Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya
penulis mampu menyelesaikan makalah dengan judul
Makalah Spektrofotometri Sinar Tampak dan Ultraviolet merupakan tugas
mata kuliah Kimia Analitik III.
Melalui makalah Spektrofotometri Sinar Tampak dan Ultraviolet dapat
menunjang penulis di dalam mata kuliah Kimia Analitik III. Selain itu, dengan
hadirnya makalah ini dapat memberikan informasi yang dapat menjadi
pengetahuan baru bagi pembacanya.
Pada kesempaytan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Drs. Jasmidi, . Selaku dosen pengampuh mata kuliah Kimia Analitik III
serta kepada seluruh pihak yang terikat di dalam penulisan makalah
Spektrofotometri Sinar Tampak dan Ultraviolet ini.
Penulis menyadari bahwa, masih banyak kesalahan dan kekurangan di
dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini di masa yang akan
datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Medan, Februari 2016

Penulis

i
DAFTAS ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3
2.1 Prinsip Dasar Spektroskopi ...................................................................... 3
2.1.1 Prinsip Dasar Spektroskopi UV-Vis .............................................. 3
2.1.2 Prinsip dan Cara Kerja Spektrofotometer UV-Vis ........................ 5
2.1.3 Interaksi Cahaya dengan Materi .................................................... 5
2.1.4 Hukum Dasar Spektroskopi Absorpsi ............................................ 8
2.1.5 Zat-zat Pengabsorpsi .................................................................... 10
2.2 Instrumen Spektroskopi UV-Vis ............................................................ 14
2.2.1 Tabung Nesler ........................................................................... 14
2.2.2 Cara Operasi Spectronic 20.......................................................... 17
2.2.3 Spektrofotometer ....................................................................... 17
2.3 Tipe Instrumen Spektrofotometer .......................................................... 22
BAB III KESIMPULAN ........................................................................... 24
3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan semakin kompleksisitas berbagai keperluan saat ini, analisis kimia
dengan mempergunakan metode fisik dalam hal identifikasi dari berbagai
selektifitas fungsi polimer campuran, pemodifikasi dan aditif digunakan untuk
plastik dan elastomer. Spektroskopi infra merah, metode pengukuran fotometer
UV, gas dan liquid kromatografi dan spektroskopi massa bersama-sama dari
metode pengukuran termoanalisis (DSC-TGA) Merupakan alat yang teliti sebagai
pilihan untuk kualitatif dan kuantitatif bahan.
Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang
digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kualitatif dan
kuantitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya.
Sedangkan peralatan yang digunakan dalam spektrofotometri disebut
spektrofotometer. Cahaya yang dimaksud dapat berupa cahaya visibel, UV,
inframerah, sedangkan materi dapat berupa atom ataupun molekul yang
bersangkutan.
Para kimiawan telah lama menggunakan bantuan warna sebagai bantuan
dalam mengenali zat-zat kimia. Spektrofotometri dapat dianggap sebagai suatu
perluasan pemeriksaan visual yang dengan studi lebih mendalam dari absorpsi
energi radiasi oleh macam-macamzat kimia memperkenakan dilakukannya
pengukuran ciri-ciri serta kuantitatifnya dengan ketelitian lebih besar.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah konsep dasar spektroskopi?
2. Apakah prinsip dasar spektroskopi UV-VIS?
3. Bagaimana prinsip dan cara kerja spektrofotometer UV-Vis?
4. Apa saja komponen spektrofotometer UV/VIS?
5. Bagaimana fungsi dari bagian-bagian spektrofotometer UV/VIS?
6. Berapakah tipe instrumen spektrofotometer UV/VIS?

1
1.3 Tujuan

1) Mengetahui konsep dasar spektroskopi


2) Mengetahui prinsip dasar spektroskopi UV-VIS
3) Mengetahui prinsip dan cara kerja spektrofotometer UV-Vis
4) Mengetahui komponen spektrofotometer UV/VIS
5) Mengetahui fungsi dari bagian-bagian spektrofotometer UV/VIS
6) Mengetahui tipe instrumen spektrofotometer UV/VIS

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Antasida
Antasida adalah basa yang meningkatkan pH lumen lambung dengan
menetralkan asam lambung. Antasida memberikan terapi efektif untuk beberapa
dyspepsia dan meredakan gejala pada ulkus peptikum dan refluks gastroesofagus.
Tersedia berbagai campuran sediaan yang biasanya mengandung garam
magnesium atau aluminium.
Antasida meningkatkan pH lumen lambung. Peningkatan tersebut
meningkatkan kecepatan pengosongan lambung. Sehingga efek antasida menjadi
pendek. Pelepasan gastrin meningkat dan karena hal ini menstimulasi pelepasan
asam. Maka antasida yang dibutuhkan lebih banyak daripada yang diperkirakan
(acid rebound). Antasida dosis tinggi yang sering diberikan mendukung
penyembuhan ulkus, tetapi terapi seperti itu jarang dilakukan.
Natrium bikarbonat adalah satu-satunya antasida larut air yang berguna.
Natrium bikarbonat bekerja cepat tetapi mempunyai efek sementara dan
bikarbonat yang diabsorbsi dalam dosis tinggi bisa menyebabkan alkalosis
sistemik.
Magnesium hidroksida dan magnesium trisilikat tidak larut dalam air dan
bekerja cukup cepat. Magnesium mempunyai efek laksatif dan bisa menyebabkan
diare.
Aluminium hidroksida bekerja relatif lambat. Ion Al3+ membentuk
kompleks dengan obat-obatan tertentu (misalnya tetrasiklin) dan cenderung
menyebabkan konstipasi. Campuran senyawa magnesium dan aluminium bisa
digunakan untuk meminimalkan efek pada motilitas.

