Sejarahnya
Bhinneka Tunggal Ika : Pengertian, Fungsi, Dan Makna Beserta Sejarahnya Secara
Lengkap – Jika kamu orang indonesia pasti anda tahu semboyan dari Bhinneka Tunggal Ika
?? Semboyan dari Bhinneka Tunggal Ika yaitu “berbeda-beda tapi tetap satu jua”. Tapi apakah
anda tahu dari pengertian, fungsi, sejarah, dan makna Bhinneka Tunggal Ika. Jika anda belum
mengetahuinya anda tepat sekali karena disini akan mengulas secara lengkap.
Hal ini menunjukkan persatuan dan kesatuan yang terjadi diwilayah Indonesia, dengan
keberagaman penduduk Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, bahasa daerah,
ras, agama, dan kepercayaan, lantas tidak membuat Indonesia menjadi terpecah-belah.
Melalui semboyan ini, Indonesia bisa dipersatukan dan semua keberagaman tersebut
menjadi satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejarah Bhineka Tunggal Ika
Sebelumnya semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat panjang
yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika
dikenal untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana.
Perumusan semboyan Bhineka Tunggl Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab
Sutasoma. Perumuan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam
usaha mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan
sehubungan usaha bina Negara kerajaan Majapahit saat itu.
Semboyan Negara Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap system
pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah menumbuhkan
semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indoesia. Dalam kitab
Sutosoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan dalam hal
kepercayaan dan keaneragaman agama yang ada di kalangan masyarakat Majapahit.
Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka Tunggal
Ika bukan hanya perbedaan agama dan kepercayaan menjadi fokus, tetapi pengertiannya
lebih luas. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas,
seperti perbedaan suku, bangsa, budaya (adat-istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan
kepercayaan yang menuju persatuan dan kesatuan Negara.
Seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa
dan Negara Indonesia. Berbicara mengenai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia,
lambang Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi
menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintahan Nomor 66 Tahun
1951 pada 17 Oktober 1951 dan di undang – undangkan pada 28 Oktober 1951 sebagai
Lambang Negara. Usaha pada masa Majapahit maupun pada masa pemerintahan Indonesia
berlandaskan pada pandangan yang sama, yaitu pandangan mengenai semangat rasa
persatuan, kesatuan, dan kebersamaan sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara.
Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa” dipakai sebagai motto lambang
Lembaga Pertahanan Nasional. Makna dari semboyan itu adalah “tidak ada kebenaran yang
bermuka dua”.
Namun, Lemhanas kemudian mengubah semboyan tersebut menjadi yang lebih praktis dan
ringkas yaitu “bertahan karena benar”. Makna “tidak ada kebenaran yang bermuka dua”
sebenarnya memiliki pengertian agar hendaknya manusia senantiasa berpegang dan
berlandaskan pada kebenaran yang satu. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma
Mangrwa” adalah ungkapan yang memaknai kebenaran aneka unsur kepercayaan pada
Majapahit. Tdak hanya Siwa dan Budha, tetapi sejumlah aliran yang sejak awal telah dikenal
terlebih dulu sebagian besar anggota masyarakat Majapahit yang memiliki sifat majemuk.
Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari, yakni pada
masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (Candi Jago), semboyan tersebut dan
candi Jago disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, kedua simbol
tersebut lebih dikenal sebagai hasil perdaban masa Kerajaan Majapahit. Dari segi agama dan
kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang majemuk.
Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, muncul juga
gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa dan Budha serta pemujaan terhadap
roh leluhur. Namun, kepercayaan pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan pribumi
memiliki peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat. Pada saat itu,
masyarakat Majapahit terbagi menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan orang-orang
islam yang datang dari barat dan menetap di Majapahit. Kedua, golongan orang-orang China
yang mayoritas berasal dari Canton, Chang-chou, dan Fukien yang kemudian bermukim di
daerah Majapahit. Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan
agama Islam.\\
Pembentuk jati diri bangsa
Sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat
Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu
sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit yang juga
sudah dipakai sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah
Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular:
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa (Pupuh 139: 5).
Terjemahan:
Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang
berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas
pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua.
Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang
mendua. (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa).
Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuna dan diterjemahkan dengan kalimat berbeda-
beda tetapi tetap satu. Kemudian terbentuklah Bhineka Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa
Indonesia. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama
di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini.
Munandar (2004:24) dalam Tjahjopurnomo S.J. mengungkapkan bahwa sumpah palapa
secara esensial, isinya mengandung makna tentang upaya untuk mempersatukan nusantara.
Sumpah Palapa Gajah Mada hingga kini tetap menjadi acuan, sebab Sumpah Palapa itu bukan
hanya berkenaan dengan diri seseorang, namun berkenaan dengan kejayaan eksistensi
suatu kerajaan. Oleh karena itu, sumpah palapa merupakan aspek penting dalam
pembentukan Jati Diri Bangsa Indonesia.
