Anda di halaman 1dari 17

Bhineka Tunggal Ika : Pengertian, Fungsi,

Dan Makna Serta Sejarahnya Lengkap


Pengertian Bhineka Tunggal Ika
Secara etimologi atau asal-usul bahasa, kata-kata Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa
Kuno yang bila dipisahkan menjadi Bhinneka = beragam atau beraneka, Tunggal = satu, dan Ika
= itu. Artinya, secara harfiah, jika diartikan menjadi beraneka satu itu. Maknanya, bisa dikatakan
bahwa beraneka ragam tetapi masih satu jua. Semoboyan ini diambil dari kitab atau kakawin
Sutasoma karangan Empu Tantular, yang hidup pada masa Kerajaan majapahit sekitar abad ke-
14 M.

Hal ini menunjukkan persatuan dan kesatuan yang terjadi diwilayah Indonesia, dengan
keberagaman penduduk Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku, bahasa daerah, ras,
agama, dan kepercayaan, lantas tidak membuat Indonesia menjadi terpecah-belah. Melalui
semboyan ini, Indonesia bisa dipersatukan dan semua keberagaman tersebut menjadi satu bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejarah Bhineka Tunggal Ika


Sebelumnya semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat panjang yaitu
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal
untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan
semboyan Bhineka Tunggl Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.
Perumuan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha mengatasi
keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan sehubungan usaha bina Negara
kerajaan Majapahit saat itu.

Semboyan Negara Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap system
pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah menumbuhkan semangat
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indoesia. Dalam kitab Sutosoma, definisi
Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan dalam hal kepercayaan dan keaneragaman
agama yang ada di kalangan masyarakat Majapahit.

Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka Tunggal Ika
bukan hanya perbedaan agama dan kepercayaan menjadi fokus, tetapi pengertiannya lebih luas.
Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan
suku, bangsa, budaya (adat-istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang
menuju persatuan dan kesatuan Negara.
Seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan
Negara Indonesia. Berbicara mengenai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi menjadi
bagian dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintahan Nomor 66 Tahun 1951 pada 17
Oktober 1951 dan di undang – undangkan pada 28 Oktober 1951 sebagai Lambang Negara.
Usaha pada masa Majapahit maupun pada masa pemerintahan Indonesia berlandaskan pada
pandangan yang sama, yaitu pandangan mengenai semangat rasa persatuan, kesatuan, dan
kebersamaan sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara. Sementara itu, semboyan “Tan
Hana Darma Mangrwa” dipakai sebagai motto lambang Lembaga Pertahanan Nasional. Makna
dari semboyan itu adalah “tidak ada kebenaran yang bermuka dua”.

Namun, Lemhanas kemudian mengubah semboyan tersebut menjadi yang lebih praktis dan
ringkas yaitu “bertahan karena benar”. Makna “tidak ada kebenaran yang bermuka dua”
sebenarnya memiliki pengertian agar hendaknya manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan
pada kebenaran yang satu. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa” adalah
ungkapan yang memaknai kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit. Tdak hanya
Siwa dan Budha, tetapi sejumlah aliran yang sejak awal telah dikenal terlebih dulu sebagian
besar anggota masyarakat Majapahit yang memiliki sifat majemuk.

Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari, yakni pada masa
Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (Candi Jago), semboyan tersebut dan candi Jago
disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, kedua simbol tersebut lebih
dikenal sebagai hasil perdaban masa Kerajaan Majapahit. Dari segi agama dan kepercayaan,
masyarakat Majapahit merupakan masyarakat yang majemuk.

Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, muncul juga gejala
sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa dan Budha serta pemujaan terhadap roh leluhur.
Namun, kepercayaan pribumi tetap bertahan. Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki peranan
tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat. Pada saat itu, masyarakat Majapahit
terbagi menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan orang-orang islam yang datang dari barat
dan menetap di Majapahit. Kedua, golongan orang-orang China yang mayoritas berasal dari
Canton, Chang-chou, dan Fukien yang kemudian bermukim di daerah Majapahit. Namun,
banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan agama Islam.\\

 Pembentuk jati diri bangsa


Sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat
Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu
sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit yang juga sudah
dipakai sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah
Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular:

Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,

bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,

mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,

bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa (Pupuh 139: 5).

Terjemahan:

Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang

berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas

pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka
memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua.
(Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa).

