Anda di halaman 1dari 6

EPILEPSI

1. Definisi

Epilepsi merupakan serangan kejang paroksismal berulang dua kali atau lebih tanpa
penyebab yang jelas dengan interval serangan lebih dari 24 jam, akibat lepas muatan
listrik berlebihan di neuron otak. Sedangkan sindrom epilepsi adalah epilepsi yang
ditandai adanya sekumpulan gejala dan tanda klinis yang terjadi bersama-sama,
meliputi jenis serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, berat penyakit,
dan kronisitas penyakit.8,9 Perkiraan insidens atau prevalens epilepsi pada anak di
berbagai negara sangat bervariasi sekitar 4-8 per 1000 populasi.

2. Epidemiologi

Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status epileptikus
lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun dengan
estimasi insidens 1 per 1000 bayi.
3. Etiologi
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:
Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma kepala,
perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-iskemik
(EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital.
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya
vaskulitis)
d. Epilepsi
Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui
Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status epileptikus:
a. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status
epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi
epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
b. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP,
penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif ), dan
ensefalopati hipertensi.
4. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, fenomena halusinatorik, psikoilusi, atau
emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang paling
khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia. Serangan
tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak
terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan badan.
Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang
terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total disertai
kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik.
Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi
berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh akibat
hilangnya keseimbangan,
5. Patofisiologi
Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi penyebaran kejang
baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan atau aktivitas
neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter eksitasi utama tersebut adalah
neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric
acid (GABA).

6. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukandiagnosis epilepsi. Dalam
melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis
dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu.
Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat penting
dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital,
gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab-sebab terjadinya
serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur
dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran
antara anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak unilateral.
3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan
harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi.
Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal. Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu
menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti
epilepsi (OAE).
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis bertujuan untuk
melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering
digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitive dan secara anatomik
akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kiri dan
kanan.
7. Tatalaksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis
anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah
algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK
Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan
teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
• 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
• 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan
tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan
dengan pemberian rumatan bila diperlukan.
8. Komplikasi
Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu reaksi
inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan
GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan
neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat
menyebabkan komplikasi sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada
SE konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal
ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan
memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi
jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun
terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-
40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang,
kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat
kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan
vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.
Komplikasi sekunder
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas serta
hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol
yang harus diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai dengan
rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis
metabolik. Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan
hiperamonia. Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait
perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli paru, trombosis vena dalam,
pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan harus diperhatikan.

9. Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita deficit neurologis
permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan
mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun
pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi
simtomatis remote, sindrom epilepsi.

Anda mungkin juga menyukai