terlebih dulu sebagian besar anggota masyarakat
Majapahit yang memiliki sifat majemuk.
Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari, yakni pada
masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (Candi Jago), semboyan tersebut dan candi
Jago disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, kedua simbol tersebut lebih
dikenal sebagai hasil perdaban masa Kerajaan Majapahit. Dari segi agama dan kepercayaan,
masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang majemuk. Selain adanya beberapa aliran
agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, muncul juga gejala sinkretisme yang sangat
menonjol antara Siwa dan Budha serta pemujaan terhadap roh leluhur. Namun, kepercayaan
pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki peranan tertinggi dan terbanyak di
kalangan mayoritas masyarakat. Pada saat itu, masyarakat Majapahit terbagi menjadi beberapa
golongan. Pertama, golongan orang-orang islam yang datang dari barat dan menetap di
Majapahit. Kedua, golongan orang-orang China yang mayoritas berasal dari Canton, Chang-chou,
dan Fukien yang kemudian bermukim di daerah Majapahit. Namun, banyak dari mereka masuk
agama Islam dan ikut menyiarkan agama Islam.
Sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat
Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat
itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit yang juga sudah
dipakai sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dalam Kakawin
Sutasoma, karya Mpu Tantular:
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa, bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa
(Pupuh 139: 5).
Terjemahan: Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang
berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena
kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-
beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika
tan Hana Dharma Mangrwa).
Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuna dan diterjemahkan dengan kalimat berbeda-
beda tetapi tetap satu. Kemudian terbentuklah Bhineka Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa
Indonesia. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di
2
dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini.
Munandar (2004:24) dalam Tjahjopurnomo S.J. mengungkapkan bahwa sumpah palapa secara
esensial, isinya mengandung makna tentang upaya untuk mempersatukan nusantara. Sumpah
Palapa Gajah Mada hingga kini tetap menjadi acuan, sebab Sumpah Palapa itu bukan hanya
berkenaan dengan diri seseorang, namun berkenaan dengan kejayaan eksistensi suatu
kerajaan. Oleh karena itu, sumpah palapa merupakan aspek penting dalam pembentukan Jati Diri
Bangsa Indonesia.
Menurut Pradipta (2009), pentingnya Sumpah Palapa karena di dalamnya terdapat
pernyataan suci yang diucapkan oleh Gajah Mada yang berisi ungkapan “lamun huwus kalah
nusantara isun amukti palapa” (kalau telah menguasai Nusantara, saya melepaskan
puasa/tirakatnya). Naskah Nusantara yang mendukung cita-cita tersebut di atas adalah Serat
Pararaton. Kitab tersebut mempunyai peran yang strategis, karena di dalamnya terdapat teks
Sumpah Palapa. Kata sumpah itu sendiri tidak terdapat di dalam kitab Pararaton, hanya
secara tradisional dan konvensional para ahli Jawa Kuno menyebutnya sebagai Sumpah
Palapa. Bunyi selengkapnya teks Sumpah Palapa menurut Pararaton edisi Brandes (1897 : 36)
adalah sebagai berikut: Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah
Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran,
Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun
amukti palapa”.
Terjemahan: Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa (nya). Beliau
Gajah Mada: Jika telah mengalahkan nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil)
mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, demikianlah saya (baru) melepaskan puasa (saya) Kemudian dilanjutkan dengan adanya
Sumpah Pemuda yang tidak kalah penting dalam sejarah perkembangan pembentukan Jati Diri
Bangsa ini. Tjahjopurnomo (2004) menyatakan bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28
Oktober 1928 secara historis merupakan rangkaian kesinambungan dari Sumpah Palapa yang
terkenal itu, karena pada intinya berkenaan dengan persatuan, dan hal ini disadari oleh para
pemuda yang mengucapkan ikrar tersebut, yakni terdapatnya kata sejarah dalam isi putusan
Kongres Pemuda Kedua. Sumpah Pemuda merupakan peristiwa yang maha penting bagi bangsa
Indonesia, setelah Sumpah Palapa. Para pemuda pada waktu itu dengan tidak memperhatikan latar
kesukuannya dan budaya sukunya berkemauan dan berkesungguhan hati merasa memiliki bangsa
yang satu, bangsa Indonesia. Ini menandakan bukti tentang kearifan para pemuda pada waktu itu.
Dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda, maka sudah tidak ada lagi ide kesukuan atau
ide kepulauan, atau ide propinsialisme atau ide federaslisme. Daerah-daerah adalah bagian yang
tidak bisa dipisah-pisahkan dari satu tubuh, yaitu tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan
bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda adalah ide kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu,
serta telah mengantarkan kita ke alam kemerdekaan, yang pada intinya didorong oleh kekuatan
persatuan Indonesia yang bulat dan bersatu itu.
Pada saat kemerdekaan diproklamirkan, 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh Soekarno-
Hatta, kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil mengemuka dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara RI. Sejak waktu itu, Sumpah
Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga kesinambungan sejarah bangsa
Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara yang
merasa dirinya bisa memisahkan diri dengan pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang
berlebihan. Gagasan-gagasan memisahkan diri sungguh merupakan gagasan dari orang-orang
yang tidak tahu diri dan tidak mengerti sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu tentang “jantraning
alam” (putaran zaman) Indonesia, yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang
ada pada tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa bangsa ini
dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika yang telah mengantarkan kita sampai hari ini
menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini,
yaitu bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda (suku bangsa) tetapi satu (bangsa Indonesia). Dan
dikuatkan dengan pilar Sumpah Palapa diikuti oleh Sumpah Pemuda yang mengikrarkan persatuan
dan kesatuan Nusantara / bangsa Indonesia, serta proklamasi kemerdekaan dalam kesatuan dan
3
persatuan bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Hal itu tidak terlepas dari
pembentukan jati diri daerah sebagai dasar pembentuk jati diri bangsa.
Bhineka Tunggal Ika merupakan esensi wawasan kebangsaan Indonesia, karena
Indonesia secara geografis kepulauan dan penduduknya heterogen. Dalam kondisi demikian,
pilihan Bhineka Tunggal Ika bukanlah suatu kebetulan melainkan suatu kebutuhan. Secara
sosiologis perbedaan memang potensial untuk terjadinya konflik, walaupun secara filosofis bahwa
persatuan yang sinergik, produktif adalah persatuan yang unsur-unsurnya berbeda. Kelangsungan
prinsip Bhineka Tunggal Ika akan tetap eksis sejalan dengan berkembangnya wawasan
kebangsaan, yang berbasis pada kesadaran identitas bahwa Indonesia adalah negara kepulauan
dan heterogen penduduknya. Sebagai negara yang berbentuk kepulauan, membawa konsekuensi
bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah laut dimana ditengah - tengahnya terdapat pulau - pulau
dan gugusan pulau - pulau.
Oleh karenanya, laut disini bukan sebagai pemisah melainkan sebagai pemersatu, konsekuensi
selanjutnya adalah diantara kita hak dan kewajibannya sama. Sehingga, jika salah satu wilayah
di salah satu pulau mendapat ancaman baik dari dalam maupun dari luar, maka seluruh isi pulau
yang lain di Indonesia wajib membelanya. Tetapi juga sebaliknya, jika disalah satu wilayah (pulau)
ada rejeki dari Tuhan, maka dibagi - bagi keseluruh pulau yang ada, tentu melalui mekanisme yang
legal. Demikian juga sebagai bangsa yang heterogen, hanya dapat bersatu jika masing masing
pihak menghargai perbedaan, dan tidak memaksakan orang lain untuk sama dengan dirinya. Oleh
karena itu persatuan disini, tidak berarti menghilangkan identitas daerah, dengan kata lain
persatuan yang sinergik. Bhineka Tunggal Ika adalah solusi kehidupan modern dalam berbangsa
dan bernegara, karena di era globalisasi, dunia menjadi satu sistem sehingga tidak ada satupun
negara yang homogen, oleh karenanya paham nasionalisme menjadi kebutuhan. Persatuan adalah
kebutuhan bagi bangsa negara, mengingat dampak negatif globalisasi akan menggerogoti
kedulatan bangsa negara, dalam hal inilah prinsip Bhineka Tunggal Ika menjadi penting.
Keanekaragaman baru dapat menjadi perekat bangsa bahkan menjadi kekuatan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, jika:
1. Ada nilai yang berperan sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Adanya standar yang dijadikan sebagai tolok ukur dalam rangka menilai sikap dan tingkah
laku serta cara bangsa menuju tujuan.
3. Mengakui dan menghargai hak dan kewajiban serta hak asasi manusia dalam berbagai
aspek (agama, suku, keturunan, kepercayaan, kedudukan sosial)
4. Nilai kesetiaan dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesemuanya diatas, berada dalam sistem nilai Pancasila, oleh karenanya Bhineka Tunggal Ika
keberlanjutanya tergantung pada komitmen bangsa terhadap Pancasila.