Frasa tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuna dan diterjemahkan dengan kalimat berbeda-beda
tetapi tetap satu. Kemudian terbentuklah Bhineka Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa Indonesia.
Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam
keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini. Munandar
(2004:24) dalam Tjahjopurnomo S.J. mengungkapkan bahwa sumpah palapa secara esensial,
isinya mengandung makna tentang upaya untuk mempersatukan nusantara. Sumpah Palapa
Gajah Mada hingga kini tetap menjadi acuan, sebab Sumpah Palapa itu bukan hanya berkenaan
dengan diri seseorang, namun berkenaan dengan kejayaan eksistensi suatu kerajaan. Oleh karena
itu, sumpah palapa merupakan aspek penting dalam pembentukan Jati Diri Bangsa Indonesia.

Menurut Pradipta (2009), pentingnya Sumpah Palapa karena di dalamnya terdapat pernyataan
suci yang diucapkan oleh Gajah Mada yang berisi ungkapan “lamun huwus kalah nusantara isun
amukti palapa” (kalau telah menguasai Nusantara, saya melepaskan puasa/tirakatnya). Naskah
Nusantara yang mendukung cita-cita tersebut di atas adalah Serat Pararaton. Kitab tersebut
mempunyai peran yang strategis, karena di dalamnya terdapat teks Sumpah Palapa. Kata sumpah
itu sendiri tidak terdapat di dalam kitab Pararaton, hanya secara tradisional dan konvensional
para ahli Jawa Kuno menyebutnya sebagai Sumpah Palapa. Bunyi selengkapnya teks Sumpah
Palapa menurut Pararaton edisi Brandes (1897 : 36) adalah sebagai berikut:

Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa,

sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti

palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring

Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,


Tumasik, samana isun amukti palapa”.

Terjemahan:

Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan

puasa (nya). Beliau Gajah Mada: Jika telah mengalahkan

nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil)

mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo,

Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru)

melepaskan puasa (saya)

Kemudian dilanjutkan dengan adanya Sumpah Pemuda yang tidak kalah penting dalam sejarah
perkembangan pembentukan Jati Diri Bangsa ini. Tjahjopurnomo (2004) menyatakan bahwa
Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 secara historis merupakan rangkaian
kesinambungan dari Sumpah Palapa yang terkenal itu, karena pada intinya berkenaan dengan
persatuan, dan hal ini disadari oleh para pemuda yang mengucapkan ikrar tersebut, yakni
terdapatnya kata sejarah dalam isi putusan Kongres Pemuda Kedua. Sumpah Pemuda merupakan
peristiwa yang maha penting bagi bangsa

Indonesia, setelah Sumpah Palapa. Para pemuda pada waktu itu dengan tidak memperhatikan
latar kesukuannya dan budaya sukunya berkemauan dan berkesungguhan hati merasa memiliki
bangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ini menandakan bukti tentang kearifan para pemuda pada
waktu itu. Dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda, maka sudah tidak ada lagi ide
kesukuan atau ide kepulauan, atau ide propinsialisme atau ide federaslisme. Daerah-daerah
adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan dari satu tubuh, yaitu tanah Air Indonesia, bangsa
Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda adalah ide kebangsaan Indonesia yang bulat
dan bersatu, serta telah mengantarkan kita ke alam kemerdekaan, yang pada intinya didorong
oleh kekuatan persatuan Indonesia yang bulat dan bersatu itu.

Pada saat kemerdekaan diproklamirkan, 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh Soekarno-
Hatta, kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil mengemuka dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara RI. Sejak waktu itu, Sumpah
Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga kesinambungan sejarah bangsa
Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara
yang merasa dirinya bisa memisahkan diri dengan pemahaman federalisme dan otonomi daerah
yang berlebihan.
Gagasan-gagasan memisahkan diri sungguh merupakan gagasan dari orang-orang yang tidak
tahu diri dan tidak mengerti sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu tentang “jantraning alam”
(putaran zaman) Indonesia, yang harus kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada
pada tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa bangsa ini
dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika yang telah mengantarkan kita sampai hari
ini menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi
ini, yaitu bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda (suku bangsa) tetapi satu (bangsa Indonesia).

