Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

PENATALAKSANAAN TINGKAH LAKU PADA ANAK

Disusun oleh :

Aulia Syafira Ningrum


160112160066

Penguji: Dr.drg.Eriska Riyanti,Sp.KGA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan ridho-

Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi kewajiban ujian

departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak.

Kelancaran penyusunan makalah ini tidak luput dari bantuan berbagai pihak,

baik moral dan materi dalam bentuk bimbingan, dukungan, motivasi, pengambilan

keputusan, dan saran maupun kritik yang membangun. Pada kesempatan ini, penulis

ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.drg.Eriska Riyanti,

Sp.KGA sebagai dosen penguji.

Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan dalam makalah ini. Semoga Allah

SWT memberikan berkah dan rahmat-Nya atas kebaikan semua pihak, serta semoga

makalah ini dapat menjadi satu karya yang bermanfaat dan menambah pengetahuan

bagi pembacanya.

Bandung, September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................i


DAFTAR ISI ...............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN . .........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................3

2.1 Klasifikasi Tingkah Laku Anak ..............................................................................3


2.1.1 Tingkah Laku Anak menurut Wright ............................................................3
2.1.2 Tingkah Laku Anak Menurut Frank ..............................................................l4
2.2 Faktor yang Mempengaruhi Tingkah Laku Anak ..................................................4
2.2.1 Orang Tua ......................................................................................................4
2.2.2 Keadaan Fisik ................................................................................................8
2.2.3 Riwayat Medis ...............................................................................................9
2.2.4 Kesadaran mengenai Permasalahan Gigi dan Mulut .....................................10
2.3 Segitiga Perawatan Anak .......................................................................................11
2.4 Teknik Penatalaksanaan Tingkah Laku Anak ........................................................12
2.4.1 Penatalaksanaan Non-farmakologis ..............................................................13
2.4.2 Penatalaksanaan Farmakologis ......................................................................21
2.5 Teknik Penatalaksanaan Tingkah Laku Anak Lanjutan .........................................29
2.5.1 Stabilisasi Pelindung .....................................................................................30
2.5.2 Hand Over Mouth Exercise (HOME) ............................................................34

BAB III PENUTUP ....................................................................................................37


DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................38

ii
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

Gambar 2.1 Skema segitiga perawatan gigi anak (Pinkham, et al., 2005)......11

Gambar 2.1 Mesin dan tabung N2O-O2 (Welbury, 2001)...............................26

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

Keberhasilan perawatan gigi pada anak ditentukan oleh pengetahuan klinis,

keterampilan dokter gigi, serta kesanggupan anak untuk bekerja sama selama

perawatan. Pada umumnya, anak yang datang ke praktik dokter gigi besikap kooperatif,

tetapi ada sebagian anak yang bersikap non kooperatif dan memiliki tingkah laku

negatif terhadap perawatan gigi. Tingkah laku anak ditentukan oleh beberapa faktor,

yaitu perkembangan psikologis, pengaruh dari orang tua, keadaan fisik anak, dan rasa

takut (Masitahapsari et al., 2009).

Terdapat tiga komponen penting dalam perawatan gigi anak. Skema komponen

digambarkan dalam bentuk segitiga yang dikenal sebagai segitiga perawatan gigi anak.

Masing-masing sudutnya diisi oleh dokter gigi, keluarga (terutama ibu), dan anak

sebagai pasien terletak pada puncak segitiga. Segitiga tersebut saling berhubungan

secara dinamik dan bertujuan agar anak bersikap kooperatif sehingga perawatan gigi

dapat berjalan efektif (Finn, 1973).

Anak dapat bersikap kooperatif dan menerima perawatan gigi dengan baik

apabila diperlakukan sesuai dengan dasar-dasar penatalaksanaan tingkah laku. Oleh

karena itu, dokter gigi yang merawat pasien anak harus memiliki pengetahuan dan

mampu melakukan perawatan sesuai dengan pedoman teknik penatalaksanaan tingkah

laku anak agar anak bersikap kooperatif terhadap perawatan gigi. Teknik

penatalaksanaan tingkah laku diklasifikasikan menjadi penatalaksanaan farmakologis

dan non farmakologis, komunikatif (komunikasi dan panduan komunikatif) dan teknik

1
2

penatalaksanaan tingkat lanjut. Penatalaksanaan tingkah laku pada anak adalah dasar

untuk memulai perawatan gigi untuk mengembangkan sikap anak agar mau menjalani

perawatan sehingga dicapai kesehatan gigi dan mulut tanpa menimbulkan rasa takut.

(Roberts, 2010; AAPD, 2015).

Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin membahas mengenai penatalaksanaan

tingkah laku anak dalam perawatan gigi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Tingkah Laku Anak

2.1.1 Tingkah Laku Anak Menurut Wright

Menurut Wright (1975), tingkah laku anak diklasifikasikan sebagai

berikut:

1.Kooperatif

Anak-anak yang kooperatif terlihat santai dan rileks. Mereka sangat

antusias menerima perawatan gigi. Mereka dapat dirawat dengan sederhana dan

mudah tanpa mengalami kesulitan pendekatan tingkah laku.

2. Kurang Kooperatif

Anak yang berusia sangat muda dan belum dapat berkomunikasi dengan

baik tergolong ke dalam pasien yang kurang kooperatif. Selain itu, anak yang

memiliki keterbatasan yang spesifik juga termasuk dalam tipe ini.

3.Potensial Kooperatif

Anak yang termasuk ke dalam potensial kooperatif adalah anak yang

memiliki permasalahan tingkah laku. Tipe ini berbeda dengan anak-anak

kooperatif karena anak mempunyai kemampuan untuk menjadi kooperatif. Ini

merupakan perbedaan yang penting. Ketika memiliki ciri khas sebagai pasien

yang potensial kooperatif, tingkah laku anak tersebut bisa diubah menjadi

kooperatif.

3
4

2.1.2 Tingkah Laku Anak menurut Frankl

Menurut Frankl, tingkah laku anak dibagi menjadi 4 skala, yaitu sebagai

berikut:

1. Sangat negatif: menolak perawatan, menangis dengan keras, ketakutan

atau adanya bukti penolakan secara terang-terangan.

2. Negatif: enggan menerima perawatan, tidak kooperatif, perilaku negatif,

tetapi tidak diucapkan (hanya muram dan tidak ramah).

3. Positif: menerima perawatan, kadang-kadang sangat hati-hati, ikhlas

mematuhi perintah dokter gigi, kadang-kadang timbul keraguan, tetapi

pasien mengikuti perintah dokter gigi dengan kooperatif.

4. Sangat positif: sangat positif sikapnya terhadap terhadap dokter gigi,

tertarik dengan prosedur perawatan, tertawa, dan menikmati perawatan

yang dilakukan dokter gigi.

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Tingkah Laku Anak terhadap Perawatan Gigi

Anak yang sangat takut atau cemas memiliki pengalaman kunjungan yang tidak

menyenangkan sebelumnya daripada anak yang memiliki tingkat ketakutan atau

kecemasan yang lebih rendah. kecemasan atau rasa takut mempengaruhi tingkah laku

anak dan secara luas menentukan keberhasilan perawatan gigi. Ada beberapa faktor

yang mempengaruhi tingkah laku anak, yaitu (Masitahapsari,2009; Singh,2014):

2.2.1 Orang Tua

Kecemasan ibu lebih sering daripada ayah untuk menemani anak ke

dokter gigi. Efek dari kecemasan ibu terhadap kunjungan ke dokter gigi anak

telah menerima cukup perhatian dalam literatur kedokteran gigi. Mayoritas


5

penelitian menunjukkan korelasi yang signifikan antara kecemasan ibu dan

tingkah laku kooperatif anak pada kunjungan perawatan gigi yang pertama.