Disamping beberapa hal tersebut diatas, juga dukungan sistem pemerintahan yang demokratis,
desentralisasi (otonomi) akan memberi ruang yang kondusif bagi perkembangan positif
heterogenitas bangsa Indonesia. Tentu perlu adanya pemerintah daerah yang semakin dewasa, dan
pemerintah pusat yang berwibawa untuk menjamin stabilitas nasional dan kesatuan bangsa,
hubungan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati dalam kelompok sosial.
Heterogenitas (suku, agama, ras) adalah de facto sebagai bangsa Indonesia.
Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika adalah solusi terhadap fakta yang kita hadapi guna mencapai
cita-cita berbangsa dan bernegara. Embrio Bhineka Tunggal Ika adalah sumpah pemuda 28 Oktober
1928, sedang causa material Pancasila adalah budaya, agama, adat istiadat yang berkembang di
wilayah nusantara. Oleh karenanya Pancasila adalah ruang untuk berkembangnya heterogenitas,
sedang Bhineka Tunggal Ika adalah prinsip-prinsip (komitmen) yang dipegang dalam
mengembangkan heterogenitas bangsa ini. Pancasila, sebagai sistem nilai sangat abstrak, oleh
karenanya perlu diimplementasikan, dalam kaitan inilah Bhineka Tunggal Ika berfungsi sebagai

4
basis kesadaran identitas sebagai bangsa dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kesadaran Bhineka Tunggal Ika, tidak ada ruang untuk berbuat diskriminasi, karena istilah
“IKA” mencerminkan suasana “persamaan”, “kesetaraan” sebagai warga negara, dan Pancasila
memfasilitasi suasana tersebut. Sebagai fasilitator Pancasila yang telah dimplementasikan dalam
bentuk hukum positif, maka tidak akan berguna tanpa dikawal oleh penegakan hukum. Persamaan
dan kesetaraan, tercermin dalam sistem demokrasi yang kita miliki, yakni demokrasi yang dijiwai
oleh sila ke-4 Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan). Secara prinsip, demokrasi bukanlah bersifat ideologis sehingga
demokrasi tidak harus seperti di Barat, demokrasi nuansanya budaya, oleh karenanya demokrasi
Indonesia adalah demokrasi yang berakar pada nilai-nilai bangsa Indonesia. Memang “demokrasi”
ansich bersifat universal, tetapi pada tataran implementatif maka demokrasi akan terikat oleh kondisi
obyektif bangsa yang bersangkutan.
Pancasila sebagai sistem nilai bangsa, memiliki hak paten untuk mewarnai demokrasi di
Indonesia. Memang demokrasi merupakan alat, oleh karenanya efektivitas dan produktivitas alat
tersebut akan sangat dipengaruhi oleh si pengguna alat tersebut. Jika Pancasila ingin berperan
dalam demokrasi di Indonesia, maka Pancasila harus mampu mengatasi masalah-masalah yang
menjadi prasarat untuk terlaksananya demokrasi secara baik. Demokrasi, dari kata demos dan
kratos, artinya kedaulatan ditangan rakyat, maka rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus
independen, terlepas dari ketergantungan pihak lain, sehingga jika rakyat masih terikat oleh
kemiskinan maka rakyat menjadi tidak independen. Selama rakyat masih terikat oleh kemiskinan,
maka selama itu pula demokrasi tidak akan berjalan baik (terjadi politik uang), maka kesejahteraan
sebagai salah satu prasarat berlangsungnya demokrasi yang baik. Oleh karena itu “persamaan” dan
“kesetaraan” (IKA) lebih diarahkan pada penciptaan kesejahteraan masyarakat yang humanism
religious (Pancasila). Pancasila baik sebagai sarana maupun sebagai tujuan bangsa Indonesia, pada
dasarnya ingin mencapai suatu kondisi yang mencerminkan suasana humanisme religious.