Menurut Pradipta (2009), pentingnya Sumpah Palapa karena di dalamnya terdapat
pernyataan suci yang diucapkan oleh Gajah Mada yang berisi ungkapan “lamun huwus kalah
nusantara isun amukti palapa” (kalau telah menguasai Nusantara, saya melepaskan
puasa/tirakatnya). Naskah Nusantara yang mendukung cita-cita tersebut di atas adalah
Serat Pararaton. Kitab tersebut mempunyai peran yang strategis, karena di dalamnya
terdapat teks Sumpah Palapa. Kata sumpah itu sendiri tidak terdapat di dalam kitab
Pararaton, hanya secara tradisional dan konvensional para ahli Jawa Kuno menyebutnya
sebagai Sumpah Palapa. Bunyi selengkapnya teks Sumpah Palapa menurut Pararaton edisi
Brandes (1897 : 36) adalah sebagai berikut:
Terjemahan:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan
puasa (nya). Beliau Gajah Mada: Jika telah mengalahkan
nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil)
mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo,
Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru)
melepaskan puasa (saya)
Kemudian dilanjutkan dengan adanya Sumpah Pemuda yang tidak kalah penting dalam
sejarah perkembangan pembentukan Jati Diri Bangsa ini. Tjahjopurnomo (2004)
menyatakan bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 secara historis
merupakan rangkaian kesinambungan dari Sumpah Palapa yang terkenal itu, karena pada
intinya berkenaan dengan persatuan, dan hal ini disadari oleh para pemuda yang
mengucapkan ikrar tersebut, yakni terdapatnya kata sejarah dalam isi putusan Kongres
Pemuda Kedua.
Sumpah Pemuda merupakan peristiwa yang maha penting bagi bangsa Indonesia, setelah
Sumpah Palapa. Para pemuda pada waktu itu dengan tidak memperhatikan latar
kesukuannya dan budaya sukunya berkemauan dan berkesungguhan hati merasa memiliki
bangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ini menandakan bukti tentang kearifan para pemuda
pada waktu itu. Dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda, maka sudah tidak ada lagi
ide kesukuan atau ide kepulauan, atau ide propinsialisme atau ide federaslisme. Daerah-
daerah adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan dari satu tubuh, yaitu tanah Air
Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda adalah ide kebangsaan
Indonesia yang bulat dan bersatu, serta telah mengantarkan kita ke alam kemerdekaan, yang
pada intinya didorong oleh kekuatan persatuan Indonesia yang bulat dan bersatu itu.
Pada saat kemerdekaan diproklamirkan, 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh
Soekarno-Hatta, kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil
mengemuka dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara RI.
Sejak waktu itu, Sumpah Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga
kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Seandainya tidak ada
Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri
oleh suku-suku bangsa Nusantara yang merasa dirinya bisa memisahkan diri dengan
pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan.
Dan dikuatkan dengan pilar Sumpah Palapa diikuti oleh Sumpah Pemuda yang
mengikrarkan persatuan dan kesatuan Nusantara / bangsa Indonesia, serta proklamasi
kemerdekaan dalam kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh.
Hal itu tidak terlepas dari pembentukan jati diri daerah sebagai dasar pembentuk jati diri
bangsa.
Begitu juga halnya dengan dengan aspek lain yang mempunyai perbedaan di Indonesia,
seperti adat dan kebudayaan yang terdapat di setiap daerah. Semua macam adat dan budaya
itu tetap diakui konsistensinya sebagai adat dan budaya yang sah di Indonesia, tapi segala
macam perbedaan tersebut tetap bersatu di dalam bingkai Negara kesatuan republik
Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika sifatnya inklusif, dengan kata lain segala kelompok yang ada haruslah
saling memupuk rasa persaudaraan, kelompok mayoritas tidak memperlakukan sebuah
kelompok minoritas ke dalam posisi terbawah, tetapi haruslah hidup berdampingan satu
sama lain. Kelompok mayoritas juga tidak harus memaksakan kehendaknya kepada
kelompok lain.
3. Tidak Bersifat Formalistis
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis, yang hanya menunjukkan sebuah perilaku
semu dan kaku. Tetapi, Bhinneka Tunggal Ika sifatnya universal dan menyeluruh. Hal ini
dliandasi oleh adanya rasa cinta mencintai, rasa hormat menghormati, saling percaya
mempercayai, dan saling rukun antar sesame. Karena dengan cara inilah, keanekaragaman
bisa disatukan dalam bingkai ke-Indonesiaan.
4. Bersifat Konvergen
Bhinneka Tunggal Ika sifatnya konvergen dan tidak divergen. Segala macam keaneka
ragaman yang ada bila terjadi masalah, bukan untuk dibesar-besarkan, tetapi haruslah dicari
satu titik temu yang bisa membuat segala macam kepentingan menjadi satu. Hal ini
bisa dicapai bila terdapatnya sikap toleran, saling percaya, rukun, non sectarian, dan inklusif.