Dan dikuatkan dengan pilar Sumpah Palapa diikuti oleh Sumpah Pemuda yang mengikrarkan
persatuan dan kesatuan Nusantara / bangsa Indonesia, serta proklamasi kemerdekaan dalam
kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Hal itu tidak terlepas dari
pembentukan jati diri daerah sebagai dasar pembentuk jati diri bangsa.

Fungsi Bhinneka Tunggal Ika


Bangsa Indonesai sudah lama hidup di dalam keaneka ragaman, tetapi hal ini tidak pernah
menampilkan perseteruan antar rakyat Indonesia. Keberagaman yang ada dipakai untuk
membentuk suatu Negara yang besar. Keberagaman yang terjadi baik itu di dalam segi
kepercayaan, warna kulit, suku bangsa, agama, bahasa, menjadikan Bangsa Indonesia merupakan
suatu bangsa yang besar dan berdaulat. Sejarah mencatat bahwasanya semua anak bangsa yang
tergabung dalam berbagai macam suku turut serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa
Indonesia dengan mengambil peran masing-masing.

Para tokoh bangsa yang bergerak dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia


sudah menyadari tantangan yang harus dihadapi oleh karena kemajemukan yang ada di dalam
bangsa ini. Keberagaman menjadi sebuah realitas yang tidak bisa dihindari di dalam negeri ini.
Pemikiran dan tindakan yang diperbuat tidak lain dan tidak bukan hanya untuk menunjukkan
pada dunia bahwa cita-cita bangsa akan terwujud dengan keanekaragaman itu. Ke-bhinneka-an
adalah sebuah hakikat realitas yang sudah ada dalam bangsa Indonesia, sedangkan ke-Tunggal-
Ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Semboyan inilah yang menjadi jembatan emas
penghubung menuju pembentukan Negara berdaulat serta menunjukkan kebesarannya di mata
dunia.

Konsep Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah semboyan yang dijadikan dasar Negara Indonesia.
Oleh sebab itu, Bhinneka Tunggal Ika patut dijadikan sebagai landasan untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan di dalam bangsa Indonesia. Kita sebagai generasi selanjutnya yang bisa
menikmati kemerdekaan dengan mudah, haruslah bersungguh-sungguh dalam menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat saling menghargai dengan masyarakat tanpa saling
memikirkan percampuran suku bangsa, ras, agama, bahasa, dan keaneka ragaman lainnya. Tanpa
adanya kesadaran di dalam diri rakyat Indonesia, maka pantaslah Indonesia akan hancur dan
terpecah belah.
Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
1. Common Denominator

Di Indonesia, berbagai macam keaneka ragaman yang ada tidaklah membuat bangsa ini menjadi
pecah. Terdapat 5 agama yang ada di Indonesia, dan hal tersebut tidak membuat agama-agama
tersebut untuk saling mencela. Maka sesuai dengan prinsip pertama dari Bhinneka Tunggal Ika,
maka perbedaan-perbedaan di dalam agama tersebut haruslah dicari common denominatornya,
atau dengan kata lain kita haruslah mencari sebuah persamaan dalam perbedaan itu, sehingga
semua rakyat yang hidup di Indonesia dapat hidup di dalam keanekaragaman dan kedamaian
dengan adanya kesamaan di dalam perbedaan tersebut.

Begitu juga halnya dengan dengan aspek lain yang mempunyai perbedaan di Indonesia, seperti
adat dan kebudayaan yang terdapat di setiap daerah. Semua macam adat dan budaya itu tetap
diakui konsistensinya sebagai adat dan budaya yang sah di Indonesia, tapi segala macam
perbedaan tersebut tetap bersatu di dalam bingkai Negara kesatuan republik Indonesia.

2. Tidak Bersifat Sektarian dan Enklusif

Makna yang terkandung di dalam prinsip ini yakni semua rakyat Indonesia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan menganggap bahwa dirinya atau kelompoknya adalah
yang paling benar, paling hebat, atau paling diakui oleh yang lain. Pandangan-pandangan
sectarian dan enklusif haruslah dihilangkan pada segenap tumpah darah Indonesia, karena ketika
sifat sectarian dan enklusif sudah terbentuk, maka akan banyak suatu konflik yang terjadi
dikarenakan kecemburuan, kecurigaan, sikap yang berlebihan, dan kurang memperhitungkan
keberadaan kelompok atau pribadi lain.