2.1.1 Antihistamin H2
Antagonis-H2 adalah senyawa yang menghambat secara bersaing interaksi
histamin dengan reseptor H2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung.
Secara umum digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan usus. Efek
samping antagonis-H2 antara lain adalah diare, nyeri otot dan kegelisahan.

3
1. Mekanisme kerja Antihistamin H2
Antagonis-H2 mempunyai struktur serupa dengan histamin, yaitu
mengandung cincin imidazol atau bioisosteriknya, tetapi berbeda pada panjang
gugus rantai samping, yang meskipun polar tetapi tidak bermuatan. Pada interaksi
obat dengan reseptor H2, cincin imidazol atau bioisosteriknya terikat pada sisi
reseptor khas melalui ikatan dipole, sedang rantai samping yang panjang dan tidak
bermuatan terikat melalui ikatan hidrofob dan kekuatan van der Walls pada sisi
reseptor tidak khas.
Hipotesis sederhana mekanisme kerja senyawa antagonis –H2 dijelaskan sbb :
sekresi asam lambung dipengaruhi oleh histamine, gastrin dan asetikolin.
Antagonis-H2 menghambat secara langsung kerha histamine pada sekresi asam
(efikasi intrinsik) dan menghambat kerja potensial histamine pada sekresi asam,
yang dirangsang oleh gastrin atau asetilkolin (efikasi potensiasi). Jadi histamin
mempunyai efikasi intrinsik dan efikasi potensiasi, sedang gastrin dan setilkolin
hanya mempunyai efikasi potensiasi. Hal ini berarti bahwa hanya histamine yang
dapat meningkatkan sekresi asam sedang gastrin atau asetilkolin hanya
meningkatkan sekresi asam karena efek potensiasinya dengan histamin.

Dari buku Besar :


1. Antihistamin
Histamine mempengaruhi banyak proses faalan dan patologik, maka
dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamine. Epinefrin merupakan
antagonis faalan pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus
antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak
banyak berbeda. Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan
tripelenamin dalam dosis terapi efektif untuk mengobati udem, eritem dan pruritus
tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamine.
Antihistamin tersebut di atas digolongkan dalam antihistamin penghambat
reseptor H1 (AH1).
1.1. Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)
A. Kimia

4
Struktur dasar AH1 adalah sebagai berikut :
Ar1 H
X CH2 CH2 N
Ar2 H

Dengan Ar = aril dan X dapat diganti dengan N, C atau –C-O. Pada struktru
AH1 ini terdapat gugus etilamin yang juga ditemukan pada rumus bangun
histamine.
Secara kimia AH1 dibedakan atas beberapa golongan yang dapat dilihat
padaa tabel berikut :
Tabel 1.1. PENGGOLONGAN ANTIHISTAMIN (AH1). DENGAN
MASA KERJA, BENTUK SEDIAAN DAN DOSISNYA
Golongan Obat dan Masa Kerja Bentuk Sediaan Dosis
Contohnya (jam) Tunggal
Dewasa
1. ETANOLAMIN 4-6 Kapsul 25 mg dan 50 mg. 50 mg
Difenhidramin HCl Eliksir 5 mg-10 mg/5 ml,
Larutan suntikan 10 50 mg
mg/ml
Dimenhidrinat 4-6 Tablet 50 mg 50 mg
Larutan suntikan 50 50 mg
mg/ml
Karbinoksamin maleat 3-4 Tablet 4 mg, Eliksir 5 4 mg
mg/ml
2. ETILENDIAMIN
Tripelenamin HCl 4-6 Tablet 25 mg dan 50 mg 50 mg
Krem 2% dan ; salep 2%
Tripelenamin sitrat 4-6 Eliksir 37,5 mg/5 ml 75 mg
Pirilamin maleat 4-6 Kapsul 75 mg ; Tablet 25 25-50
mg dan 50 mg mg

3. ALKILAMIN
Bromfeniramin maleat 4-6 Tablet 4 mg. Eliksir 2 4 mg
mg/5 ml
Klorfeniramin maleat 4-6 Tablet 4 mg; Sirop 2,5 2-4 mg
mg/5 ml
Deksbromfeniramin 4-6 Tablet 4 mg 2-4 mg
maleat
4. PIPERAZIN
Klorsiklizin HCl 8-12 Tablet 25 mg dan 50 mg 50 mg
Siklizin HCl 4-6 Tablet 50 mg; 50 mg
Supositoria 50 mg dan 50-100
100 mg mg
(rektal)

