Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecatatan utama pada kelompok produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas. Diperkirakan 100.000 orang meninggal
setiap tahunnya dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat
yang memerlukan perawatn di rumah sakit, dua pertiga berusia di bawah
30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah
wanita, lebih dari setengah pasien cedera kepala mempunyai signifikasi
terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian
pada pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan
kurangnya kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya. Di
samping penerangan di lokasi kejadian dan selama transportasi ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.Lebih dari 50%
kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan
bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala,
75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang
selamat akan mengalami disabilitas.
Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian
maupun akibat kekerasan.Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non
degeneratif-non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral
yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan
psikososial baik sementara atau permanen. Trauma kepala dapat
menyebabkan kematian/ kelumpuhan pada usia dini.
Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan
menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada
anak-anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur

1
oleh benda keras.Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda
adalah kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena
kekerasan. Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada
usia dewasa; kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang
sebelumnya merupakan etiologi cedera utama, digantikan oleh jatuh pada
usia >45 tahun.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari cedera kepala?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi cedera kepala?
3. Bagaimana etiologi dari cedera kepala?
4. Bagaimana patofisiologi cedera kepala?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari cedera kepala?
6. Bagaimana komplikasi cedera kepala?
7. Pemeriksaan penunjang apa yang dilakukan cedera kepala?
8. Bagaimana penilaian dan manajemen prioritas pada cedera kepala?
9. Bagaimana penatalaksanaan cedera kepala?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian cedera kepala.
2. Untuk memahami klasifikasi cedera kepala.
3. Untuk memahami etiologi cedera kepala.
4. Untuk mengetahui patofisiologi cedera kepala.
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis cedera kepala.
6. Untuk mengetahui komplikasi cedera kepala.
7. Untuk mengerti pemeriksaaan penunjang cedera kepala.
8. Untuk mengetahui penilaian dan manajemen prioritas pada cedera
kepala.
9. Untuk memahami penatalaksanaan cedera kepala.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas. (Mansjoer Arif, dkk, 2000)

2
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa
terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala dapat meningkatkan resiko
kematian menjadi 10 kali lipat.( Widagdo, Wahyu, dkk. 2008)
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan
interstisial dalam substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas
otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).

Cedera kepala (terbuka & tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak


Cranio serebri (geger), Kontusio (memar) atau Laserasi & perdarahan
serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral batang otak).
Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselerasi atau deselerasi otak). Trauma sekunder akibat trauma syaraf
(mil akson) yang meluas hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau
hipertensi sistemik (Doengoes, 1993).

2.2 Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi Kepala
Tengkorak terbagi atas:
a) Tengkorak Otak

3
Tengkorak otak menyelubungi otak dan alat pendengar. Tengkorak
otak terdiri dari :
a. Kubah tengkorak
Kubah tengkorak yang berbentuk cembung menyelubungi
rongga tengkorak dari atas dan dari sisi. Kubah tengkorak terdiri
atas beberapa tulang ceper yang dihubungkan oleh sutura
tengkorak. Dari depan ke belakang terdapat berturut-turut
sebuah tulang dahi, sepasang tulang ubun-ubun dan sebuah
tulang belakang kepala. Pada dinding sisi kubah tengkorak
terdapat sepasang tulang pelipis. Tulang dahi, tulang belakang
kepala turut pula membentuk dasar tengkorak.
b. Dasar Tengkorak
Bagian dasar tengkorak dapat dibedakan 3 bagian, yaitu
lekuk tengkorak depan, lekuk tengkorak tengah dan lekuk
tengkorak belakang. Bagian tengah dasar lekuk tengkorak depan
dibentuk oleh tulang lapisan yang mempunyai banyak lubang
halus untuk memberi jalan kepada serabut-serabut saraf
penghidu, oleh karena itu bagian tulang lapisan tersebut
dinamakan lempeng ayakan yang merupakan atap bagi rongga
hidung.
Lekuk tengkorak tengah terdiri dari atas bagian tengah dan
dua bagian sisi, bagian tengah adalah pelana turki. Dasar lekuk
tengkorak belakang letaknya lebih rendah daripada dasar lekuk
tengkorak depan. Lekuk tengkorak belakang letaknya lebih
rendah lagi daripada lekuk tengkorak tengah
b) Tengkorak Wajah
Tengkorak wajah letaknya di depan dan di bawah tengkorak otak.
Lubang-lubang lekuk mata dibatasi oleh lubang dahi, tulang pipi
dan tulang rahang atas. Dinding belakang lekuk mata juga dibentuk
oleh tulang baji (sayap besar dan kecil). Dinding dalamnya
dibentuk oleh tulang langitan, tulang lapisan dan tulang air mata.
Selain oleh toreh lekuk mata atas dan oleh lubang untuk saraf