Tingkat kecemasan pada sebagian orang tua cenderung mempengaruhi tingkah

laku negatif anak-anak mereka.

Sikap orang tua terhadap anak dan pandangan/falsafah orang tua

mengenai pendidikan serta disiplin anak dapat mempengaruhi tingkah laku anak.

Dokter gigi perlu melihat pengaruh orang tua dan lingkungannya terhadap cara

berpikir dan tingkah laku seorang anak agar perawatan dapat berjalan dengan

baik. Pengamatan pada anak dapat dilakukan dengan berbicara dan bertanya

pada orang tua mengenai keadaan rumah tangga dan bentuk tingkah laku anak.

Sikap orang tua terhadap perawatan gigi akan tercermin pada anaknya dan akan

berpengaruh terhadap kerjasama anak. Menurut Gesell dan Ilg terdapat 3 macam

falsafah yang umum dianut orang tua dalam mendidik anak yaitu:

1. Otoriter (Disiplin Keras)

Paham ini menghendaki kesempurnaan dalam segala hal

(perfeksionisme). Orang tua yang otoriter menganggap anak-anak yang sedang

membentuk kebiasaan-kebiasaan tersebut dapat dibentuk tingkah lakunya

menurut ukuran tingkah laku tertentu. Hal ini menyebabkan anak bereaksi

negatif karena merasa tidak aman dan bertindak bertolak belakang dari yang

diinginkan.

2. Liberal (Laissezfair)

Paham ini berpendapat “Dunia berputar dengan sendirinya”, orang tua

hanya sedikit campur tangan terhadap pendidikan anaknya, sehingga cenderung

membiarkan anak karena anak akan mengetahui dan memilih apa yang terbaik
6

baginya. Orang tua kurang memberikan bimbingan fisik maupun mental

sehingga anak-anak menunjukkan gejala kurang perhatian (under affection).

3. Perkembangan (Developmental)

Paham ini mengakui adanya kekuatan keturunan dan merupakan

kombinasi dari kedua paham di atas dengan tujuan mengembangkan potensi

terbaik pada anak. Paham ini memberikan kepercayaan pada anak untuk

pengaturan diri dan penyesuaian diri setelah diberi pengarahan yang baik.

Falsafah yang dianut orang tua merupakan interaksi yang mereka peroleh dari

orang tua mereka dan melihat bagaimana hubungan anak dengan orang tuanya.

Beberapa sikap orang tua telah diidentifikasi dan dapat menentukan tingkah laku

tertentu yang kurang baik pada anak-anak, sikap tersebut antara lain sebagai

berikut:

1) Over Affection

Keadaan ini kemungkinan terjadi karena pernikahan pada usia lanjut,

anak tunggal, anak bungsu, atau anak angkat. Orang tua biasanya memanjakan,

melindungi di luar batas, khawatir yang berlebihan, dan terlalu menuruti

kehendak anak. Orang tua cenderung mempunyai sikap kasih sayang yang

berlebihan dan tidak memberi kesempatan pada anak untuk berkembang. Anak

dapat menjadi gugup, penuh rasa takut, dan menarik diri.

2) Over Protection

Orang tua tidak memberi kesempatan kepada anak untuk belajar

mengatasi permasalahan. Sebagai akibatnya, anak menjadi pemalu, takut

terhadap situasi yang baru, dan kurang rasa percaya diri. Anak sering menolak

kewajiban dan tingkah laku tak bertanggung jawab.


7

3) Over Indulgence

Orang tua tidak membatasi keinginan dan kegiatan anak. Gejalanya

adalah anak suka ribut, berteriak, atau berbuat kekerasan jika kehendaknya tidak

dipenuhi. Anak belajar memanipulasi orang tuanya untuk memenuhi apa yang

mereka kehendaki.

4) Over-Anxiety

Biasanya terjadi pada keluarga yang pernah mengalami kehilangan anak

atau mempunyai anak tunggal. Perasaan perlindungan dan kasih sayang yang

melewati batas yang wajar sehingga pergaulan anaknya sangat dibatasi. Anak

menjadi tergantung pada orang tuanya dalam segala hal, anak menunjukkan

perasaan gelisah, mudah takut, pemalu, ditandai dengan anak suka menggigit

kuku.

5) Over Authority

Orang tua bersikap kritis, selalu mencari kesalahan anak, segala kegiatan

anak dibatasi sehingga anak sering mencari jalan dengan berdusta, kurang

hormat terhadap orang tuanya. Sebagai akibatnya, anak menyatakan perasaannya

dalam bentuk negativisme, berupa sikap acuh tak acuh, dan sulit diajak

berunding. Anak mengalami rasa takut yang berlebihan terhadap dokter gigi dan

biasanya akan menggunakan taktik penundaan sebagai cara untuk menghindari

perawatan gigi.

6) Under Affection

Orang tua kurang acuh terhadap anaknya, tidak mempunyai waktu untuk

anak karena alasan keadaan sosial atau keuangan. Hubungan ayah dan ibu yang

tidak harmonis, adanya ayah atau ibu tiri dapat menyebabkan perasaan anak
8

kurang aman. Orang tua yang menyerahkan anak ke panti asuhan dapat juga

menyebabkan kurang kasih sayang. Demikian juga pada keluarga yang tidak

stabil, ayah yang bersikap kurang baik, atau perselisihan antara ayah dan ibu di

masa lampau.

7) Rejection

Sikap ini dapat timbul karena kecurigaan antara ayah dan ibu, faktor

ekonomi, orang tua belum matang untuk berkeluarga, dan kurangnya rasa

tanggung jawab. Seorang anak yang merasa ditolak keberadaannya akan merasa

gelisah, hiperaktif, emosi tidak stabil, sukar berkonsentrasi. Anak yang

mempunyai orang tua seperti hal tersebut, akan berkembang menjadi orang yang

egois, kasar agresif kegiatannya berlebih-lebihan. Secara fisik anak yang

mendapat perlakuan tersebut suka memendam perasaan terhadap tindakan yang

menimbulkan rasa sakit.

2.2.2 Keadaan Fisik

Keadaan fisik anak dapat mempengaruhi tingkah laku dalam perawatan

gigi. Beberapa keadaan fisik yang perlu diperhatikan ketika merawat gigi anak,

yaitu:

1. Anak Sakit

Anak yang mendapat perawatan di rumah sewaktu sakit dalam jangka waktu

yang lama, permintaannya selalu dipenuhi dan dimanja, hal ini berlangsung

terus setelah anak sembuh. Sikapnya akan menyulitkan pada waktu dirawat

giginya. Sebaliknya anak yang dirawat dirumah sakit dalam waktu lama

bersama-sama anak lainnya yang sebaya sudah terbiasa menjalani perawatan dan
9

melihat perawatan yang beraneka ragam, sehingga sikapnya pada waktu

perawatan gigi akan lebih baik.

2. Keadaan Gizi

Gangguan gizi dapat menimbulkan gejala-gejala kelainan tingkah laku, anak

menjadi perasa, lemah dan gelisah, sehingga anak terganggu pada waktu dirawat

giginya.

3. Kelelahan Fisik/Mental

Hal ini dapat menyebabkan tingkah laku yang negatif pada waktu perawatan

gigi, misalnya tidurnya kurang. Sebaiknya anak-anak akan berobat gigi disuruh

tidur siang atau pengobatan gigi dilakukan pada pagi hari.