5
Siklizin laktat 4-6 Larutan suntikan 50 50 mg
mg/ml
Meklizin HCl 12-24 Tablet 25 mg 25-50
mg
Hidroksizin HCl 6-24 Tablet 10 mg dan 25 mg. 25 mg
Sirop 10 mg/5 ml
5. FENOTIAZIN
Prometazin HCl 4-6 Tablet 12,5 mg, 25 mg 25-50
dan 50 mg mg
Larutan suntikan 25 mg 25-50
dan 50 mg/5 ml mg
Supositoria 25 mg daan 50 25-50
mg mg
Metdilazin HCl 4-6 Tablet 4 mg. Sirop 4 mg/5 4-8 mg
ml
6. PIPERIDIN
(ANTIHISTAMIN
NONSEDATIF)
Terfenadin 12-24 Tablet 60 mg 60 mg
Astemizol < 24 Tablet 10 mg 10 mg
Loratadin 12 Tablet 10 mg 10 mg
7. LAIN-LAIN
Azatadin ± 12 Tablet 1 mg. Sirop 0,5 1 mg
mg/5 ml
Siproheptadin ±6 Tablet 4 mg. Sirop 2 mg/5 4 mg
ml
Mebhidrolin napadisilat ±4 Tablet 50 mg 50-100
mg

B. Farmakologi
1. Antagonisme Terhadap Histamin
(AH1) mengahambat efek histamine pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos; selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamine endogen
berlebihan.
Otot polos. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamine pada
otot polos (usus, bronkus, bronkokonstriksi akibat histamine dapaat dihambat oleh
AH1 pada percobaan dengan marmot.
Permiabilitas kapiler. Peninggian permiabilitas kapiler dan udem akibat
histamine, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaaksi
alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang

6
berperan tetapi autakoid lain juga dilepaskan. Efektifitas AH1 melawan reaksi
hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamine.
Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan
lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah afiksi pada
marmot akibat histamine, tetapi hewan ini mungkin mati karena AH1 tidak
mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat
menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamine.
Susunan saraf pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP.
Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya
insomnia, gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada
keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umumya menyebabkan penghambatan SSP
dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi
yang lambat. Golongan etanolamin misalnya difenhidramin paling jelas
menimbulkan kantuk, akan tetapi kepekaan pasien berbeda-beda untuk misalnya
terfenadin, astemizol, tidak atau sangat sedikit menembus sawar darah otak
sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak menyebabkan kantuk, gangguan
koordinasi atau efek lain pada SSP. Obat-obat tersebut digolongkan sebagai
antihistamin nonsedaatif. Dalam golongan ini termasuk juga loratadin, akrivastin,
mequitazin, setirizin yang data klinisnya masih terbatas. AH1 juga efektif untuk
mengobati mual dan muntah akibat peradangan labirin atau sebab lain.
Difenhidramin dapat mengatasi paralisis agitans, mengurangi rigiditas dan
memperbaiki kelainan pergerakan.
Anestesi lokal. Beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intensitas
berbeda. AH1 yang baik sebagai anestesi lokal ialah prometazin dan pirilamin.
Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa
kali lebih tinggi daripada sebagai antihistamin.
Antikolinergik. Banyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai
untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien
berupa mulut kering, kesukaraan miksi dan impotensi. Terfenadin dan astemizol
tidak berpengaruh terhadap reseptor muskarinik.
Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan
efek yang berarti pada sistem kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan

7
sistem seperti kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anestetik
lokalnya. Intensitas efek beberapa antihistamin dapat dilihat pada tabel 1.2. :

C. Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya
timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama
kerja AH1 setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6 jam, untuk golongan
klorsiklizin 8-12 jam. Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai
kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam dan menetap pada kadaar
tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian dieliminasi dengan masa paruh kira-
kira 4 jam. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal,
otak, otot dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1
ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin mengalami
hidroksilasi dan konjugasi sedangkan klorsiklizin dan siklizin terutama
mengalami demetilasi. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama
dalam bentuk metabolitnya.

Tabel 1.2. INTENSITAS BEBERAPA ANTIHISTAMIN


Efek Efek
Anti sedatif Anti Antie samping
Golongan
histamin kolinergik metik saluran
cerna
1. Etanolamin + sd ++ + sd +++ +++ ++ sd +++ +
2. Etilendiamin + sd ++ + sd ++ - - +++
3. Alkilamin ++ sd +++ + sd ++ ++ - +
4. Piperazin ++ sd +++ + sd +++ + +++ +
5. Fenotiazin + sd +++ +++ +++ ++++ -
6. Antihistamin ++ sd +++ - sd + - sd + - -
nonsedatif
Sd = sampai dengan
- = tidak ada
+ sd ++++ = menggambarkan tingginya intensitas efek secara relative

D. Efek Samping
Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang
bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat

8
variasi yang besar dalam toleransi terhadap obat antar individu, kadang-kadang
efek samping ini sangat mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan. Efek
samping yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien
yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini
mengganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga
meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau
penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini.
Asteemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.
Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo,
tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, insomnia dan tremor. Efek samping yang
termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrrium konstipasi atau diare; efek samping ini akan berkurang
bila AH1 diberikan sewaktu makan. Penggunaan astemizol, suatu antihistamin
nonsedatif, selama lebih dari 2 minggu dilaporkan dapat menyebabkan
bertambahnya nafsu makan dan berat badan.
Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering,
disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan.
Insidens efek samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien
yang mendapat antihistamin nonsedatif.
AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi
akibat penggunaan lokal berupa dermatitis alergi. Demam dan fotosensitivitas
juga pernah dilaporkan terjadi. AH1 sangat jarang menimbulkan komplikasi
berupa leukopenia dan agranulositosis.
Pada beberapa pasien astemizol dilaporkan menyebabkan torsades the
pointes dan terfenadin dengan dosis 2-3 x di atas dosis yang dianjurkan
menyebabkan aritmia jantung. Selain itu laporan kasus menunjukkan bahwa
pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang mendapat
ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat memperpanjang
interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini juga dapat
terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-pasien
yang peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien
hipokalimia). Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan

9
antihistamin nonsedatif dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan
lebih lanjut. Golongan piperazin pada hewan percobaan dapat menimbulkan efek
teratogenik; dan sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil.