4
penglihat maka dinding lekuk mata itu tembus oleh toreh lekuk
mata bawah yang terletak antara tulang baji, tulang pipi dan tulang
rawan atas. Toreh itu mangarah ke lekuk wajah pelipis. Tulang air
mata mempunyai sebuah lekuk yang jeluk, yaitu lekuk kelenjar air
mata yang disambung ke arah bawah oleh tetesan air mata yang
bermuara di dalam rongga hidung.
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan sebagai scalp, yaitu :
1) Kulit
2) Jaringan penyambung (connective tissue)
3) Galae aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak.
4) Perikranium.
Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
mengakibatkan banyak kehilangan darah, (American
College of Surgeons 1997)
b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kalvakrium dan basis kranii.
Rongga tengkorak dasar adalah tempat lobus frontalis, fosa
medis adalah tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah
ruang bagi batang otak bawah dan serebelum, (American
College of Surgeons 1997)
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak yang
terdiri dari 3 lapisan, yaitu dura meter, arakhnoid dan pia meter.
Dura meter adalah selaput keras terdiri atas jaringan ikat
fibrosa yang melekat erat dan tabula interna atau bagian dalam
kranium. Di bawah dura meter terdapat lapisan kedua yang tipis
dan tembus pandang di sebut selaput arakhnoid. Lapisan ketiga
adalah pia mater yang melekat pada permukaan kortek serebri,
(American College of Surgeons 1997)
d. Sistem Saraf Pusat (SSP)

5
Sistem saraf pusat di sini adalah otak dan medula spinalis yang
tertutup di dalam tulang dan terbungkus dalam selapu-selaput
(meningen) pelindung, serta rongga yang berisi cairan.
1) Otak dan pembagiannya
Otak secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 bagian,
yaitu : serebrum, batang otak, dan serebelum.
a) Serebrum
Setiap hemisfer dibagi atas empat lobus yaitu : lobus
frontalis, parietal, oksipital, temporalis. Fungsi dari
setiap lobus berbeda-beda. Berikut penjelasan dari
masing-masing fungsi lobus :
1. Lobus Frontalis, bagian depan bekerja untuk
proses belajar, merancang, psikologi, lobus frontalis
bagian belakang untuk proses motorik termasuk
bahasa.
2. Lobus parietal, bekerja khusus untuk
sensorik somatik (misal sensibilitas kulit) dan peran
asosiasinya, beberapa areanya penting bagi proses
kognitif dan intelektual.
3. Lobus Oksipital, merupakan area
pengoperasian penglihatan.
4. Lobus temporalis, merupakan pusat
pendengaran dan asosiasinya, beberapa pusat bicara,
pusat memori. Bagian anterior dan basal lobus
temporalis penting untuk indra penghidu.
b) Batang Otak
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula
oblongata. Masing-masing struktur mempunyai
tanggung jawab yang unik dan fungsi ketiganya sebagai
unit untuk menjalankan saluran impuls yang
disampaikan ke serebri dan lajur spinal.
1. Otak Tengah, merupakan bagian pendek dari
batang otak yang letaknya di atas pons. Bagian ini
terdiri dari bagian posterior yaitu tektum yang terdiri
dari bagian bagian kolikuli superior dan kolikuli