4. Anak dengan Keterbatasan Fisik

Cara –cara khusus perlu dilakukan pada anak yang memiliki keterbatasan

fisik/ mental. Anak yang menderita cerebral palsy, biasanya kurang mendapat

perhatian dalam ruang praktek dokter gigi. Selain cerebral palsy, berlaku pula

pada penderita epilepsi, tunarungu, tunawicara, atau tunadaksa

5. Hypochondriasis

Secara medis tidak ditemukan kelainan fisik, tetapi secara klinis penderita

merasa sakit yang berat dan ketakutan. Simptom yang terjadi dapat berupa sakit

kepala, kelemahan, mau muntah dan perasaan sakit didada dan panas. Keadaan

ini dapat diatasi dengan meyakinkan penderita bahwa dia tidak sakit.

2.2.3 Riwayat Medis

Riwayat merupakan faktor yang sangat kompleks yang telah diperdebatkan

selama bertahun-tahun. Beberapa dokter gigi anak percaya bahwa riwayat medis
10

memiliki sedikit pengaruh pada tingkah laku anak di klinik gigi, sedangkan yang

lain menganggapnya sebagai faktor utama yang mempengaruhi sikap kooperatif

anak-anak. Ada kesepakatan umum, bahwa anak-anak yang mendapatkan

pengalaman medis positif lebih mungkin untuk bersikap kooperatif dengan

dokter gigi.

Nyeri yang dialami selama kunjungan medis sebelumnya adalah

pertimbangan lain dalam sejarah medis anak. Rasa sakit mungkin sedang atau

hebat, nyata atau imajiner. Meskipun demikian, keyakinan orang tua tentang

rasa sakit medis masa lalu juga secara signifikan berkorelasi dengan tingkah

laku kooperatif anak-anak mereka di lingkungan gigi. Studi juga telah

menunjukkan bahwa pengalaman bedah sebelumnya negatif, mempengaruhi

tingkah laku pada kunjungan gigi pertama, tapi ini tidak terjadi pada kunjungan

berikutnya.

2.2.4 Kesadaran mengenai Permasalahan Gigi dan Mulut

Beberapa anak mungkin ke dokter gigi ketika mereka mengetahui bahwa

mereka memiliki masalah gigi.. Namun, ada kecenderungan terhadap tingkah

laku negatif pada kunjungan gigi pertama ketika anak percaya bahwa ada

masalah pada gigi. Tingkah laku tersebut dapat dihasilkan dari ketakutan yang

ditransmisikan kepada anak oleh orang tua. Dokter gigi memiliki peran untuk

menjelaskan kepada orang tua tentang pengaturan kunjungan pertama anak ke

dokter gigi sebelum ada masalah gigi.


11

2.3 Segitiga Perawatan Gigi Anak

Gambar 2.1 Skema segitiga perawatan gigi anak (Pinkham, et al., 2005)

Terlihat pada skema ini bahwa anak terletak pada puncak segitiga dan

mempunyai fokus perhatian dari keluarga dan dokter gigi. Peran keluarga dan

lingkungan keluarga harus dipertimbangkan. Tanda panah pada segitiga tersebut

menunjukkan bahwa hubungan antara ketiga unsur, yaitu pasien, anak, keluarga, dan

dokter gigi bersifat timbal balik (Pinkham, et al., 2005).

Dasar penerapan tingkah laku terhadap anak-anak adalah dengan membentuk

kemampuan untuk dapat mengarahkan mereka melalui pengalaman dental mereka. Pada

jangka pendek, kemampuan tersebut adalah prasyarat untuk menghasilkan kebutuhan

perawatan dental bagi mereka dalam waktu sesegera mungkin. Pada jangka panjang,

efek keuntungan dapat diperoleh ketika kesehatan gigi ke depannya di tanam sejak

kecil. Hal paling penting dalam perawatan pasien anak adalah hubungan yang dinamis

diantara ketiga sudut segitiga, yaitu pasien anak, keluarga dan dokter gigi (Koch G. dan

Poulsen S., 1991).


12

2.4 Teknik Penatalaksanaan Tingkah Laku Anak

Anak-anak menunjukkan berbagai perkembangan fisik, intelektual, emosional,

dan sosial serta keragaman sikap dan temperamen. Oleh karena itu, penting untuk

seorang dokter gigi memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan berbagai

teknik penatalaksanaan tingkah laku Pedoman tingkah laku bukan merupakan teknik

individual yang dibuat untuk menangani anak-anak, melainkan metode yang

komprehensif dan berkelanjutan untuk mengembangkan hubungan antara dokter dan

pasien sehingga dapat membangun kepercayaan, menghilangkan ketakutan, serta

kecemasan. Berbagai teknik dapat dilakukan untuk mengelola tingkah laku anak pada

saat perawatan gigi. Perpaduan antara komunikasi yang baik dan perhatian dokter gigi

pada anak merupakan kunci untuk menciptakan sikap kooperatif pada anak sehingga

perawatan dapat berjalan dengan lancar (AAPD, 2015; Pinkham, et al., 2005).

2.4.1 Penatalaksanaan Non-Farmakologis

Menurut American Academy of Pediatric Dentistry (2015), manajemen

komunikatif dan penggunaan instruksi yang tepat dapat diterapkan sebagai

penatalaksanaan non-farmakologis secara universal dalam bidang kedokteran gigi

anak untuk pasien yang kooperatif maupun tidak. Pada kunjungan pertama,

bertanya dan mendengarkan secara aktif/reflektif mampu membangun hubungan

dan kepercayaan anak terhadap dokter gigi.

Pertukaran informasi dua arah penting untuk memandu dan membentuk

sikap anak. Dokter gigi dapat menggunakan teknik instruksi yang tegas,

(misalnya, “Buka mulut yuk, supaya aku bisa memeriksa gigi kamu”, “Kamu

harus duduk diam ya sehingga kita bisa mengambil foto X-ray”) serta
13

memberitahu anak apa yang harus dilakukan untuk menjadi anak yang kooperatif.

Pengamatan bahasa tubuh anak diperlukan untuk mengkonfirmasi pesannya

diterima dan untuk menilai tingkat kenyamanan dan rasa sakit.

Manajemen komunikatif terdiri dari sejumlah teknik khusus, yaitu

pencitraan pra-kunjungan, pengamatan langsung, tell-show-do, ask-tell-ask,

kontrol suara, komunikasi nonverbal, positive reinforcement, distraksi, dan

restrukturisasi memori. Dokter gigi harus mempertimbangkan perkembangan

kognitif pasien dan keadaan defisit komunikasi lainnya (misalnya, gangguan

pendengaran), ketika memilih teknik manajemen komunikatif yang spesifik.

1. Citra Positif Pra-kunjungan

Pada teknik ini, anak diperlihatkan foto-foto atau gambar-gambar

perawatan gigi untuk membangun pemikiran positif anak di ruang tunggu

sebelum masuk ke ruang praktek dokter gigi. Tujuan dari citra positif pra-

kunjungan adalah untuk memberikan anak dan orang tua informasi visual

mengenai apa yang diharapkan selama kunjungan ke dokter gigi serta

memberikan anak pemicu untuk mengajukan pertanyaan yang relevan

kepada dokter gigi sebelum perawatan dimulai. Teknik ini diindikasikan

untuk semua pasien. Tidak ada kontraindikasi.

2. Observasi Langsung

Anak ditunjukkan video atau diizinkan untuk mengamati secara

langsung ketika ada seorang pasien muda yang kooperatif, yang sedang

menjalani perawatan gigi. Tujuan dari pengamatan langsung adalah untuk


14

memperkenalkan anak dengan tempat praktek dokter gigi dan langkah-

langkah khusus yang ada dalam prosedur perawatan gigi, serta memberi

pasien atau orang tua kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang

prosedur perawatan gigi. Indikasi teknik ini adalah semua pasien anak yang

datang ke tempat praktek dokter gigi. Tidak ada kontraindikasi.