Pemerintahan dijalankan berdasarkan konstitusi, hal ini bermakna bahwa demokrasi Pancasila
senantiasa sejalan dengan hukum positif yang ada, sehingga dalam mengimplementasikannya
tidak boleh dengan mengatasnamakan nilai-nilai demokrasi tetapi menimbulkan disintegrasi bangsa,
atau konflik SARA Pemilu secara berkesinambungan, sebagai implementasi dari kesadaran bahwa
sumber legitimasi kekuasaan politik bukan lagi dari atas, melainkan dari bawah (rakyat), maka
rakyatlah yang punya kedaulatan untuk menentukan pemimpinnya. Penghargaan HAM serta
perlindungan hak-hak minoritas, demokrasi Pancasila merujuk kepada prinsip humanism-religious,
sehingga demokrasi tidak akan berarti apa apa tanpa dijiwai oleh HAM, tentu bertolak pada hakekat
manusia yang monopluralis, yang berbeda dengan konsep manusia model liberalis maupun
sosialis-komunis. Kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah. Disinilah salah
satu ciri pembeda dengan demokrasi Barat, bahwa demokrasi Pancasila dalam menyelesaikan
masalah dengan melalui kompetisi ide - ide, sehingga keputusan bukan berdasarkan suara
terbanyak melainkan berdasarkan ide yang paling baik dengan melalui musyawarah mufakat. Partai
Poitik, bukan berarti semakin banyak partai politik semakin sempurna demokrasi, bagi bangsa
Indonesia yang heterogen terlalu banyak partai politik justru akan kontra produktif, mengingat
demokrasi Pancasila lebih cenderung bersifat kualitatif. Dengan demikian demokrasi Pancasila,
menjamin kesetaraan rakyat dalam kehidupan bernegara, menjamin tegaknya hukum yang
berdasarkan nilai Pancasila serta menjamin hubungan harmonis antara lembaga tinggi negara,
sehingga tidak ada salah satupun lembaga tinggi negara yang lebih dominan atau tidak akan terjadi
hegemoni kewenangan oleh salah satu lembaga tinggi negara. Demokrasi Pancasila, tidak
mengutamakan voting dalam mengambil keputusan, melainkan dengan melalui pertimbangan -
pertimbangan dari semua pihak yang terkait, oleh karena itu prinsip kebebasan dan kesetaraan,
bermakna disamping bebas menyampaikan pemikirannya juga harus bersedia untuk mendengarkan
dan adanya kesediaan untuk memahami pihak lain.
Oleh karena itu, Demokrasi Pancasila merupakan jawaban yang memang sangat
diperlukan oleh bangsa Indonesia, terutama dalam menyatukan berbagai kepentingan yang
timbul dalam masyarakat heterogen, sehingga setiap kebijakan publik lahir dari hasil bukan

5
dipaksakan. Demokrasi Pancasila, tidak saja menyangkut demokrasi politik sebagaimana telah
terungkap diatas, melainkan juga demokrasi dalam bidang ekonomi maupun sosial-budaya.
Bahwa ada masa ketika istilah SARA demikian popular, merupakan pengakuan tidak Iangsung
(sekurang-kurangnya) ada masa dimana terjadi diskriminasi ras - etnik di negeri ini. Dalam
praktik, pemenuhan hak-hak sipil yang merupakan bagian masyarakat ditandai dengan keturunan
Tionghoa, bahkan sampai detik inipun masih terjadi diskriminasi. Pembedaan perlakuan ketika
mengurus dokumen paspor, dengan keharusan melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan,
merupakan salah satu contoh praktik diskriminasi ras. Atas praktik semacam itu, Hamid Awaludin
dalam acara Dialog Kewarganegaraan dan Persatuan tersebut dengan lantang mengatakan, "Tidak
usah mendebat (pejabat imigrasi yang bersangkutan). Catat namanya dan laporkan kepada
saya." Diskriminasi ras - etnik, khususnya terhadap orang-orang Indonesia suku Tionghoa sudah
menjadi kisah panjang. Masih segar di ingatan kita, peragaan sikap alergi penguasa terhadap segala
sesuatu yang berhubungan dengan suku Tionghoa. Aksara, musik, bahasa, praktik kepercayaan,
bahkan ciri-ciri fisikpun dipermasalahkan.