6
inferior dan bagian anterior yaitu pedunkulus
serebri. Kolikuli superior berperan dalam refleks
penglihatan dan koordinasi gerakan penglihatan,
sedangkan kolikuli inferior berperan dalam reflek
pendengaran, misalnya menggerakkan kepala ke
arah datangnya suara. Pedunkulus serebri terdiri dari
berkas serabut-serabut motorik yang berjalan turun
dari serebelum.
2. Pons, terletak diantara otak tengah dan
medula oblongata. Pons berupa jembatan serabut-
serabut yang menghubungkan kedua hemisfer
serebelum, serta menghubungkan mesensefalon di
sebelah atas dengan medula oblongata bawah. Pons
merupakan mata rantai penghubung yang penting
pada jaras kortikoserebelaris yang menyatukan
hemisfer serebri dan serebelum. Bagian bawah pons
berperan dalam pengaturan saraf kranial trigeminus,
abdusen dan fasialis (lihat gambar 2)
3. Medula Oblongata, terletak diantara pons
dan medula spinalis. Pada medula ini merupakan
pusat refleks yang penting untuk jantung.
Vasokonstriktor, pernapasan, bersin, batuk, menelan,
pengeluaran air liur dan muntah.
c) Serebelum
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior
dan ditutupi oleh durameter yang menyerupai atap
tenda, yaitu tentorium yang memisahkan dari bagian
posterior serebrum. Serebelum terdiri dari bagian
tengah, vermis dan dura hemisfer lateral. Serebelum
dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas
serabut yang dinamakan pedunkulus. Pendukulus
serebeli superior berhubungan dengan mesensefalon ;

7
pendukulus serebeli media menghubungkan kedua
hemisfer otak ; sedangkan pendukulus serebeli inferior
berisi serabut-serabut traktus spinosere belaris dorsalis
dan berhubungan dengan medula oblongata. Semua
aktivitas serebelum berada di bawah kesadaran. Fungsi
utama serebelum adalah sebagai pusat refleks yang
mengkoordinasi dan memperluas gerakan otot, serta
mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk
mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
2) Medula Spinalis
Medula spinalis terletak di dalam kanalis neural dari
kolumna vertebra, berjalan ke bawah dan memenuhi kanalis
neural sampai setinggi vertebra lumbalis kedua. Sepasang
saraf spinalis berada diantara pembatas vertebra sepanjang
kolumna vertebra. Di bawah ujung tempat medula spinalis
berakhir. Di dalam ujung tempat medula spinalis terletak
interneuron, serabut sensori, asenden, serabut motorik
desenden dan badan sel saraf dan dendrit somatik sekunder
(volunter) dan motor neurons otonom utama. Area sentral
medula spinalis merupakan massa abu-abu yang
mengandung badan sel saraf dan neuron internunsial.
e. Sistem Saraf Tepi (SST)
Menurut Price & Wilson, (1995) susunan saraf tepi terdiri dari
saraf kranial bervariasi, yaitu sensori motorik dan gabungan
dari kedua saraf. Saraf motorik dipersarafi oleh beberapa
percabangan saraf kranial, 12 pasang saraf kranial adalah :
1) Nervus I (Olfaktorius) : Sifatnya sensorik
mensarafi hidung membawa rangsangan aroma (bau-bauan)
dari aroma rongga hidung ke otak.
2) Nervus II (Optikus) : Sifatnya sensorik,
mensarafi bola mata membawa rangsangan penglihatan ke
otak

8
3) Nervus III (Okulomotorius) : Sifatnya motorik,
mensarafi otot-otot orbital (otot penggerak bola mata) /
sebagai pembuka bola mata.
4) Nervus IV (Trochlear) : Sifatnya motorik,
mensarafi otot-otot orbital, sebagai pemutar bola mata
5) Nervus V (Trigeminus) : Sifatnya majemuk
(sensorik- motorik) bertanggung jawab untuk pengunyah.
6) Nervus VI (Abdusen) : Sifatnya motorik,
sebagai pemutar bola mata ke arah luar
7) Nervus VII (Fasial) : Sifatnya majemuk
(sensorik- motorik), sebagai mimik wajah dan
menghantarkan rasa pengecap, asam, asin dan manis.
8) Nervus VIII (Vestibulokokhlearis) : Sifatnya
sensorik, saraf kranial ini mempunyai dua bagian sensoris
yaitu auditori dan vestibular yang berperan sebagai
penterjemah.
9) Nervus IX (Glosofharyngeal) : Berperan dalam
menelan dan respons sensori terhadap rasa pahit di lidah.
10) Nervus X (Vagus) : Sifatnya majemuk
(sensorik- motorik) mensarafi faring, laring dan platum
11) Nervus XI (Asesoris) : Sifatnya motorik, saraf
ini bekerja sama dengan vagus untuk memberi informasi ke
otot laring dan faring.
12) Nervus XII (Hipoglosal) : Sifatnya motorik,
mensarafi otot-otot lidah.
f. Sistem Saraf Otonom (SSO)
Sistem Saraf Otonom merupakan sistem saraf campuran.
Serabut-serabut aferennya membawa masukan dari organ-organ
viseral (menangani pengaturan denyut jantung, diameter
pembuluh darah, pernafasan, percernaan makanan, rasa lapar,
mual, pembuangan dan sebagainya). Saraf aferen motorik SSO
mempersarafi otot polos, otot jantung dan kelenjar-kelenjar
viseral-SSO terutama menangani pengaturan fungsi viseral dan
interaksinya dengan lingkungan dalam.