3.Tell-Show-Do

Tell-show-do adalah teknik membentuk tingkah laku anak dan

merupakan salah satu teknik yang populer digunakan dalam kedokteran gigi.

Teknik ini melibatkan penjelasan prosedur secara verbal sesuai dengan

tingkat perkembangan anak atau menceritakan tentang perawatan yang akan

dilakukan (tell). Kemudian, dokter gigi menunjukkan (show);

memperlihatkan beberapa bagian perawatan, bagaimana hal tersebut akan

dikerjakan, dengan cara demonstrasi kepada pasien melalui pendengaran,

penglihatan, penciuman, maupun sentuhan tanpa menyimpang dari

penjelasan yang telah diberikan serta tanpa ancaman. Tahap terakhir adalah

melakukan (do), yaitu melakukan prosedur perawatan sesuai dengan yang

telah diceritakan dan didemonstrasikan. Teknik tell-show-do digunakan

dengan keterampilan komunikasi (verbal dan nonverbal) dan positive

reinfrcement.

Pada teknik ini, penjelasan yang diberikan tidak perlu panjang lebar

karena akan cenderung membingungkan anak dan dapat membangkitkan

kecemasan sehingga penjelasan harus dibuat sederhana agar anak mengerti.

Demikian pula demonstrasi harus diberikan dengan singkat dan sesuai


15

dengan prosedur perawatan sehingga perawatan yang sesungguhnya dapat

dilakukan tanpa tertunda.

Tujuan tell-show-do adalah untuk mengajarkan pentingnya kunjungan ke

dokter gigi, memperkenalkan anak dengan peralatan kedokteran gigi,

mengurangi rasa takut anak, membentuk respon anak terhadap prosedur

perawatan, dan menjelaskan mengenai tujuan perawatan gigi kepada anak.

Teknik ini diindikasikan untuk semua pasien anak, khususnya yang baru

pertama kali datang ke dokter gigi dan memiliki kecemasan pada perawatan

yang belum dikenali. Tidak ada kontraindikasi.

Beberapa hal yang dilakukan oleh dokter gigi pada teknik ini adalah

sebagai berikut:

1)
Memberikan pertanyaan sebelum, selama, dan setelah perawatan. Hal ini

dapat membangkitkan rasa percaya dan memberikan kesempatan kepada

anak untuk bekerja sama.

2) Saat anak memutuskan pilihan, dokter gigi harus selalu melaksanakan

pilihan tersebut. Oleh karena itu, jangan menanyakan anak mau atau

tidak giginya dirawat.

3) Memberikan anak kesempatan memegang alat dan menjelaskan fungsi

masing-masing alat. Hal ini diharapkan dapat mengurangi rasa takut,

meningkatkan perhatian, serta memberikan kesan bahwa mereka penting

sehingga dapat bekerja sama sukarela tanpa paksaan.

4) Memperkenalkan anak dengan ruang perawatan gigi dan perawatan yang

akan dilakukan sebaiknya tanpa membuat rasa takut sehingga


16

kepercayaan diri anak dapat diperoleh, lalu rasa takut berubah menjadi

keingintahuan dan sikap kooperatif.

4. Ask-Tell-Ask

Tahap awal dari teknik ini adalah bertanya mengenai kunjungan dan

perasaan anak terhadap prosedur perawatan yang telah direncanakan (ask).

Kemudian, dokter gigi menjelaskan prosedur perawatan melalui demonstrasi

dan bahasa yang tidak mengancam, yang sesuai dengan tingkat kognitif anak

(tell); lalu sekali lagi bertanya apakah anak mengerti dan bagaimana

perasaannya tentang perawatan yang akan dilakukan (ask). Jika pasien masih

memiliki keingintahuan, dokter gigi dapat kembali menyapa anak, menilai

keadaannya, dan memodifikasi prosedur atau teknik panduan

penatalaksanaan tingkah laku jika diperlukan.

Tujuan teknik ini adalah untuk menilai kecemasan yang dapat

menyebabkan perilaku tidak patuh selama perawatan, mengajarkan pasien

tentang prosedur perawatan dan bagaimana prosedur tersebut akan tercapai,

serta mengonfirmasi pasien apakah merasa nyaman dengan perawatan

sebelum melanjutkan prosedur selanjutnya. Indikasi teknik ini adalah untuk

pasien anak yang sudah bisa berdialog. Tidak ada kontraindikasi.

5. Kontrol Suara

Kontrol suara adalah pengendalian terhadap perubahan volume, nada,

dan kecepatan suara untuk mempengaruhi serta mengarahkan tingkah laku

anak. Perubahan irama suara dapat dengan mudah diterima, tetapi


17

penggunaan suara asertif kadang dianggap tidak menyenangkan untuk

beberapa orang tua yang tidak terbiasa dengan teknik ini.

Tujuan kontrol suara adalah untuk mendapatkan perhatian dan kepatuhan

anak, menghindari tingkah laku negatif atau penghindaran dari anak, serta

membangun peran orang dewasa-anak yang tepat. Teknik ini dindikasikan

untuk semua pasien anak, tetapi tidak dapat diterapkan untuk pasien yang

memiliki gangguan pendengaran.

6. Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal adalah penguatan dan bimbingan tingkah laku

melalui kontak yang tepat, postur, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh. Tujuan

komunikasi nonverbal adalah untuk meningkatkan efektivitas teknik

manajemen komunikatif lainnya, serta mendapatkan atau mempertahankan

perhatian dan kepatuhan anak. Teknik ini diindikasikan untuk semua pasien

anak. Tidak ada kontraindikasi

7. Positive Reinforcement and Descriptive Praise

Pada proses pembentukan tingkah laku pasien yang diinginkan, penting

untuk memberikan umpan balik yang sesuai. Positive reinforcement

dilakukan untuk menghargai perilaku yang diinginkan dan memperkuat

kemungkinan terulangnya perilaku tersebut. Social reinforcement termasuk

modulasi suara positif, ekspresi wajah, pujian verbal, dan demonstrasi fisik

yang tepat oleh tim dokter gigi. Pujian deskriptif menekankan kepada sikap

kooperatif yang spesifik (misalnya, "Terima kasih sudah duduk dan diam.",
18

"Kamu hebat, bisa mempertahankan posisi tanganmu di pangkuanmu.”,

daripada pujian umum (misalnya, "Kerja bagus."). Non-social reinforcement

contohnya adalah memberikan kenang-kenangan atau mainan.

Tujuan positive reinforcement dan pujian deskriptif adalah untuk

memperkuat tingkah laku yang diinginkan. Teknik ini dapat digunakan

untuk semua pasien anak. Tidak ada kontraindikasi.

8. Distraksi

Distraksi adalah teknik pengalihan perhatian anak dari sesuatu yang

dianggap sebagai prosedur yang tidak menyenangkan. Memberikan istirahat

sejenak kepada anak selama prosedur merupakan distraksi yang efektif

sebelum dokter gigi mempertimbangkan teknik penatalaksanaan tingkah

laku yang lebih kompleks.

Tujuan distraksi adalah untuk mengurangi persepsi ketidaknyamanan dan

menghindari tingkah laku negatif atau penghindaran. Teknik ini dapat

digunakan untuk semua pasien anak. Tidak ada kontraindikasi.