E. Intoksikasi Akut AH1


Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering terdapat sebagai
obat persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan terjadi karena
kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis 20-30
tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.
Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak kecil efek
yang dominan adalah perangsangan dengan manifestasi halusinasi, eksitasi,
ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai
tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-kronik yang sukar dikontrol.
Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya mitriasis, kemerahan di
muka dan sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps
kardiorespiratorat yang disusul dengan kematian dalam 2-18 jam. Pada orang
dewasa, manifestasi keracunan biasanya berupa depresi pada permulaan,
kemudian eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih lanjut.
Pengobatan. Diberikan secara sintomatik dan suportik karena tidak ada
antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang ditimbulkan oleh
barbiturat. Pernafasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan
tekanan darah dapat dipertahankan secara baik. Bial terjadi gagal nafas, maka
dilakukan nafas buatan, tindakan ini lebih baik daripada memberikan analeptic
yang justru akan mempermudah timbulnya konfulsi. Bila terjadi konfulsi, maka
diberikan thiopental atau diazepam.

F. Perhatian
Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1
harus diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai
campuran pada resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat
aditif dengan alkohol, obat penenang atau hipnotik sedatif.
G. Indikasi

10
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan
mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
Penyakit alergi. AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut
misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan
menghambat efek histamine yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi
terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap intensitas antigen-antibodi yang
merupakan penyebab berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat diatasi hanya
dengan menghindari alergen, desensitisasi atau menekan reaksi tersebut dengan
kortikosteroid. AH1 tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autakoid
lain. Asma bronchial terutama disebabkan oleh SRS-A atau leukotrien, sehingga
AH1 saja tidak efektif. AH1 dapat mengatasi asma bronchial ringan bila diberikan
sebagai propilaksis : untuk asma bronchial berat, aminofilin, epinefrin dan
isoproterenol merupaka pilihan utama. Pada anafilaktis AH1 hanya merupakan
tambahan dari epinefrin yang merupakan obat terpilih. Pada angiouden berat
dengan udem laring, epinefrin juga paling baik hasilnya. Epinefrin merupakan
obat terpilih untuk mengatasi krisis alergi karena epinefrin : (1) lebih efektif
daripada AH1; (2) efeknya lebih cepat; (3) merupakan antagonis fisiologik dari
histamine dan autakoid lainnya. Artinya epinefrin mengubah respons vasodilatasi
akibat histamine dan autakoid lain menjadi vasokonstriksi. Demikian pula AH1
dapat melawan efek bronkokonstriksi oleh histamine tetapi tidak bersifat
bronkodilatasi seperti yang diperlihatkan epinefrin.
AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore daan gatal pada mata, hidung dan
tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang
disebabkan debu, tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontaknya
lama. Kongesti hidung kronik lebih refrakter terhadap AH1. AH1 tidak efektif pada
rinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk pada anak dengan asma
diragukan, karena AH1 mengentalkan sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan
ekspektorasi. AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada urtikaria
kronik hasilnya kurang baik. Kadang-kadang AH1 dapat mengatasi dermatitis
atopik, dermatitis kontak, dan gigitan serangga.

11
Reaksi transfusi darah tipe nonhemolitik dan nonpirogenik ringan dapat
diatasi dengan AH1. Demikian juga reaksi alergi seperti gatal-gatal, urtikaria dan
angioudem umumnya dapat diobati dengan AH1.
Mabuk perjalanan dan keadaan lain. AH1 tertentu misalnya
difenhidramin, dimenhidrinat, derivate pipirazin dan prometazin dapat digunakan
untuk mencegah dan mengobati mabuk perjalanan udara, laut, dan darat. Dahulu
digunakan skopolamin untuk mabuk perjalanan berat dengan jarak dekat (kurang
dari 6 jam). Tetapi sekarang AH1 lebih banyak digunakan, karena efektif dengan
dosis relatif lebih kecil. Karena AH1 seperti juga skopolamin memiliki efek
antikolinergik yang kuat, maka diduga sebagian besar efek terhadap mabuk
perjalanan didasarkan oleh efek antikolinergiknya. Untuk mencegah mabuk
perjalanan AH1 terpilih untuk mengobati mabuk mabuk perjalanan ialah
prometazin, difenhidramin, siklizin dan meklizin. Meklizin cukup diberikan sekali
sehari.
AH1 efektif untuk dua pertig kasus vertigo, mual dan muntah. AH1 efektif
sebagai antimuntah pasca bedah, mual dan muntah waktu hamil dan setelah
radiasi. AH1 juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit Meniere dan
gangguan vestibuler lain. Penggunaan lain AH1 ialah untuk mengobati pasien
paralisis agitans (penyakit Parkinson) yaitu untuk mengurangi rigditas dan tremor.
Efek samping hipnosis terutama oleh AH1 golongan etanolamin digunakan
untuk hipnotik. Efek ini jelas pada pasien yang sensitif terhadap AH1. Sifat
anestesi lokal H1 digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal. Tetapi harus
diiingat bahwa pada penggunaan tropikal, AH1 ini bisa memnyebabkan sensitisasi
kulit.