Sebagian orang sekarang menghubungkannya dengan perang dingin yang mempengaruhi
hubungan antarnegara saat itu. Tapi jauh sebelum itu, sudah terjadi PP 10 yang membatasi ruang
gerak suku Tionghoa yang tinggal di desa-desa sehingga kemudian berlanjut dengan arus "pulang"
ke Tiangkok. Sudah terjadi pula imbauan untuk mengganti nama tiga suku dengan ''nama
Indonesia''. Sudah terjadi pembatasan pilihan pekerjaan / profesi bagi orang-orang Tionghoa, juga
pembatasan masuk universitas - universitas negeri. Diskriminasi terhadap kaum minoritas di
Indonesia masih merupakan masalah aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam
masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh
pemerintahpemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan
beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya Orde
Baru yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas, dalam arti adat istiadat, agama dari
beberapa suku bangsa minoritas di tanah air. Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan -
akan rakyat kita sudah tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita. Untuk
menjawab ini, tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari beberapa
unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi
perbedaan - perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri
individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan
tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan
kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat
itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang
tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara lain:
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi- pribadi yang berbeda.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan
orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya
adalah "egois". Lawan dari egoisme adalah altruisme. Hal ini berkaitan erat dengan narsisme, atau
"mencintai diri sendiri," dan kecenderungan mungkin untuk berbicara atau menulis tentang diri
sendiri dengan rasa sombong dan panjang lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan
kepentingannya sendiri, bahkan pada saat penolakan orang lain. Sombong adalah sifat yang
menggambarkan karakter seseorang yang bertindak untuk memperoleh nilai dalam jumlah yang
lebih banyak dari pada yang ia berikan kepada orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan
memanfaatkan altruisme, irasionalisme dan kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan
diri sendiri dan / atau kecerdikan untuk menipu. Egoisme berbeda dari altruisme, atau bertindak
untuk mendapatkan nilai kurang dari yang diberikan, dan egoisme, keyakinan bahwa nilai-nilai lebih
6
didapatkan dari yang boleh diberikan. Berbagai bentuk "egoisme empiris" bisa sama dengan
egoisme, selama nilai manfaat individu diri sendirinya masih dianggap sempurna.
Bung Karno, sang proklamator, pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir
penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Dalam perkataan
beliau, sudah nampak jelas bahwa apa yang menjadi substansi ke depan bagi rakyat Indonesia
adalah sebuah perjuangan untuk mengatasi hambatan dari dalam dan bukan lagi dari luar,
karena Soekarno sendiri telah menyudahi penjajahan di Indonesia ini dengan memproklamirkan
berdirinya Negara Kesatuan Rpublik Indonesia. Di negara ini, masih banyak yang berjuang atas
nama agama, suku, golongan, dan ras. Masing-masing beranggapan bahwa dirinya lebih baik dari
yang lain. Hal inilah yang menjadi kesalahan. Adanya perbedaan bukan dipandang sebagai sebuah
kekayaan bangsa yang seyogyanya dipertahankan dan dilesatrikan, melainkan dipandang
sebagai sesuatu yang bisa menyulut konflik berkelanjutan. Mengatasi hambatan yang berasal dari
luar memang lebih mudah, sebab semua perbedaan bisa segera dihilangkan untuk mengatasi
hambatan tersebut. Lain halnya ketika hambatan itu berasal dari dalam, sebab masing-masing
kelompok memiliki ego masing-masing.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mencerminkan adanya pengakuan akan
keanekaragaman bangsa dan wilayah Indonesia, namun bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dapat kita temukan di dalam Garuda Pancasila yang dijadikan lambang
negara. Hal ini di atur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal
36A yang berbunyi : Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika. Pengaturan lambang negara di dalam UUD Negara RI Tahun 1945 tersebut
merupakan pengakuan secara yuridis konstitusional oleh negara akan keberadaan lambang-
lambang negara. Hal itu sekaligus merupakan penegasan secara yuridis formal yang
dilakukan negara Indonesia terkait penggunaan simbol-simbol negara yang merupakan identitas
dan jati diri bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengalaman sejarah di masa lalu telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mampu
menyelenggarakan sistem dan pranata sosial, politik, ekonomi, kebudayaan maupun pertahanan-
keamanan. Dalam struktur sosiaal-budaya yang sudah mapan maka setiap komponen bangsa
mampu membangun peradapan yang memungkinkan setiap anggota masyarakat dapat
mewujudkan nilai-nilai kesejahteraan dan ketenteraman bagi diri dan lingkungannya. Masyarakat
yang memiliki peradaban tinggi memungkinkan bagi tumbuh kembangnya nilai-nilai budaya terluhur.
Nilai-nilai tersebut merupakan ekspresi kearifan lokal dan identitas diri yang dijadikan pedoman dan
petunjuk dalam mengembangkan tatanan kehidupan berkelompok.