9. Restrukturisasi Memori

Restrukturisasi memori adalah pendekatan tingkah laku untuk ingatan

yang berhubungan dengan hal negatif atau keadaan sulit, (misalnya,

kunjungan pertama ke dokter gigi, anestesi lokal, prosedur restoratif, dan

ekstraksi) lalu direstrukturisasi menjadi kenangan positif menggunakan

informasi yang disarankan setelah peristiwa tersebut terjadi. Pendekatan ini

telah diuji pada anak-anak yang menerima anestesi lokal di kunjungan awal
19

restorasi gigi dan telah terbukti mengubah ketakutan terkait anestesi lokal

dan meningkatkan tingkah laku pada kunjungan berikutnya.

Restrukturisasi melibatkan empat komponen, yaitu (1) pengingat visual;

(2) positive reinforcement melalui verbalisasi; (3) contoh konkret untuk

menerjemahkan detail sensorik; dan (4) rasa pencapaian. Pengingat visual

dapat berupa foto anak yang sedang tersenyum pada kunjungan pertama

(yaitu, sebelum pengalaman tidak menyenangkan). Positive reinforcement

melalui verbalisasi dapat berupa pertanyaan apakah anak memberi tahu

orang tuanya mengenai tingkah lakunya yang baik saat kunjungan terakhir.

Anak diminta untuk bermain peran dan memberi tahu dokter gigi apa

yang dia katakan kepada orang tuanya. Contoh konkret untuk

menerjemahkan detail sensorik adalah dengan memuji anak untuk tingkah

laku positif tertentu, seperti dia menjaga tangan di pangkuannya atau

membuka lebar mulutnya ketika diberikan instruksi oleh dokter gigi.

Kemudian, dokter gigi meminta anak untuk mendemonstrasikan perilaku ini,

yang mengarah pada rasa pencapaian.

Tujuan restrukturisasi memori adalah untuk merestrukturisasi

pengalaman yang kurang baik atau negatif mengenai perawatan gigi di masa

lalu dan meningkatkan respon positif pasien pada kunjungan berikutnya.

Indikasi teknik ini adalah pasien anak yang memiliki pengalaman negatif

atau kunjungan yang kurang baik saat perawatan gigi. Tidak ada

kontraindikasi.
20

10. Kehadiran/Ketidakhadiran Orang Tua

Kehadiran orang tua kadang berpengaruh terhadap kerjasama anak

selama perawatan. Keterlibatan orang tua dalam perawatan kesehatan anak

telah berubah secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Keinginan

orang tua untuk hadir selama perawatan anaknya bukan berarti mereka tidak

percaya kepada dokter gigi secara intelektual. Mungkin mereka tidak

nyaman jika tidak dapat memastikan keselamatan anak mereka secara visual.

Oleh sebab itu, penting bagi dokter gigi untuk memahami kebutuhan

emosional orang tua karena orang tua memiliki naluri alami untuk menjadi

pelindung anak-anaknya.

Operator harus terbiasa dengan keterlibatan, pertanyaan-pertanyaan, dan

kekhawatiran orang tua terhadap anak-anak mereka. Operator harus

mempertimbangkan keinginan dan keputusan orang tua, serta dan terbuka

terhadap pergeseran paradigma dalam pemikiran orang tua pasien anak.

Tujuan kehadiran orangtua /tidak bagi orang tua itu sendiri adalah

berpartisipasi dalam pemeriksaan anak dan/atau perawatan(jika diminta),

menenangkan anak yang usianya sangat muda secara fisik dan dukungan

psikologis, serta mengamati realitas perawatan anak mereka. Manfaat untuk

operator adalah mendapatkan perhatian dan meningkatkan kepatuhan pasien,

menghindari tingkah laku negatif atau penghindaran, operator membangun

hubungan antara dokter gigi-anak dengan tepat, meningkatkan komunikasi

yang efektif antara dokter gigi, anak, dan orang tua, meminimalkan

kecemasan dan mencapai pengalaman perawatan gigi yang positif, serta

memfasilitasi persetujuan cepat untuk perubahan perawatan atau panduan


21

tingkah laku. Teknik ini dapat digunakan untuk semua pasien. Tidak ada

kontraindikasi.

2.4.2 Penatalaksanaan Farmakologis

1. Inhalasi N2O-O2

Inhalasi N2O-O2 adalah teknik yang aman dan efektif untuk mengurangi

kecemasan dan meningkatkan komunikasi yang efektif. Onset kerjanya cepat,

efek mudah dititrasi dan reversibel, serta proses pemulihan cepat dan lengkap.

Diagnosis, rencana perawatan, serta pertimbangan keselamatan pasien dan

dokter gigi harus dipertimbangkan sebelum penggunaan N2O-O2 (Pinkham,

2005).

Jika inhalasi N2O-O2 digunakan dalam konsentrasi

lebih dari 50% atau dalam kombinasi dengan agen sedatif lain (misalnya,

midazolam dan opioid), kemungkinan efek sedasi akan meningkat. Tujuan

inhalasi N2O-O2 adalah untuk mengurangi atau menghilangkan kecemasan,

mengurangi gerakan dan reaksi yang tidak diinginkan selama perawatan gigi,

meningkatkan komunikasi dan kerjasama pasien, meningkatkan ambang batas

nyeri, meningkatkan toleransi untuk kunjungan yang lebih lama, membantu

perawatan pasien keterbatasan mental, fisik, atau medis, mengurangi resiko

tersedak, dan memicu efek sedasi (Welbury, 2001).

Indikasi inhalasi N2O-O2 meliputi anak yang takut, cemas, atau sulit

percaya, anak tertentu dengan kebutuhan perawatan kesehatan khusus, anak

yang refleks muntahnya dapat mengganggu perawatan gigi, anak yang tidak

dapat diberikan anestesi lokal, dan anak kooperatif yang menjalani prosedur
22

perawatan gigi yang lama. Kontraindikasi penggunaan N2O-O2 adalah anak yang

memiliki penyakit paru obstruktif kronis, gangguan emosi berat atau

ketergantungan obat, trimester pertama kehamilan, defisiensi

methylenetetrahydrofolate reductase, dan penyakit baru-baru ini (misalnya, flu

atau kongesti) yang dapat meningkatkan kerentanan pada saluran pernapasan

(AAPD,2015).

Menurut Welbury (2001), langkah-langkah inhalasi N2O-O2 adalah

sebagai berikut:

1) Memeriksa mesin.

2) Memilih ukuran nasal mask yang sesuai dan bersihkan dengan

alkohol.

3) Menghubungkan mesin dengan scavenging pipe.

4) Mengatur mixture dial oksigen ke 100%.

5) Menginstruksikan pasien untuk duduk di dental unit, sambil

menerapkan tell-show-do pada pasien.

6) Mengubah tombol kontrol laju oksigen menjadi 3 L/menit dan

memastikan reservoir bag terisi oksigen.

7) Memasang nasal mask perlahan agar anak tetap nyaman.

8) Mengubah tombol kontrol laju oksigen ke kiri sampai laju oksigen

sesuai dengan volume tidal pasien. Operator dapat memantaunya

melalui reservoir bag selama 15-20 detik.

9) Memastikan sensasi yang dirasakan oleh pasien secara berkala.

Instruksikan pasien untuk bernapas perlahan-lahan melalui hidung.


23

10) Mengatur mixture dial secara vertikal menuju 90% oksigen (10%

N2O-O2). Tunggu 60 detik.

11) Mengubah mixture dial menuju 80% oksigen (20% N2O-O2). Tunggu

60 detik. Pada level ini, operator harus lebih berhati-hati dan

mempertimbangkan inkremen maksimal 5%. Level maksimal N2O-

O2 adalah 50%.

12) Pada level sedasi yang sesuai, prosedur perawatan gigi dapat dimulai.

Injeksi anestesi lokal dapat dilakukan.