1.2. Antihistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)


Reseptor histamine H2 berperan dalam efek histamine terhadap sekresi
cairan lambung, perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus dan bronkus
domba. Beberapa jaringan seperti otot polos pembuluh darah mempunyai kedua
reseptor yaitu H1 dan H2.
Simetidin dan Ranitidin
A. Farmakodinamik

12
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung,
sehingga pada pemberian simetidin dan ranitidin sekresi cairan lambung
dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya,
tidak begitu penting. Walaupun tidak lengkap simetidin dan ranitidin dapat
menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat muskarinik atau
gastrin. Simetidin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan
lambung penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen
menjadi pepsin juga menurun.
B. Farmakokinetik
Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%, sama denga setelah pemberian IV
atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diperlambat
oleh makanan, sehingga simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan
dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi
simetidin terutama terjadi pada ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan
kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis
IV dan 40% dari dosis oral simetidin dieksresi dalam bentuk asal dalam urin.
Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam.
Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada
orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada
pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar
pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah
penggunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya
15%. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah
cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi
terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang
diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam
bentuk asal.
C. Efek Samping
Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan
dengan penghambatan terhadap reseptor H2; beberapa efek samping lain tidak

13
berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain : nyeri
kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus,
kehilangan libido dan impoten.
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan
ginekomastia. Raanitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian
terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia
akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini
pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh
ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil.
D. Interaksi Obat
Antasid dan metoklopramid mengurangi bioavailabilitas oral simetidin
sebanyak 20-30%. Interaksi ini mungkin tidak bermakna secara klinis, akan tetapi
dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan antasid atau
metoklopramid dan simetidin oral.
Ketakonazol harus diberikan 2 jam sebelum pemberian simetidin karena
absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan bersama simetidin.
Selain itu ketakonazol membutuhkan pH asam untuk dapat bekerja dan menjadi
kurang efektif pada pH lebih tinggi yang terjadi pada pasien yang juga mendapat
H2.
Simetidin terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim
mikrosom hati, jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama simetidin.
Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin ialah warfarin, fenitoin, kafein,
teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam, propranolol, metoprolol dan
imipramin.
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin, akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin.
Nifedlifin warfarin, teofilin dan metoprolol dilaporkan berinteraksi dengan
ranitidin. Selain penghambatan terhadap sitokrom P-450 diduga ada mekanisme
lain yang berperan dalam interaksi obat. Ranitidin dapat menghambat absorpsi
diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Obat-obat ini
diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam.

14
Penggunaan ranitidin bersama antasid atau antikolinergik sebaiknya
diberikan dengan selang waktu 1 jam. Simetidin dan ranitidin cenderung
menurunkan aliran darah hati sehingga akan memperlambat bersihan obat lain.
Simetidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase dalam mukosa lambung dan
meyebabkan peningkatan kadar alkohol serum. Simetidin juga mengganggu
disposisi dan meningkatkan kadar lidokain serta meningkatkan antagonis kalsium
dalam serum. Obat ini tak tercampurkan dengan barbiturat dalam larutan IV.
Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia
lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala gangguan SSP berupa sivrred,
speech, somnolen, letargi, gelisah, bingung, disorientasi, agitasi, halusinasi dan
kejang. Gejala-gejala tersebut hilang/membaik bila pengobatan dihentikan. Gejala
seperti demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat
psikotropik atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan
gangguan SSP ringan, mungkin karena sukarnya melewati sawar darah otak.
Efek samping simetidin yang jarang terjadi ialah trombositopenia,
granulositopenia, tokisisitas terhadap ginjal atau hati. Peningkatan ringan
keratinin plasma mungkin disebabkan oleh kompetisi ekskresi simetidin dan
kreatinin. Simetidin (tidak ranitidin) dapat meningkatkan beberapa respons
imunitas seluler (cell-mediated immune response) terutama pada individu dengan
depresi sistem unologik. Pemberian simetidin dan ranitidin IV sesekali
menyebabkan bradikardi dan efek kardiotoksik lain.
E. Posologi
Simetidin tersedia dalam bentuk tablet 200, 300 dan 400 mg. dosis yang
dianjurkan untuk pasien tukak duodeni dewasa ialah 4 kali 300 mg, bersama
makan dan sebelum tidur; atau 200 mg bersama makan dan 400 mg sebelum tidur.
Simetidin juga tersedia dalam bentuk sirup 300 mg/5 ml, dan larutan suntik 300
mg/2 ml.
Ranitidin tersedia dalam bentuk tablet 150 mg dan larutan suntik 25 mg/ml,
dengan dosis 50 mg IM atau IV tiap 6-8 jam. Ranitidin 4-10 kali lebih kuat
daripada simetidin sehingga cukup diberikan setengah dosis simetidin; ranitidin
bekerja untuk waktu lama (8-12 jam). Dosis yang dianjurkan dua kali 150
mg/hari.