9
Sistem Saraf Otonom dibagi menjadi dua bagian : Bagian
Pertama adalah Sistem Saraf Otonom parasimpatis (SSOp) dan
Sistem Saraf Otonom simpatis (SSOs), bagian simpatis
meninggalkan sistem saraf pusat dari daerah thorakal dan
lumbal (torakolumbal) medula spinalis. Bagian parasimpatis ke
luar otak (melalui komponen-komponen saraf karanial) dan
bagian sakral medula spinalis (kraniosakral).
Fungsi simpatis adalah peningkatan kecepatan denyut
jantung dan pernapasan, serta menurunkan aktivitas saluran
cerna. Tujuan utama fungsinya adalah mempersiapkan tubuh
agar siap menghadapi stress atau apa yang dinamakan respon
lari.
Fungsi parasimpatis adalah menurunkan kecepatan denyut
jantung dan pernapasan dan meningkatkan pergerakan saluran
cerna sesuai dengan kebutuhan pencernaan dan pembuangan.
Jadi saraf parasimpatis membantu konservasi dan hemostatis
fungsi-fungsi tubuh.
g. Cairan Serebrospinal
Fungsi cairan serebrospinal adalah sebagai penahan
getaran, menjaga jaringan SSP yang sangat halus dari benturan
terhadap struktur tulang yang mengelilinginya dan dari cedera
mekanik. Juga berfungsi dalam pertukaran nutrien antara
plasma dan kompartemen selular. Cairan serebrospinal
merupakan filtrat plasma yang dikeluarkan oleh kapiler di atap
dari keempat ventrikel otak. Seperti yang telah disebutkan, ini
serupa dengan plasma minus plasma protein yang besar, yang
ada di balik aliran darah. Sebagaian besar cairan ini dibentuk
dalam ventrikel bagian lateral, yang terletak pada masing-
masing hemisfer serebri.
Cairan mengalir dari ventrikel lateral ini melalui duktus ke
dalam ventrikel ketiga diensefalon. Dari ventrikel ketiga cairan
mengalir melalui aquaduktus Sylvius midbrain dan masuk ke
ventrikel keempat medula. Kemudian sebagian dari cairan ini

10
masuk melalui lubang (foramen) di bagian atas dari ventrikel
ini dan masuk ke dalam spasium subarakhnoid (sejumlah kecil
berdifusi ke dalam kanalais spinalis). Dalam spasium
subarakhnoid, CSS diserap kembali ke dalam aliran darah pada
tempat tertentu yang disebut pleksus subarakhnoid.
Pembentukan dan reabsorbsi CSS diatur oleh tekanan
osmotik koloid dan hidrostatik yang sama yang mengatur
perpindahan cairan dan partikel-partikel kecil antara plasma
dan kompartemen cairan interstisial tubuh. Secara singkat
direview, kerja dari tekanan ini adalah sebagai berikut : dua tim
yang berlawanan dari tekanan mendorong dan menarik
mempengaruhi gerakan air dan partikel-partikel kecil melalui
membran kapiler semipermiabel. Satu tim terdiri atas tekanan
osmotik plasma dan tekanan hidostatik CSS. Ini memudahkan
gerakan air dari kompartemen CSS ke dalam plasma. Gerakan
air dari arah yang berlawanan dipengaruhi oleh tim dari tekanan
hidrostatik plasma dan tekanan osmotik CSS. Tim yang
berpengaruh bekerja secara simultan dan kontinu. Dalam
ventrikel, aliran CSS menurunkan tekanan hidrostatik CSS. Hal
ini memungkinkan tim bersama mempengaruhi gerakan air dan
partikel kecil dari plasma ke ventrikel.
Tekanan hidrostatik darah yang rendah dalam sinus venosus
bersebelahan dengan vili arakhnoid menunjukkan skala untuk
gerakan air dan terlarut dari kompartemen CSS kembali ke
dalam aliran darah. Kematian sel-sel yang melapisi
kompartemen CSS akan mengeluarkan protein ke dalam
CSS. Ini akan meningkatkan tekanan osmotik CSS dan
memperlambat reabsorbsi (sementara juga mempercepat
pembentukan bila kerusakan terjadi di dalam dinding ventrikel).
Peningkatan protein CSS karena hal ini atau penyebab lain
dapat merangsang atau mencetuskan kondisi kelebihan CSS
yang disebut hidrosefalus.