13) Setelah anestetikum lokal diadministrasikan, ubah laju N2O-O2

menjadi 30-35%.

14) Jika perawatan sudah selesai, ubah mixture dial ke oksigen 100% dan

oksigenasi pasien selama 2 menit sebelum nasal mask dilepaskan.

15) Lepaskan nasal mask, lalu ubah tombol kontrol laju oksigen ke nol

dan matikan mesin.

16) Instruksikan pasien untuk bernapas secara normal selama 5-15 menit

sebelum meninggalkan dental unit.

Gambar 2.2 Mesin dan tabung N2O-O2 (Welbury, 2001)


24

2. Sedasi

Sedasi merupakan penatalaksanaan tingkah laku secara farmakologi.

Sedasi digunakan secara aman dan efektif pada pasien yang tidak kooperatif

karena kurangnya kematangan psikologis atau emosional dan/atau keterbatasan

mental, fisik, atau medis. Terdapat tiga jenis sedasi berdasarkan cara

pemberiannya, yaitu sedasi inhalasi, sedasi enteral (oral dan rectal), dan sedasi

parenteral (intramuscular, subcutaneous, submucosal, intranasal, dan

intravenous). Pasien yang diberikan sedasi, kesadarannya masih ada dan

refleksnya normal, termasuk refleks batuk. Tujuan sedasi adalah sebagai berikut

(AAPD, 2015):

1) Memfasilitasi perawatan yang berkualitas

2) Meminimalisasi tingkah laku buruk yang ekstrim

3) Meningkatkan respon fisiologis positif terhadap perawatan

4) Meningkatkan kenyamanan dan keamanan pasien

5) Mengembalikan pasien ke kondisi fisiologis yang aman

Sedasi diindikasikan untuk anak yang takut dan cemas karena teknik

panduan perilaku dasar belum berhasil, anak yang tidak kooperatif karena

kurangnya kematangan psikologis dan emosional dan/atau memiliki

keterbatasan mental, fisik, atau medis, serta anak yang perkembangan fisiknya

harus dilindungi dan/atau untuk mengurangi resiko medis. Penggunaan sedasi

merupakan kontraindikasi untuk pasien yang kooperatif dengan kebutuhan

perawatan gigi minimal, serta prediksi kondisi medis dan/atau fisik yang

membuat sedasi tidak disarankan. Syarat penggunaan sedasi adalah sebagai

berikut:
25

1) Operator harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai agen

yang akan digunakan dan telah terlatih secara formal untuk

mengadmisitrasikan agen tersebut.

2) Penggunaan sedasi harus direncanakan dengan matang dan

didokumentasikan jenis agennya, dosis, tanda vital pasien, dan efek

samping. Keputusan untuk menggunakan sedasi harus berdasarkan

analisis terhadap profil tingkah laku pasien, asal dan tingkat

perawatan, perbandingan risk vs benefit terhadap status fisik pasien,

kemampuan ekonomi dan kemampuan keluarga untuk memenuhi

tuntutan perawatan yang luas.

3) Pasien harus dievaluasi dengan hati-hati dari waktu onset agen

sampai pulih kembali untuk memastikan bahwa tidak ada kondisi

yang dapat mengubah respon yang diharapkan terhadap agen sedatif

yang dapat membahayakan pasien.

4) Harus ada informed consent yang ditandatangani oleh orang tua/wali.

5) Fasilitas klinik harus cukup nyaman dan lengkap untuk menangani

kondisi gawat darurat yang mungkin muncul.

Catatan pasien harus mencakup:

1) Penjelasan dan persetujuan. Informed consent harus diperoleh dari

orang tua dan didokumentasikan sebelum penggunaan sedasi

2) Instruksi dan informasi yang diberikan kepada orang tua

3) Evaluasi kesehatan anak

4) Catatan berbasis waktu yang mencakup nama, rute, situs waktu,

dosis, dan efek dari obat yang diberikan pada anak


26

5) Tingkat kesadaran pasien, daya tanggap, jantung, tekanan darah, laju

pernapasan, dan saturasi oksigen pada saat perawatan dan sampai

perawatan selesai

6) Kriteria debit telah tercapai

7) Efek samping (jika ada) dan perawatannya

8) Waktu dan kondisi pasien saat keluar.

1) Sedasi Oral

Obat yang digunakan untuk sedasi oral bermacam-macam, antara lain

agen sedatif hipnotik, agen antiansietas, narkotika. Agen sedatif hipnotik terdiri

dari 2 golongan obat, yaitu barbiturat dan non-barbiturat. Chloral hydrate adalah

agen sedatif hipnotik golongan non barbiturat yang paling umum digunakan.

Dosis untuk efek sedasi minimal-moderat adalah 24-40 mg/kgBB. Untuk sedasi

yang lebih dalam dosisnya adalah 50-60 mg/kgBB ditambah dengan

premedikasi hydroxyzine atau meperidine. Mekanisme aksi dihasilkan dari efek

primer inisial pada reticular activating system dan area otak yang

mengendalikan kesadaran. Dosis yang berlebihan akan memiliki pengaruh

anestesi umum, koma, bahkan kematian. Efek samping dari agen sedatif

hipnotik adalah nausea, vomiting, dan iritasi lambung. (Pinkham,2005).

Agen antiansietas yang paling sering digunakan adalah golongan

benzodiazepin, yaitu diazepam. Dosis pemberian diazepam adalah 250

µg/kgBB. Dosis untuk anak usia 6 tahun antara 3,9-6,6 mg. Sedangkan, untuk

anak berusia lebih tua, misal 15 tahun, dosisnya antara 9,7-18,9 mg. Agen

antiansietas memiliki kurva respon dosis yang lebih merata daripada agen
27

sedatif hipnotik. Mekanisme kerja golongan obat ini adalah pada sistem limbik.

Sedangkan, golongan narkotika mekanisme aksi bekerja di sistem saraf pusat,

tepatnya pada reseptor opioid dan memiliki efek analgesik. Contoh obatnya

adalah morphine, meperidine, fentanyl, dan alphaprodine. Efek samping dari

golongan narkotika adalah nausea, vomiting, cardiovascular depression, apneu,

dan hipoxia (Welbury, 2001).

(1) Instruksi Preoperatif

Menurut Welbury (2001), operator harus memastikan anak ditemani oleh

orang tua/wali menuju dan setelah selesai dari ruangan. Anak sudah makan

makanan ringan 2 jam sebelum prosedur sedasi dimulai (misal, teh dan roti).

(2) Teknik Klinis Sedasi Oral menurut Welbury (2001)

1. Saat anak datang, pastikan instruksi preoperatif sudah dilaksanakan.

2. Menimbang anak dan menentukan dosis diazepam. Lalu, asisten

memeriksa kembali dosis diazepam.

3. Administrasikan diazepam 1 jam sebelum prosedur perawatan dimulai.

4. Instruksikan anak untuk duduk di ruangan transit. 1 jam kemudian,

perawatan dapat dimulai.

5. Setelah perawatan selesai, anak kembali ke ruang transit untuk

beristirahat agar kondisinya pulih sebelum pulang ke rumah.

6. Operator memberikan instruksi pascaoperatif, yaitu membuat jadwal

kunjungan untuk memastikan anak sudah dapat beraktivitas kembali.


28

3. Anestesi Umum

American Academy of Paediatrics Dentistry (2015) mengemukakan

bahwa anestesi umum adalah keadaan tidak sadar yang terkendali disertai

dengan hilangnya refleks, hilangnya kemampuan untuk mempertahankan jalan

napas secara mandiri dan menanggapi rangsangan fisik atau perintah lisan.