15
F. Indikasi
Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan
50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800 ng/ml atau
kadar ranitidin plasma 100 ng/ml.
Tetapi yang lebih penting adalah efek penghambatannya selama 24 jam.
Simetidin 1000 mg/hari menyebabkan penurunan kira-kira 50% dan ranitidin 300
mg/hari menyebabkan penurunan 70% sekresi asam lambung; sedangkan terhadap
sekresi asam malam hari, masing-masing meenyebabkan penghambatan 70 dan
90%.
Simetidin, ranitidin atau antagonis reseptor H2 mempercepat penyembuhan
tukak lambung dan tukak duodenum. Pada sebagian besar pasien pemberian obat-
obat tersebut sebelum tidur dapat mencegah kekambuhan tukak duodeni bila obat
diberikan sebagai terapi pemeliharaan. Akan tetapi manfaat terapi pemeliharaan
dalam pencegahan tukak lambung selama lebih dari satu tahun belum jelas
diketahui.
AH2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk
penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks esofagitis
seperti halnya dengan antasid dan antagonis reseptor H2 menghilangkan gejalanya
tetapi tidak menyembuhkan lesi.
Pada penggunaan jangka panjang respons pasien kadang-kadang dialporkan
berkurang, tetapi makna klinis fenomena ini masih menunggu studi lebih lanjut.
Terhadap tukak peptikum yang diinduksi oleh obat AINS, AH2 dapat
mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah terbentuknya tukak.
Pada pasien yang sedang mendapat AINS antagonis reseptor H2 dapat mencegah
kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak bermanfaat untuk tukak lambung.
Simtidin dan ranitidin telah digunakan dalam penelitian untuk stress ulcer
dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih bermanfaat untuk profilaksis
daripada untuk pengobatan.
AH2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam asam lambung pada sindrom
Zollinger-Ellison. Dalam hal ini mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk
mengurangi kemungkinan timbulnya efek samping obat akibat besarnya dosis
simetidin yang diperlukan. Ranitidin juga mungkin lebih baik dari simetidin untuk

16
pasien yang mendapat banyak obat (terutama obat-obat yang metabolismenya
dipengaruhi oleh simetidin), pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien yang
tidak tahan efek samping simetidin dan pada pasien usia lanjut.

a. Simetidin (Cimet, Corsamet,, Nulcer, Tagamet, Ulcedine), merupakan


antagonis kompetitif histamin pada reseptor H2 dari sel parietal sehingga
secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung. Simetidin juga
memblok sekresi asam lambung yang disebabkan oleh rangsangan makanan,
asetilkolin, kafein, dan insulin. Simetidin digunakan untuk pengobatan tukak
lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, missal Sindrom
Zollinger Elison. Efek samping yang ditimbulkan antara lain adalah diare,
pusing, kelelahan dan rash. Keadaan kebingungan, ginaekomastia, dan
impotensi juga dapat terjadi tetapi bersifat terpulihkan.
Penyerapan obat dalam saluran cerna cepat, kadar plasma tertinggi dalam 1
jam diberikan dalam keadaan lambung kosong dan 2 jam bila diberikan
bersama-sama dengan makanan. Jadi pemberian simetidin sebaiknya bersama-
sama dengan makanan karena dapat menghambat penyerapan obat sehingga
memperpanjang masa kerja obat. Waktu paronya 2 jam. Dosis : 200 mg 3 dd,
pada waktu makan dan 400 mg sebelum tidur.
b. Ranitidin HCl (Ranin, Rantin, Renatac, Zantaac, Zantadin), merupakan
antagonis kompetitif histamine yang khas pada reseptor H2 sehingga secara
efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan
volume sekresi lambung. Ranitidin digunakan untuk pengobatan tukak
lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, missal Sindrom
Zollinger Elison. Efek samping Ranitidin antara lain adalah hepatitis,
trombositopenia dan leucopenia yang terpulihkan, sakit kepala dan pusing.
Setelaah pemberian oral, ranitidin diserap 39-87%.
Ranitidin mempunyai masa kerja cukup panjang, pemberian dosis 150 mg
efektif menekan sekresi asam lambung selama 8-12 jam. Kadar plasma
tertinggi dicapai dalam 2-3 jam setelah pemberian oral, dengan waktu paro
eliminasi 2-3 jam. Dosis : 150 mg 2 dd atau 300 mg sebelum tidur.

17
c. Famotidin (Facid, Famocid, Gaster, Regastin, Restadin), merupakan
antagonis kompetitif histamine yang khas pada reseptor H2, sehingga secara
efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan
volume sekresi lambung. Famotidin merupakan antagonis-H2 yang kuat dan
sangat selektif dengan masa kerja panjang. Famotidin digunakan untuk
pengobatan tukak lambung atau usus dengan keadaan hipersekresi yang
patologis, misal Sindrom Zollinger-Elison.
Efek samping obat antara lain adalah trombositopenia, konstipasi, diare,
artralgia, sakit kepala dan pusing. Penyerapan famotidin dalam saluran cerna
tidak sempurna 40-45% dan pengikatan protein plasma relatif rendah 15-22%.
Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 1-3 jam setelah pemberian oral, waktu
paro eliminasi 2,5-4 jam, dengan masa kerja obat 12 jam. Dosis : 20 mg 2 dd
atau 40 mg sebelum tidur.
d. Roksatidin Asetat HCl (Roxan), merupakan antagonis kompetitif histamine
yang khas pada sel parietal lambung atau reseptor H2, sehingga secara efektif
menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi
lambung. Roksatidin merupakan antagonis-H2 yang kuat dengan masa kerja
cukup panjang. Digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan usus. Efek
samping obat antara lain adalah trombositpenia, leucopenia, konstipasi, diarez
sakit kepala dan pusing. Dosis : 75 mg 2 dd atau 150 mg sebelum tidur.

ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H2 (AH2)


Reseptor histamin H2 berpern dalam efek histamin terhadap sekresi cairan
lambung, perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus dan bronkus domba.
Beberapa jaringan seperti otot polos pembeluh darah mempunyai kedua reseptor
yaitu H2 dan H2.
SIMETIDIN DAN RANITIDIN
FARMAKODINAMIK. Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2
secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi
cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan
lambung dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap reseptor
H2 lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak lengkap simetidin dan ranitidin

18
dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat muskarinik
atau gastrin. Simetidin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen
cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan
pepsinogen menjadi pepsin juga menurun.
FARMAKOKINETIK. Bioavailabilitas oral simetidin sekitar 70% sama
dengan setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%.
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin diberikan
bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek
pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama pada menit ke 60-90.
Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari
kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin di
ekresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam.
Bioavailabilitas ranitidin yang diberikan secaraa oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 – 3 jam
padaorang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal.
Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak
sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah
pengunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya
15%. Ranitidin mengalami metabolitnya diekskresi terutama melalui tinja. Sekitar
70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral
diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.
EFEK SAMPING. Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan
umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2; beberapa
efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek
samping ini antara lain nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare,
konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan
ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi
ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat
simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah
pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin
terhadap peninggian prolaktin ini kecil.

19
INTERAKSI OBAT. Antasid dan metoklopramid mengurangi
bioavailabilitas oral simetidin sebanyak 20-30%. Interaksi ini mungkin tidak
bermakna secara klinis, akan tetapi dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara
penggunaan antasid atau metoklopramid dan simetidin oral.
Ketakonazol harus diberikan 2 jam sebelum pemberian simetidin karena
absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan bersama simetidin.
Selain itu ketakonazol membutuhkan pH asam untuk dapat bekerja dan menjadi
kurang efektif pada pH lebih tinggi yang terjadi pada pasien yang juga mendapat
AH2.
Simetidin terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim
mikrosom hati, jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama simetidin.
Obat yang metabolismenya dipengaruhi semetidin ialah warfarin, fenitoin, kafein,
teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam, propranolol, metoprolol dan
impramin.
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin, akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin.
Nifedifin warfarin, teofilin dan metoprolol dilaporkan berinteraksi dengan
ranitidin. Selain penghambatan terhadap sitokrom P-450 diduga ada mekanisme
lain yang berperan dalam interaksi obat. Ranitidin dapat menghambat absorpsi
diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Obat obat ini
diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam.
Penggunaan ranitidin bersama antasid atau antikolinergik sebaiknya
diberikan dengan selang waktu 1 jam.
Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga
akan memperlambat bersihan obat lainnya. Simetidin dapaat menghambat alkohol
dehidrogenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar
alkohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan meningkatkan antagonis
kalsium dalam serum. Obat ini tak tercampurkan dengan barbiturat dalam larutaan
IV. Simetidin dpat menyebabkan berbagai gaangguan SSP terutama pada pasien
usia lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala gangguan SSP berupa
siurred speech, somnelon, letargi, gelisah, bingung, disorientasi, agitasi, halusinasi
dan kejang. Gejala-gejala tersebut hilang/membaik bila pengobatan dihentikan.

20
Gejala seperti demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat
psikotropik atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan
gangguan SSP ringan, mungkin karena sukarnya melewati sawar darah otak.
Efek samping simetidin yang jarang terjadi ialah trombositopenia,
granulositopenia, toksisitas terhadap ginjal atau haati. Peningkatan ringan
kreatinin plasma mungkin disebabkan oleh kompetisi ekskresi simetidin dan
kreatinin. Simetidin (tidak ranitidin) dapat meningkatkan beberapa respons
imunitas seluler (cell-mediated immune response) terutama pada individu dengan
depresi sistem imunologik. Pemberian simetidin dan ranitidin IV sesekali
menyebabkan bradikardi dan efek kardiotoksik lain.
POSOLOGI. Simetidin tersedia dalam bentuk tablet 200, 300 dan 400 mg.
Dosis yang dianjurkan untuk pasien tukak duodeni dewasa ialah 4 kali 300 mg,
bersama makan dan sebelum tidur; atau 200 mg bersama makan dan 400 mg
sebelum tidur. Simetidin juga tersedia dalam bentuk sirup 300 mg/2 ml.
Ranitidintersedia dalam bentuk tablet 150 mg dan larutan suntik 25 mg/ml,
dengan dosis 50 mg IM atau IV tiap 6-8 jam. Ranitidin 4-10 kali lebih kuat
daripada simetidin sehingga cukup diberikan setengan dosis simetidin; ranitidin
bekerja untuk waktu lama (8-12 jam). Dosis yang dianjurkan dua kali 150
mg/hari.
INDIKASI. Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik.
Penghambatan 50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma
800 mg/ml atau kadar ranitidin plasma 100mg/ml.
Teatapi yang lebih penting adalah efek penghambatannya selama 24 jam.
Simetidin 1000 mg/hari menyebabkan penurunan kira-kira 50% dan ranitidin 300
mg/hari menyebabkan penurunan 70% sekresi asam lambung; sedangkan terhadap
sekresi asam malam hari masing-masing menyebabkan penghambatan 70 dan
90%.
Simetidin, ranitidin atau antagonis reseptor H2 mempercepat penyembuhan
tukak lambung dan tukak duodenum. Pada sebagian besar pasien pemberian obat-
obat tersebut sebelum tidur dapat mencegah kekambuhan tukak duodeni bila obat
diberikan sebagai terapi pemeliharaan. Akaan tetapi manfaat terapi pemeliharaan