11
h. Tekanan Intrakranial
Menurut American College of Surgeon, (1997) berbagai
proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan
mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk
terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intrakranial yang
tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu
fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan
penderita. Jadi kenaikan intrakranial tidak hanya merupakan
indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering
merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat
kira-kira 10 mmHg (136 mm H 2O), TIK lebih tinggi dari 20
mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg
termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK
setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.

2.3 Etiologi
1. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera lokal.
Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral,
kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4 bentuk :
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera
menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.
Klasifikasi Cedera Kepala
1. Menurut Jenis Cedera
a. Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada
tulang tengkorak dan jaringan otak

12
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan
geger otak ringan dan oedem serebral yang luas
2. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma
Scale)
a. Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
1) GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
2) Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
3) Tak ada fraktur tengkorak
4) Tak ada contusio serebral (hematom)
5) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
6) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
7) Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma
kulit kepala
8) Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang
1) GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
2) Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24
jam (konkusi)
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak
4) Amnesia pasca trauma
5) Muntah
6) Kejang
c. Cedera kepala berat
1) GCS 3-8 (koma)
2) Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan
kesadaran progresif)
3) Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
4) Tanda neurologist fokal
5) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
3. Menurut morfologi
a. Fraktur tengkorak
Kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup.
Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa
kelumpuhan nervus VII
b. Lesi intracranial
Fokal: epidural, subdural, intraserebral.
Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difusi.

4. Cedera kepala primer dan sekunder


Berdasarkan patologinya, cedera kepala diklasifikasikan menjadi
cedera kepala primer, kerusakan otak sekunder, edema serebral

13
perifokal generalisata, dan pergeseran otak (brain shift)-herniasi batang
otak (Satyanegara, 2010).
Cedera kepala primer dapat berupa (Satyanegara, 2010):
a. Fraktur linier, depresi, basis kranii, kebocoran likuor.
b. Cedera fokal berupa kontusi kup atau konterkup,hematom
epidural, subdural, atau intraserebral.
c. Cedera difus berupa konkusi ringan atau klasik atau berupa
cedera aksonal difusa yang ringan, moderat, hingga berat.
d. Trauma tembak.
Sedangkan kerusakan otak sekunder, dapat berupa (Satyanegara,
2010):
a. Gangguan sistemik : akibat hipoksia-hipotensi, gangguan
metabolisme energi, dan kegagalan otoregulasi.
b. Hematom traumatika: epidural, subdural (akut dan kronis),
atau intraserebral.
Cedera kepala traumatik dikategorikan menjadi beberapa derajat,
yaitu ringan (80%), sedang (10%), atau berat (10%), tergantung
dari tingkat disfungsi neurologis pada saat penilaian. Penentuan
dengan Glasgow Coma Scale (GCS) sangat penting dilakukan
sesegera mungkin, dan dilakukan secara beberapa kali. Loss of
consciousness (LOC) merupakan indikator penting dari cedera
kepala traumatic.
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Intrakranial dan
Tekanan Perfusi Serebral
 Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Intrakranial
Besarnya ICP ini ditentukan oleh 3 compartment.
1. Jaringan otak sendiri
2. Volume darah otak(CBV)
3. Volume atau tekanan CSF
Tetapi yang paling utama adalah CBF dan mekanisme CSF.
Semua keadaan yang meningkatkan CBF, produksi CSF dan tahanan
reabsorbsi CSF bisa meningkatkan ICP ditunjang oleh penurunan
compliance craniospinal. Salah satu faktor yang paling penting
mengontrol CBF adalah PaCO2, dimana kalau PaCO2 meningkat
terjadi vasodilatasi cerebral dan CBF meninggi sedangkan bila