Kebutuhan diagnosis, perawatan, serta keamanan pasien, praktisi, dan staf harus

dipertimbangkan sebelum menggunakan anestesi umum. Anestetikum dan agen

sedatif digunakan untuk membantu memastikan keselamatan, kesehatan, dan

kenyamanan anak-anak yang selama menjalani perawatan. Hasil penelitian

menunjukkan manfaat dari agen-agen ini harus dipertimbangkan karena

berpotensi menimbulkan efek samping yang berbahaya. Penelitian tambahan

diperlukan untuk mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi pada anak kecil.

“Dengan tidak adanya bukti konklusif, tidak etis untuk melarang sedasi dan

anestesi bila diperlukan ”. Keputusan untuk menggunakan anestesi umum harus

mempertimbangkan modalitas alternatif, usia anak, analisis manfaat dan risiko,

penundaan perawatan, kebutuhan gigi anak, efek pada kualitas perawatan gigi,

perkembangan emosi pasien, dan status medis pasien.

Tujuan anestesi umum adalah untuk menyediakan perawatan gigi yang

aman, efisien, dan efektif, menghilangkan kecemasan, mengurangi gerakan dan

reaksi yang tidak diinginkan saat perawatan, membantu perawatan pasien yang

mengalami keterbatasan mental, fisik, atau medis, dan menghilangkan respon

nyeri pasien. Anestesi umum diindikasikan untuk anak yang tidak koperatif

karena kurangnya kematangan psikologis atau emosional dan / atau mental,

fisik, atau keterbatasan medis; anak yang tidak dapat diberikan anestesi lokal
29

karena infeksi akut, variasi anatomi, atau alergi, anak atau remaja yang sangat

tidak kooperatif, takut, cemas, atau tidak komunikatif, anak yang membutuhkan

prosedur bedah yang signifikan, dan anak yang membutuhkan perawatan gigi

dan mulut secara komprehensif sesegera mungkin. Kontraindikasi penggunaan

anestesi umum adalah anak yang sehat dan kooperatif dengan kebutuhan

perawatan gigi minimal, pasien usia muda yang dapat dirawat dengan intervensi

terapeutik, dan kondisi predisposisi medis yang akan terjadi jika dilakukan

anestesi umum (Welbury, 2001; AAPD, 2015).

Dokumentasi prosedur mencakup sebelum administrasi anestesi umum,

dokumentasi harus membahas alasan penggunaan anestesi umum, informed

consent, instruksi yang diberikan kepada orang tua, tindakan diet dan

evaluasi kesehatan praoperasi. Persyaratan minimal catatan anestesi harus

mencakup denyut jantung pasien, tekanan darah, laju pernapasan, dan saturasi

oksigen pada interval tertentu di seluruh prosedur dan sampai kriteria

pengeluaran yang telah ditentukan telah tercapai; nama, rute, situs, waktu, dosis,

dan efek obat yang diberikan kepada anak, termasuk anestesi lokal, serta efek

samping (jika ada) dan penangannya (AAPD, 2015).

2.5 Penatalaksanaan Tingkah Laku Lanjutan

Penatalaksanaan tingkah laku pada sebagian besar anak menurut American

Academy of Paediatrics Dentistry (2015) dapat dilakukan secara efektif menggunakan

teknik yang diuraikan dalam panduan tingkah laku dasar. Teknik-teknik tersebut

seharusnya membentuk pondasi untuk semua kegiatan tatalaksana yang diberikan oleh

dokter gigi. Kadang, anak tidak kooperatif karena kurangnya kematangan psikologis
30

dan emosional dan/atau memiliki keterbatasan mental, fisik, atau medis. Panduan teknik

penatalaksanaan tingkah laku lanjutan yang biasa digunakan dalam program pelatihan

pediatrik adalah stabilisasi pelindung, sedasi, dan anestesi umum. Hal tersebut adalah

ekstensi dari keseluruhan bimbingan tingkah laku kontinu untuk memfasilitasi tujuan

komunikasi, kerjasama, serta penyampaian perawatan kesehatan gigi dan mulut yang

berkualitas pada pasien yang tidak patuh. Ketepatan diagnosis dan implementasi teknik-

teknik ini secara aman dan efektif memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang

umumnya diterima selama pendidikan predoktoral. Berikut merupakan contoh

penatalaksanaan lanjutan dengan alat berupa stabilisasi pelindung (AAPD, 2015,

Roberts, 2010).

1. Stabilisasi Pelindung

Penggunaan semua jenis stabilisasi pelindung dalam perawatan bayi,

anak-anak, remaja, atau pasien dengan kebutuhan perawatan kesehatan khusus

adalah topik yang menyangkut penyedia perawatan kesehatan, pemberi

perawatan, dan publik. Definisi luas tentang stabilisasi pelindung adalah

pembatasan kebebasan bergerak pasien, dengan atau tanpa izin pasien, untuk

mengurangi risiko cedera saat perawatan. Pembatasan mungkin melibatkan

orang lain, perangkat stabilisasi pasien, atau kombinasi keduanya. Penggunaan

stabilisasi pelindung memiliki potensi untuk menghasilkan konsekuensi serius,

seperti bahaya psikologis atau fisik, kehilangan martabat, dan pelanggaran hak

pasien. Perangkat stabilisasi yang ditempatkan di sekitar dada dapat membatasi

respirasi sehingga harus digunakan dengan hati-hati, terutama untuk pasien

dengan gangguan pernapasan (misalnya, asma) dan / atau untuk pasien yang
31

akan menerima obat (yaitu, anestesi lokal atau obat penenang) yang dapat

menekan pernafasan. Karena risiko yang terkait dan konsekuensi yang mungkin

terjadi akibat penggunaan, dokter gigi didorong untuk mengevaluasi secara

menyeluruh penggunaan alat ini pada setiap pasien dan alternatif perawatan lain.

Kehati-hatian dan pemantauan pasien secara terus menerus wajib dilakukan

selama penggunaan stabilisasi pelindung. Stabilisasi sebagian atau lengkap

kadang-kadang diperlukan untuk melindungi pasien, dokter gigi, staf, atau orang

tua dari cedera saat perawatan gigi. Pelindung stabilisasi dapat dilakukan oleh

dokter gigi, staf, atau orang tua dengan atau tanpa bantuan alat yang membatasi.

Dokter gigi harus selalu menggunakan stabilisasi pelindung yang dapat

membatasi pasien, aman dan efektif (AAPD, 2015).

Penggunaan prop mulut pada anak yang patuh dianggap sebagai

stabilisasi protektif. Kebutuhan untuk mendiagnosis, merawat, dan melindungi

keamanan pasien, dokter gigi, staf, dan orang tua harus dipertimbangkan

sebelum penggunaan stabilisasi pelindung. Hal yang harus dipertimbangkan

sebelum menggunakan stabilisasi pelindung adalah modalitas alternatif panduan

tingkah laku, kebutuhan perawatan gigi pasien, efek pada kualitas perawatan

gigi, perkembangan emosi pasien, serta pertimbangan medis dan fisik pasien.

Stabilisasi pelindung, dengan atau tanpa pembatasan perangkat, dipimpin oleh

dokter gigi, dilakukan oleh tim dokter gigi, dan membutuhkan persetujuan dari

orang tua pasien. Penjelasan dan persetujuan harus diperoleh dan

didokumentasikan dalam rekam medis pasien sebelum menggunakan stabilisasi

pelindung. Selanjutnya, pada waktu yang tepat, jelaskan kepada pasien


32

mengenai kebutuhan untuk menahan diri, lalu berikan kesempatan bagi pasien

untuk merespons (Singh, 2014).