Bhinneka Tunggal Ika sifatnya inklusif, dengan kata lain segala kelompok yang ada haruslah
saling memupuk rasa persaudaraan, kelompok mayoritas tidak memperlakukan sebuah kelompok
minoritas ke dalam posisi terbawah, tetapi haruslah hidup berdampingan satu sama lain.
Kelompok mayoritas juga tidak harus memaksakan kehendaknya kepada kelompok lain.

3. Tidak Bersifat Formalistis

Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis, yang hanya menunjukkan sebuah perilaku semu
dan kaku. Tetapi, Bhinneka Tunggal Ika sifatnya universal dan menyeluruh. Hal ini dliandasi
oleh adanya rasa cinta mencintai, rasa hormat menghormati, saling percaya mempercayai, dan
saling rukun antar sesame. Karena dengan cara inilah, keanekaragaman bisa disatukan dalam
bingkai ke-Indonesiaan.

4. Bersifat Konvergen
Bhinneka Tunggal Ika sifatnya konvergen dan tidak divergen. Segala macam keaneka ragaman
yang ada bila terjadi masalah, bukan untuk dibesar-besarkan, tetapi haruslah dicari satu titik
temu yang bisa membuat segala macam kepentingan menjadi satu. Hal ini bisa dicapai
bila terdapatnya sikap toleran, saling percaya, rukun, non sectarian, dan inklusif.

Implementasi Bhinneka Tunggal Ika


Implementasi terhadap Bhinneka Tunggal Ika bisa tercapai bila rakyat dan seluruh komponen
mematuhi prinsip-prinsip yang sudah disebutkankan di atas. Yakni :

1. Perilaku Inklusif

Seseorang haruslah menganggap bahwa dirinya sedang berada di dalam suatu populasi yang
luas, sehingga dia tidak melihat dirinya melebihi dari yang lain. Begitu juga dengan kelompok.
Kepentingan bersama lebih diutamakan daripada sebuah keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Kepentingan bersama bisa membuat segala komponen merasa puas dan senang. Masing-masing
kelompok mempunyai peranan masing-masing di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Mengakomodasi Sifat Prulalistik

Ditinjau dari keanekaragaman yang ada di dalam negeri ini, maka sepantasnyalah bila Indonesia
adalah bangsa dengan tinglat prulalistik terbesar di dunia. Hal inilah yang membuat bangsa kita
disegani oleh bangsa lain. Tapi, bila hal ini tidak bisa dipergunakan dengan baik, maka sangat
mungkin akan terjadi disintegrasi di dalam bangsa.

Agama, ras, suku bangsa, bahasa, adat dan budaya yang ada di Indonesia mempunyai jumlah
yang tidak sedikit. Sikap saling toleran, saling menghormati, saling mencintai, dan saling
menyayangi menjadi hal mutlak yang dibutuhkan oleh segenap rakyat Indonesia, supaya
terciptanya masyarakat yang tenteram dan damai.

3. Tidak Mencari Menangnya Sendiri

Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah terjadi pada zaman sekarang. Apalagi ditambah
dengan diberlakukannya sistem demokrasi yang menuntut segenap rakyat bebas untuk
mengungkapkan pendapatnya masing-masing. Oleh sebab itu, untuk mencapai prinsip ke-
Bhinneka-an, maka seseorang haruslah saling menghormati antar satu pendapat dengan pendapat
yang lain. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi untuk dicari suatu titik temu dengan
mementingkan suatu kepentingan bersama. Sifatnya konvergen haruslah benar-benar dinyatakan
di dalam hidup berbangsa dan bernegara, jauhkan sifat divergen.

4. Musyawarah untuk Mufakat


Perbedaan pendapat antar kelompok dan pribadi haruslah dicari solusi bersama dengan
diberlakukannya musyawarah. Segala macam perbedaan direntangkan untuk mencapai satu
kepentingan. Prinsip common denominator atau mencari inti kesamaan haruslah diterapkan di
dalam musyawarah. Dalam musyawarah, segala macam gagasan yang timbul akan
diakomodasikan dalam kesepakatan. Sehingga kesepakatan itu yang mencapai mufakat antar
pribadi atau kelompok.