14
PaCO2 menurun (hipokarbia) menyebabkan vasokonstriksi cerebral
dan CBF menurun.
Dikatakan setiap kenaikan 1mmHg PaCO2 diantara 20-
80mmHg akan menaikkan CBF sebesar 1-2cc per 100g otak
permenit. CO2 akan merubah tonus vascular cerebral dengan
merubah pH extracellular fluid(ECF) cerebral. Dengan terjaminnya
jalan nafas yang bebas dan dengan teknik hiperventilasi diharapkan
penurunan PaCO2 dengan demikian baik CBF maupun ICP akan
turun. Sebaiknya PaCO2 dipertahankan dalam batas antara 20-
30mmHg. Bila hiperventilasi berlebihan ditakuti terjadi iskemia
cerebral oleh karena vasokonstriksi cerebral yang hebat. Tetapi ini
baru terjadi bila PaCO2 dibawah 20mmHg. Hal ini jarang terjadi
pada dewasa yang sehat tetapi mungkin sering pada anak2 atau
penderita dengan hipotermia. Oleh karena itu bila PaCO2 tak bisa
dimonitor maka ventilasi harus dikalkulasi secara teliti sebaiknya
menghitung minute volume waktu pernafasan spontan.

2.4 Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekwensi patofisiologi dari trauma kepala.
Cedera percepata (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam seperti trauma akibat pukulan benda tumpul,
atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak,
seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba – tiba tanpa kontak langsung
seperti yang terjadi bila posisi badan berubah secara kasar adan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi
alaba dan batang orak.
Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak. Landasan

15
substansi alba, cerdera robekan atau hemoragi sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi dikurangi atau
tidak ada pada area cedera. Konsekwensinya meliputi : hiperemia
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler
serta vasodilatasi, semua menimbulkan peningkatan isi intra kronial dan
akhirnya peningkatan tekanan intra kranial (TIK). Beberapa kondisi yang
dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia dan hipotensi.
Bennarelli dan kawan – kawan memperkenalkan cedera “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk
menggunakan hasil dengan lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan lokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intra
serebral serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan
massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan
dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk
yaitu : cedera akson menyebar hemoragi kecil multiple pada seluruh otak.
Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang
otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak
atau dua – duanya, situasi yang terjadi pada hampir 50 % pasien yang
mengalami cedera kepala berat bukan karena peluru.
Akibat dari trauma otak ini akan bergantung :
1. Kekuatan benturan
Makin besar kekuatan makin parah kerusakan, bila kekautan itu
diteruskan pada substansi otak, maka akan terjadi kerusakan
sepanjang jalan yang dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran
kekuatan itu.
2. Akselerasi dan deselerasi
Akselerasi adalah benda bergerak mengenai kepala yang diam.
Deselerasi adalah kepala membentur benda yang diam. Keduanya
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-
tiba tanpa kontak langsung. Kekuatan ini menyebabkan isi dalam
tengkorak yang keras bergerak dan otak akan membentur permukaan
dalam tengkorak pada otak yang berlawanan.
3. Kup dan kontra kup

16
Cedera “cup” mengakibatkan kebanyakan kerusakan yang relatif dekat
daerah yang terbentur, sedangkan kerusakan cedera “kontra cup”
berlawanan pada sisi desakan benturan
4. Lokasi benturan
Bagian otak yang paling besar kemungkinannya menderita cedera
kepala terbesar adalah bagian anterior dari lobus frantalis dan
temporalis, bagian posterior lobus aksipitalis dan bagian atas
mesensefalon.
5. Rotasi
Pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan trauma regangan
dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
6. Fractur impresi
Fractur impresi sebabkan oleh suatu keluaran yang mendorong
fragmen tentang turun menekan otak yang lebih dalam ketebalan
tulang otak itu sendiri, akibat fraktur ini dapat menimbulkan kontak
cairan serebraspimal (CSS) dalam ruang sobarachnoid dalam sinus
kemungkinan cairan serebraspinoa (CSS) akan mengalir ke hidung,
telinga, menyebabkan masuknya bakteri yang mengkontaminasi
cairan spinal

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala.
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling
sensitive yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma
Scale)
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri
kepala karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang
disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah
seringkali proyektil.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang cidera kepala ringan:
1. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh.