Untuk mencegah reaksi yang tak terduga terhadap perawatan gigi, maka

dokter gigi wajib melindungi pasien dan staf dari bahaya. Mengikuti intervensi

segera untuk menjamin keamanan, jika teknik perawatan harus diubah, dokter

gigi harus memiliki persetujuan metode alternatif. Tujuan stabilisasi pasien

adalah untuk mengurangi atau menghilangkan gerakan yang tidak diinginkan,

melindungi pasien, staf, dokter gigi, dan orang tua dari resiko cedera, dan

memfasilitasi pemberian perawatan gigi yang berkualitas. Stabilisasi pasien

diindikasikan untuk pasien yang membutuhkan diagnosis segera, perawatan

mendesak, dan/atau perawatan terbatas dan tidak koperatif karena tingkat

perkembangan emosional atau kognitif, kurangnya kedewasaan, serta kondisi

mental atau fisik; pasien yang membutuhkan diagnosis segera, perawatan

mendesak, dan/atau perawatan terbatas yang dapat menimbulkan gerakan yang

tidak terkontrol, beresiko terhadap keselamatan pasien, staf, dokter gigi, atau

orang tua jika tanpa menggunakan stabilisasi pelindung serta pasien yang

dianestesi untuk membantu mengurangi gerakan yang tidak diinginkan.

Kontraindikasinya adalah pasien kooperatif yang tidak memerlukan sedasi,

pasien yang tidak dapat diimobilisasi dengan aman karena kondisi medis,

psikologis, atau fisik yang terkait, pasien dengan riwayat fisik atau trauma

psikologis karena imobilisasi (kecuali tidak ada alternatif lain yang tersedia),

pasien yang tidak membutuhkan perawatan emergensi gigi seluruh kuadran atau

rehabilitasi, dan kenyamanan dokter gigi. Tindakan pencegahan yang harus

diambil adalah sebagai berikut (AAPD, 2015).


33

1. Riwayat medis pasien harus ditinjau dengan hati-hati untuk memastikan

apakah ada kondisi medis (misalnya, asma) yang dapat mengganggu fungsi

pernapasan.

2. Keketatan dan durasi stabilisasi harus dipantau dan dikaji ulang secara

berkala.

3. Stabilisasi di sekitar ekstremitas atau dada tidak boleh aktif membatasi

sirkulasi atau respirasi.

4. Observasi bahasa tubuh dan penilaian nyeri secara kontinyu untuk

memungkinkan modifikasi prosedural pada tanda pertama bahaya

5. Stabilisasi harus dihentikan sesegera mungkin pada seorang pasien yang

mengalami stres berat atau histerik untuk mencegah kemungkinan trauma

fisik atau psikologis.

Dokumentasi; catatan pasien harus mencakup:

1. Indikasi stabilisasi

2. Jenis stabilisasi

3. Informed consent untuk stabilisasi pelindung.

4. Alasan untuk pengecualian orang tua selama stabilisasi pelindung (bila

berlaku)

5. Durasi penerapan stabilisasi

6. Evaluasi/penilaian tingkah laku selama stabilisasi

7. Hasil yang tidak diinginkan, seperti tanda pada kulit

8. Implikasi penatalaksanaan untuk kunjungan yang akan datang


34

2. Hand Over Mouth Exercise (HOME)

Hand Over Mouth Exercise (HOME) ini adalah teknik lain dari

pengekangan diri yang digunakan dan telah terpolarisasi selama beberapa

dekade. Hal ini telah dipromosikan dan juga ditentang oleh berbagai pihak

dengan berbagai keyakinan. Tujuan dari teknik ini adalah untuk mendapatkan

perhatian anak agar memungkinkan terjadi komunikasi, sebaiknya dijelaskan

dalam hal penguatan negatif, jika anak menghentikan protesnya dan menjadi

tenang diperkuat oleh berhentinya ketidaknyamanan, tidak diperbolehkan untuk

memprotes keras, dan mengendalikan tubuhnya. Ketika dihadapkan dengan

pembangkangan anak, dokter gigi menempatkannya tangannya di atas mulut

anak yang hanya cukup untuk menahan kebisingan anak dan untuk komunikasi

yang lebih efektif. Hal ini mungkin perlu diulang beberapa kali. Ketika anak

tenang, lalu tangan dokter dilepaskan, maka setiap ada kesempatan harus

dimanfaatkan untuk memperkuat sikap positif yang ditunjukkan oleh anak

tersebut. Namun, jika setelah beberapa pengulangan tingkat kecemasan anak

meningkat, sebaiknya dokter gigi rnenghentikan teknik ini segera. Tujuan

restraint (pengekangan) adalah untuk mengontrol gerakan fisik yang tidak

diinginkan dari anak, baik untuk memfasilitasi perawatan dan juga untuk

mencegah bahaya yang dapat terjadi pada anak dan staf kedokteran gigi. HOME

digunakan untuk membangun komunikasi antara dokter gigi dan anak yang

histeris atau anak yang mengamuk dengan perkiraan usia anak sekitar 3-8 tahun

dan pada anak-anak yang mampu berkomunikasi secara efektif. Indikasi

pengekangan adalah ketika perawatan atau diagnosis segera diperlukan dan

pasien tidak mampu untuk bekerja sama. Pengekangan dilakukan ketika sedasi
35

atau anestesi umum tidak tersedia atau diizinkan oleh orang tua. Kontraindikasi

tindakan ini untuk setiap anak dengan kemampuan mental dan penguasaan

bahasa yang kurang karena komunikasi efektif tidak mungkin terjadi

(Magnusson, 1981).
BAB III

PENUTUP

Anak-anak yang datang ke tempat praktek dokter gigi memiliki tingkah laku

yang berbeda-beda. Keragaman tingkah laku tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor.

Penatalaksanaan tingkah laku secara garis besar digolongkan menjadi penatalaksanaan

non-farmakologis, yaitu melalui komunikasi yang komunikatif dan penatalaksanaan

farmakologis yang melibatkan agen obat-obatan. Dokter gigi harus memiliki

pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan berbagai teknik penatalaksanaan

tingkah laku agar dapat membangun kepercayaan, menghilangkan ketakutan, serta

kecemasan anak terhadap prosedur perawatan gigi sehingga perawatan gigi anak dapat

berjalan dengan efektif.

36
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatric Dentistry. 2015. Guideline on Behavior Guidance for

the Pediatric Dental Patient.

Available at www.aapd.org/media/Policies_Guidelines/G_BehavGuide.pdf

Finn SB. 1973. Clinical Pedodontics 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Company.

Masitahapsari B.N., Supartinah Al Lukito. E. 2009. Pengelolaan Rasa Cemas dengan

Metode Modeling pada Pencabutan Gigi Anak Perempuan Menggunakan

Anastesi Topical. J Ked Gi. 1: 79-86.

Pinkham, J. et al. 2005. Pediatric Dentistry: Infancy Through Adolescence. 4th ed.

London: Mosby.

Roberts J.F., Curzon M.E., Koch G., Martens L.C. 2010. Review: Behaviour

Management Techniques in Paediatric Dentistry. Eur. Arch. Paediatr. Dent.

2010;11(4):166–174. doi: 10.1007/BF03262738.

Singh H, et al. Techniques for the Behavior Management in Pediatric Dentistry. Int J

Sci Stud 2014;2(7):269-272.

Welbury, R. 2001. Paediatric Dentistry. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press.

Wright, G.Z.. 1975. Behaviour Management in Dentistry for Children. W.B. Saunders

Company.

Magnusson BO, Svantum B. 1981. Pedodontic: A Systentatic Approach. Coppenhagen:

Munksgaard. p.327-8.

37

Anda mungkin juga menyukai