5. Dilandasi Rasa Kasih Sayang dan Rela Berkorban

Sesuai dengan pedoman sebaik-baik manusia yaitu yang bermanfaat bagi manusia lainnya, rasa
rela berkorban haruslah diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Rasa rela berkorban ini akan
terbentuk dengan dilandasi oleh rasa salin kasih mangasihi, dan sayang menyayangi. Jauhilah
rasa benci karena hanya akan menimbulkan konflik di dalam kehidupan.

SEJARAH
Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi bahan diskusi terbatas antara Muhammad Yamin, I Gusti
Bagus Sugriwa, dan Bung Karno di sela-sela sidang BPUPKI sekitar 2,5 bulan sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia(Kusuma R.M. A.B, 2004). Bahkan Bung Hatta sendiri
mengemukakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan ciptaan Bung Karno pasca Indonesia
merdeka. Setelah beberapa tahun kemudian ketika mendesain Lambang Negara Republik
Indonesia dalam bentuk burung Garuda Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika disisipkan
ke dalamnya.

Secara resmi lambang ini digunakan dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yg
dipimpin oleh Bung Hatta pada tanggal 11 Februari 1950 berdasarkan rancangan yang diciptakan
oleh Sultan Hamid ke-2 (1913-1978). Pada sidang tersebut mengemuka banyak usulan rancangan
lambang negara, selanjutnya yang dipilih adalah usulan yang diciptakan Sultan Hamid ke-2 &
Muhammad Yamin, dan kemudian rancangan dari Sultan Hamid yang akhirnya ditetapkan
(Yasni, Z, 1979).
Karya Mpu Tantular tersebut oleh para founding fathers diberikan penafsiran baru sebab
dianggap sesuai dengan kebutuhan strategis bangunan Indonesia merdeka yang terdiri atas
beragam agama, kepercayaan, etnis, ideologi politik, budaya dan bahasa. Dasar pemikiran
tersebut yang menjadikan semboyan “keramat” ini terpajang melengkung dalam cengkeraman
kedua cakar Burung Garuda. Burung Garuda dalam mitologi Hindu ialah kendaraanDewa
Vishnu (Ma’arif A. Syafii, 2011).

Dalam proses perumusan konstitusi Indonesia, jasa Muh.Yamin harus diingat sebagai orang yang
pertama kali mengusulkan kepada Bung Karno agar Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan
sesanti negara. Muh. Yamin sebagai tokoh kebudayaan dan bahasa memang dikenal sudah lama
bersentuhan dengan segala hal yang berkenaan dengan kebesaran Majapahit (Prabaswara, I
Made, 2003). Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Muh. Yamin
menyebut-nyebut ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Namun I Gusti Bagus Sugriwa
(temannya dari Buleleng) yang duduk di sampingnya sontak menyambut sambungan ungkapan
itu dengan “tan hana dharma mangrwa.” Sambungan spontan ini di samping menyenangkan
Yamin, sekaligus menunjukkan bahwa di Bali ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup
dan dipelajari orang (Prabaswara, I Made, 2003). Meksipun Kitab Sutasoma ditulis oleh seorang
sastrawan Buddha, pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat intelektual Hindu Bali.

Para pendiri bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam tampaknya cukup toleran
untuk menerima warisan Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran ini merupakan watak dasar suku-
suku bangsa di Indonesia yang telah mengenal beragam agama, berlapis-lapis kepercayaan dan
tradisi, jauh sebelum Islam datang ke Nusantara. Sekalipun dengan runtuhnya Kerajaan
Majapahit abad XV, pengaruh Hindu-Budha secara politik sudah sangat melemah, secara
kultural pengaruh tersebut tetap lestari sampai hari ini (Ma’arif A. Syafii, 2011).

Bhinneka Tunggal Ika dalam Konteks Indonesia

Indonesia beruntuk telah memiliki falsafah bhinneka tunggal ika sejak dahulu ketika negara barat
masih mulai memerhatikan tentang konsep keberagaman.
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keberagaman. Jika dilihat dari kondisi alam
saja Indonesia sangat kaya akan ragam flora dan fauna, yang tersebar dari ujung timur ke ujung
barat serta utara ke selatan di sekitar kurang lebih 17508 pulau. Indonesia juga didiami banyak
suku(sekitar kurang lebih 1128 suku) yang menguasai bahasa daerah masing-masing(sekitar 77
bahasa daerah) dan menganut berbagai agama dan kepercayaan. Keberagaman ini adalah ciri
bangsa Indonesia. Warisan kebudayaan yang berasal dari masa-masa kerajaan hindu, budha dan
islam tetap lestari dan berakar di masyarakat. Atas dasar ini, para pendiri negara sepakat untuk
menggunakan bhinneka tunggal ika yang berarti "berbeda-beda tapi tetap satu jua" sebagai
semboyan negara.

Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan
perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainya.
Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi
sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari
berbagai suku semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut
berjuang dengan mengambil peran masing-masing.

Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun sebuah bangsa telah dipikirkan
secara mendalam oleh para pendiri bangsa Indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai
sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan
dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ke-bhinneka-an merupakan realitas sosial, sedangkan
ke-tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang digagas sebagai “jembatan
emas” untuk menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul keberagaman dalam sebuah
bangsa adalah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia.

Para pendiri negara juga mencantumkan banyak sekali pasal-pasal yang mengatur tentang
keberagaman. Salah satu pasal tersebut adalah tentang pentingnya keberagaman dalam
pembangunan selanjutnya diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana
tercantum dalam ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang
berasal dari keanekaragaman.

Arti dan Makna Lambang dan Simbol


Negara (Lengkap)
Arti dan Makna Lambang dan Simbol Negara - Garuda Pancasila merupakan Lambang negara Indonesia,
yang juga memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Meskipun Berbeda-beda tetapi tetap satu Jika).
Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda dengan kepala menghadap ke sebelah kanan (dari
sudut pandang Garuda), dan mempunyai perisai berbentuk seperti jantung yang digantung
menggunakan rantai pada leher Garuda, dan terdapat semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna
"Meskipun Berbeda-beda tetapi tetap satu Jiwa" tertulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Sultan Hamid II lah yang merancang Lambang ini, namun kemudian disempurnakan oleh Bung Karno,
Setelah itu diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada tanggal 11-Februari-
1950 dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat.

Ideologi Pancasila
Lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila penggunaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
43/1958.

Deskripsi dan arti filosofi Lambang Negara


Garuda
 Garuda Pancasila merupakan burung yang sudah dikenal melalui mitologi kuno di sejarah
Nusantara (Indonesia), yaitu tunggangan Dewa Wishnu yang berwujud seperti burung elang
rajawali. Garuda dipakai sebagai Simbol Negara untuk menggambarkan Negara Indonesia
merupakan bangsa yang kuat dan besar.
 Warna keemasan di burung Garuda mengambarkan kejayaan dan keagungan.
 Garuda memiliki sayap, paruh, cakar dan ekor yang melambangkan tenaga
dan kekuatan pembangunan.
 Jumlah bulu Garuda Pancasila mengambarkan hari / Tanggal proklamasi kemerdekaan Bangsa
Indonesia, yaitu tanggal 17-Agustus-1945, antara lain: Jumlah bulu pada masing-masing sayap
berjumlah 17, Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8, Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor
berjumlah 19, Jumlah bulu di leher berjumlah 45.

Perisai
 Perisai merupakan tameng yang telah lama dikenal dalam budaya dan peradaban Nusantara
sebagai senjata yang melambangkan perlindungan, pertahanan dan perjuangan diri untuk
mencapai tujuan.
 Di tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang menggambarkan garis khatulistiwa hal
tersebut mencerminkan lokasi / Letak Indonesia, yaitu indonesia sebagai negara tropis yang
dilintasi garis khatulistiwa.
 Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara Pancasila.
 Warna dasar pada ruang perisai merupakan warna bendera Indonesia (merah-putih). dan pada
bagian tengahnya memiliki warna dasar hitam.

Berikut adalah Pembagian dan penjelasan lambang pada ruang perisai:


Makna Sila Pertama Pancasila, Bintang Tunggal

Makna Sila 1, Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan Perisai hitam dengan sebuah bintang
emas berkepala lima (bersudut lima), bintang emas sendiri dapat diartikan sebagai sebuah cahaya
seperti layaknya Tuhan yang menjadi cahaya kerohanian bagi setiap manusia.
Makna Sila Kedua Pancasila, Rantai Emas

Makna Sila 2, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan Rantai yang disusun atas gelang-
gelang kecil ini menandakan hubungan manusia satu sama lain yang saling membantu, gelang yang
persegi menggambarkan pria sedangkan gelang yang lingkaran menggambarkan wanita.
Makna Sila Ketiga Pancasila, Pohon Beringin