17
2. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
3. Mual atau dan muntah.
4. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
5. Perubahan keperibadian diri.
6. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang cidera kepala berat:
1. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan
di otak menurun atau meningkat.
2. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
3. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan).
4. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstrimitas.

2.6 Komplikasi
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang
terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan
di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian
setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita
yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di
kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di
kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau
valproat) biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat
tersebut sering diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera
kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini
seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang
tak terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan
bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita
tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak
yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah
kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian

18
manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau
infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang
terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis
atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang
mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat
melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat
menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda
tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu
dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok
atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan
benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan
temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya
disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera
kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita
mengalami perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan
untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang
sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya
dimengerti.
Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan
peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi
retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya
kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung
selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada
beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera
otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.
6. Fistel Karotis-kavernosus

19
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit
orbita, dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan
terapi dengan oklusi balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya
penglihatan yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien
mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan
hipernatremia dan deplesi volum.

8. Kejang pasca trauma


Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama)
atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan
predisposisi untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang
meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan
dengan antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal
Kebocoran cairan serebrospinal dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien dengan cedera kepala
tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah
beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat
proses ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang
meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih controversial.
Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis
berulang merupakan indikasi untuk reparative.
10.Edema serebral & herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi
72 Jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan
tidak teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK.
Penekanan dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus &

20
cairan otak bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus
menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat,
terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran
supratentorial & menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong
hemusfer otak kebawah / lateral & menekan di enchephalon dan
batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf
oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme
kesadaran, TD, nadi, respirasi dan pengatur akan gagal.

11.Defisit Neurologis dan Psikologis


Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran,
Nyeri kepala hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari
peningkatanTIK).

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. CT-Scan (dengan/ tanpa kontras) : Mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Aniografi Cerebral : Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray : Mengidentifikasi atau mendeteksi perubahan struktur
tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/ edema).
4. AGD (Analisa Gas Darah) : Mendeteksi ventilasi atau masalah
pernapsan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan intracranial.
5. Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebgai
akibat peningkatan tekanan intracranial.
6. MRI : Sama dengan scan CT dengan atau tanpa menggunakan
kontraks.
7. EEG : Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis
8. BAER (Brain Auditory Edvoked Respon) : Menentukan fungsi
korteks dan batang otak.

21
9. PET (Positron Emission Tomografhy) : Menunjukkan perubahan
aktifitas metabolisme pada otak
10. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya
pendarahan subarakhonoid
11. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi
atau oksigenisasi yang akan dapat meningkatkan TIK
12. Kimia atau elektrolit darah : mengetahui keseimbangan yang
berperan dalam meningkatkan TIK atau perubahan mental
13. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhdap penurunan kesadaran
14. Kadar Anti Konvulsan Darah : dapat dilakukan untuk
mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang

2.8 Penilaian dan Manajemen Prioritas pada Cedera Kepala


a. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis,
pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma
parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah
untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang
mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey
antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary
survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar
dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah
sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat
melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang
telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll,

22
sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu
dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997).
Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh
tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik
adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian
intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui
pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
a) Pengkajian Airway
Pasien yang tidak sadar memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Pasien memiliki masalah pada kepatenan jalan nafas
sehingga pasien tidak bisa bernafas bebas. Adanya obstruksi pada
jalan nafas yang ditandai dengan adanya gurgling.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuai indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Oropharyngeal airway
b) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Gerakan dada simetris, irama nafas dangkal, pola nafas tidak
teratur, adanya retraksi otot dada. Pernafasan 35 kali/menit. Ketika
dipalpasi tidak adanya gerakan trakea.
c) Pengkajian Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,
antara lain :
 Cek nadi : Nadi pasien terasa
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian penekanan secara langsung.
d) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU dan didapatkan pasien memiliki respon unresponsive to pain.
GCS 8, ada refleks terhadap cahaya.
e) Expose, Examine dan Evaluate