21
dalam pencegahan tukak lambung selam lebih dari satu tahun sebelum jelas
diketahui.
AH2 samaa efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk
penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks esofagitis
seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2 menghilangkan gejalanya
tetapi tidak menyembuhkan lesi.
Pada penggunaan jangka panjang respons pasien kadang-kadang dilaporkan
berkurang, tetapi makna klinis fenomena ini masih menunggu studi lebih lanjut.
Terhadap tukak peptikum yang diinduksi oleh obat AINS, AH2 dapat
mempercepat penyembuhan tetapi dapat mencegah terbentuknya tukak. Pada
pasien yang sedang mendapat AINS abtasa gonis reseptor H2 dapat mencegah
kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak bermanfaat untuk tukak lambung.
Simetidin dan ranitidin telah digunakan dalam penelitian untuk stress ulcer
dan pendarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih bermanfaat untuk
profilaksis daripada untuk pengobataan.
AH2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom
Zollinger-Ellison. Dalam hal ini mungkin lebih baik digunakaan ranitidin untuk
mengurangi kemungkinan timbulnya efek samping obat akibat besarnya dosis
simetidin yang diperlukan. Ranitidin juga mungkin lebih baik dari simetidin untuk
pasien yang mendapat banyak obat (terutama obat-obat yang metabolismenya
dipengaruhi oleh simetidin), pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien yang
tidak tahan efek samping simetidin dan pada pasien usia lanjut.
FAMOTIDIN
FARMAKODINAMIK. Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidin,
famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung
pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin
tiga kali lebih poten daripada simetidin.
INDIKASI. Efektivitas obat untuk ini duodenum dan tukak lambung
setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan semitidin. Pada
penelitian perpembanding selama 6 bulan, famotidin juga mengurangi
kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira
sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison,

22
meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas
famotidin untuk profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan
tukak stres pada saat ini sedang diteliti.
EFEK SAMPING. Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang
terjadi, misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan
ranitidin, famotidin nampaknya le ih baik dari simetidin karena belum pernah
dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-hati
pada wanita menyusui karena belum diketahui apakah obat ini disekresi kedalam
air susu ibu.
INTERAKSI OBAT. Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat
lain belum dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat.
Famotidin tidak mengganggu oksida diazepam, teofilin, warfarin atau fenitoin di
hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja ssehingga kurang efektif
bila diberikan bersama AH2.
FARMAKOKINETIK. Famotidin mencapai kadar pucak di plasma kira-
kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam
dan bioavailabilitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida.setelah
dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin.
Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.
DOSIS. Oral Dewasa, pada tukak duodenum atau tukak lambung aktif 40
mg satu kali sehari pada saat akan tidur. Umumnya 90% tukak sembuh setelah 8
minggu pengobatan. Pada pasien tukak peptik tanpa komplikasi dan bersihan
kreatinin < 10 ml/menit, dosis awal 20 mg pada saat akan tidur. Dosis
pemeliharaan untuk pasien tukak duodenum 20 mg. Untuk pasien sindrom
Zollonger-Ellison dan lain keadaan hipersekresi asam lambung, dosis harus
individualisasi. Dosis awal per oral yang dianjurkan 20 mg tiap 6 jam.
INTRAVENA : Pada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada
pasien yang tidak dapat diberikan sediaan oral, famotidin diberikan intravena 20
mg tiap 12 jam. Dosis obat untuk pasien harus dititrasi berdasarkan jumlah asam
lambung yang disekresi.

23
BAB III

KESIMPULAN

1.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penulisan Spektrofotometri Sinar Tampak dan
ultraviolet, dapat diambil kesimpulan bahwa:

24
1) Spektrofotometri merupakan alat yang digunakan untuk mengukur energi
secara relative jika energi tersebut ditansmisikan, direfleksikan, dan
diemisikan sebagai panjang gelombang.
2) Dapat dipakai untuk tujuan analisis kualitatif (data sekunder) dan
kuantitatif.
3) Spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum tampak yang kontinyu,
monokromator, sel pengabsorpsi untuk kelarutan sampel atau blanko dan
suatu alat pengukur perbedaan adsorbsi antara sampel dan blanko ataupun
pembanding.
a. Tipe instrumen spektrometri UV-Vis terdiri dari: Single-beam instrument
dan Double-beam instrument

25
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2003), Spektrofotometri UV-VIS,


https://wocono.com/2013/03/04/spektrofotometri-uv-vis/html (diakses 13
februari 2016).

Anonim, (2015), Pengertian Spektrofotometri UV-VIS,


http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-spektrofotometri-uv-
vis.html (di akses 2 februari 2016).

Besak, Wani., (2011), Pengertian Dasar Spektrofotometer UV-VIS,


https://wanibesak.wordpress.com/2011/07/04/pengertian-dasar-
spektrofotometer-vis-uv-uv-vis/html (diakses 2 Februari)

Khopkar, S.M, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, Universitas Indonesia (UI-
Press), Jakarta.

Razi, Zainal., (2012), Spectrofotometer UV-VIS,


http://zaidanalrazi.co.id/2012/04/spectrofotometrer-uv-vis.html (diakses 13
februari 2016)

Triyati, Etty., (1985), Spektrofotometer Ultra-Violet Sinar Tampak serta


Aplikasinya dalam Oseanologi, Oseana, 10 (1): 39-47.

26

Anda mungkin juga menyukai