Pelajaran yang dapat dipetik dari nilai-nilai kearifan lokal, tradisi dan nilai-nilai terluhur
budaya adalah ditemukannya kesamaan terhadap prinsip-prinsip, etika, norma dan petunjuk
hidup yang bersifat dan berlaku secara universal. Artinya, setiap daerah memiliki pranata sosial-
budaya yang berlaku di daerah lain. Dalam hal ini ternyata nilai, norma dan pranata sosial budaya
memiliki kesamaan dalam arti apa yang baik atau tidak baik di satu daerah juga berlaku sama
di daerah lain. Kemajemukan tradisi dan budaya daerah secara bersama-sama membentuk
budaya nasional yang kokoh dalam bentuk saripati nilai-nilai terluhur budaya sebagaimana yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, kemajemukan tradisi dan budaya
bukan masalah melainkan justeru menjadi pengikat perbedaan sebagaimana yang tersimpul
dalam sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan demikian, kemajemukan tradisi dan budaya lokal
pada akhirnya mampu memperkaya dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan nasional secara utuh-
menyeluruh. Dalam studi integrasi nasional, perbedaan dan keanekaragaman tradisi dan budaya
lokal harus dipandang sebagai asset bangsa yang tak ternilai harganya karena mampu
mempersatukan bangsa dan negara di atas perbedaan

7
Sepanjang perjalanan sejarah bangsa dan Negara Republik Indonesia, lambang- lambang negara
yang ada di atur melalui Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berlaku
beserta peraturan pelaksaannya. Hal ini dimaksudkan supaya lambang negara tersebut secara
yuridis formal memiliki kekuatan hukum, sehingga dipatuhi dan ditaati oleh semua warga negara.
Pada peraturan-perundangan tersebut juga mengatur cara-cara penggunaanya. Warga Negara
harus menggunakan lambing negara sesuai dengan yang di atur dalam peraturan perundangan
yang ada dan tidak boleh seenaknya sendiri.
Integrasi nasional merupakan bagian penting dari pengembangan budaya bangsa dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan serta jatidiri bangsa seutuhnya. Bangsa Indonesia
yang terbentuk dari kemajemukan SARA serta memiliki latar belakang sebagai bangsa terjajah
selama 3 abad, memerlukan konsep perpaduan baru yang mampu membina, menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup dan eksistensinya sebagai bangsa yang merdeka, bersatu
dan berdaulat di tengah-tengah bangsa lainnya. Karakteristik “kebhinnekaan isi” tersebut pada
dasarnya adalah modal dan asset bangsa yang tak ternilai harganya, karena pengalaman di masa
lalu telah mampu membentuk kesatuan sosial dan jatidiri bangsa yang hidup rukun, damai dan
penuh toleransi diantara unsur-unsur SARA di atas. Akan tetapi, “kebhinnekaan isi” dapat
berubah menjadi sumber ancaman dan marabahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa bila ada
pihak- pihak yang berupaya memaksakan kehendak baik di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya maupun pertahanan-keamanan.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa negara-negara kerajaan di masa lalu telah mampu
membentuk struktur sosial-politik yang mapan dan hidup berdampingan secara damai satu dengan
yang lain. Kondisi kehidupan yang aman, tenteram dan damai tersebut seringkali timbul perpecahan
terutama akibat penerapan politik pemecah belahan atau devide et impera yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial dan faktor pertikaian keluarga untuk perebutan tahta. Pada saat ini, bangsa
Indonesia telah memasuki tekanan dan pengaruh global sehingga mau atau tidak mau, suka atau
tidak harus masuk di dalamnya, padahal daya adaptasi bangsa masih rendah. Oleh karena itu,
bangsa Indonesia memiliki tanggungjawa yang besar untuk mempertahankan jatidiri sebagai
bangsa yang berbudaya.
Nampaknya, bangsa Indonesia dalam memasuki era global masih kuat dalam upaya
mempertahankan jatidiri bangsa. Akan tetapi kecenderungan mempertahankan nilai-nilai kesukuan
dan kedaerahan masih dominan dalam pergaulan nasional. Dengan berlakunya otonomi daerah
maka kecenderungan daerah untuk mempertahankan eksklusifisme kesukuan dan putra daerah
menjadi tema penting dalam memasuki era global ini. Pada dasarnya, prinsip-prinsip kedaerahan
yang berkembang selama ini, menunjukkan bahwa orang belum dapat melepaskan diri dari
belenggu dan dominasi kepentingan kedaerahan. Euforia kedaerahan, kadang-kadang berbenturan
dengan putra daerah yang telah keuar daerah dan menjadi perantau yang lama. Akibatnya,
sebagian keturunan putra daerah yang telah lama merantau sudah tidak mengenal budaya asal,
tradisi asal, bahasa daerah dan beragam tatanan kehidupan di daerah asaalnya.