23
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.
Terdapat lesi pada kaki, tidak ada deformitas dan edema.

b. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary
survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian
tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

2.9 Penatalaksanaan Cedera Kepala


Menurut Mansjoer, (2000) penatalaksanaan cedera kepala adalah :
1. Cedera Kepala Ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke
rumah tanpa perlu dilakukan CT-Scan bila memenuhi kriteria berikut :
a. Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental
dan gaya berjalan) dalam batas normal.
b. Foto servikal jelas normal
c. Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati
pasien 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali
kebagian gawat darurat jika timbul gejala yang lebih buruk
Kriteria perawatan di rumah sakit :
1) Adanya perdarahan intrakranial atau fraktur yang tampak
pada CT Scan.
2) Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
3) Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
4) Intoksikasi obat atau alkohol
5) Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
6) Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati
pasien di rumah.
2. Cedera Kepala Sedang
Pasien yang menderita konkusi otak (comotio cerebri), dengan skala
GCS 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT
Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk
observasi di rumah,meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah,

24
pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang
bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera Kepala Berat
Setelah penilaian awal dan stabilitasi tanda vital,keputusan segera
pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf
segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus
segera dikonsultasikan ke bedah saraf untuk tindakan operasi.
Penatalaksanaan cedera kepala berat sebaiknya perawatan dilakukan
di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan
untuk kerusakan primer akibat cedera kepala, tetapi sebaiknya dapat
mengurangi kerusakan otaksekunder akibat hipoksia, hipertensi, atau
tekanan intrakranial yang meningkat.
Dalam unit rawat intensif dapat dilakukan hal-hal berikut :
a. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi
b. Monitor tekanan darah
c. Pemasangan alat monitor tekanan intraktranial pada pasien
dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.
d. Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin
normal dan ringer laktat)
e. Nutrisi
f. Temperatur badan
g. Anti kejang fenitoin 15 – 20 mg/kg BB bolus intravena
h. Steroid deksametason 10 mg intravena setiap 4 – 6 jam
selama 48 – 72 jam
i. Antibiotik
j. Pemeriksaan
Dapat menberikan manfaat terhadap kasus yang ragu-ragu. Harus
dilakukan pemeriksaan sinar X tulang kepala, bila bertujuan hanya
untuk kepentingan medikolegal.

Penatalaksanaan Medis
1. Bedrest total
2. Pemberian obat-obatan

25
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya traumTerapi
hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20
% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %. Antibiotika yang mengandung
barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan
metronidasol.
Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah
tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %,
amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3
hari kemudian diberikan makanan lunak.
Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu
banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam
kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 –
3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urin nitrogen.
3. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

26
Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara hasil CT
Scan dengan nilai GCS pada pasien cedera kepala. Dimana hal ini dapat
dipengaruhi oleh efek buruk cedera kepala karena melalui mekanisme
langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung terjadi beberapa
saat setelah trauma terjadi sedangkan trauma secara tidak langsung
merupakan cedera otak sekunder yang bisa terjadi beberapa jam setelah
kejadian bahkan beberapa hari setelah penderita terpapar trauma. Cedera
otak sekunder terjadi karena perubahan aliran darah ke otak dan juga
terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena meningkatnya volume isi
kepala.Kedua mekanisme tersebut memperberat cedera otak yang sudah
ada.Cedera otak bisa menimbulkan dampak fisik, kognitif, emosi dan
sosial. Prognosis cedera otak bisa sangat bervariasi dari mulai sembuh
total sampai cacat menetap bahkan kematian.

3.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi
makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian
hari.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Krisanti, Paula. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: Trans Info
Media.

27
Tarwoto, dkk. 2015. Anatomi dan Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan.
Jakarta: Trans Info Media.
Rendi, M Klevo. 2012. Asuhan Keperawatan Medical Bedah Penyakit Dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika
Widagdo, wahyu, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Trans Info Media.
Yutami, Annisa, dkk. 2016. Hubungan Skor Glasgow Coma Scale ( GCS ) dengan
Jumlah Trombosit pada Pasien Cedera Kepala di IGD RSUD Ulin
Banjarmasin. Volume 12, Nomor 2

28

Anda mungkin juga menyukai