Makna Sila 3, Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin (Ficus benjamina) di bagian kiri
atas perisai berlatar putih, Pohon beringin merupakan sebuah pohon Indonesia yang berakar tunjang -
sebuah akar tunggal panjang yang menunjang pohon yang besar ini dengan tumbuh sangat dalam ke
dalam tanah. Hal ini mencerminkan kesatuan dan persatuan Indonesia. Pohon Beringin juga mempunyai
banyak akar yang menggelantung dari ranting-rantingnya. ini mencerminkan Indonesia sebagai negara
kesatuan namun memiliki berbagai latar belakang budaya yang berbeda-beda (bermacam-macam).

Baca Juga: Kumpulan Posting Tentang CPNS (Terlengkap dan Gratis)


Makna Sila keempat Pancasila, Kepala Banteng

Makna Sila 4, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /
Perwakilan. yang disimbolkan dengan kepala banteng pada bagian kanan atas perisai berlatar merah.
Lembu liar atau Banteng merupakan binatang sosial yang suka berkumpul, sama halnya dengan manusia
dimana dalam pengambilan keputusan harus dilakukan secara musyawarah salah satunya dengan cara
berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu.
Makna Sila kelima Pancasila, Padi Kapas

Makna Sila 5, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan padi dan kapas di
bagian kanan bawah perisai yang berlatar putih. kapas dan padi (mencerminkan pangan dan sandang)
merupakan kebutuhan pokok semua masyarakat Indonesia tanpa melihat status maupun
kedudukannya. ini mencerminkan persamaan sosial dimana tidak adanya kesenjangan sosial anatara
satu dan yang lainnya, tapi hal ini (persamaan sosial) bukan berarti bahwa Indonesia memakai ideologi
komunisme.

Pita yang bertulis semboyan "Bhinneka Tunggal Ika"


 Sehelai pita putih dengan tulisan "Bhinneka Tunggal Ika" berwarna hitam dicengkeram
oleh Kedua cakar Garuda Pancasila.
 Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan kutipan dari Kakawin Sutasoma karya Mpu
Tantular. Kata "bhinneka" memiliki arti beraneka ragam atau berbeda-beda, sedang kata
"tunggal" berarti satu, dan kata "ika" bermakna itu. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika
diartikan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda beda tapi pada hakikatnya
tetap satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk melambangkan kesatuan
dan persatuan Bangsa Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam ras, budaya, bahasa daerah,
agama, suku bangsa dan kepercayaan.
Letak Warna Pada Bagian-bagian Garuda Pancasila

 Warna yang digunakan dalam lambang Garuda Pancasila tidak boleh diletakkan asal asalan
karena warna warna itu telah ditentukan untuk diletakkan pada bagian-bagian yang ada pada
lambang Garuda Pancasila.
 Warna hitam menjadi warna kepala banteng yang terdapat di lambang Garuda Pancasila. Warna
hitam digunakan juga untuk warna perisai tengah latar belakang bintang, juga untuk mewarnai
garis datar tengah perisai. dan Warna hitam juga dipakai sebagai warna tulisan untuk semboyan
"Bhinneka Tunggal Ika".
 Warna merah digunakan untuk warna perisai kiri atas dan kanan bawah yang terdapat pada
lambang Garuda Pancasila.
 Warna hijau digunakan sebagai warna pohon beringin.
 Warna putih dipakai untuk warna perisai kiri bawah dan kanan atas. warna putih juga diberi
pada Pita yang dicengkeram oleh Burung Garuda Pancasila.
 Sedangkan Warna kuning diletakkan sebagai warna Garuda Pancasila, untuk warna bintang,
rantai, kapas, dan padi.

Makna Warna pada Garuda Pancasila

Ada beberapa warna yang terdapat pada Lambang Garuda Pancasila. Warna-warna yang dipakai
menjadi warna pada lambang Garuda Pancasila ini memiliki makna dan arti kurang lebih sebagai berikut.

 Warna putih memiliki arti kesucian, kebenaran, dan kemurnian.


 warna hitam memiliki makna keabadian.
 Warna merah memiliki artian keberanian.
 Warna hijau artinya adalah kesuburan dan kemakmuran.
 Warna kuning berarti kebesaran, kemegahan, dan keluhuran.

Anda mungkin juga menyukai