Tanggungjawab masa depan bangsa sebagai kerangka acuan pergaulan nasional dan
internasional dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : (1) fraktor kependudukan; (2) faktor kemapanan
kebudayaan daerah atau suku; dan (3) faktor sosial, politik, ekonomi beserta aspek
pemeratannya. Ketiga faktor tersebut, menjadi pengikat dan penjamin kelancaran proses
transformasi nilai-nilai, peran serta partisipasi masyarakat dalam pergaulannya. Kenyataan
menunjukkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan masih berkisar pada kota-kota besar sehingga ada
kecenderungan bagi daerah-daerah terpencil dan belum maju untuk mendatangi dan bermigrasi
ke pusat-pusat pertumbuhan terutama di kota-kota besar di pulau Jawa. Dalam hal ini perlu diatur
bahwa putra-putra daerah yang merantau di pulau Jawa seharusnya mau kembali ke daerah asal
untuk membangun dan memajukan daeranya.

8
Kembalinya putra daerah dan kesediaan para lulusan perguruan tinggi untuk membangun daerah
terpencil atau yang belum maju diyakini akan mampu mendongkrak kemajuan yang merata di
seluruh wilayah. Kenyataan yang berkembang pada akhir-akhir ini adalah isu putra daerah untuk
menduduki kekuasaan politik pada posisi penting dan menentukan bagi daerahnya. Oleh karena
itu, perlu ditata kembali pengisian jabatan politik dan jabatan lain di daerah sehingga orang
tidak lagi mempersoalkan asal-usul dan dominasi kelompok mayoritas di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka
langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal
Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara
mendalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut
adalah sebagai berikut
Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan konsep
baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen
bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan.
Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru.
Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari
common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki
kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian
dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan
adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai
faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru
dari unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling
hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini
akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan
pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka
Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak
memaksakan kehendaknya pada golongan minoritas.
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku semu.
Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling hormat
menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka
keanekaragaman ini dapat dipersatukan.
Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang
terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam
bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non
sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.
Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai: (1)
inklusif, tidak bersifat eksklusif, (2) terbuka, (3)ko-eksistensi damai dan kebersamaan,
(4) kesetaraan, (5) tidak merasa yang paling benar, (6) tolerans, (7) musyawarah disertai
dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda. Suatu masyarakat yang tertutup atau
eksklusif sehingga tidak memungkinkan terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi arus
globalisasi yang demikian deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya
bangsa. Sifat terbuka yang terarah merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern.
Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah, memungkinkan
terbentuknya masyarakat yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling hormat menghormati, tidak
9
merasa dirinya yang paling benar dan tidak memaksakan kehendak yang menjadi keyakinannya
kepada pihak lain. Segala peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah harus
mampu mengakomodasi masyarakat yang pluralistik dan multikutural, dengan tetap
berpegang teguh pada dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan perundang-
undangan, utamanya peraturan daerah yang memberi peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau
yang semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh
persyaratan untuk jabatan daerah harus dari putra daerah , menggambarkan sempitnya kesadaran
nasional yang semata-mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang akan mengundang
terjadinya perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten akan terwujud masyarakat yang damai,
aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan dan keadilan akan terwujud.
Di depan telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip yang terkandung dalam Bhinneka
Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok
masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih
luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang
rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat
diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh
masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya
masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang
satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan
persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat
toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran,
harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi
menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya
negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh
sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela
gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi
semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama
berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan.
Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya.
Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat
yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri
yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan
Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus
berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi
dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi,tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya
konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah
untuk mencapai mufakat.
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawa-
rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama,
tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama.
Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan
cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang
tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu
dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh- jauh. Saling percaya
10
mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika.
Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium
“leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi
kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih
pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya
mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
Bila setiap warganegara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya
bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan
secara tepat dan benar insya Allah, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.

=Sekian dan Terima Kasih=

11

Anda mungkin juga menyukai